Oleh:
2021
Kata pengantar
Syukur alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah swt. Yang telah memberikan
berbagai macam nikmat sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
“SOSIOLOGI ANTROPOLOGI PENDIDIKAN” Sesuai dengan waktu yang telah
ditetapkan.
Shalawat salam taklupa penulis haturkan kepada manusia yang mulia yang telah
membawa perubahan dari zaman jahiliah sampai ke zaman ilmiah ini, yaitu beliau
nabi agung nabi Muhammad saw. Yang kita harapkan syafaat nya kelak.
Terimakasih Penulis ucapkan kepada bapak Muslikh M.si selaku dosen mata
kuliah sosiologi antropologi pendidikan yang selalu membimbing mahasiswa
mahasiswa nya untuk semakin menjadi lebih baik lagi. Terimakasih juga kepada
berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas ini.
Tiada gading yang tak retak, begitupun dengan penulisan tugas ini yang pastinya
memiliki banyak kekurangan oleh karena itu penulis mohon maaf yang sebesar
besarnya dan mohon kritik dan saran nya untuk peningkatan tugas tugas yang
akan datang.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan dan Manfaat
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1) Apa pengertian Pengertian Sosiologi budaya?
2) Apa saja Teori sosiologi budaya?
3) Apa pengertian antropologi budaya?
4) Apa saja Teori antropologi budaya?
C. Tujuan dan manfaat
1) Mengetahui teori sosiologi budaya
2) Mengetahui Teori antropologi budaya
BAB II
PEMBAHASAN
Sedangkan kata “budaya” yang juga dapat diidentikkan dengan kata “kultur” yang
merupakan serapan dari kata dalam bahasa Inggris, yaitu “culture” yang berasal
dari bahasa Latin, yaitu “colere”, yang berarti mengolah atau mengerjakan. Secara
umum, budaya dapat diartikan sebagai suatu cara hidup yang berkembang dan
dimiliki bersama oleh sekelompok orang, serta diwariskan dari generasi ke
generasi. Budaya juga dapat berarti segala sesuatu yang mencakup semua hal
yang didapat atau dipelajari serta diturunkan oleh manusia sebagai anggota dari
suatu masyarakat. Budaya berkaitan erat dengan budi dan akal manusia,
maksudnya adalah budaya merupakan segala hal yang berkaitan dengan budi dan
akal manusia.
Sebagai satu disiplin ilmu, “sosial budaya” merupakan sub disiplin sosiologi yang
fokus mempelajari aspek kebudayaan dalam kehidupan sosial
masyarakat. Sosiologi budaya juga berarti suatu cabang ilmu sosiologi yang
mempelajari budaya menurut pandangan kemasyarakatan (sosiologis). Budaya
yang dipelajari dalam sosiologi budaya meliputi : seperangkat nilai, sistem
keyakinan, bahasa, cara komunikasi, dan lain sebagainya sebagaimana
dipraktikkan oleh kelompok masyarakat tertentu sebagai ekspresi keberadaannya.
2. Pendekatan Kritis.
Dalam perspektif ini maka kita mengenal tokoh-tokoh sosiologi terkemuka seperti
Talcott Parsons (1937), Kingsley Davis (1937) dan Robert Merton (1957), Mereka
mengatakan bahwa setiap kelompok dalam masyarakat akan melaksanakan tugas
tertentu dan secara kontinu, karena ini merupakan cermin dari apa yang disebut
sebagai fungsional tersebut. Sebuah perilaku atau tindakan sosial akan bisa
dibenarkan karena hal tersebut dalam masyarakat dinilai sebagai fungsional. Suatu
pola perilaku bisa muncul, dan sekaligus bisa hilang dan berubah sesuai dengan
perkembangan sosial yang terjadi, dan sesuai dengan kebutuhan apa yang
diinginkan dalam masyarakat tertentu.
