Anda di halaman 1dari 13

Musik Populer, Sang Teman yang Selalu dalam Wacana Abadi

Royke B. Koapaha

Pengantar
Kata populer sudah demikian akrab dan digunakan dalam kehidupan sehari-
hari, baik dalam tataran ilmiah hingga obrolan di warung. Ada budaya
populer, musik populer, kamus populer, bahasa ilmiah populer, blog populer,
majalah Popular, lirik lagu populer, sains populer, dunia populer, martabak
populer, dan sebagainya. Walaupun sudah demikian umum, tapi masih cukup
sering kita jumpai orang yang kurang memahami kata ini, khususnya dalam
tataran sosial-budaya. Tulisan ini mencoba membahas pengertian populer
secara singkat dalam tataran sosial budaya dan juga dalam tataran musik
dimana hal ini sesuai dengan bidang yang penulis tekuni.

A. Definisi Kata Populer


Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata populer didefinisikan sebagai:
1 dikenal dan disukai orang banyak (umum): lagu-lagu -; 2 sesuai
dengan kebutuhan masyarakat pada banyak: ilmu pengetahuan -; 3
disukai umumnya; mudah dipahami orang dan dikagumi orang
banyak.1

Sedang dalam Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa kata ini


didefinisikan sebagai:
1 beken, eminen, hit, kenamaan, kondang, marak, masyhur,
mengakar, merakyat, naik daun, prominen, tenar, terkenal, ternama,
terpegah, tersohor, 2 banal, bersahaja, biasa, konvensional, lazim,
standar, umum.2

1
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa,
2008, hlm. 1205.
2
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008, hlm. 382.
2

Dapat disimpulkan bahwa kata ini bermakna untuk tiga hal, yaitu: 1.suatu
kondisi seseorang atau benda (masyhur, beken, kondang, hit, dsb), 2.
bermakna suatu akibat yang berhubungan dengan kebutuhan atau kondisi
tertentu masyarakat (disukai orang banyak, merakyat, dikagumi orang
banyak, dsb), 3. Berhubungan dengan kualitas (banal, bersahaja,
konvensional, lazim, mengakar, disukai orang banyak,dsb.).

B. Pengertian Populer dari Sudut Pandang Bahasa


Dari asal usul kata, kata people, populer, popular, popolare, populair
berasal dari bahasa latin populus ( ), atau mungkin lebih tepatnya
popularis ( ) jika mempertimbangkan bahwa dalam definisi kata
populer di atas terdapat pemaknaan “dikagumi atau disukai orang banyak”. 3
Permasalahan istilah mulai dapat dilihat sewaktu kita menterjemahkan
dari bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Sebagai contoh, karya dari
Miguel Llobet berjudul 12 Canciones Populares Catalanas diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia menjadi 12 Lagu Rakyat Katalana. Terjemahan ini
sudah diterima secara umum oleh musisi-musisi/gitaris-gitaris di Indonesia
sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu tanpa masalah. Namun istilah lagu
rakyat itu sendiri seringkali mempunyai pengertian yang bias atau pun tidak
sama dengan folk song, folk music, dan country music dalam
pemaknaannya.4 Di sisi lain, kalau saja kata populares diterjemahkan menjadi
populer maka akan terjadi ketidak sesuaian tujuan pemaknaanya dimana
populares di Spanyol dan juga di beberapa negara lainnya, dimaksudkan

3
Charles Duke Yonge, A Phraseological English-Latin dictionary, London: Richard Bentley, New
Burlingyton Street, 1855, hlm. 399. Populus diartikan sebagai the collective prople of a nation,
sedang popularis diartikan sebagai a favorite of the people.
4
Folk song, Folk music, khususnya di Amerika, seringkali penekanannya sebagai gaya, bukan pada
sumber (rakyat). Contohnya lagu-lagu Bob Dylan seperti Blowin’ in the wind, atau lagu-lagu dari
Simon & Grafunkel yang seringkali dianggap sebagai folk music atau folk song.
3

untuk musik rakyat, sedangkan di Indonesia kata populer dimaksudkan untuk


musik hiburan. Kondisi ini jika digambarkan kira-kira demikian: 5

C. Pengertian Populer dari Sudut Pandang Sosial Budaya


Pembicaraan seputar pemaknaan populer dalam sudut pandang sosial
budaya tidak dapat dipisahkan dari perkembangan industri di seputar tahun
20-an hingga 30-an, terutama di Amerika, dan juga tidak dapat lepas dari
pergeseran paradigma feodalisme yang bergeser menjadi kesadaran
berkebangsaan di seputar akhir abad ke 19 atau awal abad ke 20. Selain itu,
tumbuhnya nilai-nilai dalam pandangan posmodern yang bertolak belakang
dengan nilai-nilai modern juga turut andil dalam menambah tajamnya

