Anda di halaman 1dari 17

KONSEP BUDAYA DAN GAMBARAN UMUM EKSPRESI BUDAYA SERTA TRADISI LISAN YANG

ADA DAN BERKEMBANG DI SUKU SASAK

Oleh

Hera Gusrianti

E4R12310126

PPG Prajabatan Gelombang 2 tahun 2023

PRODI Matematika

UNIVERSITAS Mataram

TAHUN 2024
A. KONSEP BUDAYA

Manusia dan kebudayaan tak terpisahkan, secara bersama-sama menyusun


kehidupan. Manusia menghimpun diri menjadi satuan sosial-budaya, menjadi
masyarakat. Masyarakat manusia melahirkan, menciptakan, menumbuhkan, dan
mengembangkan kebudayaan: tak ada manusia tanpa kebudayaan, dan sebaliknya tak
ada kebudayaan tanpa manusia; tak ada masyarakat tanpa kebudayaan, tak ada
kebudayaan tanpa masyarakat. Di antara mahluk-mahluk ciptaan Al-Khaliq, hanya
masyarakat manusia yang meniru-niru Sang Pencipta Agung merekayasa
kebudayaan. Kebudayaan adalah reka-cipta manusia dalam masyarakatnya.
Kesadaran manusia terhadap pengalamannya mendorongnya menyusun rumusan,
batasan, definisi, dan teori tentang kegiatan-kegiatan hidupnya yang kemudian
disebut kebudayaan, ke dalam konsepsi tentang kebudayaan. Kesadaran demikian
bermula dari karunia akal, perasaan dan naluri kemanusiaannya, yang tidak dimiliki
oleh mahluk lain, seperti hewan atau binatang. Dalam sementara pemahaman, secara
biologis manusia pun digolongkan sebagai binatang, namun binatang berakal
(reasoning animal).

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat.


Koentjaraningrat (1986:180) mendefinisikan kebudayaan adalah keseluruhan sistim
gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat,
yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar. Kebudayaan adalah sesuatu yang
akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang
terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan
itu bersifat abstrak. Sedangkan dengan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda
yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan
benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, organisasi
sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang semuanya ditujukan untuk membantu manusia
dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Tantangan masa kini adalah menemukan cara untuk mempertajam konsep


“budaya”, sedemikian rupa, sehingga konsep itu mempunyai cakupan terdiri atas
bagian-bagian yang lebih sedikit tetapi mengungkapkan hal yang lebih banyak.
Seperti dikatakan oleh Geertz, “pemotongan konsep budaya ke dalam satu konsep
yang tajam, mengkhusus, dan secara teoritis lebih kuat adalah satu tema besar dalam
perteorian antropologi modern”. Dalam pandangan ini, secara tersirat terlihat satu
asumsi yang dimiliki oleh hampir keseluruhan dari kita. Konsep budaya (culture)
tidak punya satu arti yang benar, dikeramatkan dan tak pernah habis kita coba
temukan.

Dalam konsep kebudayaan, dapat dibedakan menjadi 2 yaitu kebudayaan


sebagai sistem adaptif dan kebudayaan sebagai sistem ideasional.

1. Kebudayaan Sebagai Sistem Adaptif

Satu perkembangan penting dalam teori kultural berasal dari aliran yang
meninjau kebudayaan dari sudut pandangan evolusionari. Kebudayaan sebagai
sistem adaptif merupakan evolusi kebudayaan. Satu jembatan antara kajian-
kajian tentang evolusi makhluk hominid (seperti Aus- tralopithecus dan
Pithecanthropus) dan kajian-kajian tentang kehidupan sosial manusia telah
membawa kita kepada pandangan yang lebih jelas bahwa pola bentuk biologis
tubuh manusia adalah “open ended”, dan mengakui bahwa cara penyempurnaan
dan penyesuaiannya melalui proses pembelajaran kultural (cultural learning)
memungkinkan manusia untuk membentuk dan mengembangkan kehidupan
dalam lingkungan ekologi tertentu.Penerapan satu model evolusionari seleksi-
alam atas dasar biologis terhadap bangunan kultural telah membuat ahliahli
antropologi bertanya dengan kearifan yang makin tinggi tentang cara
bagaimana komuniti manusia mengembangkan pola-pola kultural tertentu.

