Anda di halaman 1dari 22

Modul ke:

12
Fakultas

PASCA SARJANA

Program Studi

Magister Ilmu
Komunikasi

Modul Perkuliahan X
Ekonomi Politik Media
Ekonomi Industri Media Film

Ponco Budi Sulistyo., S.Sos., M.Comm., PhD

Judul Sub Bahasan


1.
2.
3.
4.
5.

Sejarah singkat industri film


Pasar media film
Kompetisi industri film
Kepemilikan
Masa depan industri film

Sejarah Singkat
Sejarah film dimulai pada 1890-an, dengan
penemuan kamera gambar bergerak (motion
picture) pertama dan pembentukan perusahaan
produksi film pertama. Film-film dari tahun 1890an berdurasi di bawah satu menit panjang dan
sampai tahun 1927, film yang diproduksi tanpa
suara.
. Film studio pertama dibangun pada tahun 1897.
Efek khusus diperkenalkan dan kontinuitas film
yang melibatkan aksi bergerak dari satu urutan ke
yang lain, mulai digunakan. Pada tahun 1900,
kontinuitas gambar berturut-turut dicapai dan
shot close-up diperkenalkan.

Pada 1887, Goodwins mengembangkan pita seluloid.


Setahun kemudian atau tahun 1888, Dickson memproduksi
kinetograph. Pada 1889, Eastmen mengembangkan
kamera film praktis. Pada 1891, Thomas Edison
menciptakan kinetoskop. Pada 1895, kakak-beradik
Lumiere
memulai
debut
sinematografi
mereka.
Sinematograf adalah alat yang memadukan fotografi dan
proyektor. Bersama Thomas Armat, Edison mematenkan
proyektor pada 23 April.
Pada April 1896, Edison meluncurkan Edison Vitascope di
New York yang menandai kelahiran industri atau bisnis
film. Film Edison dan Lumiere durasinya hanya beberapa
menit. Film awal tersebut tanpa editing dan tanpa narasi.
Pembuat film asal Prancis George Melies kemudian
membuat film yang diserta narasi dengn judul A Trip to
the Moon.

Di Indonesia, film sudah ada sejak 1920-an. Film bisu


pertama Loetoeng Kasaroeng diproduksi di
Bandung pada 1926. Pemerintah kolonial Belanda
mendirikan lembaga sensor pada 1925. Pada 1936,
pemerintah kolonial mendirikan perusahaan film
negara Algemeen Nederlandsch Indisch Film (ANIF)
yang memproduksi features dan dokumenter.
Di masa pendudukan Jepang (1942-1945), peran
pemerintah makin kuat. Pemerintah melatih orang
Indonesia memproduksi berita dan film propaganda.
Di era Demokrasi Terpimpin (1957-1965), Perusahaan
Film Negara (PFN) menayangkan gambar-gambar
Soekarno dan Badan Sensor Film bertugas menjaga
kebudayaan Indonesia serta mencegah pengaruh
politik dan seks film-film Hollywood.

Film di Indonesia mulai memasuki era industri pada


1940. Saat itu terdapat enam perusahaan film.
Keenam perusahaan film itu adalah Java Industrial
Film, Tans Film Coy, Populairs Film Coy, Oriental Film
Coy, Union Film, dan Star Film Coy. Industri film
Indonesia surut pada masa kemerdekaan, pada masa
pendudukan
Jepang,
serta
masa
Demokrasi
terpimpin.
Industri film Indonesia bangkit kembali pada
pertengahan 1970-an hingga pertengahan 1980-an,
masa yang sering disebut paling produktif dalam
industri film Indonesia. Tahun 1980-an bisa disebut
puncak industri film Indonesia. Tahun 1990-an,
industri film Indonesia seolah mati suri. Industri film
Indonesia menggeliat kembali pada tahun 2000-an

Pasar Media Fim


Struktur pasar industri film di AS adalah oligopoli. Hingga
1994 terdapat setidaknya delapan pemain utama di
dalamnya: Disney dengan market share 18,6%, Warner
Brothers 15,9%, Paramount 14,2%, Universal 13,5%, Fox
10,1%, TriStar 5,2%, Columbia 4,7%, MGM 2,5%
Khalayak
Industri film memperoleh revenue dari audience melalui
berbagai teknologi atau cara, seperti penjualan tiket
(bioskop), home video, distribusi internasional, pay-perview. Berdasarkan riset Nielsen, penggemar film ratarata mengonsumsi 10,5 judul film di layar bioskop.
Sebanyak 46% di antaranya adalah pelanggan Netflix dan
68% pemilik home theatre. Sebanyak 63 persen penonton
lebi suka menonton film di bioskop ketimbang di rumah.

Di Indonesia, dari tahun 1926-2005 diproduksi


2.261 judul film (Katalgog Film Indonesia 19262005).
Berdasarkan
data
Departemen
Penerangan, 112 judul film diproduksi pada
1990/1991, 41 di tahun 1991/1992, 28 di tahun
1992/1993. Pada 1997/1998 hanya tujuh film
Indonesia yang diproduksi. Pada 2006, jumlah film
Indonesia yang diproduksi mencapai 40 judul.
Pada 2007, beredar 53 judul film di bioskopbioskop Indonesia.

