Anda di halaman 1dari 33

ETNO SASAMBO

KEBUDAYAAN SUKU SASAK


LOMBOK BARAT

Dosen Pengampu
Dr. Hamid Syukrie, ZM., M.Hum

Disusun Oleh:
1. Nanda Hadiah Tullah (E4E12310162)

2. Nila Aulia Safitri (E4E12310164)

3. Sri Hidrolaksmi (E4E12310179)

PENDIDIKAN PROFESI GURU PRAJABATAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MATARAM

2023
DAFTAR ISI

COVER ............................................................................................................................. 1

DAFTAR ISI...................................................................................................................... 2

1. CERITA RAKYAT ...................................................................................................... 3


1.1 Kisah Raja Kahuripan ......................................................................................... 3
2. PANTUN SASAK ......................................................................................................... 7
3. RITUAL ADAT ............................................................................................................ 8
3.1 Malean Sampi ..................................................................................................... 8
3.2 Perang Topat ....................................................................................................... 9
3.3 Roah Segare ........................................................................................................ 10
4. PERMAINAN TRADISIONAL ................................................................................. 11
4.1 Tolang Bage ........................................................................................................ 11
4.2 Dengklek ............................................................................................................. 11
4.3 Bledokan ............................................................................................................. 12
4.4 Benteng ............................................................................................................... 12
5. PAKAIAN ADAT ......................................................................................................... 13
6. TARIAN SUKU SASAK ............................................................................................. 15
6.1 Tari Gandrung .................................................................................................... 15
6.2 Tari Rudat ........................................................................................................... 18
7. RUMAH TRADISIONAL ........................................................................................... 20
7.1 Bagian-bagian Rumah ........................................................................................ 20
7.2 Tata Cara Membangun ....................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 33

2
1. CERITA RAKYAT SUKU SASAK

1.1 Kisah Raja Kahuripan

Di kaki Gunung Sasak, Lombok Barat, berdiri sebuah istana yang amat megah. Istana itu
adalah tempat kediaman Prabu Aria Pelabu, raja dari Kerajaan Kahuripan. Sang Prabu bersama
permaisuri dan kedua putri kesayangannya, Hina Manu dan Hina Hentar, hidup rukun dan bahagia
dalam istana itu. Namun sayang, kebahagiaan itu terasa masih kurang karena keinginan sang Prabu
dan permaisurinya untuk memiliki seorang anak laki-laki belum tercapai. Mereka sudah berusaha
dengan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, namun permohonan mereka belum juga
terkabulkan. Hal itu rupanya menjadi beban pikiran Prabu Aria Pelabu hingga terbawa ke dalam
mimpinya. Suatu malam, ia bermimpi menangkap seekor anak perkutut berbulu putih. Ia pun
merawat burung itu hingga besar. Suaranya amat merdu dan bulu-bulunya pun sangat indah. Suatu
ketika, tiba-tiba burung itu berubah menjadi ular berbisa dan menggigit san Prabu. Sejak itu, sang
Prabu selalu duduk termenung memikirkan memikirkan mimpinya.

“Ya, Tuhan. Apakah mimpi ini pertanda buruk bagiku?” pikirnya, “Ah, semoga saja tidak
akan terjadi sesuatu pada diriku dan keluargaku. Ini hanya sebuah mimpi.” Prabu Aria Pelabu
sudah berusaha menepis bayangan tentang mimpi itu, namun pikirannya masih saja gelisah. Untuk
menenangkan diri, sang Prabu mengajak permaisuri dan kedua putrinya untuk menangkap ikan di
muara Sungai Dodokan. Ia juga mengajak patih, punggawa, dan pendeta istana. Kegiatan
menangkap ikan itulah satu-satunya cara yang biasa dilakukan sang Prabu untuk menghibur
hatinya ketika sedang gelisah. Sejak kecil, sang Prabu memang sangat gemar menangkap ikan.
Setelah menyiapkan semua perbekalan yang diperlukan, berangkatlah Prabu Aria Pelabu bersama
rombongan. Menjelang tengah hari, rombongan itu akhirnya tiba di muara Sungai Dodokan.
Setelah beristirahat sejenak sambil menikmati bekal makanan, sang Prabu bersama permaisuri dan
kedua putrinya pergi ke muara.

“Mari kita ke muara,” ajak sang Prabu, “Kawanan ikan biasanya bergerombol di tempat
itu.” Permaisuri dan kedua putrinya pun menuruti ajakan sang Prabu. Setiba di muara itu, tiba-tiba
Putri Hina Manu melihat sebuah peti yang berukir indah terapung-apung di permukaan air. “Hai,
lihat! Ada peti hanyut!” teriak Putri Hina Manu sambil menuju ke arah peti itu. “Hai, peti apa itu?”

3
tanya sang Prabu penasaran, “Patih, cepat angkat peti itu!” “Baik, Baginda,” jawab patih seraya
mengangkat peti itu dan membawanya ke hadapan sang Prabu. Alangkah terkejutnya sang Prabu
dan permaisuri setelah patih membuka peti itu. Di dalamnya terdapat seorang bayi laki-laki yang
amat tampan dan sehat. “Lihat, Kanda! Bayi ini tampan sekali. Aku yakin ia bukanlah anak orang
biasa,“ seru Permaisuri, “Petinya berukiran amat indah. Selimutnya terbuat dari sutra yang halus
dan alas tidurnya pun dari songket yang mahal.”

Melihat ketampanan bayi itu, permaisuri pun tertarik ingin merawatnya. “Kanda,
sebaiknya kita bawa pulang saja bayi ini. Aku ingin sekali merawat dan membesarkannya,” ujar
permaisuri. Prabu Aria Pelabu sejenak termenung, lalu memerintahkan pendeta untuk memberkati
bayi itu sebelum mengangkatnya sebagai anak. Sebelum pemberkatan dimulai, sang Prabu
menceritakan perihal mimpinya kepada pendeta itu. Mendengar cerita sang Prabu, pendeta itu
akhirnya tidak jadi memberkati bayi itu seraya memberi saran kepada sang Prabu agar tidak
mengambil bayi itu. “Ampun, Baginda. Sebaiknya Baginda tidak mengangkat bayi ini sebagai
anak. Kelak setelah dewasa, ia akan membawa bencana bagi Baginda,” ujar pendeta itu.
Sebenarnya, Prabu Aria Pelabu ingin menuruti nasehat sang Pendeta. Namun, permaisurinya tetap
bersikeras untuk mengangkat bayi itu sebagai anak. “Kanda, bukankah sudah lama kita
menginginkan seorang anak laki-laki? Tapi, ketika Tuhan menganugerahi kita bayi laki-laki,
walaupun tidak lahir dari rahim Dinda, mengapa Kanda menolaknya?” kata sang Permaisuri.
“Benar, Ayahanda! Kami pun amat senang jika mempunyai adik laki-laki. Apalagi bayi ini lucu
sekali,” imbuh Putri Hina Manu.

Pria Aria Pelabu pun tak bisa berbuat apa-apa, kecuali menuruti keinginan permaisuri dan
kedua putrinya. Akhirnya, mereka pun membawa pulang bayi itu ke istana dan memberinya nama
Ki Rangga. Dalam asuhan sang Permaisuri, Ki Rangga diajari berbagai ilmu pengetahuan,
terutama ilmu bela diri sehingga tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan gagah perkasa. Ki
Rangga dinikahkan dengan seorang gadis cantik dari lingkungan bangsawan istana. Setelah itu, ia
diberi wilayah kekuasaan di ujung timur Kerajaan Kahuripan. Sejak itulah, Ki Rangga bersama
istri dengan dibantu sejumlah pengawal menjadi penguasa di wilayah timur kerajaan milik ayah
tirinya. Meskipun telah memiliki istri, Ki Rangga rupanya secara diam-diam jatuh hati kepada
kedua kakak angkatnya, Hina Manu dan Hina Hentar. Oleh karena itu, ia kerap berkunjung ke
Kerajaan Kahuripan dengan alasan urusan kerajaan. Padahal sebenarnya, maksud kunjungannya

4
ke kerajaaan itu hanya ingin bertemu dengan kedua kakak angkatnya itu. Suatu malam, Ki Rangga
menyelinap masuk ke dalam kamar Hina Manu dan Hina Hentar. Prabu Aria Pelabu yang
mendapat laporan tentang peristiwa tersebut menjadi marah dan murka kepada Ki Rangga. “Dasar,
anak tidak tahu diuntung! Diberi air susu malah dibalas dengan air tuba!” kata sang Prabu geram.

