Anda di halaman 1dari 32

BAGIAN II

PERJALANAN
BUDAYA: DARI
ANTHROPOLOGI
KE ORGANISASI
Bab III

Budaya dalam Perspektif


Anthropologi

85
T

eknologi informasi yang pada dekade tahun 1990an mengalami kemajuan begitu pesat
menyebabkan dunia seolah-olah menjadi semakin kecil. Batas-batas wilayah negara
yang selama ini dianggap menjadi tembok pemisah antara satu bangsa dengan bangsa
lain sepertinya sekarang tidak ada lagi. Komunikasi visual antar umat manusia dari dua
tempat yang sangat berjauhan yang dahulu dianggap tidak mungkin sekarang menjadi
hal yang lumrah. Walhasil, dengan teknologi informasi setiap kelompok masyarakat bisa
dengan mudah berinteraksi dengan kelompok masyarakat lain sehingga mereka pun
bisa dengan cepat saling meniru prilaku masing-masing. Oleh karenanya tidak perlu
kaget jika kita mendapatkan pemandangan yang hampir sama dimana-mana. Dunia
seolah-olah hanya diwarnai oleh satu macam prilaku yakni prilaku global. Nonton berita
CNN di TV merk Sony; menelpon teman dengan seluler merk Nokia sambil
mengendarai mobil Hyundai; memakai celana jean Levi’s, mengenakan sepatu Addidas,
minum Pepsi, dan berkaraoke di café menjadi hal biasa dan bisa ditemui di setiap
pelosok dunia.
Terlepas dari kecenderungan prilaku global seperti disebutkan diatas, lingkungan
tempat sekelompok orang tinggal, dibesarkan dan bergaul dengan sesama dalam kurun
waktu yang relatif lama tetap saja menjadi faktor penting yang mempengaruhi cara
pandang, cara berpikir dan cara bertindak mereka. Begitu kuatnya pengaruh lingkungan
setempat menyebabkan fenomena prilaku global sepertinya hanya bersifat artifisial.
Artinya, dibalik fenomena prilaku global tersebut, masing-masing kelompok masyarakat
sesungguhnya tetap mempunyai karakter dan identitas diri yang membedakan satu
kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya. Seperti kata pribahasa
“lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya“ – setiap kelompok masyarakat pasti
memiliki adat istiadat (baca: budaya) yang berbeda dengan adat istiadat kelompok
masyarakat lain.
Sebagai contoh kecil1, secara umum bangsa Indonesia sering mengklaim dirinya
memiliki stereotype prilaku yang sama yang bersumber pada akar budaya Indonesia,
toh ketika seorang dosen PTS dari Jogjakarta yang kebetulan ditugaskan untuk menjadi
dosen tamu di Gorontalo Sulawesi untuk beberapa lama, jauh-jauh hari diingatkan agar
jangan kaget jika pada siang hari kota Gorontalo begitu sepi karena tidur siang masih
menjadi adat kebiasaan penduduk setempat. Contoh kecil ini, sekali lagi, menunjukkan
bahwa di saat teknologi informasi berkembang semakin pesat dan akulturasi terus
berjalan, tetap saja sebuah kelompok masyarakat memiliki adat kebiasaan, budaya dan
identitas diri yang tidak mudah berubah.
Memahami konsep budaya akan menjadi pokok bahasan pada bab 2 berikut ini.
Secara umum topik-topik yang akan diuraikan pada bab ini meliputi: konsep budaya
atau kultur2 dan konsep-konsep lain yang terkait dengannya. Utamanya kaitan antara
budaya dengan kehidupan sebuah masyarakat (culture and society relationship). Pada
bab ini, uraian tentang konsep budaya akan menggunakan perspektif makro yaitu
pendekatan anthropologi agar pada gilirannya bisa dipahami pula konsep budaya dalam
perspektif mikro (khususnya budaya organisasi) yang akan diuraikan pada bab-bab
berikutnya. Memahami budaya dengan perspektif makro (anthropologi) menjadi teramat
penting karena pada dasarnya budaya merupakan domain dari bidang studi anthroplogi
sebagaimana dikemukakan Robert Layton sebagai berikut:

“ ……antropology is the study of people; social anthropology is the study


of human society. ….. Social anthropology can also be characterized as
‘the translation of culture”; making sense of the apparently exotic customs
of unfamiliar peoples3.

( …… anthropologi adalah studi tentang manusia; sedangkan anthropologi


sosial adalah studi tentang masyarakat. …. Anthrolopogi sosial juga bisa
dikatakan sebagai terjemahan budaya yang memberi makna terhadap
kebiasaan-kebiasaan eksotik dari sekelompok masyarakat yang kurang
dikenal).

Selain itu pada bab ini akan didiskusikan pula persoalan kompleksitas budaya.
Persoalan kompleksitas budaya perlu didiskusikan karena dalam realita budaya
merupakan fenomena dalam kehidupan manusia yang sangat kompleks. Interaksi antar
budaya yang pada akhirnya membentuk budaya baru seringkali tidak bisa dihindarkan.
Oleh karena itu uraian tentang kompleksitas budaya ini dimaksudkan agar budaya tidak
dipahami secara linier.

86
SEKILAS TENTANG BUDAYA DAN
ANTHROPOLOGI BUDAYA
Budaya adalah sebuah kata yang mengandung banyak arti. Menurut kamus bahasa
Indonesia, kata budaya berasal dari bahasa sansekerta bodhya yang berarti akal budi4.
Sinonim dari kata tersebut adalah kultur – sebuah kata benda yang berasal dari bahasa
Inggris culture atau cultuur dalam bahasa Belanda atau kulltur dalam bahasa Jerman.
Kata culture itu sendiri secara harfiah berasal dari bahasa Latin Colere (dengan akar
kata “calo” – kata kerja yang berarti mengerjakan tanah, mengolah tanah atau
memelihara ladang dan memelihara hewan ternak5). Dilihat dari asal katanya, dengan
demikian, istilah kultur sesungguhnya lebih dikaitkan dengan kegiatan pertanian dan
peternakan. Agricultura - pengolahan tanah pertanian; aquacultura - budi daya / ternak
binatang air; cultuur stelsel - tanam paksa dan masih banyak lagi istilah-istilah lain yang
menggunakan kata cultura atau culture memiliki konotasi dan berhubungan dengan
kegiatan tanam menanam atau pertanian dan peternakan.
Meski secara harfiah istilah kultur banyak dikaitkan dengan aktivitas pertanian
dan peternakan, dalam bidang studi anthropologi kultur mempunyai pengertian yang
berbeda. Dalam bidang studi ini budaya/kultur mempunyai pengertian yang sangat luas,
bukan semata-mata dikaitkan dengan kegiatan pertanian dan peternakan saja tetapi
juga dengan berbagai aspek kehidupan manusia6. Sangat bervariasinya aspek
kehidupan manusia menyebabkan manusia bisa dikaji dari berbagai perspektif yang
berbeda. Diantaranya melalui kajian sosiologi, anthropologi, psikologi dan biologi.
Dalam upayanya untuk memahami aspek kehidupan manusia, pada awalnya
ilmu sosiologi dan anthropologi memiliki orientasi yang sama. Keduanya berupaya untuk
memahami manusia melalui penerapan teknik-teknik ilmu pengetahuan (science). Oleh
karenanya sangat tidak mengherankan jika obyek studi kedua disiplin ini sering tumpang
tindih – overlapping. Upaya untuk membedakan obyek studi kedua disiplin ini dilakukan
melalui kesepakatan yang menegaskan bahwa sosiologi lebih menekankan pada studi
tentang fenomena yang berkaitan dengan seluruh kehidupan manusia dalam
kedudukannya sebagai masyarakat dan anthropologi berorientasi pada studi tentang
asal mula dan perkembangan budaya manusia. Hanya saja dalam praktek overlapping
antar kedua disiplin tersebut tetap saja tidak bisa dihindarkan7.
87
Konsep budaya pada bidang studi anthropologi mulanya diorientasikan untuk
menjawab pertanyaan: apa yang menyebabkan kita (manusia) disebut sebagai
manusia? Pertanyaan ini dijawab para anthropolog pertama-tama dengan mencoba
membandingkan dan membedakan manusia dengan binatang. Perbedaan ini
selanjutnya digunakan sebagai landasan untuk membedakan budaya dengan alam
dimana manusia dikaitkan dengan budaya sedangkan binatang dikaitkan dengan alam.
Dengan perbandingan ini para anthropolog selanjutnya mencoba membedakan antara
ilmu tentang manusia dengan ilmu tentang alam. Penjelasan ini menunjukkan bahwa
pada awalnya perhatian para anthropolog terhadap budaya tidak lain adalah perhatian
mereka terhadap manusia yakni apa yang membedakan manusia dengan binatang dan
apa yang menjadikan diantara kita sebagai manusia memiliki kesamaan-kesamaan.
Itulah sebabnya konsep budaya pada awalnya sangat generic yakni hanya melihat apa
yang menyebabkan sekelompok manusia memiliki kesamaan dan apa yang
membedakan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Namun sejalan dengan
kenyataan bahwa kehidupan manusia menjadi semakin kompleks dan terus mengalami
perkembangan, dan di sisi yang lain adanya perbedaan pengalaman dan preferensi
para anthropolog dalam mensikapi kehidupan manusia tersebut, menyebabkan ilmu
anthropologi juga terus mengalami perkembangan. Akibatnya budaya tidak hanya
semata-mata dipahami secara generic. Pemahamannya sangat bervariasi bergantung
bagaimana cara para anthropolog memotret kompleksitas kehidupan manusia tersebut8.
Oleh karenanya sangat tidak mengherankan jika pengertian budaya yang diberikan oleh
para anthropolog juga sangat bervariasi. Berikut beberapa pengertian budaya dari
berbagai perspektif.

