Anda di halaman 1dari 5

Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.

com

pipinya, mengubah warnanya sangat menggiurkan. Aromanya sesuatu yang baru di otakku.
Tidak mungkin melewatinya begitu saja. Pikiranku pun mengamuk, memberontak, tak
karuan.
Langkahnya lebih cepat, seakan tahu saatnya untuk lari. Ketergesaan membuatnya
kikuk—dia tersandung, hampir menubruk kursi depanku. Rapuh, lemah. Bahkan lebih untuk
ukuran manusia.
Aku berupaya fokus pada pantulan wajah di matanya, wajah yang langsung kukenali.
Monster dalam diriku—sosok yang kukalahkan lewat kerja keras dan kedisiplinan puluhan
tahun. Betapa mudahnya sekarang muncul!
Aroma manis itu berputar di sekelilingku. Mencabik pikiranku, dan hampir membuatku
bertindak.
Jangan!
Tanganku mencengkram ujung meja, menahanku tetap duduk. Kayunya tidak cukup
keras. Serat kayunya lantak jadi bubuk, meninggalkan bentuk jari terpahat dibalik meja.
Hilangkan bukti. Itu aturan dasar. Aku cepat-cepat memipis dengan ujung jari,
meninggalkan coakan dan serbuk di lantai. Kusingkirkan dengan kaki.
Hilangkan bukti. Korban yang tidak terelakan...
Aku tahu akan tiba waktunya. Gadis itu akan duduk di sampingku. Dan aku harus
membunuhnya.
Penonton tak bersalah di kelas ini, delapan belas murid dan seorang guru, akan
menyaksikannya.
Kubuang jauh pikiran itu. Bahkan saat kondisiku lebih buruk, aku tidak sekeji ini. Aku
belum pernah membunuh orang tidak bersalah. Tidak selama delapan puluh tahun. Dan
sekarang aku merencanakan pembantaian dua puluh orang sekaligus.
Sosok monster itu membuatku muak.
Sebagian diriku gemetar, sebagian lagi menyusun rencana.
Jika kubunuh gadis itu duluan, aku cuma punya waktu lima belas detik sebelum seisi
ruangan panik. Mungkin sedikit lebih lama, jika mereka tidak menyadari yang sedang
kulakukan. Dia sendiri tidak punya waktu untuk menjerit atau kesakitan; aku tidak akan
membunuhnya dengan kejam. Cuma itu yang bisa kuberi pada monster dalam diriku,

11
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com

darahnya yang menggiurkan.


Tapi kemudian aku mesti mencegah mereka lari. Tidak ada masalah dengan jendela,
terlalu tinggi dan kecil untuk dilewati. Hanya pintu—halangi dan mereka terperangkap.
Sedikit lebih sulit menghabisi mereka ketika panik dan berhamburan. Bukan tidak
mungkin, tapi terlalu berisik. Akan ada banyak jeritan. Seseorang akan mendengar...dan
terpaksa membunuh lebih banyak lagi.
Dan darahnya akan mendingin.
Aromanya menghantamku, menutup kerongkonganku dengan rasa sakit...
Maka saksinya lebih dulu.
Aku memetakan di kepalaku. Aku di tengah ruangan, di deretan terbelakang. Kuhabisi
dulu sisi kanan. Bisa kupatahkan empat atau lima leher perdetik, begitu taksiranku. Tidak
akan terlalu ribut. Mereka beruntung; tidak menyadari yang terjadi. Kemudian berputar di
depan lalu menghabisi sisi sebelah kiri. Itu akan makan waktu, paling tidak, lima detik untuk
menghabisi seisi ruangan.
Cukup lama bagi Bella Swan menyaksikan, sekilas, apa yang akan menimpanya. Cukup
lama untuk ngeri. Cukup lama, jika syok tidak membuatnya membeku, untuk membuatnya
menjerit. Satu jeritan halus yang tidak akan memanggil siapa-siapa.
Kutarik napas panjang. Aromanya bagai api yang berpacu di pembuluh darahku yang
kering, membakar keluar dari jantungku, dan menghabiskan setiap sisi baik dalam diriku.
Dia baru saja membelok. Dalam beberapa detik, dia akan duduk dekatku.
Monster di kepalaku tersenyum.
Seseorang menutup bukunya dengan keras. Aku tidak melihat siapa manusia terkutuk
itu. Tapi gerakannya mengirim gelombang kenormalan. Udara bersih terhembus ke mukaku.
Dalam satu detik yang singkat, pikiranku kembali jernih. Dalam detik yang berharga
itu, aku melihat dua wajah bersebelahan.
Satu adalah diriku, atau lebih cocok: monster bermata merah yang telah membunuh
banyak orang. Membenarkan pembunuhan itu. Algojo para pembunuh yang membunuh
sesamanya, para monster yang tidak terlalu berbahaya. Itu memang berlagak seperti Tuhan;
kuakui itu—memutuskan siapa yang pantas dihukum mati. Cuma itu pembelaan lemahku.
Aku telah merasakan darah manusia, tapi hanya secara harafiah. Semua korbanku, tidak lebih