5
Persoalan ini akan dibahas lebih mendalam pada makalah lain, di bawah kategori folklore.
4

dikotomi budaya “tinggi” dengan budaya populer. 6 Dengan demikian pada


dasarnya pemaknaan budaya populer mempunyai kaitan yang erat dan
mutualis, serta berrelasi bolak-balik dengan posmodern dan industrial yang
bersumbu pada kapitalisme, individualisme dan liberalisme.
Singkatnya, pemikiran-pemikiran jaman pencerahan seperti kebebasan,
kemajuan, atau emansipasi dengan legimitasinya (rasionalisme, positivisme,
materialisme, dan humanisme) dianggap sudah tidak relevan lagi. Ini
tercermin dari lunturnya kepercayaan pada narasi-narasi besar 7. Dampaknya
terlihat pada menguatnya budaya massa, kapitalisme, liberalisme yang pada
akhirnya melahirkan budaya populer.
Dengan demikian dapat dilihat istilah populer pada tataran budaya
mempunyai arti secara substansif sama saja dengan melihatnya dari sudut
pandang bahasa, yaitu berhubungan dengan kerakyatan, berhubungan
dengan hal-hal yang “mudah dicerna atau dipahami”, namun dengan
penekanan pada karakter-karakter yang khas seperti aspek komersialisasi
budaya, juga mengabaikan budaya “tinggi” sebagai akibat dari narasi besar
atau ideologi kapitalisme. Jadi kalau seni rakyat muncul dan bertahan karena
kehendak rakyat, seni kerakyatan karena kehendak bangsa, maka seni
populer lahir dan bertahan karena kehendak media dan kosumsi. 8
Keterkaitannya budaya populer dengan industrial mengakibatkan budaya
populer sangat bergantung pada komunikasi dengan pasar, dan ini berarti
ketergantungan yang sangat besar dengan realitas media yang memang
begitu pesat kemajuannya pada abad ke 20. Realitas media yang awalnya
digunakan manusia sebagai alat untuk menginformasikan gagasan-gagasan
aturan dan tatanan, sekarang kondisinya malah cenderung terbalik, dimana

6
Dominic Strinati, Popular Culture, Pengantar Menuju Teori Budaya Populer (terj.), Yogyakarta:
Jejak, 2007, hlm. 2-6. Juga lihat Stanley J. Grenz, A Primer on Posmodernism (terj.), Yogyakarta:
Yayasan Andi’ 2001, hlm.51-61
7
Al-Fayyadi, Muhammad Al-Fayyadi, Derrida, Yogyakarta: LKis, 2005. hlm. 11.
8
Strinati, op.cit., hlm. xii.
5

media yang mengatur dan menata gagasan-gagasan manusia. Saat ini kita
mengalami kemanusiaan kita lewat realitas media. Semua ini akhirnya
menggiring manusia secara masif ke dalam realita hilangnya kohesi sosial
dan ideologi. 9
Kalau saja kondisinya sudah demikian seperti yang dipaparkan di atas,
maka wajarlah jika dalam kehidupan sehari-hari industri-industri budaya
membuat dan mendistribusikan komoditas-komoditas budaya populer yang
tidak dapat dikendalikan lagi. 10 Contoh yang sangat jelas dapat dilihat pada
tayangan-tayangan di televisi. Berikut ini sedikit gambaran dengan tayangan-
tayangan di televisi maupun selingkar wilayahnya. Saat ini kita tidak merasa
ganjil atau heran kalau serta merta selera musik masyarakat tiba-tiba
bergeser, tiba-tiba muncul aktris dan aktor sinetron dengan kualitas yang
meragukan namun begitu terkenal dengan segera, bekas kenek mobil
omprengan dengan mudahnya menjadi aktor terkenal, anak-anak
dieksplorasi menjadi pendakwah (padahal banyak di antara mereka yang
hanya terpaksa mengikuti kemauan orang tuanya belaka), tidak jarang
dipertontonkan remaja yang memaki pembantu atau teman dengan kata-kata
atau perbuatan yang tidak seharusnya (misalnya saja adegan akibat “rebutan
pacar’ maka seorang remaja dipukuli dan disuruh makanan yang diambil dari
tempat sampah), ustad-ustad dengan pencitraan pribadi yang seharusnya
tidak perlu ditonjolkan (ustad dengan pencitraan humor, kedaerahan,
termasuk atribut-atribut tambahan seperti dandanan yang harus karakteristis,
dsb), desakralisasi kata-kata atau status seperti kata kanjeng mami atau kata
bunda (dulu kata kanjeng dan bunda lebih digunakan untuk penghormatan,
sekarang “tante-tante genit pada anak muda” saja ingin dipanggil dengan
sebutan bunda), pelawak-pelawak yang menggunakan atribut ulama, dan
seperti dalam salah satu acara yang masih ditayangkan di televisi, aktor

9
Ibid, hlm. xiii.
10
John Fiske, Memahami Budaya Populer (terj.), Yogyakarta: Jalasutra, 2011, hlm. 118.
6

dengan pencitraan tradisi (misalnya saja menggunakan blankon dan jarik)


seringkali diaplikasikan dengan bawaan yang “kampungan”, ketinggalan
jaman, bodoh, tidak tanggap lingkungan, dan selalu mengalami nasib sial
seperti dikejar anjing, masuk selokan, dijailin pembantu, dan sebagainya.
Saat ini kita juga tidak heran kalau subbudaya seperti punk sudah masuk
di Yogyakarta, tidak heran juga kalau anak-anak muda dalam dua-tiga bulan
sekali menunjukan kegelisahan pada orang tuanya untuk mengganti
handphone-nya dengan seri/model yang lebih baru, atau remaja yang lebih
tertarik bergaya dan berbahasa jakarta’an daripada mengenal kesenian-
kesenian tradisional.
Menurut hemat penulis, sudah waktunya kita, membicarakan budaya
populer dalam konteks evaluatif. Ini bukan berarti menolak atau menafikan
keberadaan budaya populer, karena hal ini memang tidak mungkin, tapi lebih
mengarah pada mengatur strategi agar budaya populer dapat lebih dapat
sesuai dengan kondisi kita disini, termasuk menjaga nilai-nilai tradisi yang
memang sudah ada di lingkungan hidup kita.

D. Perkembangan Musik Populer Sebagai Musik Hiburan


Sebelumnya, kiranya perlu diklarifikasi terlebih dahulu antara istilah musik
pop dengan musik populer. Hal ini memang bukan hal yang baru, namun
masih cukup membingungkan. Dalam wacana seni budaya, istilah pop art
pertamakali dilontarkan oleh Lawrence Alloway diseputar tahun 50-an, untuk
sebuah gerakan seni rupa baru.11 Seni pop (pop art) dapat dikatakan sebagai
sebuah pemberontakan terhadap kemapanan artistik, sebagai reaksi
terhadap standar seni konvensional dan akademik. 12

11
Hikmat Budiman, Lubang Hitam Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm. 274.
12
Ibid., hlm. 276.
7

Sebuah seni pop karya Richard Hamilton,


Just What Is It that Makes Today's Homes So Different, So Appealing?

