Anda di halaman 1dari 8

FASHION DAN GAYA HIDUP : IDENTITAS DAN KOMUNIKASI

Retno Hendariningrum / M. Edy Susilo


Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UPN “Veteran” Yogyakarta”
Jl. Babarsari No. 2 Yogyakarta Telp. (0274) 485268

Abstract
Life style and fashion have been inseparable parts of the modern society. Those are not
seen from its cover but its essence. Economic and media industrial globalization are factors
which form the condition. Nowadays, the new industries, such as mall, fashion, real estate,
entertainment industry, food industry etc, continuously grow. Those are followed by the growth
of the life style as references for the public those are considered whether it is good or bad, up to
date or out of date. Capitalism has influenced not only for women but also men. It has also
conquered of religion and carried out of co-modification of religious symbols.

Keywords : fashion, life style, communication

Pendahuluan cara untuk mengekspresikan diri seseorang.


Jika melihat seseorang mengenakan Upaya-upaya manusia untuk berhias agar
kemeja lengan panjang dan dasi, lengkap dengan tampilannya lebih dipandang bukanlah hal baru.
setelan jas dan sepatu fantovel, juga dengan jam Jauh sebelum zaman modern seperti sekarang
tangan mewah seperti Rolex melingkar di upaya ini sudah dilakukan. Hal ini bisa dilihat di
pergelangan tangannya, orang akan menilai bahwa museum-museum sejarah atau pada relief-relief
ia adalah orang yang mapan. Penilaian ini akan candi. Di mana pada zaman itu pakaian dan
berbeda ketika melihat seseorang yang lain, perhiasan-perhiasan yang digunakan berasal dari
mengenakan kaos, celana dan jaket jeans, serta kerang, manik-manik, batu-batu alam, hingga emas
sandal gunung, orang akan menilainya sebagai dijadikan sebagai pelengkap penting penampilan
orang santai dan easy going. seseorang.
Fashion menjadi bagian yang tidak dapat Produsen pun berlomba untuk membuat
dilepaskan dari penampilan dan gaya keseharian. barang bukan lagi sekedar fungsi semata yang
Benda-benda seperti baju dan aksesori yang berbicara, tetapi juga bagaimana barang
dikenakan bukanlah sekadar penutup tubuh dan produksinya bisa merefkleksikan kepribadian si
hiasan, lebih dari itu juga menjadi sebuah alat pemakai. Sebagai contoh produsen jam Fossil dan
komunikasi untuk menyampaikan identitas pribadi. sepatu Puma Football. Fossil mencoba mengu-
Dalam perkembangan selanjutnya fashion tidak sung filosofi modern vintage, yang berupaya me-
hanya menyangkut soal busana dan aksesoris ngeluarkan jam bukan sekedar untuk menunjukkan
semacam perhiasan seperti kalung dan gelang, waktu tetapi menjadi sebuah art piece melalui
akan tetapi benda-benda fungsional lain yang desain-desainnya. Fossil juga menggandeng kerja
dipadukan dengan unsur-unsur desain yang canggih sama dengan Sony Erricson meluncurkan jam
dan unik menjadi alat yang dapat menunjukkan tangan yang dilengkapi dengan koneksi bluetooth.
dan mendongkrak penampilan si pemakai. Ini memungkinkan Fossil bukan sekedar penunjuk
Fashion bisa menjadi etalase kecil tentang waktu tetapi sebuah alat yang mampu menjalankan
diri seseorang bagi orang lain. Gaya berpakaian beberapa fungsi sekaligus. Begitupun dengan
atau berbusana merupakan sebuah bahan penilaian sepatu Puma Football yang mengusung
awal seseorang. Di samping juga fashion menjadi kampanyenya dengan “Until Then” melalui

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 6, Nomor 2, Mei - Agustus 2008 25


