Anda di halaman 1dari 34

BAGIAN III

KONSEP BUDAYA
ORGANISASI

220
BAB VI

Apa Itu Budaya Organisasi?

221
S
etelah melalui perjalanan panjang, budaya yang pada mulanya hanya menjadi
kajian bidang studi anthropologi belakangan juga menjadi kajian bidang-bidang
studi lain seperti psikologi, sosiologi, komunikasi, organisasi dan manajemen.
Kajian budaya dalam bidang studi organisasi bermula ketika terjadi perubahan
paradigma dalam cara memandang organisasi yakni ketika organisasi tidak lagi
dipandang semata-mata sebagai instrumen yang bersifat formal dan rasional yang
sengaja dibentuk sekedar untuk membantu manusia memenuhi kebutuhan-
kebutuhannya, tetapi organisasi dipandang seolah-olah sebagai makhluk hidup (living
systems) dan sebagai sebuah masyarakat dimana aspek kehidupan organisasi dan
lingkungannya lebih mendapat perhatian ketimbang menempatkan organisasi sekedar
sebagai alat.
Sebagai makhluk hidup, misalnya, organisasi dianggap mengalami daur hidup –
lahir, menjadi anak-anak, remaja, dewasa, tua dan selanjutnya boleh jadi mati. Oleh
karena itu agar bisa bertahan hidup, tumbuh dan berkembang, organisasi harus bisa
beradaptasi dengan lingkungan. Jika gagal beradaptasi kemungkinan yang terjadi
adalah sebaliknya, organisasi akan memiliki siklus kehidupan yang jauh lebih pendek.
Keharusan beradaptasi dengan lingkungan secara tidak langsung menunjukkan bahwa
organisasi sesungguhnya tidak berada pada ruang isolasi yang terpisah dari
lingkungannya. Organisasi juga dianggap tidak statis, sebaliknya organisasi merupakan
bagian integral dari sebuah sistem yang lebih besar yang secara dinamik selalu
mengalami perubahan. Semakin lingkungan berubah semakin organisasi dituntut untuk
menyesuaikannya.
Sebagai makhluk hidup, selain dituntut untuk memiliki daya adaptasi terhadap
lingkungan eksternal, kehidupan internal organisasi juga dianalisis dan dipahami dengan
cara berbeda. Sebagai contoh, sekumpulan orang yang menjadi anggota organisasi
bukan sekedar kumpulan orang-orang yang bekerja untuk organisasi dan semuanya
berpikiran rasional melainkan mereka adalah sebuah masyarakat dengan segala
atributnya. Layaknya sebuah masyarakat dengan demikian hal-hal berikut mungkin saja
terjadi dalam sebuah organisasi. Pertama, keanggotaan sebuah organisasi umumnya
berasal dari individu-individu yang berbeda latar belakang, tata nilai dan budaya.

221
Bahkan tujuan masing-masing ketika bergabung dengan organisasi juga bisa berbeda.
Itulah sebabnya organisasi harus bisa memenuhi kebutuhan setiap individu yang terlibat
dalam organisasi agar pada saat yang sama mereka mau membantu organisasi
mencapai tujuan-tujuannya. Kedua, keberadaan masing-masing anggota organisasi bisa
dikatakan tidak bebas nilai karena sebelum bergabung dengan organisasi mereka telah
memiliki tata nilai dan budaya yang diadopsi dari tata nilai dan budaya masyarakat di
luar organisasi. Organisasi dengan demikian merupakan bertemunya berbagai macam
tata nilai dan budaya yang bahkan memungkinkan terciptanya tata nilai dan budaya
baru. Ketiga, sebagai sebuah masyarakat maka di dalam organisasi terjadi interaksi
sosial antar para anggota. Akibatnya, hubungan diantara mereka juga bukan hanya
hubungan formal, lebih dari itu terkadang lebih bersifat informal, emosional dan kultural.
Oleh karenanya para pengelola organisasi diharapkan bisa memberi perhatian yang
seimbang terhadap kedua aspek tersebut yakni aspek formal dan informal.
Penjelasan diatas menunjukkan bahwa sejak awal, organisasi tidak terhindarkan
untuk tidak melakukan interaksi dengan lingkungan eksternal. Oleh karenanya
kehidupan internal organisasi dalam batas-batas tertentu juga dipengaruhi oleh interaksi
tersebut. Sebagai contoh, organisasi yang notabenenya adalah sebuah masyarakat
dengan sendirinya memiliki budaya. Namun terbentuknya budaya didalam organisasi
tidak terjadi seketika melainkan melalui proses panjang yang salah satu sumber
pembentuknya adalah budaya masyarakat (baik budaya etnik, budaya nasional dan
budaya-budaya lainnya). Budaya-budaya ini secara gradual dibawa masuk baik oleh
para pendiri organisasi, para pengelola maupun anggota organisasi lainnya.
Selanjutnya, setelah terjadi proses kristalisasi dan internalisasi di dalam organisasi,
budaya masyarakat yang pada mulanya di luar jangkauan organisasi (bersifat tidak
terkendali) pada akhirnya menjadi bagian formal organisasi.
Pemahaman tentang organisasi seperti penjelasan diatas mulai marak sejak
pertengahan tahun 1970an. Sejak itulah para teoritisi organisasi mulai secara intensif
mengkaji aspek kehidupan internal organisasi. Salah satu aspek yang banyak
didiskusikan adalah aspek “budaya didalam organisasi”, atau secara umum disebut
“budaya organisasi” yang konsepnya akan menjadi pokok bahasan pada bab ini.
Pembahasan tentang konsep budaya organisasi akan diawali dengan penjelasan
tentang pengertian budaya organisasi, dilanjutkan dengan bahasan mengenai

222
perdebatan antara multikultur vs monokultur, perbedaan antara konsep budaya dan iklim
organisasi dan diakhiri dengan penjelasan tentang dimensi dan tipe budaya organisasi.

PENGERTIAN BUDAYA ORGANISASI


Konsep budaya organisasi bisa dikatakan masih relatif baru yakni baru berkembang
sekitar awal tahun 1980an. Konsep ini, seperti diakui para teoritisi organisasi, diadopsi
dari konsep budaya yang terlebih dahulu berkembang pada disiplin anthropologi. Oleh
karenanya, keragaman pengertian budaya pada disiplin anthropologi juga akan
berpengaruh terhadap keragaman pengertian budaya pada disiplin organisasi. Hal ini
misalnya ditegaskan oleh Linda Smircich yang mengingatkan agar kita tidak kaget jika
mendapatkan aneka pengertian budaya organisasi1.
Secara umum konsep budaya organisasi dibagi menjadi dua school of thought
(mazhab) – ideational dan adaptationist school2. Mazhab pertama – ideational school
lebih melihat budaya sebuah organisasi dari apa yang di-shared (dipahami, dijiwai dan
dipraktikkan bersama) anggota sebuah komunitas/ masyarakat. Mazhab ini biasanya
dianut oleh para organization theorists yang menggunakan pendekatan anthropologi
sebagai basisnya. Mazhab kedua – adaptationist school melihat budaya dari apa yang
bisa diobservasi baik dari bangunan organisasi seperti arsitektur / tata ruang bangunan
fisik sebuah organisasi maupun dari orang-orang yang terlibat didalamnya seperti pola
prilaku dan cara mereka berkomunikasi. Pendek kata, para adaptationist school melihat
budaya dari kulit luar organisasi. Pengikut mazhab ini kebanyakan para manajer dan
praktisi bisnis yang memperlakukan budaya sebagai variabel internal untuk
meningkatkan efektifitas organisasi. Disamping kedua mazhab diatas, gabungan
keduanya – realist school juga banyak dikenal. Penganut mazhab ketiga menyadari
bahwa budaya organisasi merupakan sesuatu yang kompleks yang tidak bisa dipahami
hanya dari pola prilaku orang-orangnya saja tetapi juga sumber prilaku tersebut.
Hubungan resiprokal keduanya menjadi cukup penting dalam mempelajari budaya.
Perbedaan ketiga mazhab diatas tercermin pada perbedaan pengertian budaya
organisasi seperti yang akan diuraikan berikut ini.

