Anda di halaman 1dari 22

UAS DAN RIMBAUD

I wait gluttinously for God. I have been of an inferior race for ever and ever.

Aku takut pada dunia dan selalu sedikit pencemburu. Tapi aku juga pecinta hidup dengan semua tetek
bengek keindahan dan keseimbangannya, Aku seorang lembut yang gemar menusukkan pisau ke hati
kekasihku dan menari dengan rasa cinta. Aku adalah non-dualitas di dalam penjara dunia satu dimensi
yang memuakkan. Namun aku tak pernah memiliki keberanian untuk mengatakan siapa diriku
sebenarnya. Semua ini terjadi karena dunia, karena hidup yang tak pernah kupilih. Semua ini salah
mereka, para penumpang bahtera Nuh, pemberhala bahasa; semua orang harus tahu, bahwa dunialah yang
patut disalahkan, bukan diri kita. Sekarang, singkirkan kabut-kabut di atas kepalaku, mereka bertengger di
sana terlalu lama, aku jadi mau muntah. Aku tahu jalan keluar, hanya aku yang tahu, untukku seorang,
sementara kalian harus mencarinya sendiri: aku harus keluar dari lorong bahasa dan melampaui
skizofrenia.

Mungkin juga tak seperti itu? Atau mungkin aku hanya seorang pengecut yang punya banyak mimpi?
Mungkin aku adalah penjara dari keinginanku.

Skizofrenia cepat! cepat! Perlihatkan wujudmu! Sebelum semuanya terlambat, sebelum semuanya pekat
dan terlelap.

I have withered within me all human hope. With the silent leap of a sullen beast, I have downed and
strangled every joy.

Ketika setiap detik detak jantungku berdebar tiga kali, entah aku adalah seorang pengecut atau hanya
manusia yang secara genetik lemah. Aku adalah pemakan sampah hasrat dunia yang berkali-kali telah
mati dan hidup kembali. Sekali waktu aku pernah bertanya kepada dunia, aku bertanya mengenai segala
hal–tentang mengapa aku hidup? Dunia menjawab semuanya, tak ada satu pun pertanyaan yang belum di
jawab. Dan aku, kembali menundukan kepalaku, mengerutkan dahi, mendesahkan sesal. Untuk kesekian
kalinya aku kecewa kepada dunia. Aku kecewa kepada hasrat, aku kecewa pada mimpi.

I'm out of the world, that's sure. Not a single sound. My sense of touch is gone. Evenings and mornings,
nights and days... How tired I am !

Aku telah meludahi surga dan kecewa pada neraka, aku menganugerahi diriku sebagai satu di antara
jutaan pembunuh tuhan. Aku adalah orang yang sama seperti kalian, bedebah! Hanya saja mulutku selalu
ingin memiliki api, panas abadi. Anganku selalu khawatir akan jam-jam kematianku, detik-detik di mana
harapan hangus dibantai batas. Ini adalah kuburanku, peti mati beraroma bunga, di mana diriku akan
dikunyah cacing-cacing dan dikoyak-koyak sampai tulang belulang. Aku menginginkannya, sekarang!
Tusuk aku dengan pisau tajam atau bakar saja aku hidup-hidup. Aku ingin sesuatu yang tak kuinginkan.
"Hey wajah sendu", aku berkata pada diriku sendiri, "pulanglah, kembalilah pada ketidaktahuan."

Ya Tuhan, kasihanilah diriku, lindungi aku, aku sama sekali tidak dapat mengendalikan diriku. Aku
telanjang di sini, sembunyikan aku.

I was right in everything I distrusted: because I am running away!

I am running away!

Seketika aku lupa, hari-hari esok, kemalangan demi kemalangan menungguku dan aku sudah menyerah,
aku sudah ingin lari. Tapi aku bukan pengecut, aku hanya tidak menginginkannya. Hari ini aku sedikit
cemas, sedikit was-was, sedikit terjegal kecewa, sedikit sekali keinginan untuk mati dan hidup. Waktuku
selalu seperti ini.

