Anda di halaman 1dari 6

https://www.acade mia.

edu/8830417/Sistem_Regulasi_Manusia_PPT_ biologi ppt

Jeritan Seorang Anak Kolong Jembatan

Karya: Muthiarani Mahyunir Nur.

Namaku Ato. Aku tinggal dikolong jembatan, aku hanya terduduk di atas kardus dengan
lingkungan yang menyebarkan bau sampah, kotoran dimana-mana, dan ada air comberan. Dengan
kaos oblong bercampur debu dan tanah melekat membalut kulitku yang hitam pekat karena selama
berminggu-minggu tak pernah menyentuh air bersih. Aku terbangun dengan wajah kusam. Mataku
menatap alam liar yang sama sekali tidak indah untuk di pandang. Tumpukan sampah berwarna-
warni. Hamparan tanah kotor dan becek yang di hiasi aliran kali berwarna coklat kehitam-hitaman
bercampur buangan sampah yang menyebarkan aroma tidak sedap. Begitulah tempat tinggalku.

Aku berumur tujuh tahun. Aku sama sekali tidak tahu siapa orang tuaku. Yang aku tau dari ibu
asuhku yaitu mak Yaroh, aku di temukan di kolong jembatan saat masih merah penuh darah bersama
tali pusar yang belum terpotong. Mak Yaroh sangka ia sudah mati, tapi aneh nya ketika ia menyentuh
tubuhnya, bayi tersebut masih hidup dan mengeluarkan tangisan. Dan seterusnya mak Yaroh lah yang
membesarkanku dengan susah payah. Mungkin itu informasi terakhir yang ia tau sebelum mak Yaroh
menghembuskan nafas terakhir karena usianya sudah terlalu tua. Aku sudah menjadi anak yatim piatu
dan aku sekarang tidak mempunyai siapa-siapa, untuk bertahan hidup hanya dengan cara meminta-
minta. Kalau tidak dapat terpaksa dia harus mencari makan diantara sampah dan minum air yang ada
disekitar kolong jembatan. Walaupun begitu aku sangat mensyukuri hidup ini dan aku tidak pernah
putus asa untuk berjuang melawan rasa sulit kehidupanku sekarang.

Cita-cita yang paling kuinginkan yaitu memiliki sebuah gitar, agar bisa mencari makan dengan
ngamen di jalan. Tapi, semua itu baru mimpi bagiku semua harapan hidupku saat ini telah hancur.
Sudah dua hari lambungku belum di isi oleh apapun dan terakhir perutku hanya di isi oleh air kali.
Badanku sekarang sudah semakin lemah, untuk berjalan pun sudah tidak kuat. Karena itu aku hanya
bisa terduduk di atas kardus.

Dari kejauhan muncul seorang anak kecil seumuran denganku. Wajahnya coklat kusam
terpanggang matahari. Dia memakai celana levis biru robek-robek dan kaosnya berwarna hitam penuh
debu, rupanya anak itu Aji. Aku cuma mempunyai Aji yang dulu selalu bersama, tetapi Aji sekarang
sudah tidak terlalu dekat. Anak kurus, pendek, berkepala botak itu mampir ke tempat ku. Tapi aku
menatap Aji acuh tak acuh.

“Hai To, dari mana aja kamu sudah lama ngak keliatan.” ucap Aji.

Aku menatap Aji tanpa suara. Mulutku tak mampu mengeluarkan kata-kata.

“Kenapa To diem aja, marah ya sama gua?” tanya Aji.

“Aku udah dua hari ini belum makan Ji.” ucap Ato berusaha bersuara.

“Kalo gitu sama, gua seharian ini juga belum makan. Gua kira kamu punya makanan makanya gua
kesini.” ucap Aji mengeluh.

“Aku seharian ini cuma minum air kali.” ucap Ato.

“Kata Emak gua, kalo kamu keseringan minum air kali bisa cepet mati.” jawab Aji.

“Terus sekarang kamu mau ngapain To?” tanya Aji.

“Gak tau badan aku dingin Ji.” jawab Ato.

“Sekarang kamu mau mencari makan di mana To?” tanya Aji.

Muka Ato pucat. Satu sisi badannya lagi sakit, tapi dia harus mencari makan.

“Ji, gendong aku keatas. Aku mau mengemis!” jawab Ato.

“Emangnya kamu ngak bisa jalan sendiri?” tanya Aji.

“Aku ngak bisa jalan sendiri, aku juga ngak bisa bangun Ji, udah dua hari aku duduk di sini” jawab
Ato.

