Anda di halaman 1dari 3

MENELAN MENTARI

Oleh. YUYUN MUDIARTI

Awan semakin garang, Angin tak mau kalah, ia lebih beringas, langit tak kuasa menitikkan air
matanya sedang bumi semakin gelisah menanti Matahari menebar kehangatan. Aku tetap menapakan
langkah-langkah kaki dengan wajah tertunduk. Hatiku gelisah segelisah bumi yang menanti dekapan
mentari, langkah gontai dengan hati tegar berniat mencari kepastian.

Hari ini adalah tahun kelima sejak kejadian itu. Rasanya baru kemarin hatiku terkikis teriris-iris, kalau
harus kugambarkan mukin irisan hatiku saat itu sudah sama dengan bawang merah yang akan dibuat
berambang. Ingin rasanya Aku menangis, merontah, marah, berteriak, semua perasaan itu aku tahan.
Aku tidak mau dikatakan laki-laki lebai, cengeng, tidak jantan, dan cemoohan lainnya yang kudengar
dari mulutnya. Seandainya saat itu Aku tak bertahan, mukin air mataku sudah deras mengalir bagai
waduk rebah., saat itu Aku dimaki habis-habisan,dihina sehina-hinanya, dicaci, hingga harga diriku tak
seujung kuku pun tersisa. Keremukan hatiku itulah yang menjadi cambuk hingga aku bisa seperti ini. Kini
Aku harus memastikan apakah hati Mentari tak berubah?

Kini langkah gontai itu telah berhasil kuusir jauh, kubusungkan dada, langkah kakiku semakin tegap,
kupenuhi hati ini dengan keyakinan dan percaya diri kali ini Aku harus berhasil Menelan Mentari. Kali
ini Aku harus bisa meyakinkannya bahwa Aku adalah laki-laki sejati yang tidak cengeng, dan bisa
bertanggung jawab memberikan kebahagiaan pada anaknya.

Kutelisik pamandangan rumah itu. Tidak ada yang berubah, semua masih sama, Bunga Mawar putih
di sudut pekarangan itu terlihat bermekran, Anyelir Ungu masih tak bergeming, sedang bunga Bakung
pun masih menghiasi pekarangan. Cat rumah masih berwarna putih, kusen jendela masih dipoles biru.
Ya tidak ada perubahan, pemandangan rumah itu masih sama seperti lima tahun yang lalu.

Semakin dekat dengan pintu pagar, Aku terus memicu kekuatanku agar lebih berani melangkahkan
kaki agar bisa menapakkan kaki di pekarangan. Kuhela napas panjang dan ku pastikan Aku berani
menghadapinya.

"klrook" kunci pagar itu ku buka, langkah pertamaku telah berhasil menggetarkan hati, Kuhela nafas
dalam-dalam untuk mengusir rasa gelisah itu, lalu Aku meneruskan langkah kaki itu hingga menyeretku
berada di depan pintu.

Ada perasaan ragu dan gelisah, ditambah bayangan kejadian itu juga semakin menghantui. Aku
berusaha kembali membangun keberanian. Ku berucap pada diriku sendiri " Fit, Ayolah kamu harus
berani. Buktikan kamu adalah laki-laki jantan yang bertanggung jawab. Ayo lah Fit kamu harus bisa!"
motivasi itulah yang membangkitkan keberanianku.

Degup jantungku semakin kencang ketika Aku mulai mengangkat tanganku untuk mulai mengetuk
daun pintu itu. Kubenahi diri, Kuyakinkan Aku berani. Lalu Aku ketuk pintu itu.
Trok... trok... trok..!!

" Assalamualaikum" Aku mengucap salam.

Tidak terdengar suara apa pun. Lalu Aku mencoba lagi mengetuk pintu itu. Pada ketukan ketiga
terdengar suara langkah kaki mendekati pintu. Semakin lama langkah kaki itu semakin dekat. "klrok"
terdengar suara kunci terbuka. Sepontan Aku segera membalikan tubuh membelakangi pintu. Tak kuasa
Aku harus melihat siapa yang membuka pintu itu .

" Assalamualaikum, mau bertemu siapa ya? ". Terdengar suara yang tak asing lagi, suara yang selalu
aku rindukan. Suara yang selama ini mengisi relung hatiku. Lama Aku tidak berani membalikan badan,
sampai akhirnya dia menyapa lagi, " Maaf, mau bertemu siapa ya? ". Jantung semakin berdebar,
Perasaanku semakin tidak menentu. Nafasku tertahan ketika kembali mendengar suara itu. Aku sangat
bahagia bisa mendengar suara lembut yang menyapa itu, tapi rasa takut dan keraguan justru lebih
membelenggu. Baru setelah ketiga kali dia menyapa, Aku berani membalikan tubuh.

" Waalaikum salam" Aku memberanikan diri membalikan tubuhku. Ketika kutatap wajah gadis di
depanku, dia terlihat kikuk, ya bagaimana tidak, aku bisa melihat sorot matanya, sedang dia gelagapan
ingin menatap tapi terhalang kaca mata hitam yang sengaja tidak kubuka.

