Anda di halaman 1dari 5

Membara

Oleh: Ashila Suandi

Emosi adalah suatu bentuk perilaku seseorng yang mengambarkan perasa


annya. Setiap orang selalu menunjukkan emosi mereka. Ketika senang, ketika se
dih, marah sekalipun. Emosi itulah yang membuat makhluk hidup…. hidup. Ata
u setidaknya itulah yang ku yakini. Semua orang pasti akan paham dengan emosi
Jika seseorang menunjukkan perasaannya kepada oraang lain, mereka pasti akan
saling menerima dan mengerti. Tetapi mengapa tidak degan diriku?

Manusia itu banyak maunya. Ketika seseorang berbicara terlalu banya, di


a akan disuruh diam. Ketika mereka diam, itu salah juga. Dia akan dipaksan untu
k berbicara. Benar begitu adanya, atau hanya aku yang mendapati perlakuan ini?

Aku selalu dipandang sebagai orang yang emosian. Sebutan itu cukup an
eh karena mereka menganggap emosi itu artinya marah, walau menurutku itu art
inya orang yang banyak menunjukkan emosinya. Sejujurnya saat kecil diriku tid
ak seperti itu. Aku menangis ketika mainanku rusak, aku tertawa ketika melihat
kucing jalanan mengacaukan meja makan warung mie ayam bu Rosdah. Ekspres
if, mereka bilang. Dan mereka akan memuji orang tuaku karena perilaku ku.

Namun semuanya berubah ketika perubahan sikap ayahku. Ketahuan berj


udi dan telilit hutang. Tertekan karena perbuatannya sendiri, ia melampiaskan se
muanya kepada keluarganya yang tak bersalah. Saat itu aku hanya seorang anak
kecil. Anak kecil yang hanya mengerti tentang bagaimana Ultraman mengalahka
n musuh bebuyutannya. Waktu itu aku hanya bisa berdiri menonton semuanya te
rjadi. Bagaikan menonton sinetron favorit ibu, namun kali ini pemeran utamanya
adalah kedua orang tuaku. Ibu hanya dapat tergeletak sambil terisak-isak, berusa
ha melindungi dirinya dari serangan mulut dan tangan ayah yang bertubi-tubi. A
ku tak tahu kenapa ayahku saat itu tiba-tiba menjadi seorang penggulat dan kena
pa samsaknya itu ibu.

Menyakitkan rasanya melihat ibu menangis dan menjerit. Aku tidak paha
m kenapa, tapi ia terlihat seperti korban yang akan dibunuh layaknya yang ada di
film. Saat itu juga aku sudah bisa menghitung. Totalnya 5 piring pecah dan 2 dia
ntaranya sengaja dilempar ke arah ibu. Mataku terbelalak, rasanya seperti ada ya
ng memaksaku untuk menonton pertunjukan brutal ini.Pada akhirnya para tetang
ga datang ke rumah kami dan membawa ayah entah kemana sedangkan ibu haru
s dirawat di rumah sakit.

Aku yang tak tahu apa-apa itu hanya bisa terdiam, mencoba memproses s
emua yang sedang terjadi. Aku duduk di samping kasur ibu. Selam dua hari, ia
menangis tiada henti. Aku masih tidak paham, namun rasanya hatiku benar-bena
r hancur melihatnya. Aku tak bisa melakukan apapun selain ikut menangis tanpa
alasan. Pada akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya kepada ibu.
“Apa hati ibu terasa sakit?” tanyaku.

Setelah mendengar pertanyaanku, ia mengangguk sambil mengis. Ia men


jelaskan semuanya kepada anak kecilnya itu. Aku mendengarkannya dengan sek
sama. Semakin lama, perlahan rasanya tumbuh bara api kecil dan mungil di hati
ku. Pada akhirnya, ibu berpesan. “Walau begitu kamu jangan benci ayah ya, nak
…” Hanya pada kali itulah aku tidak mendengarkan nasihat ibu.

Anak yang dulunya ekspresif itu tumbuh menjadi seseorang yang dingin
dan penuh kebencian. Ayah pada akhirnya meninggalkan kami dan aku bersyuku
r akan hal itu. Aku kembali hidup seperti biasa, membantu ibu berjualan baju di
Ramayana. Semuanya berjalan normal kecuali diriku. Hanya dalam dua bulan, si
kapku berubah drastis. Tak sedikit pula orang-orang mengadu kepada ibuku peri
hal sikapku yang tak peduli dan pemarah itu. Tak hanya itu, perlahan teman-tem
anku juga mulai menjauhi ku. Namun, aku tidak peduli lagi.

Aku juga tahu. Ibu tak pernah lagi melihat senyum dari wajah anaknya, a
ir mata pun tidak. Semua yanng dia lihat adalah tatapan kosong dan kerutan keni
ng diiring wajah yang memerah. Aku sendiri juga tak menginginkan ini. Aku
sudah berusaha untuk menghindari perasaan ini. Tapi mengapa amarah ini terus
membara di hatiku? Perlahan aku sadar bahwa semakin lama, aku semakin mirip
dengan orang yang sangat ku benci.