Film Indonesia umumnya mengandalkan penonton


sebagai pasar. Untuk meraih penonton, film Indonesia
hanya memanfaatkan beberapa teknologi: penjualan
tiket bioskop, DVD/VCD. Diperkirakan saat ini hanya 20
persen rakyat Indonesia yang bisa mengonsumsi film.
Pada tahun 2006 dengan jumlah produksi sebanyak 40
judul, film Indonesia mampu meraih 12 juta penonton.
Dengan produksi dan jumlah penonton sebanyak itu,
film Indonesia meraih 34 persen dari total film. Pada
tahun 2007 dengan jumlah produksi 53 judul film, 17
film di antaranya meraih lebih dari 500 ribu penonton,
bahkan empat lainnya meraih sejuta penonton.

Iklan: Product Placement dan Sponsor


Industri film kadang memperoleh pendapatan lain dari apa
yang disebut penempatan produk (product placement) atau
build in product dalam istilah industri televisi siaran.
Dalam industri film Hollywood, mainan bermerek Tranformer
tampil dalam film Transformer (2007); Mobil Audi berulangkali
muncul dalam film Transporter 2 (2005); Calvin Klein tampak
dalam film The Island.
Ini sesungguhnya bukan fenomena baru dalam industri film.
Dalam film The African Queen, bintang film Khatarine
Hepburn membuang botol minuman bermerek Gordon ke
sungai. Spancer Tracy disemprot dengan Coca-Cola dalam
film Father of the Bride (1950).

Di Indonesia, banyak film yang disponsori oleh


perusahaan atau lembaga tertentu. Perusahaan
yang acap mensponsori film Indonesia adalah
perusahaan telepon seluler atau perusahaan
rokok. Opera Jawa, seperti telah disinggung
sebelumnya, biaya pembuatannya berasal dari
Austria, Belanda, Belgia.

Bioskop
Bioskop merupakan sarana eksibisi dalam industri film. Jumlah
penonton film antara lain ditentukan oleh jumlah bioskop. Di Amerika
terdapat sekitar 36.485 layar bioskop. Lebih dari 80 peresn bioskop
punya dua atau lebih layar dengan rata-rata 340 tempat duduk.
Di Indonesia, jumlah bioskop belum sebanding dengan jumlah
penduduk. Hingga Juni 2009, di Indonesia terdapat 554 layar bioskop
untuk 220 juta penduduk. Sebagai perbandingan, di Korea dengan
jumlah penduduk jauh lebih sedikit dibanding Indonesia, terdapat
360 layar bioskop. Dewasa ini bioskop di Indonesia dikuasai oleh
jaringan 21 dan Blitz.
Sejak 1986 hingga 2008 sekitar 107 bioskop tutup akibat tidak bisa
mengikuti irama permainan dalam peredaran film di Indonesi.
Kematian biskokp dipercepat oleh maraknya peredaran VCD dan
DVD. (Kompas, 23 mei 2008).

Kepemilikan
Di Amerika, hingga 1994 terdapat setidaknya
delapan pemain utama di dalamnya: Disney dengan
market share 18,6%, Warner Brothers 15,9%,
Paramount 14,2%, Universal 13,5%, Fox 10,1%,
TriStar
5,2%,
Columbia
4,7%,
MGM
2,5%
.Konglomerasi dalam industri film dunia merupakan
kepemilikan internasional. Columbia dimiliki oleh
perusahaan
Jepang
Sony.
Fox
dimiliki
oleh
perusahaan Australia.
Di Indonesia, pengusaha yang terjun ke industri film
cenderung meningkat. Menurut catatan Kementerian
Kebudayaan dan pariwisata, pada 2007 terdapat
penguasaha, dan hingga Juli 2009 tercatat 1.163
penguasa. (Kompas, 9 September 2009).

Beberapa perusaahan film di Indonesia merupakan


perusahaan besar. Produsen utama dalam industri film di
Indonesia antara lain Rexinema, Kharisma Starvision,
SinemArt Pictures, Maxima, dan Multivision Plus. Multivision
Plus dimiliki oleh raja sinetron Raam Punjabi.
Dalam hal kepemilikan bioskop, jaringan bioskop 21
merupakan kepemilikan yang bersifat monopolistik, hingga
munculnya jaringan biskop Blitz. Jaringan bioskop 21 dituding
sebagai penyebab tutupnya bioskop-bioskop non-21.