Kemudian Aji menggendong ku yang lemah tak berdaya. Dia membawa aku ke atas Jembatan.
Dengan susah payah akhirnya Aji berhasil menyandarkan aku di pinggir pagar jembatan. Panas
Matahari menyengat membakar kulitku. Motor dan mobil berlalu melewati jembatan bergantian.
Puluhan sendal dan sepatu bergerak bebas melewati tubuh aku yang tersungkur. Gelas plastik kosong
ia taruh di antara kakinya yang terdampar di atas trotoar. Aji masih beristirahat di sampingku.

“To kamu masih tahan hidup seperti ini?” tanya Aji.


“Ngak tau Ji, tapi pesan mak Yaroh sebelum meninggal. Katanya aku harus ngejalanin hidup ini
dengan sabar dan ikhlas.” ucap Ato.

“Oh gitu, pantesan gua ngak pernah ngeliat kamu nyolong.” Jawab Aji

“Ya walaupun aku ngak ngerti. Tapi artinya aku harus menerima jalan nasib yang aku lalui.” ucap Ato
pelan. Mukanya sedikit bersemangat.

“Bener juga omongan kamu To, kalo gitu malam nanti gua kesini lagi ya. Kalo bisa gua bawain kamu
makanan.” ucap Aji sembari meninggalkan Ato sendirian.

Sengatan matahari mulai menghilang. Tamparannya semakin lama semakin redup. Beberapa
koin cepean mulai berjatuhan di atas gelas plastik. Wajah Ato mulai gembira melihat but iran-butiran
koin yang keluar dari orang-orang yang lewat. Ada yang memberinya terpaksa karena Ato mendesak.
Tapi ada juga yang memberikan karena simpati melihat penderitaan anak itu.

Tapi ada yang tidak habis di mengerti, kenapa masih ada orang-orang di sekitar dia yang
berfikiran mengemis merupakan pembodohan yang membuat orang malas dan tidak mau bekerja.
Sebab aku berbuat seperti itu bukan karena malas, tetapi aku berbuat seperti itu disebabkan tak ada
lagi usaha yang dapat dilakukan untuk mendapatkan uang selain mengemis. Dan itu bukan
pembodohan.

Aku tidak pernah sekolah bahkan untuk baca dan menulis pun aku tak mampu. Yang aku
pikirkan hanya satu, yaitu bagaimana hari ini bisa makan. Selebihnya urusan sosial, politik, dan
ekonomi itu sama sekali tidak difikirkan.

Bagi ku mengemis merupakan pekerjaan yang paling berat dan memalukan. Bayangkan seorang
anak manusia harus menengadahkan tangannya, mempecundangi harga diri dan kehormatannya hanya
untuk sesuap nasi. Apakah itu sebuah pembodohan, atau mereka yang bodoh karena pelit dan malas
menyisihkan sedikit uang untuk orang-orang susah yang amat sangat membutuhkan pertolongan.
Inilah peradaban modern yang sangat beradab dan canggih, yang harus di hadapi oleh anak kecil
seperti Ato.

Hingga sore hari sepuluh koin cepean telah terkumpul. Bathinku sedikit tenang sebab beberapa
saat lagi aku bisa makan ala kadarnya. Sinar mentari berwarna kuning tua menghangatkan tubuhku
yang mencoba bertahan hidup di atas jembatan. Tapi sore ini aku di datangi oleh dua orang Serigala
jahanam yang kelaparan. Matanya melotot tajam seperti pisau, rambutnya gondrong tak beraturan
seperti Iblis, leher dan tangannya di kalungi logam-logam mengkilat. Tapi dia tetap memasang wajah
garang seperti kucing.
“Hei kamu anak kecil, dari mana kamu dan ngapain kamu ngemis disini. Ngeganggu gua lewat aja.
Kamu nggak tau gua penguasa daerah sini!” ucap salah satu preman itu kepada Ato.

“Aku mau mencari makan, aku berasal dari bawah kolong jembatan bang.” jawab Ato pada preman
itu dengan sabar.

“Ngak peduli anak kolong atau siapa pun. Kalo kamu mau mencari makan di daerah sini, kamu harus
setoran kegua!” ucap preman dengan tatapan yang tajam.

“Sekarang mana penghasilan kamu. Gua sita semua!” ucap preman lainnya sambil merampas duit
recehan di dalam gelas plastik.

“Jangan Bang aku belum makan dari kemarin!” ucap Ato mempertahankan harta terakhirnya.

“Alah bodoh amat.” ucap preman itu sambil merampas seluruh kekayaan Ato.

Dengan kekuatan terakhirnya aku mencoba merebut kembali uang miliknya. Tetapi sebuah pukulan
mentah mendarat pas di wajahnya. “Makan tuh pukulan gua!” ucap si preman sambil pergi
meninggalkan ku yang lemah tak berdaya.

