Budaya:
DariAnthropologi ke Organisasi
178
S
etelah memahami berbagai pengertian budaya dalam perspektif anthropologi
dan memahami konsep budaya nasional seperti telah diuraikan pada bab
sebelumnya, pada bab ini akan diuraikan sejarah perjalanan konsep budaya
dari perspektif makro ke perspektif mikro yaitu perjalanan budaya dari anthropologi ke
organisasi. Dari penjelasan bab 3 tentang pengertian masyarakat (lihat bab 3 halaman
66), bisa disimpulkan bahwa organisasi 1 memiliki karakteristik sebuah masyarakat. Oleh
karenanya organisasi pada dasarnya bisa disebut sebagai masyarakat meski lingkup
sebuah organisasi terkadang sangat kecil. Namun bukan berarti semua organisasi
berskala kecil, sebaliknya dalam era modern seperti sekarang ini skala sebuah
organisasi bahkan bisa melebihi lingkup sebuah negara. Ambillah contoh IBM, Microsoft
dan Multi National Corporation (MNC) lainnya, kegiatan operaionalnya bahkan melewati
batas negara. Oleh karenanya sangat beralasan jika organisasi atau perusahaan seperti
halnya masyarakat lainnya juga memiliki budaya. Selain itu, karena organisasi
merupakan hasil kreasi manusia maka bisa dikatakan pula bahwa organisasi bukan
sekedar memiliki budaya tetapi juga merupakan hasil kebudayaan.
Pemahaman tentang organisasi sebagai hasil kebudayaan dan di saat yang
sama organisasi dianggap memiliki budaya menyebabkan kajian terhadap organisasi
tidak lagi bersifat linier. Hal ini bisa diartikan bahwa organisasi tidak serta merta bebas
nilai dan semua orang yang terlibat di dalamnya bersifat rasional. Namun sebaliknya,
organisasi merupakan hasil kreasi manusia yang sarat dengan nilai sehingga hitam
putihnya organisasi sangat bergantung pada bagaimana orang-orang yang terlibat
dengan organisasi menginterpretasikan dan memaknainya. Atau dengan kata lain,
organisasi tidak lagi dilihat semata-mata sebagai alat bantu yang sekedar diperuntukkan
untuk membantu manusia mencapai tujuan-tujuannya tetapi organisasi diperlakukan
sebagai realitas social yang bersifat simbolik interpretative.
Perubahan cara pandang ini mulai terjadi sejak akhir tahun 1920an setelah para
anthropolog terlibat dalam penelitian-penelitian organisasi. Keterlibatan para
anthropolog dalam studi organisasi membawa konsekuensi tersendiri yakni para
anthropolog bukan sekedar terlibat dalam studi organisasi tetapi juga membawa serta
teori dan konsep yang biasa mereka gunakan pada studi anthropologi budaya kedalam
178
bidang studi organisasi. Dari sinilah para teoritisi organisasi mulai mengadopsi dan
mengadaptasi teori-teori anthropologi budaya sebagai cara untuk memahami
oraganisasi.
Bab ini dengan demikian akan membahas proses perjalanan budaya dari
perspektif anthropologi ke organisasi sebagai landasan untuk memahami konsep
budaya organisasi yang akan dijelaskan pada bab-bab berikutnya. Uraian pada bab ini
akan dimulai dari sejarah perkembangan kajian budaya dalam bidang studi anthropologi
dilanjutkan dengan penjelasan tentang teori displacement yaitu bagaimana konsep
budaya diadopsi oleh bidang studi organisasi dan diakhiri dengan perkembangan studi
budaya dalam perspektif organisasi.
179
ringan dan disisi lain pemerintah juga mendapat tekanan dari kelompok minoritas yang
menuntut perbaikan hidup. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang
berhubungan dengan kaum minoritas inilah para anthropolog dimintai nasehatnya. Ujud
kongkrit dari kontribusi para anthropolog dalam menyelesaikan persoalan-persoalan
yang dihadapi pemerintah Amerika adalah dibentuknya unit layanan bagi kaum minoritas
(misalnya unit layanan Suku India4). Pemerintah Amerika juga memanfaatkan pekerjaan
para anthropolog ketika negara tersebut terlibat dalam perang dunia kedua. Mereka
diundang untuk memberi nasehat bagaimana seharusnya pemerintah Amerika
menghadapi musuh utamanya Jepang5.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, para anthropolog disamping dilibatkan
dalam menyelesaikan persoalan pemerintah yang bersifat makro juga dilibatkan dalam
persoalan yang bersifat lebih mikro yaitu persoalan organisasi. Seperti dijelaskan oleh
Susan Wright6, para anthropolog mulai terlibat dalam bidang studi organisasi sejak akhir
tahun 1920an saat kedua bidang studi tersebut sama-sama berada pada tahap awal
perkembangan. Dari sisi waktu, keterlibatan para anthropolog dalam bidang studi
oraganisasi dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) period waktu yaitu periode tahun
1920an, antara tahun 1950an - 1960an, dan terakhir sejak tahun 1970an sampai
sekarang.
Periode tahun 1920an
Meski organisasi sudah dikenal sejak jaman pre-historik, namun baru pada awal abad
XX organisasi mulai dikaji secara intensif 7. Bermula dari presentasi Henry R. Towne
(1886) berjudul "The Engineer as Economist" dihadapan American Society of
Mechanical Engineers8. Towne ketika itu menegaskan bahwa dalam mengelola
perusahaan seorang insinyur juga harus mengerti aspek-aspek ekonomi. Terinspirasi
oleh pendapat Towne, Frederick Taylor yang kebetulan hadir pada acara tersebut mulai
mengembangkan konsep manajemen pada awal tahun 1900an. Konsepnya, dikenal
dengan nama scientific management, dituangkan dalam beberapa buku diantaranya
"Shop Management" (1903) dan buku yang sangat populer dalam bidang studi
organisasi dan manjemen yaitu "The Principle of Scientific Management" (1911).