Menurut Keesing ,Pertama setiap pemikiran kebudayaan sebagai sistem


adaptif bahwa apabila kita menguliti lapisan konvensi kultural maka pada
akhirnya kita akan menemukan Primal man dan keadaan manusia yang bugil di
dasarnya, merupakan pemikiran yang steril dan berbahaya. Kita memerlukan satu
model interaksional yang kompleks, bukan satu lapisan yang sederhana seperti
itu. Jadi yang dimaksud oleh Keesing ialah dalam meneliti tentang suatu budaya
diperlukan pemikiran yang sangat serius tidak bisa diungkapan dengan biasa –
biasa saja dan sederhana sekali, apabila kita mencoba untuk meneliti dan
mengamati secara lebih dalam maka yang kita dapatkan ialah sesuatu yang
murni, oleh itu dikatakan olehnya “merupakan pemikiran yang steril dan
berbahaya”. Kebudayaan itu bersifat dinamis namun sangat berhati – hati dalam
menentukan proses selanjutnya.
Kedua, baik determinisme ekologis maupun determinisme kultural sekarang
dapat didukung oleh kepercayaan dan ideologi, tetapi tidak oleh ilmu
pengetahuan yang arif bijaksana. Pemahaman kita tentang apa yang membuat
makhluk manusia jadi “manusia” dan bagaimana budaya berevolusi tidak ayal
lagi akan terbuka dan berubah secara mengagumkan dalam beberapa tahun yang
akan datang.

Dari sudut pandang teori kultural, perkembangan penting telah muncul dari
pendekatan evolusionari/ekologis terhadap budaya sebagai sistem adaptif.
Kebudayaan sebagai sistem adaptif merupakan kebudayaan yang hubunganya
antara manusia dengan alam,di dalam kebudayaannya terdapat penyesuaian atau
adaptasi terhadap seleksi alam. Sistem atau kebudayaan yang menghubungkan
manusia dengan lingkungan ekologi. Kompenen sistem adaptif mempunyai
konsep adaptif dalam kebudayaan.

2. Teori-Teori Ideasional Mengenai Budaya

Berlawanan dengan ahli teori adaptasi tentang budaya, yang


beranekaragam adalah sejumlah ahli teori yang melihat budaya sebagai sistem
ideasional. Teori ini adalah teori yang dipegang oleh Keesing dalam setiap
materinya ia menyebutkan tentang Ideasional yaitu budaya berperan sebagai
sistem ide (gagasan), dan teori ini bertolak dengan ahli teori adaptasi tentang
budaya. Ia membedakan tiga cara yang khas dalam mendekati budaya sebagai
sistem ide (gagasan), yaitu sebagai berikut :

a. Budaya Sebagai Sistem Kognitif

Maksudnya ialah budaya itu sebagai pengetahuan (cognitif). Jadi


budaya bukan sekedar untuk hiasan saja dalam kehidupan seseorang, tetapi
dengan mempelajari budaya, kita juga turut mempelajari suatu pengetahuan.
Oleh karena itu Keesing mengatakan bahwa budaya tidak didukung oleh
ilmu pengetahuan yang arif bijaksana sebab dengan kebudayaan itulah kita
mempelajari suatu ilmu pengetahuan yang arif bijaksana itu. Kebudayaan
terdiri atas segala sesuatu yang hrus diketahui atau dipercayai seseorang
agar dia dapat berperilaku dalam cara yang dapat diterima oleh anggota-
anggota masyarakat. Menurut Good enough Budaya adalah bentuk ha-hal
yang ada dalam pikiran(mind) manusia, model-model yang dipunyai manusia
unutk menerima ,menghubungkan, dan kemudian menafsirkan suatu
fenomena.

Dengan konsep yang seperti ini, bahasa adalah satu subsistem dari
budaya, dan peneliti antropologi kognitif berharap bahwa metode-metode
dan model-model linguistik juga memadai untuk digunakan oleh bidang
budaya yang lain. Budaya secara epistemologi berada dalam ranah yang sama
dengan bahasa. Metode-metode dan model-model linguistik yang relevan
digunakan.

b. Budaya Sebagai Sistem Struktural

Yang mempengaruhi susunan atau tatanan yang terpola secara


kultural ialah pikiran (mind). Struktur pemikiran – pemikiran yang meliputi
tentang bahasa, adat istiadat yang berbeda antara masyarakat itu
dipandang sebagai “Budaya”, yaitu bersifat universal yang semua
masyarakat di dunia ini mempunyai kebudayaan tersebut, dari pada “sistem
budaya” yang bersifat lokal. Oleh karena itu setiap budaya pada masing –
masing masyarakat berbeda di seluruh dunia karena pikiran mereka yang
menyebabkan kebudayaan itu berbeda satu sama lain. Menurut Levi-Strauss
memandang budaya sebagai sistem simbolik yang dimiliki bersama dan
merupakan ciptaan pikiran secara kumulatif.