223
Definisi budaya organisasi menurut ideational school
Andrew Pettigrew3, orang pertama yang secara formal menggunakan istilah budaya
organisasi, memberikan pengertian budaya organisasi sebagai “the system of such
publicly and collectively accepted meanings operating for given group at a given time –
budaya adalah sistem makna yang diterima secara terbuka dan kolektif, yang berlaku
untuk waktu tertentu bagi sekelompok orang tertentu”. Jika dicermati lebih mendalam,
definisi diatas hampir sama dengan pengertian budaya (dalam disiplin anthropologi)
seperti dikemukakan oleh R. D'Andrade dan Clifford Geertz 4. Keduanya mengatakan
bahwa budaya adalah jaringan makna yang interpretatif. Seperti halnya D’Andrade dan
Geertz, Andrew Pettigrew juga menyatakan bahwa esensi budaya organisasi adalah
sistem makna atau jaringan makna. Untuk memperjelas bagaimana sistem makna bisa
menjadi esensi budaya orgaisasi, Andrew Pettigrew memberi pengertian sistem sebagai
istilah (terminologi), bentuk, kategori atau citra (image) yang bisa dengan sendirinya
menjelaskan situasi diri sekelompok orang kepada kelompok orang tersebut. Dalam hal
ini sistem makna diharapkan bisa memberi gambaran tentang jati diri (budaya) sebuah
organisasi kepada orang-orang yang bekerja pada organisasi tersebut dan orang-orang
yang berada di luar organisasi melalui proses pemaknaan terhadap semua aspek
kehidupan organisasi.
Namun sebelum benar-benar bisa memberi gambaran tentang jati diri atau
budaya sebuah organisasi, sistem makna harus secara terbuka dan kolektif diterima dan
menjadi pedoman, ketentuan atau referensi bagi semua orang atau paling tidak
sebagian besar orang yang terlibat dengan sebuah organisasi. Persyaratan ini perlu
ditegaskan mengingat proses pemaknaan (interpretasi) terhadap fenomena, kejadian
atau kegiatan organisasi kadang-kadang bersifat subyektif. Biasanya hanya orang-orang
tertentu (utamanya elit organisasi) yang dapat dan merasa layak untuk memaknai
semua aspek kehidupan organisasi. Oleh karena itu jika proses pemaknaan tersebut
berhenti pada elit organisasi, bisa dipastikan bahwa banyak orang tidak memahami
makna sesungguhnya dari setiap fenomena, kejadian atau kegiatan organisasi. Karena
alasan itu pulalah proses pemaknaan tersebut harus dikomunikasikan dan
diinternalisasikan kepada setiap orang. Atau dengan kata lain, untuk bisa menjadi
budaya, sistem makna tersebut harus di-shared (dipahami, dijiwai dan dipraktikkan

224
bersama) diantara orang-orang yang bekerja dalam organisasi agar menghasilkan
shared meanings.
Penjelasan diatas menegaskan bahwa budaya sebuah organisasi sesungguhnya
tidak bisa semata-mata dipahami melalui komponen organisasi yang kasat mata (overt)
seperti strategi, struktur dan sistem organisasi serta diskripsi pekerjaan. Demikian juga,
data, fakta atau statisktik belum bisa bercerita tentang budaya sebuah organisasi.
Bahkan pernyataan visi, misi, dan tata nilai organisasi, logo, symbol, dan jargon yang
oleh banyak pengelola organisasi sengaja ditulis sebagai bentuk manifestasi/pernyataan
jati diri dan budaya sebuah organisasi, belum bisa sepenuhnya menunjukkan budaya
seperti yang diharapkan jika interpretasi masing-masing individu berbeda. Dengan kata
lain, budaya menurut pendapat Andrew Pettigrew bersifat abstrak, elusif dan
tersembunyi (hidden) yang berada dibalik shared meanings.
Seperti halnya Andrew Pettigrew, Vijai Sathe5 juga menekankan pentingnya
shared meanings untuk memahami budaya organisasi. Dalam hal ini Sathe mengartikan
budaya organisasi sebagai “set of important assumptions (often unstated) that members
of a community share in common” – budaya organisasi adalah satu set asumsi yang
dianggap sangat penting (meski terkadang tidak tertulis) yang di-shared oleh para
anggota sebuah komunitas/organisasi. Inti dari pengertian ini, dengan demikian, adalah
asumsi dasar dan shared meanings merupakan sumber pembentukkan budaya. Vijai
Sathe lebih jauh menegaskan bahwa shared meanings merupakan hasil kesepahaman
bersama yang diderivasi dari asumsi-asumsi penting yang berlaku di sebuah organisasi,
meski asumsi tersebut kadang-kadang tidak tertulis. Yang dimaksud dengan asumsi
disini adalah suatu anggapan mendasar/sentral yang berdampak luas bagi kehidupan
organisasi dibadingkan suatu anggapan yang lain. Karena dipahami secara luas maka
sesuatu yang mendasar/sentral tersebut mendapat tempat utama di hati para anggota
organisasi.
Secara umum ada dua tipe asumsi dasar yang sering dijadikan pegangan para
anggota organisasi yaitu keyakinan (beliefs) dan tata nilai (values) 6. Keyakinan
merupakan asumsi dasar tentang kehidupan dunia dan bagaimana kehidupan dunia
tersebut menjalankan aktivitasnya. Biasanya asumsi dasar ini diproleh melalui
pengalaman pribadi seseorang yang dipertajam melalui pengalaman lanjutan yang
sama. Namun karena tidak setiap orang memiliki pengalaman langsung yang berkaitan

225
dengan kehidupan dunia dan tidak bisa membuktikannya secara logik terhadap setiap
kejadian tersebut, seseorang biasanya memperoleh pengalaman melalui orang lain
yang dipercaya dan dianggap memiliki pengetahuan tentang semua persoalan itu.
Sebagai contoh, masyarakat tradisional biasanya meyakini bahwa manusia yang sudah
meninggal suatu saat rohnya akan kembali ke rumah. Oleh sebab itu keluarga yang
masih hidup perlu menyediakan makanan kesukaannya ketika ia masih hidup agar
ketika rohnya pulang bisa menikmati makanan tersebut. Masyarakat tradisional meyakini
kejadian tersebut meski ia tidak bisa membuktikan apakah rohnya betul-betul pulang
atau tidak.
Sementara itu tata nilai (value) adalah asumsi dasar tentang sesuatu yang
dianggap ideal yang patut untuk dicari dan dipertahankan. Seperti halnya keyakinan,
value biasanya diperoleh melalui pengalaman pribadi atau melalui orang lain yang
berpengaruh terhadap dirinya. Sebagai contoh, kalau seseorang dalam menjalankan
bisnis menganggap bahwa tidak memiliki hutang adalah cara menjalankan bisnis yang
seharusnya (ideal) maka berhutang merupakan cara yang dianggap tabu meski
perusahaan sedang mengalami financial distress.

Definisi budaya organisasi menurut adaptationist school


Kedua definisi diatas bisa dikategorikan sebagai definisi yang mewakili ideational
school. Definisi lain yang bisa dikelompokkan kedalam adaptaionist school misalnya
diberikan oleh Stanley Davis, Terrence Deal and Allan Kennedy dan Charlem Hampden-
Turner. Definisi budaya seperti dikemukakan oleh Stanley Davis7 adalah sebagai berikut:
"Corporate culture is the pattern of shared beliefs and value that
give the members of an institution meaning, and provide them
with the rules for behavior in their organization”

“Budaya perusahaan adalah keyakinan dan nilai bersama yang


memberikan makna bagi anggota sebuah institusi dan
menjadikan keyakinan dan nilai tersebut sebagai aturan/
pedoman berprilaku didalam organisasi”

Definisi diatas menunjukkan bahwa istilah yang digunakan Stanley Davis bukan
budaya organisasi tetapi budaya perusahaan. Sebagai seorang konsultan yang banyak
berhubungan langsung dengan perusahaan, sangat wajar jika Davis lebih suka
menggunakan istilah budaya perusahaan meski obyek yang dikaji sama yakni budaya

226
yang berkembang didalam organisasi/perusahaan. Oleh karenanya untuk sementara
kedua istilah ini (budaya organisasi dan budaya perusahaan) dianggap sama dan bisa
saling mengganti. Sama seperti Davis, Charles Hamdten-Turner 8 juga menggunakan
istilah budaya perusahaan dan mendefinisikannya sebagai “ways of life, ways of acting,
feeling and thinking, which are learned by group of people rather than being biologically
determined – “ budaya adalah pandangan hidup, cara pandang sebagai dasar untuk
bertindak, mengungkapkan perasaan dan berpikir yang semuanya itu merupakan hasil
pembelajaran sekelompok orang yang tidak disebabkan karena faktor keturunan”.
Sedangkan Deal and Kennedy9 secara sederhana mengatakan bahwa budaya
organisasi adalah “the way we do thing around here” – cara kita melakukan sesuatu di
lingkungan organisasi ini.
Ketiga definisi diatas yang mewakili adaptationist school lebih menekankan pada
pentingnya memahami budaya dari aspek prilaku manusia (behavior). Mereka mengakui
bahwa keyakinan dan tata nilai adalah inti sebuah budaya, namun mereka juga
mengakui bahwa keduanya (keyakinan dan tata nilai) lebih merupakan sumber inspirasi
yang ujud kongritnya atau pengejawantahannya akan tercermin dari clarity, consistency,
and consensus (kejelasan, konsistensi dan konsensus) prilaku masing-masing individu
didalam organisasi. Pandangan tentang budaya semacam ini, yang tidak lain merujuk
pada konsep budaya seperti dikemukakan Ruth Benedict, pada umumnya dianut para
manajer dan praktisi bisnis yang mengelola organisasi berorientasi laba (organisasi
bisnis). Penyebabnya tidak lain karena para manajer cenderung lebih pragmatis dalam
memahami budaya dan lebih mempedulikan hal-hal praktis yang dipekirakan akan
secara langsung berhubungan dengan kinerja perusahaan. Itulah sebabnya dalam
memahami budaya para manajer lebih memperhatikan aspek budaya yang kasat mata
yang mudah dimenej. Sedangkan aspek budaya yang lebih “soft” dan susah dimenej
diperlakukan sebagai symbol yang jarang dijamah.