The song of the heavens, the marching of nations ! We are slaves, let us not curse life !
UAS hari ini, hari pertama. Agama yang akan digeluti. Seorang birokrat kampus berkata "Buat perincian
pendapatan orang-tuamu dan permohonan." Tak lama berselang seorang gadis bermata sipit, dengan
wajah agak gugup, menghampiriku dan bertanya "Kamu juga barusan mau ngambil kartu UAS ya? Aku
mengiyakan dan menjelaskan semuanya. Lalu kami berdua tertawa–aku mewarnai tawa dengan gelak
tawa kosong, tapi dia tertawa dengan penuh arti. Dia menyadari dan berpendapat bahwa aku lebih sial
dari dirinya, dan dia benar. Kulihat si gadis sipit mengambil kertas dari loket. Wajahnya berubah cerah,
seperti pagi dan pohon-pohon tua yang kita lewati. Aku melangkah cepat, dan dia memperhatikanku. Aku
pergi meninggalkan kewajiban menuju "ketidaktahuan" dan dia pergi menuju kepastian.

Esok pagi di jam yang sama. Aku yakin aku akan berjalan menuju kepastian. Kepastian yang sekali lagi
tak pernah kuinginkan.

And as the Damned soul rises, so does the fire.


ODE UNTUK HUJAN

Cahaya melintas melewati tiap pintu hari. Meraba-raba pelan dan mendendam, memekik parau di tiap
perjamuan syahdu. Jendela-jendela zaman. Tirani derai cuaca. Atmosfer gelap menyerap, jejak-jejak
cahaya. Renungan langit dan kidung yang bersenandung. Laut adalah fitrah bagi tarian mimpi para
pendendam sunyi. Kera-kera fana melempar batu, mengais kepingan surga dan mengganti lukisan goa
menjadi bahasa. Proposal kisah-kisah Herodotus, mantra para dewa-dewi masa kini, lampau, dan masa
depan. Wasiat lahiriah kera-kera yang terbang di angkasa. Mata-mata layu, melengkapi kisah yang
bermula dari dosa asal. Produksi air mata-air mata, mengalir deras antara lintasan birahi dan rasa. Pintu-
pintu hati tertutup, pintu-pintu hari terbuka, gerbang waktu menderit, memegang perintah. Lihatlah,
pandangan terhalang tembok-tembok gabus, pedang bermata dua itu, bahasa dan cahaya pagi menyelinap
di antara sirap-sirap yang terpecah dalam kamar sejuta bara derita.

Dari kejauhan, mata menatap mata yang menatap. Sisifus jadi waktu dan ramai itu pun hanyalah sunyi.
Rintik-rintik dan gumpalan awan gelap tak lagi memahami daratan yang mereka basahi.
SORE DAN TERALI

Di dunia yang kecil ini, kau bisa mendengar nyanyian harapan. Terkadang suara itu merdu meski
menyimpan lara atau datar dan tak bernada, sesuai dengan nuansa dunia ini. Duka dapat dilihat setiap
saat. Tidak dalam tangisan atau keluhan, duka selalu hadir di setiap tawa yang berlangsung sementara,
mata yang berbinar–meredup, impian yang tersadarkan oleh dinding dan terali.
PALSU

Tempat tidur putih steril dengan bed cover tebal dan ac yang dingin. Pintu tak berkunci yang berbunyi,
anak tangga menuju lantai bawah, vertikal, tanpa emosi merayap di antara dinding-dinding putih.
Bulunya berwarna emas, tubuhnya panas beraroma liur yang ia jilat ke bulunya tiap saat, ia tidur di situ,
di bawah anak tangga, menunggu hari sama seperti kemarin. Dan pagi itu kemudian sirna, berganti
malam, tanpa lukisan nadi yang mengambang di udara, tanpa deru angin yang berkelebat menggoyangkan
fitrah. Tubuh ini hampir mati. Di depan sofa empuk, vagina basah yang lecet, dan desahan kesakitan, kian
mirip seperti air putih. Tawar. Seperti ciuman pagi. Dilengkapi kotoran gigi, kumeraih tubuhnya, tubuh
mereka, tubuh siapa saja dan mengeksplorasi birahi. Nafsu seperti ombak yang surut, meninggalkanmu
ketika kau menyentuhnya, walau tampak terus mendaki ke atas. Tapi lama kelamaan turun, menghilang,
membuka ruang-ruang kering yang semula basah. Nafsu pergi bersama rakusnya birahi. Nafsu yang
kehilangan daya vulkanis. Hambar. Tanpa buaian, gelombang, goyangan. Penis mencoba berlogika
namun mabuk dalam pesta.