Scientific management atau sering pula disebut Taylorism pada dasarnya adalah
suatu pendekatan manajemen (sebuah mazhab) yang menempatkan manajer dalam
posisi sentral (management centered) dalam menjalankan kegiatan organisasi. Oleh
180
karenanya dalam pendekatan ini organisasi dikelola secara top-down (sentralistik).
Disamping itu, peran manajer dan pekerja dibedakan secara tegas. Tugas dan tanggung
jawab para manajer adalah membuat desain yang cocok untuk kepentingan produksi
dan organisasi, mengubah system yang tidak berjalan secara efektif, memilih orang
yang tepat dan melakukan pengawasan terhadap bawahan untuk memastikan bahwa
semua kegiatan berjalan sesuai rencana. Jika desain tersebut telah dirancang secara
tepat maka peran dan tugas seorang pekerja adalah mengikuti semua ketentuan yang
ada. Hanya dengan cara ini kinerja organisasi/perusahaan bisa tercapai sesuai rencana.
Ciri lain dari pendekatan ini adalah kegiatan proses produksi dan organisasi dibagi
kedalam tugas-tugas yang sangat kaku (rigid) dan terkotak-kotak (fragmented) dengan
masing-masing bagian hanya mengerjakan tugas yang diembannya. Walhasil, dengan
pendekatan scientific management seolah-olah peran manusia menjadi terpinggirkan,
tidak lebih sebagai supporting system seperti halnya faktor-faktor produksi lainnya.
Untuk menguji keberlakuan prinsip scientific management, Elton Mayo - seorang
psikolog dibantu tim peneliti dari Harvard University dan Yayasan Rockefeller pada
tahun 1927 dan 1932 dengan bantuan dana dari Rockefeller Foundation, melakukan
penelitian di Western Electric Hawthorne Plant yang berlokasi di Western Chicago dan
Cicero, Illinois. Penelitian ini yang akhirnya melahirkan mazhab baru dalam pengelolaan
organisasi Human Relation Approach, dalam perjalanannya juga melibatkan anthropolog
dan menggunakan pendekatan anthropologi sebagai dasar untuk menganalisis hasil
kegiatan organisasi.
Secara umum penelitian di Hawthrone Plant dilakukan melalui tiga tahap dengan
pendekatan yang berbeda. Tahap pertama dengan pendekatan eksperimen, tahap
kedua dengan interview dan tahap ketiga dengan observasi langsung. Jika tahap
pertama dan kedua menggunakan pendekatan psikologi maka pada tahap ketiga
menggunakan pendekatan anthropologi. Secara singkat, tahapan pada masing-masing
penelitian dan pendekatan yang digunakan akan dijelaskan pada uarian berikut ini:
1. Pada mulanya penelitian ini dilakukan dengan motode eksperimen yaitu dengan
melibatkan 6 (enam) orang pekerja wanita yang diminta melakukan pekerjaan seperti
biasa namun ditempatkan dalam ruang khusus yang berbeda dengan situasi dan
kondisi kerja sehari-hari. Di ruangan tersebut dilakukan 10 (sepuluh) macam bentuk
perubahan, khususnya perubahan fisik dan insentif dengan tujuan untuk mengetahui
181
pengaruh dari perubahan tersebut terhadap tingkat kelelahan para pekerja. Di ruang
observasi para pekerja juga diberi kebebasan untuk membentuk kelompok
kekerabatan (friendship group). Disamping itu supervisor yang dalam hal ini ditempati
oleh para peneliti juga menjalin hubungan baik dengan para pekerja. Hasil dari studi
eksperimen ini cukup mengejutkan yakni para pekerja yang selama ini tidak pernah
mempunyai inisiatif, sekarang justru menghasilkan inisiatif-inisiatif baru. Selain itu
output yang dihasilkan tetap meningkat apapun perubahan yang dilakukannya.
Bahkan ketika para pekerja kembali ke tempat kerja semula output yang
dihasilkannya tetap meningkat. Kesimpulan dari studi eksperimen ini adalah faktor
psikologis ternyata lebih berpengaruh terhadap perubahan output ketimbang faktor
fisik (desain organisasi misalnya) sebagaimana yang diasumsikan pada scientific
management.
2. Untuk menggali lebih jauh temuan pada tahap pertama yakni keserasian hubungan
baik diantara pekerja maupun antara para pekerja dan supervisor, dan untuk
menyiapkan bahan-bahan pelatihan bagi supervisor, penelitian dilanjutkan pada
tahap kedua dengan perubahan metode yaitu dengan metode interview. Antara tahun
1928 dan tahun 1930, Divisi Riset Western Electric mengadakan interview terhadap
21,126 pekerja. Karena hasilnya sulit untuk dianalisis dan kebetulan saat itu sedang
terjadi depresi ekonomi, sambil menanti pemulihan ekonomi, interview diulangi bukan
terhadap orang per orang melainkan terhadap kelompok-kelompok kecil. Hasil
analisis ini menunjukkan bahwa hubungan sosial pada kelompok-kelompok kecil
ternyata mampu mengendalikan prilaku individual anggota kelompok. Sekali lagi
temuan ini mempertegas hasil temuan pertama, yakni pentingnya hubungan informal
dan harmoni antar manusia dalam organisasi.