Definisi budaya organisasi menurut realist school


Pengertian budaya yang bisa dikatakan menggabungkan ideational school dan
adaptationist school diberikan oleh Edgar Schein sebagai berikut:

“culture is a pattern of shared basic assumptions that the group


learned as it solved its problems of external adaptation and

227
internal integration, that has work well enough to be considered
valid and, therefore, to be taught to new members as the correct
way to perceive, think and feel in relation to these problems”

“budaya adalah pola asumsi dasar yang di-shared oleh


sekelompok orang setelah sebelumnya mereka mempelajari dan
meyakini kebenaran pola asumsi tersebut sebagai cara untuk
menyelesaikan berbagai persoalan yang berkaitan dengan
adapatasi eksternal dan integrasi internal, sehingga pola asumsi
dasar tersebut perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru
sebagai cara yang benar untuk berpersepsi, berpikir dan
mengungkapkan perasaannya dalam kaitannya dengan
persoalan-persoalan organisasi.

Harus diakui bahwa definisi diatas susah dipahami karena menggunakan kalimat
yang cukup panjang. Oleh karena itu perlu dielaborasi lebih lanjut agar pesan yang ingin
disampaikan definisi tersebut bisa ditangkap dengan jelas. Pertama, asumsi dasar.
Seperti pada umumnya penganut ideational school, Schien menegaskan bahwa inti dari
budaya tidak lain adalah asumsi dasar yang di-shared oleh sekelompok orang. Asumsi
dasar sering disebut sebagai the core of culture atau the true culture – budaya yang
sesungguhnya yang menjadi sumber inspirasi, panutan dan alasan pembenar untuk
berpersepsi, mengemukakan pikiran dan melakukan tindakan. Asumsi dasar cenderung
tidak banyak diperdebatkan dan diterima apa adanya oleh sekelompok orang.
Kedua, proses pembelajaran. Sebagai sumber inspirasi dan alasan pembenar,
asumsi dasar tidak datang tiba-tiba melainkan terjadi melalui proses panjang yang
memerlukan waktu cukup lama bukan dalam ukuran hari atau bulan, tetapi bisa dalam
ukuran tahun dan bahkan bisa terjadi bertahun-tahun. Proses ini bermula ketika
sekelompok orang mencoba mengatasi persoalan-persoalan yang berkaitan dengan
masalah integrasi internal dan adaptasi eksternal. Ketika cara, resep atau metode yang
mereka gunakan berhasil mengatasi persoalan-persoalan tersebut maka pola yang
sama juga akan digunakan untuk mengatasi persoalan-persoalan sejenis berikutnya.
Lambat laun pola yang sama menjadi pedoman untuk mengatasi setiap persoalan
kelompok/organisasi dan akhirnya tanpa disadari, pola tersebut menjadi postulat atau
asumsi dasar dan diajarkan kepada semua pendatang baru sebagai cara yang benar.
Ketiga, prilaku sehari-hari. Ketika asumsi dasar telah menjadi bagian hidup para
anggota kelompok/ organisasi sebagai landasan untuk berpikir, bertindak atau
mengemukakan pendapat, secara perlahan-lahan para anggota organisasi
sesungguhnya mulai membentuk nilai-nilai baru atau collective mental programming

228
baru yang pengejawantahannya tampak pada prilaku sehari-hari para anggota
kelompok. Jadi prilaku sehari-hari anggota kelompok merupakan bagian tidak
terpisahkan dari budaya yang sesungguhnya telah mereka bangun sebelumnya.
Demikian juga, nilai-nilai baru akan berpengaruh terhadap cara mereka mendesain
organisasi, mendesain tata ruang, cara berkomunikasi dan cara berpakaian yang
semuanya itu merupakan ujud riil budaya yang bisa dengan mudah diobservasi orang
diluar kelompok/ organisasi.
Seperti halnya Schein, Ogbonna and Harris juga masuk kedalam kelompok
tengah antara ideational school dan adaptationist school. Dalam bahasa mereka,
Ogbonna and Harris menyebut dirinya kelompok realist. Mereka mendefinisikan budaya
organisasi sebagai “the collective sum of beliefs, values, meanings and assumptions
that are shared by a social group and that help to shape the ways in which they respond
to each other and to their external environment – budaya adalah keyakinan, tata nilai,
makna dan asumsi-asumsi yang secara kolektif di shared oleh sebuah kelompok sosial
guna membantu mempertegas cara mereka saling berinteraksi dan mempertegas
mereka dalam merespon lingkungan.
Kedua definisi diatas menegaskan bahwa budaya organisasi dalam pandangan
Edgar Schein dan Ogbonna and Harris merupakan satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan antara elemen yang bersifat idealistik dan behavioral. Artinya budaya tidak
bisa semata-mata dipahami dari aspek yang paling dalam – asumsi dasar, demikian
juga sangat keliru jika memahami budaya hanya dari prilaku manusia. Secara bersama-
sama kedua elemen tersebut harus dipahami sebagai unsur pembentuk budaya.

MONO KULTUR VS MULTI KULTUR


Pertanyaan yang biasanya muncul dalam hubungannya dengan pemahaman budaya
organisasi adalah apakah sebuah organisasi seharusnya hanya memiliki satu macam
budaya (monokultur) atau sebaliknya sebuah organisasi bisa mempunyai lebih dari
satu macam budaya (multikultur)? Untuk menjawab pertanyan ini, ada baiknya kita
perhatikan apa yang dikemukakan Peter and Waterman Jr. 10 tentang karakateristik
perusahaan yang berhasil. Menurut kedua penulis ini faktor-faktor yang menyebabkan
keberhasilan perusahaan antara lain:

229
1. A bias for action - problems reduced to manageable proportions [‘chunking’] and
addressed by small project teams ...
Berpihak dalam bertindak – persoalan-persoalan perusahan akan semakin
berkurang jika semua pekerjaan dipecah-pecah menjadi bagian-bagian kecil yang
terkendali dan dikerjakan oleh tim-tim kecil.
2. Close to the customer - more driven by direct orientation to customer needs than
by technology ...
Dekat dengan konsumen – perusahaan harus didorong untuk lebih berorientasi
kepada kebutuhan konsumen ketimbang lebih mementingkan teknologi yang
digunakan
3. Autonomy and entrepreneurship - excellent companies have "an ability to be big
and yet to act small at the same time ... they encourage the entrepreneurial spirit
among their people, because they push autonomy markedly far down the line".
They have very open, informal communications, which are actively supported in
material and physical ways ...
Otonomi dan entrepreneurship – perusahaan yang baik adalah perusahaan yang
memiliki kemampuan untuk menjadi besar namun pada saat yang sama terkesan
kecil dalam tindakannya….. pihak perusahaan harus mendorong semangat
entrepreneurship yang tinggi kepada orang-orang yang bekerja di perusahaan
tersebut, sebab pihak perusahaan juga pada saat yang sama memberi otonomi
sampai pada level organisasi terbawah. Pihak perusahaan cenderung
menggunakan system komunikasi terbuka dan informal yang tampak pada
tampilan fisik dan bentuk-bentuk material lainnya.
4. Productivity through people - workers are treated with respect. People are seen as
assets, source of productivity and quality. There is a feeling of ‘family’ ...
Meningkatkan produktivitas melalui para pekerja – para pekerja harus
diperlakukan secara manusiawi. Mereka harus diakui sebagai asset yang menjadi
sumber produktivitas dan kualitas perusahaan. Harus ada perasaan bahwa semua
pekerja adalah sebuah keluarga.
5. Hands-on, value-driven - clear about what they stand for, everyone understands
and is driven by the values, which are almost always stated in qualitative, rather
than quantitative, terms ...
Hands-on (memberi berkah), berorientasi nilai – harus jelas apa arti/makna
sebuah perusahaan, setiap orang memahami dan digerakan oleh nilai-nilai
perusahaan yang biasanya dinyatakan secara kualitatif bukan kuantitatif.
6. Stick to the knitting - Acquisition or internal diversification for its own sake is not
one of the characteristics of excellent companies. They must stick to the knitting -
do what they know best ...
Teguh terhadap apa yang dikerjakan – diversifikasi internal hanya untuk
kepentingan diri masing-masing bukan karakter perusahaan yang berhasil.
Mereka harus bisa mengerjakan yang terbaik bagi perusahaan.