PENGERTIAN BUDAYA

Dari berbagai literatur anthropologi budaya, Kroeber and Kluckhohn 9 dalam


monografnya - Culture: A critical review of concepts and definisions, menemukan tidak
kurang dari 164 definisi budaya. Mengingat begitu banyaknya definisi budaya, maka
tidak semua definisi bisa dipaparkan dalam buku ini, hanya sebagiannya saja yang
mungkin bisa dielaborasi lebih detail. Oleh karenanya perlu disadari bahwa definisi yang
akan disajikan berikut ini tidak bisa mewakili keseluruhan definisi yang ada. Meski

88
demikian, definisi-definisi yang akan disajikan tersebut paling tidak diharapkan bisa
memberi gambaran umum tentang esensi budaya dan bisa menjadi landasan bagi para
pembaca untuk memahami keseluruhan buku ini.

Budaya Menurut Edward Tylor


Edward B. Tylor - orang pertama yang menggunakan istilah budaya dalam karya
anthropologi, misalnya mengatakan bahwa budaya adalah hasil karya manusia dalam
kedudukannya sebagai anggota masyarakat. Pengertian budaya seperti yang
dikemukakan Edward B. Tylor adalah sebagai berikut10:

"Culture or civilization is that complex whole which includes knowledges,


belief, art, morals, law, custom, and any other capabilities and habits
acquired by man as a member of society"

(Kultur atau peradaban adalah kompleksitas menyeluruh yang terdiri dari


pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat kebiasaan dan berbagai
kapabilitas lainnya serta kebiasaan apa saja yang diperoleh seorang
manusia sebagai bagian dari sebuah masyarakat)

atau seperti yang dikemukakan Bronislaw Malinowski11 berikut ini:

.....It (culture) obviously is the integral whole consisting of implements and


consumers' goods, the constitutional charters for various social groupings, of
human ideas and crafts, beliefs and customs

(kultur adalah keseluruhan kehidupan manusia yang integral yang terdiri dari
berbagai peralatan dan barang-barang konsumen, berbagai peraturan untuk
kehidupan masyarakat, ide-ide dan hasil karya manusia, keyakinan dan
kebiasaan manusia).

Pengertian budaya yang semula bersifat generik seperti disebutkan diatas,


selanjutnya mulai bergeser sejalan dengan terjadinya evolusi kehidupan manusia yang
terus mengalami perkembangan. Dalam hal ini budaya tidak lagi dikaitkan semata-mata
dengan aspek kehidupan manusia secara umum tetapi mulai dikaitkan dengan manusia
sesuai dengan kelompok-kelompoknya. Oleh karena itu manusia tidak lagi
diperbandingkan dengan binatang tetapi diperbandingkan dengan manusia lain
khususnya antara satu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya – apa
yang membedakan dua kelompok manusia tersebut dan apa yang menyamakannya.

89
Pergeseran orientasi ini dapat dilihat dari pengertian budaya seperti yang diberikan oleh
Melville Herskovits12 sebagai berikut:

“……. is a construct describing the total body of belief, behavior, knowledge,


sanctions, values, goals that make up the way of life of a people”

(budaya adalah sebuah kerangka pikir (construct) yang menjelaskan tentang


keyakinan, prilaku, pengetahuan, kesepakatan-kesepakatan, nilai-nilai,
tujuan yang kesemuanya itu membentuk pandangan hidup (way of life)
sekelompok orang)

Dari ketiga definisi diatas, ada tiga hal penting yang perlu memperoleh elaborasi lebih
lanjut yakni:
1. Tentang cakupan budaya. Definisi diatas mengartikan budaya dalam perspektif
yang cukup luas, mencakup semua aspek kehidupan manusia, yaitu semua yang
berkaitan dengan berbagai macam hasil karya manusia mulai dari ilmu
pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat kebiasaan dan segala bentuk
kapabilitas manusia lainnya termasuk didalamnya organisasi baik organisasi dalam
pengertian yang luas (masyarakat) maupun organisasi dalam pengertian yang lebih
mikro (perusahaan misalnya). Dengan demikian, organisasi seperti halnya kerajinan
wayang, batik, adat kebiasaan (tradisi) pulang kampung saat hari raya lebaran atau
teknologi komputer, menurut definisi ini adalah produk budaya. Pendek kata definisi
ini ingin menunjukkan bahwa semua hasil karya atau kreasi manusia tanpa kecuali
adalah ekspresi budaya atau hasil kebudayaan.

2. Tentang wadah terbentuknya budaya. Penegasan lain yang ingin disampaikan


definisi diatas adalah hasil kreasi manusia yang dimaksud bukan sekedar hasil
kreasi individual melainkan merupakan kesepakatan dari sekelompok orang atau
masyarakat. Artinya, wayang atau batik atau produk-produk lainnya belum diakui
sebagai benda budaya jika belum memperoleh pengakuan masyarakat. Dengan
demikian masyarakat merupakan wadah terbentuknya budaya, dalam pengertian
budaya tidak akan pernah ada jika tidak ada masyarakat. Atau bisa juga dikatakan
sebaliknya bahwa sekelompok orang tidak bisa dikatakan sebagai sebuah
masyarakat jika mereka tidak memiliki budaya.

90
Penjelasan ini sekaligus menegaskan bahwa budaya merupakan property
kelompok/masyarakat bukan milik individual. Artinya budaya tidak terjadi dalam
konteks individual melainkan dalam sebuah kelompok - entah itu kelompok yang
dibatasi oleh wilayah geografis atau dibatasi oleh kesamaan etnis atau batasan-
batasan lainnya. Boleh jadi kelompok tersebut adalah kelompok kecil - organisasi
misalnya, atau sebaliknya kelompok tersebut adalah kelompok yang lebih besar -
negara, bahkan kelompok yang lebih besar lagi - masyarakat global seperti
dikemukakan oleh George Ritzer dalam bukunya The McDonaldization of Society13.

3. Tentang hubungan antara budaya, masayarakat dan peradaban. Karena budaya


dan masyarakat saling berhubungan erat dan saling mengisi, banyak orang sering
menyalah artikan seolah-olah budaya dan masyarakat memiliki pengertian yang
sama. Budaya juga sering dipersamakan dengan peradaban (civilization) seperti
yang dikemukakan oleh Edward B. Tylor (lihat pengertian diatas). Pengertian ketiga
istilah ini menurut hemat kami harus dibedakan karena ketiganya memiliki cakupan
yang berbeda.
Dalam hal ini Kroeber and Persons misalnya mengatakan bahwa budaya dan
masyarakat pengertiannya harus dibedakan. Menurut mereka masyarakat atau
sering juga disebut sebagai sistem sosial merupakan sebuah sistem yang
menghubungkan interaksi seseorang dengan kelompoknya.14 Hal yang sama juga
dikemukakan Rohner yang mengatakan bahwa masyarakat (society) merupakan
sekelompok orang yang bersifat multi-generasi, tinggal dalam dalam satu wilayah
tertentu, dan terorganisir menurut budaya dan sistem sosial yang sama15.
Sedangkan Berry dkk menyatakan bahwa masyarakat diartikan sebagai suatu
kolektivitas terorganisasi dari sekelompok orang yang saling berinteraksi, yang
memiliki kecenderungan untuk berbagi keyakinan, sikap dan cara-cara bertindak
yang sama dan melakukan aktivitas-aktivitas yang terpusat pada seperangkat tujuan
umum16.
Sementara itu, peradaban (tamaddun dalam bahasa arab) adalah produk dari
kehidupan masyarakat dalam sebuah wilayah negara - is a product of civil or public
life in an organized state17. Menurut pengertian ini bisa dikatakan bahwa peradaban
merupakan indikator kualitas budaya sekelompok orang (masyarakat). Jika

91
dikatakan ada masyarakat yang beradab atau tidak beradab; atau masyarakat
primitif (budaya rendah), modern (budaya maju) atau post-modern (budaya sangat
maju), penyebutan tersebut sesungguhnya hanya tingkat kualitas budayanya saja
yang berbeda, bukan diartikan sebagai sekelompok masyarakat berbudaya atau
tidak berbudaya karena setiap masyarakat pada dasarnya memiliki budaya.

