Anda di halaman 1dari 34

BAB V

Budaya:
DariAnthropologi ke Organisasi

178
S
etelah memahami berbagai pengertian budaya dalam perspektif anthropologi
dan memahami konsep budaya nasional seperti telah diuraikan pada bab
sebelumnya, pada bab ini akan diuraikan sejarah perjalanan konsep budaya
dari perspektif makro ke perspektif mikro yaitu perjalanan budaya dari anthropologi ke
organisasi. Dari penjelasan bab 3 tentang pengertian masyarakat (lihat bab 3 halaman
66), bisa disimpulkan bahwa organisasi 1 memiliki karakteristik sebuah masyarakat. Oleh
karenanya organisasi pada dasarnya bisa disebut sebagai masyarakat meski lingkup
sebuah organisasi terkadang sangat kecil. Namun bukan berarti semua organisasi
berskala kecil, sebaliknya dalam era modern seperti sekarang ini skala sebuah
organisasi bahkan bisa melebihi lingkup sebuah negara. Ambillah contoh IBM, Microsoft
dan Multi National Corporation (MNC) lainnya, kegiatan operaionalnya bahkan melewati
batas negara. Oleh karenanya sangat beralasan jika organisasi atau perusahaan seperti
halnya masyarakat lainnya juga memiliki budaya. Selain itu, karena organisasi
merupakan hasil kreasi manusia maka bisa dikatakan pula bahwa organisasi bukan
sekedar memiliki budaya tetapi juga merupakan hasil kebudayaan.
Pemahaman tentang organisasi sebagai hasil kebudayaan dan di saat yang
sama organisasi dianggap memiliki budaya menyebabkan kajian terhadap organisasi
tidak lagi bersifat linier. Hal ini bisa diartikan bahwa organisasi tidak serta merta bebas
nilai dan semua orang yang terlibat di dalamnya bersifat rasional. Namun sebaliknya,
organisasi merupakan hasil kreasi manusia yang sarat dengan nilai sehingga hitam
putihnya organisasi sangat bergantung pada bagaimana orang-orang yang terlibat
dengan organisasi menginterpretasikan dan memaknainya. Atau dengan kata lain,
organisasi tidak lagi dilihat semata-mata sebagai alat bantu yang sekedar diperuntukkan
untuk membantu manusia mencapai tujuan-tujuannya tetapi organisasi diperlakukan
sebagai realitas social yang bersifat simbolik interpretative.
Perubahan cara pandang ini mulai terjadi sejak akhir tahun 1920an setelah para
anthropolog terlibat dalam penelitian-penelitian organisasi. Keterlibatan para
anthropolog dalam studi organisasi membawa konsekuensi tersendiri yakni para
anthropolog bukan sekedar terlibat dalam studi organisasi tetapi juga membawa serta
teori dan konsep yang biasa mereka gunakan pada studi anthropologi budaya kedalam

178
bidang studi organisasi. Dari sinilah para teoritisi organisasi mulai mengadopsi dan
mengadaptasi teori-teori anthropologi budaya sebagai cara untuk memahami
oraganisasi.
Bab ini dengan demikian akan membahas proses perjalanan budaya dari
perspektif anthropologi ke organisasi sebagai landasan untuk memahami konsep
budaya organisasi yang akan dijelaskan pada bab-bab berikutnya. Uraian pada bab ini
akan dimulai dari sejarah perkembangan kajian budaya dalam bidang studi anthropologi
dilanjutkan dengan penjelasan tentang teori displacement yaitu bagaimana konsep
budaya diadopsi oleh bidang studi organisasi dan diakhiri dengan perkembangan studi
budaya dalam perspektif organisasi.

PERKEMBANGAN KAJIAN BUDAYA DALAM


BIDANG STUDI ORGANISASI
Bidang studi anthropologi budaya sesungguhnya sudah ada sejak abad XIX. Sonja A.
Sackman2 misalnya menggambarkan pemikiran perkembangan studi budaya mulai dari
Tylor sampai dengan Geertz seperti tampak pada lampiran di bagian akhir bab ini. Meski
studi tentang budaya sudah berlangsung seabad lalu, namun fokus perhatiannya lebih
banyak ditujukan pada kelompok masyarakat yang tinggal di daerah terpencil yang jauh
dari gemerlap masyarakat bisnis dan politik3, Dengan obyek kajian seperti ini, tidak
sedikit orang yang tidak paham akan hasil pekerjaan para anthropolog, bahkan
masyarakat yang menjadi obyek studi pun tidak tahu mengapa kehidupan mereka ingin
diketahui. Hal inilah yang mungkin menjadi penyebab mengapa hasil pekerjaan para
antrhropolog sering diabaikan karena dianggap tidak memberi nilai tambah, khususnya
nilai tambah dalam perspektif ekonomi.
Hasil pekerjaan para anthropolog mulai bisa dipahami manfaatnya ketika mereka
dilibatkan pemerintah Amerika dalam mengatasi depresi ekonomi yang melanda negeri
tersebut pada awal tahun 1930an. Tentunya para anthropolog diundang pemerintah
Amerika bukan untuk menyelesaikan depresi ekonomi itu sendiri karena memang bukan
bidang keahlian mereka, tetapi diminta untuk membantu menyelesaikan dampak depresi
terhadap kehidupan masyarakat. Seperti halnya negara-negara lain, beban domestik
yang harus ditanggung pemerintah Amerika akibat depresi ekonomi tidak bisa dikatakan

179
ringan dan disisi lain pemerintah juga mendapat tekanan dari kelompok minoritas yang
menuntut perbaikan hidup. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang
berhubungan dengan kaum minoritas inilah para anthropolog dimintai nasehatnya. Ujud
kongkrit dari kontribusi para anthropolog dalam menyelesaikan persoalan-persoalan
yang dihadapi pemerintah Amerika adalah dibentuknya unit layanan bagi kaum minoritas
(misalnya unit layanan Suku India4). Pemerintah Amerika juga memanfaatkan pekerjaan
para anthropolog ketika negara tersebut terlibat dalam perang dunia kedua. Mereka
diundang untuk memberi nasehat bagaimana seharusnya pemerintah Amerika
menghadapi musuh utamanya Jepang5.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, para anthropolog disamping dilibatkan
dalam menyelesaikan persoalan pemerintah yang bersifat makro juga dilibatkan dalam
persoalan yang bersifat lebih mikro yaitu persoalan organisasi. Seperti dijelaskan oleh
Susan Wright6, para anthropolog mulai terlibat dalam bidang studi organisasi sejak akhir
tahun 1920an saat kedua bidang studi tersebut sama-sama berada pada tahap awal
perkembangan. Dari sisi waktu, keterlibatan para anthropolog dalam bidang studi
oraganisasi dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) period waktu yaitu periode tahun
1920an, antara tahun 1950an - 1960an, dan terakhir sejak tahun 1970an sampai
sekarang.
Periode tahun 1920an
Meski organisasi sudah dikenal sejak jaman pre-historik, namun baru pada awal abad
XX organisasi mulai dikaji secara intensif 7. Bermula dari presentasi Henry R. Towne
(1886) berjudul "The Engineer as Economist" dihadapan American Society of
Mechanical Engineers8. Towne ketika itu menegaskan bahwa dalam mengelola
perusahaan seorang insinyur juga harus mengerti aspek-aspek ekonomi. Terinspirasi
oleh pendapat Towne, Frederick Taylor yang kebetulan hadir pada acara tersebut mulai
mengembangkan konsep manajemen pada awal tahun 1900an. Konsepnya, dikenal
dengan nama scientific management, dituangkan dalam beberapa buku diantaranya
"Shop Management" (1903) dan buku yang sangat populer dalam bidang studi
organisasi dan manjemen yaitu "The Principle of Scientific Management" (1911).
Scientific management atau sering pula disebut Taylorism pada dasarnya adalah
suatu pendekatan manajemen (sebuah mazhab) yang menempatkan manajer dalam
posisi sentral (management centered) dalam menjalankan kegiatan organisasi. Oleh