Fashion & Gaya Hidup Retno hendariningrum /M. Edy Susilo

produk sepatunya V1.08 yang memiliki tampilan 2001). Sementara dalam masyarakat modern,
futuristik, gaya, dan modern. Dalam kampanye gaya hidup (lifestyle) membantu mendefinisikan
versi cetaknya Puma Football menggabungkan mengenai sikap, nilai-nilai, kekayaan, serta posisi
antara seni fotografi dan animated “Speed Legs” sosial seseorang (Chaney, 2004). Dalam masya-
untuk menggambarkan semangat olahraga di masa rakat modern istilah ini mengkonotasikan
depan (Kompas, 6 Maret 2008). individualisme, ekspresi diri, serta kesadaran diri
Di dalam masyarakat, di mana persoalan untuk bergaya. Tubuh, busana, cara bicara, hiburan
gaya adalah sesuatu yang penting (atau malah gaya saat waktu luang, pilihan makanan dan minuman,
merupakan segalanya), semua manusia adalah per- rumah, kendaraan, bahkan pilihan sumber
former. Setiap orang diminta untuk bisa informasi, dan seterusnya dipandang sebagai
memainkan dan mengontrol peranan mereka indikator dari individualistis selera, serta rasa gaya
sendiri. Gaya pakaian, dandanan rambut, segala dari seseorang.
macam aksesoris yang menempel, selera musik, Fenomena gaya hidup masyarakat Indo-
atau pilihan-pilihan kegiatan yang dilakukan, adalah nesia, (Ibrahim, 2007) bisa dijelaskan pertama,
bagian dari pertunjukan identitas dan kepribadian masyarakat konsumen Indonesia tumbuh
diri. Seseorang kemudian bisa memilih tipe-tipe beriringan dengan sejarah globalisasi ekonomi dan
kepribadian yang diinginkan melalui contoh-contoh transformasi kapitalisme konsumsi yang ditandai
kepribadian yang beredar di sekitar, seperti bintang dengan menjamurnya pusat perbelanjaan seperti
film, bintang iklan, penyanyi, model, bermacam- mall, indsutri waktu luang, industri mode atau fash-
macam tipe kelompok yang ada atau seseorang ion, industri kecantikan, industri kuliner, industri
bisa menciptakan sendiri gaya kepribadian yang nasihat, industri gosip, kawasan hunian mewah,
unik, yang berbeda, bahkan jika perlu yang belum real esatete, gencarnya iklan barang-barang
pernah digunakan orang lain. Kesemuanya itu supermewah, liburan wisata ke luar negeri,
adalah demi gaya karena gaya adalah segala- berdirinya sekolah-sekolah mahal, kegandrungan
galanya, dan segala-galanya adalah gaya. Dengan terhadap merek asing, makanan serba instant (fast
gaya seseorang bisa menunjukkan siapa dirinya. food), telepon seluler (HP), dan tidak ketinggalan
serbuan gaya hidup melalui industri iklan dan
Fenomena Fashion dan Gaya Hidup tayangan televisi.
Masyarakat Indonesia Kedua, globalisasi industri media dari
Fashion berasal dari bahasa Latin, mancanegara dengan modalnya yang besar yang
factio, yang artinya membuat atau melakukan. masuk ke tanah air sekitar tahun 1900-an, yakni
Karena itu, arti kata asli fashion mengacu pada berupa serbuan majalah-majalah mode dan gaya
kegiatan; fashion merupakan sesuatu yang hidup yang terbit dalam edisi khusus bahasa In-
dilakukan seseorang, tidak seperti dewasa ini, yang donesia yang jelas menawarkan gaya hidup yang
memaknai fashion sebagai sesuatu yang dikenakan tidak mungkin terjangkau oleh kebanyakan
seseorang. Arti asli fashion pun mengacu pada masyarakat Indonesia. Majalah-majalah itu
ide tentang fetish atau obyek fetish. Kata ini tentunya diperuntukkan bagi laki-laki dan
mengungkapkan bahwa butir-butir fashion dan perempuan (yang berselera) kelas menengah ke
pakaian adalah komoditas yang paling di-fetish- atas. Dari kemasan dan rubrik atau kolom yang
kan, yang diproduksi dan dikonsumsi di disajikan jelas-jelas menanamkan nilai, cita rasa,
masyarakat kapitalis. Polhemus dan Procter gaya dan ideologi yang bisa dilihat dari slogannya
(dalam Barnard, 2006) menunjukkan bahwa dalam yakni menawarkan fantasi hidup seperti ‘Be
masyarakat kontemporer Barat, istilah fashion smarter, richer, & sexier’ atau “Get Fun”, dan
sering digunakan sebagai sinonim dari istilah sebagainya
dandanan, gaya dan busana. Begitu pula berkembangnya industri
Gaya hidup (lifestyle) secara sosiologis penerbitan khusus anak-anak dan kawula muda
(dengan pengertian terbatas) merujuk pada gaya yang menjadi ladang persemaian gaya hidup.
hidup khas suatu kelompok tertentu (Featherstone, Melalui majalah-majalah anak muda, baik untuk

26 Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 6, Nomor 2, Mei - Agustus 2008


