Royke B. Koapaha
Pengantar
Kata populer sudah demikian akrab dan digunakan dalam kehidupan sehari-
hari, baik dalam tataran ilmiah hingga obrolan di warung. Ada budaya
populer, musik populer, kamus populer, bahasa ilmiah populer, blog populer,
majalah Popular, lirik lagu populer, sains populer, dunia populer, martabak
populer, dan sebagainya. Walaupun sudah demikian umum, tapi masih cukup
sering kita jumpai orang yang kurang memahami kata ini, khususnya dalam
tataran sosial-budaya. Tulisan ini mencoba membahas pengertian populer
secara singkat dalam tataran sosial budaya dan juga dalam tataran musik
dimana hal ini sesuai dengan bidang yang penulis tekuni.
1
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa,
2008, hlm. 1205.
2
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Tesaurus Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008, hlm. 382.
2
Dapat disimpulkan bahwa kata ini bermakna untuk tiga hal, yaitu: 1.suatu
kondisi seseorang atau benda (masyhur, beken, kondang, hit, dsb), 2.
bermakna suatu akibat yang berhubungan dengan kebutuhan atau kondisi
tertentu masyarakat (disukai orang banyak, merakyat, dikagumi orang
banyak, dsb), 3. Berhubungan dengan kualitas (banal, bersahaja,
konvensional, lazim, mengakar, disukai orang banyak,dsb.).
3
Charles Duke Yonge, A Phraseological English-Latin dictionary, London: Richard Bentley, New
Burlingyton Street, 1855, hlm. 399. Populus diartikan sebagai the collective prople of a nation,
sedang popularis diartikan sebagai a favorite of the people.
4
Folk song, Folk music, khususnya di Amerika, seringkali penekanannya sebagai gaya, bukan pada
sumber (rakyat). Contohnya lagu-lagu Bob Dylan seperti Blowin’ in the wind, atau lagu-lagu dari
Simon & Grafunkel yang seringkali dianggap sebagai folk music atau folk song.
3
5
Persoalan ini akan dibahas lebih mendalam pada makalah lain, di bawah kategori folklore.
4
6
Dominic Strinati, Popular Culture, Pengantar Menuju Teori Budaya Populer (terj.), Yogyakarta:
Jejak, 2007, hlm. 2-6. Juga lihat Stanley J. Grenz, A Primer on Posmodernism (terj.), Yogyakarta:
Yayasan Andi’ 2001, hlm.51-61
7
Al-Fayyadi, Muhammad Al-Fayyadi, Derrida, Yogyakarta: LKis, 2005. hlm. 11.
8
Strinati, op.cit., hlm. xii.
5
media yang mengatur dan menata gagasan-gagasan manusia. Saat ini kita
mengalami kemanusiaan kita lewat realitas media. Semua ini akhirnya
menggiring manusia secara masif ke dalam realita hilangnya kohesi sosial
dan ideologi. 9
Kalau saja kondisinya sudah demikian seperti yang dipaparkan di atas,
maka wajarlah jika dalam kehidupan sehari-hari industri-industri budaya
membuat dan mendistribusikan komoditas-komoditas budaya populer yang
tidak dapat dikendalikan lagi. 10 Contoh yang sangat jelas dapat dilihat pada
tayangan-tayangan di televisi. Berikut ini sedikit gambaran dengan tayangan-
tayangan di televisi maupun selingkar wilayahnya. Saat ini kita tidak merasa
ganjil atau heran kalau serta merta selera musik masyarakat tiba-tiba
bergeser, tiba-tiba muncul aktris dan aktor sinetron dengan kualitas yang
meragukan namun begitu terkenal dengan segera, bekas kenek mobil
omprengan dengan mudahnya menjadi aktor terkenal, anak-anak
dieksplorasi menjadi pendakwah (padahal banyak di antara mereka yang
hanya terpaksa mengikuti kemauan orang tuanya belaka), tidak jarang
dipertontonkan remaja yang memaki pembantu atau teman dengan kata-kata
atau perbuatan yang tidak seharusnya (misalnya saja adegan akibat “rebutan
pacar’ maka seorang remaja dipukuli dan disuruh makanan yang diambil dari
tempat sampah), ustad-ustad dengan pencitraan pribadi yang seharusnya
tidak perlu ditonjolkan (ustad dengan pencitraan humor, kedaerahan,
termasuk atribut-atribut tambahan seperti dandanan yang harus karakteristis,
dsb), desakralisasi kata-kata atau status seperti kata kanjeng mami atau kata
bunda (dulu kata kanjeng dan bunda lebih digunakan untuk penghormatan,
sekarang “tante-tante genit pada anak muda” saja ingin dipanggil dengan
sebutan bunda), pelawak-pelawak yang menggunakan atribut ulama, dan
seperti dalam salah satu acara yang masih ditayangkan di televisi, aktor
9
Ibid, hlm. xiii.
10
John Fiske, Memahami Budaya Populer (terj.), Yogyakarta: Jalasutra, 2011, hlm. 118.
6
11
Hikmat Budiman, Lubang Hitam Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm. 274.
12
Ibid., hlm. 276.
7
Menurut Umar Kayam, kata pop memang berasal dari kata populer,
namun dalam konteks sejarah seni dan kebudayaan keduanya mempunyai
kondisi yang berbeda, bahkan cenderung dapat dikatakan bertolak belakang.
Kata populer berkaitan dengan massa, sedang seni pop lebih menunjuk
pada sejumlah kecil seniman (seniman seni rupa- penulis). 13 Jadi jelas saja
jika karya-karya Andy Warhol tidak sama dengan musiknya Kangen band,
keduanya mempunyai wilayah yang berbeda.