Terdengar suara yang tertahan dia menyapa ragu, " maaf, mau bertemu siapa ya? "

Mengengar pertanyaan itu, ingin rasanya berteriak bahwa "Aku adalah kekasihmu yang lima tahun
silam dicampakkan ibumu. Aku adalah kekasihmu yang selalu merindukanmu, Aku adalah kekasihmu
yang dulu kau peluk erat ketika Aku ingin meninggalkanmu. Aku adalah kekasihmu yang dulu dibilang
banci oleh ibumu." banyak lagi kata - kata yang ingin ku ucapkan, tapi hanya tertahan dalam hati.

Seandainya saja aku tidak menguasai emosiku ingin rasanya aku memeluk erat tubuhmu, Mentari.

Lama aku tidak menjawab pertanyaan itu. Hanya hatilah yang terus berceloteh. Tiba-tiba

Aku terperanjat ketika mendengar suara dari dalam " Tari, ada siapa itu? "

Mendengar suara itu mendadak hati menggigil, masih terbayang kejadian itu, luka yang sudah
mengering pun kembali menganga. Kukemas apik raut wajah dan luka itu, lalu Aku mulai menjawab
pertanyaan, dengan pertanyaan balik " Tari... Kau sudah melupakan Aku?"

Mendengar pertanyaan itu, wajah ayu itu mendadak memerah. Mata seperti kelilipan, mulut kaku,
lidahnya pun kelu. Dia hanya mematung, lama tak terdengar suara sampai akhirnya sosok tubuh seorang
perempuan setengah baya itu menghampiri kami.

" Tari, ada tamu? Ayo suruh masuk!"

Itulah kata-katanya. Aku segera membalikan badan tak mau terburu-buru melihat wajahnya. Sedang
Mentari cepat mengajakku untuk masuk ke ruangan tamu. " Ayo masuk! "
" Terima kasih" jawabku, lalu Aku berucap lagi " Bagaimana kalau kita duduk di sana saja" Aku berbicara
sambil menunjuk sebuah tempat yang biasa dulu kami gunakan untuk bercengkrama.

Mendengar ajakan itu tiba-tiba saja "Fit... Kamu kah ini...?" Dia bertanya setengah berteriak. "Ya. ."
jawabku singkat.

Secepat kilat dia pegang tanganku lalu Aku dipapah menuju kursi di sudut taman itu. Erat sekali
pegangan tangannya seolah dia tak mau melepaskan tanganku yang setengah kesakitan.

" Fit, Ayo duduklah! "

Dengan nada suara girang, lalu dia mulai bertanya, " Fit.. kemana saja kamu?, mengapa kamu
meninggalkanku?, sekarang kamu tinggal dimana?

Mengapa tidak pernah ke sini? "

Beribu pertanyaan keluar dari mulutnya.

Sedang Aku masih berpura-pura tenang. Sebagai seorang laki-laki Aku harus tahan harga, Aku berusaha
bersikap dingin seolah sudah tak peduli lagi dengannya. Melihat Aku yang bisu seribu kata, wajahnya
mulai berubah, perlahan dilepaskannya tanganku, lalu kulihat matanya mulai berkaca-kaca, lalu diam
dan tertunduk. Sesekali terdengar suara isakkannya. Aku tak kuasa melihat pemandangan itu, lalu aku
dekati dia dan kupeluk erat tubuhnya. Tidak bisa kugambarkan dengan kata-kata bagaimana perasaanku
ketika memeluk tubuh Mentari. Dengan suara parau Aku mulai bicara, " Tari... Lima tahun Aku menekan
rasa rindu kepadamu. Bukan Aku tidak mengingatmu, bukan Aku tidak mau mengabarimu, bukan aku
tidak sayang padamu, tapi selama itu Aku berusaha mengumpulkan kekuatanku agar Aku bisa
membawamu terbang, Aku mengumpulkan kekuatan agar Kau bisa kutelan, agar kau bisa kumiliki
seutuhnya." Mendengar kata- kata yang ku ucapkan dia memeluk erat tubuhku. Dia menatapku seolah
berusaha masuk ke setiap relung hatiku untuk mencari jawaban dari pertanyaannya.

Lalu Aku mulai membuka mulut, " Tari...Lima tahun Aku berusaha membendung rasa rindu, Aku
berusaha sekuat tenaga agar satu ketika Aku bisa membuktikan bahwa Aku adalah lelaki sejati yang akan
bertanggung jawab kepadamu dan mencintaimu dengan segenap jiwaku. Tari.. inilah saatnya Aku akan
membuktikan janjiku padamu."Mendengar kata-kata itu, Mentari semakin erat memelukku, ada yang
hangat terasa di dadaku, dan ketika ku angkat wajahnya, ternyata air matanya telah membajiriku.
Kutatap matanya, terlihat menyorotkan cahaya walau terhalang air mata, lalu bibirnya merekah, dia
tersenyum bahagia mendengar kata- kataku. Sebelum Mentari sempat bertanya, lalu Aku berkata lagi"
Ya... hari ini Aku datang untuk melamarmu".

Anda mungkin juga menyukai