Tidak terima perlakuan Ki Rangga atas kedua putrinya, Prabu Aria Pelabu berniat untuk
menghukumnya. Namun karena Ki Rangga sakti mandraguna, sang Prabu terpaksa menggunakan
tipu muslihat. Alhasil, ia pun berhasil menangkap anak angkatnya itu dengan cara menjeratnya
dengan jala dan serat sutra. Ki Rangga kemudian dibawa ke istana dan diikat di bawah pohon besar
untuk dihukum gantung pada esok harinya. Namun, pada malam hari sebelum hari pelaksanaan
hukuman, Ki Rangga dapat melepaskan diri berkat kesaktiannya. Setelah itu, Ki Rangga bersama
istri dan para pengawalnya melarikan diri ke arah selatan menuju Pantai Tabua, Lombok Tengah,
yang merupakan wilayah kekuasaan Raja Pejanggi. Mengetahui akan hal itu, Prabu Aria Pelabu
pun meminta bantuan kepada Raja Pejanggi untuk menangkap Ki Rangga. Raja Pejanggi segera
mengirim para prajuritnya ke Pantai Tabua. Rupanya, para prajurit Pejanggi tersebut tidak sanggup
menghadapi kesaktian Ki Rangga. Dari duabelas prajut yang dikirim, hanya enam orang yang
berhasil selamat dan itu pun dalam keadaan cacat dan terluka parah. Mendengar kabar tersebut,
Prabu Aria Pelabu tidak putus asa. Ia segera meminta bantuan kepada dua pendekar bersaudara
Ari Pati dan Neq Dipati dari Batu Dendeng, yang terkenal sakti. Maka, berangkatlah kedua
pendekar itu ke Pantai Tabua. Setiba di sana, mereka langsung dihadang oleh para pengikut Ki
Rangga. Tidak begitu sulit bagi mereka mengalahkan pasukan Ki Rangga. Namun, ketika
menghadapi Ki Rangga, mereka justru kalah meskipun telah menggunakan keris pusaka mereka.
Untung mereka masih bisa menyelamatkan diri.

Keesokan harinya, Ari Pati dan Neq Dipati pun menyusun siasat agar bisa menangkap Ki
Rangga. Keduanya pun berembug untuk dapat mengelabui putra angkat sang Prabu itu. “Kanda,
siasat apa yang sebaiknya kita gunakan untuk mengalahkan kesaktian Ki Rangga?” tanya Neq
Dipati. Ari Pati hanya termenung. Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia pun menemukan sebuah
cara untuk mengelabui Ki Rangga. “Hmmm… aku tahu sekarang. Bukankah Ki Rangga itu suka
pada wanita-wanita cantik alias mata keranjang?” kata Ari Pati. “Benar, Kanda. Lalu, apa rencana
Kanda selanjutnya?” tanya Neq Dipati. “Sebaiknya kita menyamar menjadi gadis cantik lalu kita

5
bujuk Ki Rangga agar mau membuka rahasia kesaktiannya,” ujar Ari Pati. “Wah, itu siasat yang
bagus, Kanda,” kata Neq Dipati setuju.

Akhirnya, kedua pendekar bersaudara itu dengan kesaktiannya mengubah diri mereka
menjadi dua gadis cantik dan rupawan. Saat hari mulai gelap, berangkatlah kedua gadis cantik
palsu itu ke Pantai Tabua dengan mengenakan pakaian dan indah. Setiba di sana, keduanya silih
berganti membujuk Ki Rangga. Alhasil, Ki Rangga pun termakan oleh bujuk rayu mereka. Ia pun
menceritakan rahasia kesaktiannya bahwa dirinya dapat dibunuh jika berada di dalam kamar
tidurnya.

Setelah mengetahui rahasia itu, kedua gadis itu cepat-cepat berpamitan pulang. Rupanya
mereka tidak segera pulang, tetapi bersembunyi di sekitar tempat Ki Rangga menginap. Saat
tengah malam, Ki Rangga pun mulai mengantuk dan segera masuk ke dalam penginapannya. Pada
saat itulah, Ari Pati dan Neq Dipati segera mengubah kembali dirinya menjadi dua pendekar.
Setelah itu, keduanya segera menyerang Ki Rangga yang berada di dalam kamarnya. Pertarungan
sengit pun terjadi. Mulanya, Ki Rangga masih mampu melawan. Namun, karena dikeroyok oleh
dua pendekar sakti, akhirnya tubuhnya terkena tusukan keris pusaka milik Ari Pati. Racun pada
keris itu pun langsung menjalar ke seluruh tubuh Ki Rangga hingga berwarna biru kelam. Tak
berapa lama kemudian, Ki Rangga pun tewas dengan mengenaskan.

Nilai yang dapat dipetik dari cerita tersebut yaitu agar selalu berhati-hati dalam
menjalankan hidup karena ada kalanya yang baik dibalas dengan yang buruk. sebuah kehidupan
telah mendapat musibah yang terjadi karena sebuah pengkhianatan, untuk keselamtan diri sendiri
maka kita harus tetap berhati-hati.

6
2. PANTUN SASAK

PANTUN ARTI
NASIHAT
Lalo meken jok Perian Pergi kepasar Jarian

Bau pupak jari impan Cari rumput untuk pakan

Mun berajah pacu entan Kalau belajar harus sungguh-sungguh

Adek ne kenak kenjarian Supaya nasibmu baik dimasa depan

RELIGI
Kelak manis daun ketujur Memasak sayur manis daun turi

Manggis kataq arak sepempang Manggis mentah ada seranting

Epen tangis elek dalem kubur Yang punya tangis didalam kubur

Tangis awak dek wah sembayang Menangisi tubuh yang tak pernah beribadah

REMAJA
Buak bage buak manggis Buah asem buah manggis

Buaq manggis arak lime Buah manggis jumlahnya lima

Tengak malem ku tokol nangis Tengah malam ku duduk nangis

Tokol nangis ku kangen side Duduk nangis aku rindu kamu

ANAK
Peteng dendeng lek Penujak Gelap gulita di daerah Penujak

Gedeng lontar taok beguru Daun lontar tempat berguru

Redayang tiang gamaq inaq Relakan saya wahai ibu

Tiang lumbar pete ilmu Untuk saya pergi menuntut ilmu

7
3. RITUAL ADAT SUKU SASAK
3.1 Malean Sampi
Budaya Malean Sampi ini di Lombok biasanya digelar pada areal persawahan yang ada di
Kecamatan Lingsar dan Kecamatan Narmada. Lombok Barat. Dalam terminology bahasa Sasak
Malean Sampi artinya mengejar sapi. DI Lombok Malean Sampi merupakan wujud rasa syukur
para petani yang sudah selesai melaksanakan panen dan menyambut musim tanam berikutnya.
Ditengah kegembiraan petani dengan hasil produksi pertanian itulah, petani memilih jeda untuk
menggelar Malean Sampi yang dilaksanakan di area persawahan berlumpur. Malean sampi di
Lombok juga menjadi salah satu budaya turun-temurun yang dilestarikan hingga sekarang.
Kecuali itu gelaran Malean Sapi diselenggarakan untuk menyambut kegiatan musim tanam
berikutnya dan sebagai wadah bagi petani peternak untuk rekreasi, menghibur diri dan menjalin
hubungan silaturrahmi sesama petani peternak agar lebih kuat.

Dalam kontes Malean Sampi ini, para peserta selain berasal dari petani/peternak, juga
berasal dari para saudagar sapi se-Pulau Lombok. Sapi yang akan dilombakan terlebih dahulu
dikemas atau dihias dan dipercantik dengan sebaik-baiknya agar menarik perhatian penonton.
Hiasan tersebut bisa berupa bendera, stiker atau umbul-umbul kecil dan piranti pelengkap lainnya
indah dan elok dipandang mata. Sapi yang dikonteskan dalam ajang Malean Sampi biasanya
dipilih atau diambilkan dari yang pejantan yang tanduknya sudah kelihatan keras dan sudah
dibante (disuntik). Sistem bante dilakukan guna memudahkan para pemilik sapi dalam
mengajarkan cara bertanding yang semestinya. Sapi yang dikonteskan tersebut disandingkan jadi
satu pasar dan ditunggangi oleh joki yang tangguh dan berpengalaman.

Secara perlahan satu demi satu pasangan sapi ini dikonteskan dengan berlari melewati jalur
lurus yang sudah disiapkan dilahan berlumpur. Namun dalam Malean Sampi ini tidak
dikenal istilah menang dan kalah. Namun sapi yang larinya bagus, tak berbelok, maka praktis sapi
dimaksud akan menjadi incaran para saudagar sapi untuk dibeli dengan harga tinggi. Para saudagar
berani membeli sepasang sapi tersebut seharga Rp. 30-35 juta. Para petani tidak terkecuali para
dalam acara makan bersama secara ala Sasak yakni Begibung. Deretan dulang (baki tinggi)
diletakkan untuk. Mereka makan bersama-sama ala Sasak sebagai perwujudan kebersamaan dan
kekompakan masyarakat dengan lauq-pauq tradisional yang cukup sederhana.