180
karenanya dalam pendekatan ini organisasi dikelola secara top-down (sentralistik).
Disamping itu, peran manajer dan pekerja dibedakan secara tegas. Tugas dan tanggung
jawab para manajer adalah membuat desain yang cocok untuk kepentingan produksi
dan organisasi, mengubah system yang tidak berjalan secara efektif, memilih orang
yang tepat dan melakukan pengawasan terhadap bawahan untuk memastikan bahwa
semua kegiatan berjalan sesuai rencana. Jika desain tersebut telah dirancang secara
tepat maka peran dan tugas seorang pekerja adalah mengikuti semua ketentuan yang
ada. Hanya dengan cara ini kinerja organisasi/perusahaan bisa tercapai sesuai rencana.
Ciri lain dari pendekatan ini adalah kegiatan proses produksi dan organisasi dibagi
kedalam tugas-tugas yang sangat kaku (rigid) dan terkotak-kotak (fragmented) dengan
masing-masing bagian hanya mengerjakan tugas yang diembannya. Walhasil, dengan
pendekatan scientific management seolah-olah peran manusia menjadi terpinggirkan,
tidak lebih sebagai supporting system seperti halnya faktor-faktor produksi lainnya.
Untuk menguji keberlakuan prinsip scientific management, Elton Mayo - seorang
psikolog dibantu tim peneliti dari Harvard University dan Yayasan Rockefeller pada
tahun 1927 dan 1932 dengan bantuan dana dari Rockefeller Foundation, melakukan
penelitian di Western Electric Hawthorne Plant yang berlokasi di Western Chicago dan
Cicero, Illinois. Penelitian ini yang akhirnya melahirkan mazhab baru dalam pengelolaan
organisasi Human Relation Approach, dalam perjalanannya juga melibatkan anthropolog
dan menggunakan pendekatan anthropologi sebagai dasar untuk menganalisis hasil
kegiatan organisasi.
Secara umum penelitian di Hawthrone Plant dilakukan melalui tiga tahap dengan
pendekatan yang berbeda. Tahap pertama dengan pendekatan eksperimen, tahap
kedua dengan interview dan tahap ketiga dengan observasi langsung. Jika tahap
pertama dan kedua menggunakan pendekatan psikologi maka pada tahap ketiga
menggunakan pendekatan anthropologi. Secara singkat, tahapan pada masing-masing
penelitian dan pendekatan yang digunakan akan dijelaskan pada uarian berikut ini:
1. Pada mulanya penelitian ini dilakukan dengan motode eksperimen yaitu dengan
melibatkan 6 (enam) orang pekerja wanita yang diminta melakukan pekerjaan seperti
biasa namun ditempatkan dalam ruang khusus yang berbeda dengan situasi dan
kondisi kerja sehari-hari. Di ruangan tersebut dilakukan 10 (sepuluh) macam bentuk
perubahan, khususnya perubahan fisik dan insentif dengan tujuan untuk mengetahui

181
pengaruh dari perubahan tersebut terhadap tingkat kelelahan para pekerja. Di ruang
observasi para pekerja juga diberi kebebasan untuk membentuk kelompok
kekerabatan (friendship group). Disamping itu supervisor yang dalam hal ini ditempati
oleh para peneliti juga menjalin hubungan baik dengan para pekerja. Hasil dari studi
eksperimen ini cukup mengejutkan yakni para pekerja yang selama ini tidak pernah
mempunyai inisiatif, sekarang justru menghasilkan inisiatif-inisiatif baru. Selain itu
output yang dihasilkan tetap meningkat apapun perubahan yang dilakukannya.
Bahkan ketika para pekerja kembali ke tempat kerja semula output yang
dihasilkannya tetap meningkat. Kesimpulan dari studi eksperimen ini adalah faktor
psikologis ternyata lebih berpengaruh terhadap perubahan output ketimbang faktor
fisik (desain organisasi misalnya) sebagaimana yang diasumsikan pada scientific
management.
2. Untuk menggali lebih jauh temuan pada tahap pertama yakni keserasian hubungan
baik diantara pekerja maupun antara para pekerja dan supervisor, dan untuk
menyiapkan bahan-bahan pelatihan bagi supervisor, penelitian dilanjutkan pada
tahap kedua dengan perubahan metode yaitu dengan metode interview. Antara tahun
1928 dan tahun 1930, Divisi Riset Western Electric mengadakan interview terhadap
21,126 pekerja. Karena hasilnya sulit untuk dianalisis dan kebetulan saat itu sedang
terjadi depresi ekonomi, sambil menanti pemulihan ekonomi, interview diulangi bukan
terhadap orang per orang melainkan terhadap kelompok-kelompok kecil. Hasil
analisis ini menunjukkan bahwa hubungan sosial pada kelompok-kelompok kecil
ternyata mampu mengendalikan prilaku individual anggota kelompok. Sekali lagi
temuan ini mempertegas hasil temuan pertama, yakni pentingnya hubungan informal
dan harmoni antar manusia dalam organisasi.
3. Untuk memahami hubungan informal dan hubungan sosial kelompok kerja, dilakukan
penelitian tahap ketiga dengan metode berbeda yaitu metode observasi langsung
dengan pendekatan anthropologis. Untuk model penelitian ini, Elton Mayo melibatkan
peneliti baru, Lloyd Warner, seorang anthropolog yang kebetulan baru pulang dari
Australia untuk penelitian terhadap Suku Aborigin. Warner membantu tim peneliti
dalam menerapkan teknik penelitian lapangan model anthropologi yang khusus
didesain untuk penelitian di tempat kerja. Disini tempat kerja diperlakukan seolah-
olah sebagai sebuah masyarakat dengan segala aspek kehidupannya yang dijalin

182
dalam sistem sosial. Namun karena jumlah pekerja terlalu banyak sehingga terlalu
sulit untuk mengamati seluruh masalah di tempat kerja, desain penelitian diubah
hanya melibatkan 15 orang pekerja laki-laki yang terdiri dari:
(1) 3 tim masing-masing beranggotakan 3 orang. Pekerjaan mereka adalah
menyambung kawat pada ujung tombol pesawat telepon;
(2) 3 orang tukang solder yang membantu ketiga tim tersebut, dan
(3) Dua orang inspektor dan seorang supervisor.
Kelimabelas orang tersebut ditempatkan pada ruang khusus (ruang simulasi)
yang dinamakan Bank Wiring Observation Room. Ruangan ini didesain sedemikian
rupa sehingga menyerupai kondisi tempat kerja yang sebenarnya, baik yang
menyangkut tata letak pabrik, kondisi kerja dan model supervisi.
Penelitian tahap ketiga ini dipandu oleh dua orang staff - seorang bertindak
sebagai interviewer dan tetap berada diluar kelompok 15 orang (sebagai outsider)
dengan tujuan agar para pekerja bisa menyampaikan sikap dan keluhan mereka
terhadap suasana kerja, sementara yang seorang lagi sebagai observer yang terlibat
didalam ruang simulasi untuk mengamati proses kerja formal dan hubungan informal
pekerja. Pola ini dimaksudkan (1) untuk memperlakukan tempat kerja sebagai
sebuah kelompok sosial dan (2) untuk memahami kaitan antara hubungan informal
pekerja dengan fungsi-fungsi organisasi formal yaitu aturan formal dan sistem insentif
yang didesain dalam rangka untuk melihat kenaikan output dari masing-masing
pekerja secara individual.
Dengan menggunakan konsep sistem sosial yang dikembangkankan Radcliff-
Brown sebagai dasar analisis, tim peneliti mulai melakukan observasi langsung
terhadap kegiatan para pekerja dan prilaku sosial mereka. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa ketiga unit kerja yang menjadi obyek penelitian pada akhirnya
mengelompokkan diri menjadi dua kelompok kecil (membentuk klik). Mereka bermain
bingo disela-sela istirahat kerja dan membentuk friendship group. Tidak jarang
diantara mereka saling membantu dalam pekerjaan atau sebaliknya saling beroposisi
baik diantara anggota kelompok maupun dengan kelompok lainnya. Walhasil dalam
bank wiring observation room ini terbentuklah sebuah masyarakat dengan segala
sistem sosialnya.

183
Dari pengamatan terhadap output para pekerja, ternyata catatan perusahaan
menunjukkan bahwa output yang dihasilkan para pekerja meningkat secara garis
lurus. Ketika peningkatan output ini dianalisis dalam dua perspektif yang berbeda
yakni perspektif anthropologi dan psikologi, kesimpulan akhirnya pun berbeda.
Menurut perspektif anthropologi, kenaikan output ini disebabkan bukan karena
kepatuhan para pekerja terhadap ketentuan manajemen melainkan karena
kesepatakan bersama (shared idea) para pekerja dalam menetapkan standard kerja
harian. Standard kerja ini ditetapkan dengan mempertimbangkan baik aspek sosial
maupun pendapatan yang diperkirakan akan menguntungkan mereka. Karena yang
menentukan standard kerja adalah para pekerja itu sendiri, bisa dikatakan bahwa
para pekerja cenderung mengabaikan ketentuan formal perusahaan, oleh karenanya
shared idea ini sering diinterpretasikan sebagai sebuah sentimen yang tidak rasional
dan tidak logis. Namun ketika hasil studi ini dianalisis dari perspektif psikologi
(analisis yang didasarkan pada prilaku individual pekerja) kesimpulannya berbeda.
Menurut perspektif ini, penolakan para pekerja untuk bekerja sama dengan pihak
manajemen lebih disebabkan karena rasa frustasi para pekerja. Rasa frustasi ini
muncul karena pada dasarnya para pekerja enggan diatur dan dikendalikan pihak
manajemen.
Meski hasil dari studi Hawthrone ini, khususnya pada penelitian tahap ketiga,
sulit dibuat kesimpulan akhir karena perbedaan sudut pandang, sebagaimana telah kita
ketahui bersama studi di Hawthrone ini merupakan awal lahirnya mazhab baru dalam
bidang studi manajemen dan organisasi yakni Human Relation Approach yang berbeda,
kalau tidak dikatakan bertolak belakang, dengan mazhab sebelumnya Scientific
Management. Disamping itu, dan ini yang jarang terungkap, studi ini juga merupakan
awal keterlibatan anthropolog dalam studi organisasi. Dari sinilah pendekatan
anthropologi pada studi organisasi mulai dikembangkan.