230
7. Simple form, lean staff - A guiding principle in excellent companies is to keep
things simple and small ... It is not uncommon to find a corporate staff of fewer
than 100 people running a multi-million-dollar enterprise ...
Bentuk organisasi sederhana dengan jumlah staff yang ramping – pedoman dasar
bagi perusahaan yang baik adalah untuk menjaga segala sesuatunya tampak
sederhana dan kecil…. Bukan hal yang aneh jika sebuah perusahaan dijalankan
oleh kurang dari 100 orang tetapi omzetnya ratusan juta dollar.
8. Simultaneous loose-tight properties - self-control is emphasised, through shared
values which guide voluntary behaviour, rather than complex, rigid control
systems. Actions are judged according to the impact they have had on quality and
customer perceptions.”
Pengwasan yang longgar namun pada saat bersamaan juga ketat – ditekankan
pada pengendallan diri melalui sharing nilai yang menjadi pedoman berprilaku,
bukan dengan system pengawasan yang kompleks dan kaku. Sebuah tindakan
dinilai baik buruknya bergantung pada dampaknya terhadap kualitas dan persepsi
konsumen

Jika pimpinan perusahaan dan semua karyawan mempunyai keyakinan dan


sense yang sama (shared vision, values and belief) terhadap faktor-faktor tersebut maka
dapat dipercaya bahwa perusahaan akan berhasil. Kesamaaan visi, nilai-nilai dan
keyakinan diantara anggota organisasi menunjukkan kuatnya budaya (strong culture).
Sebaliknya, keberagaman pandangan terhadap visi keyakinan dan nilai-nilai organisasi
menunjukkan lemahnya budaya (weak culture). Sathe misalnya mengatakan bahwa
yang dimaksud budaya yang kuat (strong culture) adalah “ …is characterized by the
organization’s core values being intensely held, clearly ordered, and widely shared”.
Dalam pandangan Sathe, budaya yang kuat ditandai oleh nilai-nilai inti organisasi yang
tertanam semakin mendasar, kokoh dan dipegang teguh oleh para anggota organisasi.
Semua itu bisa terjadi karena budaya tersebut disampaikan secara jelas,
disosialisasikan dan diwariskan sehingga semakin luas dianut oleh banyak anggota
organisasi. Demikian sebaliknya, jika budaya hanya dipahami oleh sekelompok kecil
orang bisa dikatakan budaya sebuah organisasi merupkan budaya yang lemah (weak
culture).
Berdasarkan pemahaman tentang budaya kuat dan budaya lemah, bisa
dikatakan bahwa keberhasilan perusahaan, dalam kaca mata Peter and Waterman Jr.,
ditentukan oleh seberapa kuat budaya yang dimiliki perusahaan tersebut. Atau dengan
kata lain Peter and Waterman Jr. secara tidak langsung menegaskan bahwa dalam satu

231
perusahaan mestinya hanya terdapat satu macam budaya (monolothic atau unitary
culture) yang dipahami, dijiwai dan dipraktikkan (shared) oleh seluruh anggota
organisasi. Pandangan ini menjadi trend pada awal-awal munculnya konsep budaya
perusahaan. Banyak buku maupun artikel yang mendiskusikan budaya
perusahaan/organisasi mengikuti pandangan Peter and Waterman Jr., termasuk
didalamnya Sathe dan Schein. Dengan pendekatan klinikal, khususnya dengan
mengadakan konsultasi dengan orang-orang kunci perusahaan, Edgar Schein
berkesimpulan bahwa untuk memahami dan atau mengganti budaya organisasi kita
harus memahami asumsi dasar dan nilai-nilai yang dimiliki organisasi. Kesimpulan ini
mengarah pada satu pemahaman bahwa dalam satu perusahaan se(harus)nya hanya
ada satu macam budaya (mono kultur) yang bersumber pada asumsi dasar dan nilai-
nilai perusahaan tersebut. Pola semacam inilah yang umumnya diikuti oleh para praktisi
bisnis dan eksekutif perusahaan dalam mengelola budaya organisasi. Untuk menjadi
excellence misalnya, kebanyakan para eksekutif perusahaan mengelola budaya dan
mengarahkannya menuju terbentuknya monokultur11.
Namun dalam realitas, terbentuknya lebih satu macam budaya didalam sebuah
organisasi tampaknya merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Alasan yang
melatar belakangi pandangan ini antara lain:
(1) meski organisasi didirikan oleh seseorang atau sekelompok orang yang se-ide dan
mempunyai kesamaan tujuan, individu-individu yang masuk belakangan berasal dari
berbagai latar belakang yang berbeda baik dalam hal pendidikan, kepribadian,
maupun keluarga12. Perbedaan latar belakang ini merupakan awal dari perbedaan
budaya dalam organisasi sebab masing-masing individu menpunyai “mindset” yang
berbeda yang mereka bawa ke dalam kehidupan sebuah organisasi,
(2) individu-individu didalam organisasi seperti ditegaskan Bolon and Bolon 13 tidak
semata-mata sebagai obyek yang hanya meneruskan budaya yang diciptakan oleh
para pendiri dan pimpinan pucak organisasi – sebagaimana paham yang dianut
oleh Schein, tetapi juga sebagai subyek yang sekaligus bisa menciptakan budaya
tersendiri dan
(3) meski masing-masing organisasi mempunyai karakteristik tersendiri yang
membedakan satu organisasi dengan organisasi lainnya, setiap organisasi
merupakan bagian dari sistem sosial yang lebih besar. Artinya interaksi antar

232
individu di dalam organisasi dan interaksi mereka dengan dunia luar organiasi serta
interaksi antar organisasi akan selalu terjadi. Interaksi ini menyebabkan terjadinya
akulturasi dan enkulturasi.

Ketiga alasan diatas menunjukkan bahwa organisasi tidak berada pada ruang
isolasi yang tidak berinteraksi dengan dunia luar. Sebaliknya, selalu terbuka
kemungkinan bagi organisasi dan dunia di luar organisasi untuk saling mempengaruhi.
Akibatnya budaya yang terbentuk di dalam sebuah organisasi juga akan mengalami hal
yang sama. Karahana, Evaristo and Srite14 misalnya mengatakan bahwa berbagai level
budaya akan saling terkait baik secara hirarkhis maupun lateral. Sebagai contoh,
budaya organisasi pada perusahaan multinasional boleh jadi terdiri dari berbagai
macam budaya: ethnic culture, religious culture, functional culture atau professional
culture. Hal yang sama juga ditegaskan oleh Schneider and Barsoux15. Secara hirarkhis,
dalam skala yang lebih besar, budaya organisasi merupakan bagian dari budaya
industri, budaya regional, budaya nasional maupun internasional. Sementara itu dalam
skala yang lebih kecil, di dalam budaya organisasi dapat muncul pula budaya fungsional
dan atau budaya profesional. Saling pengaruh antara budaya organisasi dengan
budaya-budaya yang lain digambarkan oleh Schneider and Barsoux sebagai berikut:

233
Kesamaan geografi, sejarah, Persyaratan
System politik and ekonomi, national pendidikan,
iklim, agama dan bahasa,
professional training,
system seleksi
dan sosialisasi

regional functional Natural


environment,
nature of task,
time horizon
company
industry
Sumber daya,
Teknologi,
produk, pasar,
Founder, leader,
regulasi,
administrative
keunggulan daya
heritage, sifat dari
saing
produk/industri,
tahap perkembangan

Gambar 6.1 : Persinggungan antara budaya organisasi dengan


budaya-budaya yang lain

sumber : Schneider and Barsoux

Budaya nasional dan budaya regional yang terbentuk karena kesamaan wilayah
geografi, system politik dan ekonomi, kesamaan iklim, agama atau bahasa, seperti
ditunjukkan oleh gambar diatas, selanjutnya akan berpengaruh terhadap budaya industri
yang unsur-unsur pembentuknya adalah sumber daya industri, teknologi, produk, pasar,
regulasi pemerintah atau keungulan daya saing industri. Demikian seterusnya budaya
industri akan berpengaruh terhadap budaya organisasi, budaya fungsional dan budaya
profesional. Secara umum bisa dikatakan bahwa system budaya yang lebih makro akan
berpengaruh atau bersinggungan dengan system budaya yang lebih mikro. Meski
demikian tidak tertutup kemungkinan bahwa level budaya yang lebih mikro akan
berpengaruh pada level budaya yang lebih makro. Hal ini misalnya ditegaskan oleh
William Evan16 seperti tampak pada gambar 6.2 berikut ini:

234
Social Societal
structure culture

Organizational Management
culture attitudes

organizational Organizational
structure Organizational processs
effectiveness

Societal
development

Gambar 6.2 : Hubungan timbal balik antara societal culture,


organizational culture dan societal development
Sumber : Evan, 1993, halaman 299

Gambar diatas menunjukkan hubungan resiprokal antara budaya organisasi


dengan budaya masyarakat dan dinamika perkembangan masyarakat itu sendiri. Atau
dengan kata lain, persinggungan antara budaya organisasi dengan budaya-budaya yang
lain dengan demikian merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan. Ambillah contoh
sebuah universitas (katakanlah Universitas Islam Indonesia – UII) yang terdiri dari
beberapa fakultas atau sebuah perusahaan konglomerasi yang terdiri dari beberapa unit
bisnis yang berbeda karakter satu dengan lainnya dan beroperasi di lebih dari satu
wilayah geografi tertentu. Tentu saja keberadaan UII sebagai institusi pendidikan sangat
dipengaruhi oleh peraturan pemerintah di bidang pendidikan yang dengan sendirinya
akan mempengaruhi kultur UII. Namun di saat yang sama, fakultas-fakultas di
lingkungan UII, katakanlah fakultas ekonomi jika dibandingkan dengan fakultas teknik,