Kereta jam enam sore berangkat menuju Bandung. Menyusuri rel-rel berkarat, melalui terowongan,
melampaui jembatan. Dan, Stasiun Hall malam hari, tempat orang-orang berlalu lalang pergi atau hanya
berdiri senyap bersama ingatan. Seperti pagi itu, pria berkaca mata berdiri sendirian di samping rel, di
belakangnya seorang lelaki sibuk berbicara dengan bahasa sunda pada telepon genggam. Argo Gede dari
Jakarta baru saja tiba dan seorang perempuan kulit putih, bertubuh langsing, berambut pirang itu keluar
dari kereta. Pelan-pelan sambil menenteng dua tas kecilnya ia menghampiri lelaki muda berkaca mata
yang kuceritakan sebelumnya. Dan keduanya bertegur sapa, tak kukira akan semesra itu, si pirang
memeluk pria itu dan mencium bibirnya, dari senyumannya yang lebar, aku langsung tahu, bahwa mereka
sudah lama tidak bersua dan saling menuai rindu saat itu. Udara sedang dingin-dinginnya, iseng
kubayangkan, apa yang akan mereka lakukan, makan malam atau seks? Sementara pria yang sibuk
dengan telepon genggamnya berjalan mondar-mandir, tampak tanpa arah, menenteng tas kecil berbahan
kulit, ia tampak gugup. Aku bertanya pada diriku sendiri, apa yang sedang direncanakan nasib pada orang
ini? Seperti detik yang terus berputar, ia tampak gesit, semua harus tepat waktu. Tak boleh salah
perhitungan, kalau tidak, semuanya bisa berantakan, seperti kotak pensilku yang tumpah ruah di depan
kelas saat aku harus berdiri dengan satu kaki membelakangi papan tulis. Terlambat masuk, kata guruku,
dan ganjarannya di permalukan di depan kelas.

Dan malam ini aku punya tiga janji, aku masih tak yakin mana yang harus kutepati. Apakah yang itu atau
ini. Apakah yang tersenyum pergi atau yang meratap menangis, atau yang senyumnya tak bisa kumaknai,
tak terbaca, misterius? Aku benci kata itu. Menurutku, permukaan selalu menipu, karena semua orang itu
selalu merasa tak nyaman dengan dirinya sendiri. Aku bisa melihat lukisan dadais di tiap goresan maskara
dan lipstik di permukaan kulitnya, seperti lelucon, ironi atau karya Hanna Hoch? Mungkin kecantikan,
sekarang ini adalah alat balas dendam dari kaum perempuan setelah berabad-abad diperlakukan seperti
halnya hewan ternak? Dan vodka penghangat malam, bagi para pemalu. Sebelum menuju apertemennya,
kubeli dua botol bir. Kuketuk pintunya dua kali dan dari dalam ia berteriak: "5 menit!"

Tak lama ia membuka pintu, yang pertama kali kuperhatikan adalah kerapihan kamarnya dan kedua
adalah kaki dan pahanya yang mulus, celana pendek merah seksi dan kemeja katunnya yang tipis. Ia
memakai make-up, wangi tubuhnya bisa tercium sampai luar. Setengah jam kemudian ia berteriak sangat
kencang dan berkata padaku kalau itu "adalah orgasme paling hebat yang pernah ia rasakan." Aku
meragukannya, tentu saja, segala sesuatu tentang kediriannya itu palsu, tapi memang teriakannya itu
terlalu keras untuk ukuran apertemen di Graha Ciumbeleuit. Sebulan kemudian aku melihatnya di sampul
majalah musik ternama, dia menikah dengan gitarisnya. Aku memutuskan beberapa hubungan intim
dengan beberapa perempuan. Ketika kulihat wajahnya bersama sang suami di sampul majalah, yang
kuingat hanya satu, percakapan setelah ia mengalami tiga kali orgasme, begini katanya:

"Kamu buang di dalem ya?"

"iya"

"Aku belum pernah kayak gini sebelumnya (selingkuh, maksudnya), kamu yang pertama."

"Iya, aku juga belum pernah kayak gini sebelumnya."

"Aku sudah punya tunangan dan aku tahu kamu sudah punya pacar."