Periode 1950an dan 1960an


Bisa dikatakan bahwa studi anthropologi di Hawthrone Plant tidak sepenuhnya berhasil,
namun kita patut bersyukur karena Lloyd Warner telah menjadi pioneer dan peletak
dasar bagi penelitian anthroplologi di tempat kerja. Upaya Warner bahkan terus berlanjut
setelah sepuluh tahun kemudian, Ia bersama Burleigh Gardner, pada tahun 1943 di

184
Chicago University, mendirikan sebuah komite yang dinamakan Committee on Human
Relation in Industry. Komite ini, yang dibiayai oleh enam perusahaan (masing-masing
hanya menyetor US$ 3600), bertujuan untuk membantu menyelesaikan masalah-
masalah organisasi dengan pendekatan anthropologi dengan menjadikan tempat kerja
sebagai sebuah sistem sosial. Selain itu, universitas-universitas lain seperti Cornell
University dan Harvard University juga mendirikan lembaga sejenis setelah sebelumnya
pada tahun 1941 didirikan sebuah lembaga profesional yang dinamakan Society for
Applied Anthropology. Lembaga inilah yang berfungsi untuk mengumpulkan dan
mengkaji laporan hasil penelitian anthropologi yang dilakukan di perusahaan /industri.

Dengan berdirinya lembaga-lembaga diatas, para anthropolog mulai melakukan


penelitian model etnografis di perusahaan. Richardson and Walker misalnya melakukan
studi di IBM ketika perusahaan tersebut memperkenalkan perubahan teknologi dan
memperbesar kapasitas produksi. Sementara itu Whyte melakukan studi tentang
kesepakatan kerja (collective bargaining) dan hubungan industrial pada industri
restauran. Semua studi tersebut sekali lagi menggunakan pendekatan anthropologis.
Yang sedikit berbeda dibandingkan studi terdahulu adalah para anthropolog
mengembangkan metode lain yang secara sistematik digunakan untuk mengamati alur
interaksi dan komunikasi antar pekerja didalam organisasi.

Studi anthropologi di tempat kerja (organisasi) tidak hanya dilakukan di Amerika.


Di daratan Eropa misalnya, studi ini bahkan mengalami perkembangan baru setelah
Departemen Anthropologi dan Sosiologi Manchester University pada awal tahun 1950an
mengembangkan metode observasi partisipasi penuh. Disini para anthropolog berupaya
mengubah citra bidang studi anthropologi yang selama ini lebih dikaitkan dengan
metode etnografi yang bersifat deskriptif menjadi sebuah bidang studi yang juga bisa
digunakan untuk menganalisis aspek sosial sebuah organisasi. Dengan cara ini bidang
studi anthropologi diharapkan bisa memberi kontribusi terhadap pemahaman dan
pengembangan teori yang lebih luas tentang hubungan informal dan aspek sosial
sebuah organisasi. Adalah Professor Gluckman - seorang anthropolog dari Manchester
University yang mencoba menerapkan teori konstruksi sosial (social contruction theory)
yang dikembangkannya di Afrika kedalam konteks yang berbeda dan lebih mikro yakni

185
organisasi. Pada saat itu, secara kebetulan sosiologi industri sudah banyak
diaplikasikan di Inggris9, sehingga kehadiran anthropologi organisasi tidak banyak
mengalami hambatan.

Dalam upayanya untuk membenahi kinerja industri yang porak poranda akibat
perang dunia kedua, Departemen Anthropologi dan Sosiologi Manchester University
dengan bantuan pendanaan dari Marshall Plan yang disalurkan pemerintah Inggris
melalui Department of Scientific and Industrial Research melakukan lima seri penelitian
di beberapa perusahaan yang bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara output
norms dengan struktur kelompok informal. Obyek yang diteliti misalnya: perusahaan
garment yang sebagian besar pekerjanya adalah wanita, perusahaan electric
transformer yang pekerjanya adalah laki-laki, perusahaan garment tradisional,
perusahaan konveksi yang mempekerjakan laki-laki dan perermpuan, dan perusahaan
perakitan pipa.

Berbeda dengan model penelitian di Hawthrone Plant yang menempatkan


peneliti sebagai outsider meski melakukan observasi partisipasi, dalam penelitian yang
dilakukan Mancherster University, para peneliti tidak hanya melakukan observasi
melainkan juga terlibat penuh dengan obyek yang diteliti sehingga para peneliti harus
menjadi insider. Untuk itu paling tidak selama 6 bulan pertama masa penelitian para
peneliti menjadi pekerja penuh waktu (full timer) di pabrik, mengerjakan apa yang
dikerjakan pekerja pabrik lain dan mendengarkan apa yang mereka perbincangkan.
Pada sore hari setelah selesai bekerja, para peneliti dalam kedudukannya sebagai
observer, membuat catatan-catatan penting yang terjadi pada pagi harinya. Berdasarkan
observasi yang telah dilakukannya dan didukung oleh pengalaman nyata dalam
kegiatan pabrik, para peneliti secara gradual bisa memahami proses sosial yang terjadi
di tempat kerja, hubungan antar kelompok dan kategorisasi para pekerja.
Dari model penelitian organiasi di Inggris inilah dan atas kontribusi anthropologi
dalam studi organisasi, paradigma penelitian organisasi mengalami perubahan dan
perkembangan lebih lanjut. Organisasi tidak lagi dipandang sebagai closed system
seperti pada pendekatan scientific management, juga bukan semata-mata sebagai open
system sebagaimana ditegaskan oleh pendekatan human relation approach tetapi juga

186
organisasi dipandang sebagai hasil kebudayaan dan sekaligus memiliki budaya
sebagaimana akan diuraikan pada bagian berikut ini.

Periode tahun 1970an sampai sekarang


Setelah melalui perjalanan panjang, diawali dari penelitian yang dilakukan di
Western Electric (Hawthrone Plant) pada awal tahun 1930an dan berlanjut di
perusahaan-perusahaan di Eropa pada tahun 1950an dan 1960an, studi anthropologi
organisasi memasuki babak baru pada tahun 1970an. Sejak saat itu hampir setiap studi
organisasi pada umumnya mengklasifikasikan organisasi menjadi 3 komponen yang
saling terkait yaitu sistem formal, sistem informal dan lingkungan organisasi.

Sistem formal yang sering disebut sebagai peta organisasi menggambarkan


tujuan, strategi, prosedur dan peraturan organisasi serta struktur organisasi, sistem
organisasi, deskripsi pekerjaan dan hirarkhi pengambilan keputusan. Sistem formal
biasanya dikaitkan dengan anggapan bahwa organisasi adalah rasional dan bebas nilai
(value free)10. Anggapan ini mengandung pengertian bahwa setiap anggota organisasi
memahami dan mau melaksanakan semua ketentuan yang telah ditetapkan organisasi.
Oleh karenanya organisasi dianggap sebagai sebuah alat untuk mencapai sesuatu
tujuan (misalnya untuk mencapai efisiensi) dimana pencapaiannya dilakukan melalui
pembagian kerja (division of work), membangun sistem hirarkhi yang secara eksplisit
menjelaskan tugas dan tanggung jawab masing-masing, memisahkan kehidupan
organisasi dengan kehidupan sehari-hari para pekerja, memposisikan seseorang sesuai
kemampuan yang dimilikinya dan mempromosikan seseorang pada posisi tertentu
berdasarkan regulasi yang ditentukan organisasi.

