Anda di halaman 1dari 12

MEDIA DAN BUDAYA POPULER

Dr. Farid Hamid U. M.Si.


Dosen Magister Ilmu Komunikasi
Program Pasca Sarjana Universitas Mercubuana-Jakarta

ABSTRACT
Culture is people’s way of life, views and values. Talking about culture means
talking about language, communication and elements of culture, but more than
that culture in our world today deals with what are the trends and act as popular
items. This paper will discuss representation of media on popular culture,
examine the relationships between media and popular culture. Popular culture is
what we eat, drink, sleep with, watch, and act with. The writer trids to read the
reality built in popular culture and otherwise popular culture as a reality. How
important mass media is in producing popular culture. How fads and trends
address particular needs in our society.

Keywords: popular culture,

Pendahuluan

Tanpa disadari, artefak-artefak budaya populer (pop) seperti jeans, mal,

koran, dan lain-lain telah menjadi bagian dari aktivitas keseharian kita. Dalam

budaya populer, unsur-unsur dinamis dari budaya terlihat secara jelas. Budaya

adalah tatanan kehidupan yang di dalamnya manusia membangun makna melalui

praktik-praktik representasi simbolik (Ibrahim. 2007:xxi). Budaya dalam konteks

budaya populer perlu dipahami secara dinamis, yakni sebagai serangkaian ide,

reaksi dan ekspektasi yang berubah secara konstan saat orang-orang atau

kelompok-kelompok itu sendiri berubah (Watson, dalam Ibrahim. 2007:xxi)

Budaya popular akhirnya menjadi pembicaraan yang kompleks. Sama

dengan istilah “populer” itu sendiri yang kompleks. Ada yang menyoroti pada

aspek produksi budaya pop, ada pula yang pada aspek pemasaran dan penyebaran
budaya pop, dan ada yang pada aspek konsumsi budaya pop dan lain-lain

(Ibrahim. 2007:xxi).

Budaya populer adalah budaya yang lahir atas keterkaitan dengan media.

Artinya, media mampu memproduksi sebuah bentuk budaya, maka publik akan

menyerapnya dan menjadikannya sebagai sebuah bentuk kebudayaan. Populer

yang dibicarakan disini tidak terlepas dari perilaku konsumsi dan determinasi

media massa terhadap publik yang bertindak sebagai konsumen. (Strinati. 2007:

40). Dengan kata lain, budaya populer lahir atas kehendak media (ideologi

kapitalistik) dan perilaku konsumsi masyarakat. Media berperan sebagai penyebar

informasi yang mempopulerkan suatu produk budaya. Akibatnya, apapun yang

diproduksi oleh media akan diterima oleh publik sebagai suatu nilai (budaya)

bahkan menjadi kiblat panutan masyarakat.

Merujuk pada pemahaman di atas maka tulisan ini mencoba untuk

menguak bagaimana media mengartikulasikan budaya pop yang sarat dengan

nuansa ideologis dan kekuasaan melalui berbagai tanda. Juga bagaimana media

berkontribusi terhadap kelangsungan pelnagai kepercayaan dan nilai.

Budaya dan Budaya Populer (pop)

Sebelum merumuskan lebih jauh maka terlebih dahulu perlu memahami

budaya dan budaya pop. Kajian budaya populer tidak bisa dilepaskan dari

pandangan terhadap hakikat kebudayaan itu sendiri. Williams, (1983: 90)

merumuskan budaya pada suatu proses umum perkembangan intelektual, spiritual,

dan estetis. budaya juga berarti “pandangan hidup tertentu dari masyarakat ,

periode, atau kelompok tertentu. Budaya dengan demikian tidak sekedar


menekankan pada aspek estetis atau humanis, tetapi juga aspek politis (dalam

Ibrahim, 2007:xxv).

