Anda di halaman 1dari 6

AWAL

PERTEMUAN

ARIEL berdiri di belakang sekolah seraya menatap tembok tinggi di


hadapannya. Hari ini sepertinya hari kesialan bagi Ariel. Mobil kakaknya
mogok dan tidak ada satu pun taksi yang lewat. Alhasil ia terlambat
masuk sekolah hari ini. Tak ingin berakhir di dalam ruang BK, Ariel
memilih untuk mencari jalan pintas masuk sekolah, yaitu lewat belakang
gedung sekolah dengan cara memanjat tembok. Sudah beberapa menit
berlalu dan ia hanya terdiam, masih menatap tembok di depannya dengan
pikiran mencari cara bagaimana ia harus mulai memanjat.
Tak lama, seorang laki-laki dengan seragam yang dikeluarkan,
naik memanjat tembok dengan sangat mudah, membuat Ariel hanya
terdiam bengong.
“Hei, bisa bantu aku juga gak?!” teriak Ariel sebelum laki-laki
tadi melompat masuk ke halaman belakang sekolah. Dengan tatapan
datarnya itu, ia hanya menoleh menatap Ariel. “Please, bantu aku masuk,
ya, ya, yaaaaa?” Ariel menggenggam kedua tangannya memohon. Ia
mendapati arah mata laki-laki itu yang tengah membaca name tag-nya.
“Nama aku Gabriela Senja, anak kelas 10-5.”
“Lo bisa naik sendiri, ikutin arah kaki gue tadi.”
“Tapi nanti kalau aku jatuh, gimana?”
“Gue gak peduli,” jawabnya dan turun dari tembok sekolah tanpa
melirik atau bahkan berniat membantu Ariel sedikit pun.
“Hei! Tungguin!” teriak Ariel seraya mulai memberanikan diri
untuk memanjat tembok. Sesampainya Ariel di atas tembok, laki-laki

4
itu ternyata masih berdiri di bawah sana.
“Terus cara turunnya gimana?”
“Lompat.”
“Hahhh? Tapi nanti kalau jatuh…,” Ariel melihat wajah laki-laki itu
dan kembali berucap, “Iya…, iyaa, aku tau kamu gak peduli aku mau jatuh
sampai patah tulang atau gak, tapi seenggaknya bantuin aku turun!”
“Minta tolong sama satpam. Gue juga udah telat masuk kelas,”
jawabnya dan langsung pergi melangkah dari hadapan Ariel.
Gadis itu berteriak memanggilnya, tapi tetap saja ia tidak peduli.
“Masa harus minta tolong sama satpam, sih? Kalau gitu sama aja
nanti aku bakal masuk BK. Mending tadi masuk lewat gerbang depan
aja….” Ariel melihat ke arah bawah. Jika ia lompat sekarang, maka ada
dua pilihan. Pertama, ia akan selamat dan masuk ke dalam kelas dengan
aman. Lalu, pilihan keduanya, ia akan masuk ke UKS karena patah tulang
dan berakhir masuk BK karena sudah terlambat dan memanjat tembok.
Ariel menggeleng menepis semuanya, tidak peduli dengan masuk
BK, ia lebih sayang nyawa daripada masuk ruangan bimbingan
konseling itu. Tidak ada pilihan lain lagi sepertinya, ia harus
memanggil satpam untuk membantunya turun.
“PAK SATP—”
“Bodoh!”
Suara umpatan membuat Ariel menoleh ke arah sumbernya.
Ternyata laki-laki tadi masih belum pergi.
“Kamu masih ada di sini?”
“Lo mau panggil satpam?”
Ariel mengangguk mengiyakan. Mau bagaimana lagi? Ia, kan,
tidak bisa turun.
“Nanti kalau lo masuk BK gimana?”
“Gak apa-apa. Daripada aku diem di atas sini sampai malam,
mending masuk BK.”
Laki-laki tadi berjalan mendekat dan menjulurkan tangannya.

5
“Lompat, biar gue tangkap.”
“Gak. Kamu pasti nanti biarin aku jatuh.”
“Jangan suuzan. Mau gue bantu turun gak? Kalau gak mau, ya
udah, gue pergi.”
“Ehhh, iya! Mau mau!!!” sambar Ariel cepat.
“Cepet lompat.”
“Beneran, ya, kamu bakal tangkap?”
“Iya.”
Ariel mengambil ancang-ancang dan langsung melompat sambil
menutup matanya. Sebenarnya, ia takut akan dibiarkan jatuh oleh
laki-laki ini, tapi apa boleh buat? Ia harus percaya padanya agar bisa
turun dari atas sini.
“Aku udah di surga, ya?” tanya Ariel.
“Buka matanya.”
“Kamu malaikat? Maaf, ya, kalau aku punya banyak dosa, soalnya Caca
sama Gina, dua sahabat aku itu selalu ngajak aku buat dosa setiap hari.”
“Lo masih belum mati.”
Ariel langsung membuka matanya dan menemukan wajah laki-laki
itu sangat dekat. Ia sekarang sudah berada di dalam gendongannya.
Ariel mengerjapkan matanya karena jujur jika dilihat dari jarak dekat,
laki-laki yang ada di hadapannya ini sangat tampan.
“Mau gue gendong sampai ke kelas?”
Ariel langsung menggeleng dan turun. “Makasih…,” Ariel
menggantungkan ucapannya.
“Gema, 11 IPS 2.”
Ariel mengangguk paham. “Makasih, Kak Gema. Aku—”
“Gabriela Senja, kelas 10-5.”
“Kok bisa tau?”
“Tadi lo udah perkenalan diri.”
Ariel menepuk jidatnya. “Benar, aku lupa.”
“Masih muda udah pikun,” gumam Gema.