Sementara itu yang dimaksudkan dengan sistem informal adalah hubungan


antar manusia didalam organisasi, baik hubungan antar individual maupun hubungan
antar kelompok, yang dilakukan diluar ketentuan formal organisasi. Komponen kedua ini
memiliki anggapan yang berlawanan dengan komponen pertama yakni tidak semua
anggota organisasi berpikiran rasional. Artinya, meski anggota organisasi menyadari
dan memahami bahwa organisasi tempat mereka bekerja memiliki ketentuan formal,
tidak selamanya mereka mau melaksanakan ketentuan formal tersebut. Penyebabnya

187
bisa jadi karena masing-masing anggota mempunyai agenda dan interest tersendiri
yang berbeda dengan tujuan formal organisasi. Sebagai contoh, promosi jabatan yang
menurut sistem formal seharusnya didasarkan pada kriteria tertentu yang telah
ditetapkan organisasi, dalam praktek ketentuan ini bisa saja dilanggar. Yang
dipromosikan bukan orang yang memenuhi kriteria tersebut melainkan orang yang
misalnya memiliki hubungan khusus (kerabat dekat misalnya) dengan si pengambil
keputusan. Penyimpangan ketentuan ini menunjukkan bahwa sistem formal organisasi
terkadang tidak bisa sepenuhnya diterapkan karena ada pihak-pihak tertentu - dalam hal
ini orang yang mengambil keputusan dan kerabat dekatnya, yang kepentingan
pribadinya lebih dikedepankan ketimbang kepentingan organisasi.
Dalam kehidupan sebuah organisasi, sistem formal dan sistem informal selalu
hadir berdampingan meski proporsi masing-masing berbeda. Sebuah organisasi
terkadang memiliki sistem formal yang lebih dominan sedangkan organisasi lainnya
yang lebih dominan adalah sistem informalnya. Oleh karenanya agar organisasi bisa
mencapai tujuannya lebih efektif, bukan hanya sistem formal yang harus dipahami,
dikelola dan mendapat perhatian lebih baik tetapi sistem informalnya juga perlu
mendapat perhatian yang kurang lebih sama meski sekali lagi tidak harus
mengakomodasi seluruh sistem informal yang ada. Secara umum hubungan keduanya
(sistem formal dan informal) adalah layaknya sebuah gunung es seperti tampak pada
gambar 5.1 berikut ini.

FORMAL
FORMAL ASPECTS
ASPECTS
Vision
Vision and
and Mission
Mission
Strategic
Strategic Plan
Plan
Organization
Organization structure,
structure, policy,
policy,
and
and Procedures
Procedures
Job
Job Descriptions
Descriptions

188
Gambar 5.1: Organisasi dianalogikan sebagai gunung es.

Seperti tampak pada gambar diatas, organisasi diibaratkan sebuah gunung es.
Sebagaimana kita ketahui, meski gunung es secara fisik sangat besar tetapi bagian
yang muncul ke permukaan laut relatif sangat kecil dibandingkan besaran gunung es itu
INFORMAL ASPECTS
Individual
sendiri. Selebihnya, porsi terbesar perception
justru of the job
tidak tampak ke permukaan. Dengan analogi
Personal agenda in each level of the organization
seperti ini bisa dikatakan bahwa organisasi
Competition juga in
among elements memilki kondisi yang sama. Aspek-
organization
Interdepartmental trust
aspek organisasi yang tampak ke permukaan relatif kecil dibandingkan dengan aspek-
Individual belief and value of the employee
aspek yang tidak tampak. Aspek organisasi yang tampak ke permukaan biasa disebut
sebagai aspek formal organisasi seperti: visi dan misi organisasi, perencanaan strategis,
struktur, kebijakan dan prosedur organisasi dan deskripsi jabatan. Sedangkan aspek
yang tidak tampak ke permukaan disebut sebagai aspek informal organisasi yang
kesemuanya bersifat keprilakuan seperti: persepsi karyawan terhadap pekerjaan,
agenda diri setiap orang pada setiap level organisasi, tingkat kompetisi diantara
karyawan atau antar departemen di dalam organisasi, tingkat kepercayaan antar
departemen dan keyakinan dan nilai-nilai individu masing-masing karyawan.
Selain memiliki dua komponen seperti disebutkan diatas – formal dan informal
yang berada dalam lingkungan internal organisasi, organisasi juga memiliki komponen

189
ketiga yang berada diluar organisasi. Komponen ketiga ini biasa disebut sebagai
lingkungan eksternal organisasi. Termasuk dalam komponen ini misalnya sistem
ekonomi, politik, dan hukum sebuah negara, serta sistem sosial, budaya dan tata nilai
(values) masyarakat. Karena keberadannya. komponen ini biasanya dianggap sebagai
variabel tidak terkendali dan diterima apa adanya (taken for granted) oleh sebuah
organisasi. Meski demikian pengaruhnya terhadap kehidupan organisasi tidak bisa
diabaikan karena secara tidak langsung lingkungan eksternal bisa mempengaruhi dan
menjadi sumber terbentuknya sistem informal yang pada gilirannya juga bisa
mempengaruhi sistem formal dan kegiatan organisasasi secara keseluruhan.
Contoh berikut ini menggambarkan pengaruh lingkungan eksternal organisasi
terhadap sistem informal dan dampaknya terhadap sistem formal. Sebelum bergabung
dan bekerja pada sebuah organisasi, seseorang terlebih dahulu bergabung dan menjadi
anggota masyarakat tempat ia tinggal dan menjalani hidup sehari-hari. Sebagai anggota
masyarakat yang tinggal dalam kurun waktu lama dan berinteraksi dengan anggota
masyarakat lainnya, tentunya ia tidak bisa melepaskan diri dari budaya dan tata nilai
yang berlaku didalam masyarakat tersebut. Oleh sebab itu sangat tidak mengherankan
manakala seorang anggota masyarakat bergabung dengan sebuah organisasi, ikatan
terhadap budaya dan tata nilai masyarakat masih akan dipertahankan dan ia bawa ke
tempat kerja. Di tempat kerja, jika budaya dan tata nilai tersebut di-shared (dipraktikkan
bersama) dengan anggota organisasi lainnya maka lambat laun akan berubah menjadi
bagian dari sistem informal organisasi. Selanjutnya, jika sistem informal ini cukup
dominan maka pengaruhnya terhadap cara kerja fungsi-fungsi formal organisasi tidak
lagi bisa dihindarkan.

Jika seseorang, katakanlah berasal dari lingkungan masyarakat kolektif dan


katakan pula, karena prestasinya, ia diangkat menjadi manajer di sebuah perusahaan
maka pola pengambilan keputusan yang akan ia terapkan boleh jadi adalah pola
pengambilan keputusan yang berbasis musyawarah/konsensus meski karena
kedudukannya dia sesungguhnya memiliki hak untuk mengambil keputusan sendiri.
Demikian juga dalam praktik-praktik manajemen lainnya, kebersamaan dan harmoni
misalnya cenderung akan menjadi ciri organisasi yang dipimpinnya. Contoh ini
menegaskan bahwa budaya dan tata nilai masyarakat yang sesungguhnya adalah

190
komponen tidak terkendali dan berada diluar organisasi, secara gradual, berubah
menjadi bagian integral dari kehidupan sebuah organisasi khususnya ketika para
anggota organisasi memanfaatkannya sebagai sarana untuk membangun sistem
informal organisasi. Oleh sebab itu tidak seperti yang diasumsikan pada pendekatan
scientific management yang menganggap bahwa organisasi adalah bebas nilai,
pengakuan terhadap budaya dan tata nilai sebagai bagian dari lingkungan internal
organisasi menjadikan organisasi tidak lagi bebas nilai.
Dengan anggapan bahwa organisasi tidak bebas nilai berarti kita menganggap
pula bahwa organisasi yang satu boleh jadi berbeda dengan organisasi lainnya, meski
keduanya bergerak dalam bidang yang sama, karena masing-masing organisasi
memiliki budaya dan nilai-nilai tersendiri - organization has a culture seperti dikatakan
oleh Linda Smircich.11 Anggapan ini misalnya didukung oleh Hofstede yang mengatakan
bahwa teori organisasi/ manajemen yang dibangun dan berlaku di satu tempat (di
Amerika misalnya) tidak bisa secara otomatis berlaku di tempat lain salah satunya
karena perbedaan budaya dan tata nilai tempat keberadaan masing-masing
organisasi12.
Dari penjelasan diatas akhirnya dapat disimpulkan bahwa budaya yang pada
mulanya menjadi domain bidang studi anthropologi, belakangan juga menjadi salah satu
variabel kunci pada bidang studi organisasi. Bukan hanya itu, Erez and Early13 misalnya
menjelaskan bahwa budaya juga menjadi perhatian bidang studi lain seperti sosiologi,
psikologi dan manajemen. Perkembangan studi budaya pada beberapa disiplin ilmu
diatas yang terjadi mulai dari awal tahun 1900an sampai sekarang digambarkan pada
tabel 5.1 berikut ini.