8
3.2 Perang Topat

Desa Lingsar merupakan kawasan yang berada di kecamatan Lingsar Kabupaten Lombok
Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat. Lingsar memiliki upacara yang khas yang dilaksanakan
secara turun-temurun setiap tahun di Pura Lingsar. Mungkin hanya di Lingsar ditemukan umat
Islam dan umat Hindu melaksanakan acara besar bersama-sama di tempat dan waktu yang sama.
Keberadaan Pura Lingsar telah menyatukan dua suku yang berbeda latar belakang agamanya yaitu
Suku Sasak yang beragama Islam dan suku Bali yang beragama Hindu dan lahir suatu budaya yang
memiliki ciri khas tersendiri yaitu Perang Topat.

Setiap tahun masyarakat desa Lingsar melaksanakan perang topat sejak abad ke 16 di
kompleks pura Lingsar. Pura Lingsar terletak sekitar 9 kilometer ke arah Timur dari kota Mataram
dan pura ini dapat dikatakan pura yang unik. Dikatakan unik sebab di dalam kompleks pura Lingsar
terdapat dua bangunan besar yakni pura Gaduh sebagai tempat persembahyangan umat Hindu dan
bangunan Kemaliq yang disakralkan bagi umat muslim Sasak dan masih digunakan untuk upacara-
upacara ritual adat hingga kini.

Perang topat sudah mentradisi ke masyarakat sejak lama. Tradisi perang topat menjadi
simbol keharmonisan, perdamaan dam kehidupan bermasyarakat. Meskipun diantara dua agama
memiliki paham yang berbeda namun mereka mampu membangun kebersamaan melalui upacara
perang topat. Menelusuri Perang Topat, tidak terlepas dari Kemaliq Lingsar. Kemaliq adalah
bangunan yang disucikan atau dikeramatkan oleh masyarakat Islam yang ada di desa Lingsar.
Kemaliq artinya sesuatu yang harus dilaksanakan dan pantang untuk dilanggar. Dijelaskan pula
bahwa dahulu Lingsar merupakan daerah yang gersang tidak subur dan masyarakatnya suka
berperang. Melalui seorang tokoh yang diwalikan yang bernama Raden Sumilir beristirahat
didaerah ini. Ketika bangun beliau berjalan dan berhenti di sebuah pohon waru. Sambil berdoa
beliau menancapkan tongkatnya di bawah pohon waru dan ketika mencabutnya keluarlah air yang
sangat deras bersamaan dengan itu bunga-bunga pohon waru jatuh berguguran. Sejak itulah
Perang Topat mulai dilaksanakan untuk memperingati Datu Milir dan ungkapan syukur kepada
Tuhan.

9
Perang topat diadakan sebagai ungkapan syukur atas keluarnya air yang melimpah dan
suka cita karena terciptanya kedamaian di masyarakat. Kedatangan Wali juga mengajarkan agama
Islam yang benar. Dengan agama Islam yang dijarkan itu maka setelah datangnya Wali tidak ada
lagi peperangan. Senjata yang digunakan untuk berperang digantikan dengan topat dengan niat
melempar setan untuk menghilangkan kemurkaan, kedengkian, amarah dan sifat-sifat buruk
manusia. Perang Topat digelar Pada malam Purnama itu, umat Hindu merayakan Odalan atau
ulang tahun Pura Lingsar dengan melaksanakan upacara Pujawali dengan Mendak Bhatara
Gunung Agung dan Gunung Rinjani. Umat Islam melaksanakan dzikir dan napak tilas
memperingati jasa Raden Mas Sumilir, seorang penyiar agama Islam dari Demak Jawa Tengah
yang menyiarkan Islam di Lombok pada abad ke 16.

Ditinjau dari aspek sosial dan fungsinya, Perang Topat merupakan alat pemersatu
antargolongan dan antar agama di desa Lingsar. Kehadiran Pura di wilayah yang penduduknya
mayoritas beragama Islam mengajarkan kepada masyarakat desa Lingsar untuk toleransi terhadap
pemeluk agama lain. Kerukunan antargolongan agama, saling menghargai, saling menghormati
menjelmakan kerukunan, perdamanain dan kebahagiaan yang terpatri dalam motto desa Lingsar
yaitu solah, soloh, soleh. Perang Topat merupakan ungkapan rasa syukur masyarakat desa Lingsar
kepada Tuhan karena diberikan tanah yang subur dan hasil bumi yang melimpah.

3.3 Roah Segare

Ritual adat maupun budaya, merupakan cara mensyukuri kemakmuran dan berdoa jauh
dari malapetaka. Salah satu ritual, simbol rasa syukur terhadap segala karunia Tuhan, ialah ritual
Roah (syukuran) Segare (laut). Roah Segara memiliki arti “merawat laut”. Tradisi ini bertujuan
menjaga keseimbangan alam dan keharmonisan hubungan antara alam dan manusia.

Ritual ini dimulai dengan pembacaan barzanji, selakaran, zikiran, dan doa, mengisi udara
dengan nuansa spiritual. Biasanya, prosesi Roah Segare dimulai dengan doa, diikuti dengan
penyelenggaraan dulang penamat (sesaji) yang kemudian diarak ke bibir pantai. Dulang ini, setelah
diberkati, dilemparkan ke laut sebagai simbol ungkapan syukur yang mendalam. Setelah prosesi
larung, masyarakat dan para tamu bersama-sama menikmati hidangan yang telah didoakan,
berbagi dalam satu wadah besar nampan sebagai lambang persatuan dan kebersamaan. Roah

10
Segare adalah warisan tradisi leluhur mereka, dengan sejumlah aturan adat yang harus ditaati,
termasuk larangan bagi nelayan untuk melaut selama tiga hari setelah ritual, karena diyakini
melanggar aturan ini akan mendatangkan bencana. Maknanya ialah memberi waktu laut
memulihkan diri sejenak, setelah selama ini diambil hasilnya oleh nelayan.

4. PERMAINAN TRADISIONAL

4.1 Tolang Bage

Tolang Bagek adalah sebuah permainan dengan media biji asem. Biji asem ini dinamakan
warga Lombok dengan nama "tolang bagek''. Permainan ini dilakukan dengan cara mengumpulkan
beberapa biji asam atau "tolang bagek" sesuai dengan kesepakatan para pemain lainnya. Salah satu
dari pemain mengeruk tanah pada tempat yang telah disediakan sehingga membentuk sebuah
lubang yang tidak begitu dalam. Biji asam atau "tolang bagek" yang telah dikumpulkan sesuai
dengan jumlah peserta dimasukkan ke dalam lubang tersebut. Masing-masing pemain yang ikut
dalam permainan memiliki sebuah biji asam atau "tolang bagek" sebagai "katuk". Pemain yang
mendapatkan giliran pertama dalam permainan melemparkan "katuk"nya pada lubang yang berisi
biji asam atau "tolang bagek" tersebut sampai biji asam atau "tolang bagek" yang berada di dalam
lubang keluar. Jumlah biji asam atau "tolang bagek"yang terbanyak adalah pemenangnya.
Permainan tolang bage ini mengajarkan anak melatih gerak tangan, melatih konsentrasi,
mengajarkan sportivitas, belajar mengikuti aturan yang sudah disepakati, serta melatih kreativitas.

