Entah itu cara untuk mengadu kepada Tuhan atau sekedar cara mengungkapkan perasaanku
yang lama terpendam yang tidak bisa aku ungkapkan.
Karena lewat tulisan adalah cara teraman bagiku untuk tidak terlihat dan terdengar.
Ini masih tetangku, tentang segala yang aku punya dan tentang segala dalam ketiadaanku.
Kali ini, tetang dia.
Tentang dia yang cukup manis parasnya.
Tentang kelembutan sifatnya.
Tentang dia yang baik agamanya.
Dan tentang dia yang indah akhlaknya. Iya setidaknya begitu menurutku. Aku harap begitu.
Sudah lama aku melihatnya, cukup lama. Mungkin sekitar 5 tahun atau lebih, entahlah
kapan awalnya.
Dia memang jauh diatasku.
Jauh lebih tinggi, jauh lebih pintar, jauh lebih cepat, jauh lebih segalanya. Menurutku
begitu.
Terlalu jauhnya dia dari peredaranku, sehingga dia tidak punya alasan untuk sekedar
berbicara denganku. Karena apa yang ingin dia bicarakan padaku ini yang sama sekali tidak
mengerti dunianya. Menurutku begitu.
Beda denganku, yang tidak menyapanya atau sekedar hanya melewatinya berulang kali
karena aku terlalu takut. Terlalu takut jika jantung ini melompat keluar dan terlihat olehnya
bahwa aku menyukainya.
Tau kah dia?
Setiap kali dia berada di dekatku, sebongkah otot lurik yang berada di rongga dada ini
mulai tidak terkontrol. Seperti keempat katupnya membuka dan menutup secara bersamaan,
seharusnya tidak begitu kan? Tapi begitulah rasanya. Seperti darah yang masuk ke sana
terperangkap dan tidak bisa keluar. Antara aku akan membiru atau blushing up. Solusi yang
tercepat yang terlintas di otakku yang tidak seberapa besar ini adalah terdiam atau pergi
saja dari sana agar aku tidak membiru di depannya.
Taukah dia?
Setiap kali kita berada di ruangan yang sama, rasanya saraf-saraf bola mataku
memberontak dan menjadi teroris bagi pemegang hirarki kekuasaa tertinggi dalam tubuh
ini. Iya saraf-saraf bola mataku mengkhiati otakku untuk tidak melihatnya. Tetapi mereka
tidak perduli. Bagaimanapun lobus-lobus otakku bekerja keras untuk melarang, mereka
tetap tidak perduli. Tetap mencari dan melihatnya. Di mana pun itu. Rasanya aku ingin
congkel saja mata ini dan kuberi padanya agar bisa ia kantungi kemana saja sehingga otak
ini tidak perlu berpikir telah dikhianati.
Entahlah..
Tahukah dia?
Aku telah memiliki begitu banyak bentuk jar yang berbeda. Yang kusebut jar kenangan. Jar
ajaib yang didalamnya aku simpan kenangan-kenangan semua tentang dia. Entah itu saat
pertama kali dia memberitahuku tentang pupil kambing itu petak. Dia orang pertama dan
terkahir yang memberiku informasi yang sebenarnya tidak begitu penting tapi entah
mengapa setiap kata-kata yang keluar darinya menjadi bernyawa. Seperti semacam
kekuatas magis yang membuatku ingin pamer pada teman-teman yang lainnya bahwa pupil
kambing itu petak dan kalian harus tau itu!
Atau setiap kalimat bernada intimidasi darinya contoh aku ini lelet menurutnya. Hey!
rasanya kenapa dia begitu underestimate denganku. Kenapa dia seperti ummi? Yang
sedikit-sedikit suka bilang kalo aku ini lelet, dan selalu mengomeliku untuk setidaknya
lebih gesit sedikit. Dan dia tidak tahu, tidak dalam semua hal aku ini lelet. Aku lelet hanya
untuk beberapa hal yang aku tidak kuasai, berhitung misalnya. Selebihnya aku termasuk
gesit. Aku gesit saat bersih-bersih. Rasanya saat mendengar itu darinya aku ingin
membuktikan padanya aku tidak selelet itu, tetapi gagal. Kenyataannya aku ini memang
lebih lelet darinya. Oke, kamu benar. Dan lagi-lagi itu telah masuk dalam jar ajaibku. Yang
aku ingat begitu.
Setiap momen yang kita lalui bersama itu memiliki bentuk dan warna jar yang berbeda.
Entah itu semua adalah momen kita bersama atau hanya momenku saja. Apakah dia juga
punya jar itu?
Entahlah….
Tahukah dia?
Tidak semua jar itu isinya adalah sikapnya yang meremehkan aku yang memang ya aku
sadar memang ya begitulah. Ada jar yang selalu bersinar saat aku ingat dia pernah
memujiku. Ya setidaknya begitu yang aku ingat dan simpan dalam jar itu. Setidaknya ada
juga jar yang selalu melayang saat aku ingat bagaimana cara dia menatapku saat di sana, di
sana, dan di sana. Aku tidak tahu memang apakah tatapan itu bermakna atau hanya tatapan
random tanpa arti sedalam yang aku mau. Tapi dia pernah mengisi jarku dengan bunga dan
kupu-kupu. Menurutku begitu.