12
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com

manusia daripada ku.


Wajah yang lain adalah Calisle.
Tidak ada kemiripan diantara keduanya. Bagai terang dan langit gelap.
Tak ada alasan untuk mirip. Carlisle bukan ayah biologisku. Kami tak memiliki ciri-ciri
serupa. Kesamaan warna kulit cuma kekhasan untuk mahluk seperti kami; setiap vampir
memiliki kulit pucat sedingin es. Kesamaan warna mata adalah hal yang lain—cermin dari
gaya hidup bersama.
Tetap saja, walau tanpa kemiripan dasar, wajahku telah mencerminkan dirinya, sampai
tingkat tertentu, setelah tujuh puluh tahun berhasil mengikuti pilihan hidupnya.
Penampakanku tidak berubah, tapi sepertinya kebijakannya telah membentuk diriku.
Kasihnya terlihat pada bentuk mulutku. Kesabarannya terlihat pada alisku.
Semua itu kini tergantikan oleh sosok monster. Dalam sekejap, tidak ada yang tersisa
dari jejak penciptaku, guruku, ayahku dalam segalanya. Mataku akan semerah iblis; segala
kemiripan akan lenyap selamanya.
Dalam pikiranku, mata lembut Carlisle tidak menghakimi. Aku tahu ia akan
memaafkan tindakan mengerikanku. Karena dia menyayangiku. Karena pikirnya aku lebih
baik dari itu. Dan ia akan tetap menyayangiku, bahkan setelah kutunjukan dia salah.
Bella Swan duduk di sebelahku, gerakannya canggung—agak takut? Bau darahnya
mengembang dalam gumpalan awan yang tidak dapat ditolak lagi.
Akan kubuktikan ayahku salah. Kenyataan ini sama menyakitkannya dengan api yang
membakar kerongkonganku.
Aku menjauh darinya—memberontak dari monster yang ingin segera menerjangnya.
Kenapa dia harus datang? Kenapa dia harus hidup? Kenapa dia harus merusak setitik
kedamaian dari ke tak-hidupanku? Mengapa pengganggu ini dilahirkan? Dia akan
menghancurkanku!
Aku membuang muka. Tiba-tiba kebencian meliputiku.
Siapa mahluk ini? Kenapa aku, kenapa sekarang? Kenapa aku mesti kehilangan
segalanya hanya karena ia kebetulan memilih tinggal di kota ini?
Kenapa ia harus datang kesini!
Aku tidak mau menjadi monster! Aku tidak mau membunuh seisi kelas ini! Aku tak