Seiring perkembangan teknologi komunikasi, budaya yang kita kenal

yang keberadaannya berasal dari nilai-nilai mendasar dalam sebuah kebudayaan,

mengalami pergeseran. Seperangkat nilai berupa kearifan lokal dari budaya yang

diwariskan secara turun temurun atau sering disebut sebagai budaya tinggi

(adiluhung) mulai mendapatkan budaya-tandingan (counter culture). Suatu

budaya yang bisa dikatakan lahir karena faktor diluar sistem kebudayaan yang

wajar. Itulah budaya populer/budaya massa, yang diartikan oleh McDonald

(dalam Strinati, 2007:18) sebagai sebuah kekuatan dinamis, yang menghancurkan

batasan kuno, tradisi, selera dan mengaburkan segala macam perbedaan. Budaya

populer adalah gaya, gagasan atau ide maupun perspektif, dan sikap yang benar-

benar berbeda dengan budaya arus utama 'mainstream' (budaya tinggi).

Teknologi komunikasi menghasilkan produk budaya yang dibuat dalam

jumlah besar (mass production), yang kemudian produk budaya tersebut

disebarkan (dissemination). Produksi massa tersebut telah menghasilkan budaya

massa yang telah menjadi budaya populer . Budaya pop dengan demikian bisa

dikatakan adalah budaya komersial dampak dari produksi massal tersebut.

Istilah budaya populer (biasa disingkat sebagai budaya pop, atau dalam

bahasa Inggris popular culture atau disingkat pop culture) mengandung

berdebatan oleh para kritikus dan teoretisi budaya. Istilah budaya populer sendiri

dalam bahasa Latin merujuk secara harfiah pada “culture of the people” (budaya

orang-orang atau masyarakat) (Ibrahim, 2007:xxiii). Kata “populer” dalam budaya


populer dengan demikian bermakna tersebar luas, arus utama, dominan atau

sukses secara komersial (Ibrahim, 2007:xxiii). Lull (2000:165) memaknai bahwa

artefak-artefak dan gaya-gaya ekspresi manusia yang berkembang dari kreativitas

orang kebanyakan, dan beredar di kalangan orang-orang menurut minat,

preferensi, dan selera mereka.

Budaya pop yang lahir sebagai imbas perkembangan teknologi informasi,

dengan demikian ditopang industri kebudayaan (cultural industry) telah

mengkonstruksi masyarakat yang tak sekedar berbasis konsumsi, tapi juga

menjadikan semua artifak budaya sebagai produk industri dan menjadi komoditas.

Budaya pop merupakan bentuk budaya yang lebih mengedepankan sisi

popularitas dan kedangkalan makna atau nilai-nilai. Budaya populer lahir karena

hegemoni media massa dalam ruang-ruang budaya publik. Ide-ide budaya populer

lahir dari segala lini budaya, baik dari budaya tinggi maupun rendah. Ideologi

budaya disalurakan melalui media massa dan perangkat pendukung lainnya.

Objek kajian budaya populer dengan demikian bukanlah kebudayaan dalam

pengertian sempit melainkan dalam artian yang lebih luas. Kebudayaan popular

berkaitan dengan masalah keseharian yang dapat dinikmati oleh semua orang atau

kalangan orang tertentu seperti selebritis, kendaraan pribadi, fashion, model

rumah, perawatan tubuh, dan sebagainya. Budaya populer juga muncul dalam

berbagai bentuk, dari apa yang kita konsumsi untuk kebutuhan tubuh kita; apa

yang kita tonton; kita dengarkan; kita pakai, dan sebagainya. Budaya populer

tidak ada begitu saja, budaya populer ada karena suatu hal yang awalnya biasa
saja menjadi sebuah fenomena populer, dan media turut andil dalam fenomena

tersebut.

Menurut Ben Agger Sebuah budaya yang akan masuk dunia hiburan maka

budaya itu umumnya menempatkan unsur popular sebagai unsur utamanya.

Budaya itu akan memperoleh kekuatannya manakala media massa digunakan

sebagai penyebaran pengaruh di masyarakat (dalam Burhan Bungin,2009:100).

Bungin (2009:92) lebih lanjut menjelaskan tentang gagasan budaya populer oleh

Ben Agger, yang mana budaya dapat dikelompokkan menjadi empat aliran, yaitu:

1. Budaya dibangun berdasarkan kesenangan tapi tidak substansial dan

mengentaskan orang dari kejenuhan kerja sepanjang hari.

