Anda di halaman 1dari 8

PERAN MEDIA SOSIAL SEBAGAI SARANA GENERASI MUDA

DALAM PELESTARIAN FOLKLORE BERUPA CERITA RAKYAT


Maylana Ayu Arista
Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta

ABSTRAK
Melestarikan warisan budaya bisa dilakukan melalui berbagai cara, salah satunya adalah dengan
pemanfaatan kemudahan penyebaran informasi melalui media sosial. Media sosial merupakan salah
satu hal yang saat ini tidak bisa kita pisahkan dari keseharian masyarakat di seluruh dunia. Media
sosial kerap dianggap memiliki dampak negatif yang cukup besar dikalangan masyarakat, seperti
halnya kecanduan media sosial, berbagai isi konten-konten negatif dari media sosial dan lain
sebagainya. Namun, kita juga harus memahami bahwa media sosial memilki dampak positif yaitu
sebagai tempat penyalur informasi dan komunikasi yang cepat. Komunikasi dan informasi sebelum
adanya media sosial menjadi hal yang sulit didapatkan, dengan adanya media sosial, informasi dari
seluruh dunia dapat dengan mudah dan cepat kita dapatkan, begitu pula komunikasi yang sudah
tidak lagi terhalang jarak dan waktu. Artikel ini mengkaji mengenai femonema media sosial dan
manfaatnya dalam pelestarian folklore berupa cerita rakyat. Hasil analisis menyimpulkan bahwa
sosial media menjadi tempat penyampian sekaligus pelestarian folklore berupa cerita rakyat yang
efektif, dikarenakan cerita rakyat dapat dikemas menjadi video interaktif, storytelling, atau yang
lainnya.

Kata Kunci : Folklore, Cerita Rakyat, Media Sosial

PENDAHULUAN
Kita mengetahui bahwa Indonesia memilki berbagai macam jenis kebudayaan. Berbagai jenis
kebudayaan berupa pakaian adat, rumah adat, maupun upacara adat merupakan hal yang umum kita
kaitkan dengan kebudayaan. Padahal, kebudayaan tidak hanyalah itu. Menurut Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan menyebutkan sepuluh objek budaya yang bisa
digarap oleh suatu daerah. Kesepuluh objek itu ialah, (i) tradisi lisan/folklore, (ii) manuskrip, (iii) adat
istiadat, (iv) ritus, (v) pengetahuan tradisional, (vi) teknologi tradisional, (vii) seni, (viii) bahasa, (ix)
permainan rakyat, dan (x) olahraga tradisional. Artikel ini menganalisis mengenai salah satu
kebudayaan yang ada di Indonesia yaitu folklore jenis cerita rakyat dan keefektifan media sosial
sebagai salah satu media pelestariannya.

Danandjaja mengatakan bahwa folklore adalah suatu kebudayaan kolektif yang tersebar dan
diwariskan turun-temurun melalui lisan atau dalam bentuk sebuah wujud sebagai pengingat
masyarakat pemiliknya. Bentuk-bentuk dari folklore sangatlah beragam, bukan hanya dalam bentuk
benda-benda bersejarah, tempat-tempat sakral, namun juga dalam bentuk cerita rakyat dan mitos-
mitos di masyarakat. Seperti halnya legenda, cerita rakyat, dan mitos-mitos yang diwariskan turun-
temurun di masyarakat pemiliknya ( Tsania, dkk:2021)

Menurut Brunvard (Danandjaja, 1997, h.21) folklor dikategorikan menjadi tiga jenis, yakni :

• Folklor lisan (verbal folklore) Misal: dongeng, mite, anekdot, legenda, pantun, syair

• Folklor sebagian lisan (partly verbal folklore) Misal: Biasanya dalam bentuk permainan

• Folklor bukan lisan (non verbal folklore) Misal: pakaian, makanan dan minuman
Menurut Danandjaja, (1991, h.17-20), foklor lisan atau tradisi lisan memliki beberapa fungsi dalam
kehidupan masyarakat, yakni:

1. Mengungkapkan norma-norma yang hidup di masyarakat. Misalnya, dalam masyarakat Sunda


terdapat sebuah peribahasa “Aku aku angga” yang berarti seseorang yang mengakui barang
milik orang lain sebagai milik pribadi dengan maksud ingin memiliknya sendiri.

2. Sebagai suatu ungkapan kritik atau dapat berupa protes sosial terhadap suatu kondisi
kehidupan

3. Ungkapan pendapat masyarakat terhadap pemerintah

4. Mendidik dan mewarisi nilai-nilai, gagasan, ide dari sebuah generasi ke generasi lainnya.

Jenis-jenis yang termasuk kedalam foklor lisan yakni:

(1) bahasa rakyat

(2) ungkapan tradisional

(3) peranyaan tradisonal

(4) sajak

(5) cerita rakyat

(6) nyanyian

Cerita rakyat termasuk ke dalam foklor lisan. Cerita rakyat merupakan cerita yang tumbuh dan
berkembang di masyarakat, Cerita rakyat termasuk kedalam kategori folklor lisan. Folklor lisan di
wariskan melalui mulut ke mulut.

