Anda di halaman 1dari 7

Untuk mereka yang ditinggal dan dijanjikan kembali.

Terinspirasi dari 7 lembar kertas yang tersisa di buku diary dengan catatan usang, mungkin
karena terlalu lama disimpan sang pemilik.

***

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti sahabat adalah

sahabat/sa.ha.bat/ n kawan; teman; handai.

-- dekat sahabat karib;

-- karib sahabat yang sangat erat (baik); teman yang akrab: dia adalah – karib kakakku;

Bagi sebagian orang, kehilangan sahabat itu adalah fase untuk mereka sadar, “Oh, gitu toh. Ya
udah lah, asal dia bahagia aja. Temen banyak kok.”

Hahaha.

Temen banyak kok.

Lo pikir kacang?

Munafik banget sih gue kalau denger orang ngomong kayak gitu. Rasanya pengen gue sahutin,
“Hah? Gak salah?” Hebat banget orang yang ngomong dan menghibur dirinya sendiri dengan
kalimat, “Temen banyak kok.”

Gak.

Tolong bedakan antara sahabat dan temen ya, walaupun di kamus temen itu ada sangkut-pautnya
sama sahabat, tapi rasanya beda.

Temen lo banyak,

Tapi sahabat lo gak banyak.

Meskipun ada 40 orang dalam satu kelas selain lo dan mereka terus bergantian berbeda dari satu
tahun ke tahun yang lain sehingga kalau dijumlahkan bisa beratus-ratus, gue ulang sekali lagi.
Sahabat lo gak banyak.

Gue hidup hampir 23 tahun dan sahabat gue cuman enam.

Padahal tiap tahun orang yang dateng ke hidup gue banyak banget –tetangga lah, orang-orang
sekelas, orang-orang sekampus, orang-orang sehobi, orang-orang setongkrongan.

Terus apa?

Semuanya mau lo sahabatin gitu?

Asik emang jadi orang gaul. Punya banyak temen. Minggu ini nongkrong sama kelompok A,
besoknya sama kelompok B, begitu terus giliran biar adil.

Tapi sayangnya,

Gak asik jadi orang gaul yang gak tau harus cerita ke siapa.

Yes, it’s kind of tricky.

Karena kadang.. Lo terlalu punya banyak pendengar sampai lo gak bisa milih siapa yang bener-
bener bisa lo jadikan tempat bersandar.

Manusia kan gitu.

Punya sedikit pilihan, ngoceh.

Punya banyak pilihan, bingung mau pilih yang mana.

Dan pilihan-pilihan gue itu ada pada mereka.

Gak usah terlalu terburu-buru untuk sadar sekarang.

Gue aja telat.

Gue telat untuk tau gimana kosongnya dada gue setelah satu per satu dari pilihan-pilihan gue itu
pergi untuk cari pilihan mereka sendiri.

“Hah? Lo cabut?” Gila. Nada ngomong gue makin hari nyolot banget, untung cuman ditelpon.
Ya maklum, jomblo tahunan yang jadi korban baper cowok-cowok gak jelas rada sensitip.
“Iyee.”

Gue agak kesel sebenernya. Tapi gue juga gak bisa ngomong banyak karena gue bukan dia.

Gue bukan Arif Fatullah dan gue gak ngerti gimana rasanya jadi dia. Entah cewek mana yang
buat dia kecewa sampai berubah haluan ke-cowok. Iya, setelah dia telpon gue untuk pergi ke
Depok. Gue liat story WA dia lagi pelukan sama cowok.

Kenapa setelah diterpa badai, bukannya sembunyi di rumah, mereka malah keluar rumah dan
nunggu badai yang lain?

Ya, hidup memang selalu punya siklus kan? Yang tadinya bersama harus berpisah, dan yang
tadinya berpisah bisa kembali bersama.

Kita gak ngomongin cinta ya.

Kita ngomongin sahabat.

