Anda di halaman 1dari 8

Folk Culture, High Culture, Popular Culture, dan Mass Culture

Banyak istilah-istilah yang muncul sehubungan dengan budaya semisal : berbudaya, tidak
berbudaya, budaya tinggi, budaya rendah, folk art, budaya populer (popular culture),
budaya massa (mass culture), dan sebagainya. Tulisan kemudian dilanjutkan guna menelusuri
konsep-konsep ini. Namun, untuk keperluan tulisan ini, penulis akan mempertentangkan 4 buah
konsep budaya saja yaitu : (1) Folk Culture; (2) High Culture; (3) Popular Culture; dan (4) Mass
Culture.
Kathy S. Stolley menyebutkan bahwa tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan. Masyarakat pasti
memiliki budaya. Namun, dalam benak sejumlah orang terkadang ada pertentangan antara apa
yang dimaksud dengan budaya tinggi (high culture) dengan budaya rendah (low culture).
Istilah low culture ini kurang pula tepat secara etika karena berkonotasi buruk sehingga istilah
yang lebih tepat adalah Popular Culture (budaya populer).
Bagi Stolley, High Culture adalah manifestasi komponen material dan non material budaya yang
dikaitkan dengan elit sosial. Jadi, dapat dikatakan jika kita membicarakan mengenai budaya
tinggi (high culture) asosiasi kita tertuju pada manifestasi budaya yang dilakukan kalangan elit
masyarakat. Misal dari manifestasi tersebut adalah musik klasik, galeri seni, pertunjukkan opera,
literatur filsafat atau ilmiah, produksi anggur, atau jamuan-jamuan makan.
Aktivitas dalam budaya tinggi tidak terbuka bagi seluruh anggota masyarakat akibat beberapa
alasan. Tingginya harga tiket yang dibayarkan untuk menonton pertujukan konser musik klasik
mustahil terjangkau oleh warga dengan kelas ekonomi menengah ke bawah. Demikian pula,
literatur filsafat dan ilmiah, kendati banyak tersedia di toko-toko buku, tetapi kerumitas isi dan
ketidakfamiliaran bahasa membuat warga awam emoh mengkonsumsinya. Budaya tinggi
disebut elit akibat hanya segelintir individu di dalam masyarakat yang dapat mengecapnya.
Lawan dari high culture adalah popular culture (budaya populer). Budaya populer terdiri
atas segala aktivitas yang tersebar luas di dalam sebuah kebudayaan, dengan daya tarik dan
tersedianya akses bagi seluruh orang, dan digandrungi oleh sejumlah besar orang lintas kelas
sosial. Contoh dari budaya populer ini adalah restoran fast-food (Kentucky Fried Chicken, Pizza
Hut, Warung Tegal, Rumah Makan Padang, McDonald, komedi-komedi situasi di televisi, novelnovel best seller (Davinci Code, Malaikat dan Iblis, atau novel-novel karya Mira W.), konser
musik pop dan rock, dan sejenisnya.
Dalam konteks budaya populer ini, salah satu varian konsep yang berhasil dikembangkan adalah
McDonalization. Istilah McDonalization dipopulerkan oleh George Ritzer tahun 1993 lewat
tulisannya The McDonalization of Society. Ritzer mendefinisikan McDonalization sebagai ...
the process by which the principles of the fast-food restaurant are coming to dominate more and
more sectors of American society as well as of the rest of the world. Fenomena McDonalization
tidak hanya berlangsung di Amerika Serikat, melainkan juga di seluruh belahan dunia lain dalam

