Anda di halaman 1dari 4

Merayakan Kepergian

Hari itu, hari dimana aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya, yang ada dibenakku
hanya satu, menyibukkan diri dari hal-hal yang tak mengingatkan lagi tentangmu. Iya, aku
berusaha keras melupakan, begitu berat memang kenyataan yang harus kulalui, tapi aku tak
menyesal, aku hanya ingin menjadi diriku yang lebih baik lagi.

Jika kamu bertanya apakah aku bahagia? Jelas, aku bahagia, dan kamu tidak perlu tahu
bagaimana aku sekarang, yang pasti aku sudah tidak ada di tempat dimana aku pernah
tertancap duri. Hanya untuk kali ini, maaf, izinkan aku menceritakan sedikit kisah tentang
kita yang belum kamu ketahui, tak begitu indah, namun cukup bisa dikenang.

Teruntuk kamu, seseorang yang tak mampu ku tatap matanya meski sekejap. Mungkin
bagimu aku terkesan dingin, saat kamu tahu aku yang masih saja tak bersuara setiap kali kita
berjumpa. Hatiku selalu berdebar, meski jarak sejauh satu meter mata kita bertemu. Aku
merasa canggung ketika harus memulai percakapan denganmu, apalagi saat kamu sedang
bersama kawan-kawanmu.

Sapamu adalah yang selalu ku tunggu, meskipun hanya senyum malu balasan dariku. Aku
senang, baru kali itu aku merasa seperti diperhatikan, sejak bertemu denganmu tepatnya,
hidupku yang semula hanya berwarna abu-abu berubah, menjadi sekumpulan merah jambu,
kamu berhasil masuk pada ruang dimensiku yang terkesan kaku dan tak beraturan.

Sebenarnya aku malu menceritakan ini, aku takut kamu mengira aku masih ada rasa, padahal
tidak, sama sekali, aku hanya ingin melepas apa yang menjadi beban di pikiranku, lagi pula
kenangan itu ada untuk dijadikan pelajaran kan? karena nggak semua pertemuan berujung
menyatukan. Baiklah, aku mulai saja ceritanya.

Dia adalah cinta pertamaku, mengajarkanku arti perjuangan, perjuangan untuk meraih cita-
cita, mengajarkanku arti setia pada satu pilihan, dia yang mendukungku untuk meraih
mimpiku, dia adalah bagian dari puisi yang kutulis saat aku sedang jatuh cintanya, dia serupa
pelangi, dia hadir memberi warna warni di kanvas hidupku.

Berawal dari sebuah kegiatan perkemahan, aku menemukannya, seorang kakak kelas yang
menjadi pendamping untuk kelasku, entah bagaimana bisa hatiku bergumam perihal dirinya,
seseorang yang bahkan tak pernah kutemui sebelumnya, sebuah kejadian yang membuatku
semakin penasaran akan dirinya, yang akhirnya membuatku bersikeras mencari tahu siapa sih
lelaki itu.

Lelaki itu membuatku tak bisa tidur semalaman, membayangkan senyumnya, memikirkan
siapa namanya, dari mana asalnya, kenapa Tuhan menciptakan dia begitu indah. Rasanya
ingin sesegera mungkin kutemui esok hari. Bergegas ke sekolah, melihat dari arah lantai dua
ruang kelasku, adakah dia yang pernah kutemui sekali di sebuah perkemahan, ada disana?

Benar ya kata orang, masa putih abu-abu adalah masa yang paling indah, masa dimana anak
remaja sedang tumbuh dan mencari jati dirinya, aku merasakan hal itu, kupikir menjadi anak
remaja akan sangat membosankan, dimana hanya tugas sekolah yang harus diperhatikan, tapi
tidak setelah aku melewatinya beberapa bulan di sekolah itu, terutama setelah aku bertemu
dengannya, kakak kelas.

Malam itu aku berhasil menemukan dia, dari sebuah akun Facebook milik temannya, hehe.
Aku mencoba stalking akun milik dia, sembari memberi like pada setiap postingannya,
maksudku supaya berandamu penuh dengan pemberitahuan dariku. Esoknya, benar saja!
kamu mengirim pesan, mungkin karena terganggu olehku, hehe aku justru senang.

Dengan itu jadi lebih mudah untuk aku bisa berkenalan dengannya. Sejak saat itu aku dan dia
semakin sering mengirim pesan, bahkan bertukar nomor handphone, waktu itu belum ada
ponsel android, jadi kami lebih sering bertukar kabar lewat sms atau sesekali menghabiskan
gratisan dengan menelepon.