Retno hendariningrum /M. Edy Susilo Fashion & Gaya Hidup

laki-laki dan perempuan, yang diperuntukkan ditawarkan adalah mode, shopping, soal gaul,
khusus bagi para ABG yang mungkin tengah gelisah seks, pacaran yang pengelolalannya dianggap
mencari identitas dan citra diri ini, kini banyak ‘Islami’. Slogan yang ditawarkanyapun seperti
banyak beredar dengan kemasan yang tak kalah halnya fantasi muda-mudi kelas menengah
lux dibanding dengan media untuk dewasa. Bacaan umumnya, yaitu jadilah Muslimah yang gaul dan
untuk kawula muda ini banyak menawarkan gaya smart, atau jadilah muslimah yang dinamis dan
hidup dengan selera sekitar perkembangan tren trendi. Di sini tengah ditanamkan ideologi yang
busana, problema gaul, pacaran, shopping, acara samar-samar terbentuk, beragama tetapi tetap
mengisi waktu senggang yang kesemuanya secara trendi atau biar religius tapi tetap modis.
jelas perlahan tapi pasti akan ikut membentuk Fenomena ini apakah sebagai kebangkitan
budaya kawula muda (youth culture) yang keagamaan ataukah pemanfaatan sensibilitas
berorientasi gaya hidup FUN! keagamaan yang mengalami komodifikasi (menjadi
Ketiga, di kalangan sebagian masyarakat komoditas) di pentas konsumsi massa. Ketika
mencuat pula gaya hidup alternatif, suatu gerakan kerudung, jilbab, gamis, baju koko (dengan
seakan-akan ‘kembali ke alam’, ke hal-hal yang berbagai model, pola, corak, warna) kian menjadi
bersahaja, semacam kerinduan ala kampung salah satu ikon gaya hidup dalam fashion, dan mulai
halaman atau surga yang hilang; dan juga menjadi bisnis besar, serta banyak dipakai para
mencuatnya gaya hidup spiritualisme baru yang artis dalam dunia hiburan seperti sekarang ini.
kesemuanya itu seakan-akan menjadi antitesis dari Bahkan di kalangan tertentu bisa dilihat munculnya
glamour fashion. Orang Indonesia sekarang sudah upaya disadari atau tidak untuk memberikan label
tidak malu-malu lagi apalagi takut menunjukkan “islamisasi” dalam perilaku konsumtif di dunia
dirinya kaya (juga tentunya sekaligus taat mode dan shopping. Padahal mungkin yang terjadi
beragama). Siapa takkan merasa bahagia menjadi sebenarnya adalah kapitalisasi Islam atau
orang kaya sekaligus takwa? Lagi pula buat apa penaklukan semangat keagamaan oleh pasar, dunia
susah-susah menjadi kaya kalau harus hidup bisnis, atau kapitalisme itu sendiri.
sederhana, tidak bisa merasakan enaknya menjadi
orang kaya. Mungkin logikanya begitu. Industri Penampilan atau Gaya Hidup dan
Rupanya nafsu besar terpendam untuk Masyarakat Tontonan
meraih kekayaan, dan kekayaan sebagai lambang Dalam abad gaya hidup, penampilan
prestise, dan prestasi kaya itu pun harus adalah segalanya. Perhatian terhadap urusan
dinyatakan, dirayakan, dan diarak di ruang publik. penampilan sebenarnya bukanlah hal yang baru
Contoh di atas menunjukkan bahwa ketika kriteria dalam sejarah. Urusan penampilan atau presentasi
kesuksesan menguat ke arah yang bersifat prestise diri ini sudah lama menjadi perbincangan sosiologi
materialistik, semangat spiritualisme baru pun dan kritikus budaya. Erving Goffman, misalnya
ternyata mengalami polesan lebih canggih dalam dalam The Presentation of Self Everyday Life
budaya konsumen. (1959). Ia mengemukakan bahwa kehidupan
Di kalangan umat Islam, misalnya kini sosial terutama terdiri dari penampilan teatrikal yang
mulai marak iklan dan industri jasa yang diritualkan, yang kemudian lebih dikenal dengan
menawarkan ‘wisata religius’, berdirinya kafe-kafe pendekatan dramaturgi (dramatugical ap-
khusus muslim, berdirinya sekolah Islam mahal, proach). Manusia seolah-olah sedang bertindak
menjamurnya konter berlabel Exclusive Moslem di atas sebuah panggung. Bagi Goffman, berbagai
Fashion, kegandrungan kelas menengah atas akan penggunaan ruang, barang-barang, bahasa tubuh,
Moslem Fashion Show dan berdirinya pusat- ritual interaksi sosial tampil untuk memfasilitasi
pusat perbelanjaan yang memanfaatkan sensibilitas kehidupan sosial sehari-hari (Ritzer, 2005).
keagamaan untuk keuntungan bisnis. Sementara Dalam abad gaya hidup, penampilan diri
maraknya penerbitan majalah anak muda Islam itu justru mengalami estetisasi, “estetisasi kehidupan
(khususnya untuk Muslimah) tidak jauh beda, sehari-hari”, bahkan tubuh/diri (body/self) pun
dengan majalah-majalah umum lainnya. Hal yang justru mengalami estetisisasi tubuh. Tubuh/diri dan