c. Budaya Sebagai Sistem Simbolik

Kebudayaan adalah dengan cara memandang kebudayaan –


kebudayaan sebagai sistem makna dan simbol yang dimiliki bersama.
Kebudayaan itu tidak dimiliki individu namun dimiliki bersama oleh suatu
masyarakat. Clifford Geertz menganggap pandangannya tentang budaya
adalah semiotik. Mempelajari budaya adalah berarti mempelajari aturan-
aturan makna yang dimiliki bersama. Kebudayaan sebagai sistem simbol
yang bermakna. Makna tidak terlihat di “dalam kepala orang”. Budaya
menurut Schneider adalah satu sistem simbol dan makna dimiliki bersama
oleh anggota masyarakat ,terletak dalam relasi diantara mereka ,bukan di
dalam diri mereka. Simbol dan makna bersifat umum(public), bukan pribadi
(privat). Mempelajari budaya berarti mempelajari aturan-aturan makna
yang dimiliki bersama. Cara – cara bagaimana garis acuan biologis
ditransformasikan dan dikembangkan ke dalam pola – pola kultural; dan ini
memerlukan rencana penelitian yang imajinatif dan hati – hati dalam
penyelidikan yang telaten. Jadi yang dimaksud Keesing ialah kebudayaan
tidak dapat diukur dalam ilmu pengetahuan dan tidak dapat jika kita
berpegang teguh dengan ilmu pengetahuan, tetapi kebudayaan itu diukur
melalui kepercayan dan ideologi – ideologi masyarakat yang berbudaya.
Serta dalam meneliti kebudayaan bukanlah untuk mencari suatu ketenaran
atau sensasi melainkan untuk mendapatkan hal – hal yang diperlukan dan
berguna bagi masyarakat luas dengan cara melakukan penelitian yang
imajinatif dan hati – hati.

Mempelajari budaya berarti mempelajari aturan-aturan makna


yang dimiliki bersama. Dengan meminjam satu arti “text” yang lebih luas
dari Ricoeur, Geertz pada masa akhir-akhir ini menganggap satu
kebudayaan sebagai “satu kumpulan teks”.Karena itu antropologi
merupakan satu usaha interpretation (penafsiran) bukan usaha
decipherment (menguraikan dengan cara memecah- mecah) di sini Geertz
mempertentangkan pendekatannya terhadap Levi-Strauss. Penafsiran teks
kultural adalah pekerjaan yang memerlukan waktu dan sulit. Bagaimana
satu kebudayaan(sebagai satu kumpulan teks) dapat dirangkum bersama,
belum pernah dikerjakan dengan jelas. Mungkin Geertz akan setuju bahwa
kita masih pada tingkat awal dalam usaha menemukan hal tersebut.

B. UNSUR-UNSUR KEBUDAYAAN

Sementara ahli kebudayaan memandang kebudayaan sebagai suatu strategi


(van Peursen, 1976: 10). Salah satu strategi adalah memperlakukan (kata/istilah)
kebudayaan bukan sebagai “kata benda” melainkan “kata kerja.” Kebudayaan bukan
lagi semata-mata koleksi karya seni, buku-buku, alat-alat, atau museum, gedung,
ruang, kantor, dan benda-benda lainnya. Kebudayaan terutama dihubungkan dengan
kegiatan manusia (van Peursen, 1976: 11) yang bekerja, yang merasakan, memikirkan,
memprakarsai dan menciptakan. Dalam pengertian demikian, kebudayaan dapat
dipahami sebagai “hasil dari proses-proses rasa, karsa dan cipta manusia.” Dengan
begitu, “(manusia) berbudaya adalah (manusia yang) bekerja demi meningkatnya
harkat dan martabat manusia. Strategi kebudayaan yang menyederhanakan praktek
operasional kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari dan kebijakan sosial dilakukan
dengan menyusun secara konseptual unsur-unsur yang sekaligus merupakan isi
kebudayaan.

Unsur-unsur kebudayaan tersebut bersifat universal, yakni terdapat dalam


semua masyarakat di mana pun di dunia, baik masyarakat “primitif” (underdeveloped
society) dan terpencil (isolated), masyarakat sederhana (less developed society) atau
prapertanian (preagricultural society), maupun masyarakat berkembang (developing
society) atau mengindustri (industrializing society) dan masyarakat maju (developed
society) atau masyarakat industri (industrial society) dan pascaindustri
(postindustrial society) yang sangat rumit dan canggih (highly complicated society).
Unsur-unsur tersebut juga menunjukkan jenis-jenis atau kategori-kategori
kegiatan manusia untuk “mengisi” atau “mengerjakan,” atau “menciptakan”
kebudayaan sebagai tugas manusia diturunkan ke dunia sebagai “utusan” atau
khalifah untuk mengelola dunia dan seisinya, memayu hayuning bawana – tidak
hanya melestarikan isi alam semesta melainkan juga merawat, melestarikan dan
membuatnya indah.