Hari-hari berlalu, kami jadi sering bertemu, namun hanya mencuri pandang saja. Ketika
berpapasan di kantin, saat aku atau dirinya sedang berolah raga, saat upacara, atau saat kami
ada pertukaran kelas, dia yang lebih dulu menyapaku sembari tersenyum, tak bisa
dibayangkan bagaimana raut wajahku saat itu? tentu saja memerah karena malu.

Tak terasa, aku semakin akrab dengannya, hampir tiap malam kami bertukar kabar,
menanyakan perihal kenapa yang membuat hari begitu melelahkan, aku bahkan sering
bercerita lebih dulu dan meminta bantuan, tentu saja dia siap siaga di barisan terdepan,
hampir dua tahun aku melewati masa-masa menyenangkan itu bersamanya, hampir tidak ada
perdebatan.

Pernah suatu hari aku melihatnya merokok, lalu aku menyuruhnya untuk berhenti, kukatakan
padanya, aku tidak suka cowok perokok, bagiku perokok itu tidak keren! Sama sekali tidak!
Kamu perlu tahu itu! Tapi kamu nggak pernah mau dengar aku! Apalagi sebagai anak SMA.
Anak SMA yang merokok akan dicap sebagai anak tidak baik. Niatku menegurnya supaya
dia berubah menjadi murid yang lebih baik, tapi dia susah sekali diatur, aku tidak suka saat
dia sering bolos sekolah, telat ikut upacara karena alasan kesiangan. Entahlah, ada saja alasan
yang dia katakan ketika aku menyuruhnya untuk taat peraturan.

Katamu “Jangan serius-serius lah sekolah, dibawa santai saja, hidup cuma sekali” Aku
membantah perkataannya “Kamu bisa bilang begitu karena kamu dibebaskan oleh orang
tuamu untuk memilih, sedang aku? Aku harus rajin-rajin belajar supaya masa depanku baik,
aku juga ingin kamu begitu.” Dia kembali menunjukkan senyumnya yang entah apa artinya.

Dia menenangkanku, dia memaklumi teguranku karena dia tahu, aku ingin dia menjadi lebih
baik lagi karena orang tuaku ingin putrinya bergaul dengan kawan yang bisa memberi contoh
baik. Aku nggak tahu mantra apa yang dia beri waktu itu sampai aku bisa kembali luluh.

Waktu berlalu, dia lulus lebih dulu dariku, aku mulai jenuh dengan hubungan yang entah
tiada kejelasan itu, aku masih terbilang sangat muda, dia juga, aku ingin mengejar cita-citaku
sedang dia ingin fokus pada pekerjaannya, sampai tiba pada waktu dimana kami sudah jarang
bertukar kabar, aku mulai sadar dengan berbagai macam perdebatan yang terjadi.

Sore itu aku kembali ke pantai dimana kami pertama kali berkencan, niatnya untuk mengubah
niat, untuk tidak meninggalkannya, tapi tetap saja bayang-bayang akan dirinya membuatku
semakin yakin untuk mengakhiri semuanya, aku tidak memikirkan bagaimana jika aku tanpa
dirinya, yang ada dipikiranku hanya satu, aku dan masa depanku.

Lagi pula, dulu dia juga yang mendukungku untuk memprioritaskan mimpiku, jadi aku sadar
jalan mana yang harus kupilih, kami sudah tidak sejalan, sulit rasanya menyatu lagi, meski
sudah sering kali dicoba, tetap saja ego lebih memenangkannya.

Aku yang tiba-tiba memilih selesai dan melanjutkan hidup meski tanpanya. Entah dia bisa
terima keadaan atau tidak. Saat itu memang aku egois, tapi bukan karena tidak dengan
pertimbangan, justru karena aku telah memikirkannya dengan matang, aku juga melibatkan
Allah SWT, aku memohon untuk diberi jalan terbaik, dan dia membukakan pintu hidayah itu.

Terima kasih ya kamu, sudah pernah hadir dalam hidupku, kamu akan menjadi bagian
terindah dalam puisiku, bukan untuk dikenang, tapi untuk dijadikan pelajaran, Tuhan
mempertemukan kita, tapi Dia tidak mengizinkan kita bersatu.
Sampai hari ini, aku belum bisa jatuh cinta lagi, aku masih ingin terus memperbaiki diri,
supaya bisa disandingkan dengan sosok yang memang layak untukku. Semoga kamu bahagia
ya dengan pilihanmu saat ini, meski bukan aku, semoga wanitamu lebih mampu mengerti
dirimu dibanding aku dulu. Kamu sosok terindah yang pernah kumiliki. Selamat tinggal.

Anda mungkin juga menyukai