3. Untuk memahami hubungan informal dan hubungan sosial kelompok kerja, dilakukan
penelitian tahap ketiga dengan metode berbeda yaitu metode observasi langsung
dengan pendekatan anthropologis. Untuk model penelitian ini, Elton Mayo melibatkan
peneliti baru, Lloyd Warner, seorang anthropolog yang kebetulan baru pulang dari
Australia untuk penelitian terhadap Suku Aborigin. Warner membantu tim peneliti
dalam menerapkan teknik penelitian lapangan model anthropologi yang khusus
didesain untuk penelitian di tempat kerja. Disini tempat kerja diperlakukan seolah-
olah sebagai sebuah masyarakat dengan segala aspek kehidupannya yang dijalin
182
dalam sistem sosial. Namun karena jumlah pekerja terlalu banyak sehingga terlalu
sulit untuk mengamati seluruh masalah di tempat kerja, desain penelitian diubah
hanya melibatkan 15 orang pekerja laki-laki yang terdiri dari:
(1) 3 tim masing-masing beranggotakan 3 orang. Pekerjaan mereka adalah
menyambung kawat pada ujung tombol pesawat telepon;
(2) 3 orang tukang solder yang membantu ketiga tim tersebut, dan
(3) Dua orang inspektor dan seorang supervisor.
Kelimabelas orang tersebut ditempatkan pada ruang khusus (ruang simulasi)
yang dinamakan Bank Wiring Observation Room. Ruangan ini didesain sedemikian
rupa sehingga menyerupai kondisi tempat kerja yang sebenarnya, baik yang
menyangkut tata letak pabrik, kondisi kerja dan model supervisi.
Penelitian tahap ketiga ini dipandu oleh dua orang staff - seorang bertindak
sebagai interviewer dan tetap berada diluar kelompok 15 orang (sebagai outsider)
dengan tujuan agar para pekerja bisa menyampaikan sikap dan keluhan mereka
terhadap suasana kerja, sementara yang seorang lagi sebagai observer yang terlibat
didalam ruang simulasi untuk mengamati proses kerja formal dan hubungan informal
pekerja. Pola ini dimaksudkan (1) untuk memperlakukan tempat kerja sebagai
sebuah kelompok sosial dan (2) untuk memahami kaitan antara hubungan informal
pekerja dengan fungsi-fungsi organisasi formal yaitu aturan formal dan sistem insentif
yang didesain dalam rangka untuk melihat kenaikan output dari masing-masing
pekerja secara individual.
Dengan menggunakan konsep sistem sosial yang dikembangkankan Radcliff-
Brown sebagai dasar analisis, tim peneliti mulai melakukan observasi langsung
terhadap kegiatan para pekerja dan prilaku sosial mereka. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa ketiga unit kerja yang menjadi obyek penelitian pada akhirnya
mengelompokkan diri menjadi dua kelompok kecil (membentuk klik). Mereka bermain
bingo disela-sela istirahat kerja dan membentuk friendship group. Tidak jarang
diantara mereka saling membantu dalam pekerjaan atau sebaliknya saling beroposisi
baik diantara anggota kelompok maupun dengan kelompok lainnya. Walhasil dalam
bank wiring observation room ini terbentuklah sebuah masyarakat dengan segala
sistem sosialnya.
183
Dari pengamatan terhadap output para pekerja, ternyata catatan perusahaan
menunjukkan bahwa output yang dihasilkan para pekerja meningkat secara garis
lurus. Ketika peningkatan output ini dianalisis dalam dua perspektif yang berbeda
yakni perspektif anthropologi dan psikologi, kesimpulan akhirnya pun berbeda.
Menurut perspektif anthropologi, kenaikan output ini disebabkan bukan karena
kepatuhan para pekerja terhadap ketentuan manajemen melainkan karena
kesepatakan bersama (shared idea) para pekerja dalam menetapkan standard kerja
harian. Standard kerja ini ditetapkan dengan mempertimbangkan baik aspek sosial
maupun pendapatan yang diperkirakan akan menguntungkan mereka. Karena yang
menentukan standard kerja adalah para pekerja itu sendiri, bisa dikatakan bahwa
para pekerja cenderung mengabaikan ketentuan formal perusahaan, oleh karenanya
shared idea ini sering diinterpretasikan sebagai sebuah sentimen yang tidak rasional
dan tidak logis. Namun ketika hasil studi ini dianalisis dari perspektif psikologi
(analisis yang didasarkan pada prilaku individual pekerja) kesimpulannya berbeda.
Menurut perspektif ini, penolakan para pekerja untuk bekerja sama dengan pihak
manajemen lebih disebabkan karena rasa frustasi para pekerja. Rasa frustasi ini
muncul karena pada dasarnya para pekerja enggan diatur dan dikendalikan pihak
manajemen.
Meski hasil dari studi Hawthrone ini, khususnya pada penelitian tahap ketiga,
sulit dibuat kesimpulan akhir karena perbedaan sudut pandang, sebagaimana telah kita
ketahui bersama studi di Hawthrone ini merupakan awal lahirnya mazhab baru dalam
bidang studi manajemen dan organisasi yakni Human Relation Approach yang berbeda,
kalau tidak dikatakan bertolak belakang, dengan mazhab sebelumnya Scientific
Management. Disamping itu, dan ini yang jarang terungkap, studi ini juga merupakan
awal keterlibatan anthropolog dalam studi organisasi. Dari sinilah pendekatan
anthropologi pada studi organisasi mulai dikembangkan.
184
Chicago University, mendirikan sebuah komite yang dinamakan Committee on Human
Relation in Industry. Komite ini, yang dibiayai oleh enam perusahaan (masing-masing
hanya menyetor US$ 3600), bertujuan untuk membantu menyelesaikan masalah-
masalah organisasi dengan pendekatan anthropologi dengan menjadikan tempat kerja
sebagai sebuah sistem sosial. Selain itu, universitas-universitas lain seperti Cornell
University dan Harvard University juga mendirikan lembaga sejenis setelah sebelumnya
pada tahun 1941 didirikan sebuah lembaga profesional yang dinamakan Society for
Applied Anthropology. Lembaga inilah yang berfungsi untuk mengumpulkan dan
mengkaji laporan hasil penelitian anthropologi yang dilakukan di perusahaan /industri.
185
organisasi. Pada saat itu, secara kebetulan sosiologi industri sudah banyak
diaplikasikan di Inggris9, sehingga kehadiran anthropologi organisasi tidak banyak
mengalami hambatan.