Menurut C. Kluckhohn dan Koentjaraningrat terdapat tujuh unsur


kebudayaan, yaitu:

1. Sistem bahasa

Bahasa adalah sistem tanda bunyi yang secara sukarela dipergunakan oleh
anggota kelompok sosial untuk bekerjasama, berkomunikasi, dan
mengidentifikasikan diri. Bahasa adalah alat utama dalam berinteraksi dan
menyampaikan informasi, gagasan, perasaan, dan nilai-nilai budaya. Bahasa juga
mencerminkan identitas dan karakteristik suatu kelompok budaya. Setiap bahasa
memiliki struktur, tata bahasa, kosakata, dan variasi yang khas.

2. Sistem organisasi kemasyarakatan

Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial adalah pola hubungan antara


individu atau kelompok dalam masyarakat. Sistem kemasyarakatan atau
organisasi sosial mencakup struktur sosial, lembaga sosial, norma sosial, nilai
sosial, status sosial, peran sosial, dan sebagainya. Sistem kemasyarakatan atau
organisasi sosial bertujuan untuk mengatur dan mengintegrasikan anggota
masyarakat dalam mencapai tujuan bersama.

3. Sistem religi dan upacara keagamaan

Sistem religi adalah sistem kepercayaan dan ibadah yang berkaitan dengan
hal-hal yang bersifat sakral, transenden, dan gaib. Sistem religi mencakup
doktrin, ritual, simbol, mitos, etika, dan organisasi keagamaan. Sistem religi
berfungsi sebagai sumber nilai, motivasi, penghiburan, dan pengendalian sosial
bagi manusia. Sistem religi juga berpengaruh terhadap pandangan hidup dan
sikap manusia terhadap alam semesta.

4. Sistem kesenian

Kesenian adalah segala bentuk karya yang mengandung nilai estetika dan
ekspresi jiwa manusia. Kesenian mencakup seni rupa, seni musik, seni tari, seni
teater, seni sastra, seni film, dan sebagainya. Kesenian berperan sebagai sarana
komunikasi, pendidikan, hiburan, kritik sosial, dan pelestarian budaya. Kesenian
juga mencerminkan keindahan, keunikan, dan kekayaan budaya suatu bangsa.

5. Sistem pengetahuan

Sistem pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang


benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Sistem pengetahuan meliputi ruang
lingkup pengetahuan ilmiah, filsafat, agama, mitos, legenda, dan sebagainya.
Sistem pengetahuan berfungsi sebagai pedoman bagi manusia dalam memahami
dan menginterpretasikan realitas. Sistem pengetahuan juga berperan dalam
membentuk sikap dan perilaku manusia terhadap lingkungan.

6. Sistem mata pencaharian hidup

Sistem mata pencaharian hidup adalah cara-cara yang dilakukan manusia


untuk memperoleh sumber penghidupan. Sistem mata pencaharian hidup
mencakup aktivitas ekonomi seperti produksi, distribusi, pertukaran, konsumsi
barang dan jasa. Sistem mata pencaharian hidup dipengaruhi oleh faktor-faktor
geografis, demografis, politik, hukum, budaya, dan sebagainya. Sistem mata
pencaharian hidup menentukan tingkat kesejahteraan dan kualitas hidup
manusia.

7. Sistem peralatan dan tehnologi

Sistem peralatan hidup dan teknologi adalah segala bentuk benda buatan
manusia yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sistem peralatan
hidup dan teknologi mencakup alat-alat produksi, konsumsi, transportasi,
komunikasi, pertahanan, hiburan, dan sebagainya. Sistem peralatan hidup dan
teknologi menunjukkan tingkat kemajuan dan kreativitas manusia dalam
memanfaatkan sumber daya alam.

Kebudayaan adalah hasil karya manusia dalam kehidupan bermasyarakat


yang mencakup segala aspek kehidupan. Kebudayaan terdiri dari tujuh unsur
kultural universal, yaitu bahasa, sistem pengetahuan, sistem kemasyarakatan atau
organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian
hidup, sistem religi, dan kesenian. Unsur-unsur kebudayaan saling berkaitan dan
mempengaruhi satu sama lain dalam membentuk identitas dan karakteristik suatu
kelompok budaya.

