Anda di halaman 1dari 10

UJIAN AKHIR SEMESTER MATA KULIAH

PENGANTAR KAJIAN BUDAYA INDONESIA

Budaya Role Model Fashion Luar Crossdressing

Disusun Oleh :
Anastya Riris Sulistyana
NIM. 214114015

Program Studi Sastra Indonesia


Fakultas Sastra
Universitas Sanata Dharma
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Media massa menjadi bagian kehidupan masyarakat modern dewasa
ini baik media massa konvensional maupun media baru. Dinamika
masyarakat mengalami perubahan yang cukup cepat dan signifikan karena
pengaruh berbagai teks media. Media tidak hanya memberikan informasi,
tetapi juga membentuk perilaku imitasi sebagaimana model yang disajikan
pesan media. Perilaku imitasi tersebut meliputi cara berbicara, baik cara
pengucapan maupun kata yang yang diucapkan hingga gaya berbusana.
Perkembangan trend busana selalu diminati berbagai kalangan
masyarakat sebagai lambang identitas gaya hidup modern. Trend busana
sekarang tidak hanya mencakup busana casual saja tetapi juga merambah ke
salah satu role model fashion yaitu cross dressing. Role model fashion adalah
seseorang yang dianggap sebagai teladan atau contoh dalam hal
berpenampilan dan gaya busana. Mereka adalah individu yang memiliki gaya
pribadi yang unik dan mempengaruhi banyak orang dalam cara mereka
berpakaian, berpenampilan, dan berperilaku di masyarakat. Role model
fashion seringkali dianggap sebagai sumber inspirasi bagi orang lain dalam
menciptakan gaya pribadi mereka sendiri dan dalam memilih busana yang
tepat untuk situasi tertentu. Selain itu, mereka juga sering memimpin tren
mode dan menjadi contoh dalam hal berinovasi dan menciptakan gaya yang
baru dan berbeda.
Dalam perkembangannya, role model fashion bukan hanya tentang
tampilan fisik, namun juga tentang nilai-nilai positif yang dapat dijadikan
inspirasi, seperti kemandirian, percaya diri, kreativitas, keberanian, serta
kepedulian pada isu-isu sosial dan lingkungan. Tidak hanya tentang nilai-nilai
positif dalam dunia role model fashion juga terdapat nilai-nilai negatif
didalamnya seperti, seperti contohnya mendukung LGBT, memakai pakaian
yang terbuka, gaya hidup yang bebas, dan masih banyak lagi.

2. Pernasalahan
Hal ini dapat menimbulkan beberapa masalah baik dalam bidang ekonomi
dan sosial dalam masyarakat Indonesia yaitu :
- Bagaimana pengaruh media sosial dan media massa terhadap tren busana
cross dressing di Indonesia ini ?
- Apa faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat di Indonesia mengikuti
tren busana cross dressing ini ?
- Apakah dampak dari adopsi tren busana cross dressing terhadap identitas
pada diri seseorang ?

3. Pendekatan
Pendekatan yang saya gunakan untuk menjelaskan tentang
permasalahan yang terjadi akibat dari pengaruh budaya luar tersebut adalah
pendekatan etnografi sosiokultural. Pendekatan etnografi sosiokultural adalah
pengumpulan data yang diriset merupakan hasil pemaknaan dan konstruksi
subjek riset. Pendekatan ini memfokuskan pada hubungan faktor sosial dan
budaya dalam membentuk pemahaman, perilaku, dan interaksi individu serta
kelompok dalam konteks sosial yang lebih luas. Dengan kata lain pendekatan
ini mengakui bahwa gaya hidup, identitas diri, dan tindakan seseorang
dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya.