4.2 Dengklek/Dengklak
Dengklek adalah salah satu cara bermain dengan menggunakan satu kaki. Permainan ini
dimainkan dengan membuat garis tertentu dengan setiap pemain memegang sebuah potongan
genteng, bata atau tegel yang disebut sebagai "katuk". Katuk ini akan dilemparkan pada setiap
masing-masing kotak dalam garis dimana katuk ini harus berada pada garis berikutnya dengan
cara didorong dengan ujung jari kaki pemain. Ketika katuk ini keluar dari garis yang telah
ditentukan maka pemain akan digantikan dengan pemain lainnya. Pada saat pemain lainnya
berhasil menyelesaikan permainan dengan menuntaskan seluruh garis kotak maka pemain tersebut
berhak mendapatkan sebuah reward yang disebut"bale" dimana "bale" ini dibuat dengan cara
pemain membelakangi garis (dengklek) dan pemain melemparkan katuk pada garis kotak. Ketika

11
katuk tepat pada garis kotak maka itulah "bale" sang pemain dimana "bale" ini tidak dapat dilewati
oleh pemain lain melainkan dari pemiliknya. Akan tetapi jika ktuk keluar garis maka pemain
berikutnya berhak melanjutkan permainan.
Permainan tradisional dengklek sebenarnya juga memiliki makna filosofis. Permainan
tradisional dengklek bisa diartikan sebagai simbol dari usaha manusia untuk membangun tempat
tinggalnya atau rumahnya. Selain itu permainan tradisional dengklek juga memiliki filosofi
sebagai simbol usaha manusia untuk mencapai kekuasaan. Namun dalam pencapaian usaha itu
tentu saja manusia tidak bisa sembarangan dengan menabrak semua tata aturan yang telah ada.
Namun selalu tetap berusaha selaras dengan aturan yang telah dibuat. Nah dalam permainan
tradisional engklek ini juga ada aturan-aturan baku yang menjadi patokan saat bermain permainan
tradisional dengklek.

4.3 Bledokan/Pledokan
Biasanya permainan ini dimainkan oleh laki-laki. Permainan ini menggunakan sebatang
bambu berukuran kecil, dimana bambo ini terdiri dari 2 buah potongan. Satu buah potongan
polosan seperti meriam satu buah lagi berbentuk seperti pedang. 2 buah potongan bamboo ini
memiliki fungsi tersendiri. Dimana potongan bamboo polosan tempat meletakkan peluru. Peluru
disini menggunakan bahan alami seperti bunga jambu dan kertas rendaman yang dibulatkan kecil-
kecil. Peluru tersebut dimasukkan ke dalam potongan bamboo polosan dan bamboo yang
berbentuk seperti pedang berfungsi untuk mendorong peluru masuk dengan cara ditekan sehingga
peluru dari bunga jambu atau kertas rendaman keluar dan mengenai sasaran yang diinginkan.
Permainan tradisional pletokan yang mencerminkan spirit perlawanan terhadap penjajah.
permainan pletokan bambu ini sarat akan filosofi terkait peperangan zaman Belanda karena yang
menjadi senjata andalan melawan penjajah terbuat dari bambu.

4.4 Benteng
Permainan ini membuat kita untuk mempertahankan benteng, jangan sampai ada yang
menyentuh benteng kita. Permainan ini mengandalkan tenaga untuk berlari saling kejar mengejar.
Permainan ini terdiri dari dua kubu. Setiap kubu mengeluarkan peserta / prajurit untuk memancing
peserta / prajurit untuk keluar. Saat ini terjadi, peserta/prajurit siap untuk menangkapnya. Saat
ditangkap peserta / prajurit lain segera menyelamatkan yang lainnya. Jika semua tertangkap maka

12
benteng akan diserbu, dan menang telak pun akan didapatkan. filosofi yang didapatkan dari
permainan ini. Mulai dari kerjasama tim untuk tujuan yang sama, bagaimana harus bermain peran
yang sesuai, hingga yang paling saya soroti adalah adalah kepercayaan terhadap teman apabila
menjadi tawanan atau hendak melepaskan tawanan.

5. PAKAIAN TRADISONAL

Pakaian adat yang sering menjadi ikon dari budaya Nusa Tenggara Barat adalah pakaian
bernama Lambung dan Pegon, khas dari Suku Sasak. Lambung digunakan para wanita, sedangkan
Pegon untuk para pria. Pakaian adat ini biasa dikenakan dalam perhelatan acara adat, termasuk
juga dalam upacara penyambutan tamu, upacara mendakin, dan acara nyongkolan.

a. Pakaian adat lambung untuk Wanita b. Pakaian adat untuk laki-laki

13
Menurut (Sawitri et al., 2023) Makna pada baju adat lombok yaitu:
a. Selendang atau lempot mempunyai makna yang dapat diungkap di dalamnya bahwa
selendang mensimbolkan pada lambang kasih sayang, saling mencintai dan menyayangi
kepada sesama manusia selain itu juga bermakna pada kesuburan tubuh dan sikap sopan
dan santun yang harus diterapkan dan dilakukan setiap sesama manusia. Sikap mengasihi
yang dapat diterapkan pada kehidupan masyarakat nusantara bahkan di Indonesia.
b. Baju hitam tanpa lengan dengan kerah berbentuk V dan sedikit hiasan dibagian pinggir
baju. Pakain ini dibuat dengan bahan kain pelung yang memiliki makna sebagai lambang
keagungan seorang wanita.
c. Kereng kain bawahan atau kain panjang memiliki simbol sebagai lambang kesopanan dan
juga kesuburan. Sikap sopan dan santun menghormati orang lain terdapat sikap yang baik
memberikan ciri khas sebagai masyarakat yang dapat selalu menghargai orang lain. Jiwa
orang timur memberikan pendidikan kesantunan dan menghormati orang yang lebih
tua,lebih muda, ke sesama.
d. Tongkak sabuk yang dipasang dipinggang memiliki makna sebagai lambang ketaatan
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan sebagai wujud dari pengabdian kepada orang tua.
Pengabdian seorang Wanita kepada suami, anak dan keluarga. Setelah menikah wanita
harus selalu taat kepada suami, mengurus rumah dan memanajemen keluarga. Ketaatanini
menjadikan kesadaran bahwa wanita yang sudah menikah harus selalu merubah sikap yang
dulu jauh dengan agama menjadi jiwa dan bersikap lebih religius.
e. Kain songket ini biasanya juga digunakan sebagai sabuk pada baju adat wanita. Kain
songket ini bermakna sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas apa
yang telah diberikan.
f. Leang atau dodot sebagai simbolisasi semangat untuk berkarya, berproses, mengajarkan
memiliki jiwa mengabdi dari mengabdi ke orang tua, bangsa negara dan tidak lupa untuk
dapat memberikan kehidupan bagi keluarganya yang memadai dan layak. Pengabdian anak
tertinggi pastinya kepada orang tua tetapi jangan lupa juga kita makluk sosial abdikan diri
juga pada masyarakat sekitar kita yang membutuhkan kita. Leang atau dodot merupakan
kain songket yang berfungsi untuk menyelipkan keris. Beragam motif yang terdapat pada
kain songket ini diantaranya motif subahnale, keker, bintang empet yang bermakna
semangat dalam berkarya pengabdian kepada masyarakat.

14
g. Pangkak mahkota yang ada dikepala dan ada hiasan yang khas atau punya ciri tertentuyaitu
bunga cempaka dan bunga mawar yang diselipkan di sela konde atau gelung. Mahkota dan
hiasan yang punya ciri khas memiliki makna bahwa mahkota itu tahta tinggi. Sehingga
baju adat yang ada di Lombok untuk upacara adat udah didesain memiliki makna filosofis
yang difungsikan dapat diterapkan dalam kehidupannya. Keagungan darimahkota juga
symbol kuasa atau kekuasaan.
h. Perhiasan atau aksesoris dari gelang, kalung, giwang, bros dll. Perlengkapan satu set
memberikan symbol budaya, lambang di strata sosial tinggi.
i. Cappud mahkota yang ditaruh dikepala untuk laki – laki melambangkan kekuasaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Mahkota dianggap penyeimbang bahwa mahkota ini diatas kepala
sehingga pusatnya pikiran. Mahkota symbol keagungan, kekuasaan dan kepemimpinan.
Sangat terlihat bahwa dalam mahkota yang banyak hiasan , unik, ternyatamemiliki makna
yang dalam untuk kehidupan di masyarakat dan nusantara. Bentuk mahkota juga akan
menyesuaikan dengan strata sosial di masyarakat, hal ini hampir mirip di keraton
kasunanan Surakarta.
j. Pegon pakaian adat untuk laki – laki yang mengalami perkembangan mirip bentuk jas
warna hitam.
k. Keris sebuah senjata dan alat yang difungsikan untuk peperangan, perlindungan pada
zaman dulu sekarang symbol keris yang digunakan untuk pakaian adat Lombok symbol
kesatria, pemimpin, makna yang dapat diambil adalah siap berperang , siaga apabila ada
marabahaya. Bahwa seorang kesatria harus siap dalam kondisi apapun. Kondisi dimanapun
harus dapat menempatkan dirinya menjadi seseorang yang berjiwa dan bermental baik.
Apalagi seorang kesatria yang mempunyai silsilah dan darah dari bangsawan, harus dapat
dijadikan panutan
l. Sapuk merupakan mahkota yang digunakan sebagai lambang penghormatan kepada Tuhan
Yang Maha Esa serta menjaga pemikiran pemakainya dari hal-hal yang kotor dan tidak
baik. Sekilas bentuk sapuk yang dikenakan oleh masyarakat suku sasak tidak jauh berbeda
dengan ikat kepala dari Bali. Untuk penggunaan sehari-hari jenis sapuk yang digunakan
yaitu berbentuk segitiga sama kaki, sedangkan untuk ritual khusus seperti upacara adat atau
ritual khusus biasanya menggunakan sapuk jadi atau perade yang terbuat dari bahan
songket benang emas. Sapuk mahkota yang dipakai oleh laki - laki dari masyarakat lombok

15
juga melambangkan kejantanan. Simbol dari kesatria yang memimpin dengan gagah dan
elegan. Pada mahkota akan terlihat karena dari motif dan bentuknya memberikan kesan
seorang laki –laki yang gagah.