C. WUJUD KEBUDAYAAN

Kebudayaan manusia memiliki beberapa wujud. Menurut Jphn J. Honigmann


dalam buku The World of Man (1959) menyebutkan wujud kebudayaan ada tiga yaitu
ideas (gagasan), activities (aktivitas), dan artifact (artefak).

1. Wujud kebudayaan sebagai gagasan (wujud ideal)

Wujud kebudayaan sebagai gagasan adalah wujud yang ideal yang sifatnya
abstrak. Artinya kebudayaan dala wujud ideal tidak dapat disentuh maupun raba
karena terletak di dalam pikiran manusia. Wujud kebudayaan sebagai gagasan
berupa nilai-nilai, norma-norma, peraturan, kepercayaan, ide-ide, ideologi,
falsafah, maupun gagasan yang tertanam di dalam akal manusia. Gagasan dalam
suatu kebudayaan selalu berkaitan satu-sama lain membentuk sistem budaya.

2. Wujud kebudayaan sebagai aktivitas (tindakan)

Wujud kebudayaan sebagai aktivitas adalah tindakan yang sifatnya konkret


karena dapat dilihat, diamati, dan juga didokumentasikan. Kebudayaan sebagai
aktivitas dilihat melalui tindakan berpola yang dilakukan masyarakat. Pola
tersebut menunjukkan bagaimana masyarakat dalam suatu kebudayaan
berperilaku menurut adat istiadat mereka. Sehingga wujud kebudayaan sebagai
aktivitas juga sering disebut dengan sistem sosial dalam suatu masyarakat yang
berbudaya. Sistem sosial kebudayaan menunjukkan bagaimana manusia dalam
suatu kebudayaan saling berinteraksi, berperilaku dalam kehidupan sehari-hari,
dan aktivitas-aktivitas manusia lainnya. Contohnya adalah upacara adat, tari
tradisional, dan kebiasaan.

3. Wujud kebudayaan sebagai artefak (karya)

Abidin, Yusuf Zaenal, dan Beni Ahmad Saebani dalam buku Pengantar Sistem
Sosial Budaya di Indonesia (2014) menyebutkan wujud kebudayaan sebagai
artefak atau karya sifatnya paling konkret di antara ketiga wujud kebudayaan.
Hal tersebut karena artefak merupakan bentuk fisik kebudayaan manusia yang
bisa dilihat, diraba, juga didokumentasikan.

Wujud kebudayaan sebagai artefak adalah segala sesuayi benda fisik yang
dihasilkan dari aktivitas manusia, sehingga sering juga disebut dengan
kebudayaan fisik. Contoh wujud kebudayaan sebagai artefak adalah prasasti,
naskah kuno, candi, patung, alat musik daerah, ornamen dan ragam hias, senjata
tradisional, juga benda-benda peninggalan sejarah lainnya.

D. KERAGAMAN BUDAYA

Budaya merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia yang selalu melekat
dalam kehidupan sehari-hari. Wujud kebudayaan dapat dikenali berdasarkan unsur-
unsurnya, seperti bahasa, sistem organisasi, sistem religi, pengetahuan, kesenian,
dan mata pencaharian manusia. Kebudayaan turut menjadi pedoman laku hidup
keseharian suatu masyarakat.

Kebudayaan manusia di suatu tempat lazimnya berbeda dari tempat lainnya.


Hal tersebut, misalnya, dapat dilihat di wilayah Indonesia yang memiliki banyak
sekali perbedaan, mulai dari bahasa sampai mata pencaharian, dari Sabang sampai
Merauke. Beragam kebudayaan itu eksis dan terbentuk dari beberapa aspek yang
mempengaruhinya. Perbedaan budaya antara satu wilayah dengan wilayah yang lain
dipengaruhi faktor-faktor yang terdapat pada wilayah tersebut. Di antara faktor-
faktor itu adalah faktor geografis yang berkaitan dengan kondisi alam, serta
mempunyai keterkaitan langsung maupun tidak langsung dengan kehidupan
manusia.