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 6, Nomor 2, Mei - Agustus 2008 27


Fashion & Gaya Hidup Retno hendariningrum /M. Edy Susilo

kehidupan sehari-hari pun menjadi sebuah proyek, kerja, seminar, arisan, undangan resepsi perka-
benih penyemaian gaya hidup. “Kamu bergaya winan, ceramah agama, atau sekadar jalan-jalan,
maka kamu ada!” adalah ungkapan yang mungkin mejeng, dan ngeceng di mall. Mall, misalnya,
cocok untuk melukiskan kegandrungan manusia benar-benar telah menjelma menjadi ladang
modern akan gaya. Itulah sebabnya industri gaya persemaian gaya hidup (Chaney, 2004).
hidup untuk sebagian besar adalah industri Baudrillard juga mengatakan dengan
penampilan. penuhnya ruang publik dengan tanda, maka
Menurut Chaney, penampakan luar memicu lahirnya keresahan baru tentang hilangnya
menjadi salah satu situs yang penting bagi gaya ruang publik yang harusnya independen dan
hidup. Hal-hal permukaan akan menjadi lebih menjadi arena bebas guna mengaktualisasikan diri
penting daripada substansi. Gaya dan desain atas masalah-masalah sosial. Tanda menjadi
menjadi lebih penting daripada fungsi. Gaya mahluk hidup baru, dalam nyawa eksentrisme
menggantikan subtansi. Kulit akan mengalahkan dalam menarik yang sifatnya privat menjadi hilang,
isi. Pemasaran penampakan luar, penampilan, hal- karena tidak ada lagi batas mana yang privat dan
hal yang bersifat permukaan atau kulit akan menjadi publik. Tidak mengherankan jika kemudian ditemui
bisnis besar gaya hidup. Lebih lanjut Chaney di ruang publik terjadi kecabulan yang seharusnya
mengingatkan bagaimana para politisi, selebriti, privat, tetapi kecabulan tadi berubah menjadi
artis pertunjukan, dan figur-figur publik lainnya publik karena diarahkan oleh obyek yang ditan-
akan terus berusaha memanipulasi penampakan dakan melalui diantaranya media. (Baudrillard,
luar citra mereka (gaya hidup mereka) untuk 2006) Apa yang dikatakan Baudrillard tersebut
merekayasa kesepakatan dan mendapatkan dalam masyarakat masa kini menjadi fenomena
dukungan. Dalam ungkapan Chaney, Jadi, baik yang menggejala di mana rumor dan gosip atau
korporasi-korporasi, maupun para selebriti dan yang harusnya rahasia, menjadi ’rahasia publik’.
kelompok figur publik lainnya, seperti para politisi, Dalam mengkaji fenomena ini Baudrillard
berupaya memanipulasi citra mereka dengan cara- memiliki kesamaan dengan apa yang dikaji oleh
cara yang menyanjung-nyanjung dan menghindari Guy Debord dalam The Society of the Specta-
publisitas yang merusak. (Chaney, 2004) cle (masyarakat tontonan). Di mana masyara-
Chaney juga mengatakan bahwa semua katnya telah teracuni oleh tanda dan dari segala
yang kita miliki akan menjadi budaya tontonan (a macam jenis produksi massa. Kondisi demikian
culture of spectacle). Semua orang ingin menjadi memicu masyarakat untuk selalu berdandan, selalu
penonton dan sekaligus ditonton. Ingin melihat necis, selalu dandy dalam setiap interaksi sosialnya.
tetapi sekaligus juga dilihat. Di sinilah gaya mulai Masyarakat telah terjebak dalam lautan panggung
menjadi modus keberadaan manusia modern: yang tidak bisa memisahkan mana yang riil dan
Kamu bergaya maka kamu ada! Kalau kamu tidak tidak riil (Baudrillard, 2006).
bergaya, siap-siaplah untuk dianggap tidak ada;
diremehkan, diabaikan, atau mungkin dilecehkan. Image Media dan Budaya Pemujaan Tubuh
Itulah sebabnya mungkin orang sekarang perlu Jika gaya hidup dipahami sebagai proyek
bersolek atau berias diri. Jadilah kita menjadi eksistensial daripada konsekuensi-konsekuensi
masyarakat pesolek (dandy society). Tak usah dari program pemasaran, maka gaya hidup
susah-susah menjelaskan mengapa tidak sedikit seharusnya memiliki implikasi-implikasi normatif,
laki-laki dan perempuan modern yang perlu tampil dan juga estetika (Chaney, 2004). Akan tetapi
beda modis, necis, perlente, dandy. Kini gaya ketika gaya hidup menjelma menjadi komoditi yang
hidup demikian bukan lagi monopoli artis, model, dikonsumsi oleh mereka yang menganggap konsep
peragawan(wati), atau selebriti yang memang pendisiplinan dan pembentukan tubuh sebagai
sengaja mempercantik diri untuk tampil di pusat kesadaran. Konstruksi tubuh tidak hanya
panggung. Tapi, gaya hidup golongan penganut berimplikasi pada aspek medis, tetapi juga
dandyism itu kini sudah ditiru secara kreatif oleh merembes ke level estetis dan etis. Ia tidak hanya
masyarakat untuk tampil sehari-hari baik ke tempat melulu mendera kaum perempuan, tetapi juga laki-