Karya kolase dari Eduardo Paolozzi. I was a Rich Man's Plaything


8

Menurut Umar Kayam, kata pop memang berasal dari kata populer,
namun dalam konteks sejarah seni dan kebudayaan keduanya mempunyai
kondisi yang berbeda, bahkan cenderung dapat dikatakan bertolak belakang.
Kata populer berkaitan dengan massa, sedang seni pop lebih menunjuk
pada sejumlah kecil seniman (seniman seni rupa- penulis). 13 Jadi jelas saja
jika karya-karya Andy Warhol tidak sama dengan musiknya Kangen band,
keduanya mempunyai wilayah yang berbeda.
Istilah musik pop yang mulai jelas penggunaannya di seputar tahun 70-an
“dipinjam” dari seni pop yang sudah marak pada tahun 60-an. Sudah sangat
umum orang mengatakan bahwa kata pop dalam musik merupakan
singkatan dari populer. Sebenarnya hal ini tidak jelas. Kalau saja Umar
Kayam berpendapat demikian di atas, maka penulis yakin bahwa hal ini
dalam konteks seni rupa.
Relasi musik pop dan musik rock ini dapat dibilang unik. Dilihat dari sisi
sejarah, musik pop merupakan garis kelanjutan dari musik rock yang
mengalami pencabangan pada tahun 70-an. 14 Sedang dilihat dari
kenyataannya, musik pop merupakan payung besar dari semua musik yang
berhubungan dengan industrial, termasuk musik rock di dalamnya.
Gejala dikotomi antara musik populer yang lebih bersifat ringan,
sederhana, lebih mudah “dimengerti” dengan musik “serius” yang berada di
bawah pengaruh budaya “tinggi” dengan segala kompleksitas teori-teorinya
yang dianggap rumit, sudah dapat dijumpai sejak berabad-abad yang lalu.
Paling tidak sekitar 200 tahun yang lalu, pada musik diatonis, sedikit demi
sedikit gaya musik “seni” yang kurang perduli dengan penghasilan (hal yang
13
Ibid., hlm. 274.
14
Clive D. Griffin, Rock Music, London: Dryad Press Limite, 1987, hlm. 32-49. Intinya bahwa musik
rock yang semakin rumit dan keras, pada seputar awal tahun 70-an mulai bercabang pada musik-
musik yang lebih sederhana, tidak terlalu keras, mudah “dicerna’, lebih mengarah pada ‘produk
industri’, yang dikenal dengan nama musik pop. Ini bukan berarti musik rock tidak terkontaminasi
industrial - karena bagaimanapun kelahiran musik rock berangkat dari akar industri (lihat halaman 7-
9)- namun dalam musik rock hingga tahun 70-an masih cukup besar kadar ‘idealisme’ dan kesadaran
identitas para musisinya.
9

wajar karena komponis saat itu masih “dipelihara” para raja/bangsawan),


mulai dibanding-bandingkan dengan musik bersumber dari massa/rakyat.
Kondisi ini sudah mulai disinggung, terutama oleh penulis-penulis di Inggris
saat itu.15
Sebelum radio atau phonograf ditemukan, musik merupakan benda
penting dalam kehidupan sehari-hari sebuah rumah tangga. Musik yang
dimainkan oleh para amatir dengan teknik yang seadanya sudah tentu
berbeda dengan yang dimainkan oleh para profesional di gedung-gedung
konser ataupun di istana, baik panjang musiknya, kedalaman ekspresinya,
maupun tingkat kesulitan tekniknya. Saat dimana keluarga sebagai sumber
stabilitas ditengah perubahan industri dan perluasan sosial, musik menjadi
penting sebagai kendaraan sosial.16 Sebagai seniman lukis yang hidup di era
itu Sebastian Gutzwiller dengan cukup tepat dan mengesankan
menggambarkan kehidupan musik dalam sebuah keluarga. 17
Para komponis juga menyadari hal ini dan lahirlah musik-musik yang
dikenal dengan istilah parlor song. Lagu-lagu ini tipikal jaman Romantik
dimana biasanya berkarakter liris, sentimental, dan stropis. 18 Sebagai
gambaran dapat didengarkan lagu-lagu dari Stephen Foster seperti Oh!
Suzanna, Light Brouwn Hair, The Camp-town Races, dan sebagainya.

15
Jack Sacher & James Eversole, The Art of Sound: An Introduction to Music Englewood Cliffs, New
Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1977, hlm. 133.
16
Ibid.
17
Karena masalah “layout” belaka maka lukisan dari Sebastian Gutzwiller ditaruh setelah paragraf
berikutnya.
18
Ibid.
10

Lukisan dari Sebastian Gutzwiller yang berjudul Basle family concert

Setelah radio dan phonograf ditemukan maka pergeseran nilai dimana


musik memasuki wilayah industrial menjadi begitu cepat terjadi, terutama di
Inggris dan Amerika.19 Pergantian era dalam musik yang cenderung terjadi
lebih-kurang 100 tahun sekali (Ars Antiqua menjadi Ars Nova, lalu menjadi
Renesans, lalu Barok, dst.), bergeser menjadi sekitar 10 tahun sekali. Lihat
saja perubahan gaya pada musik jazz. Perkembangan dari New orleans
menjadi Chicago, lalu menjadi Swing, Bebop, dst. 20

19
Ibid., hlm. 134.
20
Pemaparan secara jelas dapat dibaca pada Joachīm Ernst Berendt, The jazz book: from ragtime to
fusion and beyond, Westport, Connecticut: Lawrence Hill & Co., 1982. hlm. 3-43.
11