Budaya Menurut Ruth Benedict


Berbeda dengan definisi terdahulu yang cakupannya sangat luas, definisi lain terkesan
lebih fokus hanya menekankan pada aspek kehidupan tertentu. Ruth Benedict misalnya,
lebih melihat budaya bukan dari hasil karya manusia melainkan dari apek behavioral
yaitu pola pikir, prilaku dan tindakan manusia seperti yang diungkapkannya "culture is a
patern of thinking and doing that runs through the activities of people - kultur adalah pola
pikir dan tindakan tertentu yang terungkap dalam aktivitas manusia18". Atau seperti yang
dikemukakan Talcott Parsons sebagai berikut:

Culture ... consists in those patterns relative to behavior and the products of
human action which may be inherited, that is, passed on from generation to
generation independently of the biological genes.

(Kultur terdiri dari suatu pola yang terkait dengan prilaku dan hasil tindakan
manusia yang berlaku turun temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya yang terpisah dari dan tidak terkait dengan hubungan biologis).

Dalam pengertian ini, aktivitas manusia - apakah itu bertani, memelihara ladang,
mengolah tanah atau menciptakan karya seni dan bentuk-bentuk aktivitas lainnya,
hanyalah bentuk ungkapan atau pengejawantahan dari sebuah pola pikir manusia.
Untuk disebut sebagai budaya, pola pikir ini harus menjadi pola pikir banyak orang
(masyarakat) yang secara bersama-sama mereka kembangkan 19. Untuk memberi
gambaran tentang budaya sebagai pola pikir bersama perhatikan gambar peta
Indonesia dibawah ini. Peta ini disajikan dengan posisi arah utara dibawah, arah selatan
diatas, arah timur di sisi kiri dan arah barat disisi kanan.

92
Gambar 3.1: Cara lain melihat Indonesia

Ketika seseorang disodori gambar peta dengan posisi seperti tersebut diatas dan
diminta untuk mengamati peta tersebut, seketika ia akan mengerutkan kening agak lama
sambil berpikir. Setelah menyadari bahwa peta tersebut adalah peta Indonesia ia segera
mengatakan bahwa peta itu adalah peta Indonesia dengan posisi terbalik. Ketika ditanya
mengapa posisi seperti itu dikatakan terbalik, jawabannya sederhana “dari dulu cara
melihat peta ya utara pasti diatas bukan seperti yang ada pada gambar.” Jawaban
seperti ini tidak hanya terjadi pada saat kita melihat peta yang menurut kebiasaan kita,
menurut pengalaman-pengalaman terdahulu dianggap keliru atau menyimpang dari
kebiasaan tetapi juga terjadi pada hal-hal lain. Sebagai contoh, dalam system berlalu
lintas kita menggunakan lajur kiri sebagai polanya sehingga jika ada seseorang
menggunakan lajur kanan bukan sekedar orang tersebut menyalahi aturan umum
berlalu lintas tetapi juga bisa dianggap menyimpang dari budaya yang sudah menjadi
pola hidup masyarakat Jawaban ini sekaligus menunjukkan bahwa secara kultural kita
terkadang tidak tahu mengapa kita melakukan sesuatu dengan cara seperti yang biasa
kita lakukan. Ketidakahuan tersebut terutama karena cara itu sudah turun temurun
dilakukan oleh pendahulu-pendahulu kita.
Pola pikir bersama kadang-kadang datang dari diri seseorang yang dalam
contoh peta Indonesia secara turun temurun, entah siapa yang memulai, datang dari
guru geografi. Dalam masyarakat tradisional pola pikir tersebut boleh jadi datang dari
seorang tokoh masyarakat yang berpengaruh, dianggap sakti, mempunyai kelebihan
93
dibandingkan masyarakat pada umumnya atau mempunyai indera keenam. Namun pola
pikir tersebut kemudian diterima oleh banyak orang dan menjadi pola pikir bersama.
Oleh Hofstede, pola pikir bersama semacam ini disebut sebagai collective mental
programming. Hofstede selanjutnya mengatakan, jika pola pikir ini tersistem dan
terkristalisasi kedalam diri para anggota sebuah masyarakat maka pola pikir ini akan
menjadi tradisi yang kukuh dan dipertahankan dalam kurun waktu yang relatif lama,
tidak hanya bertahan dalam satu generasi melainkan juga menjadi pola pikir generasi
berikutnya. Oleh karenanya collective mental programming sulit untuk berubah. Kalau
toh pola pikir tersebut harus mengalami perubahan, maka perubahannya tidak terjadi
secara instant melainkan terjadi secara gradual.
Memang, keanggotaan seseorang dalam sebuah masyarakat bisa saja berganti -
ada yang masuk menjadi anggota baru dan ada pula yang meninggalkan
keanggotaannya misalnya karena meninggal dunia atau pindah menjadi anggota
masyarakat yang lain, namun eksistensi masyarakat tersebut masih tetap ada dan
dengan demikian pola pikir masyarakat juga tidak berubah. Oleh karenanya seperti
dikatakan Parsons, pola pikir ini kadang-kadang bertahan dari generasi yang satu ke
generasi berikutnya sebagai identitas diri, pedoman hidup, cara pandang dan tuntunan
bertindak yang dianggap benar dan hampir tidak pernah dipersoalkan oleh generasi
berikutnya. Selanjutnya, karena kekukuhannya, pola pikir ini lambat laun menjadi
pandangan hidup bersama (common way of life). Jadi dalam pangertian ini kultur secara
sederhana adalah tradisi dan sekaligus way of life yang dijadikan pedoman dan
tuntunan dalam cara berprilaku dan bertindak bagi sebuah masyarakat20.

Budaya Menurut Clifford Geertz


Pengertian lain tentang budaya menganggap bahwa budaya tidak dipahami semata-
mata sebagai hasil kreasi, pola pikir manusia dan segala peristiwa manusiawi lainnya
melainkan juga dari makna yang tersirat dari balik hasil kreasi, pola pikir dan segala
peristiwa kemanusiaan tersebut. Dalam pemahaman ini budaya bersifat simbolik yang
memiliki dua komponen yakni komponen yang implisit dan eksplisit. Komponen pertama
bersifat tersembunyi (hidden) yang hanya bisa dipahami oleh sekelompok orang tertentu
sehingga perlu interpretasi, komunikasi dan penjelasan lebih jauh agar esensi dari

94
budaya bisa dipahami maksudnya. Sedangkan komponen kedua bersifat kasat mata
(overt) yang bisa diketahui dan dirasakan orang lain meski kadang-kadang orang lain
tersebut tidak bisa memahami makna yang sesungguhnya. Oleh karenanya komponen
kedua tersebut bersifat simbolis. Pengertian budaya yang mengarah kepada
pemahaman seperti tersebut diatas misalnya diberikan oleh R. D'Andrade sebagai
berikut:

Culture is viewed as a pattern of symbolic discourse and shared meaning


that needs interpreting and deciphering in order to fully be understood.

Kultur adalah sebuah pola diskursus yang simbolik dan merupakan shared
meaning (makna/pengertian bersama) yang menuntut adanya interpretasi
dan penjelasan lanjutan agar diskursus dan makna tersebut bisa dipahami
secara baik.