Kompetisi
Di Amerika, kompetisi terjadi di antara delapan pemain
utama dalam industri fil di sana. Kompetisi ini
melahirkan apa yang disebut blockbuster mentality
pembuatan film lebih didasarkan pada upaya mencari
keuntungan sebesar-besarnya.
Di Amerika, industri film berkompetisi dengan televisi
berlangganan, terutama yang memutar film, seperti
Home Box Office (HBO). Di Indonesia, film bersaing
dengan sinetron di televisi.
Film Indonesia juga berkompetisi dengan film Hollywood
dan sinetron di televisi atau film televisi. Pada tahun
1990-an, untuk mempertahankan eksistensi film
Indonesia dalam persaingan dengan film Hollywood,
sineas Indonesia membuat film-film bernuansa seks.

Di Indonesia, persaingan juga terjadi antarbioskop. Pada


1990-an, bioskop jaringan 21 berkompetisi dengan bioskop
non-21. Untuk mempertahankan kelangsungan hidup,
bioskop-bioskop non-21 memutar film-film
Indonesia
bernuansa seks. Namun, bioskop non-21 tak mampu
bersaing dengan bioskop 21 sehingga banyak yang bangkrut.
Dewasa ini, kompetisi terjadi antara jaringan bioskop 21 dan
jaringan jaringan bioskop Blitz. Kompetisi terjadi dalam hal
harga tiket, film-film yang diputar, serta kenyamanan
menonton.

Regulasi
Di Amerika, regulasi awalnya berhubungan
dengan kompetisi. Belakangan regulasi dalam
industri film umumnya berkaitan dengan sensor.
Selama lebih dari setengah abad, banyak negara
bagian dan kota yang memiliki lembaga sensor
film. Sensor umumnya berkaitan dengan masalah
politik dan moral. Namun, pada 1950-an,
Mahkamah Agung melarang pemerintah negara
bagian menyensor atau melarang peredaran filmfilm tertentu.

Namun, Hollywood kemudian melakukan sensor mandiri dengan


menciptakan sistem rating. Rating berupa penggolongan film
berdasarkan materi atau isi film. Rating terdiri dari:
G : general audiences
PG : parental guidence; for mature audiences)
PG-13 : parental guidence (advised for children under 13
old)
R : restricted; no one under 17 years old admitted unless
accompanied by an adult
NC-17 : no children under 17; replaces the old X rating

years

Di Indonesia, regulasi perfilman yang berlaku di masa penjajahan adalah Ordonansi


Film No. 507. Pemerintah Orde Lama memberlakukan Undang-undang Nomor 1 Pnps
tahun 1964. Di masa Orde Baru berlaku Undang-undang Perfilman No. 8 Tahun 1992.
Pada 2009, DPR mengesahkan berlakunya Undang-undang Perfilman baru untuk
menggantikan Undang-undang [perfilman No. 8 tahun 1992.
Di Indonesia regulasi juga berupa sensor. Indonesia di masa Orde Baru memiliki
lembaga sensor bernama Badan Sensor Film (BSF). Di masa reformasi, ia berganti
nama menjadi Lembaga Sensor Film (LSF).
Di Indonesia, antara 1970 hingga 2005 setidaknya 40 film Indonesia terkena sensor.
Pada 2007, LSM menyensor 53 judul film Indonesia dan 2007 judul film impor. (Koran
Tempo, 25 Mei 2008)

Masa Depan
Dilihat dari kemampuannya beradaptasi dengan
berbagai teknologi untuk meraih penonton, masa depan
industri film bisa dikatakan cerah. Namun, dilihat dari
sisi cost production yang cenderung makin mahal,
selera penonton yang berubah-ubah, pembajakan, serta
munculnya industri film di negara lain, membuat masa
depan industri film masih merupakan tantangan.
Tantangan lain industri film di Indonesia adalah
pembajakan. Pemerintah juga harus menerapkan
regulasi tentang hak cipta secara ketat untuk
mengurangi pembajakan demi kelangsungan industri
film. Kampanye antipembajakan serta strategi distribusi
misalnya dengan hanya membuat film untuk bioskop
di masa awal distribusimerupakan langkah lain untuk
mengurangi pembajakan.

Referensi

Albarian, Alan B, Media Economics: Understanding Markets,


Industries, and Concept, Iowa: Iowa State University Press,
1996.
Alexander, Alison et.al (ed), Media Economics: Theories and
Practice, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates
Publishers, 1998.
Boediono. Ekonomi Makro, BPFE:Yogyakarta, 1984
Deliarnov, Ekonomi Politik. Erlangga; Jakarta, 2006.
Didik J. Rachbini. Ekonomi Politik dan Teori Pilihan Publik.
Ghalia Indonesia: Bogor, 2006.
Kansong, Usman. Ekonomi Media : Pengantar Konsep dan
Aplikasi. Jakarta: Ghalia Indonesia. 2009.
Deden Ramdani. Jumlah Bioskop dan Film Bertambah,
Jumlah
Penonton
Turun.
http://filmindonesia.or.id/article/jumlah-bioskop-dan-film
-bertambah-jumlah-penonton-turun#.VXhBo_ntmko
. 26 Mei 2014.

Terima Kasih
Ponco Budi Sulistyo., S.Sos., M.Comm

Anda mungkin juga menyukai