Menurut William R. Bascom cerita rakyat dibagi menjadi tiga yakni mite, legenda dan dongeng.
(Zainul, dalam Danandjaya, 1984, h.50),

Ciri-ciri cerita rakyat antara lain :

• Cerita bersifat anonim, tidak diketahui siapa pembuatnya.

• Sering mengalami perubahan, cerita rakyat termasuk ke dalam foklor lisan, dimana cara
penyampainnya dilakukan dengan bercerita. Sehingga tak jarang seorang pencerita
menambahkan atu mengurangi cerita yang ada di dalamnya.

• Dimiliki oleh sekelompok individu (tidak diakui oleh perseorangan).

• Disampaikan secara turun temurun

• Mengandung nilai-nilai dan norma dalam masyarakat

Dalam era media sosial, semua informasi sudah sangat mudah untuk didapatkan, penyampaian
informasi sudah tidak lagi hanya berdasar lisan saja, namun menggunakan platform berupa media
sosial itu sendiri. Nasrullah mengatakan media sosial adalah medium di internet yang memungkinkan
pengguna merepresentasikan dirinya maupun berinteraksi, bekerja sama, berbagi, berkomunikasi
dengan pengguna lain membentuk ikatan sosial secara virtual. Dalam media sosial, tiga bentuk yang
merujuk pada makna bersosial adalah pengenalan (cognition), komunikasi (communicate) dan
kerjasama (cooperation) ( Setiadi ). Berdasarkan survey penggunaan TIK tahun 2017, diketahui
bahwa pengguna internet tertinggi adalah pada usia produktif yaitu usia 20-29 tahun. Hal ini
menandakan bahwa generasi milenial dan gen z adalah pengguna internet terbanyak. Dengan
penelitian ini, diharapkan kita mengetahui bahwa media sosial dapat menjadi media yang
memberikan perannya pelestarian folklore terkhusus cerita rakyat.

Metode Penelitian
Pendekatan penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Menurut Creswell
(2003) ,penelitian kualitatif adalah sebuah proses mendalam dengan mengacu pada
tradisi-tradisi metodologi untuk mengeksplorasi permasalahan manusia.
Creswell mengatakan pendekatan kualitatif adalah pendekatan untuk
membangun pernyataan pengetahuan berdasarkan perspektif-konstruktif (misal-nya,
makna-makna yang bersumber dari pengalaman individu, nilai-nilai sosial dan sejarah, dengan
tujuan untuk membangun teori atau pola pengetahuan tertentu), atau berdasarkan perspektif
partisipatori. Penelitian studi kasus adalah penelitian empiris. Dugaan peneliti melalui
pengamatan di lapangan. Dalam penelitian ini, peneliti akan mengamati penggunaan media sosial
kaum milenial dan gen z dalam kegiatannya guna pelestarian folklore berupa cerita rakyat.
Dalam menguraikan analisis, peneliti menggunakan metode studi kasus. Studi kasus adalah
penelitian empiris yang menggunakan banyak sumber untuk melakukan investigasi
terhadap sebuah fenomena kontemporer dalam konteks kehidupan nyata, di mana
antara batas fenomena dan konteksnya tidak nyata. Studi kasus sering kali menyita banyak waktu
dan menghasilkan data yang sangat banyak. Metoda penelitian studi kasus bertujuan untuk
memahami obyek yang ditelitinya. Meskipun demikian, berbeda dengan penelitian yang
lain, penelitian studi kasus bertujuan secara khusus menjelaskan dan memahami obyek yang
ditelitinya secara khusus sebagai suatu ‘kasus’. Berkaitan dengan hal tersebut, Yin
(2003a, 2009) menyatakan bahwa tujuan penggunaan penelitian studi kasus adalah tidak
sekedar untuk menjelaskan seperti apa obyek yang diteliti, tetapi untuk menjelaskan
bagaimana keberadaan dan mengapa kasus tersebut dapat terjadi. Sementara itu, Stake (2005)
menyatakan bahwa penelitian studi kasus bertujuan untuk mengungkapkan kekhasan
atau keunikan karakteristik yang terdapat di dalam kasus yang diteliti. Kasus itu sendiri
merupakan penyebab dilakukannyapenelitian studi kasus, oleh karena itu, tujuan dan fokus
utama dari penelitian studi kasus adalah pada kasus yang menjadi obyek penelitian. Untuk itu,
segala sesuatu yang berkaitan dengan kasus, seperti sifat alamiah kasus, kegiatan,
fungsi, kesejarahan, kondisi lingkungan fisik kasus, dan berbagai hal lain yang berkaitan dan
mempengaruhi kasus harus diteliti, agar tujuan untuk menjelaskan dan memahami keberadaan
kasus tersebut dapat tercapai secara menyeluruh dan komprehensif