Atau seperti yang dikatakan oleh Geertz bahwa konsep budaya pada hakekatnya
merupakan sebuah konsep yang semiotik dan kontekstual. Geertz selanjutnya
mengatakan “dengan meyakini akan kebenaran tesis Max Weber bahwa manusia
adalah binatang yang bergantung pada jaringan-jaringan makna yang ditenunnya
sendiri, saya (Geertz) menganggap bahwa manusia dan budaya seperti halnya jaringan-
jaringan tersebut yang memerlukan pemaknaan tersendiri dimana pemaknaannya tidak
didasarkan pada "kacamata ilmiah" yang eksperimental melainkan berdasarkan mata
kepala yang interpretatif"21.
Untuk memperjelas pengertian diatas, akan digunakan sebuah contoh yaitu
sebuah benda yang dinamakan keris22. Bagi masyarakat umum keris hanyalah sebuah
benda tajam buatan manusia seperti halnya pisau atau benda tajam lainnya yang bisa
digunakan untuk berbuat baik atau berbuat jahat. Disisi lain, jika kita merujuk pada
pengertian budaya seperti yang diberikan oleh Tylor, keris seperti halnya komputer
adalah benda budaya karena keris merupakan hasil kreasi manusia. Kedua pendapat
tadi, meski berbeda dalam cara memandang, tetapi esensinya sama yaitu melihat keris
dari sisi fisiknya, bahwa keris adalah sebuah benda.
Disamping itu, keris juga bisa dipahami bukan semata-mata dari sisi fisiknya
tetapi dari dimensi yang tersembunyi (hidden dimension) 23 yakni makna yang
terkandung didalamnya. Disini keris dipandang bukan sekedar sebagai benda tajam,
bukan pula sebagai harta milik tetapi sebagai sebuah benda simbolis yang mempunyai
95
makna tersendiri dibalik ujud fisiknya. Dengan cara pandang seperti ini memahami
makna dari sebilah keris jauh lebih penting ketimbang sekedar memahami ujud fisiknya
meski kedua komponen tadi - makna dan ujud fisiknya tidak bisa dipisahkan. Namun
sayangnya tidak semua orang bisa memahami makna yang terkandung dari sebilah
keris kecuali orang tersebut banyak terlibat atau berhubungan dengan keris tersebut. Si
empunya keris misalnya adalah orang yang barangkali bisa cerita panjang lebar tentang
apa arti sebilah keris. Itupun cara memaknainya terkadang sangat subyektif karena
didasarkan pada hasil interpretasi diri yang dikembangkannya. Akibatnya orang lain
yang tidak mengenalnya dengan baik, paling-paling yang ia ketahui hanya sebatas pada
ujud fisiknya (atau biasa disebut artefak) saja. Kalau toh orang lain tersebut mencoba
memaknainya, boleh jadi interpretasi yang ia kemukakan berbeda dengan interpretasi
dari si empunya keris kecuali ia memperoleh penjelasan atau informasi lain yang lebih
detail.
Jika contoh diatas dijadikan dasar untuk menjelaskan pengertian budaya
(khususnya pengertian yang diberikan oleh D’Andrade dan Geertz), maka budaya
seperti halnya keris, bersifat simbolik dan terdiri dari dua komponen utama yaitu
komponen yang secara eksplisit tampak di permukaan sehingga mudah diamati oleh
banyak orang. Komponen yang kasat mata ini disebut sebagai artefak. Komponen
kedua bersifat sangat inklusif dan tersembunyi (implisit) sehingga perlu tafsir atau
interpretasi24 dan dikomunikasikan25 agar orang lain bisa memberi makna budaya seperti
yang dikehendaki.

Budaya Menurut Kroeber and Kluckhohn


Dari berbagai elaborasi pengertian budaya seperti tersebut diatas yang sesungguhnya
hanyalah sebagian dari definisi-definisi yang ada tampak bahwa definisi budaya sangat
bervariasi. Definisi-definisi budaya yang sangat variatif ini oleh Kroeber and Kluckhohn
kemudian dikelompokkan menjadi 6 (enam) kelompok definisi yakni definisi yang
bersifat deskriptif, historik, normatif, psikologik, struktural dan genetik.
1. Definisi deskriptif, definisi yang masuk dalam kelompok ini cenderung menekankan
pada pandangan "budaya sebagai suatu totalitas yang komprehensif". Oleh

96
karenanya definisi ini mencoba membuat daftar semua aspek kehidupan dan
aktivitas manusia sebagai suatu contoh tentang apa yang dimaksud dengan budaya.
2. Definisi historis, definisi ini cenderung lebih menekankan pada akumulasi tradisi
yang terjadi dari waktu ke waktu ketimbang mempertimbangkan totalitas atau
fenomena budaya. Dalam definisi ini, oleh karenanya, sering digunakan istilah
heritage - hubungan darah dan heridity - keturunan untuk menunjukkan adanya
kesinambungan historis kebudayaan.
3. Definisi normatif, definisi ini menekankan pada pentingnya peran shared norms -
kaidah-kaidah yang dipahami dan dijiwai bersama sebagai pengatur laku bagi
sekelompok manusia (masyarakat). Berbeda dengan definisi deskriptif dan historis
yang lebih mengamati pada fenomena budaya yang kasat mata, definisi normatif
menuntut kita untuk menggali aktivitas-aktivitas yang lebih tersembunyi yang
menjadi penyebab timbulnya fenomena budaya yang kasat mata tersebut. Oleh
karenanya, dalam definisi ini sering digunakan istilah budaya eksplisit dan budaya
implisit masing-masing untuk menunjukkan komponen budaya yang tampak dan
komponen yang tersembunyi.
4. Definisi psikologis, definisi ini menekankan pada berbagai macam ciri atau
karakteristik psikologis seperti penyesuaian diri, pola pembelajar (learn) dan
kebiasaan sebagai uangkapan budaya. Kelompok definisi ini menjelaskan
bagaimana sebuah kelompok belajar menyesuaikan diri dengan sesuatu yang sudah
menjadi tradisi, bagaimana budaya dipelajari dan bagaimana proses pembelajaran
tersebut menghasilkan kemapanan dari kebiasaan-kebiasaan yang ada.
5. Definisi struktural, kelompok definisi ini menekankan pada pentingnya pola,
struktur atau organisasi budaya. Jadi pada dasarnya kelompok definisi ini
merupakan perluasan dari kelompok pertama dengan membagi keseluruhan total
budaya menjadi beberapa sub kelompok budaya yang masing-masing mempunyai
ciri tersendiri meski masih saling berhubungan antara satu kelompok dengan
kelompok lainnya dalam membentuk tatanan yang ada. Dalam kelompok definisi ini
isu sentralnya adalah budaya bukan sekedar daftar atau gugusan adat istiadat,
tetapi merupakan suatu pola utuh yang memliki kekhasan namun masih saling
terkait.

97
6. Definisi genetik, kelompok definisi ini menekankan pada pentingnya genesis atau
keaslian budaya. Ada 3 (tiga) isu sentral yang berkembang dalam kelompok definisi
ini yaitu budaya lahir dari proses adaptif terhadap habitat sebuah kelompok, budaya
lahir dari interaksi sosial dan budaya lahir karena proses kreatif yang menjadi ciri
manusia.
Kroeber and Kluckhohn sendiri selanjutnya mencoba memberi pengertian budaya
yang dianggap lebih komprehensif sebagai berikut: “budaya terdiri dari pola-pola pikir,
cara berpendapat dan bereaksi yang diperoleh dan disebarluaskan melalui berbagai
macam simbol termasuk didalamnya yang dimanifestasikan dalam bentuk artefak yang
semuanya itu merupakan hasil pencapaian dari sekelompok orang; sedangkan esensi
dasar atau inti dari budaya terdiri dari gagasan-gagasan tradisional, yang diderivasi dan
dipilih berdasarkan pengalaman sejarah, serta nilai-nilai yang terkandung didalamnya”.

Beberapa Catatan Tentang Pengertian Budaya


Dari hasil paparan tentang definisi budaya yang telah dikemukakan oleh berbagai
sumber, beberapa catatan penting berikut ini patut mendapat perhatian dari para
pmbaca.
1. Para anthropolog yang mestinya memiliki legitimasi untuk mendefinisikan budaya
ternyata tidak mempunyai kesepakatan untuk memberi pengertian budaya secara
baku.
2. Akibat tidak-adanya kesepakatan tersebut budaya dipahami secara berbeda. Boleh
jadi budaya tersimpan dibenak masing-masing individu, atau dalam bentuk artefak;
atau muncul dalam bentuk prilaku. Budaya bisa juga eksplisit maupun implisit dan
pemahamannya kadang-kadang subyektif.
3. Terjadinya ketidak-sepakatan yang berakibat pada munculnya pemahaman budaya
dalam berbagai perspektif, pada dasarnya karena perbedaan pengalaman dan
preferensi para anthropolog dalam mensikapi realitas kehidupan manusia26.
4. Tidak-adanya kesepakatan tersebut sekaligus juga menunjukkan bahwa realitas
aspek kehidupan manusia secara kultural tidak bisa dianalisis secara parsial tetapi
harus dianalisis secara menyeluruh (holistic) dan polycular - yakni memandang
aspek kehidupan manusia secara menyeluruh sekaligus memahami perbedaan-
perbedaan yang ada didalamnya. Perbedaan ini tidak dipandang sebagai sesuatu

98
yang saling terpisah dan berlawanan tetapi merupakan satu kesatuan yang saling
terkait dan saling terintegrasi.

