alat untuk memperkenalkan budaya dimana film itu berasal, atau dari masa
film itu berasal. Film digunakan sebagai alat untuk melihat bagaimana budaya
bekerja dalam suatu masyarakat. Selain itu, film juga dianggap sebagai seni
yang penting dengan kekuatan yang besar untuk mendidik dan mempengaruhi
penontonnya, dan pada akhirnya mempengaruhi budaya yang ada. Dari sini,
terlihat bahwa dalam menjalankan bisnisnya, para pengusaha perfilman di
Indonesia saat ini dirasa memiliki tanggungjawab untuk menjaga agar
budaya-budaya bangsa pada masa kini agar tidak meninggalkan ciri-ciri
budaya yang tidak baik pada masa mendatang.
Saat ini, jika kita lihat, terdapat banyak pengusaha-pengusaha
perfilman di Indonesia yang tidak memperhatikan aspek-aspek etika dalam
bisnis yang mereka jalankan. Mereka cenderung untuk tidak memperhatikan
akibat-akibat dari film yang mereka produksi untuk masyarakat sebagai
konsumennya. Fenomena seperti film-film horror dengan membawa unsur
pornografi merupakan salah satu contohnya. Film-film seperti ini saat ini
banyak bermunculan dengan alasan memenuhi selera mas yarakat sebagai
konsumen. Kondisi ini jauh dari ideal dari yang diharapkan pemerintah dari
perfilman nasional seperti yang tertulis dalam Undang-undang No.8 tahun
1992 tentang perfilman, terutama pasal 3 yang menyatakan: Sesuai dengan
dasar penyelenggaraan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, perfilman
Indonesia diarahkan kepada: pelestarian dan pengembangan nilai budaya
bangsa; pengembangan watak dan kepribadian bangsa serta peningkatan
harkat dan martabat manusia; pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa;
peningkatan kecerdasan bangsa; pengembangan potensi kreatif di bidang
perfilman; keserasian dan keseimbangan di antara berbagai kegiatan dan jenis
usaha perfilman; terpeliharanya ketertiban umum dan rasa kesusilaan;
penyajian hiburan penyajian hiburan yang sehat dan sesuai dengan normanorma kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; dengan tetap
berpedoman pada asas usaha bersama dan kekeluargaan, asas adil dan merata,
asas perikehidupan dalam keseimbangan, dan asas kepercayaan pada diri
sendiri.
Dilihat dari segi prinsip ekonomi, hal ini memang benar. Produser filmfilm jenis ini memang memiliki keuntungan yang sebesar-besarnya dengan
modal sekecil-kecilnya. Dalam pembuatan filmnya mereka tidak perlu
membayar pemain film, penulis skenario, ataupun membayar lebih untuk
sinematografi yang lebih bagus. Selain itu, waktu yang mereka perlukan
untuk memproduksi film pun mungkin lebih singkat karena cerita yang
sederhana. Dengan bermodal hal-hal tersebut film-film yang mereka produksi
tetap laris manis di pasaran karena modal kontroversi dan unsur vulgar di
film-film yang mereka produksi. Namun, produser film ini seperti
mengkesampingkan aspek moral dan etis dalam bisnis mereka. Mereka tidak
terlihat secara fisik tapi terlihat dalam bentuk lain seperti berkurangnya
aspek-aspek moral dan etis dalam kehidupan mereka.
Jika kita lihat, produser dan para sineas bukan merupakan satu-satunya
alasan maraknya tema-tema film yang kurang beretika pada masa ini.
Pemerintah dan para penikmat film juga memiliki tanggungjawab agar
fenomena ini tidak berlanjut lebih jauh. Pemerintah melalui Lembaga Sensor
Film tentu bertanggungjawab untuk mengawasi dan melarang penerbitan film
yang dirasa tidak sesuai dengan harapan pemerintah dalam Undang-undang
perfilman Indonesia, yaitu film Indonesia yang mengangkat harkat dan
martabat manusia serta menjadi hiburan yang sesuai dengan norma-norma
mas yarakat Indonesia. Penonton sebagai konsumen dari produk berupa film
ini juga diharapkan lebih cerdas dalam memilih apa yang mereka tonton. Jika
konsumen mengurangi minatnya terhadap tontonan yang seperti ini dan lebih
memilih film Indonesia yang lebih berkualitas tentu para produser film akan
lebih tertantang untuk memproduksi film Indonesia yang berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, Kees. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Kanisius. Yogyakarta.
Imanjaya, Ekky. 2006. A to Z about Indonesian Film. Mizan. Bandung.
Susanto, Budi. 2003. Identitas dan Poskolonialitas di Indonesia.
Kanisius. Yogyakarta.