Faktor-faktor geografis mempunyai andil dalam membentuk keragaman


budaya pada suatu masyarakat. Sebagaimana dikutip dari buku Tradisi Sekura Cakak
Buah Masyarakat Adat Saibatin Dalam Kaca Mata Geografi (2021), terdapat delapan
faktor yang mempengaruhi kebudayan manusia, terdiri atas faktor lokasi, jenis iklim,
relief permukaan bumi, tipe tanah, jenis flora dan fauna, kondisi air, sumber mineral,
dan kontak dengan lautan. Penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut adalah
sebagai berikut:

1. Lokasi

Lokasi merupakan letak atau titik spesifik suatu tempat dalam suatu
wilayah. Dengan demikian, ada unsur relasi keruangan, seperti posisi dan jarak
suatu tempat dengan tempat lainnya. Sebagai misal, Indonesia adalah negara
yang terletak di antara dua benua dan dua samudera. Dengan berada di lokasi
tersebut, Indonesia memiliki keuntungan lalu lintas perniagaan yang melewati
jalur maritim. Pada akhirnya, kesadaran akan kondisi ini mendorong daya cipta,
rasa, dan karsa masyarakat di wilayah tersebut untuk memanfaatkannya.

2. Jenis Iklim

Jenis iklim dipengaruhi letak suatu wilayah, yang juga akan menentukan
pola perilaku masyarakat. Sebagai misal, iklim daerah pegunungan dan pesisir
memiliki karakteristiknya masing-masing. Pada perilaku sehari-hari, iklim akan
mempengaruhi cara berpakaian masyarakat. Contohnya, orang-orang yang
tinggal di daerah iklim dingin pegunungan cenderung berpakaian tebal,
sementara masyarakat yang tinggal di daerah pesisir cenderung berpakaian
tipis.

3. Bentuk Relief

Bentuk relief mempengaruhi kebudayaan masyarakat, misalnya dalam hal


mobilitas masyarakat. Orang-orang yang tinggal di daerah relief perbukitan
cenderung memilih berjalan kaki ketika berpindah dari satu tempat ke tempat
lain. Sementara itu, masyarakat yang tinggal di daerah dekat sungai cenderung
menggunakan perahu sebagai moda transportasi mereka.

4. Tipe Tanah

Tipe tanah menentukan kesuburan tanah di suatu wilayah. Tanah berkapur


di bentang lahan karst cenderung membentuk daerah yang kurang produktif
untuk pertanian. Di sisi lain, tanah berkapur lahan karst menyajikan bentang
alam yang eksotis sehingga dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata. Berbeda
pula bagi masyarakat yang hidup di kaki gunung dengan tipe tanah subur untuk
pertanian. Kondisi ini membangun pola perilaku dan sistem mata pencaharian
yang berbeda. Akibatnya terjadi keragaman regional antardaerah di Indonesia.

5. Jenis Flora dan Fauna

Pemanfaatan beragam flora dan fauna bertujuan untuk memenuhi


kebutuhan pangan manusia. Lebih lanjut lagi, keragaman pangan flora dan
fauna juga akan mempengaruhi nutrisi masyarakat. Sebagai misal, masyarakat
Maluku kerap memanfaatkan kekayaan lautan dan tanaman sagunya. Sementara
itu, masyarakat Jawa dengan ketela dan ikan wadernya.

6. Kondisi Air

Faktor ini menentukan dapat tidaknya suatu wilayah dihuni dengan layak
sehingga menjadi faktor krusial bagi lahirnya peradaban manusia.

7. Sumber-sumber Mineral

Sumber mineral merupakan potensi alam dari bahan galian yang ada dalam
perut bumi. Pemanfaatannya dilakukan melalui proses pertambangan
(eksploitasi). Kondisi geografis Indonesia mendukung kekayaan bahan mineral
yang tersebar di daratan atau dasar laut. Persebaran jumlah dan jenis sumber
daya mineral Indonesia tidak merata, tergantung kondisi batuan induk di setiap
daerah.

8. Kontak dengan Lautan

Kontak dengan lautan sangat penting bagi peradaban manusia. Orang-


orang yang tinggal di daerah pesisir biasanya lebih sering berinteraksi dengan
budaya wilayah-wilayah lain.

Pertemuan dengan kebudayaan luar mempengaruhi proses asimilasi


kebudayaan yang ada di Indonesia sehingga menambah ragam jenis kebudayaan yang
ada di Indonesia. Faktor-faktor geografis di atas turut membentuk kebudayaan
masyarakat di berbagai wilayah. Namun, tidak bisa dimungkiri faktor geografis
bukan sebagai faktor tunggal.

Ada beberapa pandangan lain tentang pengaruh geografis terhadap


kebudayaan masyarakat, di antaranya pandangan determinisme lingkungan dan
posibilisme.

Pertama, determinisme lingkungan menyatakan bahwa lingkungan secara


mekanis menentukan terbentuknya suatu budaya. Dalam pandangan ini, diyakini
bahwa lingkungan dan kehidupan di dalamnya tetap ada dan tidak berubah.
Berdasarkan hal itu, lingkungan menjadi faktor tunggal yang menentukan suatu
kebudayaan.