Tabel 5.1
Trend perkembangan studi budaya dalam berbagai disiplin ilmu

Culture via Use of rules Cognitive beliefs Shared Script/schema


ethnography and norm for and cognitive theory;
Anthropologi culture; experimentation; structure; interpretive
participant pattern variables Interpretivist meaning
observation view system

Value Corporate
Prilaku approach culture and

191
organisasi comparative
management

Psikologi Cultural rites Study of Needs and Subjective Value model;


explained by need values approach culture self concept
pshycological structures
process and values

Social Value approach Reduced empashis on concept


structure and use of of culture as an explisit variable
determining pattern variable and emphsis on culture as an
Sosiologi culture implisit result of social structure
– development of institution’s
impact on norms. Very recent
rediscovery of culture as explisit
variable

Periode Approx 1900 - 1920 – 1940 1940 - 1940 1960 - 1980 1980 –
waktu 1920 present

Sumber : Erez and early, 1993, halaman 71

Khusus dalam bidang studi organisasi, Linda Smircich mencoba menelusuri


keterkaitan perkembangan konsep organisasi dalam bidang studi organisasi dengan
perkembangan konsep budaya dalam bidang studi anthropologi. Keterkaitan tersebut
sangat dimungkinkan karena kedua bidang studi ini – organisasi dan anthropologi
sesungguhnya berorientasi sama yakni menciptakan sosial order (ketertiban sosial).
Oleh karena adanya titik singgung antara kedua bidang studi tersebut memungkinkan
para peneliti di bidang studi organisasi dan manajemen melakukan penelitian dengan
tema-tema seperti tampak pada tabel 5.2. Tema tersebut antara lain studi perbandingan
manajemen (comparative management), budaya perusahaan, organizational cognition,
organizational symbolism dan unconscious processes and organization14.

Tabel 5.2
Titik singgung antara teori organisasi dan budaya

Konsep Budaya dalam Disiplin Tema-tema Penelitian Konsep Organisasi dalam Disiplin
Anthropologi Organiasi dan Manajemen Teori Organisasi
Budaya adalah sebuah instrumen yang Organisasi adalah instrumen sosial
berfungsi sebagai alat untuk melayani yang didirikan untuk menyelesaikan
kebutuhan-kebutuhan biologis dan tugas-tugas manusia (teori
psikologis manusia (pendekatan organisasi klasik)
functionalism)

192
Cross-culture
Atau
Comparative management
Budaya berfungsi sebagai mekanis-me Organisasi adalah sebuah
aturan yang bersifat adaptif yang organisme yang adaptif.
menyatukan individu-individu kedalam Keberadaannya terjadi karena
sebuah struktur sosial (pendekatan pertukarannya dengan lingkungan
structural functionalism)
eksternal (teori organisasi
kontingensi)

Corporate culture

Organisasi adalah pengetahuan yang


tersistem. Keberadaan organisasi
Budaya adalah kesadaran bersama yang bergantung pada jaringan makna
tersistem. Pola pikir manusia subyektif yang pada tingkatan tertentu
menghasilkan budaya melalui sejumlah dipahami bersama oleh para anggotanya
aturan (pendekatan ethnoscience) dan muncul ke permukaan dalam bentuk
berbagai aturan (pendekatan teori
organisasi kognitif)

Organizational cognition

Budaya adalah sistem simbol dan sistem Organisasi adalah pola diskursus
makna yang dijiwai dan dipahami yang simbolik. Keberadaan organisasi
bersama oleh para anggotanya. Agar bisa dipertahankan melalui sarana-
bisa dipahami artinya, tindakan-tindakan sarana yang bersifat simbolik seperti
simbolik memerlukan interpretasi dan bahasa yang memungkinkan adanya
penjelasan lebih lanjut (pendekatan saling share terhadap makna dan realitas
symbolic anthropology) (teori organisasi symbolic)

Organizational symbolism

Budaya adalah sebuah proyeksi Bentuk dan praktek organisasi


infrastruktur universal yang bersifat merupakan manifestasi dari proses yang
unconscious dari pola pikir manusia bersifat unconscious (teori organisasi
(pendekatan structuralism) transformasional)

Unconscious process and


organization

Sumber : Smircich (1983: 342)

Smircich lebih lanjut mengatakan bahwa pemilihan tema-tema tersebut sangat


bergantung bagaimana kita memperlakukan budaya pada konteks organisasi. Pada
tema pertama dan kedua, diasumsikan bahwa organisasi memiliki budaya. Oleh
karenanya budaya bisa diperlakukan sebagai variable. Dalam hal ini budaya bisa
diperlakukan sebagai variabel independen ataupun dependen; budaya juga bisa
diperlakukan sebagai variabel internal ataupun eksternal atau secara sederhana budaya

193
diperlakukan sebagai variabel organisasi. Sedangkan pada ketiga tema terakhir budaya
diperlakukan bukan sebagai variabel melainkan sebagai root metaphor (akar
perumpamaan). Pada ketiga tema terakhir ini kita beranggapan bahwa organisasi bukan
sekedar memiliki budaya tetapi juga sebagai hasil kebudayaan. Jadi, dari tabel 5.2
tampak jelas bahwa istilah budaya organisasi muncul ketika organisasi dipandang
sebagai organisme yang adaptif (sebuah pandangan yang sesuai dengan pendekatan
kontijensi dalam teori manajemen) dan disisi lain budaya dipahami sebagai mekanisme
aturan yang berisifat adaptif dan berfungsi menyatukan individu-individu kedalam
sebuah struktur sosial.

PEMINDAHAN KONSEP BUDAYA KE DALAM


DISIPLIN ORGANISASI

Keterlibatan para anthropolog dalam bidang studi organisasi yang menghasilkan tema-
tema penelitian seperti disampaikan oleh Linda Smircich menyebabkan teori dan konsep
yang pada mulanya hanya digunakan semata-mata untuk bidang penelitian anthropologi
budaya, tidak bisa dihindarkan, akhirnya juga dibawa serta ke bidang studi organisasi.
Bukan hanya itu, para anthropog juga membawa serta cara-cara atau metode-metode
penelitian anthropologi ke dalam bidang studi organisasi. Oleh karenanya sangat tidak
mengherankan jika bidang studi organisasi yang pada awalnya cenderung berkiblat
pada bidang studi psikologi dengan segala pola pikirnya yang bisa dikatakan sangat
positivistik belakangan mulai bergeser. Pergeseran ini bukan berarti pendekatan
positivistik mulai ditinggalkan melainkan bidang studi organisasi tidak menolak
pendekatan-pendekatan lain sebagai sarana untuk memahami organisasi. Gareth
Morgan misalnya, seperti telah dijelaskan pada bagian akhir bab I, mengatakan bahwa
organisasi bisa dipahami dengan 8 cara pandang. Pemahaman ini hampir tidak mungkin
dilakukan jika kita tidak menggunakan cara pandang disiplin ilmu lain seperti politik,
budaya, biologi dan ilmu social.
Penggunaan disiplin lain pada telaah bidang studi organisasi, seperti dikatakan
oleh Nancy Morey dan Fred Luthans15, di satu sisi diharapkan akan semakin
memperkaya dan semakin memperluas perspektif dalam kajian-kajian bidang studi
organisasi. Di sisi lain dengan semakin banyaknya cara yang digunakan dan semakin