13
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com

ingin kehilangan segala yang berhasil kuraih lewat pengorbanan dan penyangkalan seumur
hidup!
Aku tidak mau. Dan dia tidak bisa memaksaku.
Bau adalah masalahnya, bau mengundang darahnya. Jika ada cara melawannya...jika
saja sapuan angin segar menjernihkan pikiranku.
Tiba-tiba Bella Swan menggerai rambut panjangnya yang berwarna mahoni
kesampingku.
Apa dia gila? Itu sama dengan menyemangati sang monster! Menggodanya.
Tidak ada lagi hembusan yang bisa mengusir wanginya. Sebentar lagi semua akan
hilang.
Tidak, tak ada lagi angin yang membantu. Tapi, aku tidak harus bernapas.
Kuhentikan aliran udara di paru-paruku; sedikit lega, tapi masih jauh dari aman. Aku
masih memiliki ingatan aromanya, rasanya di belakang lidahku. Aku tidak mampu
menahannya terlalu lama. Tapi mungkin bisa untuk satu jam. Satu jam. Cukup untuk keluar
dari ruangan penuh korban ini. Korban yang tidak seharusnya jadi korban. Jika aku bisa
mehannya selama satu jam.
Ini tidak nyaman, tidak bernapas. Tubuhku tidak memerlukan oksigen, tapi itu
berlawanan dengan instingku. Aku mengandalkan penciuman lebih dari indra lainnya ketika
tertekan. Jadi penuntun ketika berburu. Itu adalah alarm awal ketika muncul bahaya. Aku
belum pernah menemui situasi yang sangat berbahaya, tapi kewaspadaan kami melebihi
manusia.
Tidak nyaman, namun dapat diatasi. Lebih dapat ditahan daripada mencium baunya
tanpa menenggelamkan gigiku pada kulitnya yang tipis, tembus pandang, menggiurkan, dan
kemudian merasakan basahnya, hangatnya, denyut—
Satu jam! Hanya satu jam. Aku tidak boleh memikirkan itu.
Gadis itu membiarkan rambutnya melewati bahu. Aku tidak bisa melihat wajahnya,
untuk membaca emosinya lewat mata jernihnya yang dalam. Apa itu alasannya menggerai
rambut? Menyembunyikan matanya dariku? Karena takut? Malu? Untuk menyimpan
rahasianya?
Namun kejengkelan karena tidak mampu membaca pikirannya tidak sebanding dengan

14
Diterjemahkan dari: www.stepheniemeyer.com

kebutuhan—dan kebencian—yang melanda kini. Betapa bencinya aku pada wanita lemah
kekanakan disampingku ini. Membencinya dengan segenap rasa, sebesar seluruh tekadku,
kecintaanku pada keluaragaku, anganku untuk menjadi lebih baik... Membencinya.
Membenci bagaimana ia membuatku seperti ini—itu sedikit membantu. Ya, kemarahanku
tadi masih kurang, tapi itu membantu. Jadi sebaiknya fokus pada emosiku agar tidak
membayangkan mencicipi dia...
Benci dan marah. Gusar. Apa satu jam akan lewat?
Dan ketika satu jam berakhir... ia akan meninggalkan ruangan. Lalu apa yang
kulakukan?
Aku bisa memperkenalkan diri. Hai, namaku Edward Cullen. Boleh kutemani ke kelas
berikutnya?
Dia akan mau. Itu sesuatu yang sopan. Meskipun takut, ia akan mengikuti. Cukup
mudah menyesatkannya. Batas luar hutan tidak jauh dari parkiran. Aku bisa beralasan
ketinggalan buku di mobil...
Apakah ada yang menyadari aku bersamanya? Sekarang hujan, seperti biasa, dua orang
bermantel berjalan di parkiran tidak akan mencurigakan.
Kecuali aku bukan satu-satunya yang seharian ini memperhatikan dirinya—meskipun
tidak seorangpun sewaspada diriku. Mike Newton, terkecuali, dia cukup penasaran dengan
kegelisahan Bella—dia tidak nyaman di dekatku, seperti yang lainnya, sebelum aromanya
merusak segalanya. Mike Newton akan tahu jika dia pergi denganku.
Jika mampu satu jam, bisakah dua jam?
Kusentak rasa terbakar yang perih ini.
Dia akan pulang ke rumah kosong. Sherif Swan bekerja seharian. Aku tahu rumahnya,
seperti kutau setiap rumah disini. Rumahnya di pinggir hutan. Tanpa tetangga. Bahkan jika
sempat berteriak, yang sangat mustahil, tidak akan ada yang mendengar.
Itu cara yang lebih bertanggung jawab. Aku tahan puluhan tahun tanpa darah manusia.
Jika menahan napas, aku bisa tahan dua jam. Dan saat ia sendirian, tidak ada orang lain yang
terluka. Dan tidak perlu terburu-buru menikmatinya, monster di kepalaku setuju.
Meskipun aku membenci dirinya, aku tahu itu tidak beralasan. Aku tahu yang kubenci
sebenarnya adalah diriku sendiri. Dan aku akan lebih membenci kami berdua ketika ia mati.

15

Anda mungkin juga menyukai