mana beroperasi franchise-franchise McDonald, Pizza Hut, Hoka-hoka Bento, dan sejenisnya,
termasuk Indonesia.
Ritzer berargumentasi bahwa McDonalization tidak hanya berpusar di aspek jual-beli makanan
cepat saji belaka, melainkan juga merambah ke aspek pendidikan (training pekerja, koki,
manajemen penjualan), work (aturan kerja, manajemen pekerjaan harian), kesehatan (dampak
makanan cepat saji atas kesehatan), travel (perjalanan dari satu franchise ke franchise lain,
termasuk transportasi dan masalahnya), pemanfaatan waktu luang (pertemuan antarorang di
restoran cepat saji), dieting (obesitas anak-anak, kolesterol, diabetes), politics (imperialisme
ekonomi Amerika lewat salah satu MNC-nya), keluarga (pola kegiatan memasak dan keakraban
keluarga di sela pengaruh restoran cepat saji), dan kegiatan-kegiatan orang lainnya di seputar
McDonald.
Samakah budaya populer (popular culture) dengan budaya massa (mass culture) ? Pertama-tama
akan kita bahas terlebih dahulu masalah budaya populer. Marcel Danesi dalam bukunya Popular
Culture : Introductory Perspective menyatakan bahwa konsep budaya populer muncul di
Amerika Serikat sejak 1950-an tatkala negara tersebut diterpa oleh wabah hippie, disco, punk,
hip-hop, dan sejenisnya. Sama seperti Stolley, Danesi mengkontraskan pemahaman tentang
Budaya Populer dengan High Culture (budaya tinggi) dengan sebelumnya membuat peringkat
budaya (levels of culture). Budaya populer adalah budaya yang meminimalkan sekat perbedaan
kelas sosial, edukasi, atau variabel masyarakat lainnya yang membatasi kesempatan orang dalam
mempraktekkan suatu budaya.
Seorang sosiolog yang termasuk paling awal mempermasalahkan konsep popular culture dan
mass culture ini adalah Dwight Macdonald dalam tulisannya Masscult & Midcult yang terbit
tahun 1960. Macdonald melihat terdapat 4 kategori budaya yaitu folk culture, mass culture
(popular culture), midcult, dan high culture. Selanjutnya, Macdonald menulis :
Dalam hal ini, Macdonald mempersamakan antara Popular Culture dengan Mass Culture.
Namun, pandangan ini belum-lah fixed oleh sebab pada perkembangan selanjut, bermunculan
tulisan-tulisan yang mengkrisinya.
Popular Culture tidaklah identik dengan Mass Culture, kendati Mass Culture dapat
menghegemoni popular culture menjadi sekadar komoditas dagangan. Lewat pendapat
Macdonald yang dicuplik di atas, Mass Culture adalah dirancang dari atas oleh kaum bisnisindustrialis yang mengkomersialisasi budaya ----baik folk culture, high culture--- guna
menghasilkan uang dan dapat dipasarkan secara luas.
Salah satu penafsiran atas tulisan Macdonald salah satunya dibuat oleh Dominic Strinati. Strinati
membahas konsep popular culture dan mass culture,Dari pendapat Strinati di atas, ternyata
popular culture dan mass culture adalah 2 entitas yang berbeda.

Seperti telah diungkap Stolley di bagian awal tulisan, popular culture merupakan lawan dari
High Culture yang elitis. Peluang komersialisasi High Culture adalah lebih kecil tinimbang
popular culture. Sebab itu kaum bisnis-industrialis lebih melirik komersialisasi popular culture
karena pendukung dan penikmat budaya ini jauh lebih besar dan luas melintasi segala sekat
sosial.
Tiba kini kita berpindah ke pendapat dari John G. Nachbar. Nachbar mendefinisikan popular,
Nachbar and Klause kemudian menjelaskan ke konsep budaya yang telah disebut oleh
Macdonald sebagai Folk Culture.
Kita bicara soal folk culture tatkala membahas resep kue dari nenek, bagaimana merawat bayi
dengan membedong, menaruh gunting dan bangle di bawah bantal bayi (termasuk sapu lidi),
dan sejenisnya. Folk culture berkembang turun-temurun hampir tanpa nuansa komersialisasi.
Selain folk culture, Nachbar dan Klause juga bicara tentang High Culture yang mereka sebut
sebagai Elite Culture. Selanjutnya, Nachbar and Klause mempresentasikan taksonomi yang
membedakan antara Popular Culture, Folk Culture, dan High Culture
Dari pandangan di atas, tampak bahwa popular culture adalah konsep budaya yang paling
potensial untuk menjadi Mass Culture (budaya massa). Sebab itu, banyak penulis kerap
melakukan pergantian kata mass dengan popular untuk mengapresiasi perkembangan
budaya-budaya kontemporer. Tatkala kita bicara tentang produk-produk mass culture, maka
sesungguhnya kita bicara tentang popular culture yang dieksploitasi dan dikomersialisasi.
Konsep-konsep Budaya dan Sistem Budaya Indonesia
Jelaslah bahwa kajian sistem budaya Indonesia berlangsung dalam aras Folk Culture. Telah
umum diketahui, bahwa budaya Indonesia tumbuh di wilayah-wilayah yang tersekat oleh
perairan dan pegunungan. Bangsa Indonesia terkotak-kotak dalam sekat-sekat lingkungan
sehingga masing-masing mengembangkan budaya mereka sendiri yang berbeda satu sama lain.
Pengakuan perbedaan ini ada dalam slogan Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda tetapi tetap satu jua.
Budaya di masing-masing wilayah Indonesia bertahan secara turun-temurun. Dari orang tua
kepada anak, yang bahkan diperkuat dengan pembentukan dewan-dewan budaya daerah. Namun,
berkembangnya ekonomi kapitalis lewat proses industrialisasi dan peralihan dari masyarakat
agrikultural ke arah masyarakat industri, membuat folk-folk culture tersebut menghadapi
persaingan. Audiens dari suatu folk culture Indonesia adalah warga primordial wilayah.
Misalnya, mereka yang mempraktekkan tari pendet biasanya adalah orang Bali karena unsurunsur di dalam Tari Pendet kental nuansa ajaran dan tatakrama Bali.
Namun, kini audiens dari Tari Pendet memiliki pilihan akibat berkembangnya teknologi media
massa. Audiens Tari Pendet kemungkin mengalihkan perhatiannya menganut seni pop, rock,
ataupun disco yang disebar lewat media. Tari Pendet kehilangan daya tarik dan kemudian