Kedua, pandangan determinisme berbeda dengan pandangan posibilisme.


Menurut pandangan posibilisme, kondisi lingkungan alam bukan faktor dominan
yang menentukan kebudayaan, melainkan faktor pengendali yang memberikan
kemungkinan atau peluang yang memengaruhi kebudayaan manusia.

Lingkungan alam hanya memberikan kemungkinan tertentu atas lahirnya


suatu kebudayaan. Kedua pandangan ini menunjukkan bahwa faktor geografis
berpengaruh terhadap keragaman budaya. Selain letak geografis, faktor lain yang
mempengaruhi keragaman budaya masyarakat Indonesia adalah masuknya berbagai
kebudayaan dunia ke dalam kebudayaan-kebudayaan suku bangsa yang sudah ada.
Bagi Indonesia, pengaruh budaya luar (budaya asing) sudah terjadi sejak zaman
dahulu. Keanekaragaman budaya di Indonesia juga diperkaya dengan kehadiran
pendukung kebudayaan dari bangsa-bangsa lain sejak berabad-abad yang lalu, mulai
dari penjajahan, hubungan perdagangan, penyebaran agama, dan sebagainya.

E. EKSPRESI BUDAYA

Cerita rakyat (Putri Mandalika/Putri Nyale)

Cerita legenda Putri Mandalika mengisahkan tentang seorang perempuan


dari suku Sasak bernama Putri Mandalika. Putri Mandalika dikepung oleh berbagai
pinangan dari para pangeran. Namun dengan alasan yang kuat, dia menolak semua
pinangan yang datang padanya. Asal cerita Putri Mandalika yakni dari pulau Lombok,
Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Legenda Putri Mandalika ini dipercaya
sebagai asal mula dari adanya tradisi Bau Nyale di Lombok. Legenda Putri Mandalika
menjadi warisan budaya yang tak ternilai bagi masyarakat Lombok. Setiap tahun,
perayaan Bau Nyale menarik perhatian tidak hanya dari warga lokal tetapi juga
wisatawan dari berbagai penjuru, menciptakan momen berharga dalam merayakan
identitas dan warisan budaya yang kaya. Untuk memahami lebih lanjut tentang
cerita Putri Mandalika, simak penjelasan tentang tokoh yang ada dalam cerita Putri
Mandalika, rangkuman cerita Putri Mandalika serta amanat dan pesan moral yang
terkandung dalam cerita.

1. Tokoh dalam Cerita Legenda Putri Mandalika

Dalam cerita legenda Putri Mandalika, terdapat beberapa tokoh utama yang
memainkan peran penting. Para tokoh ini memengaruhi alur cerita sekaligus
pesan moral yang diusung dalam cerita. Berikut ini tokoh yang ada dalam cerita
Putri Mandalika.

Putri Mandalika

Putri Mandalika adalah tokoh utama cerita, seorang putri dari Kerajaan
Sekar Kuning di Pulau Lombok. Dia digambarkan sebagai wanita cantik,
bijaksana, dan rendah hati. Keputusannya untuk mengorbankan dirinya sendiri
demi mencegah konflik dan perang menunjukkan sifat kepemimpinan dan
pengorbanan yang tinggi.

Raja dan Ratu

Orang tua Putri Mandalika, yaitu Raja Tonjang Beru dan Dewi Seranting.
Meskipun peran mereka dalam cerita mungkin tidak begitu mendalam,
kehadiran mereka menunjukkan keluarga kerajaan yang mencintai Putri
Mandalika.

Para Pangeran

Sejumlah pangeran dari berbagai kerajaan yang datang untuk meminang


Putri Mandalika. Mereka digambarkan sebagai sosok yang tamak dan sombong,
dan penolakan Putri Mandalika terhadap mereka menunjukkan kebijaksanaan
dan keputusan moral yang kuat.

