Aku selalu dipandang sebagai orang yang emosian. Sebutan itu cukup an
eh karena mereka menganggap emosi itu artinya marah, walau menurutku itu art
inya orang yang banyak menunjukkan emosinya. Sejujurnya saat kecil diriku tid
ak seperti itu. Aku menangis ketika mainanku rusak, aku tertawa ketika melihat
kucing jalanan mengacaukan meja makan warung mie ayam bu Rosdah. Ekspres
if, mereka bilang. Dan mereka akan memuji orang tuaku karena perilaku ku.
Menyakitkan rasanya melihat ibu menangis dan menjerit. Aku tidak paha
m kenapa, tapi ia terlihat seperti korban yang akan dibunuh layaknya yang ada di
film. Saat itu juga aku sudah bisa menghitung. Totalnya 5 piring pecah dan 2 dia
ntaranya sengaja dilempar ke arah ibu. Mataku terbelalak, rasanya seperti ada ya
ng memaksaku untuk menonton pertunjukan brutal ini.Pada akhirnya para tetang
ga datang ke rumah kami dan membawa ayah entah kemana sedangkan ibu haru
s dirawat di rumah sakit.
Aku yang tak tahu apa-apa itu hanya bisa terdiam, mencoba memproses s
emua yang sedang terjadi. Aku duduk di samping kasur ibu. Selam dua hari, ia
menangis tiada henti. Aku masih tidak paham, namun rasanya hatiku benar-bena
r hancur melihatnya. Aku tak bisa melakukan apapun selain ikut menangis tanpa
alasan. Pada akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya kepada ibu.
“Apa hati ibu terasa sakit?” tanyaku.
Anak yang dulunya ekspresif itu tumbuh menjadi seseorang yang dingin
dan penuh kebencian. Ayah pada akhirnya meninggalkan kami dan aku bersyuku
r akan hal itu. Aku kembali hidup seperti biasa, membantu ibu berjualan baju di
Ramayana. Semuanya berjalan normal kecuali diriku. Hanya dalam dua bulan, si
kapku berubah drastis. Tak sedikit pula orang-orang mengadu kepada ibuku peri
hal sikapku yang tak peduli dan pemarah itu. Tak hanya itu, perlahan teman-tem
anku juga mulai menjauhi ku. Namun, aku tidak peduli lagi.
Aku juga tahu. Ibu tak pernah lagi melihat senyum dari wajah anaknya, a
ir mata pun tidak. Semua yanng dia lihat adalah tatapan kosong dan kerutan keni
ng diiring wajah yang memerah. Aku sendiri juga tak menginginkan ini. Aku
sudah berusaha untuk menghindari perasaan ini. Tapi mengapa amarah ini terus
membara di hatiku? Perlahan aku sadar bahwa semakin lama, aku semakin mirip
dengan orang yang sangat ku benci.
Tapi untuk saat ini, aku masih bisa memendam amarahku. Walau rasanya
sangat menyakitkan. Namun, semuanya berubah ketika aku bertemu dengannya.
Orang yang benar-benar mengubah kehidupanku.
Kami berdua tegak di sana untuk beberapa saaat tanpa mengatakan satu
patah kata pun. Aku akhirnya memberanikan diri untuk memulai pembicaraan.
“Apa kamu mencari sesuatu…?” tanyaku pelan.
Akupun mengajaknya masuk dan duduk di kios ku. Kami pun bercerita
layaknya dua kawan dekat yang sudah lama tidak berjumpa. Kisah hidupku
perlahan mulaikeluar dari mulutku. Aku sama sekali tidak merasa sungkang dan
takut ketika berbicara dengannya. Api yang membara di dadaku selama ini pun
seketika mulai padam hanya dengaan berbicara dengannya. Aku tidak dapat
berhenti berbicara dengannya dan aku sama sekali tidak ingin pembicaraan ini
berakhir.
Walaupun kami barusaja bertemu beberapa saat yang lalu, tapi kami
tidak penasaran ataupun bertanya-tanya tentang identitas satu sama lain. Kami
tidak butuh perkenalan. Dia pun tidak masalah dengan itu. Begitu juga dengan
diriku.
Dadaku rasanya sesak. Bukan karena asap tebal. Tapi karena perasaan
yang bercampur di dadaku. Aku ingin marah dan berteriak. Namun aku berusaha
sekeras mungkin untuk tenang dan berpikr jernih. Akhirnya seseorang yang
lebih penting terlintas di benakku. Ibu! Aku berlari dan berteriak memanggil ibu.
Baru kali ini aku merasa sangat cemas dan panik saat memikirkan keadaan
seseorang. Bagaimana jika ibu tertimpa sesuatu dan tidak dapat lari? Atau
jangan-jangan ibu sudah termakan api yang ganas?
Namun, masih ada satuhal yang mengganggu diriku. Beberapa hari pasca
kejadian tersebut, aku terus menggali informasi dari manapun untuk mengetahui
semua identidas korban kebakaran. Aku mencoba mendeskripsikan semua hal
yang berhubungan dengan orang yang ku temui hari itu. Namun tak satupun
narasumber dan saksi yang mengatakan bahwa mereka melihat aktau
menemukan orang seperti yang aku deskripsikan.
tamar