PEMBAHASAN
1. Deskripsi Objek Material
Objek material pada penelitian ini adalah gaya hidup pada diri
seseorang. Gaya hidup adalah cara hidup seseorang atau kelompok orang,
termasuk perilaku, kebiasaan, preferensi, dan aktivitas yang mereka pilih
dalam kehidupan sehari-hari.
Gaya hidup seseorang dapat mencerminkan nilai-nilai, kepercayaan,
dan tujuan hidup mereka. Sebagai objek maerial gaya hidup dianalisis untuk
memahami dinamika sosial, identitas budaya, dan perubahan dalam
masyarakat. Salah satu bentuk gaya hidup yaitu pakaian dan mode. Pakaian
dan mode juga dapat mencerminkan identitas budaya, nilai, dan praktik
estetika dari masyarakat. Dengan begitu penelitian ini dapat digunakan untuk
memahami simbolisme, perubahan tren, dan konstruksi sosial dari pakaian
dalam konteks budaya.

2. Penjelasan
Budaya Pop
Istilah “budaya pop” (cultural popular) berarti “kebudayaan rakyat”.
Pop, dalam pengertian ini, tidak berarti tersebar luas, arus utama, dominan,
atau secara komersial sukses. Dalam bahasa dan kebudayaan latin kata ini
lebih banyak mengacu pada ide bahwa kebudayaan berkembang dari
kreativitas orang kebanyakan. Budaya pop berasal dari rakyat; budaya pop
bukan diberikan kepada mereka. Perspektif ini menjebol pembedaan antara
produsen dan konsumen artifak budaya, antara industri budaya dan konteks
penerima. Kita semua memproduksi budaya pop. Membangun
budaya pop merupakan pelaksanaan kekuasaan budaya (Lull, 1998 : 85).
Ada beberapa definisi budaya populer, pertama, budaya pop itu
memang budaya yang menyenangkan atau banyak disukai orang. Kedua,
untuk mendefinisikan budaya pop adalah dengan mempertimbangkan budaya
tertinggal (rendah) Budaya pop menurut definisi ini merupakan kategori
residual untuk mengakomodasi praktik budaya yang tidak memenuhi
persyaratan budaya tinggi. Dengan kata lain budaya pop didefinisikkan
sebagai budaya ”substandar”. Yang diuji oleh budaya pop meliputi
seperangkat pertimbangan nilai teks atau praktik budayanya.

Busana
Busana merupakan penanda penampilan seseorang, dan
mengidentifikasi sebagai kelompok tertentu. Penampilan tubuh manusia
melalui pakaian dan dandanan membuat pernyataan yang kuat tentang kelas,
status, dan gender. Perubahan-perubahan dalam penampilan tersebut
memberikan petunjuk bagi transformasi sosial yang luas.
Ibrahim (2011: 265) menyatakan fashion, pakaian, busana adalah
bagian penting dari sebuah gaya, tren, serta penampilan sehari-hari yang
sesungguhnya mampu memberikan pencitraan kepada identitas pemakainya.
Memilih apa yang dikenakan merupakan bagian dari gaya hidup seseorang.
Dalam menciptakan identitas diri maupun identitas sosial, seseorang ataupun
komunitas bisa saja menitikberatkan pada pilihan busana dan gaya hidup.