235
sampai pada tahap tertentu akan mempunyai karakteristik yang berbeda meski
keduanya merupakan bagian dari budaya UII. Budaya fakultas ini pada akhirnya boleh
jadi mempengaruhi pembentukan budaya universitas dan demikian sebaliknya.
Demikian juga perusahaan konglomerasi yang mempunyai dua unit bisnis yang berbeda
misalnya perbankan dan asuransi. Meski kedua unit bisnis ini sama-sama menjadi
bagian dari industri jasa keuangan yang dengan demikian memiliki karakteristik budaya
industri keuangan, keduanya mempuyai karakter yang berbeda yang dengan sendirinya
mempunyai kultur yang berbeda pula. Jika budaya UII dikaitkan dengan budaya
Perguruan Tinggi di Indonesia dan budaya untuk masing-masing fakultas, akan tampak
seperti pada gambar 6.3 berikut:

Budaya Pendidikan Tinggi


Budaya organisasi
Universitas Islam
Indonesia (UII)

Budaya organisasi
Fakultas-fakultas
di lingkungan UII

Gambar 6.3 : Budaya UII dalam kaitannya dengan budaya pendidikan


tinggi dan budaya-budaya di lingkungan fakultas

Jika penjelasan ini dijadikan patokan maka dapat dikatakan bahwa sebuah
organisasi bisa mempunyai bermacam budaya atau sub budaya, khususnya jika
organisasi tersebut cukup besar baik karena luasnya wilayah geografi, jumlah karyawan,
banyaknya divisi/departemen, maupun karena perbedaan jenis usaha dan komposisi
karyawannya. Pendek kata, memahami budaya sebuah organisasi layaknya membuka
kotak Pandora dalam mitos Yunani. Sekali kotak dibuka dan kita masuk didalamnya kita
harus menghadapi kenyataan bahwa didalam kotak terdapat berbagai macam
kehidupan yang serba paradoksal dan keos. Dalam hal budaya organisasi, bisa

236
dikatakan bahwa sekali kita memahami lebih mendalam budaya sebuah organisasi
boleh jadi akan didapati berbagai macam sub-budaya yang sangat kompleks dan
kadang-kadang satu sub-budaya dengan sub-budaya yang lain justru saling
berlawanan. Paham ini pada umumnya dianut oleh para ideational school seperti
Barley17, Gregory18, Martin and Siehl19 dan Riley20. Bagi mereka, kultur terbentuk dalam
sebuah kelompok dan karena dalam sebuah organisasi terdiri dari beberapa group
maka bisa jadi dalam sebuah organisasi memiliki beberapa subkultur.
Pertanyaannya adalah apa yang membedakan satu sub-budaya dengan sub-
budaya lainnya di dalam sebuah organisasi? Untuk menjawab pertanyaan ini ada
baiknya kita simak pendapat Carren Siehl and Joanne Martin dan John van Maanen and
Stephen Barley. Carren Siehl and Joanne Martin yang menegaskan bahwa budaya
organisasi merupakan cerminan dari nilai-nilai organisasi yang dominant maka
hubungan antara sub-budaya dengan budaya organisasi adalah sejauh mana nilai-nilai
sub-budaya tersebut mendukung, mengingkari atau sekedar eksis sejalan dengan nilai-
nilai dominant budaya oraganisasi. Enhancing subcultures adalah sub-budaya yang
mendukung eksistensi nilai-nilai dominant budaya organisasi. Countercultures, di sisi
lain, merupakan sub-budaya yang mengingkari eksistensi nilai-nilai dominant budaya
organisasi meski sub-budaya merupakan bagian integral budaya organisasi. Orthogonal
subcultures mencoba mempertahankan nilai-nilai sub-budayanya sebagai independent
namun sejalan dengan nilai-nilai dominant budaya organisasi.
Sementara itu Van Maanen and Barley membedakan sub-budaya berdasarkan
jenis-jenis pekerjaan, kelompok kerja, hirarkhi organisasi dan keterlibatan seseorang
dengan organisasi sebelumnya. Dalam sebuah perguruan tinggi misalnya Universitas
Islam Indonesia (UII), meski staf edukatif dan staf administratif adalah sama-sama
pegawai UII tetapi sebutan keduanya berbeda. Karyawan UII berkonotasi staf
administratif dan dosen UII berkonotasi staf edukatif. Dalam contoh ini terkesan bahwa
dosen UII bukanlah karyawan UII walaupun keduanya, sekali lagi, sesungguhnya adalah
pegawai UII. Perbedaan sebutan ini menunjukkan bahwa ada perbedaan kultural antara
staf edukatif dan staf administrative yang disebabkan karena perbedaan jenis pekerjaan.
Sedangkan perbedaan sub-budaya karena kelompok kerja (work group) terjadi
ketika sebuah pekerjaan menuntut kedekatan diantara mereka seperti pada kerja tim,
bekerja pada kantor cabang atau pada departemen yang relatif kecil. Penelitian

237
Hofstede21 pada perusahaan asuransi di Denmark yang mempekerjakan 34000
karyawan menunjukkan bahwa dalam perusahaan tersebut terdapat tiga subkultur:
professional, administrative, dan customer interface subculture. Sub-budaya juga
terbentuk karena hirarkhi organisasi seperti perbedaan level manajemen atau antara
pihak manajemen dan pekerja biasa. Perbedaan ini misalnya ditunjukkan dengan
adanya istilah yang sangat popular yakni white colar (karyawan berkerah putih –
manajer) dan blue colar (karyawan berkerah biru – pekerja biasa) Dalam batas-batas
tertentu budaya manajemen tingkas atas (upper echelon culture) juga berbeda dengan
kultur manajemen tingkat menengah (middle management culture) meski keduanya
berada pada level managerial. Perbedaan ini misalnya ditunjukkan dengan adanya
perbedaan orientasi masing-masing dimana manajer tingkat atas cenderung lebih
concern kepada kepentingan perusahaan sedangkan manajer menengah cenderung
lebih concern kepada karyawan.
Terakhir, sub-budaya juga bisa terbentuk karena keterlibatan seseorang dengan
organisasi sebelumnya seperti terjadinya pengelompokan setelah sebuah perusahaan
diakuisisi perusahaan lain. Bloor and Dawson 22 menjelaskan bahwa seorang
profesional, sebut misalnya akuntan atau lawyer, ketika bekerja pada sebuah organisasi
akan membawa budaya yang ia peroleh dari lingkungan sosial atau dari pendidikan
profesi sebelumnya. Semakin tenaga profesional ini mempunyai posisi didalam
organisasi semakin kuat pula professional subculture eksis diantara budaya organisasi
yang telah ada. Bahkan bisa jadi budaya professional ini berseberangan dengan budaya
organisasi yang telah ada tersebut.
Berdasarkan kajian Carren Siehl and Joanne Martin tentang sub-budaya
organisasi, lebih lanjut Joanne Martin bahkan secara spesifik menegaskan bahwa
konsep budaya organisasi dapat dilihat dari tiga perspektif yang berbeda yaitu:
integration, differentiation dan fragmentation persepective. Mary Jo Hatch selanjutnya
merangkum pendapat-pendapat diatas dengan membuat sebuah continuum yang
menggambarkan kemungkinan terdapatnya berbagai macam sub-budaya sebagai
bagian dari budaya sebuah organisasi seperti tampak pada gambar 6.4 sebagai berikut:

Unitary diverse- diverse- diverse- disorganized

238
Integrated differentiated fragmented

Gambar 6.4 : Budaya dalam sebuah organisasi


dari unitary culture sampai disorganized culture

Sumber : Mary Jo Hatch, 1997, p. 226

Gambar diatas adalah sebuah continuum yang menegaskan bahwa didalam


sebuah organisasi ada kemungkinan hanya terdapat satu macam budaya – unitary atau
mono culture seperti ditunjukkan pada lingkaran paling kiri dan kemungkinan yang lain
adalah adanya disorganized culture - bermacam-macam budaya yang tidak terorganisir
(lingkaran-lingkaran kecil paling kanan). Diantara kedua ekstrim ini masih ada
kemungkinan yang lain yakni: diverse integrated culture, diverse differentiated culture,
dan diverse fragmented culture.
Unitary culture, seperti telah disebutkan sebelumnya, terjadi jika di dalam sebuah
organisasi hanya terdapat satu macam budaya. Keberagaman budaya yang ada di
dalam organisasi cenderung diabaikan. Atau dengan kata lain keberadaan sub-budaya
di dalam organisasi tidak bisa ditolerir. Kondisi ini biasanya terjadi pada organisasi yang
relative masih kecil dimana peranan para pendiri yang sekaligus bertindak sebagai
pemilik dan manajer di dalam organisasi masih sangat dominant. Sedangkan diverse
integrated culture menganggap sebaliknya. Bahwa sebuah organisasi terdiri dari sub-
sub budaya merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindarkan. Hanya saja sub-sub
budaya ini masih sejalan atau tidak berlawan dengan budaya itu sendiri. Artinya,
anggota-anggota organisasi yang terbagi dalam beberapa group/kelompok masih
memiliki consensus terhadap keberadaan budaya pada level organisasi. Atau dengan