194
luasnya perspektif dalam kajian-kajian bidang studi organisasi, organisasi seperti
dijelaskan Czarniawska-Joerges, menjadi bidang kajian yang semakin kompleks16.
Walhasil, dewasa ini organisasi menjadi lahan yang tidak ada habisnya untuk dikaji.
Berbagai disiplin ilmu bisa dengan mudah memasuki wilayah organisasi. Dalam 25
tahun terakhir bidang studi organisasi didominasi oleh masuknya disiplin ilmu
anthropologi budaya. Masuknya disiplin lain dalam bidang studi organisasi pada
akhirnya menghasilkan konsep-konsep baru seperti dijelaskan Linda Smircich diatas.
Dengan merujuk pada teori pemindahan konsep sebagaimana dikemukakan oleh Schon
– the displacement of concept, Nancy Morey and Fred Luthans, mengatakan bahwa
proses pemindahan konsep (displacement of concept) dari konsep budaya ke konsep
organisasi dilakukan melalui 4 tahap yakni:
1. Transposition stage. Tahap ini merupakan tahap awal dimana konsep lama
(dalam hal ini konsep budaya) dipindahkan ke situasi yang baru (dalam konteks
organisasi). Organisasi dengan demikian dipahami dengan cara pandang yang
baru yang pada bidang studi anthropologi semula unit analisisnya adalah
masyarakat sekarang adalah organisasi. Pemindahan konsep ini pada awalnya
ini dianggap menggelikan/lucu dan dianggap tidak pada tempatnya sehingga
tidak jarang perdebatan dan intrik dalam cara pandang yang baru tidak bisa
dihindarkan
2. Interpretation stage. Setelah melalui tahap transposisi, tahap berikutnya adalah
interpretasi. Pada tahap ini konsep lama yang telah dipindahkan ke situasi yang
baru digunakan untuk menginterpretasikan kejadian-kejadian pada konteks
organisasi. Pada contoh penelitian di Hawthrone plant (bank wiring observation
room) (lihat halaman 150) peningkatan output yang bersifat garis lurus
diinterpretasikan secara berbeda antara para anthropolog dengan para psikolog.
3. Correction stage. Dengan adanya interpretasi yang berbeda terhadap kejadian
yang sama menjadikan semakin luasnya perspektif pemahaman organisasi.
Meski demikian penggunaan konsep lama dalam situasi baru tidak bisa diadopsi
secara membabi buta, kadang-kadang perlu ada koreksi, adjustment atau
modifikasi agar konsep lama tersebut betul-betul operasional.
4. Spelling-out stage. Setelah melalui proses modifikasi yang berulang-ulang, tahap
terakhir adalah menegaskan secara eksplisit bahwa konsep lama tersebut cocok

195
untuk digunakan pada bidang studi yang baru dan bahkan bisa menghasilkan
konsep-konsep baru. Dalam bidang studi organisasi, munculnya konsep budaya
organisasi yang akan dijelaskan pada bagian berikut dalam bab ini, tidak lepas
dari proses displacement of concept dari bidang studi anthropologi ke bidang
studi organisasi. Meski demikian Schon mengingatkan bahwa proses
displacement of concept tidak pernah mencapai titik sempurna. Hal inilah yang
mendorong Morey and Luthans mencoba memburnikan kembali displacement of
concept khususnya yang berkaitan dengan penggunaan konsep budaya untuk
bidang studi organisasi dengan menggunakan adegan (scence) dan tema
(theme) sebagai landasanya.

BUDAYA DALAM PERSPEKTIF ORGANISASI


Berdasarkan pemahaman teori displacement of concept seperti diuraikan di muka, awal
populeritas istilah budaya organisasi, jika diruntut ke belakang, salah satunya, bermula
dari penelitian Hofstede yang dilakukan dua tahap, pada tahun 1968 dan 197217. Meski
pada awalnya Hofstede belum secara tegas membahas konsep budaya organisasi,
namun hasil penelitian ini menjadi inspirasi dan rujukan utama bagi peneliti-peneliti
berikutnya baik mereka yang meneliti komparatif manajemen, budaya organisasi
maupun bidang-bidang studi lain yang menggunakan budaya sebagai salah satu
variabelnya.
Selain penelitian Hofstede, penelitian lain yang juga menjadi embrio munculnya
istilah budaya organisasi adalah penelitian Pascale and Athos. Pascale and Athos
melakukan penelitian di Jepang yang bertujuan untuk memperoleh penjelasan mengapa
industri Jepang bisa bertahan hidup pada saat terjadi krisis minyak dunia (awal tahun
1970an) sementara pada saat yang sama banyak industri Amerika bertumbangan.
Dengan membandingkan gaya manajemen Amerika dengan gaya manajemen Jepang,
hasil penelitian mereka yang kemudian dituangkan dalam bukunya “The Art of Japanese
Management” misalnya mengatakan bahwa salah satu kekuatan manajemen Jepang
adalah praktik manajemen yang mengadopsi budaya dan tata nilai setempat sebagai
bagian integral dari kegiatan manajerial18.

196
Dari berbagai penelitian pendahuluan tentang kaitan antara budaya dengan
organisasi/perusahaan, dua diantaranya disebutkan diatas, penelitian berikutnya mulai
secara spesifik membahas budaya organisasi. Andrew Pettigrew dengan tulisannya “On
studying organizational culture” yang dimuat jurnal ilmiah Administrative Science
Quarterly pada tahun 1979 bisa disebut sebagai orang pertama yang secara resmi
menggunakan istilah budaya organisasi. Dalam papernya Pettigrew menganalisis
sebuah organisasi (tepatnya organisasi sekolah) bukan dengan pendekatan positivistic
melainkan melalui pendekatan sejarah. Melalui pendekatan sejarah – yang kemudian
memunculkan istilah budaya organisasi, Pettigrew menceritakan perubahan tata nilai
organisasi bersamaan dengan penggantian Kepala Sekolah dan perubahan organisasi
dari satu periode berikutnya.
Dari situ istilah budaya organisasi mulai populer. Dengan menggunakan kata
kunci “organizational culture”, “corporate culture”, “organizational symbols / symbolism”
dan “ managerial symbols / symbolism”, Barley, Meyer and Gash 19, misalnya pada bulan
Mei 1985 mendata 5 jurnal yang terbit sejak tahun 1975 sampai Juni 1985 untuk
mengetahui seberapa banyak para akademisi maupun para prkatisi menulis artikel yang
berkaitan dengan budaya organisasi. Hasil pendataan tersebut, seperti tampak pada
tabel 5.3 menunjukkan bahwa jumlah tulisan tentang budaya organisasi sejak tahun
1982 meningkat secara eksponensial. Hal ini bisa diartikan bahwa populeritas budaya
organisasi mulai terjadi pada awal tahun 1980an setelah berbagai buku ilmiah, buku
semi ilmiah dan artikel-artikel ilmiah lainnya mulai secara intensif mendiskusikan konsep
budaya organisasi, utamanya setelah terbit buku-buku populer seperti: “In search of
excellence” (Peter and Waterman, Jr., 1982); “Theory Z” (William Ouchie, 1981); dan
“Corporate Culture” (Deal and Kennedy, 1982). Selain itu dua jurnal ilmiah yakni
Administrative Science Quarterly (ASQ) dan Organization Dynamics (OD) yang pada
tahun 1983 menerbitkan edisi khusus yang memuat berbagai tulisan tentang budaya
organisasi juga ikut mempopulerkan istilah budaya organisasi.
Tabel 5.3
Perkembangan studi budaya organisasi

130 –

120 –
110 –

197
100 –
90 –
80 –
70 –
60 –
50 –
40 –
30 –
20 –
10 –

sebelum 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985


1979

Sumber : Barley, Meyer and Gash, 1988

Meski ketika itu istilah budaya organisasi sudah menjadi pembicaraan sehari-hari
para praktisi bisnis, manajer dan akademisi, namun secara konseptual kerangka pikir
(construct) budaya organisasi masih berada pada tataran mencari bentuk – masih
berada pada tahap embrionik. Seperti dikatakan oleh Reichers and Schneider 20, tahap
perkembangan budaya organisasi sebagai sebuah konsep seperti halnya konsep-
konsep baru lainnya dapat dikelompokkan menjadi tiga tahap yaitu: tahap pengenalan
dan elaborasi – introduction and elaboration, tahap evaluasi dan pengembangan –
evaluation and augmentation, dan tahap konsolidasi dan akomodasi – consolidation and
accomodation.
Tahap pertama – pengenalan dan elaborasi ditandai dengan upaya-upaya untuk
melegitimasi konsep baru (atau konsep yang baru diadopsi dari disiplin lain – dalam hal
ini konsep budaya organisasi yang diadopsi dari disiplin anthropologi). Upaya-upaya
tersebut biasanya muncul dalam bentuk tulisan yang mencoba meyakinkan para
pembaca awam tentang kejelasan definisi, pentingnya konsep tersebut dan perlunya
memahami dan mengintegrasikan ide-ide awal yang masih berserakan. Tahap ini juga
mencoba mengelaborasi definisi-definisi awal yang relatif belum mapan dan
membuktikan bahwa konsep tersebut dapat menjelaskan fenomena yang ada (dalam

198
hal studi organisasi, konsep budaya dicoba digunakan untuk menjelaskan fenomena
organisasi). Dalam konteks perkembangan konsep budaya organisasi, 9 (sembilan)
artikel yang dimuat edisi khusus ASQ (1983) misalnya bisa dikategorikan sebagai artikel
yang masuk tahap pertama kecuali tulisan Wilkin and Ouchie yang bisa dikatakan
sebagai kategori kedua - evaluasi dan pengembangan. Secara umum beberapa artikel
budaya organisasi yang bisa dikategorikan kedalam tahap pertama bisa dilihat dari tabel
5.4 berikut ini.

Tabel 5.4
Beberapa Artikel/Buku Budaya yang Digolongkan Kedalam Kategori Pertama

Tahun Penulis Judul tulisan Pokok bahasan

1979 Andrew On studying Menelusuri kemunculan dan perkembangan


Pettigrew organizational culture budaya sebuah organisasi dari waktu ke waktu

1982 Deal & Corporate culture Diskusi mendalam tentang sifat, tipe dan cara
Kennedy mengelola budaya organisasi

1983 Administrative Science Memperkenalkan dan menjelaskan konsep


Quarterly special edition budaya dari berbagai sudut pandang;
devoted to culture mendorong dilakukannya study budaya dengan
pendekatan tertentu

1983 Organizational Dynamics Himbauan kepada para manajer untuk


special edition devoted to mengadopsi konsep budaya kedalam praktik
culture manajemen

1983 E.H. Schein The Role of Founder in Menjelaskan definisi budaya secara mendalam;
Creating organizational diskusi tentang sumber pembentukan budaya
culture dan cara penyebarannya

1983 Pondy, Frost, Organizational Kumpulan tulisan yang membahas budaya


Morgan & Symbolism dalam perspektif organisasi dan peran bahasa,
Dandridge mitos, dan simbol dalam perspektif tersebut

1984 E.H. Schein Coming to the Menjelaskan definisi dan eksplorasi konsep
Awareness of budaya
organizational Culture

1984 Trice & Studying Organizational Menjelaskan definisi budaya; saran untuk

199
Beyer Culture through Rites mempelajari budaya melalui ritual dan uparaca-
and Ceremonies upacara.

1984 Frost, Moore, Organizational Culture Kumpulan tulisan dengan fokus definisi budaya
Louis, dan isu-isu yang berkaitan dengan cara
Lunberg & mengelola budaya, mempelajari budaya dan
Martin hubungan antara budaya organisasi dengan
budaya masyarakat.

Tahap kedua – evaluasi dan pengembangan konsep ditandai dengan munculnya


artikel-artikel baru yang mengevaluasi dan mengkritik artikel-artikel terdahulu, utamanya
yang berkaitan dengan konsep yang digunakan. Bentuk kritik yang biasanya
dikemukakan misalnya: artikel-artikel terdahulu dianggap memiliki kelemahan konsep,
sulitnya meng-operasionalisasikan konsep tersebut, dan hasil temuan masih
membingungkan. Berdasarkan kritik-kritik tersebut mulai dikemukakan saran untuk
menambah variabel baru, misal variabel antara (moderating/ mediating variable),
sebagai upaya untuk menjelaskan temuan yang kontradiktif. Studi empiris dengan teknik
pengukuran baru dalam rangka membenahi konsep yang ada mulai dilakukan. Dari sini
konsep yang sudah ada direkonstruksi dan diaplikasikan baik pada dataran konseptual
maupun praktikal. Dalam kaitannya dengan pengembangan konsep budaya organisasi,
artikel dan buku-buku budaya organisasi yang terbit sejak pertengahan 1980an sampai
akhir tahun 1980an cenderung masuk pada tahap ini. Diantaranya seperti tampak pada
tabel 5.5.

Tabel 5.5
Beberapa Artikel/Buku Budaya yang Digolongkan Kedalam Kategori Kedua

Tahun Penulis Judul tulisan Pokok bahasan

1983 Wilkin & Efficient culture: Mengeksplorasi kondisi-kondisi yang


Ouchie Exploring the relationship memungkinkan terciptanya budaya yang kuat;
between culture and menjelaskan cara-cara yang memungkinkan
organizational budaya memberi kontribusi terhadap efisiensi.
performance

Organizational culture Kritik terhadap asumsi-asumsi yang biasanya


1983 Martin & and counter culture: An dijadikan dasar dalam melakukan riset budaya.

200
Siehl uneasy symbiosis Juga menawarkan rekonseptualisasi (meski
bersifat parsial) terhadap konsep budaya yang
ada.

Organizational culture Diskusi mendalam tentang sifat-sifat budaya,


1985 E.H. Schein and leadership sumber pembentukannya dan peran peimpinan
organisasi dalam pertukaran budaya.

1985 V. Sathe Culture and corporate Buku teks yang menjelaskan penggunaan
related realities budaya untuk menyelesaikan masalah yang
berkaitan dengan siklus hidup organisasi.

Mengeksplorasi beberapa definisi budaya,


1989 J. Steven Ott The organizational atribut budaya, proses pembentukan,
culture perspective manajemen dan perubahan budaya

Tahap ketiga dalam pengembangan konsep adalah tahap konsolidasi dan


akomodasi. Pada tahap ini tingkat kontroversi relatif sangat rendah. Perdebatan tentang
konsep yang semula begitu intens, sekarang tidak lagi terjadi karena secara umum
konsep tersebut sudah bisa diterima. Itulah sebabnya pada tahap ini satu atau dua
definisi mulai menjadi definisi baku. Demikian juga operasionalisasi konsep mulai
didominasi oleh beberapa metode tertentu. Pada tahap ini juga mulai dipahami batasan-
batasan konsep, anteseden dan konsekuensi dari penerapan sebuah konsep. Dari sini
kemudian beberapa buku diterbitkan dan muncul meta analisis yang
mengkonsolidasikan temuan-temuan terdahulu. Meski demikian pada tahap ini bukan
tidak mungkin juga terjadi pengembangan konsep karena sesungguhnya proses
pengembangan konsep tidak berhenti hanya karena sebuah konsep tersebut sudah
dianggap mapan. Hanya saja pengembangan konsep pada tahap ketiga ini berbeda
dengan yang terjadi pada tahap kedua. Dalam kaitannya dengan pengembangan
konsep budaya organisasi, tahap ketiga mulai terjadi sejak awal tahun 1990an sampai
sekarang. Beberapa artikel/buku yang dapat dikelompokkan kedalam tahap ini dapat
dilihat pada tabel 5.6.

Tabel 5.6

201
Beberapa Artikel/Buku Budaya yang Digolongkan Kedalam Kategori Ketiga

Tahun Penulis Judul tulisan Pokok bahasan

Artikel/Buku Budaya yang membahas applikasi budaya dalam praktik

1993 Diana Organizational Buku ini menguraikan tipe-tipe budaya


Pheysey cultures: types and organisasi dan cara-cara
transformation mentranformasikannya

1999 Terrence The new corporate Mengeksplorasi sejarah perkembangan


Deal and cultures budaya perusahaan. Selain itu buku ini
Allan juga memberi tawaran kepada praktisi
Kennedy perlunya kesimbangan antara kebutuhan
manajemen agar tetap survive pada kondisi
lingkungan yang serba berubah dan
kesejahteraan para pekerja agar tetap setia
kepada perusahaan.

1999 Kim Diagnosing and Dengan memodifikasi instrument yang


Cameron & changing telah digunakan oleh peneliti lain, buku ini
Robert organizational culture menawarkan cara untuk mendiagnosis dan
Quinn merubah budaya organisasi. Konsep yang
digunakan adalah Competing value
framework.

Artikel/Buku Budaya yang membahas pengembangan lanjutan budaya organisasi

202
1992 Joanne Culture in Buku ini menjelaskan bahwa budaya yang
Martin organizations: three berkembang pada sebuah organisasi tidak
perspective hanya bersifat integrative tetapi juga
differentiative dan fragmented

1999 Steven The leveling or Artikel ini menawarkan pendekatan yang


Feldman organizational culture: berimbang antara semangat critical theory
Egalitarian in critical dengan apresiasi terhadap tradisi-tradisi
postmodern moral.
organizational theory

2001 John Ogbor Critical theory and the Artikel ini, dengan menggunakan critical
hegemony of corporate theory membahas dan membuat rerangkan
culture untk memahami peran budaya perusahaan
dalam hegemoni perusahaan.

RINGKASAN

Bab ini menjelaskan perjalanan konsep budaya dari perspektif anthropologi ke


organisasi. Penjelasan bab ini dianggap penting dalam rangka untuk memperoleh
gambaran bagaimana studi tentang budaya pada dasarnya merupakan domain bidang
studi anthropologi diadopsi oleh bidang studi organisasi. Perjalanan konsep ini dimulai
pada tahun 1920an setelah Elton Mayo melakukan penelitian di Hawthrone Plant yang
pada awalnya lebih banyak menggunakan pendekatan psikologi. Menjelang akhir
penelitiannya, Mayo melibatkan seorang anthropolog yang sebelumnya melakukan
penelitian suku Aborigin di Australia. Keterlibatan anthropolog tersebut memberikan
warna baru dan menjadikan studi organisasi menjadi semakin dinamis. Hasil penelitian
tidak hanya diinterpretasikan secara psikologis tetapi juga anthropologis yang hasil
interpretasinya ternyata berbeda.
Keterlibatan anthropolog dalam bidang studi organisasi tidak hanya terjadi di
Amerika tetapi juga di Eropa dan akhirnya menyebar ke tempat-tempat lain. Keterlibatan
para anthropolog inilah yang menyebabkan perubahan dalam cara memahami
organisasi. Pada akhirnya organisasi tidak semata-mata dipandang sebagai alat bantu
tetapi secara anthropologis juga sebagai masyarakat dengan segala atribut-atributnya.