MANUSIA DAN BUDAYA

Definisi-definisi budaya sebagaimana telah diuraikan dimuka membawa kita kepada


suatu pemahaman bahwa budaya pada dasarnya adalah studi tentang manusia bukan
dalam kedudukannya sebagai individu melainkan sebagai kelompok. Atau dengan kata
lain, fenomena dalam studi budaya adalah fenomena kolektif bukan fenomena
individual. Artinya meski subyek (pelaku budaya) dan obyek dari studi budaya adalah
manusia, tetapi budaya tidak semata-mata terkait dengan manusia sebagai individu
tetapi dengan manusia dalam kedudukannya sebagai bagian dari masyarakat. Atau
lebih tepatnya, budaya selalu terkait dengan kehidupan sosial sekelompok orang /
masyarakat dan lingkungan sosial tempat mereka tinggal. Penegasan tentang
keterkaitan antara budaya dan masyarakat ini misalnya dikemukakan oleh Jocano27
“sekelompok orang hanyalah kumpulan individu-individu belaka jika sekelompok orang
tersebut tidak memiliki budaya, dan sebaliknya budaya tidak akan pernah ada jika tidak
ada sekelompok orang / masyarakat”. Budaya dan masyarakat dengan demikian
bagaikan dua sisi dari satu mata uang. Selama disitu ada budaya pasti disitu ada
masyarakat dan sebaliknya jika ada masyarakat pasti ada budaya.
Karena budaya merupakan fenomena kolektif maka hak kepemilikan budaya
tidak berada pada individu per individu melainkan berada pada masyarakat. Eksistensi
dan kelestarian budaya dengan demikian sangat bergantung pada sharing
(pemahaman, pengakuan, penjiwaan dan praktik bersama) anggota masyarakat dan
social conscience (kesadaran sosial) mereka akan pentingnya memelihara dan
mempertahankan budaya. Upaya untuk melestarikan eksistensi budaya biasanya
dilakukan melalui pemahaman terhadap elemen-elemen pembentuk budaya seperti
keyakinan, tata nilai, atau adat kebiasaan. Semakin anggota masyarakat memahami,
mengakui, menjiwai dan mempraktikkan keyakinan, tata nilai, atau adat kebiasaan
tersebut dan semakin tinggi tingkat kesadaran mereka, budaya masyarakat akan
semakin eksis dan lestari, demikian sebaliknya. Pemahaman, pengakuan, penjiwaan
dan praktik bersama terhadap elemen-elemen budaya dengan demikian menjadi unsur

99
penting dalam pembentukan dan pelestarian budaya. Oleh karenanya jika ada seorang
pendatang baru yang hendak bergabung dan menjadi bagian dari sebuah masyarakat
maka ia dituntut untuk melakukan proses pembudayaan (akulturasi). Dalam realita
proses ini kadang-kadang harus dilakukan secara paksa, dengan ancaman atau yang
lebih halus dengan persuasi bukan semata-mata bersifat sukarela atas kesadaran
individual pendatang baru tersebut28.

100
Sulitnya seseorang melakukan akulturasi tidak lain karena secara individual
setiap manusia, sejak lahir, sebelum menjadi anggota sebuah masyarakat, telah
dianugerahi kepekaan untuk membedakan (sense of discrimination). Jaffee
menyebutnya sebagai “the law of individual difference”29. Menurut pemahaman ini
masing-masing individu sadar bahwa dirinya berbeda dengan orang lain. Hal ini bisa
diartikan bahwa setiap individu sejak mula telah memiliki keyakinan, tata nilai, atau adat
kebiasaan tersendiri yang berbeda dengan keyakinan, tata nilai, atau adat kebiasaan
orang lain dan bahkan kadang-kadang berbeda dengan keyakinan, tata nilai atau
kebiasaan masyarakat sekitar. Jika dianalogikan dengan sebuah disket, manusia tidak
seperti layaknya disket kosong yang bisa dengan mudah diisi program-program baru,
tetapi manusia adalah sebuah disket yang telah memiliki program sendiri yang disebut
individual mental programming30. Oleh sebab itu ketika seseorang menghadapi
perbedaan – dalam hal ini misalnya perbedaan tata nilai, yang pertama kali akan
dilakukan adalah mempertahankan tata nilai yang telah diyakini kebenarannya sampai ia
tidak mampu lagi mempertahankannya. Pada saat sebuah keyakinan tidak lagi bisa
dipertahankan maka terjadilah proses unlearned terhadap keyakinan lama yang
dibarengi dengan proses learn (pembelajaran) terhadap keyakinan baru. Kedua proses
tersebut akan berjalan beriring dan kadang-kadang berjalan sangat lambat bukan dalam
hitungan jam, hari atau bulan tetapi bisa dalam hitungan tahun.

101
Dalam rangka mempertahankan keyakinan, tata nilai atau adat kebiasaan yang
telah diyakininya, tentunya seseorang tidak akan berdiam diri, sebaliknya ia tidak saja
berusaha memberi argumentasi mengapa ia teguh terhadap keyakinannya. Lebih dari
itu ia berusaha mempengaruhi orang lain agar mereka juga menganut keyakinan, tata
nilai dan kebiasaan yang sama. Kalaulah proses mempengaruhi ini berhasil dilakukan,
pada mulanya mungkin hanya satu, dua, atau tiga orang saja yang terpengaruh, namun
lama kelamaan bisa jadi lebih banyak dan lebih banyak lagi orang yang terpengaruh.
Ketika itulah terjadi pergeseran terhadap kepemilikan keyakinan dan tata nilai dari yang
semula semata-mata milik individual (orang yang pertama kali mempromosikan
keyakinan dan tata nilai) beralih ke kepemilikan bersama, sementara orang pertama
tersebut diperlakukan sebagai tokoh sentral (pemimpin). Ketika itu juga timbul
kesadaran (social conscience) banyak orang akan pentingnya memelihara dan
mempertahankan keyakinan, tata nilai atau adat kebiasaan bersama. Sebaliknya jika
seseorang tidak begitu teguh dalam mempertahankan keyakinan, tata nilai atau adat
kebiasaan lama yang bakal terjadi adalah percepatan proses akulturasi terhadap
keyakinan dan budaya baru.
Penjelasan ini secara tidak langsung menegaskan bahwa proses pembentukkan
budaya sering kali bermula dari keyakinan, tata nilai atau adat kebiasaan seseorang.
Melalui sebuah proses panjang, bukan secara instan, keyakinan dan tata nilai tersebut
kemudian ditransmisikan, dalam berbagai bentuk dan cara, kepada orang lain dan
masyarakat pada umumnya. Penjelasan diatas juga memberikan kesimpulan bahwa
setiap kehidupan manusia pasti terkait dengan budaya. Namun harus diperhatikan pula
bahwa keterkaitan tersebut tidak terjadi secara linier karena manusia sebelumnya telah
memiliki keyakinan individual. Oleh sebab itu seperti dijelaskan Hofstede 31 sebagaimana
tampak pada gambar 3.2, untuk bisa memahami keterkaitan manusia dengan budaya
kita perlu terlebih dahulu memahami atribut-atribut manusia baik yang bersifat universal,
spesifik untuk diri individu per individu dan atribut kolektif dalam kaitannya dengan
kedudukan manusia sebagai bagian dari masyarakat.

Khusus berkaitan
dengan manusia 102
sebagai individu
Turunan dan
kepribadian bisa dipelajari

Khusus berkaitan Bisa


dengan manusia budaya dipelajari
sebagai kelompok

Bersifat universal Hakekat Turunan


manusia

Gambar 3.2 : Hubungan antara hakekat manusia, budaya dan kepribadian


Sumber : Hofstede, 1997, halaman 5 – 6.