ANALISIS
1. Pelestarian Folklore di Era Modern
Menurut pendapat Koentjaraningrat kebudayaan selalu akan mengalami perubahan perubahan
dari waktu ke waktu sehingga masyarakat yang memiliki kebudayaan itu harus tetap mengenal,
memelihara dan melestarikan kebudayaan yang dimiliki agar setiap perubahan yang terjadi tidak
menghilangkan karakter asli dari kebudayaan itu sendiri. Semakin berkembangnya teknologi,
semakin mudah pula kita mendapatkan berbagai informasi di dunia. Tren global dari suatu negara,
sekarang tidak hanya menjadi tren di negara tersebut, namun bisa menjadi tren di seluruh dunia.
Apapun yang sedang hangat diperbicangkan di suatu negara atau daerah bisa menjadi hal yang
hangat untuk diperbincangkan pula di daerah lainnya. Tren global sudah tidak lagi dapat dipungkiri
sedikit demi sedikit menggeser tren lokal yang semakin lama semakin sepi peminat, terutama
untuk kaum milenial. D. Taspcott (2008), dalam bukunya Grown Up Digital, membagi demografi
penduduk menjadi beberapa kelompok, sebagai berikut: (1) Pre Baby Boom, yang lahir pada 1945
dan sebelumnya; (2) The Baby Boom, yang lahir antara 1946–1964; (3) The Baby Bust, yang lahir
antara 1965-1976, sebagai Generasi X; (4) The Echo of the Baby Boom, yang lahir antara 1977-
1997, sebagai Generasi Y; (5) Generation Net, yang lahir antara 1998 hingga 2009, sebagai
Generasi Z; serta (5) Generation Alpha, yang lahir pada 2010, sebagai Generasi A. (Taspcott,
2008) Generasi Y dikenal dengan sebutan Generasi Milenial, atau Millenia Generation, yang lahir
antara 1977-1998. Generasi Y di tahun 2008 berusia antara 21 hingga 29 tahun. Mereka sudah
berinteraksi dengan teknologi sejak lahir. Generasi ini banyak menggunakan teknologi komunikasi
instan, seperti: e-mail, SMS (Short Message Service), instan messaging, dan media sosial lainnya
seperti Face Book dan Twitter. Di samping itu, generasi ini juga menyukai game on-line (Achmad,
R. W. W., dkk. 2019).
Gergen mengatakan gambaran generasi milenial di Indonesia saat ini lebih didominasi oleh
generasi yang lebih tidak peduli terhadap keadaan sosial di sekitar mereka seperti dunia politik
ataupun perkembangan ekonomi di dalam negeri, terjadi krisis identitas para anak muda.
Kebanyakan dari mereka hanya mempedulikan pengembangan pola hidup bebas dan hedonis
serta memiliki visi yang tidak realistik dan terlalu idealis, yang penting bisa bergaya. (Ibrahim
dalam Surbakti, 2011). Oleh sebab itu, kaum milenial dan gen z yang hanya berfokus pada tren
global perlu untuk kembali melihat ke dalam identitas diri bangsa, yaitu pada warisan kebudayaan
kita sendiri. Salah satunya adalah dengan lebih mengenal folklore lisan berupa cerita rakyat, serta
berusaha agar kebudayan tersebut bisa bertahan dengan menggunakan kreativitasnya dan juga
pemanfaatan penggunaan teknologi terbaru, maupun penggunaan media sosial yang sudah
menjadi keseharian kaum milenial dan juga gen z.

2. Media Sosial sebagai sarana pelestarian folklore berupa cerita rakyat


Beberapa media sosial yang diamati oleh penulis adalah Youtube, Instagram, dan tiktok.
Dalam ketiga media sosial tersebut cerita rakyat disampaikan melalui banyak bentuk, yaitu berupa
video animasi, diceritakan langsung oleh pendongeng, dan dimainkan dalam film, atau permainan
peran.