2. Kebudayaan populer menghancurkan nilai budaya tradisional.

3. Kebudayaan menjadi masalah besar dalam pandangan ekonomi Max

kapitalis

4. Kebudayaan populer merupakan budaya yang menetes dari atas.

Kuasa Media

Mayoritas budaya populer ditransmisikan melalui media massa. Aktivitas

keseharian kita tanpa disadari sarat dengan tanda dan artefak budaya yang

dimediakan secara massa melalui media. Fenomena Demam Korea (Korean

wave) di Indonesia misalnya, diakibatkan karena penyebaran dan pengaruh

budaya Korea di Indonesia, terutama melalui produk-produk budaya popular

seperti film, drama, musik dan pernak-pernik lainnya. Penyebaran budaya popular

dari negeri gingseng ini dilihat sekitar tahun 2002 dengan tayangnya drama seri
berjudul ‘Autumn in My Heart’ atau ‘Autumn Tale’ yang lebih popular dengan

judul ‘Endless Love’. Keberhasilan drama seri Korea tersebut yang dikenal

dengan Korean drama (K-drama) diikuti oleh Korean drama lainnya. Terinspirasi

dengan boys band dan girls band Korea, lahirlah banyak boys band dan girls band

Indonesia, diantaranya Sm*sh, Max 5, 7 Icons atau pun MR.

Pada sisi lain, telah terjadi pergeseran fungsi media. Media tidak dilihat

dari fungsinya sebagai sarana mengungkapkan gagasan dan perasaan sebagai

manusia, namun media justru mengatur gagasan dan perasaan manusia, sehingga

kita mengalami kemanusiaan kita lewat realitas media (Strinati, 2007: 43).

Media telah menjelma menjadi “agama” dan “tuhan” baru dalam budaya

pop. Perilaku masyarakat tidak lagi ditentukan oleh agama-agama yang ada, tetapi

tanpa disadari telah “diatur” oleh media. Media memiliki seperangkat nilai dan

ideologis sendiri yang notabene adalah perpanjangan tangan dari kapitalisme.

Pada saat yang sama media telah memperkenalkan generasi baru, generasi

homogenisasi kultural. Itulah generasi pop yang memuja konsumerisme,

hedonisme, dan gaya hidup yang serba instan (seketika).

Coba kita fokuskan perhatian kita pada produksi media. Perhatikan secara

kritis acara-acara televisi kita. Program-program tersebut mengajarkan kita

tentang irrasionalitas atau anti-realitas. Perhatikan sinetron yang menceritakan

tentang seseorang yang sukses, yang ternyata hasil “muja” siluman harimau,

siluman buaya dan lain-lain.

Munculnya fenomena budaya instan, juga terlihat dalam program acara di

televisi kita. Sinetron-sinetron di televisi kita yang menggambarkan bagaimana


anak-anak muda yang sukses dan tinggal di rumah besar yang “wah” bak istana,

memimpin perusahaan besar, dengan mobil mewah yang lebih dari satu, itulah

fenomena media yang mengajak kita untuk “bermimpi” dan sejenak melupakan

realitas sehari-hari kita yang jauh dari apa yang digambarkan. Lihatlah sinetron-

sinetron mistik mengajarkan bahwa cukup dengan berdoa atau bantuan jin

masalah akan selesai dan kebenaran akan tampak. Betapa sederhananya hidup ini.

Semua serba instan

Fenomena lain adalah maraknya berbagai kontes musik dan penyanyi

menaburkan mimpi sekaligus pola pikir ‘instan’ generasi muda kita, melupakan

realitas bahwa jalan menuju sukses harus ditempuh dengan kerja keras, tidak

hanya bermodal cantik, suara agak lumayan, dan dukungan sms.

Atau perhatikan tema-tema cerita yang diangkat dengan latarbelakang

keluarga yang tidak pernah ada persoalan ekonomi dan ceritanya hanya berkutat

pada persoalan percintaan semata. Realitas lain yang patut diperhatikan adalah

tema-tema menyangkut percintaan anak-anak SMP bahkan SD. Berpacaran dan

gaya pacaran seperti orang dewasa, sesuatu yang biasa, tidak lagi tabu. Bukankah

ini mengkonstruksi realitas baru. Memungkinkan terjadi dalam realitas nyata

karena realitas tontonan kita yang menggambarkan seperti itu. Konsep pacaran

seperti itu mengambil rujukan pada apa yang ditampilkan di televisi dengan

sinetron, dan secara sadar tak sadar akan terinternalisasi dalam struktur kognitif

pemirsa. Dapat dibayangkan tontonan tersebut menjadikannya hal yang wajar,

yang seolah-olah alamiah dan tidak bertentangan dengan budaya yang ada.
Gaya hidup hedonistic dan materialistic juga dengan mudah kita temui.

Film dan sinetron juga novel yang melulu mengeksploitasi plot seks dan gaya

remaja tanpa memperhatikan nilai-nilai humanis juga mudah kita temui.

Kehidupan remaja dalam media menjadi lebih indah dari aslinya. Belum lagi

tayangan yang sarat dengan nuansa kekerasan. Sudah tidak perlu dipertanyakan

lagi. Film-film yang kita tonton mengajarkan kita bahwa kekerasan adalah biasa.

Serbuan nilai-nilai dan gaya hidup baru tersebut yang belum tentu cocok dengan

nilai-nilai sosial budaya dan norma-norma agama yang kita anut.

Media juga sebenarnya ingin dilihat bak pahlawan. Perhatikan beberapa

reality show yang dibungkus “kepedulian sosial” seperti Tolong dan Bedah

Rumah yang secara eksplisit berupa kepedulian sosial walaupun “sebenarnya”

menjual kemiskinan. Bahkan mengarahkan mental kita untuk berharap dan

meminta.

Masih banyak hal lain yang bisa diungkap. Setiap hari pagi siang dan sore

kita disuguhi tayangan Infotaintment. Tayangan yang tidak jelas antara fakta dan

gosip tersebut umumnya menayangkan berita perselingkuhan, perceraian, hamil di

luar nikah, konflik rumah tangga, bahkan acara makan siangpun diliput. Dan si

tokoh pun hadir di televisi selama beberapa pekan bahkan berbulan-bulan. Jika

ditarik lebih jauh, apakah manfaat dari tanyangan tersebut, kecuali hanya untuk

pergunjingan dan bahan gosip belaka. Pemberitaan tentang selebritas dan

infotainmen lainnya malah menjadi rujukan bagi penontonnya tentang bagaimana

bergaya mengikuti idola mereka. Bagaimana caranya berpakaian mengikuti artis

dan model tertentu serta produk dan merk apa saja yang mereka gunakan
selanjutnya ditiru oleh penonton. Logika ini kemudian dimanfaatkan oleh

produsen barang dan produk tertentu dengan menjadikan selebritas tersebut

sebagai ikon dari merk mereka.

Strinati (2007:45) menjelaskan fenomena tersebut dengan pernyataan

bahwa “media massa menyatukan manusia kemudian membiarkannya meledak

kedalam; batas-batas tradisi, geografi, bangsa, ideologi dan kelas cair begitu saja.

Hanya satu yang tinggal, massa dengan ketidakpastian muncul, setelah batas-batas

identitas yang selama ini memberikan rasa aman luluh. Kemudian yang ada

adalah nilai-nilai baru yang sangat bergantung pada bagaimana suatu kelompok

sosial dihadirkan dalam media.