2. Ringkasan Cerita Legenda Putri Mandalika

Pada zaman dahulu, di pulau Lombok, terdapat tiga kerajaan yang saling
berdekatan dan hidup dalam damai. Salah satu kerajaan, Sekar Kuning, dipimpin
oleh Putri Mandalika, seorang wanita cantik, bijaksana, dan baik hati.
Kecantikan dan kebaikan Putri Mandalika menyebar luas, menarik perhatian
banyak pangeran dan raja, termasuk Raja Johor dan Raja Bumbang. Raja Johor
dan Raja Bumbang mengirim utusan untuk melamar Putri Mandalika. Namun,
melihat potensi konflik dan peperangan yang mungkin terjadi akibat pilihan
tersebut, Putri Mandalika merasa bimbang. Dia tidak ingin rakyatnya menderita
dan mengalami kekacauan. Akhirnya, Putri Mandalika mengambil keputusan
drastis. Dia mengundang semua raja, pangeran, dan rakyat ke pantai Seger pada
tanggal tertentu. Di sana, dia berdiri di atas batu besar dan menyatakan bahwa
kebahagiaan yang diinginkannya adalah keberlanjutan perdamaian dan
kemakmuran semua kerajaan. Tanpa ragu, dia melempar dirinya ke laut.
Kejadian tersebut menyisakan rasa duka mendalam di antara semua yang hadir.
Namun, tiba-tiba, dari laut muncul cacing laut yang menyala, yang diyakini
sebagai penjelmaan Putri Mandalika, disebut nyale. Tradisi penangkapan nyale
masih dilestarikan oleh masyarakat NTB, khususnya di Lombok Tengah, sebagai
penghormatan terhadap legenda Putri Mandalika.

3. Amanat dan Pesan Moral Cerita Legenda Putri Mandalika

Cerita legenda Putri Mandalika mengandung beberapa pesan moral dan


amanat yang dapat diambil. Berikut adalah ringkasan dari pesan moral dan
amanat yang terdapat dalam cerita Putri Mandalika. Ada beberapa moral cerita
pelajaran yang bisa dipetik dari kisah Putri Mandalika. Dari Putri Mandalika,
kita belajar untuk bersikap rendah hati dan memikirkan orang lain meski
dikaruniai banyak kelebihan dalam hidup. Ada juga teladan dari raja dan ratu
untuk selalu mengambil keputusan bijaksana demi kebaikan banyak pihak, di
sisi lain tetap ikhlas dan berserah diri pada putusan Yang Maha Kuasa.
Sedangkan dari para pangeran ada amanat untuk menjauhkan diri dari
kesombongan dan perilaku narsistik yang hanya akan membawa musuh untuk
diri sendiri.

Sifat rela Berkorban

Putri Mandalika menunjukkan sifat rela berkorban yang tinggi dengan


mengorbankan dirinya sendiri demi mencegah perang dan peperangan antar
kerajaan. Amanat dari kisah ini adalah pentingnya pengorbanan tanpa pamrih
demi kebaikan bersama.

Pentingnya kedamaian dan kerukunan

Putri Mandalika menolak pinangan para pangeran untuk mencegah konflik


dan pertumpahan darah di antara mereka. Cerita ini memberikan pesan moral
tentang pentingnya menjaga kedamaian dan kerukunan di antara masyarakat.
Amanatnya adalah untuk menghindari perpecahan dan konflik yang dapat
merugikan banyak orang.

Kebijaksanaan dalam mengambil keputusan

Putri Mandalika mengambil keputusan besar dengan penuh kebijaksanaan,


menyadari konsekuensi dari setiap pilihannya. Amanat dari cerita ini adalah
pentingnya kebijaksanaan dalam menghadapi situasi sulit dan membuat
keputusan besar.

Penghargaan terhadap tradisi dan budaya

Cerita legenda Putri Mandalika menjadi bagian integral dari tradisi dan
budaya masyarakat Lombok. Amanatnya mencakup penghargaan terhadap
warisan budaya dan tradisi, seperti yang tercermin dalam perayaan tahunan Bau
Nyale.

4. Penerapan Dalam Dunia Pendidikan

Adapun penerapan cerita putri mandalika dalam dunia pendidikan adalah


pada eskul theater sebagai pentas seni drama putri nyale, dalam mata pelajaran
bahasa indonesia cerita rakyat, mata pelajaran sejarah, dan mata pelajaran seni
budaya.
DAFTAR PUSTAKA

Alexander, Paul. Ed. 1989. Creating Indonesian Cultures. Sydney: Oceania Publications.

Dyastriningrum. 2009. Antropologi Kelas XI. Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen


Pendidikan Nasional.

Faktor Geografis Indonesia yang Mempengaruhi Keragaman Budaya, https://tirto.id/goiE.

Koentjaraningrat (Redaksi). 1971. 1993. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:


Djambatan.

Koentjaraningrat. (1992). Kebudayaan Mentaliet dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia


Pustaka Utama.

Peursen, C. A. Van. 1976. Strategi Kebudayaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia; Yogyakarta:
Kanisius.

Unsur-Unsur Kebudayaan dalam Masyarakat dan Penjelasan [Lengkap].


https://www.zonareferensi.com/unsur-unsur-kebudayaan/.

Anda mungkin juga menyukai