6
“Kak Gema bilang apa?”
“Gue udah telat masuk kelas,” jawab Gema seraya pergi dari
hadapan Ariel.
Ariel berbalik menatap punggung Gema. “Terima kasih, Kak!”

Karina Safira, gadis yang biasa disapa Caca itu duduk di depan
televisi dengan serius, menyimak drama yang sedang berlangsung
sambil menggigit remot karena mulai ikut terbawa suasana.
“Bang, ihhh!!!” kesal Caca karena Gema tiba-tiba datang entah
dari mana, mematikan televisinya. “Bang, itu bentar lagi Anto bakal
ketauan selingkuh! Kok dimatiin, sih?!” kesal Caca.
“Ada hal yang lebih penting,” jawab Gema seraya duduk di
samping adik sepupunya.
“Apa yang lebih penting dibandingkan drama gue?!”
“Temen lo.”
“Kenapa temen gue?”
“Siapa dia?”
“Apa, sih, Bang? Temen gue yang mana?” kesal Caca. Dasar abang
sepupu gila, batin gadis itu.
“Temen kelas lo.”
“Nadiva?”
“Sahabat lo.”
“Gina?”
“Satunya lagi.”
“Ariel?”
Gema mengangguk. “Iya, Gabriela Senja.”
“Kalau lo udah tau namanya, kenapa mesti ajak gue main tebak-
tebakan dulu?!” teriak Caca. Hampir saja ia menendang abangnya ini
sampai ke Pluto karena kesal. Tinggal menyebutkan namanya saja
kenapa harus mutar-mutar dulu? Mau heran, tapi Gema adalah abang

7
sepupu yang gila, jadi di sini Caca-lah yang harus ekstra sabar.
“Kenapa sama Ariel?”
“Gak apa-apa, sih,” jawab Gema, lalu menyandarkan badannya
di sofa, menyalakan televisi, dan ikut mencomot popcorn yang ada
di atas meja. Caca yang sudah kesal, mengepalkan tangannya. Sudah
datang tidak diundang, datangnya pun seenaknya dengan mematikan
saluran televisi orang, dan sekarang ia malah bilang tidak apa-apa
setelah mengajaknya main tebak-tebakan dan membuang waktunya!
“BANG, LO KALAU MAU NGAJAK BERANTEM BILANG AJA,
JANGAN PANCING EMOSI GUE DULU!!!” teriak Caca sambil
menjambak rambut Gema.
“WOI, LEPASIN RAMBUT GUE!!!”
“GAK BAKALAN! SIAPA SURUH LO NGESELIN??? SEKARANG
JAWAB, KENAPA ARIEL?!”
“GUE BILANG GAK ADA APA-APA! NGEYEL BANGET!”
“PASTI ADA APA-APA! GAK MUNGKIN GAK ADA APA-APA
SAMPAI LO NANYA KE GUE!”
“TANTEEE…, TOLONGIN GEMA!!!”
Mama Caca keluar dari dalam kamar dan segera memisahkan Gema
dari anaknya. “Heh, heh…, kok ini jadi pada berantem gini, sih? Ada apa?”
“Dia, tuh, Ma! Dateng-dateng buat kesel!”
“Lo aja yang emosian. Dasar nenek lampir!”
“Tuh, Ma! Masa anak Mama yang cantik dan kiyowo ini dibilang
nenek lampir???”
“Emang mirip, kan, Tante?”
Mama Caca mengangguk membenarkan ucapan Gema.
“MAMAA…, IHHH!!!”
“Udah, udah,” lerai mama Caca. “Udah besar, kok, kerjaannya
masih berantem terus? Yang akur-akur dong sama sepupu.”
Caca menjulurkan lidahnya mengejek Gema. “Caca mau masuk ke
kamar aja, deh. Udah gak mood nonton drama gara-gara Bang Gema,”

8
ucap gadis itu sambil beranjak dari sofa.
“Oh, iya, Ma, Caca hampir lupa. Besok temen Caca mau datang
ke rumah.”
“Temen lo yang mana?” sambung Gema kepo.
“Gina sama Ariel.”
“Mau ngapain?”
“Terserah kita, lah. Kenapa? Lo mau ikut?”
“Kalau diajak.”
“Gak gue ajak tapi, wleee…,” jawab Caca, lalu berjalan masuk ke
dalam kamarnya.
Dasar adik sepupu kurang ajar, umpat Gema dalam hatinya. “Tante,
besok Gema boleh ke sini?”
Mama Caca menatap Gema sangsi. “Tumben kamu izin? Biasanya
kamu itu kayak jelangkung kalau kata Caca. Datang tak dijemput,
pulang tak diantar.”

Anda mungkin juga menyukai