menjadi sekadar High Culture karena kerumitan berpakaian dan gerakan tinimbang musik rock,
disco atau pop. Terlebih, musik rock, disco, dan pop didukung oleh industrialis rekaman yang
menyebarkan VCD/DVD musik-musik tersebut dengan harga murah (karena bajakan biasanya).
Akibatnya, pemuda-pemudi Bali lebih paham musik-musik mass culture tersebut tinimbang
Tari Pendet yang asli Bali sendiri.
Sebab itu, kajian sistem budaya Indonesia selain yang terpokok mengeksplorasi folk culture di
Indonesia, juga akan membahas aneka budaya populer yang mengalami massifikasi menjadi
mass culture yang pelan tetapi pasti menghegemoni folk-folk culture di Indonesia.

Raymond Williams dalam bukunya yang berjudul Keyword (1983) memberikan definisi budaya
populer. Menurutnya, budaya populer merupakan penggabungan dari dua kata, yaitu budaya
dan populer. Williams menjabarkan budaya merujuk kepada tiga definisi: pertama, suatu
proses perkembangan intelektualitas, spiritual dan estestis. Kedua, suatu pandangan hidup suatu
masyarakat, dan ketiga, suatu praktik-praktik intelektual. Selanjutnya, ia juga memberikan empat
definisi dari popular: pertama, banyak disukai orang. Kedua, jenis sesuatu yang rendah.
Ketiga, karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang, dan keempat, budaya yang dibuat
untuk dirinya sendiri.
Pertama, budaya populer merupakan sesuatu yang menyenangkan dan disukai banyak orang.
Sepak bola sangatlah cocok jika merujuk pada definisi ini. Tak ada yang lebih menyenangkan
ketimbang melihat kesebelasan kesayangan kita memenangi derby dengan gol tunggal pada
menit terakhir. Atau, tak ada yang lebih menyenangkan saat tim nasional (timnas) kita menjuarai
turnamen internasional, seperti ketika timnas U-19 menjadi jawara Piala AFF U-19 dua tahun
silam.
Lebih lagi, sepak bola memang menyenangkan, karena sifatnya yang menghibur. Setelah bekerja
keras seharian, sepak bola merupakan hiburan antilelah yang disukai oleh banyak orang. Lihat
saja berapa banyak orang yang buru-buru pulang cepat hanya untuk sekadar nonton bola. Atau
tengok saja saat ada Piala Dunia, berapa banyak manusia di berbagai belahan bumi yang
matanya tertuju pada ajang empat tahunan tersebut? Atau berapa banyak orang yang mencari
segala cara untuk menonton pertandingan tim kesayangannya meskipun tidak punya uang?
Sepak bola, suka tidak suka, telah menjadi candu.
Kedua, budaya populer merupakan jenis sesuatu yang rendah. Disebut juga dengan budaya
rendah, atau bahasa kerennya, budaya residual. Budaya residual yang dimaksud adalah budaya
yang tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi budaya tinggi. Sosiolog Perancis, Pierre
Bourdieau dalam karyanya, La Distinction (1979) mengatakan bahwa celah antara budaya
rendah dan budaya tinggi kerap dimanfaatkan untuk memperlebar jarak kelas antarkelas. Budaya
rendah dianggap budaya yang diperuntukkan bagi manusia-manusia kelas menengah ke bawah.
Sebaliknya, budaya tinggi merupakan budaya yang diperuntukan untuk manusia kelas atas.