Walaupun kadang, cinta adalah alasan gue untuk bisa selalu cerita sama mereka. Tentang
gimana sih caranya jadi cewek-cewek yang cool, keren gitu kayak di TV series, drama korea,
atau novel-novel? Yang dikejar gitu sama cowok-cowok ganteng tapi tetep bisa cuek bebek,
terus berpendirian teguh sama prinsipnya?

Asli, kok gue gak bisa ya?

“Baper sih lo!”

Anjir. Akhirnya gue bisa mengumpulkan mereka di Cenghar untuk perbincangan kecil dengan
kerinduan besar.

“Gue udah bilang sama lo. Pake otak nih.. Pake,” kepala gue ditunjuk-tunjuk pakai jari telunjuk
sama orang gak tau diri yang bertahun-tahun gue mengenalnya gak pernah berubah –mulut
sampah. “Kalau lo gak ketahuan baper, kan enak. Dia juga gak bakal seenaknya sama lo!”

Namanya Okbari Anggarawana Kartajie, biasa dipanggil Oka. Tapi karena dia masuk anggota
club motor, manusia satu ini punya nama keren Akew. Dia bilang hobinya traveling, padahal
hobi sebenarnya adalah speaking. Tipe cowok yang tahu segala hal melebihi Hotman Paris, tapi
ternayata selalu meluangkan waktunya untuk dicurhatin apapun masalah kehidupan.

“Ya kalau gak baper, namanya gak punya perasaan dong! Lagian udah tau punya temen baperan,
ngenalin cowok yang ada tanggung jawabnya dong,” Nah, seengaknya ada yang membela gue
sebagai sesama cewek.

Annisa Kusuma Nursafa, biasa dipanggil Nisa. Dengan nama dan tampang alim, cuman terakhir
kali dia tau cowoknya selingkuh, langsung disamperin terus jok motornya dia solder sampe
sobek-sobek. Setangguh itu cewek Teknik Elektro. Dan gue bangga punya temen kayak dia
dengan keahlian jarang mandi tapi masih aja tetep cantik.

“Bisa, Nis. Kalau gak baper ya gitu.. Tau-tau nikah gak pake ha, gak pake hu.” Iya mbanya yang
emang udah nikah sekarang. Annisa Sri Wulansari satu-satunya sahabat gue, yang tiba-tiba
ngasih undangan seminggu sebelum nikah, dan gue harap gak ada lagi yang ngasih tahu acara
penting begini dadakan.

“Dia tuh sebenernya baik tau.. Satu-satunya temen club motor kita yang gak pernah bawa cewek
ke warjang.” Kan, gue jadi merasa punya hutang budi sama Luthfy Darmawan Sutisna. Kalau
soal kenal-mengenalkan dia memang ahlinya. Secara, mantannya banyak cuy.

Termasuk orang yang baru datang dengan keyakinan yang sudah berbeda. Diana Herlina adalah
mantan pacar yang masih diharapkan Luthfy untuk kembali. Tapi waktu kita tahu dia pindah,
kita gak tau apa yang salah. Karena kita juga gak tahu apa yang benar. Tapi seenggaknya kita
tahu apa yang membuat kita sekecewa ini sama diri sendiri. Untuk gagal mengurus salah satu
orang yang sudah kita pilih.

“Maaf gue telat, tapi gue tahu intinya apa. Jangan baper-baper lagi lo!”

Para sahabat gue yang budiman ini kayaknya udah eneg denger perjalanan cinta gue yang gak
abis-abis –gak abis-abis tololnya maksudnya. Sebenernya gue juga berharap Arif bisa dateng hari
ini. Dengan perbincangan yang gitu-gitu aja, untuk mendengarkan gue, untuk mendengarkan
kita.

Gue cuman bisa nyengir.


“Tolong tetep sama gue dengan kebaperan ini ya.”