Suatu perubahan sosial bisa jadi akan mengganggu kestabilan dalam masyarakat
tertentu tersebut, namun dalam rentang waktu tertentu, keseimbangan akan
muncul kembali. Secara teoretik diasumsikan bahwa jika suatu perubahan sosial
yang datang membawa hal-hal yang fungsional, maka pada saat yang sama terjadi
keseimbangan. Namun demikian sebaliknya, jika perubahan sosial yang datang
ternyata mengganggu keseimbangan atau stabilitas sosial yang ada, maka hal
tersebut disebut sebagai gangguan fungsional.
Sampai saat ini perspektif ini masih berguna bagi analisis mengenai perubahan
yang terjadi dalam sebuah masyarakat. Perspektif ini digunakan oleh praktisi
hukum, negarawan, tokoh politik dan sebagainya, guna melihat apa yang
sebenarnya sedang terjadi dalam masyarakat tersebut. Perspektif ini sangat
terkemuka, dan memiliki banyak perkembangan yang cukup signifikan. Dalam
menganalisis berbagai masalah yang ada dalam masyarakat, biasanya pertanyaan
yang diajukan adalah: "Bagaimana suatu nilai bisa dipraktikkan untuk membantu
mement kebutuhan masyarakat". Bagaimana hal-hal tersebut bisa secara terus-
menerus bersesuaian dengan hal yang lainnya". Bisakah suatu perubahan sosial
yang ada bermanfaat bagi sebuah masyarakat. Pertanyaan pertanyaan tersebut
berkaitan dengan fungsi dalam sebuah masyarakat. Teori ini menekankan kepada
keteraturan (order) dan mengabaikan konflik dan perubahan dalam masyarakat.
Konsep utamanya adalah fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifes dan
keseimbangan (equilibrium). Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu
sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan
dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian
akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain. Asumsi dasarnya
adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain.
Sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau akan
hilang dengan sendirinya. Penganut teori ini cenderung untuk melihat hanya
kepada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem yang lain dan arena
itu mengabaikan kemungkinan bahwa suatu peristiwa atau suatu sistem dapat
beroperasi menentang fungsi fungsi lainnya dalam suatu sistem sosial. Secara
ekstrem penganut teori ini beranggapan bahwa semua peristiwa dan semua
struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Dengan demikian pada tingkat
tertentu umpamanya peperangan, ketidaksamaan sosial, perbedaan ras bahkan
kemiskinan "diperlukan" oleh suatu masyarakat. Perubahan dapat terjadi secara
perlahan lahan dalam masyarakat. Kalau terjadi konflik, penganut teori
Fungsionalisme Struktural memusatkan perhatiannya kepada masalah bagaimana
cara menyelesaikannya sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan.
Robert K. Merton berpendapat bahwa objek analisis sosiologi adalah fakta sosial
seperti peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok,
pengendalian sosial dan sebagainya. Hampir semua penganut teori ini
berkecenderungan untuk memusatkan perhatiannya kepada fungsi dari satu fakta
sosial terhadap fakta sosial yang lain. Hanya saja menurut Merton pula, sering
terjadi pencampuradukan antara motif-motif subjektif dengan pengertian fungsi.
Padahal perhatian fungsionalisme struktural harus lebih banyak ditujukan kepada
fungsi-fungsi dibandingkan dengan motif-motif. Fungsi adalah akibat akibat yang
dapat diamati yang menuju adaptasi atau penyesuaian dalam suatu sistem. Oleh
karena fungsi itu bersifat netral secara ideologis maka Merton mengajukan pula
satu konsep yang disebutnya disfungsi. Sebagaimana struktur sosial atau pranata
sosial dapat menyumbang terhadap pemeliharaan fakta fakta sosial lainnya,
sebaliknya ia juga dapat menimbulkan akibat yang bersifat negatif. Contohnya
mempekerjakan anak usia sekolah di pabrik. Sisi positif bagi pemilik pabrik
adalah tenaga kerja murah dan dapat membantu ekonomi orang tuanya. Tetapi
sebaliknya, mempekerjakan anak usia sekolah di pabrik akan menghambat
program pemerintah dalam mensukseskan wajib belajar sembilan tahun atau wajib
belajar dua belas tahun dan melanggar terhadap undang undang perlindungan
anak.
◊ Kedua, pendekatan kritis. Pendekatan ini mendapat insipirasi dari pemikir sosial
Karl Marx. Menurut Marx kultur atau budaya merupakan instrumen atau alat
dominasi pihak berkuasa atau mayoritas terhadap pihak yang didominasi atau
minoritas yang lemah. Selain itu, budaya juga dapat menjadi sarana perlawanan
fisik atau ideologis pihak yang didominasi kepada pihak yang mendominasi.
Pihak yang mendominasi cenderung disponsori oleh sistem ekonomi kapitalis.
b. Teori Konflik
Teori konflik dibangun dalam rangka untuk menentang secara langsung terhadap
Teori Fungsionalisme Struktural. Karena itu tidak mengherankan apabila
proposisi yang terdapat dalam Teori Fungsionalisme Struktural Tokoh utama
Teon Konflik adalah Ralf Dahrendorf. Kalau menurut Teori Fungsionalisme
Struktural masyarakat berada dalam kondisi statis atau tepatnya bergerak dalam
kondisi keseimbangan maka menurut Teori Konflik malah sebaliknya.
Masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh
pertentangan yang terus menerus di antara unsur-unsurnya. Kalau menurut Teori
Fungsionalisme Struktural setiap elemen atau setiap institusi memberikan
dukungan terhadap stabilitas maka Teori Konflik melihat bahwa setiap elemen
memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial. Hal lainnya kalau penganut
Teori Fungsionalisme Struktural melihat anggota masyarakat terikat secara
informal oleh norma-norma, nilai-nilai dan moralitas umum, maka Teori Konflik
menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan
karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang
berkuasa.
Konsep sentral teori ini adalah wewenang dan posisi. Keduanya merupakan fakta
sosial. Inti tesisnya sebagai berikut: Distribusi kekuasaan dan wewenang secara
tidak merata tanpa kecuali menjadi faktor yang menentukan konflik sosial secara
sistematis. Perbedaan wewenang adalah suatu tanda dari adanya berbagai posisi
dalam masyarakat. Perbedaan posisi serta perbedaan wewenang di antara individu
dalam masyarakat itulah yang harus menjadi perhatian utama para sosiolog.
Struktur yang sebenarnya dari konflik-konflik harus diperhatikan di dalam
susunan peranan sosial yang dibantu oleh harapan-harapan terhadap kemungkinan
mendapatkan dominasi. Tugas utama menganalisa konflik adalah
mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat.
Kekuasaan dan wewenang senantiasa menempatkan individu pada posisi atas dan
posisi bawah dalam setiap struktur. Karena wewenang itu adalah sah, maka setiap
individu yang tidak tunduk terhadap wewenang yang ada akan terkena sanksi.
Dengan demikian masyarakat disebut Dahrendorf sebagai persekutuan yang
terkoordinasi secara paksa (imperatively coordinated associations). Oleh karena
kekuasaan selalu memisahkan dengan tegas antara penguasa dan yang dikuasai
maka dalam masyarakat selalu terdapat dua golongan yang saling bertentangan.
Masing-masing golongan dipersatukan oleh ikatan kepentingan nyata yang
bertentangan secara substansial dan secara langsung di antara golongan itu.
Pertentangan itu terjadi dalam situasi di mana golongan yang berkuasa berusaha
mempertahankan status quo sedangkan golongan yang dikuasai berusaha untuk
mengadakan perubahan. Pertentangan kepentingan ini selalu ada setiap waktu dan
dalam setiap struktur. Karena itu kekuasaan yang sah selalu berada dalam keadaan
terancam bahaya dari golongan yang anti status quo. Kepentingan yang terdapat
dalam satu golongan tertentu selalu dinilai objektif oleh golongan yang
bersangkutan dan selalu berdempetan (coherence) dengan posisi individu yang
termasuk ke dalam golongan itu. Seorang individu akan bersikap dan bertindak
sesuai dengan cara-cara yang berlaku dan yang diharapkan oleh golongannya.
Dalam situasi konflik seorang individu akan menyesuaikan diri dengan peranan
yang diharapkan oleh golongannya itu, yang oleh Dahrendorf disebut sebagai
peranan laten.
Dahrendorf membedakan golongan yang terlibat konflik itu atas dua tipe.
Kelompok semu (quasi group) dan kelompok kepentingan (interest group).
Kelompok semu merupakan kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau
jabatan dengan kepentingan yang sama yang terbentuk karena munculnya
kelompok kepentingan. Sedangkan kelompok yang kedua yakni kelompok
kepentingan terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas. Kelompok
kepentingan ini mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan serta anggota
yang jelas. Kelompok kepentingan inilah yang menjadi sumber nyata timbulnya
konflik dalam masyarakat.
Apa fungsi atau konsekuensi konflik? Satu fungsi pokok adalah menimbulkan
perubahan struktur sosial, khususnya yang berhubungan dengan struktur otoritas.
Dahrendeori membedakan tiga tipe perubahan struktural yakni: (1) perubahan
keseluruhan personel di dalam posisi dominasi; (2) perubahan sebagian personel
dalam posisi dominasi, dan (3) digabungkannya kepentingan kelas subordinat
dalam kebijaksanaan kelas yang berkuasa. Perubahan personel seluruh atau
sebagian, berarti bahwa orang-orang dalam kelas subordinat masuk ke dalam
kelas yang berkuasa. Selanjutnya Dahrendorf mengemukakan bahwa perubahan
struktural berbeda-beda menurut sifat radikal dan sifat tiba tibanya (sudden).
Variabel-variabel, seperti intensitas dan kekerasan konflik, secara konseptual
berbeda dan berdiri sendiri. Keradikalan menunjuk pada tingkat perubahan
struktural, baik yang berhubungan dengan personel dalam posisi yang berkuasa,
kebijaksanaan kelas yang berkuasa.. aupun hubungan antarkelas secara
keseluruhan. Ketiba-tibaan (suddenness) menunjuk pada kecepatan perubahan
struktural. Perubahan bisa terjadi tiba-tiba dan radikal atau bisa juga pelan dan
radikal.
d) Setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada suatu konsensus nilai
di antara para anggotanya. 2)
Teori Konflik a) Setiap masyarakat kapan saja tunduk pada proses perubahan
perubahan
Oleh karena itulah definisi antropologi budaya adalah suatu ilmu yang
mempelajari segala kehidupan manusia mulai dari segi budaya, kegiatan sosial,
cara berbahasa, dan lain sebagainya. Melalui pengertian tersebut, bisa dipahami
bahwa antropologi budaya akan senantiasa mempelajari mengenai sifat
kebudayaan dalam suatu lingkungan sosial masyarakat.
Teori Orientasi Nilai Budaya dari Kluckhohn. Teori ini dirintis oleh sepasang
suami istri antropolog Clyde Kluckhohn dan Florence Kluckhohn yang
diuraikan dalam serangkaian karangannya (Kluckhohn, 1951:1953; 1956)
Berdasarkan isi teori orientasi nilai budaya tersebut maka dapat dijabarkan
sebagai berikut: (1) dalam kaitannya dengan makna hidup manusia, bagi
beberapa kebudayaan yang menganggap bahwa hidup itu adalah sumber
keprihatinan dan penderitaan maka kemungkinan variasi konsepsi orientasi
nilai budayanya dirumuskan Kluckhohn dengan kata evil. Sebaliknya, dalam
banyak kebudayaan yang menganggap hidup itu adalah sumber kesenangan
dan keindahan, dirumuskannya dengan kata good; (2) berkenaan dengan
hubungan manusia dengan alam sekitarnya, banyak kebudayaan yang
mengonsepsikan alam sedemikian dahsyat dan sempurna sehingga manusia
sepatutnya tunduk saja kepadanya (subjugation to nature). Namun, terdapat
juga kebudayaan yang mengajarkan kepada warganya sejak usia dini,
walaupun alam bersifat ganas dan sempurna, nalar manusia harus mampu
menjajaki rahasianya untuk menaklukkan dan memanfaatkannya guna
memenuhi kebutuhan (mastery over nature). Juga terdapat pula alternatif lain
yang menghendaki hidup selaras dengan alam (harmony with nature); (3)
dalam kaitannya dengan persepsi manusia dengan waktu, ada kebudayaan
yang mementingkan masa sekarang (present), sementara banyak pula yang
berorientasi ke masa depan (future). Kemungkinan besar untuk tipe pertama
adalah pemboros, sedangkan untuk tipe kedua adalah manusia yang hemat; (4)
dalam kaitannya dengan makna dari pekerjaan, karya dana mal perbuatan
manusia, banyak kebudayaan menganggap bahwa manusia bekerja untuk
mencari makan, selain untuk bereproduksi. Hal itu dirumuskan Kluckhohn
dengan kata being. Sebagian kebudayaan menganggap bahwa hidup itu lebih
luas daripada bekerja, seperti menolong orang lain, dikelompokkannya dalam
kata doing; (5) dalam kaitannya dengan hubungan antarsesama manusia,
banyak kebudayaan yang mengajarkan sejak awal untuk hidup bergotong
royong (collaterality) serta menghargai terhadap perilaku pemuka-pemukanya
sebagai acuan kebudayaan sendiri (lineality). Sebaliknya, banyak kebudayaan
yang menekankan hak individu untuk mandiri maka orientasinya adalah
mementingkan mutu dari karyanya, bukan atas senioritas, kedudukan, pangkat
maupun status sosialnya.
Istilah evolusi tersebut berasal dari bahasa Latin evolutis yang beras
pembukaan gulungan. Ini jelas bahwa evolusi menyangkut suatu
pembentangan perkembangan. Proses di mana sistem sosiokultural mulai
menyadan kemungkinan potensial yang sejak awal melekat di dalam dirinya.
Ini menyiralan alau bahwa evolusi adalah gerakan ke arah tujuan akhir, bahwa
berbagai masyarakat berkembang dengan cara yang sama sehingga embrio
yang matang menjadi organisme yang sehat yang hidup di luar tubuh
induknya
Dari sudut istilah evolusi yang semula terbatas pada aspek biologi, kemudian
meluas dalam berbagai bidang, seperti (a) Evolusi Sosial Universal oleh
Herben Spencer (1820-1903) dalam karyanya Principles of Sociology (1876-
1896) b) Evolusi Keluarga oleh J.J. Bachoven dalam bukunya Das Mutterrecht
atau Hukumn Ibu (1861); (c) Evolusi Kebudayaan oleh EB. Tylor (1832-
1917) dalam bukunya Primitive Culture dan Lewis H. Morgan (1818-1881)
dalam bukunya Acient Society (1877); (d) Evolusi religi oleh E.B. Taylor
91832-1917) dan 1.G. Frazer (1854-1941) dalam bukunya Totemism and
Exogamy (1910) dan The Golden Bough (1911-1913).
Teori Evolusi Animisme dan Magic dari Taylor dan Frazer, Edward Burnett
Taylor (1832-1917) dan Sir mes George Frazer (1854-1941) adalah seorang
perintis antropologi sosial budaya di Inggris (Taylor) dan seorang ahli folklore
Skotlandia yang banyak menggunakan bahan etnografi yang sekaligus termasuk
kelompok evolusionisme (Frazer). Jika Taylor terkenal seorang autodidak yang
produktif dengan karyanya Research into the Early History of Mankind and the
Development of Civilization (1865), kemudian Primitive Culture: Research into
the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art, and
Custom (1871) yang menempatkannya sebagai ahli teori evolusi budaya dan
religi, sedangkan Frazer dengan dua karyanya yang terkenal adalah Totemism and
Exogamy (1910) dan The Golden Bough (1911-1913). Karya yang kedua itulah
yang banyak berhubungan dengan teori agama, magis. dan sihir, yang secara garis
besar inti teorinya sebagai berikut: (1) Anismisme, adalah suatu kepercayaan pada
kekuatan pribadi yang hidup di balik semua benda. Animisme merupakan
pemikiran yang sangat tua dari seluruh agama (Pals, 2001:41); (2) Asal mula
religi adalah kesadaran manusia akan adanya jiwa, disebabkan dua hal, yaitu:
Pertama, perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan
mati. Di situlah manusia menyadari pentingnya jiwa dari rasa takut atau hantu.
Kedua, peristiwa mimpi, di mana ia melihat dirinya di tempat yang lain (bukan
tempat ia tidur atau mimpi) yang menyebabkan manusia membedakan antara
tubuh jasmani dan rohani atau jiwa (Tylor, 1871/1903:429) (3) Manusia
memecahkan beberapa persoalan hidupnya selalu dengan akal dan sistem
pengetahuannya. Akan tetapi, kemampuan akal dan sistem pengetahuan manusia
terbatas maka ia pun menggunakan magis atau ilmu gaib. Dalam pandangan
Frazer semua tindakan manusia untuk mencapai maksud melalui kekuatan yang
ada di alam, serta seluruh kompleks yang ada di belakangnya; (4) Ilmu gaib
mulanya hanya untuk mengatasi pemecahan masalah hidup manusia yang berada
di luar kemampuan akal dan sistem pengetahuannya, saat itu agama (religi) belum
ada; (5) Karena penggunaan magic tidak selalu berhasil (bahkan kebanyakan
gagal) maka mulailah ia yakin bahwa alam semesta dihuni oleh makhluk halus
yang lebih berkuasa daripada manusia. Dari anggapan ini, kemudian manusia
berusaha menjalin hubungan dengan makhluk halus itu dan timbullah agama
(Koentjaraningrat, 1987: 54); (6) Antara agama dan magic itu berbeda. Agama
sebagai cara mengambil hati untuk menenangkan kekuatan yang melebihi
kekuatan manusia, yang menurut kepercayaan membimbing dan mengendalikan
nasib kehidupan manusia (Frazer, 1932: 693). Sedangkan magic dilihatnya
sebagai usaha untuk memanipulasikan hukum-hukum alam tertentu yang
dipahami. Jadi, magic semacam ilmu pengetahuan semu (pseudoscience), berbeda
dengan ilmu pengetahuan modern karena konsepsinya yang salah tentang sifat
dasar hukum tertentu yang mengatur urutan terjadinya peristiwa; (7) Magic
memiliki dua prinsip utama. Pertama, like produce like (persamaan menimbulkan
persamaan) disebutnya sebagai magic simpatetis. Misalnya di Burma pemuda
yang ditolak cintanya ia akan memesan boneka yang mirip dengan rupa pacarnya
kepada tukang sihir. Jika boneka itu dilempar ke dalam air yang disertai dengan
guna-guna tertentu, si gadis penolak akan gila. Dengan demikian, nasib si gadis
serupa atau sama dengan nasib si boneka sebagai tiruannya. Kedua, prinsip magic
senggol (contagious magic), yaitu benda atau manusia yang pernah saling
berhubungan, sesungguhnya dapat saling mempengaruhi, kendatipun hanya seutas
rambut, kuku, gigi, dan sebagainya. Sebagai contoh, suku Basuto di Afrika
Selatan akan hati-hati mencabut giginya jangan sampai kesenggol oleh orang lain
yang dapat menyalahgunakan maksudnya.
