Anda di halaman 1dari 4

Andai Aku Bukan Perempuan

Mayat hidup mulai bangkit dari pembaringan, matanya sembab dengan


lelehan air mata yang membanjiri pipi, bibirnya bergetar. Langkahnya tidak
terarah sesekali ia berpegangan pada dinding untuk menyeimbangkan
tubuhnya. Semalaman matanya tak pernah terlelap, menahan sakit di sekujur
tubuh.

Mayat hidup itu adalah aku. Dengan luka lebam dihati yang sedari dulu
membabi buta namun aku hanya bungkam atas dasar sebuah pemakluman dan
semuanya akan kembali seperti tak terjadi apa-apa.

Pagi yang suram, aku berdiri menghadap sebuah cermin yang yang
tergantung pada tembok berwarna biru menjadi warna yang mendominasi
ruangan 4 x 6 meter itu. “perempuan malang,” gerutuku dalam hati. Akulah
perempuan yang tak pernah meminta dilahirkan sebagai seorang perempuan,
harus terlahir memiliki lubang vagina pemuas hasrat kaum laki-laki. Mataku
mulai menjajaki sekujur tubuhku yang nampak hanyalah luka dan sebentar lagi
aku akan mati dan menjdi mayat sungguhan.

Saat ini diriku seakan ditarik mundur oleh waktu, melinting ke masa
lalu awal pertemuanku dengan sosok laki-laki yang akrab ku sapa Arif.
Terbanting dan tercelentang tepat pada awal mula penderitaan ini.



Kurang lebih satu tahun waktuku kuhabiskan untuk mencintai seorang


laki-laki yang mungkin saja sebentar lagi ia akan kerumah ku bukan untuk
melamarku seperti janji manis yang ia ucap ketika sedang di mabuk cinta
denganku, melainkan untuk mengunjugi jasadku terakhir kalinya. Dia laki-laki
yang manis memiliki tahi lalat tepat di pelipis kanannya, ia juga sangat
revolusioner, matanya bulat dengan tatapan yang tajam. Ia pula merupakan
seniorku dikampus. Namun rasa bahagia itu tak beralangsung lama. Ketika
dirinya merasa memiliki kuasa atas relasi yang kami bangun.
Ia mulai bertindak seakan aku harus memenuhi semua keinginanya,
mengontrol segala aktivitasku, bahkan aku merasa sudah tak memiliki otoritas
atas tubuhku sendiri. Dia akan membentakku dan mengeluakan kata-kata kotor
(anjing,tai dll) ketika sedang marah. Aku berusaha memakluminya atas dasar
sebuah relasi dan rasa cinta.

Aku sangat ingat malam itu, malam yang menjadi awal dari sebuah
penderitaan. Di dalam sebuah ruangan yang bercat putih, AC tergantung tepat
dipojok kanan ruangan, temperaturnya 16’ celsius. Televisi dinyalakan begitu
saja. Aku duduk diatas kasur yang dibalut dengan sprei berwarna putih,
dengan Bantal yang disusun serapi mungkin.

Aku sengaja memintanya untuk membantuku mengerjakan tugas


kuliah. Ia sudah berjanji untuk tidak menyentuhku selama di dalam kamar
tersebut. namun tak berselang lama, perlahan ia medekatiku sambil
menyandarkan kepalanya di bahuku, tangannya bergerak pelan meraba
tubuhku dengan nafsu yang beringas ia mulai mengulum bibirku

Ia mulai mempengaruhi emosionalku, berbicara tentang relasi yang


kami bangun saat ini. “Aku sangat mencintaimu” katanya. Kata-kata itu sangat
jelas ku dengar ia membisikannya tepat pada telinga kananku. Sekejep itu pula
ia menelanjangiku, menikmati tubuhku yang sedari dulu aku rawat, berkhir
dalam dekapan laki-laki yang katanya mencintaiku.

Aku seperti layakanya boneka yang sedang melayani tuannya. Air


mataku tumpah dan berharap yang terjadi padaku ini hayalah mimpi belaka,
aku tidak ingin di perlakukan seperti ini. Hanya butuh beberpa menit ia telah
mencapai klimaks. Namun bagiku aku layknya di perkosa dan hitungan menit
itu rasanya berjam-jam bagiku.

“tak usah khawatir, aku mencintaimu dan akan bertanggung jawab dan
akan menikahimu ” ucapnya sangat lirih ku dengar nmun kata-kata itu tak
membuatku sedikitpun merasa bahagia namun malah semakin memecah
tangisku di balik selimut.


Aku dibuat gagal untuk tidak kembali ke masa itu. Masa yang
menyisakan kepedihan dan luka, yang mungkin akan ku sesali seumur hidup.
Umpatan tentang penyesalan telah terlahir sebagai seorang perempuan tak
berhenti keluar dari mulutku sebagai bentuk penyesalan atas perbuatan dari
laki-laki yang pernah segalanya ku berikan dari hidupku.

Aku belum sepenuhnya sembuh dari luka ini namun aku kembali
dibenturkan dengan kenyataan hidup yang semakin membuat ku merasa
terlahir sebagai seorang perempuan amatlah sangat berat. “Hufff apakah aku
akan hidup seperti ini?”. Pertanyaan yang ku harap siapapun bisa
menjawabnya.

Hidup di lingkungan masyarakat yang sangat mengagungkan budaya


patriarki mebuatku akan terasingkan. Seorang perempuan akan dilihat
berharaga dan memiliki kehormatan hanya dari selaput darahnya, bukan
memandangnya sebagai seorang manusia. Disisi lain aku tak mungkin hidup
dengan seorang laki-laki yang akan mendominasiku dan pada akhirnya akan
menjadikanku sebagai budaknya. Aku merasa sendiri di dunia ini dengan sakit
yang ku harap tak membuatku perlahan-lahan terbunuh.

Aku hanya terdiam dengan derai air mata tentang penyesalam dalam
hidup yang semakin menyayat hatiku. Aku sangat mencintainya tapi aku tak
mungkin hidup dalam hubungan yang semakin membuatku tertekan dan
merebut kemerdekaanku. Aku memilih mengakhiri hubungan denganya dan
pergi jauh dari kehidupan penat dengannya.

Aku merangkak kembali ke pembaringan, kepala terasa pusing, seisi


ruangan serasa berputar. Pandanganku seketika gelap tubuhku lemas bahkan
untuk menarik nafas sangat berat, ku hempaskan tubuhku di pembaringan,
perasaanku terasa melayang dan perlahan aku tak merasakan apa-apa lagi. Ku
harap malaikat maut berkenan mengunjugiku pagi itu sehingga aku bangun
tanpa ada luka lagi.

Anda mungkin juga menyukai