“Kurang ajar kamu!” ucap preman satu lagi sambil menendang tubuh Ato yang terkapar di atas
trotoar.

Aku hanya bisa menangis dan menjerit di dalam hati. Matanya merah berair, dari sana keluar air
yang mengalir di pipiku. Hatiku dongkol dan sakit. Aku merasa tidak adil di tindas dengan perlakuan
seperti ini. Aku menjerit sekali kepada Dunia dan peradaban liar di sekelilingnya.

”Aaaaaaaaaaakkkkhhhhhhhhh....!” teriak Ato sekuat tenaga.

Aku marah pada semua makhluk di Bumi ini. Apakah nasib seperti ini layak diterima. Apakah semua
manusia benar-benar tidak perduli dengan penderitaan yang aku alami?. Aku sudah tidak kuat untuk
semua ini.

Waktu pun berjalan seiring dengan langit yang berputar mengelilingi bumi. Lambungku sakit
seperti di tusuk-tusuk pisau. Pikiranku berat seperti di timpa batu besar. Dadaku bergetar tak kuasa
lagi menahan penderitaan ini. Aku meratap pada yang maha kuasa. Rasanya ingin meledakkan dirinya
dengan nuklir. Biar semua manusia menyadari bahwa aku adalah manusia paling sengsara di atas
muka Bumi ini.
Perut aku mulai sakit. Bukan hanya lapar, tapi sepertinya ada binatang yang sedang
menggerogoti hidup-hidup di dalam perut. Badanku tinggal tulang, matanya pucat, nafasnya
tersengal-sengal, kepalanya pusing tujuh keliling. Aku berusaha bertahan dari kesakitan yang diderita.
Beberapa orang yang melewati tempat itu seolah-olah tak perduli dengan penderitaannya. Mereka
lewat begitu saja seolah-olah mendoakan agar cepat mati.

Aku menatap langit yang mulai memerah. Awan putih bergerak beriringan tanpa henti. Jiwaku
sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi. Seandainya aku harus mati, aku sudah terima. Tak ada
yang bisa dilakukan lagi kecuali diam dan menikmati menit-menit terakhir dalam hidupnya.

Seorang nenek tua berjalan menghampirinya. Bajunya lusuh dan bau, rambutnya gimbal dan
kulitnya hitam. Ia terdiam berdiri di sampinga aku. Tangannya memegang plastik berisi sampah-
sampah bekas. Mata hitamnya menatapku dengan tajam.

“Kenapa nak?” tanya seorang nenek tua yang menghampiri ku tadi.

“Lapar belum makan nek.” ucap Ato pelan.

Kemudian nenek tua itu mengambil sesuatu dalam plastiknya, ternyata itu adalah sepotong roti
yang sudah penuh dengan jamur. Nenek tua itu mengasih roti tersebut kepada ku. Aku menerima roti
itu bagaikan kejatuhan Durian. Aku mengambil makanan itu dengan lahap seperti Harimau yang
kelaparan dan mendapat seekor anak Rusa. Tanpa pikir panjang, aku langsung memakan roti tanpa
berfikir kalau rotinya sudah tidak boleh dimakan karena sudah busuk. Aku mengigit sedikit-sedikit
potongan roti ke dalam mulut dengan cepat, tanpa merasakan pahit atau busuknya roti tersebut.
Sedangkan nenek tua itu langsung pergi jauh meninggalkanku. Dan dalam beberapa detik roti tersebut
masuk ke dalam lambungku, aku merasa perutnya sedikit terganjal dari rasa lapar. Dengan tubuhnya
masih lemah dan perutnya masih sakit. Ato masih bisa bersantai dan merenung, dia mengharapkan
ada suatu pencerahan bahwa untuk mencari kebahagiaan dalam hidup yang harus dilakukan bukan
melihat orang lain dengan segala kemewahan dan kekayaan yang mereka miliki akan tetapi dengan
selalu berjuang dan berusaha sehingga dalam menikmati kehidupan yang kita jalani tanpa harus
memikirkan kelebihan orang lain. Hari semakin sore, matahari mulai tenggelam dan sinarnya mulai
meredup, bagaikan hati dan jiwanya yang juga meredup. Angin berhembus begitu sejuk. Burung-
burung terbang di atas langit. Sesaat Ato tersenyum pada Dunia.

Tetapi setelah itu perut dan kepalaku terasa sakit. Aku yang sangat sabar dalam mengahadapi
cobaan dengan sekuat tenaga akan tetapi, ia tidak dapat bertahan hidup lama. Dan tiba saatnya aku
dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, semoga roh Ato terbang ke surga bersama Malaikat. Dan jiwa Ato
melayang menuju langit ke tujuh Amin.

Anda mungkin juga menyukai