239
kata lain, nilai-nilai dominant budaya organisasi masih menjadi unsur utama sub-sub
budaya yang ada.
Sementara itu, diverse differentiated culture memahami budaya bukan dari sudut
pandang organisasi tetapi dari sudut pandang sub-organisasi (kelompok atau group
didalam organisasi). Seperti halnya pada diverse integrated culture, diverse
differentiated culture menganggap bahwa keberagaman budaya di dalam sebuah
organisasi merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindarkan. Bahkan sub-budaya
dibiarkan hidup subur. Meski demikian para anggota kelompok tidak menganggap
keberagaman budaya sebagai halangan untuk mengakui eksistensi budaya organisasi.
Dalam hal ini nilai-nilai dominant budaya organisasi berbeda dengan nilai-nilai dominant
masing-masing sub-budaya meski keduanya tidak saling berlawanan. Pada diverse
fragmented culture, para anggota organisasi sudah menganggap bahwa budaya
organisasi mulai pudar, tidak konsisten, ambigu, dan terus menerus mengalami
perubahan. Oleh karenanya para anggota organisasi membentuk sub-sub budaya
sesuai keberadaan mereka pada masing-masing kelompok. Dalam hal ini bukan berarti
organisasi tersebut tidak memiliki budaya organisasi sama sekali, namun budaya
organisasi tidak menjadi orientasi mereka. Dan terakhir, disorganized culture dipahami
sebagai organisasi yang budayanya sudah punah. Yang ada hanyalah sub-sub budaya
dimana satu sub-budaya dengan sub-budaya lainnya bisa dikatakan hampir tidak ada
kaitannya sama sekali. Kondisi ini biasanya terjadi ketika organisasi mengalami
perubahan mendasar seperti ketika sebuah perusahaan diambil alih oleh perusahaan
lain, atau ketika terjadi perubahan kepemilikan.
Penjelasan diatas mengarahkan kita pada satu kesimpulan bahwa terbentuknya
subkultur didalam sebuah organisasi merupakan sesuatu yang wajar sebab organisasi
tidak berada pada ruang isolasi yang memisahkannya dengan dunia luar. Meski
demikian, ketika masih relatif kecil umumnya sebuah organisasi hanya memiliki strong
monoculture dan akan terus berkembang sejalan dengan perkembangan dan
pertumbuhan organisasi. Dengan kata lain, meski budaya organisasi merupakan
variabel yang susah untuk berubah, budaya organisasi tidaklah statis 23. Dinamika dan
perubahan budaya organisasi bersifat natural sebab seperti dikatakan oleh Smircich
organisasi adalah living organism yang selalu mencoba adaptif dengan lingkungannya.
Jadi, apakah sebuah organisasi bersifat monokultur atau multikultur sebetulnya bukan

240
persoalan yang krusial. Yang seharusnya mendapat perhatian lebih adalah sejauhmana
budaya tersebut fungsional dan mendorong tercapainya efektifitas dan tujuan
organisasi. Sebab berbeda dengan studi budaya pada disiplin anthropologi yang lebih
menekankan pada apa yang sesungguhnya terjadi, studi budaya pada disiplin
organisasi lebih memfokuskan pada apa yang seharusnya dalam rangka mencapai
tujuan organisasi. Artinya kecocokkan budaya organisasi dengan lingkungannya lebih
diperhatikan.

BUDAYA ORGANISASI VS IKLIM ORGANISASI


Dimuka telah diuraikan pengertian budaya organisasi melalui tiga pendekatan yang
berbeda – ideational school, adaptationist school dan realist school. Ketiga konsep
tersebut harus dipahami secara hati-hati dan dicermati secara seksama karena dalam
literatur organisasi juga dijumpai konsep lain yang hampir sama dengan konsep budaya
organisasi. Bahkan konsep lain tersebut, meski sekarang cenderung tidak banyak
mendapat perhatian, telah muncul jauh sebelum konsep budaya organisasi itu sendiri
dikenal banyak orang. Konsep yang dimaksud adalah “iklim organisasi”. Sampai
sekarang pandangan terhadap kedua konsep tersebut masih bervariasi dan masih
terjadi overlapping dalam aplikasinya. Para manajer dan praktisi bisnis yang mewakili
adatationist school dalam memahami budaya organisasi, misalnya, pada umumnya tidak
membedakan iklim organisasi dengan budaya organisasi. Sementara itu pandangan
para teoritisi organisasi juga masih mendua. Sebagian menganggap bahwa iklim dan
budaya organisasi tidak berbeda, dan sebagiannya lagi menganggap bahwa secara
konseptual keduanya berbeda. Bahkan ada sebagian yang lain lagi yang mencoba
mengintegrasikan konsep iklim organisasi dan budaya organisasi dengan satu asumsi
bahwa keduanya berbeda hanya karena sudut pandang yang berbeda sehingga kedua
konsep tersebut sesungguhnya bisa disatukan.
Contoh terjadinya overlapping antara konsep iklim organisasi dan budaya
organisasi dapat disimak dari dua penelitian berikut ini. Litwin and Stringer pada tahun
1968 meneliti dampak situasi / lingkungan organisasi terhadap motivasi individu yakni
motivasi berprestasi, motivasi berafiliasi dan motivasi berkuasa dengan menggunakan
“risk taking” sebagai salah satu variabelnya. Di kalangan teoritisi organisasi, penelitian

241
ini diakui sebagai penelitian iklim organisasi. Namun ketika belakangan Chatman pada
tahun 1991 melakukan penelitian dengan salah satu variabelnya sama – risk taking,
penelitian tersebut diakui sebagai penelitian budaya organisasi. Hal yang sama juga
terjadi ketika O’Reilly, Chatman and Cadwell (1991) mengklaim kecocokan hubungan
antara manusia dan lingkungan (person – environment fit) sebagai salah satu dimensi
budaya organisasi meski Joyce and Slocum jauh sebelumnya yakni dalam penelitiannya
pada tahun 1982 menganggapnya sebagai dimensi iklim organisasi.
Kedua contoh diatas sekali lagi memberi gambaran awal tentang terjadinya over-
lapping antara konsep budaya organisasi dan iklim organisasi. Oleh karena itu untuk
mengklarifikasi dan menghindari perdebatan yang tidak mendasar serta dalam rangka
mendudukan konsep budaya dan konsep iklim organisasi pada proporsi yang
semestinya, kedua konsep tersebut akan dipersandingkan untuk memperoleh gambaran
tentang batasan-batasan untuk masing-masing konsep.
Berbeda dengan konsep budaya organisasi yang berakar pada disiplin ilmu
anthropologi dan sosiologi, domain konsep iklim organisasi adalah disiplin ilmu psikologi.
Secara historis, konsep iklim organisasi sudah mulai dikenal dalam lingkup bidang studi
psikologi industri sejak tahun 1939 melalui tulisan Lewin, Lippit and White berjudul
“Patterns of aggressive behavior in experimentally created ‘social climates’.” Meski pada
saat itu Lewin Lippit and White. belum memberi definisi maupun ukuran-ukuran atau
dimensi iklim organisasi, bahkan kata iklim masih dalam tanda petik, namun bisa
dikatakan bahwa tulisan diatas yang intinya membahas hubungan antara gaya
kepemimpinan dengan iklim sosial merupakan awal dari munculnya konsep iklim
organisasi. Konsep iklim organisasi semakin mendapat perhatian para teoritisi
organisasi setelah Lewin pada tahun 1951 menulis “Field theory of social science”.
Secara sederhana Lewin mengemukakan teorinya dalam bentuk persamaan sebagai
berikut:

B = f(P,E)
dimana B = behavior (prilaku manusia), P = Person (manusia) dan
E = Environment (lingkungan)

242
Persamaan diatas menunjukkan bahwa prilaku manusia ditentukan oleh dua
variabel utama yaitu manusianya itu sendiri yakni kepribadian orang tersebut dan
lingkungan. Persamaan diatas juga bisa diinterpretasikan bahwa manusia dan
lingkungan merupakan dua variable terpisah. Artinya untuk bisa memahami lingkungan
social, manusia terlebih dahulu harus dipisahkan dari lingkungannya. Pemisahan ini
bertujuan agar manusia bisa lebih obyektif dalam memahami lingkungannya.
Dua tulisan diatas menjadi rujukan bagi tulisan-tulisan berikutnya yang berkaitan
dengan iklim organisasi. Tulisan awal yang secara intens membahas konsep iklim
organisasi muncul dalam dua buku yang terbit pada tahun 1968 yaitu “Organizational
climate” yang berisi kumpulan tulisan tentang iklim organisasi yang diedit oleh Tagiuri
and Litwin24. Dalam buku ini dikemukakan gagasan-gagasan tentang konsep dan definisi
iklim organisasi. Tagiuri25 misalnya mendefinisikan iklim organisasi sebagai berikut:

“Organizational climate is relatively enduring quality of the


internal environment of an organization that (a) is experienced by
its members, (b) influence their behavior, and (c) can be
described in terms of values of its particular set of characteristics
(or attributes) of the organization”

Iklim organisasi adalah kualitas lingkungan internal organisasi


yang (a) di rasakan dan dialami oleh para anggota organisasi,
(b) yang mempengaruhi prilaku mereka dan (c) yang bisa
dijelaskan dalam bentuk satu set karakteristik atau atribut
organisasi.