Ketiga, budaya populer disebut juga budaya massa. Budaya massa merupakan budaya yang
diproduksi secara massal dengan konsumsi massal pula. Budaya massa tidak membutuhkan
pendidikan tinggi untuk menontonnya. Intinya budaya massa juga dianggap sebagai budaya yang
rendah sebagaimana definisi sebelumnya.
Keempat, budaya populer merupakan budaya yang berasal dari rakyat dan dibuat oleh rakyat.
Namun sebenarnya, ada beberapa permasalahan yang muncul. Seperti siapa sajakah yang
dimaksud dengan rakyat? Atau bagaimana hakikat budaya-budaya itu terbentuk. Yang jelas,
rakyat tidak bisa secara spontan membentuk budaya menggunakan material yang ada, melainkan
tetap ada yang membentuknya dari atas, yaitu kaum pemilik modal. Karena bagaimanapun
populernya sebuah produk budaya, bahan mentah budaya tersebut pasti disediakan secara
komersial.
Jika kita gabungkan ketiga definisi di atas dengan sepak bola, memang ada benarnya. Awalnya,
sepak bola memang merupakan hiburan bagi rakyat kecil. Di Eropa, sepak bola cukup identik
dengan kaum working class (kelas pekerja). Simon Kuper dalam bukunya, Why England Lose:
& Other Curious Football Phenomena Explained (2010) menulis mentalitas penonton sepak bola
di Inggris yang merupakan kelas pekerja memandang bahwa pada Sabtu malam merupakan akhir
dari hari-hari kerja dan oleh karenanya dianggap waktu yang tepat untuk gila-gilaan.
Gila-gilaan di sini terutama merujuk pada kebiasaan minum bir sambil menonton pertandingan
sepak bola. Kaum working class akan memadati pub sambil meminum bir mereka sebelum
berangkat bersama-sama ke stadion dan menyajikan lagu-lagu penyemangat (chants). Atau jika
sedang tidak berangkat ke stadion, mereka akan menonton pertandingan di dalam pub sambil
meminum bir. Intinya, mereka akan gila-gilaan untuk melupakan segala hal berat yang telah
terjadi dan akan tenggelam dalam kesenangan.
Namun saat ini, sepak bola telah bertransformasi menjadi olahraganya semua kalangan.
Kalangan atas senang menonton pertandingan sepak bola begitu pun dengan kalangan bawah.
Lihat saja berapa pejabat-pejabat negara yang menonton Piala Dunia dan tentu saja mereka tidak
bisa disebut sebagai kalangan bawah. Fenomena macam ini bisa dijelaskan dengan kembali ke
sifat utama sepak bola itu sendiri, yakni hiburan.
Budaya massa akan menghasilkan industri yang berorientasi kepada keuntungan semata. Hal
tersebut juga terjadi dengan sepak bola. Semakin ke sini, sepak bola akan terus berkembang,
terutama dari segi ekonomi. Komersialisasi dalam sepak bola begitu besar. Komersialisasi
sendiri, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti menjadikan sesuatu sebagai barang
dagangan.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa sepak bola sudah menjadi barang dagangan. Ini sangat jelas
terlihat dari mahalnya hak siar televisi suatu kompetisi sepak bola, pernak-pernik klub
kesayangan, atau mahalnya harga tiket masuk stadion. Sebenarnya, yang dijual dari sepak bola

hanyalah kesenangan. Ada perasaan senang ketika menonton pertandingan, dan hal itu laku
dijual, dengan harga yang tidak murah tentunya.
Saya jadi teringat teori Parento Principle atau lebih dikenal dengan sebutan teori 20-80. Teori ini
berasal dari Italia. Saat itu, pada tahun 1960 Vilfredo Pareto menemukan bahwa di Italia, 80
persen tanah dan kekayaan dikuasai oleh 20 persen jumlah populasi yang ada. Teori yang
awalnya merupakan teori ekonomi ini kemudian ditafsirkan ke dalam bentuk ilmu-ilmu yang
lain.
Saya akan mencoba menafsirkannya secara bebas.
Kita anggap 20 persen merupakan pemilik modal dan 80 persen merupakan konsumen. 20 persen
pemilik modal akan membentuk budaya populer yang dikemas secara komersial untuk dinikmati
80 persen konsumen. 80 persen konsumen tersebut akan tenggelam dalam kesenangan dan 20
persen pemilik modal juga akan tenggelam dalam kekayaan. 80 persen konsumen tidak akan
sadar bahwa kesayangan mereka sedang dikomersialisasi pemilik modal. Mungkin karena saking
cintanya, mereka jadi melupakan segalanya.
Jika sudah seperti ini yang rugi siapa? Tidak ada. Pemilik modal semakin kaya, sementara
konsumen akan senang karena hasratnya tercapai.
Jadi, apakah Anda sudah menemukan alasan mengapa sepak bola merupakan budaya populer
yang paling populer?
CONTOH:
Karena Sepak Bola Adalah Budaya Populer yang Paling Populer
Raymond Williams dalam bukunya yang berjudul Keyword (1983) memberikan definisi budaya
populer. Menurutnya, budaya populer merupakan penggabungan dari dua kata, yaitu budaya
dan populer. Williams menjabarkan budaya merujuk kepada tiga definisi: pertama, suatu
proses perkembangan intelektualitas, spiritual dan estestis. Kedua, suatu pandangan hidup suatu
masyarakat, dan ketiga, suatu praktik-praktik intelektual. Selanjutnya, ia juga memberikan empat
definisi dari popular: pertama, banyak disukai orang. Kedua, jenis sesuatu yang rendah.
Ketiga, karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang, dan keempat, budaya yang dibuat
untuk dirinya sendiri.
Pertama, budaya populer merupakan sesuatu yang menyenangkan dan disukai banyak orang.
Sepak bola sangatlah cocok jika merujuk pada definisi ini. Tak ada yang lebih menyenangkan
ketimbang melihat kesebelasan kesayangan kita memenangi derby dengan gol tunggal pada
menit terakhir. Atau, tak ada yang lebih menyenangkan saat tim nasional (timnas) kita menjuarai
turnamen internasional, seperti ketika timnas U-19 menjadi jawara Piala AFF U-19 dua tahun
silam.

Lebih lagi, sepak bola memang menyenangkan, karena sifatnya yang menghibur. Setelah bekerja
keras seharian, sepak bola merupakan hiburan antilelah yang disukai oleh banyak orang. Lihat
saja berapa banyak orang yang buru-buru pulang cepat hanya untuk sekadar nonton bola. Atau
tengok saja saat ada Piala Dunia, berapa banyak manusia di berbagai belahan bumi yang
matanya tertuju pada ajang empat tahunan tersebut? Atau berapa banyak orang yang mencari
segala cara untuk menonton pertandingan tim kesayangannya meskipun tidak punya uang?
Sepak bola, suka tidak suka, telah menjadi candu.
Kedua, budaya populer merupakan jenis sesuatu yang rendah. Disebut juga dengan budaya
rendah, atau bahasa kerennya, budaya residual. Budaya residual yang dimaksud adalah budaya
yang tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi budaya tinggi. Sosiolog Perancis, Pierre
Bourdieau dalam karyanya, La Distinction (1979) mengatakan bahwa celah antara budaya
rendah dan budaya tinggi kerap dimanfaatkan untuk memperlebar jarak kelas antarkelas. Budaya
rendah dianggap budaya yang diperuntukkan bagi manusia-manusia kelas menengah ke bawah.
Sebaliknya, budaya tinggi merupakan budaya yang diperuntukan untuk manusia kelas atas.
Ketiga, budaya populer disebut juga budaya massa. Budaya massa merupakan budaya yang
diproduksi secara massal dengan konsumsi massal pula. Budaya massa tidak membutuhkan
pendidikan tinggi untuk menontonnya. Intinya budaya massa juga dianggap sebagai budaya yang
rendah sebagaimana definisi sebelumnya.
Keempat, budaya populer merupakan budaya yang berasal dari rakyat dan dibuat oleh rakyat.
Namun sebenarnya, ada beberapa permasalahan yang muncul. Seperti siapa sajakah yang
dimaksud dengan rakyat? Atau bagaimana hakikat budaya-budaya itu terbentuk. Yang jelas,
rakyat tidak bisa secara spontan membentuk budaya menggunakan material yang ada, melainkan
tetap ada yang membentuknya dari atas, yaitu kaum pemilik modal. Karena bagaimanapun
populernya sebuah produk budaya, bahan mentah budaya tersebut pasti disediakan secara
komersial.
Jika kita gabungkan ketiga definisi di atas dengan sepak bola, memang ada benarnya. Awalnya,
sepak bola memang merupakan hiburan bagi rakyat kecil. Di Eropa, sepak bola cukup identik
dengan kaum working class (kelas pekerja). Simon Kuper dalam bukunya, Why England Lose:
& Other Curious Football Phenomena Explained (2010) menulis mentalitas penonton sepak bola
di Inggris yang merupakan kelas pekerja memandang bahwa pada Sabtu malam merupakan akhir
dari hari-hari kerja dan oleh karenanya dianggap waktu yang tepat untuk gila-gilaan.
Gila-gilaan di sini terutama merujuk pada kebiasaan minum bir sambil menonton pertandingan
sepak bola. Kaum working class akan memadati pub sambil meminum bir mereka sebelum
berangkat bersama-sama ke stadion dan menyajikan lagu-lagu penyemangat (chants). Atau jika
sedang tidak berangkat ke stadion, mereka akan menonton pertandingan di dalam pub sambil
meminum bir. Intinya, mereka akan gila-gilaan untuk melupakan segala hal berat yang telah
terjadi dan akan tenggelam dalam kesenangan.