Bentuk lain dari pengaruh televisi yakni pada bentuk relasi sosial yang

tercermin dari penggunaan bahasa sebagai bentuk gaya hidup. Contoh sederhana

bisa dilihat penggunaan ungkapan-ungkapan atau idiom-idom dalam

perbincangan sehari-hari. Idiom ataupun ungkapan tersebut seperti “ya iyalah

masa ya iya dong”, “so what gitu loh”, “aku nggak punya pulsai”, “ga segitunya

kale”, “wong deso, “ alhamdulillah sesuatu”, “lebay”, “alay”” dan sederet

ungkapan lainnya. Sebagian besar ungkapan tersebut terambil dari media populer

termasuk televisi dan sekarang di saat penggunaan internet semakin merata

memungkinkan bentuk ungkapan, idiom ataupun komunikasi secara luas menjadi

lebih rumit. Lebih jauh, ungkapan-ungkapan tersebut bukan tidak memiliki nilai

tapi mengandung nilai ideologis yang disadari dan tidak disadari ketika

digunakan.
Ciri lain masyarakat pop adalah juga masyarakat konsumer. Perhatikan

iklan-iklan yang ada pada media. Spot iklan yang semula menginformasikan

produk ternyata dalam prosesnya telah berubah menjadi alat pencitraan. Bahkan

realitas yang dicitrakan seolah-olah menjadi lebih nyata daripada realitas

sesungguhnya. Bagaimana media dalam menggambarkan perempuan, sebagai

tubuh-tubuh seksi yang menjadi pemuas mata lelaki atau sekedar ibu rumah

tangga semata. Media juga membentuk kriteria “cantik”-nya yang diimajinasikan

oleh iklan bila mereka memiliki wajah yang anggun namun atraktif, bibirnya

sensual, tubuh langsing, rambut lurus dan berkulit putih. Inilah yang disebut anak

muda sekarang sebagai “cewek keren” sebagai padanan “cowok macho”. Padahal

kecantikan adalah bentukan sosial, yang berbeda dalam tiap budaya.

Media massa melalui beragam bentuk iklan mengkonstruksi realitas, yang

tanpa disadari, diarahkan oleh pesan-pesan media massa melalui iklan tersebut.

Dalam konstruksi budaya konsumsi, iklan tidak berperan sendirian. Berbagai

bentuk rubrik di media massa bekerja pada sistem yang serupa. Rubrik gaya

hidup, fashion, berita tentang gadget terbaru, pada hakikatnya memiliki peran

yang sama sebagaimana konsumsi melalui iklan. Iklan menjadi metode yang

paling ampuh untuk menyuntikkan ideologi-ideologi konsumerisme dan kapitalis

ini ke dalam masyarakat. Senada seperti apa yang diungkapkan oleh Herbert

Marcuse (1968) yang menyebutkan bahwa ideologi konsumerisme pada dasarnya

menciptakan kesadaran palsu dan juga bekerja sebagai kontrol sosial. Selain itu,

Marcuse menyebutkan bahwa komunikasi massa, melalui iklan, juga mendorong

terciptanya kesadaran palsu tersebut. Iklan menciptakan masyarakat keinginan


untuk menjadi orang yang seperti apa, menggunakan pakaian yang seperti apa,

memakan makanan tertentu, meminum minuman khusus, menggunakan barang-

barang tertentu, dan sejenisnya. (Storey, 2007: 145). Lebih lanjut James Lull

(2000:115) apa yang dijual oleh para pemasang iklan bukan sekedar produk, jasa

atau ide-ide yang berdiri sendiri., mereka menjual sistem pembentukan ide yang

berlapis-lapis dan terintegrasi yang mencakup, menginterpretasi dan

memproyeksikan citra-citra produk yang saling bergantung, mengidealkan para

konsumen yan memperoleh manfaat dari produk itu, perusahaan-perusahaan yang

meraup untung dari penjualan produk dan yang terpenting struktur politik

ekonomi budaya yang melngkupinya serta nilai-nilai dan aktivitas sosial yang

dicakupnya yang memungkinkan terjadinya semua aktivitas konsumen.

Penutup

Budaya pop telah menjadi bagian dari hidup kita. Mengisi kehidupan kita.

Melalui media segala pesan dihadirkan bahkan dikonstruksi. Media menghadirkan

budaya baru yang sarat dengan nuansa konsumerisme yang simbolik. Melalui

pelbagai aspek media berkontribusi terhadap kelangsungan berbagai kepercayaan

dan nilai melalui cara menggoda secara persuasif.

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan. 2009. Pornomedia; Sosiologi Media, konstruksi Sosial Teknologi


telematika & Perayaan Seks di Media Massa. Jakarta. Pranada Media.

Ibrahim, Idi Subandy. 2007. Budaya Populer Sebagai Komunikasi. Jogja:


Jalasutra.
Lull, James, 2000. Media Komunikasi budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Strinati, Dominic. 2007. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya


Populer. Yogyakarta: Bentang.

Storey, John. 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, Pengantar
Komprehensif Teori dan Metode, Yogyakarta: Jalasutra.

Williams, Raymond. 1983. Keyword. London: Fontana.

Anda mungkin juga menyukai