"Iya." (Aku benar-benar kehabisan kata-kata)


OMBAK MENGGULUNG SENJA PERLAHAN-LAHAN

Ada keheningan di setiap riak

Bersatu dengan cahaya yang menggelap

Perlahan-lahan melahirkan kehidupan

Membungkus gelap di dalam terang

Menjumpai enggan lalu terangsang

Akhirnya menyanyikan sepi

Di tengah tawa nyaring

Berapa lamakah kita akan menanti ketidakpastian

Jarum jam terus berputar dan kita berada di antaranya

Terombang-ambing bersama fluktuasi

Nada dan sepi

Hidup memantul seperti cahaya bulan di atas danau

Kemilau menerangi mimpi kita

Sampai akhirnya kita terbangun

Untuk menjumpai mimpi-mimpi yang lain


SELESAI. ULANGI. SELESAI.

-------------------------

Sudah berakhir, bukan? Sudah. Raut wajahmu memperlihatkan keteguhan. Bahwa kau yakin noda yang
telah mengganggu sekian lama ini pantas kau singkirkan. Tak ada lagi yang patut dipertahankan. Tak ada
satu pembelaan juga kesempatan. Sekarang, tinggal aku yang menatap dinding. Aku yang memukul-
mukul tembok hampa, meraba kesunyian dalam kepatahan, dalam kemarahan. Kenapa aku harus marah,
bukankah ini yang kucari? Adrenalin rasa yang kueksplorasi, seperti semesta yang ingin kurengkuh
namun terlalu luas, terlalu besar untuk tubuh dan hatiku yang kecil. Bisakah kau menahan gelora yang
membuncah seperti amarah vulkanis? Bisakah kau singkirkan sore yang kelu dan kelabu, penuh awan
hitam, hujan dan badai? Bisakah kau menahan ombak Calypso yang biru menghitam, mengombang-
ambingkan jiwamu hingga berlarut-larut, seakan-akan daratan takkan pernah tergapai, dan badai takkan
pernah mereda.

Dan Odysseus pun hanyut di lautan, tenggelam ke dalam dasar laut. Dengan mata yang terbelalak, ia
berusaha menyimpan ingatannya tentang kepulangan. Meski hanya dalam ingatan: Ithaca yang tak pernah
tersentuh waktu.
LITOS

Waktu, katanya, dapat menyembuhkan luka. Mungkinkah luka yang kurasakan sebenarnya bukanlah luka
yang membuatku menderita? Kuakui, aku kecanduan bermain-main dengan luka dan aku sama sekali
tidak berniat untuk menyembuhkannya.

Aku ingin luka itu meradang

Dan ketika saatnya tiba

Aku akan mengutuknya!


RIUH

Malam ini hening


Kulitku terasa lembut kapas
Mataku mengantuk, namun enggan terpejam

Malam ini hening


Ada rasa tanggung menyelimuti perasaan
kulihat bayanganmu yang pergi kala sore didera hujan
Menyimpan tanya

Malam ini hening


Tubuhku hangat
Si kecil kali ini menyisakan rasa gundah yang hampir tak terbendung
Dan aku berusaha untuk tak menyimpan duka

Malam kian hening


Tapi aku tak sendiri
Ada suara riuh di sepanjang koridor hampa
Tawa. Tangis. Impian yang patah dipasung terali

Malam ini hening


Aku tak ingin tidur
Pikiranku berkelana, ke sana kemari.
Ah..mungkin ini saatnya membaca buku
Biar hening semakin mendera
BERSERAH

Deru ombak menyapu ingatan bulir-bulir pasir


Menarik dan mengulurnya,
Mendepak dan menyambutnya
Dan hidup masih terjaga utuh,
Oleh dia yang terbenam dan merekah
Ketika gelap lautan mulai mengubah
Warnanya jadi kilau-kilau permata

Di tepi horizon burung-burung bejibun meribut


Menyadari perputaran fitrah,
Menandakan kepulangan,
Kepergian,
Dan sirna perlahan menyambut

Gelap dan terang bukanlah perkara


Darah menetes menyuburkan tanah
Kegeraman pada ketiadaan hanyalah sia-sia
Biarkan burung-burung berbunyi
ombak malu-malu menghilang
dan ketika semuanya harus berhenti
Bernyanyilah!
Bersukacitalah!
Relakan saja
Bila bumi telah lelah berputar
Nightmare