203
Perubahan cara pandang ini dimungkinkan setelah para anthropolog juga membawa
serta cara-cara atau metode-metode, yang biasa digunakan untuk meneliti budaya
dalam perspektif makro, ke dalam penelitian organisasi. Proses pemindahannya disebut
displacement of concept. Jadi, konsep budaya organisasi yang kita pelajari sekarang ini
sesungguhnya telah melalui proses evolusi yang panjang sejak tahun 1920an sampai
dengan 1980an.

204
LAMPIRAN

Pendekatan Fokus yang dipelajari Diantara peneliti Hasil studi yang ingin Asumsi yang digunakan
anthropologi utama diungkap

Cultural evolution Budaya = keseluruhan aspek C. Taylor (1871) Mencari bentuk umum (grand Masyarakat terdidik dianggap
hidup manusia yang sangat laws) tentang asal muasal dan lebih superior dibanding
kompleks, termasuk: aspek perkembangan budaya masyarakat primitif
kognitif, prilaku, dan kebendaan
yang diperoleh dan melekat
pada diri manusia

Hstorical Fakta, traits (ciri bawaan) dan F. Boas (1896, 1917) Mengumpulkan data di tempat Anthropologi bersifat historis,
particularism elemen-elemen fisik (in situ) dan menemukan induktif dan scientific
anthropologi prinsip-prinsip umum budaya
Individu merupakan unit
analisis yang sangat penting
dalam mempelajari budaya

Superorganic (non-individual) A.L. Kroeber (1917) Untuk menemukan pola dan Anthropologi adalah sebuah
konfigurasi budaya dalam sejarah bukan science
rangka mencari grand theory
budaya
Individu merupakan bagian
budaya

Functionalism Menemukan struktur baku A.R. Radcliffe-Brown Struktur sosial merupakan Konsep budaya dianggap
sistem alam (natural system) (1952, 1957) abstraksi dari prilaku manusia kurang berarti dibandingkan
dan mencoba untuk memahami konsep sistem sosial
bagaimana masing-masing
bagian berfungsi didalam sistem
tersebut
Study tentang sistem sosial; Anthropology adalah science
Kultur adalah satu set peraturan menentukan fungsi prilaku
untuk menyelaraskan manusia dalam hal sejauhmana prilaku Manusia dikelompokkan ke
ke dalam sebuah sistem tersebut bisa memberi makna/ dalam sebuah sistem yang
kejejahteraan bagi sekelompok membentuk keseluruhan

215
orang aspek kehidupan yang
bagian-bagiannya
membentuk keseluruhan
aspek tersebut

B. Malinowski (1939, Bagimana berbagai macam Budaya adalah sebuah


1944) elemen budaya membentuk instrumen yang
budaya secara keseluruhan memungkinkan kebutuhan
(wholeness) manusia bisa terpenuhi

Memberi perhatian pada


kebutuhan psikologis, biologis
dan sosisal manusia

Cultural Budaya adalah prilaku yang J. Stuart (1955) Pengaruh lingkungan dan Anthropologi adalah sebuah
materialism dapat diobservasi technoenvironment dalam science
membentuk budaya

“Culturology” (keberadaan L. White (1959) Science of culture Ecology memberikan


budaya tidak bergantung pada pengaruh pada budaya dan
kehidupan manusia) proses evolusinya

Budaya terdiri dari beberapa


elemen yang bersifat continuum,
meski manusia sendiri secara
individual adalah pembawa
tradisi budaya

Budaya adalah prilaku M. Harris (1964) Prilaku kolektif Budaya merupakan prilaku
yang ditentukan oleh faktor-
faktor technoenvironment

Cultural idealism: Budaya adalah sebuah R. Benedict (1934; Budaya adalah penentu Budaya adalah pola pikir dan
psychological keseluruhan yang terintegrasi 1942) kepribadian tindakan yang konsisten
anthropology dan konsisten sehingga menjadi
keseluruhan yang terintegrasi

216
M. Mead (1939) Budaya adalah perbedaan gaya Budaya = kepribadian dari
hidup para anggotanya dan
menentukan kepribadian para
anggota tersebut
“Superorganic” A.L. Kroeber (1917)

Budaya = sesuatu yang E. Sapir (1917) Bahasa yang diinternalisasi


diinternalisasi manusia sebagai seseorang akan berpengaruh
sesuatu yang mengandung terhadap cara ia memahami
makna dunia

Ethnography Penjelasan budaya berdasarkan J.P. Spradley (1972) Menggunakan ethnoscience


bahasa yang digunakannya H.Garfinklel (1967) untuk mempelajari pandangan
orang dalam (insiders) tentang
budaya

Structuralism Collective unconscious (asumsi C. Levi-Strauss Aspek psikologis dari struktur Sejarah akan melekat pada
bersama yang berada diluar (1920, 1949) dasar dalam cara berpikir kehidupan manusia
kesadaran mereka) manusia

Symbolic Budaya = system of symbols C. Geertz (1973) Kombinasi antara penjelasan Simbol merupakan bagian
anthropology V. Turner (1967) orang dalam (emic) dan orang proses sosial. Simbol-simbol
luar (etic) tersebut terkait dengan
kepentingan manusia, tujuan
mereka dan hasil dan alat-
alat untuk mencapai tujuan
tersebut

217
Catatan Kaki

218
1
Penjelasan detail tentang organisasi telah diberikan pada bab I. Oleh karena itu para pembaca
disarankan untuk kembali membuka bab tersebut.
2
Sonja A. Sackman, 1991, Cultural knowledge in orgaizations: exploring the collective mind,
Newbury Park, Cal.: Sage Publ.
3

Edward Hall, 1990, The Silent language, New York: Anchor books, halaman 22.
4
Edward Hall, 1990, ibid, halaman 22
5

Edward Hall, 1990, Ibid, halaman 23


6

Susan Wright, 1994, Anthropology of organization, London: Routledge, halaman 5


7

Susan Wright, 1994, ibid, halaman 5


8

Lihat Jay M. Shafritz and J. Steven Ott, 2001, Classic of Organization Theory, 5th edition, halaman.
8 - 25
9
Misalnya, Tavistock Institute yang mempunyai hubungan baik dengan daratan Amerika
mengembangkan Human Relation Approach dan Socio Technical System untuk industri. Untuk
penjelasan lebih lanjut lihat Susan wright, 1994, op cit, halaman 10.
10

B. Czarniawska-Jorge, 1992, Exploring complex organizations: A cultural perspective, London:


Sage, halaman 77
11

Linda Smircich ,1983, Concept of Culture and Organizational Analysis, Administrative Science
Quarterly, 28, halaman. 339-358.
12

G. Hofstede, 1992, Motivation, leadership and organization: Do American theories apply abroad? In
J.J. DiStefano and H.W. Lane (eds.) International management behavior, 2nd edition, Boston: PWS
Publishing Co.
13

Miriam Erez and P. Christopher Early, 1993, Culture, Self Identity and Work, Oxford University Press,
halaman. 71
14

Linda Smircich, 1983, op cit.


15
Lihat Morey and Luthans, 1985, Rifining the displacement of culture and the use of scenes and
themes in organizational studies, Academy of Management Review, halaman. 219 – 229
16
Lihat Czarniawska-Joerges, 1992, op cit. Lihat juga Charles Perrow, 1979, Complex organization:
A critical essay, 2nd edition, Glenview, Illinois: Scott, Foresman and company
17
Penjelasan detail hasil penelitian Hofstede lihat bab 3 buku ini.
18

R. T. Pascale and A. G. Athos, 1981, The art of Japanese management, New York: Warner books
edition
19

S. R. Bayer, G. W. Meyer and D. C. Gash, 1988, Culture of culture: Academics, practitioners and the
pragmatics of normative control, Administrative science quarterly, halaman 24 – 60.
20
A. E. Reichers and B. Schneider, 1990, Climate and culture: An evolution of constructs, in B.
Schneider (ed.) Organizational Climate and culture, San Francisco, Cal: Jossey Bass Inc., halaman
5 – 39.

Anda mungkin juga menyukai