Anda di halaman 1dari 10

Di Mana Kamu, De’Na?

²
Karya: WS Rendra
Akhirnya berita itu sampai kepada saya:
gelombang tsunami setinggi 23 meter
melanda rumahmu.
Yang tersisa hanyalah puing-puing belaka.
Di mana kamu, De’Na?
Sia-sia teleponku mencarimu.
Bagaimana kamu, Aceh?
Di TV kulihat mayat-mayat
yang bergelimpangan di jalan.
Kota dan desa-desa berantakan.
Alam yang murka
manusia-manusia terdera
dan sengsara.

Di mana kamu, De’Na?


Ketika tsunami melanda rumahmu
apakah kamu lagi bersenam pagi
dan ibumu yang janda
lagi membersihkan kamar mandi?

De’Na, kita tak punya pilihan


untuk hidup dan mati.
Namun untuk yang hidup
kehilangan dan kematian
selalu menimbulkan kesedihan.
Kecuali kesedihan, selalu ada pertanyaan:
kenapa hal itu mesti terjadi
dengan akibat yang menimpa kita?

Memang ada kedaulatan manusia, De’Na.


Tetapi lebih dulu
sudah ada daulat alam.
Dan kini kesedihanku yang dalam
membentur daulat alam.
Pertanyaanku tentang nasib ini
merayap mengitari alam gaib yang sepi.
De’Na! De’Na!
Kini kamu jadi bagian misteri
yang gelap dan sunyi.
Hidupku terasa rapuh
oleh duka, amarah, dan rasa lumpuh.
Tanpa kejernihan dalam kehidupan
bagaimana manusia bisa berdamai
dengan kematian?

Karena Kasihmu
Karya: Amir Hamzah

Karena kasihmu
Engkau tentukan waktu
Sehari lima kali kita bertemu

Aku anginkan rupamu


Kulebihi sekali
Sebelum cuaca menali sutera

Berulang-ulang kuintai-intai
Terus menerus kurasa-rasakan
Sampai sekarang tiada tercapai
Hasrat sukma idaman badan

Pujiku dikau laguan kawi


Datang turun dari datuku
Diujung lidah engkau letakkan
Piatu teruna di tengah gembala

Sunyi sepi pitunang Poyang


Tadak meretak dendang dambaku
Layang lagu tiada melangsing
Haram gemerencing genta rebana
Hatiku, hatiku
Hatiku sayang tiada bahagia
Hatiku kecil berduka raya
Hilang ia yang dilihatnya

Puisi untuk Guru


Karya: Muhammad Yanuar

Engkau bagaikan cahaya


Yang menerangi jiwa
Dari segala gelap dunia
Engkau adalah setetes embun
Yang menyejukkan hati
Hati yang ditikam kebodohan
Sungguh mulia tugasmu guru
Tugas yang sangat besar
Guru engkau adalah pahlawanku
Yang tidak mengharapkan balasan
Segala yang engkau lakukan
Engkau lakukan dengan ikhlas
Guru jasamu takkan kulupa
Guru ingin kuucapkan
Terima kasih atas jasamu

Kepada Kawan
Karya : Chairil Anwar
Sebelum ajal mendekat dan menghianat
Mencengkam dari belakang ketika kita tidak melihat
Selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa
Belum bertugas kecewa dan gentar belum ada
Tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam
Layar merah berkibar hilang dalam kelam
Kawan, mari kita putuskan kini di sini
Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri

Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kuncup perempuan, tinggalkan kalau merayu
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju
Jangan tembatkan pada siang dan malam

Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat
Tidak minta ampun atas segala dosa
Tidak memberi pamit siapa saja

Jadi
Mari kita putuskan sekali lagi
Ajal yang menarik kita, kan merasa angkasa sepi
Sekali lagi kawan, sebaris lagi
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu..!!

Dua Titik, Satu Garis***


Karya: Candra Malik
Pada mulanya, kita dua titik terpisah
yang oleh cinta dianugerahi mahabah.
Pada mulanya, kita adalah dua noktah
disatukan cinta agar tak lagi memisah.

Pada hakikatnya, kita hidup sesuai fitrah


lalu kepada cinta akhirnya kita berhijrah.
Hanya kepada-NYa, kita berharap sakinah.
Dalam rida-Nya, kita memohon rahmah.
Takdir telah menulis
dua titik jaadi satu garis.
Yang sudah digariskan
niscaya dipersatukan.