Dalam upayanya untuk membenahi kinerja industri yang porak poranda akibat
perang dunia kedua, Departemen Anthropologi dan Sosiologi Manchester University
dengan bantuan pendanaan dari Marshall Plan yang disalurkan pemerintah Inggris
melalui Department of Scientific and Industrial Research melakukan lima seri penelitian
di beberapa perusahaan yang bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara output
norms dengan struktur kelompok informal. Obyek yang diteliti misalnya: perusahaan
garment yang sebagian besar pekerjanya adalah wanita, perusahaan electric
transformer yang pekerjanya adalah laki-laki, perusahaan garment tradisional,
perusahaan konveksi yang mempekerjakan laki-laki dan perermpuan, dan perusahaan
perakitan pipa.
186
organisasi dipandang sebagai hasil kebudayaan dan sekaligus memiliki budaya
sebagaimana akan diuraikan pada bagian berikut ini.
187
bisa jadi karena masing-masing anggota mempunyai agenda dan interest tersendiri
yang berbeda dengan tujuan formal organisasi. Sebagai contoh, promosi jabatan yang
menurut sistem formal seharusnya didasarkan pada kriteria tertentu yang telah
ditetapkan organisasi, dalam praktek ketentuan ini bisa saja dilanggar. Yang
dipromosikan bukan orang yang memenuhi kriteria tersebut melainkan orang yang
misalnya memiliki hubungan khusus (kerabat dekat misalnya) dengan si pengambil
keputusan. Penyimpangan ketentuan ini menunjukkan bahwa sistem formal organisasi
terkadang tidak bisa sepenuhnya diterapkan karena ada pihak-pihak tertentu - dalam hal
ini orang yang mengambil keputusan dan kerabat dekatnya, yang kepentingan
pribadinya lebih dikedepankan ketimbang kepentingan organisasi.
Dalam kehidupan sebuah organisasi, sistem formal dan sistem informal selalu
hadir berdampingan meski proporsi masing-masing berbeda. Sebuah organisasi
terkadang memiliki sistem formal yang lebih dominan sedangkan organisasi lainnya
yang lebih dominan adalah sistem informalnya. Oleh karenanya agar organisasi bisa
mencapai tujuannya lebih efektif, bukan hanya sistem formal yang harus dipahami,
dikelola dan mendapat perhatian lebih baik tetapi sistem informalnya juga perlu
mendapat perhatian yang kurang lebih sama meski sekali lagi tidak harus
mengakomodasi seluruh sistem informal yang ada. Secara umum hubungan keduanya
(sistem formal dan informal) adalah layaknya sebuah gunung es seperti tampak pada
gambar 5.1 berikut ini.
FORMAL
FORMAL ASPECTS
ASPECTS
Vision
Vision and
and Mission
Mission
Strategic
Strategic Plan
Plan
Organization
Organization structure,
structure, policy,
policy,
and
and Procedures
Procedures
Job
Job Descriptions
Descriptions
188
Gambar 5.1: Organisasi dianalogikan sebagai gunung es.
Seperti tampak pada gambar diatas, organisasi diibaratkan sebuah gunung es.
Sebagaimana kita ketahui, meski gunung es secara fisik sangat besar tetapi bagian
yang muncul ke permukaan laut relatif sangat kecil dibandingkan besaran gunung es itu
INFORMAL ASPECTS
Individual
sendiri. Selebihnya, porsi terbesar perception
justru of the job
tidak tampak ke permukaan. Dengan analogi
Personal agenda in each level of the organization
seperti ini bisa dikatakan bahwa organisasi
Competition juga in
among elements memilki kondisi yang sama. Aspek-
organization
Interdepartmental trust
aspek organisasi yang tampak ke permukaan relatif kecil dibandingkan dengan aspek-
Individual belief and value of the employee
aspek yang tidak tampak. Aspek organisasi yang tampak ke permukaan biasa disebut
sebagai aspek formal organisasi seperti: visi dan misi organisasi, perencanaan strategis,
struktur, kebijakan dan prosedur organisasi dan deskripsi jabatan. Sedangkan aspek
yang tidak tampak ke permukaan disebut sebagai aspek informal organisasi yang
kesemuanya bersifat keprilakuan seperti: persepsi karyawan terhadap pekerjaan,
agenda diri setiap orang pada setiap level organisasi, tingkat kompetisi diantara
karyawan atau antar departemen di dalam organisasi, tingkat kepercayaan antar
departemen dan keyakinan dan nilai-nilai individu masing-masing karyawan.
Selain memiliki dua komponen seperti disebutkan diatas – formal dan informal
yang berada dalam lingkungan internal organisasi, organisasi juga memiliki komponen
189
ketiga yang berada diluar organisasi. Komponen ketiga ini biasa disebut sebagai
lingkungan eksternal organisasi. Termasuk dalam komponen ini misalnya sistem
ekonomi, politik, dan hukum sebuah negara, serta sistem sosial, budaya dan tata nilai
(values) masyarakat. Karena keberadannya. komponen ini biasanya dianggap sebagai
variabel tidak terkendali dan diterima apa adanya (taken for granted) oleh sebuah
organisasi. Meski demikian pengaruhnya terhadap kehidupan organisasi tidak bisa
diabaikan karena secara tidak langsung lingkungan eksternal bisa mempengaruhi dan
menjadi sumber terbentuknya sistem informal yang pada gilirannya juga bisa
mempengaruhi sistem formal dan kegiatan organisasasi secara keseluruhan.