Gambar 3.2 menjelaskan bahwa manusia, tanpa membedakan tempat tinggal


(apakah mereka tinggal di pedalaman atau di perkotaan); warna kulit (apakah orang
tersebut berkulit hitam, sawo matang atau berkulit putih); status sosial (apakah orang
tersebut adalah seorang ningrat atau orang awam), atau atribut-atribut lainnya, pada
dasarnya memiliki sifat-sifat yang universal (sifat azasi manusia) seperti rasa takut,
marah, sedih dan senang. Setiap orang juga mempunyai keinginan untuk mencintai dan
mempunyai kebutuhan untuk berhubungan dan berkomunikasi dengan orang lain.
Semua sifat-sifat tersebut secara natural telah dimiliki setiap orang sejak lahir, oleh
karenanya orang tidak perlu belajar hanya untuk takut, sedih atau senang. Meski
demikian perlu disadari pula bahwa setiap orang mempunyai cara-cara tersendiri untuk
mengungkapkan sifat-sifat universal tersebut. Sebagai contoh, ketika seseorang
mengungkapkan rasa marahnya boleh jadi ia akan diam membisu; orang lain mungkin
mengungkapkannya dengan merusak benda-benda sekitar. Demikian juga ketika
seseorang hendak mengungkapkan rasa senangnya, misal karena putranya lahir
dengan selamat, ia bisa mewujudkannya dalam berbagai bentuk: katakanlah syukuran
aqiqah, yang lain mungkin hanya sekedar pesta dan masih banyak lagi cara
pengungkapan rasa senang lainnya.
Perbedaan cara pengungkapan ini disebabkan karena masing-masing individu
sesungguhnya memiliki karakter dan prilaku yang berbeda yang bersumber pada
perbedaan kepribadian (personality)32 seseorang. Kepribadian dengan demikian
merupakan pedoman bagi seseorang untuk berpikir, berprilaku, bertindak dan

103
mengungkapkan perasaan. Sedangkan kepribadian itu sendiri ditentukan oleh dua faktor
utama yakni nature (faktor keturunan) – bersifat internal dan nurture (pengalaman hidup)
– bersifat eksternal33. Kepribadian pada mulanya terbentuk karena faktor keturunan,
yakni berasal dari gen yang dibawa seseorang ketika lahir, dan oleh karenanya secara
natural seseorang sudah beda sejak lahir. Namun sejalan dengan kemampuan diri
seseorang untuk menggunakan akal pikir dan semakin bertambahnya pengalaman
hidup selama berinteraksi dengan masyarakat sekitar secara gradual kepribadian
seseorang bisa mengalami perubahan. Dengan demikian, seperti tampak pada gambar
3.2, di satu sisi kepribadian berasal dari faktor keturunan (gen) dan disisi lain terjadi
melalui proses pembelajaran (learned). Yang juga perlu dipahami adalah meski kedua
faktor ini merupakan faktor pembentuk kepribadian, namun faktor utamanya tetap saja
faktor keturunan karena sifatnya yang internal (berasal dari dalam diri manusia). Artinya
kita tidak bisa berharap bahwa kepribadian seseorang mudah berubah hanya karena
interaksi sosial dengan lingkungan. Kalaulah kepribadian tersebut mengalami
perubahan, hal ini terjadi secara gradual dalam kurun waktu yang relatif lama.
Kepribadian dengan demikian merupakan atribut manusia yang tidak mengalami
perubahan dalam jangka pendek. Di sisi lain budaya, seperti telah dijelaskan dimuka,
merupakan atribut manusia dalam kedudukannya sebagai anggota masyarakat yang
dalam jangka pendek juga tidak banyak mengalami perubahan. Meski budaya dan
kepribadian terkait dengan diri manusia dan tidak mengalami perubahan dalam pendek,
namun seperti dikatakan oleh Hofstede, keduanya harus dipahami secara berbeda.
Manakala kita hendak memahami diri manusia dalam kedudukannya sebagai individu
maka rujukannya adalah kepribadian, sedangkan untuk memahami manusia dalam
kedudukannya sebagai bagian dari masyarakat rujukannya adalah budaya. Kedua
atribut ini – kepribadian dan budaya akan terus melekat pada diri seseorang dan akan
dipertahankan sampai suatu saat, jika dianggap perlu atau terpaksa, harus merubahnya.
Sebagai individu, manusia tentu akan menggunakan kepribadian sebagai faktor
pembenar (pedoman) untuk bertindak, berpikir, berprilaku dan mengungkapkan
perasaannya, namun kepribadian bukan satu-satunya faktor pembenar karena di sisi
lain manusia, sebagai makhluk sosial, memiliki beberapa keterbatasan. Oleh karenanya
suka atau tidak, ia akan selalu bergantung pada manusia lain dan lingkungan tempat
mereka berada. Ketergantungan pada orang lain inilah yang menyebabkan manusia

104
perlu untuk beradaptasi kepada lingkungan dan melakukan akulturasi meski tujuan dari
akulturasi tersebut terkadang sekedar untuk memenuhi kebutuhan individualnya.
Artinya, disamping kepribadian, manusia memerlukan faktor pembenar lain yakni
budaya khususnya ketika ia menjadi bagian dari sebuah masyarakat. Kepribadian dan
budaya dengan demikian merupakan atribut yang selalu melekat pada diri seseorang
namun masing-masing memiliki fungsi yang berbeda.

CARA MEMANDANG (MEMAHAMI)


KOMPLEKSITAS BUDAYA

Karena budaya merupakan fenomena kolektif dan terkait langsung dengan lingkup
kehidupan sosial masyarakat, maka untuk bisa memahami budaya dengan baik terlebih
dahulu harus bisa memahami konsep masyarakat dengan benar karena sekali lagi
masyarakat merupakan locus of culture – tempat tumbuh dan berkembangnya budaya.
Yang barangkali menjadi pertanyaan sekarang adalah siapa masyarakat itu
sesungguhnya? Paling tidak ada dua alasan mengapa pertanyaan ini penting untuk
diajukan. Pertama, batasan tentang masyarakat seperti telah disebutkan pada halaman
66 terkesan begitu longgar – setiap kelompok orang pada dasarnya bisa disebut
sebagai masyarakat selama kelompok orang tersebut terorganisir, memiliki karakteristik
dan tujuan publik. Akibat dari longgarnya pengertian tersebut maka siapapun bisa
membentuk masyarakat. Demikian juga tidak bisa dihindarkan jika jumlah masyarakat
sangat banyak dan jenisnya juga sangat bervariasi. Bukan hanya itu, setiap orang dalam
waktu bersamaan juga bisa menjadi anggota dari beberapa kelompok masyarakat yang
berbeda. Oleh karenanya tidak berlebihan jika kita sering mengalami kesulitan dalam
memahami masyarakat. Atau dengan kata lain sering terjadi kerancuan dalam
mengidentifikasikan masyarakat. Kedua, terkait dengan persoalan pertama, kerancuan
dalam mengidentifikasikan masyarakat secara tidak langsung juga berakibat pada
kerancuan dalam mengidentifikasikan budaya, utamanya karena budaya selalu melekat
pada kehidupan sebuah masyarakat. Akibatnya jika seseorang terlibat dalam beberapa
kelompok masyarakat maka orang tersebut juga sekaligus bisa terlibat kedalam
beberapa kelompok budaya. Persoalannya kemudian bagaimana kita
mengidentifikasikan budaya?

105
Jika kedua persoalan tersebut digambarkan dalam teori himpunan maka akan
tampak pada gambar 3.3 berikut ini:

Masyarakat
A

Masyarakat Masyarakat
D B

Masyarakat
C

Gambar 3.3: overlapping antara satu masyarakat dengan masyarakat lain

Seperti tampak dari gambar 3.3, masing-masing lingkaran A, B, C, dan D adalah


sebuah masyarakat yang terorganisir, memiliki karakter tersendiri dan masing-masing
memiliki tujuan publik. Namun seperti juga tampak pada gambar diatas terjadi
overlapping antara masyarakat A dengan masyarakat B, C dan D. Penyebabnya tidak
lain karena sebagian dari anggota masyarakat A, pada saat yang sama, juga menjadi
anggota dari kelompok masyarakat yang lain – B, C, atau D. Akibatnya bukan hal yang
mengejutkan jika nantinya budaya masyarakat A juga overlapping dengan budaya
masyarakat B, C atau D. Artinya karakteristik budaya masyarakat A boleh jadi
dipengaruhi oleh budaya masyarakat B, C atau D. itulah sebabnya perlu ada media
untuk mengidentifikasikan masyarakat yang sekaligus bisa digunakan pula untuk
mengidentifikasikan budayanya.