28 Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 6, Nomor 2, Mei - Agustus 2008


Retno hendariningrum /M. Edy Susilo Fashion & Gaya Hidup

laki dalam berburu tubuh dengan kriteria ideal di wajahisme (Lookism/Faceism) kini mulai menjadi
pentas konsumsi massa (Ibrahim, 2007). persoalan serius dalam perburuan kecantikan dan
Kini bahkan di negara-negara maju muncul untuk selalu tampil menjadi yang tercantik
apa yang disebut new man, agak mirip tipe cowok (tertampan!) tidak hanya di pentas dunia fahion,
macho, tetapi lebih vulgar. New man disebut potret tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Salah
beralihnya laki-laki sebagai obyek tontonan, atau seorang psikolog Amerika terkemuka, Nancy
obyek seks. Demam kesuksesan dua bintang Etcoff, dalam Suvival of the Prettiest: The Sci-
berotot seperti Sylvester Stallone dan Arnold ence of Beauty (1999) menyebut gejala tersebut
Scharzenegger di layar perak, membuat banyak dengan Lookism. Lookism adalah teori yang
laki-laki khususnya di Amerika Serikat berasyik- menganggap bahwa bila lebih baik tampilan Anda,
ria dengan diri sendiri. Mereka sibuk memper- maka akan lebih sukseslah Anda dalam kehidupan.
hatikan ototnya. Sejak era 1990-an bersamaan Dalam abad citra, citra mendominasi persepsi,
dengan kian banyaknya kaum hawa yang pikiran, dan juga penilaian kita akan penampilan
menderita anorexia. Mereka merasa tidak puas wajah, kulit, atau tampang seseorang. (Chaney,
melihat tubuhnya berlemak, meskipun sebenarnya 2004)
sudah kurus. Sementara, kaum adam mengalami Bahkan kebiasaan senyuman, misalnya,
body anxiety, kecemasan tak berkesudahan pada sekarang ini tidak bisa lagi dianggap sepele.
bentuk tubuh sendiri. Mereka senantiasa menilai Senyuman bisa menjadi modal simbolik dalam
dirinya lewat proyeksi ideal yang ada di media pergaulan sosial sehari-hari, di dunia kerja dan di
(Ibrahim, 2007). dunia bisnis. Meskpiun kita tidak perlu mengumbar
Tidak heran, industri jasa yang memberi- senyum, tapi dalam dunia bisnis entertainment dan
kan layanan untuk mempercantik penampilan Public Relations, senyuman adalah modal
(wajah, kulit, tubuh, rambut) telah dan akan terus simbolik. Senyuman adalah profesi: Smiling Pro-
tumbuh menjadi big business. Kini urusan bersolek fessions! John Hartley dalam The Politics of Pic-
tidak lagi melulu milik perempuan, tapi kaum laki- tures : The Creation of the Public in the Age of
laki pun sudah merasa perlu tampil dandy. Popular Media (1992), menyatakan bahwa
Perubahan sensibilitas kaum pria dalam senyuman (smiling) telah menjadi salah satu
memandang penampilan dan citra diri agaknya telah kebajikan yang paling umum dari zaman kita.
dilirik oleh industri kosmetika dan bisnis Bahkan menurut Hartley, senyuman kini
kecantikan di Tanah Air. Kini tidak hanya menjamur merupakan ideologi dominan dalam ranah publik.
shampo khusus untuk laki-laki dari berbagai merek, Ia ibarat pakaian seragam yang harus dipakai di
tapi di rumah-rumah mode juga akan mudah bibir seseorang yang berfungsi sosial untuk
ditemui perlengkapan kosmetika khusus laki-laki, menciptakan, memelihara, mendidik, merepresen-
berlaber For Men! tasikan, dan membangun citra di depan publik
Urusan solek-bersolek kini tidak hanya (Chaney, 2004).
melulu di sekitar rekayasa tubuh (body building) Untuk mendukung gaya hidup ini, media
yang ditandai dengan menjamurnya fitness cen- sering mengangkatnya menjadi berita yang
tre atau pusat kebugaran dan menggejalanya menarik, di samping menyediakan kolom khusus
kebiasaan berdiet atau operasi plastik di kalangan sebagai tempat mereka bertukar pikiran dalam
perpan atau laki-laki yang gelisah karena bentuk bentuk lain misalnya setiap minggu surat kabar
atau ukuran tubuh yang dianggap kurang ideal, tapi menyiapkan satu halaman penuh untuk urusan fash-
industri nasihat yang berurusan dengan penampilan ion. Ditambah lagi teknologi kecantikan yang
juga tak kalah hebatnya, bahkan hingga ke semakin maju dan luas pengertiannya terus memicu
pelosok-pelosok. Iklan jasa pengobatan dan pil- meningkatnya kebutuhan laki-laki dan perempuan
pil yang menjanjikan keperkasaan laki-laki dan akan peralatan-peralatan tercanggih yang
stamina perempuan mulai dijajakan, bahkan hingga membantu memperbaiki penampilannya,
di warung-warung pinggir jalan (Adlin, 2006). merekayasa tubuhnya.
Tampaknya urusan tampangisme atau Hampir setiap hari bahkan detik media

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 6, Nomor 2, Mei - Agustus 2008 29


Fashion & Gaya Hidup Retno hendariningrum /M. Edy Susilo

selalu menginjeksikan citra penampilan, melalui faces) yang membuat subjeknya berkilau. Saat ini
kegandrungan akan aerobic, kebugaran, fitness, kita tidak mungkin memahami apa pun yang
body building, operasi plastic, facial. Semua berhubungan dengan media massa dan budaya
diilhami melalui public figure terutama para politisi, populer kontempores jika tidak memahami
selebriti sehingga individu-individu, semua terobsesi hubungannya yang integral dengan periklanan.
dengan citra. Melalui media lain, yakni iklan juga Karenanya, menurut Jhally, “Masyarakat
berperan besar dalam membentuk budaya citra konsumen secara harfiah diajar bagaimana
(image cultire) dan budaya cita rasa (taste cul- membaca pesan-pesan komersial”. Kini kegiatan
ture). Adalah gempuran iklan yang menawarkan produksi, distribusi, dan iklan pemasaran jelas
gaya visual yang mempesona dan memabukkan. merupakan industri budaya (cultural industry)
Iklan merepresentasikan gaya hidup dengan masa kini yang penting. Akan tetapi, kegiatan ini
menanamkan secara halus (subtle) arti pentingnya juga akan sangat tergantung pada industri-industri
citra diri untuk tampil di muka publik. Iklan juga lainnya seperti komunikasi massa dan hiburan
perlahan-lahan tapi pasti mempengaruhi pilihan cita massa. (Chaney, 2004)
rasa yang kita buat. “Twenty-first century society is all
Kritikus media terkemuka, Marshall about celebrity” (masyarakat abad ke-21
Mcluhan, menyebut iklan sebagai karya seni segalanya adalah mengenai selebriti), demikian
terbesar abad ke-20. Iklan sering dianggap sebagai ungkapan akademisi periklanan, Prof. Thomas C.
penentu kesadaran manusia modern. Kritikus O’Guinn et al. dalam karya mutakhir mereka,
periklanan, Sut Jhally, menunjukkan bagaimana advertising and Integrated Brand Promotion
citraan periklanan komersial telah menyebar ke (2003). Selebriti adalah suatu kategori sosiologi
wilayah-wilayah budaya populer lainnya dan dia yang unik, mereka dapat menjadi ekspresi diri dan
membahas dampaknya bagi pembentukan identitas sekaligus pembangkit inspirasi bagi para
individu dan sosial. Sistem citra visual dan budaya konsumen. Selebriti adalah “human pseudo-
berbasis citra yang melekat dalam perembesan event” atau “heroic image”, kata Daniel Boorstin
iklan juga dianggap telah mengkoloni wilayah dalam karyanya yang sangat terkenal The Image
kehidupan yang sebelumnya lebih banyak (1962). Ketika menggambarkan peran selebriti
didefinisikan (meski tidak selalu) lewat pengalaman dalam dunia media, Boorstin mengatakan, “The
dan persepsi auditori. Budaya visual akhirnya yang celebrity is a person who is known for his well-
mendominasi masyarakat konsumen. (Chaney, knowness”. (dalam Chaney, 2004)
2004) Pemikiran mutakhir dalam dunia promosi
Tentu saja tidak semua orang atau sampai pada kesimpulan bahwa dalam budaya
konsumen bisa terpengaruh begitu saja oleh bujuk berbasis selebriti (celebrity based-culture), para
rayu iklan. Tidak setiap orang akan membeli setiap selebriti membantu dalam pembentukan identitas
barang yang diiklankan dengan menawan dari para konsumen kontemporer. Dalam budaya
sekalipun. Paling banter orang hanya terkagum- konsumen, identitas menjadi suatu sandaran
kagum dengan wacana iklan yang membangkitkan “aksesori fashion”. Wajah generasi baru yang
rasa humor atau karena terpesona dengan bintang dikenal sebagai anak-anak E-Generation,
iklannya yang aduhai. Tapi, jelas unsur repetesi, menjadi seperti sekarang ini dianggap terbentuk
trik, dan manipulasi dalam periklanan, tak bisa melalui identitas yang diilhami selebriti (celebrity-
diabaikan dalam perembesan gaya hidup, terutama insoired identity) – cara mereka berselancar di
di kalangan anak-anak dan kaum muda, misalnya. dunia maya (internet), cara mereka gonta-ganti
Iklan dengan demikian telah menjadi semacam busana untuk jalan-jalan. Ini berarti bahwa selebriti
saluran hasrat (channel of disire) manusia dan dan citra mereka digunakan momen demi momen
sekaligus saluran wacana (channel of discourse) untuk membantu konsumen dalam parade identitas.
mengenai konsumsi dan gaya hidup. Tidak disangsikan, yang bertindak sebagai
Bagi Chaney sendiri, iklan adalah agen public relations dari kaum selebriti adalah
penampakan luar yang menyesatkan (illusory sur- media populer dan, terutama televisi. Televisi bagi