Istilah musik pop yang mulai jelas penggunaannya di seputar tahun 70-an
“dipinjam” dari seni pop yang sudah marak pada tahun 60-an. Sudah sangat
umum orang mengatakan bahwa kata pop dalam musik merupakan
singkatan dari populer. Sebenarnya hal ini tidak jelas. Kalau saja Umar
Kayam berpendapat demikian di atas, maka penulis yakin bahwa hal ini
dalam konteks seni rupa.
Relasi musik pop dan musik rock ini dapat dibilang unik. Dilihat dari sisi
sejarah, musik pop merupakan garis kelanjutan dari musik rock yang
mengalami pencabangan pada tahun 70-an. 14 Sedang dilihat dari
kenyataannya, musik pop merupakan payung besar dari semua musik yang
berhubungan dengan industrial, termasuk musik rock di dalamnya.
Gejala dikotomi antara musik populer yang lebih bersifat ringan,
sederhana, lebih mudah “dimengerti” dengan musik “serius” yang berada di
bawah pengaruh budaya “tinggi” dengan segala kompleksitas teori-teorinya
yang dianggap rumit, sudah dapat dijumpai sejak berabad-abad yang lalu.
Paling tidak sekitar 200 tahun yang lalu, pada musik diatonis, sedikit demi
sedikit gaya musik “seni” yang kurang perduli dengan penghasilan (hal yang
13
Ibid., hlm. 274.
14
Clive D. Griffin, Rock Music, London: Dryad Press Limite, 1987, hlm. 32-49. Intinya bahwa musik
rock yang semakin rumit dan keras, pada seputar awal tahun 70-an mulai bercabang pada musik-
musik yang lebih sederhana, tidak terlalu keras, mudah “dicerna’, lebih mengarah pada ‘produk
industri’, yang dikenal dengan nama musik pop. Ini bukan berarti musik rock tidak terkontaminasi
industrial - karena bagaimanapun kelahiran musik rock berangkat dari akar industri (lihat halaman 7-
9)- namun dalam musik rock hingga tahun 70-an masih cukup besar kadar ‘idealisme’ dan kesadaran
identitas para musisinya.
9
15
Jack Sacher & James Eversole, The Art of Sound: An Introduction to Music Englewood Cliffs, New
Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1977, hlm. 133.
16
Ibid.
17
Karena masalah “layout” belaka maka lukisan dari Sebastian Gutzwiller ditaruh setelah paragraf
berikutnya.
18
Ibid.
10
19
Ibid., hlm. 134.
20
Pemaparan secara jelas dapat dibaca pada Joachīm Ernst Berendt, The jazz book: from ragtime to
fusion and beyond, Westport, Connecticut: Lawrence Hill & Co., 1982. hlm. 3-43.
11
Hal yang sangat memprihatinkan, bahwa akibat dari industri ini musik rock
dan populer dapat dikatakan melulu menjadi alat industri belaka. Sebagai
ilustrasi saja, untuk sebuah produk rekaman yang isinya sekitar 10 lagu,
musisi diharuskan memasukan 25-30 lagu. Lebih dari separuh lagu-lagu ini
tidak dipakai. Seorang teman yang memasukan 30 lagu untuk album
keduanya, hanya diterima 5 lagu saja (berarti 25 lagu tidak terpakai). Lalu ia
dengan kelompok bandnya dalam waktu seminggu diharuskan membuat 5
lagu lainnya. Setelah bekerja keras dalam seminggu membuat 5 lagu,
ternyata semuanya tidak diterima, dan diharuskan membuat lagu lagi.
Sesungguhnya ini hanyalah satu dari seribu cerita “true story” yang
membuktikan seni semata-mata hanyalah benda niaga dalam wilayah
industri.
Tidaklah mengherankan kalau saja dalam “sejarah” musik rock, juga
musik populer menjadi begitu berwacana. Pergantian gaya yang tidak
terduga, gaya yang dianggap usang tiba-tiba muncul menjadi tren kembali,
dan tumpang-tindihnya berbagai gaya dalam satu kurun waktu, menjadi ciri
dalam alur “perkembangan” musik-musik di bawah payung industrial. 21
Dampaknya pun terlihat dalam pendekatan dan penulisan “sejarah”, dimana
mayoritas para penulis lebih menggunakan penulisan gaya esai daripada
gaya uraian deskriptif.22
E. Penutup
Uraian di atas dapat diringkas sebagai berikut:
1. Kata populer yang dapat diartikan sebagai masyhur, beken, kondang,
hit, untuk suatu kondisi seseorang atau benda; atau disukai orang
banyak, merakyat, dikagumi orang banyak, dalam hubungannya
dengan makna dari suatu akibat yang berhubungan dengan kebutuhan
21
Lihat Clive D. Griffin, op.cit, hlm. 4.
22
Dieter Mack membagi pendekatan penulisan dalam dua cara ini. LIhat, Dieter Mack, Musik
Kontemporer & Persoalan Interkultural, Bandung: Art Line, 2001, hlm.10.
12
Daftar Pustaka
Griffin, Clive D., Rock Music, London: Dryad Press Limite, 1987.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia,
Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Mack, Dieter, Musik Kontemporer & Persoalan Interkultural, Bandung: Art
Line, 2001.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Tesaurus Bahasa Indonesia
Pusat Bahasa, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Sacher, Jack & James Eversole, The Art of Sound: An Introducyion to Music
Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1977.
Strinati, Dominic, Popular Culture, Pengantar Menuju Teori Budaya Populer
(terj.), Yogyakarta: Jejak, 2007.
Yonge, Charles Duke, A Phraseological English-Latin dictionary, London:
Richard Bentley, New Burlingyton Street, 1855.