Selain Tagiuri, kontributor lain pada buku diatas memberi pemahaman yang berbeda
tentang iklim organisasi. Iklim organisasi misalnya dipahami sebagai satu set kondisi
organisasi yang bersifat obyektif; sebagai interpretasi individual yang bersifat subyektif;
dan sebagai karakteristik sebuah organisasi. Buku kedua adalah “Motivation and
organizational climate” ditulis oleh Litwin and Stringer. Disini Litwin and Stringer
mengatakan bahwa iklim organisasi memiliki 9 dimensi yaitu: struktur, responsibiliy,
reward, risiko, warmth, support, standard, conflict, dan identity.

Terlepas masih adanya perbedaan dalam memahami iklim organisasi, sejak kedua buku
diatas diterbitkan, tulisan tentang iklim organisasi terus bermunculan pada lingkup
bidang studi organisasi. Bahkan seperti dikatakan Reichers and Schneider26, pada awal

243
tahun 1980an, ketika konsep budaya organisasi baru mulai diperkenalkan, konsep iklim
organisasi sudah mencapai tahap kemapanan. Namun setelah itu perhatian para teoritisi
organisasi terhadap konsep iklim organisasi cenderung menurun. Penyebabnya
barangkali karena mereka mulai mengalihkan perhatiannya pada bidang studi baru –
budaya organisasi.

Karena sejak semula studi iklim organisasi berkiblat pada disiplin ilmu psikologi maka
sangat tidak mengherankan jika penelitian-penelitian yang berkaitan dengan iklim
organisasi pada umumnya menggunakan pendekatan yang biasa digunakan dalam
penelitian psikologi. Secara ringkas, karakteristik penelitian iklim organisasi dapat dilihat
pada tabel 6.1.

Tabel 6.1
Karakteristik dalam Perspektif Penelitian Iklim Organisasi

Epistimologi Komparatif dan nomothetic


Sudut pandang Etic perspective (sudut pandang peneliti)
Metodologi Survey data kuantitatif
Level of analysis Pada tingkatan permukaan
Orientasi waktu Snapshot (tidak mempertimbangkan dimensi waktu)
Dasar teori Teori sosial Kurt Lewin
Disiplin ilmu Psikologi

Sumber: Denison p. 625

Tabel diatas menunjukkan bahwa konsep iklim organisasi berakar pada disiplin
ilmu psikologi – khususnya psikologi sosial. Sedangkan landasan teori yang digunakan
adalah Lewin’s field theory of social science. Berdasarkan kedua landasan filosofis
tersebut maka penelitian iklim organisasi, seperti pada umumnya penelitian pada disiplin
ilmu psikologi, merupakan penelitian yang memotret fenomena organisasi (dalam hal ini
lingkungan internal organisasi) yang terjadi pada suatu waktu tertentu. Atau dengan kata
lain, iklim organisasi adalah sebuah snapshot yang mengungkap fenomena lingkungan
internal. Fenomena tersebut biasanya dipotret dengan menggunakan metode survey

244
kendati tidak semua penelitian iklim organisasi menggunakan metode ini. Untuk tujuan
itu kuesioner dan dimensi-dimensi lingkungan yang hendak dipotret biasanya didesain
dan ditentukan secara subyektif oleh si peneliti (cara penelitian seperti ini biasa disebut
sebagai etic perspective). Itulah sebabnya penelitian iklim organisasi cenderung bersifat
kuantitatif dengan level of analysis (atau yang dipotret) hanyalah bagian permukaan
organisasi yang kasat mata. Akibatnya secara epistimologis kita bisa dengan mudah
membandingkan iklim organisasi, melalui dimensi-dimensinya, dua organisasi berbeda.
Misalnya, dengan sembilan dimensi iklim organisasi seperti dikemukakan oleh Litwin
and Stringer dimuka, bisa diketahui apakah iklim sebuah organisasi lebih supportif
dibandingkan dengan organisasi lainnya; apakah iklim sebuah organisasi lebih risk taker
dibandingkan organisasi lain dan seterusnya.
Dibandingkan iklim organisasi, konsep budaya organisasi memiliki sejarah
perkembangan yang berbeda. Sebagaimana kita ketahui, konsep budaya organisasi
mengakar pada disiplin ilmu anthropologi dan ilmu sosiologi. Kedua disiplin ini
menggunakan logika yang berbeda dibandingkan dengan disiplin psikologi dalam
memahami manusia dan lingkungannya. Jika disiplin psikologi cenderung memahami
manusia sebagai individu maka anthropologi dan sosiologi memahami manusia sebagai
bagian dari lingkungan (masyarakat) yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karenanya
peneilitian budaya organisasi yang berkiblat pada disiplin anthropogi dan sosiologi
cenderung menggunakan teori konstruksi sosial (social construction theory) sebagai
landasannya. Aplikasi dari teori ini menegaskan bahwa fenomena lingkungan internal
organisasi hanya bisa dijelaskan dengan menganggap bahwa organisasi adalah sebuah
sistem sosial dengan segala atribut-atributnya. Anggota-anggota organisasi, layaknya
sebuah masyarakat, memiliki tata nilai dan mempunyai asumsi-asumsi tertentu untuk
menjalankan kehidupannya. Itulah sebabnya penelitian budaya organisasi lebih
memperhatikan proses kehidupan masyarakat dalam konteks sejarah ketimbang hanya
memahami organisasi dari situasi sesaat (snapshot). Asumsi dan tata nilai masyarakat
dengan demikian menjadi level of analsisnya. Oleh karenanya si peneliti tidak bisa
menentukan dimensi-dimensi kehidupan organisasi sesuai dengan kehendak si peneliti
melainkan harus mengikuti alur kehidupan mereka (emic perspective) melalui observasi
lapangan. Hal inilah yang menyebabkan kebanyakan penelitian budaya organisasi
bersifat kualitatif dan secara epistimologis bersifat idiogarphic meski dalam

245
perkembangan selanjutnya terjadi perubahan orientasi dalam penelitian budaya
organisasi yakni mulai digunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian budaya organisasi
juga bersifat kontektual dalam pengertian budaya sebuah organisasi tidak bisa serta
merta dibandingkan dengan budaya organisasi lain karena konteknya berbeda. Secara
ringkas, karakteristik penelitian budaya dapat dilihat pada tabel 6.2 berikut ini.

Tabel 6.2
Karakteristik dalam Perspektif Penelitian Budaya Organisasi

Epistimologi Kontektual dan idiographic


Sudut pandang Emic perspective (sudut pandang obyek yang diteliti)
Metodologi Observasi lapangan dan data kualitatif
Level of analysis Asumsi dasar dan nilai-nilai organisasi
Orientasi waktu Evolutif historis
Dasar teori Teori konstruksi sosial: critical theory
Disiplin ilmu Anthropologi dan sosiologi

Sumber: Denison p. 625

Table 6.1 dan 6.2 menegaskan bahwa kerangka pikir (construct) iklim organisasi
dan budaya organisasi secara konseptual berbeda. Meski demikian dalam batas-batas
tertentu harus diakui pula bahwa kedua konsep tersebut juga memiliki beberapa
kesamaan. Diantanya: (1) fenomena yang ingin diungkap oleh kedua konsep tersebut
adalah lingkungan internal organisasi. Hal ini misalnya dapat dilihat dari definisi iklim
organisasi seperti dikemukakan oleh Tagiuri and Litwin dan definisi budaya organisasi
seperti disampaikan oleh Schein, (2) untuk mengungkap fenomena seperti dijelaskan
pada point (1), keduanya menegaskan pentingnya peran orang-orang yang ada didalam
organisasi (para actor) dalam menyikapi upaya organisasi untuk memahami
lingkungannya, (3) baik budaya organisasi maupun iklim organisasi berupaya untuk
mengintegrasikan orang-orang di dalam organisasi agar memiliki sudut pandang yang
sama dalam memahami fenomena lingkungan internal organisasi.