Hal yang sangat memprihatinkan, bahwa akibat dari industri ini musik rock
dan populer dapat dikatakan melulu menjadi alat industri belaka. Sebagai
ilustrasi saja, untuk sebuah produk rekaman yang isinya sekitar 10 lagu,
musisi diharuskan memasukan 25-30 lagu. Lebih dari separuh lagu-lagu ini
tidak dipakai. Seorang teman yang memasukan 30 lagu untuk album
keduanya, hanya diterima 5 lagu saja (berarti 25 lagu tidak terpakai). Lalu ia
dengan kelompok bandnya dalam waktu seminggu diharuskan membuat 5
lagu lainnya. Setelah bekerja keras dalam seminggu membuat 5 lagu,
ternyata semuanya tidak diterima, dan diharuskan membuat lagu lagi.
Sesungguhnya ini hanyalah satu dari seribu cerita “true story” yang
membuktikan seni semata-mata hanyalah benda niaga dalam wilayah
industri.
Tidaklah mengherankan kalau saja dalam “sejarah” musik rock, juga
musik populer menjadi begitu berwacana. Pergantian gaya yang tidak
terduga, gaya yang dianggap usang tiba-tiba muncul menjadi tren kembali,
dan tumpang-tindihnya berbagai gaya dalam satu kurun waktu, menjadi ciri
dalam alur “perkembangan” musik-musik di bawah payung industrial. 21
Dampaknya pun terlihat dalam pendekatan dan penulisan “sejarah”, dimana
mayoritas para penulis lebih menggunakan penulisan gaya esai daripada
gaya uraian deskriptif.22

E. Penutup
Uraian di atas dapat diringkas sebagai berikut:
1. Kata populer yang dapat diartikan sebagai masyhur, beken, kondang,
hit, untuk suatu kondisi seseorang atau benda; atau disukai orang
banyak, merakyat, dikagumi orang banyak, dalam hubungannya
dengan makna dari suatu akibat yang berhubungan dengan kebutuhan
21
Lihat Clive D. Griffin, op.cit, hlm. 4.
22
Dieter Mack membagi pendekatan penulisan dalam dua cara ini. LIhat, Dieter Mack, Musik
Kontemporer & Persoalan Interkultural, Bandung: Art Line, 2001, hlm.10.
12

atau kondisi tertentu masyarakat; atau berhubungan dengan kualitas


seperti banal, bersahaja, konvensional, lazim, mengakar, atau disukai
orang banyak.
2. Istilah populer ini bias termasuk hubungannya dengan istilah pop.
Dalam wilayah seni, khususnya musik, istilah ini digunakan untuk
musik atau lagu rakyat, juga digunakan sebagai payung besar untuk
semua musik yang berada dalam ranah industri.
3. Kecenderungan yang begitu besar dari industri budaya populer,
termasuk musik populer di dalamnya, yang mendominasi dan
mengatur dalam menata gagasan-gagasan manusia, juga
memudarkan kohesi sosial dan ideologi, merupakan masalah besar
yang harus dihadapi kita semua.

Musik populer begitu akrab di telinga, melebur dalam kehidupan harian


kita, di televisi, di radio, di telepon genggam kita, melebur tanpa beban…
Jangan-jangan, seperti salah-satu kalimat dalam lirik lagu dari Remysilado,
bahwa setiap hari kita berdoa meminta ampun untuk dosa-dosa yang masih
kita butuhkan?

Daftar Pustaka

Al-Fayyadi, Muhammad, Derrida, Yogyakarta: LKis, 2005.


Berendt, Joachīm Ernst, The jazz book: from ragtime to fusion and beyond,
Westport, Connecticut: Lawrence Hill & Co., 1982.
Budiman, Hikmat, Lubang Hitam Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 2002,.
Fiske, John, Memahami Budaya Populer (terj.), Yogyakarta: Jalasutra, 2011,
Grenz, Stanley J., A Primer on Posmodernism (terj.), Yogyakarta: Yayasan
Andi’ 2001.
13

Griffin, Clive D., Rock Music, London: Dryad Press Limite, 1987.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia,
Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Mack, Dieter, Musik Kontemporer & Persoalan Interkultural, Bandung: Art
Line, 2001.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Tesaurus Bahasa Indonesia
Pusat Bahasa, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Sacher, Jack & James Eversole, The Art of Sound: An Introducyion to Music
Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1977.
Strinati, Dominic, Popular Culture, Pengantar Menuju Teori Budaya Populer
(terj.), Yogyakarta: Jejak, 2007.
Yonge, Charles Duke, A Phraseological English-Latin dictionary, London:
Richard Bentley, New Burlingyton Street, 1855.

Anda mungkin juga menyukai