Cross Dressing
Cross dressing adalah istilah yang merujuk pada tindakan
mengenakan pakaian yang secara tradisional dikaitkan dengan jenis kelamin
yang berbeda. Aktivitas ini dilakukan oleh seseorang yang mengenakan
pakaian yang biasanya dipakai oleh lawan jenisnya. Cross dressing biasanya
dilakukan sebagai bentuk ekspresi diri, kesenangan pribadi, eksplorasi
identitas gender, atau untuk tujuan performatif.
Cross dressing dapat dilakukan oleh individu dengan berbagai latar
belakang, identitas gender, dan orientasi seksual. Meskipun beberapa orang
yang melakukan cross dressing mungkin juga mengidentifikasi diri sebagai
transgender atau non-biner, ada juga yang hanya menikmati pengalaman
mengenakan pakaian dari jenis kelamin yang berbeda tanpa mengubah
identitas gender mereka.
Popularitas busana cross dressing di Indonesia sangat dipengaruhi
oleh keadaan politik, sosial, dan ekonomi. Era reformasi tahun 1998
menyebabkan Indonesia mengalami perubahan dibidang politik, sosial, dan
ekonomi yang berimbas pada tumbuhnya role fashion luar.
Pada era modern ini, media sosial menjadi platform yang memudahkan
penyebaran tren fashion dan memperkenalkan banyak selebriti maupun
influencer fashion luar yang menjadi role model fashion bagi banyak orang.
Para selebriti dan influencer luar ini seringkali memiliki ribuan bahkan jutaan
pengikut di media sosial, dan mereka seringkali memposting foto-foto mereka
dalam berbagai busana dan gaya yang memberikan inspirasi bagi pengikut
mereka.
Gaya busana di Indonesia pun mengalami perubahan, berkiblat pada
pusat mode dunia yang didukung penyebarannya oleh berbagai bentuk media
massa. Dari sisi kajian budaya popular, fenomena ini disebut fashion style.
Budaya pop, secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu bentuk
kebudayaan yang diproduksi secara masal untuk konsumsi massa dengan
kepentingan sebenarnya pencarian keuntungan.
Produk budaya massa akan ditujukan kepada masyarakat massa,
suatu bentuk masyarakat konsumen yang pasif dan mudah didikte melalui
guyuran propaganda supaya mengikuti keinginan produsen. Budaya popular
dengan cepat mempengaruhi masyarakat termasuk gaya hidup. Berbagai
trend fashion cross dressing yang berkembang pesat berpengaruh pada gaya
busana dan gaya hidup masyarakat Indonesia untuk selalu tampil modis dan
stylish.