I keep dreaming about you, deep twisted dreams from which I wake up dazed and confused, always
unsure if it was a dream or not, you seem to live in another time and space, I have the feeling I have to go
there soon, before the bridge burns and the gate closes, wait for me on the other side, keep your foot
between the door, dream about me too, my angel, I will pacify you.
Nothingness

When you’re living

You’d feel

That the world

Is always

Revolves

around you

and yet

it seems

to have always

forgotten

you
The City of Normal and Realistic People

The jammed traffic. Foggy sky of the half-hearted sun. And sweaty pores flowing through every nervous
heart. Sidewalks filled with the suit and tie people, women with stockings and fabulous makeups, street
vendors, ojek et ce te ra. Filled with hope, they’re walking through the ashes of historical bloody streets
that were once a battlefield; the empires of past, the multiracial rebels, the megalomaniac politicians,
Stalinists and coup d Etat of memories—history lost of regimes changed. And now it fulls with honks of
automobiles, chasing, what they called the modern dreams. Rivers branching with its pure water of
industrial waste where they build side by side their dreams of the road to infinity. Blessed by gods. Red
lamps. Yellow lamps. Green lamps. Off you go. This is the land of strong citizens, physical and mental.
They teach their children to become one but not as the Spartan’s does. Not with wisdom of heart and will
to power to seek a real cause, but how to conform and how to breathe and stomping each other faces. The
modern battle where they make Achilles a statue of mockery. Sword and spear are ancient weapons, its
decomposing. The ruins of the temple of the sun. A damp city of lights. The spectacle prevailed and the
underground banished.

In a crowded bus, stinks and perfume were mixed, a ‘fine’ combination of lost dreams. The youth is
dying, poisoned in the concentration camps of exams and grade system. A joy division! Remember the
Jews, shall we—the Wall Street or the Maltese Falcon, if you believe in a conspiracy theory that is. In the
office of fortunate people, there are some well-off people goes to Mecca during their leave. The pianist of
the church, the good Christian worker goes to Jerusalem so as to ensure their real estate in heaven. Bad
girls wore tattoos, sexy mini dress, and the executives will treat them, for their sensual and wild images—
the commodification of sexual fetishism. The frigid lonely lady looking through the windows from the
40th floor, she wishes she can fly, escape from the cold walls and empty air-conditioned life: she wants a
piece of pie in heaven when she dies though.

Car honks again, again, and again. The trucks and buses rushing. The motorcycles racing, some alone,
some with their children, some were dying, some were glad, some were pissed-off. And rats populating
themselves, the cockroaches, even though they’ve been massacred everywhere. But they say, it's just the
way it is. Don’t look away, don’t look back, stay in the front, try! As Chicken Soup for the Soul will
make you a spiritualized urbanist with a strong mentality—sensitivity is foolish. Lamenting citizen of
loyal nationalist stays in the wretched, the suburban slums of normalcy, apathetic eyes and ears sitting in
the front of a television set. When the flood filled their houses, they will create a canoe, God gave them a
Venice of their own. Hallelujah! Bismillah! Noah blessed us! The unfortunate rebels of immigrants
destined to be domesticated:.

“This is not the 19th century in Europe, wake up! Or Paris 68, are you joking me?” Some bravado middle
class saying.

“Let's make a project. Let's make a free education. Let's make a populist one. We can invite some
specialists. We can seek donor. Forget those radicals. We do things, they’re just talking! Against the
state? Against institutionalize religion? Burning cars? Destroying malls? Dude, what about my car? I love
my parents, they gave me what I want, they even send me to school abroad. I have to be thankful for
them.” Some well-off female band singer of a rare voice saying’, “I want to pay my gratitude to them,
someday. Why don’t we make a project for the poor, to educate them, to ensure them that they have
capabilities to face and survive this world, of misery, eh?”