Mengidentifikasikan masyarakat
Dengan adanya batasan tentang masyarakat yang cukup longgar bisa diartikan bahwa
setiap kelompok orang adalah sebuah masyarakat selama kriteria untuk terbentuknya
masyarakat terpenuhi. Kembali ke gambar 3.3, untuk membedakan masyarakat A
dengan B, C, dan D bisa digunakan beberapa factor pembeda, diantaranya wilayah
106
geografis, etnik, agama/religi, kelas sosial, pekerjaan, gender dan batasan-batasan lain
yang relevan. Berdasarkan batasan-batasan diatas, sebuah masyarakat terkadang
memiliki skala cukup besar dengan jumlah anggota yang sangat banyak. Negara adalah
salah satu contoh masyarakat yang skalanya sangat besar dan anggotanya (warga
negara) sangat banyak. Skala sebuah masyarakat juga bisa cukup sempit seperti
organisasi yang anggotanya cukup terbatas. Bahkan sub-organisasi dan kelompok-
kelompok kecil lainnya bisa disebut sebagai masyarakat meski skalanya kadang-kadang
jauh lebih kecil.
Bagi kelompok masyarakat yang skalanya cukup besar dengan jumlah anggota
yang begitu banyak, hampir pasti didalam kelompok masyarakat tersebut terdapat
kelompok-kelompok masyarakat lain dengan skala yang lebih kecil. Ambillah contoh
negara Indonesia. Berdasarkan definisi yang ada dan sesuai dengan batasan wilayah
geografis, Indonesia bisa disebut sebagai masyarakat karena memenuhi kualifikasi
sebagai masyarakat yakni terorganisir, memiliki karakteristik dan tujuan publik. Dengan
mengambil contoh negara Indonesia sebagai sebuah masyarakat dengan demikian
semua penduduk yang tinggal di wilayah Indonesia bisa disebut sebagai anggota
masyarakat Indonesia. Namun karena secara geografis Indonesia terdiri dari beberapa
teritori (mulai dari propinsi sampai ke desa, RW dan RT) dan masing-masing teritori –
propinsi, kabupaten/kota madya, kecamatan maupun desa, juga memiliki kriteria untuk
disebut sebagai masyarakat maka bisa dikatakan bahwa warga negara Indonesia yang
notabenenya adalah anggota masyarakat Indonesia pada saat yang sama juga menjadi
anggota masyarakat dari kelompok masyarakat dalam skala yang lebih sempit. Contoh
ini sekali lagi menunjukkan bahwa sebuah masyarakat dengan skala yang cukup besar,
didalamnya hampir pasti terdapat kelompok-kelompok masyarakat lain yang lebih kecil
dimana masing-masing kelompok memiliki budaya tersendiri. Taylor Cox, Jr 34
membedakan kedua kelompok budaya ini sebagai macroculture dan microculture.
Keberadaan Indonesia sebagai sebuah masyarakat (macroculture) dan
kelompok-kelompok masyarakat didalam wilayah Indonesia (microculture) dilukiskan
pada gambar 3.4 berikut ini:

1
107
1
2
22 2
3

4 Anngota masyarakat
Indonesia

Gambar 3.4: Masyarakat Indonesia dan kelompok-kelompok


Masyarakat yang berada didalamnya

Gambar diatas menjelaskan bahwa lingkaran luar (lingkaran nomer 1) adalah


gambaran tentang masyarakat Indonesia. Dengan demikian semua orang yang tinggal
didalam lingkaran tersebut, termasuk mereka yang berada pada lingkaran 2, 3 dan 4
adalah anggota masyarakat Indonesia. Namun demikian karena masing-masing
lingkaran juga memiliki kriteria untuk disebut sebagai masyarakat maka lingkaran nomer
2 (wilayah propinsi) juga bisa disebut sebagai masyarakat. Pada saat yang sama
anggota masyarakat nomer 2 secara otomatis juga menjadi anggota masyarakat
lingkarang nomer 1 (masyarakat Indonesia). Demikian seterusnya anggota lingkaran
nomer 4 meski menjadi anggota masyarakat pada lingkaran tersebut juga otomatis
menjadi anggota masyarakat lingkaran nomer 3, 2 dan 1.
Contoh diatas menjelaskan kompleksitas masyarakat hanya dari satu batasan –
wilayah geografi. Selain berdasarkan wilayah geografis, sebuah masyarakat juga bisa
dilihat dari sisi etnik. Indonesia terdiri dari puluhan bahkan ratusan etnis yang tersebar
melewati batas wilayah desa, kecamatan, kabupaten bahkan sampai ke wilayah
propinsi. Dengan kata lain, wilayah geografis boleh jadi bukan batasan yang relevan jika
kita mengidentifikan budaya dari sisi etnis. Dilihat dari sisi religi, di Indonesia paling tidak
terdapat 5 agama yang diakui negara dengan para pemeluknya tinggal di berbagai
wilayah dan berasal dari berbagai macam etnik. Seperti halnya etnik dan wilayah

108
geografis, religi juga bisa digunakan untuk membatasi sebuah masyarakat.
Sesungguhnya masih ada cara-cara lain untuk mengidentifikasikan sebuah masyarakat,
selain yang telah disebut terdahulu, misalnya berdasarkan generasi dan kelas sosial35
Contoh diatas memberi gambaran bahwa wilayah geografi bukan satu-satunya
batasan yang bisa digunakan untuk mengidentifikasikan sebuah masyarakat. Batasan-
batasan lainnya adalah etnik, agama, pekerjaan, gender dan kelas sosial. Namun akibat
dari beragamnya batasan tersebut, sering terjadi overlapping antara satu kelompok
masyarakat dengan masyarakat lainnya. Hal ini bisa terjadi karena anggota salah satu
masyarakat juga menjadi anggota kelompok masyarakat lain dalam waktu bersamaan.
Sebagai contoh, sebut saja seorang penduduk Indonesia bernama Ponijo. Sebagai
anggota masyarakat, Ponijo bisa disebut sebagai orang Indonesia karena ia memang
warga negara Indonesia dan menjadi bagian dari masyarakat Indonesia. Dengan cara
pandang yang sama, Ponijo juga disebut orang Jawa, orang Jogja, orang Gunung Kidul
atau orang Semin, karena dari sanalah Ponijo berasal. Ketika ditanya pekerjaannya, ia
mengaku sebagai orang pemerintahan – karena Ponijo menjadi anggota masyarakat
yang bekerja pada sektor pemerintah. Ponijo sering disebut juga orang Islam karena ia
memang beragama Islam – Ponijo menjadi anggota masyarakat yang beragama Islam.
Ponijo dalam contoh ini, dalam waktu bersamaan, menjadi anggota beberapa kelompok
masyarakat – masyarakat Indonesia, Jawa, Gunung Kidul, Semin, Islam, dsb. Contoh ini
menggambarkan bahwa saling bersinggungan dan bahkan saling overlapping antara
berbagai kelompok masyarakat tampaknya tidak bisa dihindarkan.

Overlappinng antar kelompok budaya


Karena masyarakat merupakan tempat tumbuh dan berkembangnya budaya, maka
terjadinya overlapping antar kelompok masyarakat secara tidak langsung juga akan
menjadikan overlapping antara berbagai kelompok budaya. Dalam contoh diatas, Ponijo
yang menjadi anggota dari beberapa kelompok masyarakat secara kultural dengan
sendirinya menjadi subyek dan sekaligus obyek dari beberapa kelompok budaya. Dalam
hal ini Ponijo menjadi subyek dari budaya Indonesia, budaya Jawa, budaya Jogja,
budaya Semin, budaya pemerintahan dan budaya Islam dalam waktu bersamaan.
Artinya ketika sebuah kelompok masyarakat bersinggungan dengan kelompok
masyarakat lainnya, hal yang sama juga terjadi pada budaya. Oleh sebab itu agar tidak