6. TARI SUKU SASAK


6.1 Tari Gandrung

• Sejarah Tari Gandrung


Tari Gandrung merupakan salah satu jenis seni pertunjukan berupa tari tradisional
Lombok yang lahir dan berkembang melalui pengadopsian tari yang ada di pulau Jawa
yaitu Banyuwangi yang kemudian menyebar lewat Bali hingga sampai ke Lombok. Tari
Gandrung masuk ke pulau Lombok sekitar tahun 1900an dibawa oleh orang-orang Bali
yang pada saat itu diundang oleh seorang Patih yang baru diangkat sebagai pemimpin suku
Bali yang banyak mendiami pulau Lombok. Pepatih tersebut bernama I Gusti Putu Geria.
I Gusti Putu Geria diangkat menjadi pemimpin suku Bali untuk menggantikan kedudukan
Raja Agung Ngurah yang telah ditaklukkan oleh Belanda. Pada masa pemerintahannya,
Putu Geria sempat mendatangkan berbagai jenis kesenian yang berasal dari Bali untuk
menghibur para prajurit di dalam keraton. Salah satu kesenian tersebut adalah tari
Gandrung. Dari situlah tari Gandrung mulai sering dipentaskan untuk menghibur para
prajurit yang baru pulang dari medan perang.
Pada awal kemunculannya tari Gandrung dimainkan oleh penari laki-laki. Hal ini
dibuktikan dengan lelakaq yang dinyanyikan oleh penari Gandrung yang berbunyi:

16
Tiang lanang beli bagus (Saya laki-laki kakak yang tampan)
Beli bagus bau rauh (Kakak yang tampan baru datang)
Kasunane tarik bebunga (Bunga berambang serempak berkembang)

Lelakaq diatas menggambarkan perkenalan diri yang dilakukan oleh penari


Gandrung kepada pengibing dengan mengucapkan “tiang lanang” yang berarti “saya laki-
laki”. Hal tersebut menandakan bahwa Gandrung memang pada awalnya ditarikan oleh
penari laki-laki. Namun tari Gandrung yang dimainkan oleh laki-laki tidak bertahan lama
karena digantikan oleh penari perempuan yang berasal dari suku Sasak bernama Tinggen
untuk menjadi penari wanita pertama yang menarikan tari Gandrung.
Tari Gandrung oleh masyarakat suku Sasak lebih dikenal dengan sebutan Jangger. Tidak
diketahui secara pasti kapan penamaan Jangger ini mulai digunakan. Menurut masyarakat
suku Sasak sendiri tari Gandrung/Jangger merupakan sebuah pertunjukan yang dilakukan
oleh seorang penari wanita yang diiringi seperangkat gamelan khas Sasak serta lelakaq atau
sandaran. Pada dasarnya tari Gandrung merupakan tarian yang berfungsi sebagai hiburan,
tetapi selain itu tari Gandrung juga merupakan bentuk simbolis dari ungkapan perasaan
rasa syukur, suka cita dan harapan masyarakat Sasak kepada yang Kuasa. Menurut
penuturan Amaq Raya, tari Gandrung merupakan tarian yang cukup sakral dan tidak lepas
kaitannya dengan unsur agama.
Tari Gandrung biasanya dipentaskan pada perayaan upacara panen padi yang
dilakukan oleh nenek moyang suku Sasak pada zaman dahulu sebagai bentuk ungkapan
rasa syukur kepada yang Maha Kuasa karena telah diberikan kesehatan dan keselamatan
sehingga dapat memanen padi dengan hasil yang melimpah.

• Fungsi Tari Gandrung dalam Kehidupan Masyarakat Suku Sasak


Fungsi tari sendiri tidak lepas hubungannya dengan fungsi sosial yang berpengaruh
terhadap adat, tingkah laku manusia, maupun sistem sosial yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat. Demikian pula dengan tari Gandrung, keberadaannya tidak dapat dilepaskan
dengan kehidupan masyarakat suku Sasak yang merupakan tempat hidup dan
berkembangnya sehingga keberadaannya pun tidak dapat dilepaskan dengan fungsi sosial
yang dimiliki. Adapun fungsi dari tari Gandrung dalam kehidupan masyarakat suku Sasak

17
yaitu sebagai hiburan. Meskipun fungsinya sebagai hiburan, akan tetapi di dalamnya
mengandung nilai-nilai kehidupan yang sangat kental. Tari Gandrung juga merupakan
bentuk simbolis dari ungkapan perasaan syukur dan suka cita masyarakat pada perayaan
panen padi yang dilakukan secara turun-temurun oleh nenek moyang pada zaman dahulu.
Tari Gandrung digunakan sebagai media berkomunikasi untuk mengungkapkan rasa
syukur dan suka cita kepada Tuhan karena telah diberikan kesehatan dan keselamatan
sehingga dapat memanen padi dengan hasil yang melimpah ruah.

6.2 Tari Rudat

• Sejarah Tari Rudat

Rudat merupakan salah satu jenis seni pertunjukan tradisional di pulau Lombok
yang merupakan perkembangan tari Zaman dari Aceh. Tari zaman ini masuk dan menyebar
di pulau lombok dalam bentuk zikir zaman. Zikir zaman tersebut kemudian dikembangkan
dengan gerakan pencak silat dan diringi musik Rudat dan lagu-lagu yang bernuansa Islami.
Kesenian Rudat ini merupakan gabungan antara dua bidang seni, yaitu tari (Rudat) dan
teater (Kemidi Rudat). Tentang arti dari kata Rudat itu sendiri secara etimologi memang
belum tertulis dengan jelas. Namun menurut penuturan H. Zakaria yang merupakan ketua
dari kelompok Rudat Setia Budi menjelaskan, arti dari kata ―Rudat‖ sendiri memiliki
banyak versi, ada yang mengatakan bahwa Rudat itu berasal dari kata dalam bahasa Arab,
yaitu Rudatun yang memiliki arti taman bunga, ada juga yang mengatakan Rudat itu berasal

18
dari kata dalam bahasa Arab, yaitu mardud yang artinya tolak, menolak, atau ditolak, ada
juga yang mengatakan Rudat itu berasal dari kata dalam bahasa arab, yaitu mardatillah
yang artinya sesuatu yang diridhoi oleh Allah SWT. Ketiga pendapat tentang asal kata
Rudat ini memiliki keterkaitan antara satu dan lainnya. Sehingga ketiga pendapat tersebut
bila dijelaskan dengan satu kesatuan pengertian yang koheren menjadi, Rudat itu berasal
dari kata mardud yang artinya ditolak, maka yang ditolak oleh Rudat itu adalah hal-hal
yang tidak baik, kemaksiatan, kemungkaran, dan sebagainya, tidak terkecuali. dengan
bentuk penjajahan yang menimpa Indonesia di masa lalu. Kemudian jika hal-hal yang tidak
baik itu bisa kita tolak, maka tentu saja kita akan mendapat mardatillah yang artinya sesuatu
yang diridhoi oleh Allah SWT, jika ridho tuhan bisa kita dapatkan, maka apalagi balasan
yang pantas untuk kita dapatkan selain Rudatun yang artinya taman bunga yang
melambangkan keindahan, ketenangan, atau kebaikan baik di dunia maupun di akhirat.

Kesenian Rudat lahir di pulau Lombok, khusunya di bagian Lombok utara sekitar
tahun 1920-an. Perkembangan Rudat ini dari sejak kemunculannya tersebut
memperlihatkan kesenian Rudat ini berkembang cukup banyak di Lombok Utara. Hal
tersebut telihat dari menjamurnya kelompok-kelompok seni Rudat. Namun pada tahun
1950 sampai tahun 2000-an kelompok-kelompok tersebut mulai menghilang atau tergerus
oleh zaman, hanya beberapa saja yang tersisa dan eksis mengadakan pertunjukan.