Contoh berikut ini menggambarkan pengaruh lingkungan eksternal organisasi
terhadap sistem informal dan dampaknya terhadap sistem formal. Sebelum bergabung
dan bekerja pada sebuah organisasi, seseorang terlebih dahulu bergabung dan menjadi
anggota masyarakat tempat ia tinggal dan menjalani hidup sehari-hari. Sebagai anggota
masyarakat yang tinggal dalam kurun waktu lama dan berinteraksi dengan anggota
masyarakat lainnya, tentunya ia tidak bisa melepaskan diri dari budaya dan tata nilai
yang berlaku didalam masyarakat tersebut. Oleh sebab itu sangat tidak mengherankan
manakala seorang anggota masyarakat bergabung dengan sebuah organisasi, ikatan
terhadap budaya dan tata nilai masyarakat masih akan dipertahankan dan ia bawa ke
tempat kerja. Di tempat kerja, jika budaya dan tata nilai tersebut di-shared (dipraktikkan
bersama) dengan anggota organisasi lainnya maka lambat laun akan berubah menjadi
bagian dari sistem informal organisasi. Selanjutnya, jika sistem informal ini cukup
dominan maka pengaruhnya terhadap cara kerja fungsi-fungsi formal organisasi tidak
lagi bisa dihindarkan.
190
komponen tidak terkendali dan berada diluar organisasi, secara gradual, berubah
menjadi bagian integral dari kehidupan sebuah organisasi khususnya ketika para
anggota organisasi memanfaatkannya sebagai sarana untuk membangun sistem
informal organisasi. Oleh sebab itu tidak seperti yang diasumsikan pada pendekatan
scientific management yang menganggap bahwa organisasi adalah bebas nilai,
pengakuan terhadap budaya dan tata nilai sebagai bagian dari lingkungan internal
organisasi menjadikan organisasi tidak lagi bebas nilai.
Dengan anggapan bahwa organisasi tidak bebas nilai berarti kita menganggap
pula bahwa organisasi yang satu boleh jadi berbeda dengan organisasi lainnya, meski
keduanya bergerak dalam bidang yang sama, karena masing-masing organisasi
memiliki budaya dan nilai-nilai tersendiri - organization has a culture seperti dikatakan
oleh Linda Smircich.11 Anggapan ini misalnya didukung oleh Hofstede yang mengatakan
bahwa teori organisasi/ manajemen yang dibangun dan berlaku di satu tempat (di
Amerika misalnya) tidak bisa secara otomatis berlaku di tempat lain salah satunya
karena perbedaan budaya dan tata nilai tempat keberadaan masing-masing
organisasi12.
Dari penjelasan diatas akhirnya dapat disimpulkan bahwa budaya yang pada
mulanya menjadi domain bidang studi anthropologi, belakangan juga menjadi salah satu
variabel kunci pada bidang studi organisasi. Bukan hanya itu, Erez and Early13 misalnya
menjelaskan bahwa budaya juga menjadi perhatian bidang studi lain seperti sosiologi,
psikologi dan manajemen. Perkembangan studi budaya pada beberapa disiplin ilmu
diatas yang terjadi mulai dari awal tahun 1900an sampai sekarang digambarkan pada
tabel 5.1 berikut ini.
Tabel 5.1
Trend perkembangan studi budaya dalam berbagai disiplin ilmu
Value Corporate
Prilaku approach culture and
191
organisasi comparative
management
Periode Approx 1900 - 1920 – 1940 1940 - 1940 1960 - 1980 1980 –
waktu 1920 present
Tabel 5.2
Titik singgung antara teori organisasi dan budaya
Konsep Budaya dalam Disiplin Tema-tema Penelitian Konsep Organisasi dalam Disiplin
Anthropologi Organiasi dan Manajemen Teori Organisasi
Budaya adalah sebuah instrumen yang Organisasi adalah instrumen sosial
berfungsi sebagai alat untuk melayani yang didirikan untuk menyelesaikan
kebutuhan-kebutuhan biologis dan tugas-tugas manusia (teori
psikologis manusia (pendekatan organisasi klasik)
functionalism)
192
Cross-culture
Atau
Comparative management
Budaya berfungsi sebagai mekanis-me Organisasi adalah sebuah
aturan yang bersifat adaptif yang organisme yang adaptif.
menyatukan individu-individu kedalam Keberadaannya terjadi karena
sebuah struktur sosial (pendekatan pertukarannya dengan lingkungan
structural functionalism)
eksternal (teori organisasi
kontingensi)
Corporate culture
Organizational cognition
Budaya adalah sistem simbol dan sistem Organisasi adalah pola diskursus
makna yang dijiwai dan dipahami yang simbolik. Keberadaan organisasi
bersama oleh para anggotanya. Agar bisa dipertahankan melalui sarana-
bisa dipahami artinya, tindakan-tindakan sarana yang bersifat simbolik seperti
simbolik memerlukan interpretasi dan bahasa yang memungkinkan adanya
penjelasan lebih lanjut (pendekatan saling share terhadap makna dan realitas
symbolic anthropology) (teori organisasi symbolic)
Organizational symbolism
193
diperlakukan sebagai variabel organisasi. Sedangkan pada ketiga tema terakhir budaya
diperlakukan bukan sebagai variabel melainkan sebagai root metaphor (akar
perumpamaan). Pada ketiga tema terakhir ini kita beranggapan bahwa organisasi bukan
sekedar memiliki budaya tetapi juga sebagai hasil kebudayaan. Jadi, dari tabel 5.2
tampak jelas bahwa istilah budaya organisasi muncul ketika organisasi dipandang
sebagai organisme yang adaptif (sebuah pandangan yang sesuai dengan pendekatan
kontijensi dalam teori manajemen) dan disisi lain budaya dipahami sebagai mekanisme
aturan yang berisifat adaptif dan berfungsi menyatukan individu-individu kedalam
sebuah struktur sosial.
Keterlibatan para anthropolog dalam bidang studi organisasi yang menghasilkan tema-
tema penelitian seperti disampaikan oleh Linda Smircich menyebabkan teori dan konsep
yang pada mulanya hanya digunakan semata-mata untuk bidang penelitian anthropologi
budaya, tidak bisa dihindarkan, akhirnya juga dibawa serta ke bidang studi organisasi.
