Anda di halaman 1dari 5

Aspek Etika Bisnis dalam Perfilman Indonesia

Dalam kehidupan hubungannya dengan sesama manusia, manusia


memerlukan aturan-aturan yang mengatur hubungan dan interaksinya dengan
sesama manusia serta pedoman yang menjelaskan perbuatan benar dan salah.
Sistem peraturan ini dikenal sebagai etika. Etika berhubungan dengan
karakter individu dan aturan moral yang menentukan dan membatasi tindakan
kita. Dia meneliti pertanyaan tentang benar dan salah, tugas dan kewajiban,
dan tanggungjawab moral. Etika memberikan aturan-aturan dasar pada
manusia tentang pertanyaan seperti: Bagaimana seharusnya saya menjalani
hidup? Sebaiknya saya menjadi orang yang seperti apa? Nilai-nilai apakah
yang penting? Serta prinsip-prinsip standar manakah yang seharusnya saya
laksanakan?
Masalah etika juga menjadi bagian yang sangat penting dalam bisnis.
Bukan hanya sebagai alat untuk menentukan baik atau buruk serta benar atau
salah, seperti dapat kita lihat dari pengertian etika yang dijelaskan
sebelumnya, etika dalam bisnis juga merupakan aturan yang menjamin
kegiatan-kegiatan bisnis terlaksana dengan adil dan tidak merugikan pihakpihak yang terlibat. Etika bisnis menjadi nilai-nilai moral atau norma yang
harus dipegang oleh semua orang maupun perusahaan dalam menjalankan
bisnisnya.
Berbicara mengenai etika dalam bisnis, kita bisa melihat beberapa
contoh tidak adanya aspek-aspek etika dalam kegiatan bisnis yang dilakukan,
baik sebagai perusahaan maupun individu. Seperti perusahaan yang tidak
memperhatikan lingkungan sekitar, tindakan perusahaan yang melakukan
segala cara untuk mendapat keuntungan, dan perbuatan tidak beretika yang
dilakukan individu dalam perusahaan seperti rasisme yang terjadi antar
sesama karyawan di kantor tempat mereka bekerja. Beberapa pelaku bisnis
tidak mengabaikan masalah etika dalam kegiatan usaha mereka dengan
berpikaran bahwa dengan memperhatikan masalah etika, maka bisnis yang
mereka jalankan tidak akan mencapai sukses, dan dengan memperhatikan
masalah etika maka usaha atau bisnis mereka bahkan akan mengalami
kerugian karena harus mengeluarkan biaya dan waktu yang tidak sedikit untuk
melakukan bisnis yang beretika dan tidak merugikan mas yarakat.
Film merupakan produk dari kreatifitas manusia. Sebagai sebuah
produk film bisa menjadi produk komersial yang dijadikan bisnis dengan
mas yarakat yang menjadi penonton sebagai konsumennya. Perfilman sebagai
sebuah bisnis juga harus memperhatikan sisi etika dalam bisnisnya. Masalah
etika di dunia perfilman menjadi lebih penting karena film tidak hanya dilihat
sebagai bisnis, tapi juga merupakan bagian dari budaya. Film dapat menjadi

alat untuk memperkenalkan budaya dimana film itu berasal, atau dari masa
film itu berasal. Film digunakan sebagai alat untuk melihat bagaimana budaya
bekerja dalam suatu masyarakat. Selain itu, film juga dianggap sebagai seni
yang penting dengan kekuatan yang besar untuk mendidik dan mempengaruhi
penontonnya, dan pada akhirnya mempengaruhi budaya yang ada. Dari sini,
terlihat bahwa dalam menjalankan bisnisnya, para pengusaha perfilman di
Indonesia saat ini dirasa memiliki tanggungjawab untuk menjaga agar
budaya-budaya bangsa pada masa kini agar tidak meninggalkan ciri-ciri
budaya yang tidak baik pada masa mendatang.
Saat ini, jika kita lihat, terdapat banyak pengusaha-pengusaha
perfilman di Indonesia yang tidak memperhatikan aspek-aspek etika dalam
bisnis yang mereka jalankan. Mereka cenderung untuk tidak memperhatikan
akibat-akibat dari film yang mereka produksi untuk masyarakat sebagai
konsumennya. Fenomena seperti film-film horror dengan membawa unsur
pornografi merupakan salah satu contohnya. Film-film seperti ini saat ini
banyak bermunculan dengan alasan memenuhi selera mas yarakat sebagai
konsumen. Kondisi ini jauh dari ideal dari yang diharapkan pemerintah dari
perfilman nasional seperti yang tertulis dalam Undang-undang No.8 tahun
1992 tentang perfilman, terutama pasal 3 yang menyatakan: Sesuai dengan
dasar penyelenggaraan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, perfilman
Indonesia diarahkan kepada: pelestarian dan pengembangan nilai budaya
bangsa; pengembangan watak dan kepribadian bangsa serta peningkatan
harkat dan martabat manusia; pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa;
peningkatan kecerdasan bangsa; pengembangan potensi kreatif di bidang
perfilman; keserasian dan keseimbangan di antara berbagai kegiatan dan jenis
usaha perfilman; terpeliharanya ketertiban umum dan rasa kesusilaan;
penyajian hiburan penyajian hiburan yang sehat dan sesuai dengan normanorma kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; dengan tetap
berpedoman pada asas usaha bersama dan kekeluargaan, asas adil dan merata,
asas perikehidupan dalam keseimbangan, dan asas kepercayaan pada diri
sendiri.
Dilihat dari segi prinsip ekonomi, hal ini memang benar. Produser filmfilm jenis ini memang memiliki keuntungan yang sebesar-besarnya dengan
modal sekecil-kecilnya. Dalam pembuatan filmnya mereka tidak perlu
membayar pemain film, penulis skenario, ataupun membayar lebih untuk
sinematografi yang lebih bagus. Selain itu, waktu yang mereka perlukan
untuk memproduksi film pun mungkin lebih singkat karena cerita yang
sederhana. Dengan bermodal hal-hal tersebut film-film yang mereka produksi
tetap laris manis di pasaran karena modal kontroversi dan unsur vulgar di
film-film yang mereka produksi. Namun, produser film ini seperti
mengkesampingkan aspek moral dan etis dalam bisnis mereka. Mereka tidak