3. Hasil Pembahasan
Busana sering menjadi simbolisme budaya yang penting.Gaya, motif,
warna, dan desain dapat mencerminkan identitas kelompok sosial tertentu.
Busana juga merupakan salah satu cara utama bagi individu untuk
mengekspresikan dan memperlihatkan gaya hidup mereka. Gaya pakaian,
tren, dan preferensi fashion mencerminkan kepribadian, preferensi, dan
afiliasi sosial individu
Busana juga mencerminkan perubahan tren dan fashion dalam
masyarakat. Analisis budaya terhadap pakaian melibatkan pemahaman
terhadap perubahan tren, pengaruh desainer, media, dan faktor-faktor sosial
yang mempengaruhi perubahan dalam industri fashion. Pakaian juga memiliki
peran yang signifikan dalam konstruksi dan ekspresi identitas gender.
Pemahaman tentang bagaimana pakaian dapat mengungkapkan gender,
merespons perubahan dalam persepsi gender, dan mencerminkan dinamika
kekuasaan dan peran gender dalam masyarakat.
Busana mencerminkan gaya hidup dan status sosial yang bisa
mengangkat prestise seseorang. Peragaan busana fashion show di tempat-
tempat glamour dan mewah seperti hotel berbintang dan mal akan
memberikan makna kemodernan gaya hidup dalam beragama yang pada
akhirnya akan memberikan identitas dan citra tertentu bagi seseorang yang
memakainya.
Cross Dressing merupakan penampilan seseorang yang mengenakan
pakaian yang umumnya dikaitkan dengan jenis kelamin yang berbeda, bisa
menjadi simbol feminitas dan sudah menjadi bagian dari budaya populer
dalam berbagai konteks. Cross Dressing juga sudah mempengaruhi dunia
mode dan tren. Beberapa desainer dan merek fashion telah menggunakan
elemen dari cross dressing, seperti pakaian laki-laki yang terinpirasi dari gaya
busana perempuan atau sebaiknya mulai dari aksesoris hingga busananya
untuk menciptakan pakaian yang transgresif dan memecah batasan gender
yang ada.
Transgresif adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan atau
merujuk pada perilaku atau tindakan yang melanggar atau melampaui batas-
batas sosial, norma, atau nilai-nilai yang umum diterima dalam suatu
masyarakat. Hal ini mencerminkan bahwa semakin terbukanya masyarakat
terhadap berbagai ekspresi gender dan pengakuan akan variasi dan
kompleksitas identitas gender. Hal ini menyebabkan nilai-nilai norma pada diri
seseorang sebagaimana seharusnya memudar dan berganti dengan ideologi
populerisme, yang mengubah busana cross dressing sebagai komoditas yang
diperjual belikan untuk motif keuntungan (ekonomi).
Komersialisasi busana cross dressing semakin terlihat dengan
semakin banyak anak muda yang menggunakannya dalam tren yang sempat
menghebohkan masyarakat Indonesia yaitu “Citayem Fashion Week” dimana
banyak anak muda yang menggunakan busana cross dressing dalam
penyelenggaraannya bahkan tidak hanya busananya mereka juga lengkap
mengenakan riasan wajah yang berlawanan jenis. Yang lebih menariknya,
banyak orang yang mengapresiasi hal dengan meng-upload di media sosial
untuk kepentingan populerisme.
Masyarakat masa kini cenderung berkembang dalam pengaruh budaya
populer, budaya komoditas, dan gaya hidup konsumerisme. Masyarakat di
era globalisasi ini sangat mudah berpengaruh pada budaya populer.
Sehingga masyarakat modern sekarang ini sangat identik dengan budaya
komoditi.
Eksploitasi cross dressing dalam mode dan kosmetik dapat dipandang
sebagai alat yang digunakan untuk menarik perhatian atau menciptakan
sensasi dengan tujuan meningkatkan suatu penjuala atau popularitas. Hal ini
terkait dengan bagaimana cross dressing dijadikan sebagai ‘barang’ yang
dapat dieksploitasi dalam pasar hiburan dan industri kreatif.
Dalam dunia fashion dan ksometik, cross dressing dapat digunakan
sebagai strategi pemasaran untuk memperluas pasar atau menciptaka tren
baru. Misalnya terdapat beberapa merek yang menggunakan model atau
selebriti cross dressing untuk kampanye iklan mereka untuk menarik
perhatian dan menciptakan sensasi. Hal ini sering terjadi dalam konteks
industri yang berusaha untuk mengeksplorasi pergeseran gender dalam dunia
fashion dan kosmetik.
Cross dressing juga dapat digunakan untuk menciptakan produk dan
merchandise yang dijual kepada konsumen. Contohnya adalah pakaian dan
aksesoris dengan motif atau warna yang identik dengan cross dressing atau
terisnpirasi dari selebriti atau influencer cross dresser (pelaku cross dressing)
yang populer dalam budaya pop. Hal ini sering terjadi dalam konteks kultur
populer atau fan merchandise yang memanfaatkan tokoh-tokoh cross
dressing.
Konsumsi suatu objek budaya massa dalam masyarakat konsumen,
menurut pendapat Baudrillad, tidak didasarkan nilai guna namun lebih
sebagai sarana pengobjektivan dan pendiferensiasian diri dari orang lain
(Ritzer, 2003: 140). Ketika menjalankan tindakan konsumsi, seseorang pada
dasarnya sedang berkomunikasi dengan orang lain tentang kekhasan dirinya,
dimana posisi dia berbeda dengan orang lain. Kebutuhan untuk selalu
berbeda yang tak pernah berhenti sepanjang hayat inilah yang menjadikan
konsumsi harus menjadi satu proses terus-menerus dilakukan tanpa pernah
terpuaskan (Ritzer, 2003: 140). Sayangnya, segala objek yang menjadi
komoditas konsumsi pada dasarnya tak lebih dari komoditas tanda. Objek
konsumsi dalam budaya massa adalah bagian dari sistem tanda yang
mengandung makna-makna yang telah ditentukan oleh yang produser guna
meraup keuntungan (Ritzer, 2003:137).
Gaya hidup konsumerisme menyukai segala bentuk benda, bukan
berdasarkan pada kebutuhan (need) melainkan terdorong oleh hasrat untuk
menikmati, memiliki, mempergunakan segala yang ditawarkan di media
massa (Burton, 2012:40). Media massa dianggap sebagai penyebab utama
merebaknya gaya hidup konsumtif di masyarakat di segala elemen
kehidupan, baik rumah, pola makan, pola hidup, hingga gaya busana. Dalam
hal gaya busana, pergantian trend mode yang diekspose media, menjadikan
masyarakat untuk selalu meng up-date fashion style, dan selalu mengikuti
trend yang sedang populer.
Dampak dari ideologi konsumerisme membuat masyarakat berperilaku
konsumtif dan aktif membelanjakan uang untuk membeli barang sesuai selera
pasar. Pakaian seseorang bukan lagi dianggap sebagai fungsi melainkan
sarana untuk aktualisasi diri, prestise, dan status akan kemampuan meng-
update gaya, mode, dan corak pada pakaian seseorang.
Selain itu budaya cross dressing juga dapat berdampak pada diri
seseorang antara lain dampak yang ditimbulkan adalah pergeseran identitas
gender cross dresser yang tidak sesuai norma, masalah internal yang
disebabkan dari penyimpangan norma, dan mengalami diskriminasi dari
masyarakat yang belum memahami tren cross dressing. Tentunya dampak
yang dirasakan setiap individu akan merespon adopsi tren cross dressing ini
berbeda-beda. Faktor-faktor seperti dukungan sosial, tingkat penerimaan
masyarakat, dan persepsi diri akan berperan dalam dampak yang dirasakan.

PENUTUP
Kesimpulan
Dengan adanya budaya cross dressing ini fungsi busana menjadi
tergeser menjadi style, yang dipengaruhi oleh ideologi populerisme yang
menganggap busana cross dressing sebagai komoditas yang bisa dijual dan
mendatangkan keuntungan secara ekonomi yang cukup menjanjikan.
Hal ini disebabkan dengan adanya media massa yang dianggap sebagai
penyebab utama merebaknya gaya hidup konsumtif di masyarakat di segala
elemen kehidupan, baik rumah, pola makan, pola hidup, hingga gaya busana.
Dalam hal gaya busana, pergantian trend mode yang diekspose media,
menjadikan masyarakat untuk selalu meng up-date fashion style, dan selalu
mengikuti trend yang sedang populer.
Faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat Indonesia mengikuti
tren busana cross dressing yaitu adanya faktor dibidang ekonomi, sosial,
budaya, teknologi, dan lingkungan. Selain faktor-faktor diatas terdapat juga
beberapa pandangan yang menganggap bahwa busana cross dressing
merupakan ajang untuk mengekspresikan diri, menunjukkan identitas dan
kekhasan seseorang yang membedakannya dengan orang lain.
Dampak yang ditimbulkan adalah pergeseran identitas gender cross
dresser yang tidak sesuai norma, masalah internal yang disebabkan dari
penyimpangan norma, dan mengalami diskriminasi dari masyarakat yang
belum memahami tren cross dressing. Tentunya dampak yang dirasakan
setiap individu akan merespon adopsi tren cross dressing ini berbeda-beda.
Faktor-faktor seperti dukungan sosial, tingkat penerimaan masyarakat, dan
persepsi diri akan berperan dalam dampak yang dirasakan.

DAFTAR PUSTAKA

- Burton, Grame, 2012, Media dan Budaya Populer, jalasutra,


Yogyakarta.
- Ibrahim, Idy Subandi, 2011, Budaya Populer sebagai Komunikasi,
Jalasutra, Yogyakarta.
- Ritzer, George. Teori Sosial Posmodern, alih bahasa: Muhammad
Taufik, Yogyakarta: Juxtapose dan Kreasi Wacana, 2003.
- Strinati, Dominic, 2009, Popular Culture, Ar Ruuzz Media, Yogyakarta.
- Lull, James., (1998). Media, Komunikasi, Kebudayaan : Suatu
Pendekatan Global. Penerbit : Yayasan Obor Indonesia.
- Fitria Septiani, I. Presentasi Diri Crossdress Cosplay (Studi Deskriptif
Kualitatif Tentang Presentasi Diri Crossdress cosplay Di Kota
Bandung). Tugas Akhir Mhs. (2017).
- Amalia, F. Identitas Crossdresser Dalam Akun Instagram Jovi Adhiguna
Hunter. 1–14 (2018).
- Halimah, N. Analisis Framing Identitas Diri Penganut Cross-Dresser
Dan Cross-Hijabers Melalui Media Online Detikcom. (2021).

Anda mungkin juga menyukai