Bukan hanya itu, para anthropog juga membawa serta cara-cara atau metode-metode
penelitian anthropologi ke dalam bidang studi organisasi. Oleh karenanya sangat tidak
mengherankan jika bidang studi organisasi yang pada awalnya cenderung berkiblat
pada bidang studi psikologi dengan segala pola pikirnya yang bisa dikatakan sangat
positivistik belakangan mulai bergeser. Pergeseran ini bukan berarti pendekatan
positivistik mulai ditinggalkan melainkan bidang studi organisasi tidak menolak
pendekatan-pendekatan lain sebagai sarana untuk memahami organisasi. Gareth
Morgan misalnya, seperti telah dijelaskan pada bagian akhir bab I, mengatakan bahwa
organisasi bisa dipahami dengan 8 cara pandang. Pemahaman ini hampir tidak mungkin
dilakukan jika kita tidak menggunakan cara pandang disiplin ilmu lain seperti politik,
budaya, biologi dan ilmu social.
Penggunaan disiplin lain pada telaah bidang studi organisasi, seperti dikatakan
oleh Nancy Morey dan Fred Luthans15, di satu sisi diharapkan akan semakin
memperkaya dan semakin memperluas perspektif dalam kajian-kajian bidang studi
organisasi. Di sisi lain dengan semakin banyaknya cara yang digunakan dan semakin
194
luasnya perspektif dalam kajian-kajian bidang studi organisasi, organisasi seperti
dijelaskan Czarniawska-Joerges, menjadi bidang kajian yang semakin kompleks16.
Walhasil, dewasa ini organisasi menjadi lahan yang tidak ada habisnya untuk dikaji.
Berbagai disiplin ilmu bisa dengan mudah memasuki wilayah organisasi. Dalam 25
tahun terakhir bidang studi organisasi didominasi oleh masuknya disiplin ilmu
anthropologi budaya. Masuknya disiplin lain dalam bidang studi organisasi pada
akhirnya menghasilkan konsep-konsep baru seperti dijelaskan Linda Smircich diatas.
Dengan merujuk pada teori pemindahan konsep sebagaimana dikemukakan oleh Schon
– the displacement of concept, Nancy Morey and Fred Luthans, mengatakan bahwa
proses pemindahan konsep (displacement of concept) dari konsep budaya ke konsep
organisasi dilakukan melalui 4 tahap yakni:
1. Transposition stage. Tahap ini merupakan tahap awal dimana konsep lama
(dalam hal ini konsep budaya) dipindahkan ke situasi yang baru (dalam konteks
organisasi). Organisasi dengan demikian dipahami dengan cara pandang yang
baru yang pada bidang studi anthropologi semula unit analisisnya adalah
masyarakat sekarang adalah organisasi. Pemindahan konsep ini pada awalnya
ini dianggap menggelikan/lucu dan dianggap tidak pada tempatnya sehingga
tidak jarang perdebatan dan intrik dalam cara pandang yang baru tidak bisa
dihindarkan
2. Interpretation stage. Setelah melalui tahap transposisi, tahap berikutnya adalah
interpretasi. Pada tahap ini konsep lama yang telah dipindahkan ke situasi yang
baru digunakan untuk menginterpretasikan kejadian-kejadian pada konteks
organisasi. Pada contoh penelitian di Hawthrone plant (bank wiring observation
room) (lihat halaman 150) peningkatan output yang bersifat garis lurus
diinterpretasikan secara berbeda antara para anthropolog dengan para psikolog.
3. Correction stage. Dengan adanya interpretasi yang berbeda terhadap kejadian
yang sama menjadikan semakin luasnya perspektif pemahaman organisasi.
Meski demikian penggunaan konsep lama dalam situasi baru tidak bisa diadopsi
secara membabi buta, kadang-kadang perlu ada koreksi, adjustment atau
modifikasi agar konsep lama tersebut betul-betul operasional.
4. Spelling-out stage. Setelah melalui proses modifikasi yang berulang-ulang, tahap
terakhir adalah menegaskan secara eksplisit bahwa konsep lama tersebut cocok
195
untuk digunakan pada bidang studi yang baru dan bahkan bisa menghasilkan
konsep-konsep baru. Dalam bidang studi organisasi, munculnya konsep budaya
organisasi yang akan dijelaskan pada bagian berikut dalam bab ini, tidak lepas
dari proses displacement of concept dari bidang studi anthropologi ke bidang
studi organisasi. Meski demikian Schon mengingatkan bahwa proses
displacement of concept tidak pernah mencapai titik sempurna. Hal inilah yang
mendorong Morey and Luthans mencoba memburnikan kembali displacement of
concept khususnya yang berkaitan dengan penggunaan konsep budaya untuk
bidang studi organisasi dengan menggunakan adegan (scence) dan tema
(theme) sebagai landasanya.
196
Dari berbagai penelitian pendahuluan tentang kaitan antara budaya dengan
organisasi/perusahaan, dua diantaranya disebutkan diatas, penelitian berikutnya mulai
secara spesifik membahas budaya organisasi. Andrew Pettigrew dengan tulisannya “On
studying organizational culture” yang dimuat jurnal ilmiah Administrative Science
Quarterly pada tahun 1979 bisa disebut sebagai orang pertama yang secara resmi
menggunakan istilah budaya organisasi. Dalam papernya Pettigrew menganalisis
sebuah organisasi (tepatnya organisasi sekolah) bukan dengan pendekatan positivistic
melainkan melalui pendekatan sejarah. Melalui pendekatan sejarah – yang kemudian
memunculkan istilah budaya organisasi, Pettigrew menceritakan perubahan tata nilai
organisasi bersamaan dengan penggantian Kepala Sekolah dan perubahan organisasi
dari satu periode berikutnya.