109
terjadi kerancuan dalam memahami budaya, pertama-tama perlu terlebih dahulu diberi
batasan yang jelas baik terhadap masyarakat maupun budaya itu sendiri. Atau dengan
kata lain, untuk bisa memberi batasan tentang budaya maka perlu terlebih dahulu
ditetapkan locus of culture. Jika wilayah negara Indonesia misalnya, dijadikan dasar
untuk memberikan batasan tentang masyarakat, yang berarti pula memberi batasan
budaya (Indonesia sebagai locus of culture), maka wilayah propinsi, kabupaten,
kecamatan dan desa dianggap sebagai bagian dari wilayah Indonesia, semuanya
dianggap memiliki karakater dan budaya yang sama. Semua orang yang tinggal di
wilayah Indonesia, tanpa melihat apakah mereka tinggal di Jogja, Banten, Palangkaraya
atau tempat-tempat lainnya; tanpa melihat etnik mereka; tanpa melihat agama mereka
atau tanpa melihat pekerjaan atau jenis kelamin, dianggap memiliki budaya yang sama
– budaya Indonesia.
Indonesia sebagai sebuah masyarakat yang memiliki budaya tersendiri (sebagai
locus of culture) dianggap berbeda hanya jika dibandingkan, misal dengan masyarakat
Filipina, Malaysia atau Amerika. Namun jika budaya dilihat dari kacamata lain, dari
wilayah propinsi misalnya sebagai locus of culturenya, kita akan beranggapan bahwa
masyarakat yang tinggal di Propinsi Riau memiliki budaya yang sama – budaya Riau.
Budaya mereka dikatakan berbeda hanya jika dibandingkan dengan budaya masyarakat
propinsi lain seperti Jawa Barat, Sulawesi Selatan atau propinsi-propinsi lainnya.
Demikian juga jika menjadikan agama sebagai batasan sebuah masyarakat maka
pemeluk agama Katholik dianggap memiliki budaya yang berbeda dengan para pemeluk
Kristen tanpa memeprhatikan apakah mereka tinggal di suatu tempat tertentu atau
keturunan etnik tertentu. Demikian seterusnya.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa saling bersinggungan dan
overlapping antara satu masyarakat dengan masyarakat lain tampaknya tidak bisa
dihindarkan. Namun agar overlapping ini tidak menjadikan kerancuan dalam memahami
budaya perlu ada batasan yang jelas terhadap sebuah masyarakat sehingga akan
secara jelas pula dipahami budaya masyarakat tersebut. Artinya pada saat kita
membatasi sebuah masyarakat tertentu (menetapkan locus of culture) dalam rangka
memahami lebih mendalam tentang budaya masyarakat tersebut, kita perlu
mengabaikan sementara masyarakat dan budaya lainnya. Jika kita ingin memahami
budaya Indonesia misalnya, kita harus mengabaikan budaya yang berbasis etnik,

110
agama atau pekerjaan yang berada didalam wilayah Indonesia. Diabaikannya
masyarakat dan budaya lain ini sekali lagi semata-mata agar kita bisa memahami
budaya tertentu dan bisa membandingkannya dengan budaya lain. Berdasarkan
batasan ini, Hofstede misalnya sering menggunakan istilah “budaya nasional” untuk
masyarakat yang dibatasi oleh wilayah negara; “budaya etnik” untuk masyarakat
berbasis etnis; “budaya perempuan” dan “budaya laki-laki” untuk batasan gender; atau
budaya akademik untuk kelompok masyarakat pendidikan dan batasan-batasan lainnya
yang tidak tercakup dalam contoh diatas.

RINGKASAN

Bab ini menguraikan konsep budaya dari perspektif makro yakni menurut pendekatan
anthropologi dengan satu pertimbangan bahwa anthropologi adalah domain bagi bidang
studi budaya. Budaya atau kultur yang secara semantik berarti berladang, bercocok
tanam, beternak atau hal-hal lain yang berkaitan dengan kehidupan pertanian dan
peternakan, dalam bidang studi anthropologi diartikan bukan semata-mata dengan
pertanian dan peternakan melainkan dengan kehidupan masyarakat secara luas.
Namun karena manusia dan masyarakat bisa dianalisis dari berbagai perspektif maka
budaya dalam bidang studi anthropologi juga diartikan secara variatif. Bervariasinya
pengertian budaya juga karena pengalaman dan preferensi para anthropolog sangat
bervariasi. Menurut Kroeber and Kluckhohn, paling tidak ada 164 definisi budaya. Dari
164 definisi tersebut pada akhirnya bisa dikelompokkan menjadi enam definisi yakni
definisi yang bersifat deskriptif, historis, normatif, struktural, psikologis, dan genetik.
Banyaknya definisi budaya yang ada sekaligus menunjukkan aspek kehidupan
masyarakat yang begitu kompleks berakibat pada kompleksitas budayanya. Atau
dengan kata lain budaya merupakan fenomena kompleks yang harus dipahami secara
lebih hati-hati. Karena budaya dan masyarakat seperti dua sisi dari satu mata uang
maka pemahaman yang benar terhadap masyarakat bisa mengurangi kesalah-pahaman
terhadap konsep budaya.

111
CATATAN KAKI

112
1
Contoh ini dituturkan oleh seorang teman dosen yang kebetulan diminta untuk memberi kuliah
di sebuah Perguruan Tinggi Swasta di Gorontalo Sulawesi Utara. “Pak Tris, jangan kaget jika di
Gorontalo. Di siang hari hampir semua toko tutup dan kota Gorontalo menjadi sepi karena orang-
orangnya pada tidur siang”. Demikian kira-kira pesan yang diberikan teman Pak Tris yang tinggal di
Gorontalo.
2
Dalam buku ini kata budaya dan kultur selanjutnya akan digunakan secara bergantian
3
Robert Layton, 1997, Introduction to the theory in anthropology, Cambridge University Press,
halaman 1. Lihat juga Jennifer Laab, 1992, Corporate anthropologist, Personnel journal, halaman.
81 – 91. Laab disini mengatakan bahwa anthropology is “the science of human beings” and studies
people in relation to their “distribution, origin, classification, relationship of races, physical character,
environmental and social relations and culture”
4
Lihat Kamus besar bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka
5
Poespowardojo, Soerjanto, 1989, Strategi Kebudayaan, Jakarta: Gramedia, hal. 217. Lihat juga
Mary Jo Hatch, 1997, organization theory, New York: Oxford university press, halaman. 203
6
Jika pada awalnya istilah kultur lebih dikaitkan dengan kegiatan bercocok tanam, berladang atau
memelihara binatang, sejak abad ke 18 istilah ini kemudian digunakan untuk menjelaskan tentang
karakter manusia. Untuk penjelasan ini lihat: Andrew Chan and Steward Clegg, 2002, History,
culture and organization studies, Culture and Organization, vol. 8(4) halaman 259 - 273
7
Mary Jo Hatch, 1997, organization theory, New York: Oxford university press, halaman. 203
8
Seperti halnya disiplin ilmu lainnya, di dalam anthropologi budaya juga terdapat berbagai macam
pendekatan (mazhab) diantaranya adalah: functionalism, structural functionalism, ethnoscience,
symbolic anthropology dan structuralism
9
Kroeber and Kluckhohn, 1952, Culture: A Critical Review of Concepts and Definisions,
10
E.B. Tylor (1958) The origin of culture, halaman.1
11
Malinowski sebagaimana dikutip oleh William M. Evan halaman 267
12
Melville Herskovits sebagaimana dikutip oleh Mary Jo Hatch, 1997, organization theory, New
York: Oxford university press, halaman. 204
13

Ritzer, G., 1996, The McDonaldization of Society: An Investigation into the Changing Character of
Contemporary of Social Life, Thousand Oaks: CA, Pine Forge Press.
14
Kroeber and Kluckhohn sebagaimana dikutip oleh Willian M. Evan, halaman. 267
15
R. Rohner (1984) Toward a Conception of Culture for Cross Cultural Psychology, Journal of Cross
Cultural Psychology, 15, halaman. 115
16

Lihat misalnya Berry dkk., Psikologi Lintas budaya, 1999, halaman. 327-328
17

Siddiqi, Amir Hasan, 1967, Studies in Islamic History, Karachi, The Jamiyatul Falah Publication,
halaman. 1
18
Poespowardojo, op cit. halaman. 217
19
Hofstede G., 1992, Motivation, Leadership and Organization: Do American Theories Apply
aborad? halaman. 99
20
Poespowardojo, op cit. halaman. 217
21
lihat Geertz, 1992, Tfsir Kebudayaan, halaman 5.
22
Contoh ini terinspirasi oleh seorang teman (Sudiyono – nama disamarkan) yang kebetulan
menjadi kolektor keris. Sudiyono memiliki puluhan keris dan dia bisa bercerita banyak tentang keris
yang dimilikinya.
23
lihat misalnya Edward Hall, 1966, The hidden dimension, Anchor Book
24
Geertz, 1992, op cit. halaman 5
25
Edward Hall, 1977, Beyond culture, Anchor Book
26
Lihat misalnya Garry Chick, 1997, cultural complexity: the concept and its measurement, cross
cultural research, halaman 275 – 307
27
F. Landa Jocano, 1988, Filipino corporate culture, Metro Manila: Punlad research house
28
Daniel Bar-Tal, 2000, Share beliefs in a society, London: SAGE Publication inc. halaman 68
29
Jaffee, 2001, Organization theory: Tension and change, halaman 23
30
Hofstede, G., 1980, Culture’s consequences: International differences in work related values,
halaman 15 – 16.
31
Hofstede, G., 1980, ibid., halaman 15 – 16
32
George, J. and G Jones, Organizational Behavior, halaman. 37
33
George, J. and G Jones, ibid, halaman 37
34
Taylor Cox, Jr., 1994, Cultural diversity in organizations, San Francisco: Berret-Kohler Publisher,
halaman 107
35
Lihat Hofstede, 1997, Culture and Organization, halaman 15-17

Anda mungkin juga menyukai