Anda di halaman 1dari 5

“Sampah Ini, Kebaikanku”

Kelabu langit sore di atas besarnya Kota Surabaya, awan gelap yang berpadu dengan
kotornya polusi yang memenuhi cakrawala. Suasana kota metropolitan yang dihiasi
dengan dinding beton yang tidak tahu dimana ujungnya. Jalanan padat yang pecah
dengan bising klakson dan suara mesin kendaraan, terasa mustahil untuk menemukan
ketenangan. Sebagai pusat aktivitas manusia kota itu dipenuhi dengan kegiatan-
kegiatan layaknya para pekerja kantoran yang bergolak untuk segera merebahkan
badan setelah bekerja sepanjang hari atau para pedagang kaki lima yang membuka
gerobak dagangan untuk menjual makanan dan minuman. Semua berlalu lalang hanya
untuk sekedar menyambung kehidupan.

Begitu pula dengan Pak Joko, seorang pria paruh baya dengan kulit sawo matang
yang dihiasi oleh keriput. Tidak sukar untuk menebak umurnya dengan rambut
putihnya atau matanya yang tampak sayu. Bagian dari orang-orang yang hidup di
dalam sisi kelam gemerlap kemegahan dari kota-kota besar. Tangannya yang penuh
kapal dan kakinya yang membengkak menjadi saksi bisu perjuangan Pak Joko untuk
bertahan hidup.

Berusaha untuk bertahan hidup di tengah kerasnya dunia perkotaan adalah hal berat,
belum lagi dia juga harus mengemban kehidupan kedua anaknya yang tentu
menambah beban yang dipikul Pak Joko. Heka si sulung dan Ali si bungsu, kedua
anak yang setia menemani keseharian Pak Joko untuk mengais sesuap nasi. Mereka
berdua terpaksa untuk menelan lebih awal rasa pahit dari sebuah kehidupan. Heka
tumbuh dengan keikhlasan dan mata yang senantiasa melihat kebaikan dalam
kehidupan, namun tidak demikian dengan Ali, ia adalah seorang anak kecil biasa.
Maka bukan salahnya jika ia ingin memiliki seragam sekolah yang bersih, bukannya
pakaian lusuh yang dipenuhi dengan jahitan kain-kain perca. Bukan salahnya jika ia
ingin duduk diatas kayu akasia atau mahoni, bukan duduk diatas besi berkarat beroda
dua yang ditarik oleh ayahnya setiap hari. Bukan salahnya untuk berangan tentang
pendidikan atau sekedar kelayakan dalam kehidupan. Tidak jarang bagi Ali untuk
merengek-rengek dihadapan ayahnya tentang kondisi yang dialaminya. Layaknya
pada hari itu, siang yang panas, matahari menyengat dengan begitu terik membakar
kulit. Rengekan Ali yang bising sedikit menyita perhatian orang-orang yang berlalu-
lalang.

“Kenapa aku tidak bersekolah seperti yang lain”, rengekanqq dari Ali yang diikuti
dengan air yang mengalir dari wajahnya yang dipenuhi debu dan kemudian menetes
ke tanah, sukar untuk membedakan apakah itu keringat atau air mata.

Pak Joko menghela nafas, mendekati Ali dan mengusap rambut kusamnya.

“Sabar nak, sekarang Ayah juga sedang berusaha untuk nyekolahin Ali”, dengan suara
yang serak dan lemah Pak Joko berusaha membujuk anak bungsunya itu.

“Tidak, bohong dari dulu ayah sudah bilang gitu tapi Ali ga sekolah-sekolah...Ali ga
bisa kayak yang lain”,rengek Ali semakin keras. Dia mendorong ayahnya dan berlari
sekencang mungkin untuk menjauh.

Pak Joko dan Heka berusaha berlari juga mengejar Ali, mengabaikan rasa sakit dari
panasnya trotoar yang membakar kaki telanjang mereka.

Di tengah usaha Pak Joko untuk mengejar Ali, dadanya tiba-tiba terasa sesak.
Kesulitan untuk bernafas Pak Joko menghentikan langkahnya bersama dengan
pandangannya yang mulai mengabur. Dia kehilangan keseimbangan, berjalan
sempoyongan untuk mencari pegangan namun berakhir dengan jatuh tersungkur di
jalanan. Heka tergopoh-gopoh mengecek kondisi dari ayahnya, rasa gelisah dan takut
memecah air dari matanya untuk mengalir keluar. Sontak dari depan Ali berhenti
setelah mendapati ayahnya yang sudah dalam keadaan terbujur lemah di tanah. Heka
dengan sekuat tenaga mencoba untuk membopong ayahnya, Ali dari depan segera
membantu kakaknya untuk membopong ayahnya meskipun badan kecilnya tidak
memberikan bantuan yang nyata.

“Aku gatau kalau Ayah akan jadi begini Kak”, terukir kesedihan di wajah Ali,
mengetahui bahwa kejadian ini didalangi olehnya.

Heka menahan air mata dan kemudian mengusap rambut kasar adiknya.

“Sudah tidak apa-apa, sekarang ayo bawa ayah ke rumah dulu”, mereka berdua
merebahkan ayahnya ke dalam gerobak dan bersama menarik gerobak itu untuk
mengantarkan ayahnya ke rumah, mengetahui mereka tidak akan mampu membayar
biaya jika hendak membawa ayahnya ke rumah sakit.
Sebuah gubuk reyot yang berdiri diantara tumpukan sampah-sampah yang berserakan,
dindingnya terbuat dari kayu yang sebagian sudah digerogoti oleh rayap. Atapnya
terbuat dari seng berkarat dengan lubang di berberapa tempat. Ruangan di dalamnya
nampak gelap karena tidak adanya jendela sebagai sumber cahaya. Meletakan
ayahnya pada tumpukan kain kain lusuh yang merupakan tempat dimana mereka
tidur, Heka da PPT lookingn Ali duduk di sebelah ayahnya menunggu anugrah Tuhan
agar ayahnya siuman. Setelah menghabiskan detik detik dalam keheningan, Pak Joko
kembali siuman.

Setelah siuman Pak Joko merasa bersalah kepada mereka berdua.

“Kalian...berdua...ayah...minta maaf”

“Kalian... berdua...jadi.. kesusahan”

Heka memegang erat tangan ayahnya, dan sambil tersenyum ia berkata.

“Tidak apa-apa Ayah, ini semua sudah menjadi bagian dari takdir tuhan. Untuk saat-
ssat ini lebih baik ayah beristirahat terlebih dahulu”

Sesuai perkataannya pada esok hari Heka lah yang kemudian menarik gerobak
seorang diri menjadi pengganti ayahnya. Namun Ali juga ikut menemani seperti biasa
tidur di bagian dalam gerobak besi. Mereka berkeliling, mengobrol, dan berdebat
sesuai dengan isi pikiran mereka masing-masing.

“kenapa kita harus seperti ini”, tanya Ali dari balik dinding gerobak.

“Maksudmu seperti ini apa Al?”, sahut Heka sembari menarik gerobak

“Aku juga ingin seperti anak-anak yang lain, bersekolah, bermain, jalan-jalan”, Ali
melemahkan nada bicaranya.

“Hahahaha, bukan salah jika kita ingin maju Al.Bukan salah jika kita ingin
pendidikan”,ucap Heka sambil memperlambat tempo geraknya.

“Namun menempuh pendidikan itu bukan proses yang menyenangkan, butuh


tanggung jawab dan pengorbanan Al”, sambung Heka.

“Maksudnya”, tanya Ali


“Maksudnya disana mereka tidak hanya datang terus main- main Al, mereka harus
kerja keras belajar untuk masa depan”, jawab Kakaknya itu.

Setelah keheningan sesaat, Heka melanjutkan ucapannya.

“Justru kita punya apa yang mereka ga punya Al”, ucap Heka yang mengejutkan Ali.

“Hah apanya Kak, kan mereka punya semuanya?”

“Mereka ga punya kebebasan Ali, kebebasan untuk berpergian kemanapun, kebebasan


untuk melakukan apapun, kebebasan untuk menciptakan apapun”, Heka kembali
menarik gerobaknya.

“Kakak tidak bilang kalau kita lebih baik dari mereka, dengan berpendidikan justru
kita punya lebih banyak peluang dalam meraih kehidupan. Namun hal itu tidak bisa
kita jadikan sebagai alasan untuk menyerah Al. Masih banyak kebaikan yang bisa kita
manfaatkan”

“Ali lihat ini, kakak membuat sebuah kotak pensil dari sampah-sampah yang kita
temukan”, Heka menunjukkan kepada adiknya kriya yang ia buat.

“Wah, bagus sekali bagaimana kakak membuatnya”, mata yang berbinar-binar, tidak
pernah sebelumnya Ali terlihat semangat seperti itu.

“Kakak juga bisa membuat miniatur dan juga figur-figur, nanti sepulang dari pengepul
kakak ajari” senyum Heka.

Heka kemudian tertawa kecil dan berkata

“Sekarang kamu tau kan Al kalo dunia ini itu penuh dengan kebaikan, kita hanya
perlu mau untuk mencarinya. Bahkan ada kebaikan dalam sampah sekalipun, kakak
saja bisa menemukannya”, Heka kemudian melanjutkan menarik gerobaknya.

“Kakak benar, sekarang aku akan lebih bersemangat untuk hidup”, Ali kemudian
turun dari gerobak dan membantu kakaknya menarik besi beroda dua itu.

Heka mengusap rambut adiknya dan mereka berdua tertawa bersama.

Heka kemudian mengajari Ali cara membuat kriya dari sampah-sampah yang mereka
kumpulkan, dan mereka mempunyai ide untuk menjualnya. Tidak disangka ada orang-
orang yang membeli kriya yang mereka jual, Ali dan Heka berusaha sebaik mungkin
untuk membuat kriya yang memiliki nilai jual dan agar Kroya tersebut terjual bukan
karena belas kasihan dari orang-orang.

Ali dan Heka terus berpegang teguh akan nilai nilai kebaikan, seperti pantang
menyerah dan optimis dalam kehidupan. Dan siapa tau apa yang akan menanti mereka
di masa depan, orang seperti merekapun masih sangat layak untuk bermimpi bukan.

Anda mungkin juga menyukai