Dari situ istilah budaya organisasi mulai populer. Dengan menggunakan kata
kunci “organizational culture”, “corporate culture”, “organizational symbols / symbolism”
dan “ managerial symbols / symbolism”, Barley, Meyer and Gash 19, misalnya pada bulan
Mei 1985 mendata 5 jurnal yang terbit sejak tahun 1975 sampai Juni 1985 untuk
mengetahui seberapa banyak para akademisi maupun para prkatisi menulis artikel yang
berkaitan dengan budaya organisasi. Hasil pendataan tersebut, seperti tampak pada
tabel 5.3 menunjukkan bahwa jumlah tulisan tentang budaya organisasi sejak tahun
1982 meningkat secara eksponensial. Hal ini bisa diartikan bahwa populeritas budaya
organisasi mulai terjadi pada awal tahun 1980an setelah berbagai buku ilmiah, buku
semi ilmiah dan artikel-artikel ilmiah lainnya mulai secara intensif mendiskusikan konsep
budaya organisasi, utamanya setelah terbit buku-buku populer seperti: “In search of
excellence” (Peter and Waterman, Jr., 1982); “Theory Z” (William Ouchie, 1981); dan
“Corporate Culture” (Deal and Kennedy, 1982). Selain itu dua jurnal ilmiah yakni
Administrative Science Quarterly (ASQ) dan Organization Dynamics (OD) yang pada
tahun 1983 menerbitkan edisi khusus yang memuat berbagai tulisan tentang budaya
organisasi juga ikut mempopulerkan istilah budaya organisasi.
Tabel 5.3
Perkembangan studi budaya organisasi
130 –
120 –
110 –
197
100 –
90 –
80 –
70 –
60 –
50 –
40 –
30 –
20 –
10 –
Meski ketika itu istilah budaya organisasi sudah menjadi pembicaraan sehari-hari
para praktisi bisnis, manajer dan akademisi, namun secara konseptual kerangka pikir
(construct) budaya organisasi masih berada pada tataran mencari bentuk – masih
berada pada tahap embrionik. Seperti dikatakan oleh Reichers and Schneider 20, tahap
perkembangan budaya organisasi sebagai sebuah konsep seperti halnya konsep-
konsep baru lainnya dapat dikelompokkan menjadi tiga tahap yaitu: tahap pengenalan
dan elaborasi – introduction and elaboration, tahap evaluasi dan pengembangan –
evaluation and augmentation, dan tahap konsolidasi dan akomodasi – consolidation and
accomodation.
Tahap pertama – pengenalan dan elaborasi ditandai dengan upaya-upaya untuk
melegitimasi konsep baru (atau konsep yang baru diadopsi dari disiplin lain – dalam hal
ini konsep budaya organisasi yang diadopsi dari disiplin anthropologi). Upaya-upaya
tersebut biasanya muncul dalam bentuk tulisan yang mencoba meyakinkan para
pembaca awam tentang kejelasan definisi, pentingnya konsep tersebut dan perlunya
memahami dan mengintegrasikan ide-ide awal yang masih berserakan. Tahap ini juga
mencoba mengelaborasi definisi-definisi awal yang relatif belum mapan dan
membuktikan bahwa konsep tersebut dapat menjelaskan fenomena yang ada (dalam
198
hal studi organisasi, konsep budaya dicoba digunakan untuk menjelaskan fenomena
organisasi). Dalam konteks perkembangan konsep budaya organisasi, 9 (sembilan)
artikel yang dimuat edisi khusus ASQ (1983) misalnya bisa dikategorikan sebagai artikel
yang masuk tahap pertama kecuali tulisan Wilkin and Ouchie yang bisa dikatakan
sebagai kategori kedua - evaluasi dan pengembangan. Secara umum beberapa artikel
budaya organisasi yang bisa dikategorikan kedalam tahap pertama bisa dilihat dari tabel
5.4 berikut ini.
Tabel 5.4
Beberapa Artikel/Buku Budaya yang Digolongkan Kedalam Kategori Pertama
1982 Deal & Corporate culture Diskusi mendalam tentang sifat, tipe dan cara
Kennedy mengelola budaya organisasi
1983 E.H. Schein The Role of Founder in Menjelaskan definisi budaya secara mendalam;
Creating organizational diskusi tentang sumber pembentukan budaya
culture dan cara penyebarannya
1984 E.H. Schein Coming to the Menjelaskan definisi dan eksplorasi konsep
Awareness of budaya
organizational Culture
1984 Trice & Studying Organizational Menjelaskan definisi budaya; saran untuk
199
Beyer Culture through Rites mempelajari budaya melalui ritual dan uparaca-
and Ceremonies upacara.
1984 Frost, Moore, Organizational Culture Kumpulan tulisan dengan fokus definisi budaya
Louis, dan isu-isu yang berkaitan dengan cara
Lunberg & mengelola budaya, mempelajari budaya dan
Martin hubungan antara budaya organisasi dengan
budaya masyarakat.
Tabel 5.5
Beberapa Artikel/Buku Budaya yang Digolongkan Kedalam Kategori Kedua
200
Siehl uneasy symbiosis Juga menawarkan rekonseptualisasi (meski
bersifat parsial) terhadap konsep budaya yang
ada.
1985 V. Sathe Culture and corporate Buku teks yang menjelaskan penggunaan
related realities budaya untuk menyelesaikan masalah yang
berkaitan dengan siklus hidup organisasi.
Tabel 5.6
201
Beberapa Artikel/Buku Budaya yang Digolongkan Kedalam Kategori Ketiga
202
1992 Joanne Culture in Buku ini menjelaskan bahwa budaya yang
Martin organizations: three berkembang pada sebuah organisasi tidak
perspective hanya bersifat integrative tetapi juga
differentiative dan fragmented
2001 John Ogbor Critical theory and the Artikel ini, dengan menggunakan critical
hegemony of corporate theory membahas dan membuat rerangkan
culture untk memahami peran budaya perusahaan
dalam hegemoni perusahaan.
RINGKASAN
203
Perubahan cara pandang ini dimungkinkan setelah para anthropolog juga membawa
serta cara-cara atau metode-metode, yang biasa digunakan untuk meneliti budaya
dalam perspektif makro, ke dalam penelitian organisasi. Proses pemindahannya disebut
displacement of concept. Jadi, konsep budaya organisasi yang kita pelajari sekarang ini
sesungguhnya telah melalui proses evolusi yang panjang sejak tahun 1920an sampai
dengan 1980an.
204
LAMPIRAN
Pendekatan Fokus yang dipelajari Diantara peneliti Hasil studi yang ingin Asumsi yang digunakan
anthropologi utama diungkap
Cultural evolution Budaya = keseluruhan aspek C. Taylor (1871) Mencari bentuk umum (grand Masyarakat terdidik dianggap
hidup manusia yang sangat laws) tentang asal muasal dan lebih superior dibanding
kompleks, termasuk: aspek perkembangan budaya masyarakat primitif
kognitif, prilaku, dan kebendaan
yang diperoleh dan melekat
pada diri manusia
Hstorical Fakta, traits (ciri bawaan) dan F. Boas (1896, 1917) Mengumpulkan data di tempat Anthropologi bersifat historis,
particularism elemen-elemen fisik (in situ) dan menemukan induktif dan scientific
anthropologi prinsip-prinsip umum budaya
Individu merupakan unit
analisis yang sangat penting
dalam mempelajari budaya
Superorganic (non-individual) A.L. Kroeber (1917) Untuk menemukan pola dan Anthropologi adalah sebuah
konfigurasi budaya dalam sejarah bukan science
rangka mencari grand theory
budaya
Individu merupakan bagian
budaya
Functionalism Menemukan struktur baku A.R. Radcliffe-Brown Struktur sosial merupakan Konsep budaya dianggap
sistem alam (natural system) (1952, 1957) abstraksi dari prilaku manusia kurang berarti dibandingkan
dan mencoba untuk memahami konsep sistem sosial
bagaimana masing-masing
bagian berfungsi didalam sistem
tersebut
Study tentang sistem sosial; Anthropology adalah science
Kultur adalah satu set peraturan menentukan fungsi prilaku
untuk menyelaraskan manusia dalam hal sejauhmana prilaku Manusia dikelompokkan ke
ke dalam sebuah sistem tersebut bisa memberi makna/ dalam sebuah sistem yang
kejejahteraan bagi sekelompok membentuk keseluruhan
215
orang aspek kehidupan yang
bagian-bagiannya
membentuk keseluruhan
aspek tersebut
Cultural Budaya adalah prilaku yang J. Stuart (1955) Pengaruh lingkungan dan Anthropologi adalah sebuah
materialism dapat diobservasi technoenvironment dalam science
membentuk budaya
Budaya adalah prilaku M. Harris (1964) Prilaku kolektif Budaya merupakan prilaku
yang ditentukan oleh faktor-
faktor technoenvironment
Cultural idealism: Budaya adalah sebuah R. Benedict (1934; Budaya adalah penentu Budaya adalah pola pikir dan
psychological keseluruhan yang terintegrasi 1942) kepribadian tindakan yang konsisten
anthropology dan konsisten sehingga menjadi
keseluruhan yang terintegrasi
216
M. Mead (1939) Budaya adalah perbedaan gaya Budaya = kepribadian dari
hidup para anggotanya dan
menentukan kepribadian para
anggota tersebut
“Superorganic” A.L. Kroeber (1917)
Structuralism Collective unconscious (asumsi C. Levi-Strauss Aspek psikologis dari struktur Sejarah akan melekat pada
bersama yang berada diluar (1920, 1949) dasar dalam cara berpikir kehidupan manusia
kesadaran mereka) manusia
Symbolic Budaya = system of symbols C. Geertz (1973) Kombinasi antara penjelasan Simbol merupakan bagian
anthropology V. Turner (1967) orang dalam (emic) dan orang proses sosial. Simbol-simbol
luar (etic) tersebut terkait dengan
kepentingan manusia, tujuan
mereka dan hasil dan alat-
alat untuk mencapai tujuan
tersebut
217
Catatan Kaki
218
1
Penjelasan detail tentang organisasi telah diberikan pada bab I. Oleh karena itu para pembaca
disarankan untuk kembali membuka bab tersebut.
2
Sonja A. Sackman, 1991, Cultural knowledge in orgaizations: exploring the collective mind,
Newbury Park, Cal.: Sage Publ.
3
Edward Hall, 1990, The Silent language, New York: Anchor books, halaman 22.
4
Edward Hall, 1990, ibid, halaman 22
5
Lihat Jay M. Shafritz and J. Steven Ott, 2001, Classic of Organization Theory, 5th edition, halaman.
8 - 25
9
Misalnya, Tavistock Institute yang mempunyai hubungan baik dengan daratan Amerika
mengembangkan Human Relation Approach dan Socio Technical System untuk industri. Untuk
penjelasan lebih lanjut lihat Susan wright, 1994, op cit, halaman 10.
10
Linda Smircich ,1983, Concept of Culture and Organizational Analysis, Administrative Science
Quarterly, 28, halaman. 339-358.
12
G. Hofstede, 1992, Motivation, leadership and organization: Do American theories apply abroad? In
J.J. DiStefano and H.W. Lane (eds.) International management behavior, 2nd edition, Boston: PWS
Publishing Co.
13
Miriam Erez and P. Christopher Early, 1993, Culture, Self Identity and Work, Oxford University Press,
halaman. 71
14
R. T. Pascale and A. G. Athos, 1981, The art of Japanese management, New York: Warner books
edition
19
S. R. Bayer, G. W. Meyer and D. C. Gash, 1988, Culture of culture: Academics, practitioners and the
pragmatics of normative control, Administrative science quarterly, halaman 24 – 60.
20
A. E. Reichers and B. Schneider, 1990, Climate and culture: An evolution of constructs, in B.
Schneider (ed.) Organizational Climate and culture, San Francisco, Cal: Jossey Bass Inc., halaman
5 – 39.