Terima kasih tiada terperi pada Cinta nan sejati.


Terima kasih tiada terkiran pada Rindu yang nyata.
Telah tiba pada kita yang tersurat sejak mula.
Telah dibawah oleh cinta: alasan terhebat kita dicipta.

Hampa
Karya: Chairil Anwar
Sepi di luar. Sepi menekan mendesak
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut
Tak satu kuasa melepas renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti

Sepi
Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertampik
Ini sepi terus ada. Dan menanti
Otak Sudah Ke Dengkul
Karya Chandra Malik
Jika tiba-tiba kami melawan,
itu karena lapar t’lah dibangunkan,
dan perut kami yang lengket
menagih waktu untuk cerewet.

Jika mendadak kami protes,


itu karena minum tinggal setets,
dan kantong kami yang kempes
tak kuat lagi membeli segelas es.

Jika kami serentak berdemo,


itu karena mata bosan melongo,
dan tampang kami yang bego
ingin juga berlagak sontoloyo.

Jika kami bersegera kumpul,


itu karena otak sudah ke dengkul,
dan logika kami yang tumpul
tidak mau lagi dipaksa mandul.

Ingin Dicinta
Karya: Candra Malik
Ketika sendiri, siapa yang bersamamu?
Apakah sepi, ataukah Rindu?

Ketika kita bersama, apa yang kau rasa?


Apakah bahagia, ataukah derita?
Siapa di antara kita yang berbohong?
Siapa memelihara omong kosong?

Tidakkah manusia memang seharusnya memiliki cita-cita?


Tidakkah manusia selayaknya ingin dicinta?

Di Atas Meja
Karya: Joko Pinurbo
Di atas meja kecil ini
masih tercium harum darahmu
di halaman-halaman buku.

Sabda sudah menjadi saya.


Saya akan dipecah-pecah
menjadi ribuan kata dan suara.

Hujan Bulan Juni*


Karya: Sapardi Djoko Damono
tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak


dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif


dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu
Mampir*
Karya: Joko Pinurbo
Tadi aku mampir ke tubuhmu
tapi tubuhmu sedang sepi
dan aku tidak berani mengetuk pintunya.
Jendela di luka lambungmu masih terbuka
dan aku tidak berani melongoknya

Ranjang Ibu*
Karya: Joko Pinurbo
Ia gemetar naik ke ranjang
sebab menginjak ranjang serasa menginjak
rangka tubuh ibunya yang sedang sembahyang.
Dan bila sesekali ranjang berderak atau berderit,
serasa terdengar gemeretak tulang
ibunya yang sedang terbaring sakit.

Bayi di Dalam Kulkas*


Karya: Joko Pinurbo
Bayi di dalam kulkas bisa
mendengarkan pasang-surutnya angin,
bisu-kelunya malam, dan kuncup layunya
bunga-bunga di dalam taman.
Dan setiap orang yang mendengar tangisnya
mengatakan, “Akulah Ibumu. Aku ingin
menggigil dan membeku bersamamu.”

“Bayi, nyenyakkah tidurmu?”


“Nyenyak sekali, Ibu. Aku terbang
ke langit, ke bintang-bintang, ke cakrawala,
ke detik penciptaan berssama angin
dan awan dan hujan dan kenangan.”
“Aku ikut. Jemputlah aku. Bayi.
Aku ingin terbang dan melayang bersamamu.”

Lagu Duka*
Karya: WS Rendra
Ia datang tanpa mengetuk lalu merangkulku
adapun ia yang licik bernama duka.
Ia bulan jingga neraka langit dadaku
adapun ia yang laknat bernama duka.
Ia keranda cendana dan bunga-bunga sutra ungu
adapun ia yang manis bernama duka.
Ia tinggal lelucon setelah ciuman panjang
adapun ia uang malang bernama duka.

Candi
Karya sanusi pane
Engkau menahan empasan kala,
Tinggal berdiri indah permai,
Tidak mengabaikan serangan segala,
Megah kuat tidak terperai.

Engkau berita waktu yang lalu,


Masa Hindia masyhur maju,
Dilayan putra bangsawan kalbu,
Dijunjung tinggi penaka ratu.

Aku memandang suka dan duka


Berganti-ganti di dalam hati,
Terkenang dulu dan waktu nanti.
Apa gerangan masa di muka
Jadi bangsa yang kucinta ini?
Adakah tanda megah kembali?

Anda mungkin juga menyukai