Tapi untuk saat ini, aku masih bisa memendam amarahku. Walau rasanya
sangat menyakitkan. Namun, semuanya berubah ketika aku bertemu dengannya.
Orang yang benar-benar mengubah kehidupanku.

Seperti hari-hari biasanya, aku membantu ibuku untuk berjualan di salah


satu kios Ramayana. Hari ini adalah hari senin. Karenanya, tidak begitu banyak
orang yang mengunjungi tempat perbelanjaan ini. Kalau pun ada, paling mereka
hanya sekedar melihat-lihat saja. Aku duduk di kios ku sedangkan ibuku pergi
kerja sampingan di warung lontong.

Sungguh bosan. Namun, lamunanku itu tiba-tiba hilang ketika seseorang


yang asing melewati kios ku. Aku tidak melihat wajahnya namun aku dapat
merasakan hawa yang berbeda darinya. Menyejukkan sekali.

Aku memperhatikannya dari kejauhan. Ia dari tadi berjalan mondar-


mandir mengelilingi pusat perbelanjaan yang sempit dan pengap itu. Sepertinya
dia sedang mencari sesuatu. Aku ingin sekali menghampirinya namun rasanya
seperti ada sesuatu yang menahan diriku. Setelah beberapa saat, dia menghilang
dan kembali muncul di dekat kios ku. Tak ku sangka dia akan mendekati kiosku
dan menghampiriku yang tengah melamun.

Saat dia datang, ia tidak bebicara. Mulutnya ternganga seperti ia akan


mengatakan sesuatu namun tidak bisa. Ia seperti terpana melihat wujudku. Dan
aku sendiri, melakukan hal yang sama. Orang itu… mirip sekali denganku.
Bukan dari fisik, namun ada suatu perasaan di hatiku yang mengatakan bahwa
kami terhubung. Tidak dengan darah, tidak tahu dengan apa. Semua kejadian ini
terasa asing bagiku. Tapi di sisi lain aku juga merasa familiar.

Kami berdua tegak di sana untuk beberapa saaat tanpa mengatakan satu
patah kata pun. Aku akhirnya memberanikan diri untuk memulai pembicaraan.
“Apa kamu mencari sesuatu…?” tanyaku pelan.

Dia mengangguk dan jawabannya benar-benar mengagetkanku. “Aku


mencari dirimu. Selama ini aku mencari, akhirnya kita dapat bertemu juga.”
ucapnya halus dengan penuh senyuman. Aku tak mengerti apa yang ia katakan.
Namun aku tahu kalau aku harus mempercayai dirinya.

Akupun mengajaknya masuk dan duduk di kios ku. Kami pun bercerita
layaknya dua kawan dekat yang sudah lama tidak berjumpa. Kisah hidupku
perlahan mulaikeluar dari mulutku. Aku sama sekali tidak merasa sungkang dan
takut ketika berbicara dengannya. Api yang membara di dadaku selama ini pun
seketika mulai padam hanya dengaan berbicara dengannya. Aku tidak dapat
berhenti berbicara dengannya dan aku sama sekali tidak ingin pembicaraan ini
berakhir.

Walaupun kami barusaja bertemu beberapa saat yang lalu, tapi kami
tidak penasaran ataupun bertanya-tanya tentang identitas satu sama lain. Kami
tidak butuh perkenalan. Dia pun tidak masalah dengan itu. Begitu juga dengan
diriku.

Setelahaku selesai mencurahkan isi hatiku tentang kehidupanku yang


penuh bara api ini, ia pun memelukku. Perlahan ia mulai meneteskan air
matanya. Aku sama sekali tidak paham dengan emosi ini. Aku sama sekali tidak
mengerti, apa yang membuatnya sedih. Aku membalas dekapannya dan
mengelus pundaknya. Semakin lama pun aku mulai merasakan suatu emosi yang
asing menyelimuti hatiku. Perasaan iba yang rasanya menusuk dadaku. Apakah
ini yang mereka selalu sebut dengan kesedihan? Ternyata lebih sakit dari yang
kubayangkan.

“Kamu tidak sepantasnya melewati semua itu…” tiba-tiba ia berbisik


padaku. “jauh di dalam dirimu, kamu hanyalah anak yang tidak tahu apa-apa…”
sambungnya. Setelah mengatakannya, ia bangkit dan pergi dari kiosku. Aku pun
lantas ingin mengejarnya dan menanyakan apa yang sebenarnya di maksdud.
Atau setidaknya, biarkan aku mengetahu namanya. Tapi, sebelum aku
mendapatkan jawaban yang ku butuhkan, ia sudah menghilang dari
pandanganku. Aku pun merasa bahwa diriku tidak boleh menyerah.

Aku berlari masuk ke dalam pusat perbelanjaan untuk mencarinya. Dan


entah kenapa, pada saat itu semua orang malah berlari berlawanan arah dariku.
Mereka semua memasang wajah yang panik. Tak sedikit pula yang berteriak.
Namun aku tak menghiraukan mereka semua. Aku lanjut berlari dan ternyata
menemukan alasan mengapa semua orang terlihat panik.

