Mayat hidup itu adalah aku. Dengan luka lebam dihati yang sedari dulu
membabi buta namun aku hanya bungkam atas dasar sebuah pemakluman dan
semuanya akan kembali seperti tak terjadi apa-apa.
Pagi yang suram, aku berdiri menghadap sebuah cermin yang yang
tergantung pada tembok berwarna biru menjadi warna yang mendominasi
ruangan 4 x 6 meter itu. “perempuan malang,” gerutuku dalam hati. Akulah
perempuan yang tak pernah meminta dilahirkan sebagai seorang perempuan,
harus terlahir memiliki lubang vagina pemuas hasrat kaum laki-laki. Mataku
mulai menjajaki sekujur tubuhku yang nampak hanyalah luka dan sebentar lagi
aku akan mati dan menjdi mayat sungguhan.
Saat ini diriku seakan ditarik mundur oleh waktu, melinting ke masa
lalu awal pertemuanku dengan sosok laki-laki yang akrab ku sapa Arif.
Terbanting dan tercelentang tepat pada awal mula penderitaan ini.
Aku sangat ingat malam itu, malam yang menjadi awal dari sebuah
penderitaan. Di dalam sebuah ruangan yang bercat putih, AC tergantung tepat
dipojok kanan ruangan, temperaturnya 16’ celsius. Televisi dinyalakan begitu
saja. Aku duduk diatas kasur yang dibalut dengan sprei berwarna putih,
dengan Bantal yang disusun serapi mungkin.
“tak usah khawatir, aku mencintaimu dan akan bertanggung jawab dan
akan menikahimu ” ucapnya sangat lirih ku dengar nmun kata-kata itu tak
membuatku sedikitpun merasa bahagia namun malah semakin memecah
tangisku di balik selimut.
Aku dibuat gagal untuk tidak kembali ke masa itu. Masa yang
menyisakan kepedihan dan luka, yang mungkin akan ku sesali seumur hidup.
Umpatan tentang penyesalan telah terlahir sebagai seorang perempuan tak
berhenti keluar dari mulutku sebagai bentuk penyesalan atas perbuatan dari
laki-laki yang pernah segalanya ku berikan dari hidupku.
Aku belum sepenuhnya sembuh dari luka ini namun aku kembali
dibenturkan dengan kenyataan hidup yang semakin membuat ku merasa
terlahir sebagai seorang perempuan amatlah sangat berat. “Hufff apakah aku
akan hidup seperti ini?”. Pertanyaan yang ku harap siapapun bisa
menjawabnya.
Aku hanya terdiam dengan derai air mata tentang penyesalam dalam
hidup yang semakin menyayat hatiku. Aku sangat mencintainya tapi aku tak
mungkin hidup dalam hubungan yang semakin membuatku tertekan dan
merebut kemerdekaanku. Aku memilih mengakhiri hubungan denganya dan
pergi jauh dari kehidupan penat dengannya.