246
Walhasil, baik iklim maupun budaya organisasi sesungguhnya berupaya untuk
mengungkap hubungan antara actor (orang-orang di dalam organisasi) dengan
lingkungan internalnya meski cara yang digunakan untuk mengungkapkannya berbeda.
Itulah sebabnya ada sekelompok teoritisi seperti Denison27 misalnya yang mengakui
bahwa terdapat perbedaan antara konsep iklim dan budaya organisasi namun di saat
yang sama mereka juga mengakui bahwa perbedaan tersebut hanya karena perbedaan
perspektif namun esensi kedua konsep tersebut sesungguhnya sama. Dalam
pandangan mereka terjadi overlapping antara konsep iklim dan budaya sehingga
keduanya perlu diintegrasikan. Salah satu alasan mengapa kedua konsep tersebut perlu
diintegrasikan adalah adanya pergeseran metode yang digunakan dalam penelitian
budaya organisasi. Jika selama ini model penelitian budaya organisasi dengan
pendekatan kuantitatif dianggap tabu sekarang sudah tidak lagi. Tidak-adanya halangan
untuk menggunakan metode kuantitatif bias diartikan pula bahwa penelitian budaya
organisasi hamper tidak ada bedanya dengan penelitian iklim organisasi.
Denison, salah seorang teoriti organisasi yang mewakili kelompok integrator,
lebih jauh mengatakan bahwa kesamaan antara budaya dan iklim organisasi bukan
hanya tampak dipermukaan seperti contoh diatas, tetapi juga sampai pada isu-isu
sentral dari kedua teori tersebut, content dan substansinya, metodologi dan
epistimologinya, dan teori yang melandasinnya. Pandangan Denison yang menegaskan
tentang kesamaan konsep iklim dan budaya organisasi dan berbeda hanya karena
perspektifnya saja, dapat dijelaskan sebagai berikut:
(1) fenomena organisasi, bagi kedua konsep ini tidak didefinisikan dengan cara
yang berbeda. Baik iklim maupun budaya organisasi memberikan perhatian
yang sama – lingkungan internal organisasi. Keduanya juga menegaskan
bahwa lingkungan internal organisasi bersifat holistik dan secara kolektif
menjelaskan konteks social sebuah organisasi.
(2) Alasan dibangunnya kedua teori tersebut adalah untuk mengatasi Isu-isu sentral
yang dihadapi organisasi. Diantaranya adalah masalah social contexts. Social
contexts merupakan produk dari interakasi sosial antar individu di dalam
organisasi. Meski interakasi antar individu menimbulkan masalah social
contexts namun pada saat yang sama social contexts tersebut juga
mempengaruhi interakasi antar individu. Oleh karenanya kedua konsep ini

247
sama-sama ingin mengatasi masalah hubungan resiprokal antara interaksi antar
individu dengan social contexts. Isu lain adalah keduanya memahami organisasi
sebagai fenomena yang multi level. Terakhir, keduanya menghadapi masalah
hubungan antara organisasi dengan konstituennya sebagai bagian dari
organisasi.
(3) Kesamaan lain adalah content dan substansi kedua konsep tersebut
sesungguhnya tidak berbeda. Kesamaan ini terjadi khususnya ketika para
peneliti budaya organisasi menganggap bahwa budaya organisasi bisa
dipahami melalui dimensi-dimensinya. Penggunaan dimensi sebagai cara untuk
memahami lingkungan internal organisasi sudah sejak semula telah digunakan
dalam penelitian iklim organisasi.
(4) Kedua konsep tersebut juga secara overlap menggunakan metodologi dan
epistimologi yang sama. Meski pada awalnya penelitian budaya organisasi lebih
menekankan pada penggunaan kualitatif, belakangan juga menggunakan
pendekatan kuantitatif. Sebaliknya, jika semula penelitian iklim organisasi
menggunakan pendekatan kuantitatif sekarang tidak jarang yang menggunkan
pendekatan kualitatif. Overlap dalam penggunaan metodologi yang sama
menunjukkan bahwa kedua konsep ini sesungguhnya bersifat konvergen.

RINGKASAN
Bab ini merupakan pembuka bagi bab-bab berikutnya karena mulai bab ini didiskusikan
secara lebih mendetail konsep budaya organisasi. Uraian tentang konsep budaya
organisasi dimulai dengan menjelaskan pengertian budaya organisasi. Meski pengertian
budaya organisasi itu sendiri sesungguhnya diderivasi dari pengertian budaya dalam
perspektif anthropologi, pada bab ini pengertian budaya organisasi dibedakan
berdasarkan 3 school of thought yakni ideational school, adaptationist school dan
ralist/intregationist school. Menurut ideational school budaya organisasi adalah jaringan
makna yang bersifat elusive dan tersembunyi yang pemunculannya keluar hanya bisa
dilakukan jika makna tersebut dikomunikasikan dan disosialisasikan kepada pihak luar.
Secara umum sering dikatakan bahwa system makna yang bersifat elusive dan hidden
ini disebut sebagai core of culture.

248
Sementara itu kelompok adaptationist school lebih menekankan konsep budaya
pada ujud dari budaya itu sendiri yakni pola prilaku yang ditunjukkan oleh sekelompok
orang sebagai akibat dari internalisasi keyakinan dan tata nilai yang telah diperoleh
pada waktu-waktu sebelumnya. Meski sedemikian kelompok ini sepertinya lebih
memperhatikan peran pola prilaku sebagai pembentuk budaya ketimbang proses
terbentuknya budaya itu sendiri. Kelompok ini umumnya dianut oleh para akademisi
yang beorientasi praktis, konsultan dan para praktisi bisnis. Terakhir kelompok ketiga
adalah realist/integrationist school menegaskan bahwa bahwa budaya adalah saling
keterkaitan antara elemen-elemen yang bersifat ideational dan behavioral. Bagi
kelompok ini budaya organisasi terbentuk bukan semata-mata karena pengaruh salah
satu elemen (ideational element) terhadap element yang lain tetapi merupakan interaksi
keduanya.
Selain menjelaskan konsep dan pengertian budaya organisasi, bab ini juga
membahas perdebatan dua pendapat yang sampai sekarang tidak pernah berhenti
yakni pendapat yang menganggap bahwa di dalam sebuah organisasi hanya terdapat
satu macam budaya dan pendapat yang mengatakan bahwa di dalam sebuah
organisasi terdapat lebih dari satu macam budaya. Bagian terakhir dalam bab ini
menjelaskan perbedaan konsep budaya organisasi dan iklim organisasi – dua konsep
yang sumber teorinya sesungguhnya berbeda tetapi dalam praktik kedua konsep
tersebut seringkali membingungkan. Konsep ini menjadi membingungkan utamanya jika
budaya organisasi didekati dengan adaptationist school.

249
CATATAN KAKI

250
1
L. Smircich, 1983, Concept of Culture and Organizational Analysis, Administrative Science
Quarterly, 28, halaman. 339-358.
2
V. Sathe, 1982, Culture and related corporate realities, Homewood, Illinois: Richard D. Irwin, Inc.
halaman 9.
3
Andrew Pettigrew, 1979, On studying organizational culture, Administrative science quarterly,
halaman 570 – 581.
4
Lihat bab III halaman 97 – 100
5
V. Sathe, 1985, op cit. halaman 10.
6
V. Sathe, 1985, ibid halaman 11
7
S.M. Davis, 1984, Managing corporate culture, Cambridge Mass.: Ballinger Publishing Company.
halaman 1.
8
C. Hampden-Turner, 1994, Corporate culture: How to generate organizational strength and
lasting commercial advantage, London: Judy Piatkus, halaman 11.
9
T.E. Deal and A. A. Kennedy, 1982, Corporate cultures, Reading Mass.: Addison Wesley Pub. Co.
halaman 4.
10
T. J. Peter and R. H. Waterman Jr. 1982, In Search of Excellence, New York: Harper and Row
11
Lihat P. Hawkin, 1997, Organizational culture: Sailing between evangelism and complexity,
Human relations, halaman 417 – 440.
12
F. L. Jocano, 1990, Management by culture, Metro Manila: Punlad research house.
13
D.S. Bolon and D.S. Bolon, 1994, A reconceptualization and analysis of organizational culture,
Journal of managerial psychology, halaman 22 – 27
14
Karahana, E., J.R. Evaristo and M. Srite, 2005, Level of culture and individual behavior: An
integrative perspective, Journal of global information management, pp. 1 – 20
15
Schneider and Barsoux, 1997, Managing across cultures, New York: Prentice Hall, Inc.
16
William Evan, 1993, Organizational theory: Research and design, Macmillan Pub. Co., halaman
299
17
S.R. Barley, 1983, Semiotics and the study of occupational and organizational culture,
Admnistrative science quarterly, halaman 393 – 413
18
K. L. Gregory, 1983, Native-view paradigms: Multiple culture and culture conflict in organization,
Admnistrative science quarterly, halaman 359 – 376
19
J. Martin and C. Shiel, 1983, Organization culture and counter culture: An uneasy symbiosis,
Organization dynamics, halaman 52 – 64
20
P. Riley, 1983, A structuralist account of political culture, Admnistrative science quarterly, halaman
414 – 437
21
Hofstede, 1998, Attitudes, values and organizational culture: Disentangling the concepts,
Organization studies, 19, halaman 477 – 492
22
G. Bloor and P. Downson, 1994, Understanding professional culture in organizational context,
Organization studies, halaman 275 – 279
23
Hatch, 1993, The dynamic of organizational culture, The academy of management review, 18, 4;
halaman. 657 – 692
24
R. Tagiuri and G. H. Litwin (eds.), 1968, Organizational climate: Exploration of a concept, Divison
of research, Graduate school of Business administration, Harvard university.
25
Lihat Tagiuri, 1968, The concept of organizational climates, in R. Tagiuri and G. H. Litwin (eds.),
1968, Organizational climate: Exploration of a concept. Boston, Harvard university, halaman 11 - 32
26
Reichers and Schneider, 1990, Cimate and culture: An evolution of construct, in Schneider (ed.)
Organizational climate and culture, Sanfrancisco, CA: Jossey-Bass, halaman 5 – 39.
27
Denison, 1996, What is the difference between organizational culture and organizational climate?
A native’s point of view on decade paradigm wars, The academy of management review, 21, 3.
halaman. 619 – 654

Anda mungkin juga menyukai