• Fungsi Tari Rudat Dalam Kehidupan Masyarakat Suku Sasak

Fungsi dari Rudat ini sendiri dahulunya sebagai media dakwah penyebaran agama
Islam di Pulau Lombok. Lagu-lagu yang dibawakan dalam tarian Rudat banyak bernuansa
Islami yang memuji kebesaran Allah SWT dan utusannya yaitu Rasulullah Muhammad
SAW., seperti dalam lagu Allahibismillah, Yaa Robbuna, Abda‟u Bismillah, Lihamsatun,
Iza Zalla, Illatan Sani, Tammel Ihsan, Abdikal Mahya, dan lain-lain. Selain berfungsi
sebagai media penyebaran agama Islam, Rudat ini juga dipercaya sebagai syiar perjuangan
masyarakat Sasak melawan penjajahan kolonial Belanda pada masa itu jika dilihat dari
pakaian yang digunakan oleh para pemain Rudat tersebut.

Pakaian tersebut merupakan upaya kamuflase atau sebagai bentuk penyamaran


pada penjajah Belanda karena hal-hal yang berbau adat keIslaman pada masa itu dicurigai
sebagai gerakan perlawanan yang biasa dikenal dengan sebutan gerakan tarekat (menuju
19
kebenaran). Gerakan tarekat adalah gerakan yang sangat ditakuti oleh penjajah Belanda,
jadi untuk menyamarkan hal yang semacam itu, maka digunakanlah pakaian yang mirip
dengan tantara/company Belanda dan menggunakan sedikit bahasa Belanda agar penjajah
Belanda menganggap hal ini bukan merupakan sebuah perlawanan. Oleh karena Penjajah
Belanda menganggap gerakan ini hanyalah sekelompok orang yang sedang belajar baris-
berbaris, pihak Belanda justru memberikan dukungan. Kini Rudat berfungsi bukan hanya
sebagai media dakwah, melainkan juga media hiburan dalam rangka memeriahkan suatu
hajatan atau hari-hari besar baik hari besar Nasional, maupun hari besar dalam Islam seperti
hari kemerdekaan, perkawinan, tahun baru Islam, dan lain-lain.

7. RUMAH TRADISONAL
Rumah tradisional suku Sasak, Pulau Lombok menyerupai lumbung, karena itu sering
disebut sebagai rumah adat lumbung Sasak. Walau bentuknya terlihat sangat sederhana, namun
rumah Sasak memiliki nilai estetika dan pesan-pesan filosofis. Bentuk lumbung mengajarkan
kepada masyarakat agar hidup berhemat dan tidak boros, yaitu dengan selalu menabung hasil
pencariannya yang disimbolkan oleh padi dalam lumbung tersebut.

7.1 Bagian-bagian rumah Adat Suku Sasak


a) Atap rumah

Bagian atap rumah lumbung Sasak berbentuk gunungan, landai ke bawah berjarak
1,5 hingga 2 meter dari permukaan tanah. Atap dan bubungan (bungus) terbuat dari
dinding atap tersusun dari anyaman bambu dan tanpa jendela.

20
b) Ruangan
Bagian ruang (rong) pada rumah adat suku Sasak dibagi menjadi 3, yaitu ruang
induk (inan bale), ruang tidur (bale luar), dan bale dalam. Bale dalam merupakan
tempat penyimpanan harta benda, tempat melahirkan serta ruang persemayaman
jenazah sebelum dimakamkan. Ruangan bale dalem dilengkapi amben, dapur, dan
sempare (tempat menyimpan makanan dan peralatan rumah tangga lainnya) terbuat dari
bambu ukuran 2 x 2 meter persegi atau bisa empat persegi panjang. Selain itu ada
sesangkok (ruang tamu) dan pintu masuk dengan sistem geser.
c) Pondasi

Bagian pondasi terdiri dari dua bagian, yakni tangga dan lantainya. Undak-undak
atau tangga berfungsi menghubungkan antara bale luar dan bale dalam. Undak-undak
tersusun atas tiga anak tangga.
d) Lantai

Sedangkan lantainya berupa campuran antara abu jerami, tanah serta kotoran
kerbau atau kuda, dan getah. Semua bahan itu dicampur dan dijadikan sebagai pondasi
tempat rumah itu berdiri.

21
7.2 Tata cara membangun rumah Lumbung Sasak
Hal lain yang cukup menarik diperhatikan dari rumah adat Sasak adalah pola
pembangunannya. Dalam membangun rumah, orang Sasak menyesuaikan dengan
kebutuhan keluarga maupun kelompoknya. Artinya, pembangunan tidak semata-mata
untuk mememenuhi kebutuhan keluarga tetapi juga kebutuhan kelompok. Karena konsep
itulah, maka komplek perumahan adat Sasak tampak teratur seperti menggambarkan
kehidupan harmoni penduduk setempat.
Bentuk rumah tradisional Lombok berkembang saat pemerintahan Kerajaan
Karang Asem (abad 17), di mana arsitektur Lombok dikawinkan dengan arsitektur Bali.
Selain tempat berlindung, rumah juga memiliki nilai estetika, filosofi, dan kehidupan
sederhana para penduduk di masa lampau yang mengandalkan sumber daya alam sebagai
tambang nafkah harian, sekaligus sebagai bahan pembangunan rumah. Lantai rumah itu
adalah campuran dari tanah, getah pohon kayu banten dan bajur (istilah lokal), dicampur
batu bara yang ada dalam batu bateri, abu jerami yang dibakar, kemudian diolesi dengan
kotoran kerbau atau kuda di bagian permukaan lantai. Materi membuat lantai rumah itu
berfungsi sebagai zat perekat, juga guna menghindari lantai tidak lembab. Bahan lantai itu
digunakan, oleh warga di Dusun Sade, mengingat kotoran kerbau atau sapi tidak bisa
bersenyawa dengan tanah liat yang merupakan jenis tanah di dusun itu.
Membangun rumah Lumbung Sasak harus sesuai dengan tata cara dan juga adat.
Ajaran Islam mendasari pembangunan rumah adat suku. Tiga anak tangga menggambarkan
tahap kehidupan manusia, yaitu saat lahir, berkembang, dan mati. Tiga tangga juga
merupakan simbol anggota keluarga, yakni ayah, ibu, dan anak. Empat tiang yang
menyangga adalah simbol dari syariat Islam, yakni Al Quran, Hadits, Ijma', dan Qiyas.
Arah menghadapnya rumah menunjukkan berjenjangnya keturunan keluarga. Ruangan
untuk anak pertama dan kedua berbeda arah dan lokasinya. Ruang untuk orang tua
menempati tingkat tertinggi, menyusul si sulung di ruang bawah, dan seterusnya. Ruang
orang tua menghadap timur sebagai simbol bahwa yang tua lebih dulu menerima
pencerahan hidup dibandingkan yang muda. Pintu rumah menghadap timur atau
berlawanan arah dengan matahari terbenam. Maksudnya adalah saat mereka keluar rumah
mencari nafkah, maka yang pertama diharap adalah keridhoan Allah SWT. Kusen dan daun
pintu dibuat rendah, sehingga orang mesti menunduk ketika keluar masuk rumah. Posisi

22
membungkuk atau menunduk itu adalah etika dan wujud penghormatan sang tamu kepada
si pemilik rumah.
Kemudian lumbung, mengajarkan warganya untuk hidup hemat dan tidak boros
sebab stok logistik yang disimpan di dalamnya, hanya bisa diambil pada waktu tertentu,
misalnya sekali sebulan. Bahan logistik (padi dan palawija) itu tidak boleh dikuras habis,
melainkan disisakan untuk keperluan mendadak, seperti mengantisipasi gagal panen akibat
cuaca dan serangan binatang yang merusak tanaman atau bahan untuk mengadakan
syukuran jika ada salah satu anggota keluarga meninggal.
Dari segi rangka atap, rumah bale juga menyimpan filosofi tersendiri. Bentuk atap
rumah bale tampak meninggi ke belakang, yang dimaknai sebagai hubungan manusia
dengan Tuhan. Sedangkan, sosoran atap di bagian depan melambangkan hubungan
manusia dengan sesamanya.
Secara keseluruhan, bentuk atap rumah bale khas Lombok menggambarkan
hubungan antar sesama manusia, nenek moyang, dan Tuhan yang harus berjalan seimbang.
Tidak berhenti dalam struktur dan bahan bangunannya, suku Sasak juga selektif perihal
memilih lokasi untuk mendirikan rumah bale.
Berugak yang ada di depan rumah, di samping merupakan penghormatan terhadap
rezeki yang diberikan Tuhan, juga berfungsi sebagai ruang keluarga, menerima tamu, juga
menjadi alat kontrol bagi warga sekitar. Misalnya, kalau sampai pukul sembilan pagi masih
ada yang duduk di berugak dan tidak keluar rumah untuk bekerja di sawah, ladang, dan
kebun, mungkin dia sakit.
Tempat air di sebelah lumbung dan rumah ini penciri rumah Sasak. Sadar sholat
dan sembahyang, juga cuci kaki ketika datang dari tempat jauh. Semacam pemisahan dunia
luar dan dunia dalam ketika membasuh muka dan kaki memasuki pekarangan.
Sejak proses perencanaan rumah didirikan, peran perempuan atau istri diutamakan.
Umpamanya, jarak usuk bambu rangka atap selebar kepala istri, tinggi penyimpanan alat
dapur (sempare) harus bisa dicapai lengan istri, bahkan lebar pintu rumah seukuran tubuh
istri. Membangun dan merehabilitasi rumah dilakukan secara gotong-royong meski makan-
minum, berikut bahan bangunan, disediakan tuan rumah.

23
a. Kosmologi: Ruang dan Waktu
Untuk memulai membangun rumah, dicari waktu yang tepat, berpedoman pada
papan warige yang berasal dari Primbon Tapel Adam dan Tajul Muluq. Tidak semua orang
mempunyai kemampuan untuk menentukan hari baik, biasanya orang yang hendak
membangun rumah bertanya kepada pemimpin adat. Orang Sasak di Lombok meyakini
bahwa waktu yang baik untuk memulai membangun rumah adalah pada bulan ketiga dan
bulan kedua belas penanggalan Sasak, yaitu bulan Rabiul Awal dan Zulhijjah pada
kalender Islam. Ada juga yang menentukan hari baik berdasarkan nama orang yang akan
membangun rumah. Sedangkan bulan yang paling dihindari (pantangan) untuk
membangun rumah adalah pada bulan Muharram dan Ramadhan. Pada kedua bulan ini,
menurut kepercayaan masyarakat setempat, rumah yang dibangun cenderung mengundang
malapetaka, seperti penyakit, kebakaran, sulit rizqi, dan sebagainya.
Selain persoalan waktu baik untuk memulai pembangunan, orang Sasak juga
selektif dalam menentukan lokasi tempat pendirian rumah. Mereka meyakini bahwa lokasi
yang tidak tepat dapat berakibat kurang baik kepada yang menempatinya. Misalnya,
mereka tidak akan membangun tumah di atas bekas perapian, bekas tempat pembuangan
sampah, bekas sumur, dan pada posisi jalan tusuk sate atau susur gubug. Selain itu, orang
Sasak tidak akan membangun rumah berlawanan arah dan ukurannya berbeda dengan
rumah yang lebih dahulu ada. Menurut mereka, melanggar konsep tersebut merupakan
perbuatan melawan tabu (maliq-lenget).
Sementara material yang dibutuhkan untuk membangun rumah antara lain: kayu-
kayu penyangga, bambu, anyaman dari bambu untuk dinding, jerami dan alang-alang
digunakan untuk membuat atap, kotaran kerbau atau kuda sebagai bahan campuran untuk
mengeraskan lantai, getah pohon kayu banten dan bajur, abu jerami, digunakan sebagai
bahan campuran untuk mengeraskan lantai.
Dalam masyarakat Sasak, rumah berada dalam dimensi sakral (suci) dan profan
duniawi) secara bersamaan. Artinya, rumah adat Sasak disamping sebagai tempat
berlindung dan berkumpulnya anggota keluarga juga menjadi tempat dilaksanakannya
ritual-ritual sakral yang merupakan manifestasi dari keyakinan kepada Tuhan, arwah nenek
moyang (papuk baluk) bale (penunggu rumah), dan sebagainya.

24
Pembangunan rumah dengan desain berdasar pada nilai filosofi kini mulai jarang
ditemukan, khususnya untuk rumah modern. Perubahan pengetahuan masyarakat,
bertambahnya jumlah penghuni dan berubahnya faktor-faktor eksternal lainya (seperti
faktor keamanan, geografis, dan topografis) menyebabkan perubahan terhadap fungsi dan
bentuk fisik rumah adat. Hanya saja, konsep pembangunannya seperti arsitektur, tata ruang,
dan polanya tetap menampilkan karakteristik tradisionalnya yang dilandasi oleh nilai-nilai
filosofis yang ditransmisikan secara turun temurun
Namun bagi masyarakat Lombok, desain dan arsitektur rumah adat Bale masih
terus dilestarikan. Hal ini bisa Kita lihat langsung di Desa Sasak Sade. Di desa wisata ini
terdapat sekitar 150 rumah adat bale yang masih orisinil. Hal menarik dari Desa Wisata
Sasak Sade, Sobat Parekraf bisa melihat rumah bale tertua yang telah ditinggali lebih dari
15 generasi.
b. Pranata dan Ragam Rumah Suku Sasak
Bangunan rumah dalam komplek perumahan Sasak terdiri dari beberapa macam,
diantaranya adalah: Bale Tani, Bale Jajar, Berugaq/Sekepat, Sekenam, Bale Bonter, Bale
Beleq Bencingah, dan Bale Tajuk.
Nama bangunan tersebut disesuaikan dengan fungsi dari masing-masing tempat.
a. Bale Tani

Bale Tani adalah bangunan rumah untuk tempat tinggal masyarakat Sasak yang
berprofesi sebagai petani. Bale Tani berlantaikan tanah dan terdiri dari satu ruang untuk
serambi (sesangkok) dan satu ruang untuk kamar (dalem bale). Walaupun dalem bale
merupakan ruangan untuk tempat tidur, tetapi kamar tersebut tidak digunakan sebagai
tempat tidur. Dalem bale digunakan sebagai tempat menyimpan barang (harta benda)

25
yang dimilikinya atau tempat tidur anak perempuannya, sedangkan anggota keluarga
yang lain tidur di serambi. Untuk keperluan memasak (dapur), keluarga Sasak membuat
tempat khusus yang disebut pawon.
Pondasi bale tani terbuat dari tanah, desain atapnya dengan sistem jurai yang terbuat
dari alang-alang di mana ujung atap bagian serambi (sesangkok) sangat rendah,
tingginya sekitar kening orang dewasa. Dinding rumah bale tani pada bagian dalem
bale terbuat dari bedek, sedangkan pada sesangkok tidak menggunakan dinding. Posisi
dalem bale lebih tinggi dari pada sesangkok oleh karena itu untuk masuk dalem bale
dibuatkan tangga (undak-undak) yang biasanya dibuat tiga trap dengan pintu yang
dinamakan lawang kuri.
b. Bale Jajar

Bale jajar merupakan bangunan rumah tinggal orang Sasak golongan ekonomi
menengah ke atas. Bentuk bale jajar hampir sama dengan bale tani, yang membedakan
adalah jumlah dalem balenya. Bale jajar mempunyai dua kamar (dalem bale) dan satu
serambi (sesangkok), kedua kamar tersebut dipisah oleh lorong/koridor dari sesangkok
menuju dapur di bagian belakang. Ukuran kedua dalem bale tersebut tidak sama, posisi
tangga/pintu koridornya terletak pada sepertiga dari panjang bangunan bale jajar.
Bahan yang dibutuhkan untuk membuat bale jajar adalah tiang kayu, dinding bedek
dan alang-alang untuk membuat atap. Penggunaan alang-alang saat ini, sudah mulai
diganti dengan menggunakan genteng tetapi dengan tidak merubah tata ruang dan
ornamennya. Bangunan bale jajar biasanya berada dikomplek pemukiman yang luas
dan ditandai oleh keberadaan sambi yang menjulang tinggi sebagai tempat

26
penyimpanan kebutuhan rumah tangga atau keluarga lainnya. Bagian depan bale jajar
ini bertengger sebuah bangunan kecil (disebut berugaq atau sekepat) dan pada bagian
belakangnya terdapat sebuah bangunan yang dinamakan sekenam, bangunan seperti
berugaq dengan tiang berjumlah enam.
c. Berugaq / Sekepat

Berugaq/sekepat mempunyai bentuk bujur sangkar tanpa dinding, penyangganya


terbuat dari kayu, bambu dan alang-alang sebagai atapnya. Berugaq atau sekepat
biasanya terdapat di depan samping kiri atau kanan bale jajar atau bale tani.
Berugaq/sekepat ini didirikan setelah dibuatkan pondasi terlebih dahulu kemudian
didirikan tiangnya. Di antara keempat tiang tersebut, dibuat lantai dari papan kayu atau
bilah bambu yang dianyam dengan tali pintal (Peppit) dengan ketinggian 40-50 cm di
atas permukaan tanah.
Fungsi dan kegunaan berugaq/sekepat adalah sebagai tempat menerima tamu,
karena menurut kebiasaan orang Sasak, tidak semua orang boleh masuk rumah.
Berugaq/sekepat juga digunakan pemilik rumah yang memiliki gadis untuk menerima
pemuda yang datang midang (melamar).