Aku selalu menjaga perasaan ini. Sebenarnya aku pun bingung, mauku sebut apa rasa ini.
Kadang biru, kadang merah, kadang merah muda, kadang abu-abu. Semua warna itu berarti
bagiku. Tetapi semua warna yang dia beri kepadaku tidak pernah tegas. Selalu bergradasi
antara apakah itu biru atau hijau? Itu merah atau orange? Itu merah muda atau jingga? Itu
abu-abu, hitam atau putih? Tidak pernah tegas dan jelas bagiku. Sehingga warnanya selalu
ambigu dan menghilang.
Tahukah dia?
Entah apa alasanku bertahan dengan pemikiran ini, bertahan dengan rasa ini. Bertahan
untuk dia yang bahkan tidak pernah ada untukku. Tetapi kenapa aku malah ingin menjaga
hati dan berusaha pantas untuknya? Sedang dia biasa saja dan tidak tahu apa-apa.
Bahwa aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk tetap di sini. Tidak beranjak, tidak pergi,
tidak bergeser sejengkal pun dari tempat dia pertama kali membuatku mulai penasaran.
Kenapa aku tidak pergi saja, kan dia juga tidak pernah kembali ke tempat itu. Karena aku
berharap, siapa tahu ada pulpennya yang ketinggalan di tempat itu dan dia kembali.
Meskipun jika dia kembali ke sana bukan untukku tetapi untuk mengambil pulpen itu, pun
tak mengapa. Aku bisa terima. Setidaknya aku masih bisa melihatnya untuk yang terakhir
kali dan menyapa lalu memberitahunya bahwa, pulpen kamu ketinggalan. Sehingga bisa
menjadi alasanku mengobrol dengannya. Meski pun sebentar saja.
Terkadang, ingin aku tulis saja semua perasaan ini agar dia tahu, sudah lama dia telah
menjadi bagian ceritaku. Tetapi, aku terlalu malu. Akhirnya otakku kembali membawa
pulang logika ke peraduannya; “sudahlah, biar aku simpan sendiri saja perasaan ini”. Lalu
batinku tidak terima, ia berteriak; “sampai kapan?”. Dan keputus-asaanku menjawab;
“sampai aku ikhlas menerima dia sebagai takdirku atau bukan”. Lalu hatiku bilang; “apa
aku tulis saja perasaanku tentangnya dalam secarik kertas lalu kutinggalkan di depan pintu
rumahnya?”. Tetapi aku tidak tahu apakah dia masih tinggal di rumah yang itu atau sudah
pindah? Hmmm sebegitulah jauhnya aku darinya sampai itu saja aku tidak tahu. Sudah
terjawabkan, bagaimana mungkin dia menjadi takdirku sedang jalannya saja tidak ada.
Tahukah dia?
Akhirnya aku memilih menulis tentangnya, tentang seberapa hebat dia bertahan di hati ini.
Seberapa hebat dia telah mampu membuatku jatuh hati. Dan seberapa besar pengaruh
tatapannya yang random itu mampu membuatku punya setumpuk lagu yang ingin aku
dengarkan bersamanya.
Kesimpulan :
Jangan terlalu tegang, santai saja. Aku tidak memaksa dia untuk punya rasa yang sama atau
jatuh hati juga kepadaku. Aku tahu dan sangat paham arti “Qadarullah”. Jadi aku ikhlas dan
sudah melepaskannya. Aku hanya ingin dia tahu bahwa dia adalah pria yang hebat karena
mampu membuatku segila ini. Aku hanya ingin dia tau, itu saja. Jadi tolong buat aku
bangga karena telah menyukainya.
Karena kita gak bisa dengarnya sama-sama. Jadi kalo ada waktu coba dengarin lagu-lagu
ini ya
1. Jump then fall (Taylor)
2. Beautiful Eyes (Taylor)
3. Enchanted (Taylor)
4. Red (Taylor)
5. This Love (Taylor)
6. The Last Time (Taylor ft Gary Lightbody)
7. Chasing Cars (Snow Patrol)
8. Say You Won’t Leg Go (James Arthur)
9. White Flag (Dido)
10. The Longest Wave (Red Hot Chilli Papper)
11. Carry On (The Cranberries)
12. Animal Instinct (The Cranberries)
13. All Too Well (Taylor)
14. Style (Taylor)
15. Begin Again (Taylor)
16. My Immortal (Evanescene)
17. Dosed (Red Hot Chilli Papper)
18. I Can’t Make You Love Me (Adele)
19. Hymn For The Weekend (Coldplay)
20. That’s Fine (Hendric Nagy)
21. Location Unknown (Honne)