memperhatikan akibat-akibat dari produk yang mereka hasilkan terhadap


budaya dan moral bangsa, dan hanya memikirkan keuntungan secara materi.
Dalam Mukadimah Anggaran Dasar Karyawan Film dan Televisi tahun
1995 dijelaskan bahwa film memiliki fungsi yang amat mulia. Film dan
televisi bukan semata-mata barang dagangan, tetapi merupakan alat
pendidikan dan penerangan yang mempunyai daya pengaruh yang besar sekali
atas masyarakat, sebagai alat revolusi dapat menyumbangkan dharma
bhaktinya dalam menggalang persatuan dan kesatuan nasional, membina
nation dan character building mencapai mas yarakat sosialis Indonesia
berdasarkan Pancasila. Fungsi ini tentu juga akan bekerja pada film-film
Indonesia yang bertema film-horror-semi-porno tersebut. Bisa dibayangkan
jika tontonan seperti itu menjadi alat penerangan pendidikan dan penerangan
yang mempunyai pengaruh yang besar sekali atas mas yarakat. Tentu hal ini
akan merusak moral bangsa pada masa ini.
Memang dirasa tidak adil jika para sineas maupun produser film
Indonesia dijadikan alasan sikap-sikap tidak etis pada mas yarakat sebagai
konsumen/penonton film tersebut yang juga berakibat terhadap pencemaran
nilai-nilai moral bangsa, mengingat tidak semua pekerja film Indonesia
memproduksi film-film sejenis. Masih ada film-film Indonesia yang
mengangkat tema yang berbeda yang bisa dijadikan acuan sikap yang lebih
baik. Sebagai penikmat film Indonesia kita masih disajikan beberapa film
yang bermutu dan tidak hanya mengandalkan kontroversi untuk meningkatkan
daya jual produk mereka. Selain itu, pembentukan sikap seseorang tentu tidak
hanya dipengaruhi oleh apa yang mereka tonton namum juga terdapat
pengaruh-pengaruh lainnya yang bisa datang dari mana saja.
Tapi hendaknya para produser film yang hanya mengejar keuntungan
materil seperti dijelaskan diatas memasukkan unsur-unsur etika dalam bisnis
mereka. Dengan memasukkan nilai-nilai etika dalam sebuah bisnis,
kemungkinan munculnya biaya tambahan memang lebih besar. Hal ini berlaku
untuk semua jenis bisnis, tidak hanya dalam bisnis perfilman saja. Tapi dalam
setiap jenis bisnis yang ada. Misalnya, para pengusaha pertambangan yang
melakukan kegiatan bisnis yang beretika dengan lebih memperhatikan
lingkungan sekitarnya, seperti penanaman pohon atau sebagainya, atau suatu
perusahaan yang menerima dan memperlakukan semua karyawan dengan adil
tanpa memandang ras dan memberikan gaji dan upah serta hak yang pantas
bagi karyawannya.
Dalam hal ini, aspek etika bisnis yang perlu diperhatikan oleh produser
film Indonesia adalah aspek keamanan produk dan keselamatan konsumen.
Film yang dikonsumsi oleh para penonton Indonesia bisa diibaratkan makanan
yang juga harus dijaga kualitas dan kebersihannya. Kemanan dan keselamatan
konsumen dalam mengkonsumsi atau menonton film ini tentu tidak akan

terlihat secara fisik tapi terlihat dalam bentuk lain seperti berkurangnya
aspek-aspek moral dan etis dalam kehidupan mereka.
Jika kita lihat, produser dan para sineas bukan merupakan satu-satunya
alasan maraknya tema-tema film yang kurang beretika pada masa ini.
Pemerintah dan para penikmat film juga memiliki tanggungjawab agar
fenomena ini tidak berlanjut lebih jauh. Pemerintah melalui Lembaga Sensor
Film tentu bertanggungjawab untuk mengawasi dan melarang penerbitan film
yang dirasa tidak sesuai dengan harapan pemerintah dalam Undang-undang
perfilman Indonesia, yaitu film Indonesia yang mengangkat harkat dan
martabat manusia serta menjadi hiburan yang sesuai dengan norma-norma
mas yarakat Indonesia. Penonton sebagai konsumen dari produk berupa film
ini juga diharapkan lebih cerdas dalam memilih apa yang mereka tonton. Jika
konsumen mengurangi minatnya terhadap tontonan yang seperti ini dan lebih
memilih film Indonesia yang lebih berkualitas tentu para produser film akan
lebih tertantang untuk memproduksi film Indonesia yang berkualitas.

DAFTAR PUSTAKA
Bertens, Kees. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Kanisius. Yogyakarta.
Imanjaya, Ekky. 2006. A to Z about Indonesian Film. Mizan. Bandung.
Susanto, Budi. 2003. Identitas dan Poskolonialitas di Indonesia.
Kanisius. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai