Anda di halaman 1dari 24

Teori Teori sosiologi antropologi budaya

Makalah ini dibuat sebagai pemenuhan tugas sebelum uts

Mata kuliah : sosiologi antropologi pendidikan

Dosen pengampu : Muslikh M.Si.

Oleh:

Sigit permana (2101000102)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING SEMESTER 2

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

NAHDLATUL ULAMA KABUPATEN TEGAL

JL. A. Yani No. 21 Telp. 0852-9005-0266 Procot,

Slawi 52412 Kabupaten Tegal

2021
Kata pengantar

Syukur alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah swt. Yang telah memberikan
berbagai macam nikmat sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
“SOSIOLOGI ANTROPOLOGI PENDIDIKAN” Sesuai dengan waktu yang telah
ditetapkan.

Shalawat salam taklupa penulis haturkan kepada manusia yang mulia yang telah
membawa perubahan dari zaman jahiliah sampai ke zaman ilmiah ini, yaitu beliau
nabi agung nabi Muhammad saw. Yang kita harapkan syafaat nya kelak.

Terimakasih Penulis ucapkan kepada bapak Muslikh M.si selaku dosen mata
kuliah sosiologi antropologi pendidikan yang selalu membimbing mahasiswa
mahasiswa nya untuk semakin menjadi lebih baik lagi. Terimakasih juga kepada
berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas ini.

Tiada gading yang tak retak, begitupun dengan penulisan tugas ini yang pastinya
memiliki banyak kekurangan oleh karena itu penulis mohon maaf yang sebesar
besarnya dan mohon kritik dan saran nya untuk peningkatan tugas tugas yang
akan datang.

Bumijawa, 16 April 2022

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan dan Manfaat

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian teori sosiologi budaya


B. Teori teori sosiologi budaya
C. Pengertian teori antropologi budaya
D. Teori teori antropologi budaya

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal


kebudayaan. Juga dalam kehidupan sehari hari, orang tak mungkin tidak
berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan. Setiap hari orang melihat,
mempergunakan, dan bahkan kadang-kadang merusak kebudayaan.
Kebudayaan sebenarnya secara khusus dan lebih teliti dipelajari oleh
antropologi budaya. Walaupun demikian, seseorang yang memperdalam
perhatiannya terhadap sosiologi dan karena itu memusatkan perhatiannya
terhadap masyarakat, tak dapat mengenyampingkan kebudayaan dengan
begitu saja. Karena di dalam kehidupan nyata, keduanya tak dapat dipisahkan
dan selamanya merupakan dwitunggal (Syani, 2002).
Sosiologi dan antropologi merupakan disiplin keilmuan yang mempelajari
proses dan struktur sosial serta kebudayaan. Sosiologi dan antropologi
memiliki perbedaan fokus dan cara bekerja. Sosiologi lebih memandang
masyarakat sebagai sistem hubungan peranan (role relationship systems) dan
antropologi melihat sebagai sistem jaringan nilai (values network systems).
Kedua perspektif tersebut dapat saling mengisi dan melengkapi dalam
menganalisis orang di dalam masyarakat, sekaligus orang di dalam
kebudayaan untuk memahami konteks sosiokulturalnya. Masyarakat
pendidikan dapat mengambil manfaat dan menggunakan perspektif tersebut
untuk menjelaskan dan menganalisis fenomena, isu-isu, dan masalah sosial
yang dihadapi dalam masyarakat majemuk (multikultural).

B. Rumusan Masalah
1) Apa pengertian Pengertian Sosiologi budaya?
2) Apa saja Teori sosiologi budaya?
3) Apa pengertian antropologi budaya?
4) Apa saja Teori antropologi budaya?
C. Tujuan dan manfaat
1) Mengetahui teori sosiologi budaya
2) Mengetahui Teori antropologi budaya

BAB II

PEMBAHASAN

1.1 Pengertian sosiologi budaya

Pengertian Sosiologi Budaya. Kebudayaan berhubungan erat dengan masyarakat.


Segala sesuatu yang ada di masyarakat ditentukan oleh kebudayaan masyarakat
itu sendiri. Kebudayaan terwujud sebagai sesuatu yang turun temurun, dari satu
generasi ke generasi yang lain, yang disebut sebagai “superorganic”. Untuk
memahami “sosiologi budaya” tidak dapat dilepaskan dari pemahaman
tentang sosiologi dan tentang budaya.
Kata “sosiologi” berasal dari bahasa Latin, yaitu “socius” dan “logos”. Socius
berarti teman atau kawan, sedangkan logos berarti ilmu pengetahuan. Pengertian
“sosiologi” pertama kali dikemukakan oleh Aguste Comte, seorang filsuf
berkebangsaan Perancis. Dalam bukunya yang berjudul “Cours de la Philosovie
Positive”, Aguste Comte menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sosiologi
adalah ilmu pengetahuan tentang masyarakat. Masyarakat merupakan sekelompok
individu yang mempunyai hubungan, memiliki kepentingan bersama, dan
memiliki budaya. Hingga sekarang Aguste Comte dikenal sebagai “Bapak
Sosiologi”.

Sedangkan kata “budaya” yang juga dapat diidentikkan dengan kata “kultur” yang
merupakan serapan dari kata dalam bahasa Inggris, yaitu “culture” yang berasal
dari bahasa Latin, yaitu “colere”, yang berarti mengolah atau mengerjakan. Secara
umum, budaya dapat diartikan sebagai suatu cara hidup yang berkembang dan
dimiliki bersama oleh sekelompok orang, serta diwariskan dari generasi ke
generasi. Budaya juga dapat berarti segala sesuatu yang mencakup semua hal
yang didapat atau dipelajari serta diturunkan oleh manusia sebagai anggota dari
suatu masyarakat. Budaya berkaitan erat dengan budi dan akal manusia,
maksudnya adalah budaya merupakan segala hal yang berkaitan dengan budi dan
akal manusia.

Sebagai satu disiplin ilmu, “sosial budaya” merupakan sub disiplin sosiologi yang
fokus mempelajari aspek kebudayaan dalam kehidupan sosial
masyarakat. Sosiologi budaya juga berarti suatu cabang ilmu sosiologi yang
mempelajari budaya menurut pandangan kemasyarakatan (sosiologis). Budaya
yang dipelajari dalam sosiologi budaya meliputi : seperangkat nilai, sistem
keyakinan, bahasa, cara komunikasi, dan lain sebagainya sebagaimana
dipraktikkan oleh kelompok masyarakat tertentu sebagai ekspresi keberadaannya.

Sosiologi budaya melihat budaya sebagai elemen penting yang membentuk


interaksi dan relasi sosial masyarakat. Budaya meliputi segala aspek kehidupan
sosial baik yang terlihat maupun yang tak terlihat. Budaya memiliki beragam
ekspresi yang membentang dari artefak dan teknologi sampai sistem keyakinan,
pola pikir, dan bahasa.

1.2 Teori teori sosiologi budaya

Teori Sosiologi Budaya. Terdapat beberapa teori yang digunakan dalam


pendekatan disiplin ilmu sosial budaya. Secara struktural, terdapat dua teori besar
yang dapat digunakan sebagai pendekatan sosiologis dalam memahami budaya.
Teori dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Pendekatan Struktural Fungsional.

Pendekatan struktural fungsional dikemukakan oleh Emile Durkheim, seorang


sosiolog berkebangsaan Perancis. Emile Durkheim menjelaskan bahwa :

 budaya atau kultur, baik yang bersifat material maupun immaterial,


berperan penting dalam menjaga solidaritas dan soliditas kelompok.
 kesamaan nilai, keyakinan, ritual, dan lain sebagainya mengarahkan
kelompok sosial yang mempraktikkannya untuk mencapai tujuan bersama
dengan menyandang identitas kolektif yang sama.
Lebih lanjut, Emile Durkheim menyebutkan bahwa ketika seorang individu
berpartisipasi dalam ritual budaya atau ritual tertentu lainnya, berarti ia ikut
mengarfirmasi dan mengakui eksistensi dari budaya tersebut, sehingga keberadaan
budaya tersebut semakin kuat dan pada akhirnya menguatkan solidaritas
kelompok.

2. Pendekatan Kritis.

Pendekatan kritis dikemukakan oleh Karl Marx, seorang pemikir sosial


berkebangsaan Jerman. Karl Marx menjelaskan bahwa :

 budaya atau kultur merupakan instrumen atau alat dominasi pihak


berkuasa atau mayoritas terhadap pihak yang didominasi atau minoritas
yang lemah.
 budaya dapat menjadi sarana perlawanan fisik atau ideologis pihak yang
didominasi kepada pihak yang mendominasi.
Lebih lanjut, Karl Marx menyebutkan bahwa pihak yang mendominasi cenderung
disponsori oleh sistem ekonomi kapitalis. Sebagai contoh : ideologi mainstream
mendoktrin bahwa sukses berarti kaya dan punya uang. Untuk sukses seseorang
karyawan harus bekerja keras, dan mendedikasikan dirinya untuk bekerja agar
bisa kaya seperti atasannya (pemilik usaha). Sedangkan pada kenyataannya
pekerjaan yang dilakukannya tidak akan mendapatkan gaji yang setara dengan
atasannya (pemilik usaha), justru sebaliknya, budaya kerja keras yang dilakukan
oleh seorang karyawan malah akan membuat atasannya (pemilik usaha) tersebut
semakin kaya. Sementara kebanyakan karyawan akan selalu tetap di bawah
atasannya (pemilik usaha). Perspektif fungsionalis mengandaikan bahwa suatu
masyarakat dipandang sebagai suatu jaringan kelompok yang bekerja sama secara
terorganisasi, yang bekerja dalam suatu cara yang relatif teratur menurut
seperangkat aturan dan nilai yang dianut oleh sebagian masyarakat tersebut. Oleh
karena itu, masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang stabil dengan
orientasi kea rah keseimbangan. Ada hasrat untuk saling menjaga keteraturan ini
dari setiap komponen masyarakat yang ada. Ada keinginan untuk
mempertahankan keteraturan dengan cara sistem kerja yang selaras, proporsional
dan seimbang

Dalam perspektif ini maka kita mengenal tokoh-tokoh sosiologi terkemuka seperti
Talcott Parsons (1937), Kingsley Davis (1937) dan Robert Merton (1957), Mereka
mengatakan bahwa setiap kelompok dalam masyarakat akan melaksanakan tugas
tertentu dan secara kontinu, karena ini merupakan cermin dari apa yang disebut
sebagai fungsional tersebut. Sebuah perilaku atau tindakan sosial akan bisa
dibenarkan karena hal tersebut dalam masyarakat dinilai sebagai fungsional. Suatu
pola perilaku bisa muncul, dan sekaligus bisa hilang dan berubah sesuai dengan
perkembangan sosial yang terjadi, dan sesuai dengan kebutuhan apa yang
diinginkan dalam masyarakat tertentu.
Suatu perubahan sosial bisa jadi akan mengganggu kestabilan dalam masyarakat
tertentu tersebut, namun dalam rentang waktu tertentu, keseimbangan akan
muncul kembali. Secara teoretik diasumsikan bahwa jika suatu perubahan sosial
yang datang membawa hal-hal yang fungsional, maka pada saat yang sama terjadi
keseimbangan. Namun demikian sebaliknya, jika perubahan sosial yang datang
ternyata mengganggu keseimbangan atau stabilitas sosial yang ada, maka hal
tersebut disebut sebagai gangguan fungsional.

Sampai saat ini perspektif ini masih berguna bagi analisis mengenai perubahan
yang terjadi dalam sebuah masyarakat. Perspektif ini digunakan oleh praktisi
hukum, negarawan, tokoh politik dan sebagainya, guna melihat apa yang
sebenarnya sedang terjadi dalam masyarakat tersebut. Perspektif ini sangat
terkemuka, dan memiliki banyak perkembangan yang cukup signifikan. Dalam
menganalisis berbagai masalah yang ada dalam masyarakat, biasanya pertanyaan
yang diajukan adalah: "Bagaimana suatu nilai bisa dipraktikkan untuk membantu
mement kebutuhan masyarakat". Bagaimana hal-hal tersebut bisa secara terus-
menerus bersesuaian dengan hal yang lainnya". Bisakah suatu perubahan sosial
yang ada bermanfaat bagi sebuah masyarakat. Pertanyaan pertanyaan tersebut
berkaitan dengan fungsi dalam sebuah masyarakat. Teori ini menekankan kepada
keteraturan (order) dan mengabaikan konflik dan perubahan dalam masyarakat.
Konsep utamanya adalah fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifes dan
keseimbangan (equilibrium). Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu
sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan
dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian
akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain. Asumsi dasarnya
adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain.
Sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau akan
hilang dengan sendirinya. Penganut teori ini cenderung untuk melihat hanya
kepada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem yang lain dan arena
itu mengabaikan kemungkinan bahwa suatu peristiwa atau suatu sistem dapat
beroperasi menentang fungsi fungsi lainnya dalam suatu sistem sosial. Secara
ekstrem penganut teori ini beranggapan bahwa semua peristiwa dan semua
struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat. Dengan demikian pada tingkat
tertentu umpamanya peperangan, ketidaksamaan sosial, perbedaan ras bahkan
kemiskinan "diperlukan" oleh suatu masyarakat. Perubahan dapat terjadi secara
perlahan lahan dalam masyarakat. Kalau terjadi konflik, penganut teori
Fungsionalisme Struktural memusatkan perhatiannya kepada masalah bagaimana
cara menyelesaikannya sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan.

Robert K. Merton berpendapat bahwa objek analisis sosiologi adalah fakta sosial
seperti peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok,
pengendalian sosial dan sebagainya. Hampir semua penganut teori ini
berkecenderungan untuk memusatkan perhatiannya kepada fungsi dari satu fakta
sosial terhadap fakta sosial yang lain. Hanya saja menurut Merton pula, sering
terjadi pencampuradukan antara motif-motif subjektif dengan pengertian fungsi.
Padahal perhatian fungsionalisme struktural harus lebih banyak ditujukan kepada
fungsi-fungsi dibandingkan dengan motif-motif. Fungsi adalah akibat akibat yang
dapat diamati yang menuju adaptasi atau penyesuaian dalam suatu sistem. Oleh
karena fungsi itu bersifat netral secara ideologis maka Merton mengajukan pula
satu konsep yang disebutnya disfungsi. Sebagaimana struktur sosial atau pranata
sosial dapat menyumbang terhadap pemeliharaan fakta fakta sosial lainnya,
sebaliknya ia juga dapat menimbulkan akibat yang bersifat negatif. Contohnya
mempekerjakan anak usia sekolah di pabrik. Sisi positif bagi pemilik pabrik
adalah tenaga kerja murah dan dapat membantu ekonomi orang tuanya. Tetapi
sebaliknya, mempekerjakan anak usia sekolah di pabrik akan menghambat
program pemerintah dalam mensukseskan wajib belajar sembilan tahun atau wajib
belajar dua belas tahun dan melanggar terhadap undang undang perlindungan
anak.
◊ Kedua, pendekatan kritis. Pendekatan ini mendapat insipirasi dari pemikir sosial
Karl Marx. Menurut Marx kultur atau budaya merupakan instrumen atau alat
dominasi pihak berkuasa atau mayoritas terhadap pihak yang didominasi atau
minoritas yang lemah. Selain itu, budaya juga dapat menjadi sarana perlawanan
fisik atau ideologis pihak yang didominasi kepada pihak yang mendominasi.
Pihak yang mendominasi cenderung disponsori oleh sistem ekonomi kapitalis.

b. Teori Konflik

Teori konflik dibangun dalam rangka untuk menentang secara langsung terhadap
Teori Fungsionalisme Struktural. Karena itu tidak mengherankan apabila
proposisi yang terdapat dalam Teori Fungsionalisme Struktural Tokoh utama
Teon Konflik adalah Ralf Dahrendorf. Kalau menurut Teori Fungsionalisme
Struktural masyarakat berada dalam kondisi statis atau tepatnya bergerak dalam
kondisi keseimbangan maka menurut Teori Konflik malah sebaliknya.
Masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh
pertentangan yang terus menerus di antara unsur-unsurnya. Kalau menurut Teori
Fungsionalisme Struktural setiap elemen atau setiap institusi memberikan
dukungan terhadap stabilitas maka Teori Konflik melihat bahwa setiap elemen
memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial. Hal lainnya kalau penganut
Teori Fungsionalisme Struktural melihat anggota masyarakat terikat secara
informal oleh norma-norma, nilai-nilai dan moralitas umum, maka Teori Konflik
menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan
karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang
berkuasa.

Konsep sentral teori ini adalah wewenang dan posisi. Keduanya merupakan fakta
sosial. Inti tesisnya sebagai berikut: Distribusi kekuasaan dan wewenang secara
tidak merata tanpa kecuali menjadi faktor yang menentukan konflik sosial secara
sistematis. Perbedaan wewenang adalah suatu tanda dari adanya berbagai posisi
dalam masyarakat. Perbedaan posisi serta perbedaan wewenang di antara individu
dalam masyarakat itulah yang harus menjadi perhatian utama para sosiolog.
Struktur yang sebenarnya dari konflik-konflik harus diperhatikan di dalam
susunan peranan sosial yang dibantu oleh harapan-harapan terhadap kemungkinan
mendapatkan dominasi. Tugas utama menganalisa konflik adalah
mengidentifikasi berbagai peranan kekuasaan dalam masyarakat.

Kekuasaan dan wewenang senantiasa menempatkan individu pada posisi atas dan
posisi bawah dalam setiap struktur. Karena wewenang itu adalah sah, maka setiap
individu yang tidak tunduk terhadap wewenang yang ada akan terkena sanksi.
Dengan demikian masyarakat disebut Dahrendorf sebagai persekutuan yang
terkoordinasi secara paksa (imperatively coordinated associations). Oleh karena
kekuasaan selalu memisahkan dengan tegas antara penguasa dan yang dikuasai
maka dalam masyarakat selalu terdapat dua golongan yang saling bertentangan.
Masing-masing golongan dipersatukan oleh ikatan kepentingan nyata yang
bertentangan secara substansial dan secara langsung di antara golongan itu.
Pertentangan itu terjadi dalam situasi di mana golongan yang berkuasa berusaha
mempertahankan status quo sedangkan golongan yang dikuasai berusaha untuk
mengadakan perubahan. Pertentangan kepentingan ini selalu ada setiap waktu dan
dalam setiap struktur. Karena itu kekuasaan yang sah selalu berada dalam keadaan
terancam bahaya dari golongan yang anti status quo. Kepentingan yang terdapat
dalam satu golongan tertentu selalu dinilai objektif oleh golongan yang
bersangkutan dan selalu berdempetan (coherence) dengan posisi individu yang
termasuk ke dalam golongan itu. Seorang individu akan bersikap dan bertindak
sesuai dengan cara-cara yang berlaku dan yang diharapkan oleh golongannya.
Dalam situasi konflik seorang individu akan menyesuaikan diri dengan peranan
yang diharapkan oleh golongannya itu, yang oleh Dahrendorf disebut sebagai
peranan laten.
Dahrendorf membedakan golongan yang terlibat konflik itu atas dua tipe.
Kelompok semu (quasi group) dan kelompok kepentingan (interest group).
Kelompok semu merupakan kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau
jabatan dengan kepentingan yang sama yang terbentuk karena munculnya
kelompok kepentingan. Sedangkan kelompok yang kedua yakni kelompok
kepentingan terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas. Kelompok
kepentingan ini mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan serta anggota
yang jelas. Kelompok kepentingan inilah yang menjadi sumber nyata timbulnya
konflik dalam masyarakat.

Dahrendorf berpendapat bahwa konsep-konsep seperti kepentingan nyata dan


kepentingan nyata dan kepentingan laten, kelompok kepentingan dan kelompok
semu, posisi dan wewenang merupakan unsur-unsur dasar untuk dapat
menerangkan bentuk-bentuk dari konflik. Di bawah kondisi ideal, tidak ada lagi
variabel lain yang diperlukan untuk dapat menerangkan sebab-sebab timbulnya
konflik sosial. Dalam kondisi yang tidak ideal memang masih ada beberapa faktor
yang dapat berpengaruh dalam proses terjadinya konflik sosial. Di antara kondisi
teknik dengan personal yang cukup, kondisi politik dengan suhu yang normal,
kondisi sosial dengan adanya rantai komunikasi. Faktor lain. menyangkut cara
pembentukan kelompok semu. Kalau pembentukannya cukup acak serta benar-
benar ditentukan oleh kesempatan maka konflik kelompok tidak akan muncul.
Dengan demikian berbeda dengan pandangan Marx, Dahrendorf tidak merasa
bahwa lumpen-proletariat akan menjadi kelompok konflik kalau orang yang
menjadi anggotanya terbentuk secara kebetulan (bychance). Malah sebaliknya
kelompok semu yang pembentukannya ditentukan secara struktural
memungkinkan untuk terbentuk menjadi kelompok kepentingan yang merupakan
sumber pertentangan itu. Aspek terakhir teori konflik Dahrendorf adalah mata
rantai antara konflik dan perubahan sosial. Konflik menurutnya memimpin ke
arah perubahan dan pembangunan. Dalam situasi konflik golongan yang terlibat
melakukan tindakan untuk mengadakan perubahan dalam struktur sosial. Kalau
konflik itu terjadi secara hebat maka perubahan yang timbul akan bersifat radikal.
Begitu pula kalau konflik itu disertai oleh penggunaan kekerasan maka perubahan
struktural akan efektif.

Apa fungsi atau konsekuensi konflik? Satu fungsi pokok adalah menimbulkan
perubahan struktur sosial, khususnya yang berhubungan dengan struktur otoritas.
Dahrendeori membedakan tiga tipe perubahan struktural yakni: (1) perubahan
keseluruhan personel di dalam posisi dominasi; (2) perubahan sebagian personel
dalam posisi dominasi, dan (3) digabungkannya kepentingan kelas subordinat
dalam kebijaksanaan kelas yang berkuasa. Perubahan personel seluruh atau
sebagian, berarti bahwa orang-orang dalam kelas subordinat masuk ke dalam
kelas yang berkuasa. Selanjutnya Dahrendorf mengemukakan bahwa perubahan
struktural berbeda-beda menurut sifat radikal dan sifat tiba tibanya (sudden).
Variabel-variabel, seperti intensitas dan kekerasan konflik, secara konseptual
berbeda dan berdiri sendiri. Keradikalan menunjuk pada tingkat perubahan
struktural, baik yang berhubungan dengan personel dalam posisi yang berkuasa,
kebijaksanaan kelas yang berkuasa.. aupun hubungan antarkelas secara
keseluruhan. Ketiba-tibaan (suddenness) menunjuk pada kecepatan perubahan
struktural. Perubahan bisa terjadi tiba-tiba dan radikal atau bisa juga pelan dan
radikal.

Dahrendort melihat teorinya mengenai pembentukan kelas dan konflik kelas


sebagai teori yang lebih umum daripada teori Marx. Analisa Marx mengenai
kapitalisme awal, lalu menjadi suatu kasus khusus dari suatu teori yang lebih
komprehensif. Dahrendorf menentukan bahwa pembentukan kelas dan konflik
kelas dalam perspektif Marx terjadi dalam kondisi yang secara historis bersifat
khusus antara lain: (a) tidak adanya mobilitas, (b) tumpang tindihnya otoritas,
pemilikan dan status sosial umumnya, (c) tumpang-tindihnya konflik industri dan
politik, dan (d) tidak adanya pengaturan konflik yang efektif. Dengan demikian,
maka kelas-kelas merupakan kelompok konflik yang terlibat dalam konflik yang
sangat intensif dank eras yang diarahkan ke perubahan yang sangat tiba-tiba dan
radikal.

Dahrendorf meringkaskan asumsi teori fungsionalis (konsensus atau integrasi)


yang bertentangan dengan teori konflik sebagai berikut: 1) Teori Fungsional

Setiap masyarakat merupakan suatu struktur elemen yang secara relatif


mantap dan stabil. b) Setiap masyarakat merupakan suatu struktur elemen
yang terintegrasi dengan baik. Setiap elemen dalam suatu masyarakat
mempunyai fungsi, yakni memberikan sumbangan pada bertahannya
masyarakat itu sebagai suatu sistem.

d) Setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada suatu konsensus nilai
di antara para anggotanya. 2)

Teori Konflik a) Setiap masyarakat kapan saja tunduk pada proses perubahan
perubahan

sosial ada dimana-mana.

b) Setiap masyarakat kapan saja memperlihatkan perpecahan dan konflik


konflik sosial ada dimana-mana. c) Setiap elemen dalam suatu masyarakat
menyumbang disintegrasi dan perubahan.
d) Setiap masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas
orang lain.

1.3 Pengertian antropologi budaya

Antropologi kebudayaan adalah ilmu yang mempelajari tentang manusia yang


berkaitan dengan kebudayaan dan peradaban yang dilahirkan.

Oleh karena itulah definisi antropologi budaya adalah suatu ilmu yang
mempelajari segala kehidupan manusia mulai dari segi budaya, kegiatan sosial,
cara berbahasa, dan lain sebagainya. Melalui pengertian tersebut, bisa dipahami
bahwa antropologi budaya akan senantiasa mempelajari mengenai sifat
kebudayaan dalam suatu lingkungan sosial masyarakat.

Dimana unsur kebudayaan tersebut meliputi semua hasil tingkah laku yang


dilakukan manusia dan bisa dipelajari dengan baik dalam susunan kehidupan
masyarakat.

1.4 Teori teori antropologi budaya


1. Teori orientasi nilai budaya

Teori Orientasi Nilai Budaya dari Kluckhohn. Teori ini dirintis oleh sepasang
suami istri antropolog Clyde Kluckhohn dan Florence Kluckhohn yang
diuraikan dalam serangkaian karangannya (Kluckhohn, 1951:1953; 1956)

kemudian secara mendalam dituangkan dalam karya Florence Kluckhohn dan


E.L. Strodtbeck dalam judul Variations in Value Orientation (1961). Menurut
teori tersebut, hal-hal yang paling tinggi nilainya dalam tiap kebudayaan hidup
manusia minimal ada lima hal, yaitu: (a) human nature atau makna hidup
manusia, (b) man nature atau makna dari hubungan manusia dengan alam
sekitarnya, (c) time, yaitu persepsi manusia mengenai waktu; (d) activity,
yaitu masalah makna dari pekerjaan, karya, dan amal dari perbuatan manusia,
(e) relational, yaitu hubungan manusia dengan sesame manusia. Lima masalah
inilah yang disebut value orientations atau orientasi nilai budaya.

Berdasarkan isi teori orientasi nilai budaya tersebut maka dapat dijabarkan
sebagai berikut: (1) dalam kaitannya dengan makna hidup manusia, bagi
beberapa kebudayaan yang menganggap bahwa hidup itu adalah sumber
keprihatinan dan penderitaan maka kemungkinan variasi konsepsi orientasi
nilai budayanya dirumuskan Kluckhohn dengan kata evil. Sebaliknya, dalam
banyak kebudayaan yang menganggap hidup itu adalah sumber kesenangan
dan keindahan, dirumuskannya dengan kata good; (2) berkenaan dengan
hubungan manusia dengan alam sekitarnya, banyak kebudayaan yang
mengonsepsikan alam sedemikian dahsyat dan sempurna sehingga manusia
sepatutnya tunduk saja kepadanya (subjugation to nature). Namun, terdapat
juga kebudayaan yang mengajarkan kepada warganya sejak usia dini,
walaupun alam bersifat ganas dan sempurna, nalar manusia harus mampu
menjajaki rahasianya untuk menaklukkan dan memanfaatkannya guna
memenuhi kebutuhan (mastery over nature). Juga terdapat pula alternatif lain
yang menghendaki hidup selaras dengan alam (harmony with nature); (3)
dalam kaitannya dengan persepsi manusia dengan waktu, ada kebudayaan
yang mementingkan masa sekarang (present), sementara banyak pula yang
berorientasi ke masa depan (future). Kemungkinan besar untuk tipe pertama
adalah pemboros, sedangkan untuk tipe kedua adalah manusia yang hemat; (4)
dalam kaitannya dengan makna dari pekerjaan, karya dana mal perbuatan
manusia, banyak kebudayaan menganggap bahwa manusia bekerja untuk
mencari makan, selain untuk bereproduksi. Hal itu dirumuskan Kluckhohn
dengan kata being. Sebagian kebudayaan menganggap bahwa hidup itu lebih
luas daripada bekerja, seperti menolong orang lain, dikelompokkannya dalam
kata doing; (5) dalam kaitannya dengan hubungan antarsesama manusia,
banyak kebudayaan yang mengajarkan sejak awal untuk hidup bergotong
royong (collaterality) serta menghargai terhadap perilaku pemuka-pemukanya
sebagai acuan kebudayaan sendiri (lineality). Sebaliknya, banyak kebudayaan
yang menekankan hak individu untuk mandiri maka orientasinya adalah
mementingkan mutu dari karyanya, bukan atas senioritas, kedudukan, pangkat
maupun status sosialnya.

2. Teori Evolusi sosiokultural

Teori Evolusi Sosiokultural Paralel-Konvergen-Divergen Sabin dan Harris Istilah


evolusi, gagasan bahwa bentuk-bentuk kehidupan yang berkembang dari satu
bentuk lain melalui mata rantai traninems dan modifikasi yang tidak pernah putus,
diperkenalkan oleh Charles Darwin dalam buku The Origin of Species (1859),
walaupun sebenarnya kata-kata itu suda dikenal sejak zaman Yunani Kuno, dan
sejumlah pemikir sejak masa itu selah membuat postulat yang bersifat evolusioner
(Sanderson, 1995: 29).

Istilah evolusi tersebut berasal dari bahasa Latin evolutis yang beras
pembukaan gulungan. Ini jelas bahwa evolusi menyangkut suatu
pembentangan perkembangan. Proses di mana sistem sosiokultural mulai
menyadan kemungkinan potensial yang sejak awal melekat di dalam dirinya.
Ini menyiralan alau bahwa evolusi adalah gerakan ke arah tujuan akhir, bahwa
berbagai masyarakat berkembang dengan cara yang sama sehingga embrio
yang matang menjadi organisme yang sehat yang hidup di luar tubuh
induknya

Dari sudut istilah evolusi yang semula terbatas pada aspek biologi, kemudian
meluas dalam berbagai bidang, seperti (a) Evolusi Sosial Universal oleh
Herben Spencer (1820-1903) dalam karyanya Principles of Sociology (1876-
1896) b) Evolusi Keluarga oleh J.J. Bachoven dalam bukunya Das Mutterrecht
atau Hukumn Ibu (1861); (c) Evolusi Kebudayaan oleh EB. Tylor (1832-
1917) dalam bukunya Primitive Culture dan Lewis H. Morgan (1818-1881)
dalam bukunya Acient Society (1877); (d) Evolusi religi oleh E.B. Taylor
91832-1917) dan 1.G. Frazer (1854-1941) dalam bukunya Totemism and
Exogamy (1910) dan The Golden Bough (1911-1913).

Hanya persoalan sosiokultural tidak sama dengan pengertian evolusi biologis,


tidak ada tujuan akhir bagi evolusi sosiokultural, dan tidak ada perkembangan
ke arah keadaan akhir. Beberapa penganut evolusionisme berpendapat bahwa
arah kecenderungan utama dalam evolusi sosiokultural adalah bertambahnya
kompleksitas masyarakat. Menurut dua antropolog iyang sebenarnya tidak
bersatu), yakni Marshall Sahlins (1960) dan Marvin Harris (1968) bahwa: (1)
evolusi sosiokultural meliputi seluruh sistem sosiokultural maupun komponen
yang terpisah dari sistem tersebut. Bisanya terjadinya perubahan berawal dari
suatu komponen atau subkomponen, dan perubahan ini menimbulkan
perubahan pada komponen yang lain. Seluruh mata rantai sebab dan akibat
bergerak sehingga menghasilkan transformasi pada seluruh system
sosiokultural; (2) evolusi sosiokultural bukanlah proses tunggal, unitary terjadi
dengan cara yang sama pada seluruh masyarakat. Sebagaimana evolusi
biologis, evolusi sosiokultural memiliki karakter ganda (Sahlins, 1960). Pada
satu sisi, ia merupakan proses yang meliputi transformasi menyeluruh pada
masyarakat manusia. la memperlihatkan suatu karakter umum dan pola terarah
dalam semua masyarakat yang mengalaminya. Proses itu biasanya disebut
evolusi umum atau general evolution (Sahlins, 1960). Namun, di sisi lain
evolusi sosiokultural memperlihatkan diversifikasi adaptif yang mengikuti
banyak garis yang berbeda-beda dalam banyak masyarakat. Rincian spesifik
dari perubahan evolusioner umumnya berbeda dari suatu masyarakat dengan
masyarakat lainnya. Pola perubahan itu secara tipikal disebut evolusi spesifik
atau specific evolution (Sahlin, 1960); (3) pembedaan tersebut dapat dirinci
sebagai evolusi paralel, evolusi konvergen, dan evolusi divergen (Harris,
1968); (4) evolusi parallel, merupakan evolusi yang terjadi dalam dua hal atau
lebih sosiobudaya atau masyarakat yang berkembang dengan cara yang sama
dan dengan tingkat yang pada dasarnya sama. Dalam hal ini, dapat diambil
contoh masyarakat pada zaman prasejarah; di zaman berburu dan meramu
yang kemudian meningkat ke zaman memelihara binatang dan bercocok
tanam. Kalaupun terjadi perubahan, pada umumnya mereka memiliki pola-
pola kehidupan yang serupa; (5) evolusi konvergen, terjadi ketika berbagai
masyarakat yang semula berbeda perkembangannya, namun akhirnya
mengikuti pola yang serupa kemajuannya. Contohnya, beberapa negara
industri, seperti Jepang dan Amerika mulanya memiliki sejarah peradaban
yang jauh berbeda, namun akhirnya memiliki banyak persamaan kemajuan
yang serupa; (6) evolusi divergen, terjadi ketika berbagai masyarakat yang
semula mengikuti banyak persamaan yang serupa, namun akhirnya mencapai
tingkat perkembangan yang jauh berbeda. Dalam hal ini, Geertz (1973)
memberi contoh Indonesia dengan Jepang, mulanya memiliki banyak
persamaan pola sampai abad ke-17. Akan tetapi dalam perkembangannya
belakangan ini jauh berbeda, Jepang melampaui Indonesia sebagai negara
maju dengan standar hidup yang tinggi, sedangkan Indonesia hampir tetap
seperti dahulu dan termasuk negara berkembang.

3. Teori Evolusi kebudayaan

Teori Evolusi Kebudayaan Lewis H. Morgan. Lewis H. Morgan (1818-1881)


adalah seorang perintis antropolog Amerika terdahulu, pada awal kariernya
adalah seorang ahli hukum yang banyak melakukan penelitian suku Indian di
hulu Sungai St. Lawrence dekat Kota New York. Karya terpentingnya
berjudul Ancient Society (1987) yang memuat delapan tahapan tentang
evolusi kebudayaan secara universal. Adapun dari delapan tahapan tersebut
sebagai berikut: (a) Zaman Liar Tua, merupakan zaman sejak adanya manusia
sampai menemukan api, kemudian manusia menemukan kepandaian meramu
dan mencari akar-akar tumbuhan liar; (b) Zaman Liar Madya, merupakan
zaman di mana manusia menemukan senjata busur dan panah. Pada zaman ini
pula manusia mulai mengubah mata pencariannya dari merarmu menjadi
pencan ikan di sungai sebagai pemburu; (c) Zaman Liar Muda, pada zaman ini
manusia dari persenjataan busur dan panah sampai mendapatkan barang-
barang tembikar, namun kehidupannya masih berburu; (d) Zaman Barbar Tua,
pada zaman ini sejak pandai membuat tembikar sampai mulai betemak
maupun bercocok tanam; (e) Zaman Barbar Madya, yaitu zaman sejak
manusia beternak dan bercocok tanam sampai kepandaian membuat benda-
benda atau alat alat dari logam; (f) Zaman Barbar Muda, yaitu zaman sejak
manusia memiliki kepandaian membuat alat-alat dari logam sampai mengenal
tulisan, (g) Zaman Peradaban Purba, menghasilkan beberapa peradaban klasik
zaman batu dan logam; (h) Zaman Peradaban masa kini, sejak zaman
peradaban tua atau klasik sampai sekarang.

4. Teori Evolusi Animisme dan Magic

Teori Evolusi Animisme dan Magic dari Taylor dan Frazer, Edward Burnett
Taylor (1832-1917) dan Sir mes George Frazer (1854-1941) adalah seorang
perintis antropologi sosial budaya di Inggris (Taylor) dan seorang ahli folklore
Skotlandia yang banyak menggunakan bahan etnografi yang sekaligus termasuk
kelompok evolusionisme (Frazer). Jika Taylor terkenal seorang autodidak yang
produktif dengan karyanya Research into the Early History of Mankind and the
Development of Civilization (1865), kemudian Primitive Culture: Research into
the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art, and
Custom (1871) yang menempatkannya sebagai ahli teori evolusi budaya dan
religi, sedangkan Frazer dengan dua karyanya yang terkenal adalah Totemism and
Exogamy (1910) dan The Golden Bough (1911-1913). Karya yang kedua itulah
yang banyak berhubungan dengan teori agama, magis. dan sihir, yang secara garis
besar inti teorinya sebagai berikut: (1) Anismisme, adalah suatu kepercayaan pada
kekuatan pribadi yang hidup di balik semua benda. Animisme merupakan
pemikiran yang sangat tua dari seluruh agama (Pals, 2001:41); (2) Asal mula
religi adalah kesadaran manusia akan adanya jiwa, disebabkan dua hal, yaitu:
Pertama, perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan
mati. Di situlah manusia menyadari pentingnya jiwa dari rasa takut atau hantu.
Kedua, peristiwa mimpi, di mana ia melihat dirinya di tempat yang lain (bukan
tempat ia tidur atau mimpi) yang menyebabkan manusia membedakan antara
tubuh jasmani dan rohani atau jiwa (Tylor, 1871/1903:429) (3) Manusia
memecahkan beberapa persoalan hidupnya selalu dengan akal dan sistem
pengetahuannya. Akan tetapi, kemampuan akal dan sistem pengetahuan manusia
terbatas maka ia pun menggunakan magis atau ilmu gaib. Dalam pandangan
Frazer semua tindakan manusia untuk mencapai maksud melalui kekuatan yang
ada di alam, serta seluruh kompleks yang ada di belakangnya; (4) Ilmu gaib
mulanya hanya untuk mengatasi pemecahan masalah hidup manusia yang berada
di luar kemampuan akal dan sistem pengetahuannya, saat itu agama (religi) belum
ada; (5) Karena penggunaan magic tidak selalu berhasil (bahkan kebanyakan
gagal) maka mulailah ia yakin bahwa alam semesta dihuni oleh makhluk halus
yang lebih berkuasa daripada manusia. Dari anggapan ini, kemudian manusia
berusaha menjalin hubungan dengan makhluk halus itu dan timbullah agama
(Koentjaraningrat, 1987: 54); (6) Antara agama dan magic itu berbeda. Agama
sebagai cara mengambil hati untuk menenangkan kekuatan yang melebihi
kekuatan manusia, yang menurut kepercayaan membimbing dan mengendalikan
nasib kehidupan manusia (Frazer, 1932: 693). Sedangkan magic dilihatnya
sebagai usaha untuk memanipulasikan hukum-hukum alam tertentu yang
dipahami. Jadi, magic semacam ilmu pengetahuan semu (pseudoscience), berbeda
dengan ilmu pengetahuan modern karena konsepsinya yang salah tentang sifat
dasar hukum tertentu yang mengatur urutan terjadinya peristiwa; (7) Magic
memiliki dua prinsip utama. Pertama, like produce like (persamaan menimbulkan
persamaan) disebutnya sebagai magic simpatetis. Misalnya di Burma pemuda
yang ditolak cintanya ia akan memesan boneka yang mirip dengan rupa pacarnya
kepada tukang sihir. Jika boneka itu dilempar ke dalam air yang disertai dengan
guna-guna tertentu, si gadis penolak akan gila. Dengan demikian, nasib si gadis
serupa atau sama dengan nasib si boneka sebagai tiruannya. Kedua, prinsip magic
senggol (contagious magic), yaitu benda atau manusia yang pernah saling
berhubungan, sesungguhnya dapat saling mempengaruhi, kendatipun hanya seutas
rambut, kuku, gigi, dan sebagainya. Sebagai contoh, suku Basuto di Afrika
Selatan akan hati-hati mencabut giginya jangan sampai kesenggol oleh orang lain
yang dapat menyalahgunakan maksudnya.
5. Teori Evolusi Keluarga

Kelima, Teori Evolusi Keluarga J.J. Bachoven. J.J. Bachoven adalah seorang
ahli hukum Jerman yang banyak mempelajari etnografi berbagai bangsa
(Yunani, Romawi, Indian, termasuk juga Asia Afrika). Karya monumentalnya
ditulis dengan judul Das mutterrecht atau Hukum Ibu (1967). Inti teori evolusi
keluarga dari Bachoven tersebut bahwa seluruh keluarga di seluruh dunia
mengalami perkembangan melalui empat tahap (Koentjaraningrat, 1987: 38-
39) sebagai berikut: (1) Tahap Promiskuitas, manusia hidup serupa binatang
berkelompok. laki-laki dan perempuan berhubungan dengan bebas dan
melahirkan keturunannya tanpa ikatan. Kelompok keluarga inti belum ada
pada waktu itu. Keadaan tersebut merupakan tingkat pertama dalam proses
perkembangan masyarakat manusia; (2) Lambat laun manusia sadar akan
hubungan antara bu dengan anaknya sebagai suatu kelompok keluarga inti
dalam masyarakat. Oleh karena itu, pada masa ini anak-anak mulai mengenal
ibunya, belum mengenal ayahnya. Di situlah peran ibu merangkap sebagai
kepala keluarga atau rumah tangga. Pada masa itu pula hubungan atau
perkawinan antara ibu dengan anak dihindari, dengan demikian timbul adat
eksogami. Pada sistem masyarakat yang makin luas, hal demikian dinamakan
sistem matriarchate, di mana garis keturunan ibu sebagai satu-satunya yang
diperhitungkan; (3) Tingkat berikutnya adalah sistem aptriarchate, di mana
ayah menjadi kepala keluarga. Perubahan dari matriarchate ke patriarchate
tersebut terjadi setelah kaum pria tidak puas dengan keadaan sosial yang
mengedepankan peranan perempuan übu), la kemudian mengambil calon istri
dari kelompok yang berbeda untuk dibawa ke kelompoknya sendiri. Dengan
demikian, keturunan yang mereka dapatkan pun tetap tinggal dalam kelompok
pria. Kemudian itulah yang secara lambat laun mengubah tradisi matriarchate
ke patriarchate; (4) Pada tingkat yang terakhir, perkawinan tidak selalu dari
luar kelompok (exogami), tetapi dapat juga dari dalam kelompok yang sama
(endogami). Hal itu memungkinkan anak-anak secara langsung mengenal dan
banyak berhubungan dengan ibu dan ayahnya. Lambat laun system
patriarchate mengalami perubahan atau hilang menjadi suatu bentuk keluarga
yang dinamakan parental.

6. Teori upacara sesaji

Teori Upacara Sesaji Smith. W. Robertson Smith (1846-1894) adalah seorang ahli
teologi, ilmu pasti, serta Bahasa dan sastra. Smith yang berasal dari Universitas
Cambridge. Tulisannya yang terkenal berjudul Lectures on Religion of the
Semites (1889). Isi pokok buku itu erat kaitannya dengan teori sesaji. Menurut
Koentjaraningrat (1987: 67-68) dikemukakan bahwa pada umumnya terdapat tiga
gagasan penting mengenai asas-asas religi dan agama sebagai berikut: (a) gagasan
pertama, di samping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara pun merupakan
suatu perwujudan dari religi atau agama yang memerlukan studi analisis khusus.
Suatu hal yang menarik dalam banyak upacara agama itu tetap, tetapi latar
belakang, keyakinan, maksud, atau doktrinnya itu berubah; (b) gagasan kedua,
upacara religi atau agama tersebut. biasanya dilaksanakan oleh banyak warga
masyarakat (pemeluk religi atau agama) dan memiliki fungsi sosial untuk untuk
mengintensifkan solidaritas masyarakat, Motivasi keikutsertaan mereka dalam
upacara itu memiliki tingkat intensitas yang berbeda-beda, namun melalui
kekuatan solidaritas sosial, mampu memberikan dorongan yang bersifat memaksa
atas beberapa individu yang berbeda; (c) pada prinsipnya, upacara sesaji di mana
manusia menyajikan sebagian dari seekor binatang, terutama darahnya kepada
dewa, kemudian memakan sendiri sisa daging dan darahnya. Hakikatnya sama
sebagai suatu aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan para dewa.
Dalam hal itu, dewa atau para dewa dipandang juga sebagai warga komunitas,
walaupun sebagai warga yang istimewa. Itulah sebabnya dalam upacara sesaji
bukan hanya kekhidmatan yang dicari, melainkan juga kemeriahan dan
kekeramatan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

Anda mungkin juga menyukai