Lalu sejenak kita hanya diam, sadar kalau kita cukup beruntung karena dari sekian banyak orang
di luar sana, kita punya satu sama lain. Melihat bagaimana kita hanya memperdulikan waktu
yang kita punya dengan semua pikiran yang hinggap di kepala kita masing-masing.

Tentang hari esok.

Tentang lusa, dan keesokan harinya lagi.

“Jangan lupain gue.”

“Tetep jadi sahabat gue ya.”

“Selamanya”

Itu cuma fase.

Fase ketakutan kita untuk kehilangan seseorang di saat yang hilang justru diri kita sendiri.

Sekarang fasenya sudah lewat. Diri kita kembali,

takut sudah sungkan datang lagi.

Jangan hidup untuk selamanya.

Pagi saja pergi saat malam datang.

Jangan hidup untuk selamanya.

Malam itu kami belajar kalau tidak ada satupun di dunia ini yang tidak lekang. Semuanya
beranomali dan bergerak dari kiri ke kanan, maju ke depan, kemudian kembali ke arah
sebaliknya.

Kami semua sudah cukup dewasa untuk memahami, kalau kelak kami tidak pernah bertemu lagi,
kemudin dikelak yang selanjutnya kami bertemu sebagai orang lain, kami ingin tetap berusaha
mengerti.

Kalau hidup memang berjalan seperti itu.


Perbincangan gue dimalam itu masih belanjut dengan kata penutup.

“Baik-baik.. kalian semua. Baik-baik untuk bahagiain diri lo sendiri. Baik-baik untuk mengerti
diri lo sendiri.”

Tujuh.

Saat gue mulai mengisi kembali buku diary gue yang kosong. Lembar pertama akan gue isi
dengan dia. Dia yang gak pernah bertanya di saat gue ingin mengatakan. Dia yang gak pernah
menasehati di saat gue ingin mendengarnya.

Lembar pertama akan gue tulis dengan nama Okbari Anggarawana Kartajie.

Kemudian gue buka lembar selanjutnya. Lembar kedua yang akan gue isi dengan dia. Dia yang
akan jadi orang pertama tau tentang pikiran gue. Sekalipun dia sibuk untuk membenah
perasaannya sendiri.

Lembar kedua akan gue tulis dengan nama Annisa Kusuma Nursafa.

Kemudian gue buka lembar selanjutnya. Lembar ketiga yang akan gue isi dengan dia. Dia yang
gue harap selalu bahagia dengan penantian panjang yang meskipun belum mendapatkan hasil,
namun tetap membuat dia hidup tanpa sesal dan bahagia dengan caranya sendiri.

Lembar ketiga akan gue tulis dengan nama Luthfy Darmawan Sutisna.

Kemudian gue buka lembar selanjutnya. Lembar keempat yang akan gue isi dengan dia. Dia
yang buat kata hati gue berkata salah. Tapi gue tetep gak bisa menyalahkannya karena dia
merasanya dirinya benar.

Lembar keempat akan gue tulis dengan nama Diana Herlina.

Kemudian gue buka lembar selanjutnya. Lembar kelima yang akan gue isi dengan dia. Dia yang
buat gue takut akan nyakitin dia yang udah terlanjur sakit. Gue cuman bisa menuliskan kata
akhir. Gak gitu, bahagia caranya gak kayak gitu.

Lembar kelima akan gue tulis dengan nama Arif Fatullah.


Kemudian gue buka lembar selanjutnya. Lembar keenam yang akan gue isi dengan dia. Dia yang
sudah menemukan caranya bahagia. Dan gue harap dia selalu bisa menularkan kebahagiaan itu.

Lembar keenam akan gue tulis dengan nama Annisa Sri Wulansari.

Dan akhirnya gue sampai dilembar terakhir. Lembar yang gak bisa gue deskripsikan tapi sudah
terlanjur gue coret dengan kata, terimakasih. Karena gue gak akan pernah lebih berterimakasih
dari ini.

Lembar ketujuh akan gue tulis dengan nama gue, Sri Yuli.

Anda mungkin juga menyukai