Namun saat ini, sepak bola telah bertransformasi menjadi olahraganya semua kalangan.
Kalangan atas senang menonton pertandingan sepak bola begitu pun dengan kalangan bawah.
Lihat saja berapa pejabat-pejabat negara yang menonton Piala Dunia dan tentu saja mereka tidak
bisa disebut sebagai kalangan bawah. Fenomena macam ini bisa dijelaskan dengan kembali ke
sifat utama sepak bola itu sendiri, yakni hiburan.
Budaya massa akan menghasilkan industri yang berorientasi kepada keuntungan semata. Hal
tersebut juga terjadi dengan sepak bola. Semakin ke sini, sepak bola akan terus berkembang,
terutama dari segi ekonomi. Komersialisasi dalam sepak bola begitu besar. Komersialisasi
sendiri, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti menjadikan sesuatu sebagai barang
dagangan.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa sepak bola sudah menjadi barang dagangan. Ini sangat jelas
terlihat dari mahalnya hak siar televisi suatu kompetisi sepak bola, pernak-pernik klub
kesayangan, atau mahalnya harga tiket masuk stadion. Sebenarnya, yang dijual dari sepak bola
hanyalah kesenangan. Ada perasaan senang ketika menonton pertandingan, dan hal itu laku
dijual, dengan harga yang tidak murah tentunya.
Saya jadi teringat teori Parento Principle atau lebih dikenal dengan sebutan teori 20-80. Teori ini
berasal dari Italia. Saat itu, pada tahun 1960 Vilfredo Pareto menemukan bahwa di Italia, 80
persen tanah dan kekayaan dikuasai oleh 20 persen jumlah populasi yang ada. Teori yang
awalnya merupakan teori ekonomi ini kemudian ditafsirkan ke dalam bentuk ilmu-ilmu yang
lain.
Saya akan mencoba menafsirkannya secara bebas.
Kita anggap 20 persen merupakan pemilik modal dan 80 persen merupakan konsumen. 20 persen
pemilik modal akan membentuk budaya populer yang dikemas secara komersial untuk dinikmati
80 persen konsumen. 80 persen konsumen tersebut akan tenggelam dalam kesenangan dan 20
persen pemilik modal juga akan tenggelam dalam kekayaan. 80 persen konsumen tidak akan
sadar bahwa kesayangan mereka sedang dikomersialisasi pemilik modal. Mungkin karena saking
cintanya, mereka jadi melupakan segalanya.
Jika sudah seperti ini yang rugi siapa? Tidak ada. Pemilik modal semakin kaya, sementara
konsumen akan senang karena hasratnya tercapai.
Jadi, apakah Anda sudah menemukan alasan mengapa sepak bola merupakan budaya populer
yang paling populer?

Anda mungkin juga menyukai