30 Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 6, Nomor 2, Mei - Agustus 2008


Retno hendariningrum /M. Edy Susilo Fashion & Gaya Hidup

sebagian kalangan bahkan dianggap telah sebagai faktor pengakuan. Karenanya, menurut
mengolonisasi waktu luang. Saluran musik televisi Hamill, jarang sekali perhatian diberikan kepada
non-stop 24 jam, seperti MTV, tidak hanya ilmuwan, pendidik, atau arkeolog. Kecuali mereka
menghibur anak muda di berbagai penjuru dunia yang menurut media telah dinobatkan atau
dengan video klip lagu-lagu atau grup-grup musik mencapai status selebriti. Nama-nama besar (big
yang lagi in, tapi juga menghibur mereka dengan names) terus menerus menjadi fokus perhatian
pesan-pesan komersial dan secara halus media dan menyingkirkan subjek-subjek lain yang
menanamkan nilai dan kesadaran akan betapa dianggap belum layak dikatrol sebagai selebriti
bahagianya kalau bisa mengisi waktu luang dengan media. (dalam Chaney, 2004)
bersenang-senang dan bersantai. MTV jelas telah Di Indonesia, akhir-akhir ini fenomena
menjadi saluran penyemaian gaya hidup subkultur jurnalisme selebriti benar-benar mengalami
kawula muda yang tumbuh bersamaan dengan polesan dengan tumbuhnya industri televisi swasta
perkembangan industri musik dan hiburan yang yang semakin memperpanjang jam tayangnya.
berhasil memanfaatkan kemajuan dunia Dalam keinginan untuk memenuhi waktu tayang
pertelevisian. yang begitu besar, godaan ke arah sensasi diperkuat
Sementara itu, pabrik gaya hidup yang pula oleh persaingan antar televisi swasta untuk
sekian lama didominasi iklan, kini dipercanggih merebut hati pemirsa dan meraub porsi iklan
lewat rekayasa industri citra yang melahirkan para sebesar-besarnya. Sayangnya, unsur persaingan
praktisi public relations dalam dunia bisnis, tak dengan sendirinya membuat insan pertelevisian
tontonan, dan juga politik. Dalam abad media, citra semakin kreatif dan acara-acara yang mengklaim
adalah segalanya. Apalagi yang dipertaruhkan para diri sebagai acara para selebriti. Fenomena yang
pebisnis, politisi, dan selebriti, selain dari citra dan menonjol justru adalah keseragaman, hanya nama
kesan di depan publik. Celakanya di abad media, acaranya saja yang berbeda dan televisinya saja
untuk menjadi bintang media, orang tak perlu yang berbeda.
sehebat Gandhi, Soekarno, atau Churcill. Untuk
menjadi seorang hero atau heroik orang tak selalu Kesimpulan
harus melakukan hal-hal yang luar biasa atau Fetishism telah hadir dan menciptakan
menciptakan karya besar. Orang-orang yang (pseudo) realitasnya sendiri. Ideologi kecantikan
dianggap besar kini adalah orang-orang yang tenar telah demikian meresap dan diterima nyaris tanpa
dan ditenarkan oleh dan di media: selebriti- resistensi oleh masyarakat. Apabila pada masa lalu,
menurut-media. Jurnalisme sekarang lebih asyik fetishisme biasanya hanya dihubungkan dengan
menciptakan tokoh, bintang, atau selebriti, untuk perempuan, maka saat ini banyak pula pria yang
kemudian sewaktu-waktu mengenyahkan dan telah menjadi “pemuja tubuh dan gaya hidup”.
menggantikannya dengan yang baru. Seperti siklus Media mempunyai peran besar dalam
mode atau fashion dalam dunia bintang. (Ibrahim, mengkonstruksikan mengenai bagaimana khalayak
2007) dapat tampil cantik atau tampan, memikat, masa
Keasyikan Jurnalisme modern dalam kini dan bercitra sukses. Jurnalisme gaya hidup
merekam dan memberitakan berbagai aktivitas, menjadi sebuah pilihan bagi banyak organisasi
perkataan, skandal dari mereka yang diklaim oleh media. Media-media tersebut memungkinkan
media—dan tak jarang juga mengklaim dirinya terjadinya penyebaran gaya hidup dalam waktu
sendiri—sebagai selebriti telah melahirkan apa yang sangat cepat. Di Indonesia, sebagian media
yang disebut kritikus media sebagai “Jurnalisme tersebut beroperasi dengan cara waralaba (fran-
selebriti” (celebrity journalism). Hal ini, misalnya, chise) dari belahan dunia yang lain layaknya
dilukiskan oleh Peter Hamill dalam News is Verb makanan fast food.
(1998) sebagai virus dan fenomena yang paling Media juga memilih figur-figur tertentu dan
menyebar sepanjang masa. Hamill memandang akan menasbihkan mereka menjadi selebriti.
bahwa prestasi atau pencapaian sejati (true ac- Selebriti dapat berasal dari berbagai profesi seperti
complishment) seseorang justru disingkirkan bintang film, penyannyi, pejabat, pengacara, atlet

Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 6, Nomor 2, Mei - Agustus 2008 31


Fashion & Gaya Hidup Retno hendariningrum /M. Edy Susilo

dan sebagainya. Kesamaan yang dimiliki oleh cation Studies, Routledge, London, New
semua selebriti—selain populer—adalah memiliki York.
tampilan fisik yang menarik. Mereka harus memikat Ibrahim, Idy Subandi (Ed.), 2004, Lifestyle
untuk difoto atau disorot kamera televisi. Para Ectasy, Jalasutra, Yogyakarta.
selebriti ini bukan hanya menjadi tontonan, tetapi ————, 2007, Budaya Populer sebagai
akan menjadi “tuntunan” bagi segenap Komunikasi, Jalasutra, Yogyakarta.
penggemarnya. Ritzer, George, 2004, Modern Sociological
Para penggemar akan mencoba Theory, terjemahan oleh Alimandan, Teori
mengimitasi penampilan selebriti yang Sosiologi Modern, Prenada Media, Ja-
dikaguminya. Mereka akan mencocokkan fash- karta.
ion, aksesoris, gaya rambut, bentuk tubuh dan gaya Strinati, Dominic, 2003, Popular Culture
hidup para selebriti. Mereka berlaku layaknya Pengantar Menuju Budaya Populer,
selebriti dalam kehidupan sehari-hari. Untuk Bentang Budaya.
mengaktualisasikan diri, mall menjadi salah satu
situs penting dalam kebudayaan kontemporer. Mall
adalah tempat di mana mereka bisa dilihat dan
melihat.
Gaya hidup adalah komoditas baru dalam
kapitalisme. Ia bahkan bisa menelusup masuk
dalam simbol-simbol agama dan bergerak dari
dalam seraya menawarkan konsep “saleh tetapi
trendy” atau “ibadah yes, gaul yes”. Ada
preferensi sosial yang diam-diam diadopsi oleh
masyarakat dan menggantikan nilai-nilai lama.

Daftar Pustaka
Adlin, Alfathri, (Ed.), 2006, Resistensi Gaya
Hidup : Teori dan Realitas, Jalasutra,
Yogyakarta.
Barker, Chris, 2004, Cultural Studies, Kreasi
Wacana, Yogyakarta, 2004.
Barnard, Malcolm, 2006, Fashion as Commu-
nication, diterjemahkan oleh Idy Subandy
Ibrahim, Fashion sebagai Komunikasi Cara
Mengkomunikasikan Identias Sosiasl,
Seksual, Kelas dan Gender, Jalasutra,
Yogyakarta.
Baudrillard, Jean, 2006, The Ecstasy of Com-
munication, terjemahan oleh Jimmy
Firdaus, Ekstasi Komunikasi, Kreasi
Wacana, Yogyakarta.
Chaney, David, 2004, Lifestyle Sebuah
Pengantar Komprehensif, Jalasutra,
Yogyakarta.
Featherstone, Mike, 2001, Postmodernisme dan
Budaya Konsumen, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Fiske, John, 2004, Introduction to Communi-

32 Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 6, Nomor 2, Mei - Agustus 2008

Anda mungkin juga menyukai