Youtube
Cerita rakyat yang dikemas menjadi video animasi dalam media sosial Youtube tersebut di buat
oleh akun Gromore Studio Series. Akun tersebut merupakan akun Youtube yang berfokus pada
penyampaian folklore Indonesia, berupa cerita rakyat dari berbagai daerah di Indonesia. Beberapa
video animasi tersebut di antaranya adalah, “Timun Mas dan Buto Ijo”, “Asal Usul Danau Toba” .
Salah satu video berjudul “Asal Usul Danau Toba”, mendapat banyak sekali respon positif. Banyak
komentar dari pengguna lainnya yang menyatakan dukungannya terhadap karya video animasi
tersebut. Bahkan menyarankan agar karya tersebut dapat masuk ke siaran TV nasional. Terlihat
gambar animasi yang ditayangkan sangat baik, dan tidak kalah jika dibandingkan dengan karya
dari luar negeri.

Gambar 1. Video Animasi Cerita Rakyat dari Gromore Studio Series


Gambar 2. Komentar positif untuk video animasi berjudul “Asal Usul Danau Toba”

Gambar 3. Penyampaian Cerita Rakyat “BATU MENANGIS” berupa film pendek.


Gambar 4. Memainkan peran dalam cerita rakyat “BAWANG MERAH DAN BAWANG PUTIH”

Instagram
Dari Instagram yang memiliki fitur berupa penyajian video pendek, juga memberikan warna baru
dalam penyampaian cerita rakyat. Seperti dalam akun instagram @kanyasaurus, pemilik akun
yang juga seorang pendongeng tersebut menyajikan cerita rakyat dalam bentuk kolaborasi untuk
mendongeng. Dalam video tersebut pemilik akun yang juga pemilik akun @ceritazackkanya
mengajak para pengguna instagram untuk turut meramaikan challenge mendongeng cerita rakyat
“TIMUN MAS”.

Gambar 5. Challenge mendongeng “TIMUN MAS” oleh @kanyasarurus


Tiktok
Salah satu akun tiktok yang menyajikan cerita rakyat adalah akun Klara Tania. Klara Tania
menyajikan cerita rakyat tersebut dengan gaya penokohan yang diperankan oleh Klara Tania
sendiri. Komentar positif, beserta keinginan orang-orang agar Klara Tania bisa menceritakan cerita
rakyat lainnya memberi angin segar, bahwa ternyata cerita rakyat masih diminati oleh kaum
milenial dan gen z.

Gambar 6. Klara Anita dalam akunnya memainkan peran sebagai Toba dalam menceritakan Asal
Usul Danau Toba

Gambar 7. Komentar pada postingan akun Klara Tania

SIMPULAN
Berdasarkan hasil uraian yang telah disampaikan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
pentingnya pelestarian budaya lokal oleh masyarakat Indonesia, terutama kemampuan kalangan
muda guna mengeluarkan segala kreativitasnya dalam memberikan sentuhan baru bagi pelestarian
budaya lokal. Pelestarian budaya lokal, terutama folklore dapat dikembangkan melalui berbagai
kreativitas dan media, terutama media sosial, sebagai contoh diatas adalah dengan penggunaan
Youtube, Instagram dan Tiktok. Penggunaan media sosial yang menunjang adanya kebebasan dalam
kreativitas, dapat memberikan angin segar bagi wajah budaya lokal, terutama folklore. Folklore
berupa cerita rakyat yang disajikan dengan kreativitas masing-masing orang, penyampaian cerita
yang menarik tanpa mengurangi makna atau isi dari cerita, membuat masyarakat terutrama kaum
milenial dan gen z kembali memberikan perhatiannya. Bahkan, banyak yang memberikan komentar
serta dukungan yang positif terkait kreativitas yang disajikan dalam rangka pelestarian folklore
tersebut. Sudah sewajarnya sebagai pemilik budaya dan generasi mudanya untuk terus berupaya
dalam melestarikan budaya lokalnya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Danandjaja, J. 2002. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti.

Syah, E. Z. 2020. Perancangan dan Pengenalan Karakter Jurig Leled Samak melalui Animasi Motion
Graphic. Tugas Akhir Jurusan Desain Komunikasi Visual. Bandung : Universitas Komputer Indonesia

Magfiroh, T. L. Muhaimini, M.S. Sifanti, M. 2021. Panggung Ngepringan: Media Baru Pelestarian
Folklor di Kampung Budaya Piji Wetan Kudus. Prosiding Seminar Nasional PIBSI Ke-43, Potensi
Budaya, Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya untuk Pengembangan Pariwisata dan Industri Kreatif,
Kudus: 13 Oktober 2021.

Surbakti, A. 2018. Generasi Milenial Indonesia, Media, dan Warisan Budaya. Prosiding ‐Seminar
Nasional Agama, Adat, Seni dan Sejarah Di Zaman Milenial, Bali: 5 Juli 2018.

Achmad, R. W. W., dkk. Potret Generasi Milenial Pada Era Revolusi Industri 4.0. Vol 2 No. 2.
Desember 2019

Anda mungkin juga menyukai