“API!!” Teriak seorang wanita sambil berlari histeris. Aku menoleh


kearahnya dan melihat asap tebal telah menyebar di mana-mana. Dan pada detik
itu juga aku melihat orang yang ku cari-cari malah berjalan menuju sumber api.
Aku berteriak dan berlari kearahnya. Aku mencoba menarik tubuhnya, namun
tumpukan baju yang terbakar malah mengahalangi jalanku.

Dadaku rasanya sesak. Bukan karena asap tebal. Tapi karena perasaan
yang bercampur di dadaku. Aku ingin marah dan berteriak. Namun aku berusaha
sekeras mungkin untuk tenang dan berpikr jernih. Akhirnya seseorang yang
lebih penting terlintas di benakku. Ibu! Aku berlari dan berteriak memanggil ibu.
Baru kali ini aku merasa sangat cemas dan panik saat memikirkan keadaan
seseorang. Bagaimana jika ibu tertimpa sesuatu dan tidak dapat lari? Atau
jangan-jangan ibu sudah termakan api yang ganas?

Sembari berlari, aku menanyakan setiap orang yang ku temu tentang


keberadaan ibuku. Namun, sepertinya semua orang terlihat sangat sbuk dengan
diri mereka sendri. Tidak ada yang tahu dimana lokasi ibuku. Atau bisa jadi
mereka mengetauhuinya namun mereka berpura-pura tidak tahu. Aku pun
sampai di titik di mana aku merasa sangat putus asa. Semua orang menyuruhku
untuk keluar dari bangunan. Aku tidak bisa melakukannya, namun mereka
menarik tubuhku dan memaksaku untuk keluar.

Akhrinya akupun dapat menghirup udara luar. Di luar Ramayana, semua


orang tengah berkumpul dan membantu petugas damkar meredakan api yang
luar biasa dasyatnya itu. Dalam sekejap, api itu membakar seluruh bangunan.
Aku yang tak kuasa menyaksikannya, terus berlari untuk mencari ibuku.
Kemudian aku melihat adanya mobil ambulans yang sedang bertugas. Mataku
tertuju kepada sosok yang terbaring di atas tandu dan segera dibawa ke dalam
ambulans. Itu adalah ibuku!

Aku pun bergegas menjumpainya. Dan untuk pertama kalinya dalam


hidupku, aku menagis histeris. Baru kali inilah kurasakan emosi yang begitu
menyakitkan dari pada amaarah dan kebecian. Aku sangat menyayangi ibuku
dan aku tidak pernah sadar akan hal tersebut. Baru kali inilah aku menyadari
betapa pentingnya dirinya bagiku. Aku memeluk tubuhnya yang lemah dan tak
berdaya itu. Aku berteriak dan menangis, tsk tahu harus apa. Setelah itu, seorang
perawat menenangkan diriku dan mengatakan bahwa ibuku cuma pingsan.

Pada akhirnya, ibu dilarikan ke rumah sakit dan akupun menjaganya


untuk beberapa hari. Aku bercerita kepadanya tentang apa yang terjadi pada hari
itu. Ibu tahu bahwa semua dagangannya habis terbakar. Namun ia tidak merasa
sedih ataupun kecewa kepadaku. Sebaliknya, ia malah merasa bangga dan snang
mengetahui bahwa diriku dapat selamat dari kebakaran besar itu.

Namun, masih ada satuhal yang mengganggu diriku. Beberapa hari pasca
kejadian tersebut, aku terus menggali informasi dari manapun untuk mengetahui
semua identidas korban kebakaran. Aku mencoba mendeskripsikan semua hal
yang berhubungan dengan orang yang ku temui hari itu. Namun tak satupun
narasumber dan saksi yang mengatakan bahwa mereka melihat aktau
menemukan orang seperti yang aku deskripsikan.

Aku pun akhirnya merenung di kamarku. Aku mencoba menyambungkan


semua hal yang menurutku ganjil. Dan akupun mendapatkan sebuah kesimpulan.
Kesimpulan ini masih dugaan semata. Aku menduga bahwa orang yang kutemui
pada hari itu ternyata hanyalah imajinasiku. Ikatan kami yang kurasakan pada
saat itu membuktikan bahwa sebenarnya orang yang ku temui itu adalah diriku
sendiri. Aku merasa sanga tersesat pada waktu itu sehingga akhirnya aku
membuat kenyataan yang sebenarnya hanya ada di kepalaku. Orang itu adalh
wujud dari masa kecilku. Dia adalah wujudku jika aku hidup tanpa adanya
trauma.

Walaupun demikian, aku tidak menganggap diriku gila atau


semacamnya. Aku yakin dia adalah utusan tuhan yang dikirimkan kepadaku
untuk menenangkan api kebencian yang ada d hatiku. Syukurnya, dia berhasil
mengubah hidupku higga saat ini.

tamar

Anda mungkin juga menyukai