27
d. Sekenam

Sekenam bentuknya sama dengan berugaq/sekepat, hanya saja sekenam


mempunyai mempunyai tiang sebanyak enam buah dan berada di bagian belakang
rumah. Sekenam biasanya digunakan sebagai tempat kegiatan belajar mengajar tata
krama, penanaman nilai-nilai budaya dan sebagai tempat pertemuan internal keluarga.
e. Bale Bonter

Bale bonter merupakan bangunan tradisional Sasak yang umumnya dimiliki oleh
para perkanggo/pejabat desa, dusun/kampong. Bale bonter biasanya dibangun di
tengah-tengah pemukiman dan atau di pusat pemerintahan desa/kampung. Bale bonter
dipergunakan sebagai temopat pesangkepan/persidangan adat, seperti tempat
penyelesaian masalah pelanggaran hukum adat dan sebagainya.
Bale bonter juga disebut gedeng pengukuhan dan tempat menyimpanan benda-
benda bersejarah atau pusaka warisan keluarga. Bale bonter berbentuk segi empat bujur

28
sangkar, memiliki tiang paling sedikit 9 buah dan paling banyak 18 buah. Bangunan
ini dikelilingi dinding bedek sehingga jika masuk ke dalamnya seperti aula, atapnya
tidak memakai nock/sun, hanya pada puncak atapnya menggunakan tutup berbentuk
kopyah berwarna hitam.
f. Bale Beleq Bencingah

Bale beleq adalah salah satu sarana penting bagi sebuah Kerajaan. Bale beleq
diperuntukkan sebagai tempat kegiatan besar Kerajaan sehingga sering juga disebut
“Bencingah.” Adapun upacara kerajaan yang biasa dilakukan di bale beleq diantaranya
adalah:
• Pelantikan pejabat kerajaan
• Penobatan Putra Mahkota Kerajaan
• Pengukuhan/penobatan para Kiai Penghulu (Pendita) Kerajaan
• Sebagai tempat penyimpanan benda-benda Pusaka Kerajaan seperti
persenjataan dan benda pusaka lainnya seperti pustaka/dokumen-dokumen
Kerajaan
g. Bale Tajuk
Bale tajuk merupakan salah satu sarana pendukung bagi bangunan rumah tinggal
yang memiliki keluarga besar. Bale tajuk berbentuk segi lima dengan tiang berjumlah
lima buah dan biasanya berada di tengah lingkungan keluarga Santana. Tempat ini
dipergunakan sebagai tempat pertemuan keluarga besar dan pelatihan macapat takepan,
untuk menambah wawasan dan tata krama.

29
h. Bale Gunung Rate dan Bale Balaq
Selain jenis bangunan yang telah disebut di atas, jenis bangunan lain dibangun
berdasarkan kondisi-kondisi khusus, seperti bale gunung rate dan bale balaq. Bale
gunung rate biasanya dibangun oleh masyarakat yang tinggal di lereng pegunungan,
sedangkan bale balaq dibangun dengan tujuan untuk menghindari bencana banjir, oleh
karena itu biasanya berbentuk rumah panggung.
c. Bangunan Pendukung
Selain bangunan-bangunan yang telah disebut di atas, masyarakat Sasak membuat
bangunan-bangunan pendukung lainnya seperti sambi, alang, dan lumbung.
a. Sambi

Sambi merupakan tempat menyimpan hasil pertanian masyarakat. Ada beberapa


macam bentuk sambi, antara lain sambi sejenis lumbung berbentuk rumah panggung.
Bagian atas sambi ini dipergunakan sebagai tempat menyimpan hasil pertanian,
sedangkan bagian bawahnya dipergunakan sebagai tempat tidur atau tempat menerima
tamu. Ada juga sambi yang atapnya diperlebar sehingga pada bagian bawahnya dapat
digunakan sebagai tempat menumbuk padi (lilih) dan juga tempat duduk-duduk,
berupa bale-bale yang alas duduknya dibuat dari bilah bambu dan papan kayu.
Pada umumnya, sambi mempunyai empat, enam atau delapan tiang kayu. Sambi
dengan enam tiang seringkali disebut ayung, karena pada bagian atasnya sering
digunakan untuk tempat tidur. Bangunan sambi yang bertiang delapan terkadang
disebut sambi jajar karena berbentuk memanjang. Semua sambi selalu dilengkapi
dengan tangga untuk naik dan didalamnya juga memiliki tangga untuk turun ke dalam.

30
b. Alang

Alang sama dengan lumbung, berfungsi untuk menyimpan hasil pertanian. Hanya
saja alang mempunyai bentuk yang khas, yaitu beratapkan alang-alang dengan
lengkungan kira-kira ¾ lingkaran namun lonjong dan ujungnya tajam ke atas.
Konstruksi bawahnya menggunakan empat tiang yang ujung tiang bagian atasnya
dipadu dengan jelepeng (diikat menjadi satu). Bagian bawah bangunan alang biasanya
digunakan sebagai tempat beristirahat baik siang atau malam hari. Alang biasanya
diletakkan di halaman belakang rumah atau dekat dengan kandang hewan.
c. Lumbung

Lumbung adalah tempat untuk menyimpan segala kebutuhan. Lumbung tidak sama
dengan sambi dan alang, karena lumbung biasanya diletakkan di dalam rumah/kamar
atau di tempat khusus diluar bangunan rumah. Lumbung berbentuk bulat, dibuat dari
gulungan bedek kulitan dengan diameter 1,5 meter untuk lumbung yang ditempatkan
di dalam rumah dan berdiameter 3 meter jika diletakkan di luar rumah.

31
Bahan untuk membuat lumbung adalah bambu, bedek, dan papan kayu sebagai
lantai. Di bawah papan lantainya dibuatkan pondasi dari tanah dan batu pada empat
sudutnya. Atapnya disangga dengan tiang kayu atau bambu berbentuk seperti atap
rumah tinggal. Di samping adanya bangunan pendukung, orang Sasak sangat
memperhatikan tanaman yang ada di sekitarnya, karena mereka meyakini bahwa ada
beberapa tanaman yang jika ditanam dapat mengundang malapetaka. Tanaman yang
tidak boleh ditanam di sekitar rumah adat, antara lain pohon nangka, pohon sawo,
pohon jambu air, pohon kelor, pohon kedondong, pohon ceremai, pohon johar, dan
pohon maja.

32
DAFTAR PUSTAKA

Andayanil Yayuk. (2022) Kajian Etnosain Pakaian Adat Lambung. UNESA Journal Of Chemical
Of Education 11 (1)

Bayu Indra Pratama. 2017. Makna Simbolik Kain Songket Subahnale Suku Sasak Desa Sukarara
Lombok. Universitas Negeri Yogyakarta.

Sawitri, S., Pujiyana, P., Widaningsih, Y. S., & ... (2023). Di Balik Makna Busana Adat Lombok
Mengandung Falsafah Kehidupan Bagi Masyarakat Nusantara. ULIL ALBAB: Jurnal …, 2(7),
3158–3162.

https://budaya.wordpress.com/2014/12/07/kosmologi-dan-arsitektur-sasak/

https://kemenparekraf.go.id/ragam-ekonomi-kreatif/Arsitektur-Rumah-Adat-Bale-Lombok-
Kaya-akan-Nilai-Filosofis

https://lombokbaratkab.go.id/malean-sampi-tradisi-khas-petani-lombok-barat/

https://ntb.genpi.co/sasambo/6415/makna-filosofi-ritual-roah-segare-warga-lombok-barat

https://ntb.idntimes.com/life/inspiration/seo-intern-idn-times/kisah-ki-rangga-dan-prabu-aria-
pelabu-yang-melegenda-di-lombok-barat

https://rakyatku.com/read/152364/inilah-5-adat-dan-ritual-unik-dari-pulau-lombok

https://www.jokembe.com/budaya/baca/4/102/permainan-tradisional-masyarakat-sasak-
lombok#google_vignette

https://www.kompas.com/skola/read/2023/01/13/220000369/mengenal-rumah-adat-suku-sasak-
dan-filosofinya

https://www.merdeka.com/ireporters/gaya/tari-oncer-tarian-unik-khas-sasak.html

33

Anda mungkin juga menyukai