And the car honks and honks again. Groups of some right-wing fundamentalist group held a gathering,
causing a traffic jam. In the palace of power, the leaders strategizing. In the slums, the Moslem preaching
about the eradication of immorality. The army leaders smile. And the paramilitary sits on every corner,
police on the watch, security sleeps in their post. The laws made. And street kids ambushed. The farmers
evicted. The loyal workers fired. A mother and her children killed themselves. A repressed homosexual
mutilated more than 5 bodies of his lovers. And the artists prosperous. The band singer drinks expensive
wine. The faithful people obey. And the NGO’S (the activists!) sits and eat in a crab restaurant.

The new urbanist with her wife and their 5 months daughter sits on the public transportation. Looking for
a new life, their village has been destroyed. They don’t bring many things. Only two bags and some
money. Some youngster next to them, from a middle-class family this youngster, is, silently speaking in
his heart: “Irresponsible parents, how come they brought a person into this world when they are not yet
ready—financially, irresponsible dumb asses, I will never be like them”. And a couple of new urbanist
steps down from the public car, they carry their daughter and their bags, they were smiling each other as
if everything is mild and love is all for them.

“Idealist? This is Jakarta, you have to be cruel. Forget about your ideas, your soul. It would do you no
good. Look at me. I earned money from my own effort. I have Macbook, I can pay my rent. Anarchism
won't pay your bills, Face it!”

They are normal, sensible, and realistic these people are. They are “free” individuals. They make sense.
Their arguments won every heart. Because they are stable. Along the lonely streets or the busy passerby,
they focused. When their paycheck came, they will smile so authentic that you almost can't see what’s
more genuine than that. These responsible people, most people love them. You will love them too if they
treat you in a bar or expensive restaurant. And the dusty floor of evicted slum houses, the extinction of
forests, the eradication of all living being, the dull and empty daily lives, where love cease to exist, are
just a circulation of their sensible and realistic point of view. The city of Normal and Realistic people,
how can you not love to hate them?
Requiem

If we part,

lets pretend to die

together cease to exist

for you and I, we could not be.

Let's bury all feelings of pain of loss

in a flat and empty field

Stones commemorating who we were

weekend visits to mourn

all we wanted but could not get.

I'll lay some flowers on your grave

will you do the same for me?

Rest in peace my love

maybe if we try hard enough

underground we can take root.


An Island of the Dead Gods

I tried to give justice this island deserves into words. I tried to wrote the beauty of its landscapes.
And yet I hesitate. To repeat the same lines as it were already used elsewhere throughout history,
whether its in paintings, prose, poetry, music, or even geographical accounts, would be a waste of ink
on a paper. Yes, the sky is blue here, it is clearer than any skies of the cities I used to lived. Yes, in
the villages the air is good. Its breathable and not suffocating. Yes, it is rather magical when you
smell the burning scents, the offerings, and all the indifferent stares circling the temples. Lots of lots
of temples. All of it looks so deceiving and yet mysterious. Ah, thats the word I wanted to express:
mysterious. This land is mysterious. Its almost unreal. It’s not often that I’m intrigued by these
things. Spiritual things. I used to make fun of it. Its a hippy thing and hippies doesn’t deserve
anymore repetition in any present or future historical accounts by all means, please. Let them be
flowers that died. Let them be The Mansons. Let them eat peace. Let them have their englightenment
drugs with all that pseudo rock and roll hipster music they always brag you about. Let them have
Ginsberg and the beatniks. Let them citing Rexroth or Miller. Let them jingle all the way. Let them
have the monopoly of virtue. I’ll save the lsd and Diane di Prima for lonely nights ahead.

Okay, this is the positive vibes “eat pray love” white species wonderland. Although now it seemed to
have lost all of its energy, this island of Gods, are drained by the all consuming, greedy, stupid, and
spectacular colonial tourist. The proud bogans and crypto white supremacist goes on hunting for sex.
Take a good look at those pedophiles! One. Two. Three. Run! They continue to occupy our spaces.
Interior and exterior. We’re helpless. Not a single space left out. They even colonised our hearts and
mind. So the mystery is no more. The mysterious burned to ashes. And the ashes swept by the sea
where she broke my heart and left. And there’s nothing else to see but neon lamps of boredom. And
there’s only one languange to write. To represent. To describes. To rant and scream at the hollow
empty heart. At ease. We shall sit and meditate. Lotus. Inhale. Exhale.

And thus the tale begin.


I set my eyes at the captives of the horizon and the sun gently cowered with the seas. These little
things always reminded me of you.

Anda mungkin juga menyukai