5. Teori Evolusi Keluarga
Kelima, Teori Evolusi Keluarga J.J. Bachoven. J.J. Bachoven adalah seorang
ahli hukum Jerman yang banyak mempelajari etnografi berbagai bangsa
(Yunani, Romawi, Indian, termasuk juga Asia Afrika). Karya monumentalnya
ditulis dengan judul Das mutterrecht atau Hukum Ibu (1967). Inti teori evolusi
keluarga dari Bachoven tersebut bahwa seluruh keluarga di seluruh dunia
mengalami perkembangan melalui empat tahap (Koentjaraningrat, 1987: 38-
39) sebagai berikut: (1) Tahap Promiskuitas, manusia hidup serupa binatang
berkelompok. laki-laki dan perempuan berhubungan dengan bebas dan
melahirkan keturunannya tanpa ikatan. Kelompok keluarga inti belum ada
pada waktu itu. Keadaan tersebut merupakan tingkat pertama dalam proses
perkembangan masyarakat manusia; (2) Lambat laun manusia sadar akan
hubungan antara bu dengan anaknya sebagai suatu kelompok keluarga inti
dalam masyarakat. Oleh karena itu, pada masa ini anak-anak mulai mengenal
ibunya, belum mengenal ayahnya. Di situlah peran ibu merangkap sebagai
kepala keluarga atau rumah tangga. Pada masa itu pula hubungan atau
perkawinan antara ibu dengan anak dihindari, dengan demikian timbul adat
eksogami. Pada sistem masyarakat yang makin luas, hal demikian dinamakan
sistem matriarchate, di mana garis keturunan ibu sebagai satu-satunya yang
diperhitungkan; (3) Tingkat berikutnya adalah sistem aptriarchate, di mana
ayah menjadi kepala keluarga. Perubahan dari matriarchate ke patriarchate
tersebut terjadi setelah kaum pria tidak puas dengan keadaan sosial yang
mengedepankan peranan perempuan übu), la kemudian mengambil calon istri
dari kelompok yang berbeda untuk dibawa ke kelompoknya sendiri. Dengan
demikian, keturunan yang mereka dapatkan pun tetap tinggal dalam kelompok
pria. Kemudian itulah yang secara lambat laun mengubah tradisi matriarchate
ke patriarchate; (4) Pada tingkat yang terakhir, perkawinan tidak selalu dari
luar kelompok (exogami), tetapi dapat juga dari dalam kelompok yang sama
(endogami). Hal itu memungkinkan anak-anak secara langsung mengenal dan
banyak berhubungan dengan ibu dan ayahnya. Lambat laun system
patriarchate mengalami perubahan atau hilang menjadi suatu bentuk keluarga
yang dinamakan parental.
Teori Upacara Sesaji Smith. W. Robertson Smith (1846-1894) adalah seorang ahli
teologi, ilmu pasti, serta Bahasa dan sastra. Smith yang berasal dari Universitas
Cambridge. Tulisannya yang terkenal berjudul Lectures on Religion of the
Semites (1889). Isi pokok buku itu erat kaitannya dengan teori sesaji. Menurut
Koentjaraningrat (1987: 67-68) dikemukakan bahwa pada umumnya terdapat tiga
gagasan penting mengenai asas-asas religi dan agama sebagai berikut: (a) gagasan
pertama, di samping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara pun merupakan
suatu perwujudan dari religi atau agama yang memerlukan studi analisis khusus.
Suatu hal yang menarik dalam banyak upacara agama itu tetap, tetapi latar
belakang, keyakinan, maksud, atau doktrinnya itu berubah; (b) gagasan kedua,
upacara religi atau agama tersebut. biasanya dilaksanakan oleh banyak warga
masyarakat (pemeluk religi atau agama) dan memiliki fungsi sosial untuk untuk
mengintensifkan solidaritas masyarakat, Motivasi keikutsertaan mereka dalam
upacara itu memiliki tingkat intensitas yang berbeda-beda, namun melalui
kekuatan solidaritas sosial, mampu memberikan dorongan yang bersifat memaksa
atas beberapa individu yang berbeda; (c) pada prinsipnya, upacara sesaji di mana
manusia menyajikan sebagian dari seekor binatang, terutama darahnya kepada
dewa, kemudian memakan sendiri sisa daging dan darahnya. Hakikatnya sama
sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan para dewa.
Dalam hal itu, dewa atau para dewa dipandang juga sebagai warga komunitas,
walaupun sebagai warga yang istimewa. Itulah sebabnya dalam upacara sesaji
bukan hanya kekhidmatan yang dicari, melainkan juga kemeriahan dan
kekeramatan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran