PENDAHULUAN
1
kondisi yang memungkinkan terjadinya perubahan budaya
organisasi.
Sementara ada pandangan yang lebihmoderat dalam mensikapi
terjadinya perdebatan ini, yaitu pandangan yang tidak
mempertentangkan apakah budaya organisasi dapat di-manage dan
dikendalikan ataukah tidak, tetapi lebih menekankan tentang
bagaimana, kapan dan dalam keadaan apa sebaiknya budaya
organisasi dirubah. Diantara kondisi lingkungan yang memerlukan
perubahan antara lain terjadinya krisis organisasi, pergantian
kepemimpinan dan pembentukan organisasi baru.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
D. Manfaat Penulisan
E. Metode Penulisan
2
komperhensif. Data teoritis dalam makalah ini dikumpulkan dengan
menggunakan studi pustaka, artinya penulis mengambil data
melalui media pustaka dalam penyusunan makalah ini dan
ditambah referensi dari media internet. Penulis mencantumkan
berbagai sumber untuk penulisan makalah ini, selain itu juga penulis
menggunakan metode kepustakaan untuk mendapatkan data yang
mendukung penyusunan makalah.
BAB II
LANDASAN TEORI
3
mengorganisasikan suatu kelompok orang yang bekerja secara
bersama-sama.
Menurut Lathans (1998), budaya organisasi merupakan norma-
norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota
organisasi. Setiap anggota organisasi akan berperilaku sesuai
dengan budaya yang berlaku agar diterima oleh lingkungannya.
Sarplin (1995) mendefinisikan budaya organisasi merupakan suatu
system nilai, kepercayaan dan kebiasaan dalam suatu organisasi
yang saling berinteraksi dengan struktur system formalnya untuk
menghasilkan norma-norma perilaku organisasi. Sebagai
suatu cognitive framework yang meliputi sikap, nilai-nilai, norma perilaku
dan harapan-harapan yang disumbangkan oleh anggota organisasi.
Budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai- nilai (value)
organisasi yang dipahami, dijiwai dan dipraktikkan oleh organisasi
sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi
dasar aturan berperilaku dalam organisasi.
Schein (1992) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu
pola dari asumsi-asumsi dasar yang ditemukan, diciptakan atau
dikembangkan oleh suatu kelompok tertentu, dengan maksud agar
organisasi belajar mengatasi dan menanggulangi masalah-
masalahnya yang timbul akibat adaptasi eksternal dan integrasi
internal yang sudah berjalan dengan cukup baik, sehingga perlu
diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar
untuk memahami, memikirkan dan merasakan berkanaan dengan
masalah-masalah tersebut. Menurut Mondy dan Noe (1996), budaya
organisasi adalah system dari shared values, keyakinan dan kebiasaan-
kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan
struktur formalnya untuk menciptakan norma-norma perilaku.
Budaya organisasi juga mencakup nilai-nilai dan standar-
standar yang mengarahkan perilaku organisasi dan menentukan
arah organisasi secara keseluruhan. Sedangkan Hodge, Anthony
dan Gales (1996) mendefinisikan budaya organisasi (corporate culture)
sebagai konstruksi dari dua tingkat karakteristik, yaitu karakteristik
organisasi yang kelihatan (observable) dan yang tidak kelihatan
(unobservable). Pada level observable, budaya organisasi mencakup
beberapa aspek organisasi seperti arsitektur, seragam pola
perilaku, peraturan, legenda, mitos, bahasa, dan seremoni yang
dilakukan perusahaan. Sedangkan pada level unobservable budaya
organisasi mencakup shared values, norma-norma, asumsi-asumsi,
kepercayaan para anggota organisasi untuk mengelola masalah dan
keadaan-keadaan disekitarnya. Budaya perusahaan juga dianggap
sebagai alat untuk menentukan arah organisasi, megarahkan apa
yang boleh dilakukan, dan yang tidak boleh dilakukan, serta
4
bagaimana mengalokasikan sumber daya dan mengelola sumber
daya perusahaan, dan sebagai alat untuk menghadapi masalah dan
peluang dari lingkungan.
Dari sejumlah pengertian diatas, tampak bahwa budaya
organisasi memiliki peran yang sangat strategis untuk mendorong
dan meningkatkan efektifitas kinerja organisasi, khususnya kinerja
manajemen dan kinerja ekonomi, baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang. Peran budaya organisasi adalah sebagai alat untuk
menentukan arah organisasi, mengarahkan apa yang boleh
dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, bagaimana
mengalokasikan sumber daya dan mengelola sumber daya
organisasional, dan juga sebagai alat untuk menghadapi masalah
dan peluang dari lingkungan internal dan eksternal.
Menurut Susanto, “Budaya organisasi adalah nilai-nilai yang
menjadi pedoman sember daya manusia untuk menghadapi
permasalahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke dalam
perusahaan sehingga masing-masing anggota organisasi harus
memahami nilai-nilai yang ada dan bagaimana mereka harus
bertingkah laku atau berperilaku.”
Menurut Robbins, “Budaya organisasi adalah suatu system
makna bersama yang dianut oelh anggota-anggota yang
membedakan organisasi tersebut dengan yang lain. “
Menurut Gareth R. Jones, “Budaya organisasi adalah suatu
persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi,
suatu system dari makna bersama.” Jadi budaya organisasi itu
adalah suatu budaya yang dianut oleh suatu organisasi dan itu
menjadi pembeda antara satu organisasi dengan organisasi yang
lain.
Dari semua pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan
bahwa budaya organisasi merupakan nilai-nilai dan norma perilaku
yang diterima dan dipahami bersama oleh anggota organisasi
sebagai dasar aturan perilaku di dalam organisasi.
5
memudahkan pendiri memaksakan visi mereka pada seluruh
anggota organisasi. Proses penyiptaan budaya terjadi dalam tiga
cara: Pertama, pendiri hanya merekrut dan
mempertahankan karyawan yang sepikiran dan seperasaan dengan
mereka. Kedua, pendiri melakukan indoktrinasi dan
menyosialisasikan cara pikir dan berperilakunya kepada karyawan.
Terakhir, perilaku pendiri sendiri bertindak sebagai model peran
yang mendorong karyawan untuk mengidentifikasi diri. Dengan
demikian, menginternalisasi keyakinan, nilai, dan asumsi pendiri
tersebut. Apabila organisasi mencapai kesuksesan, visi pendiri lalu
dipandang sebagai faktor penentu utama keberhasilan itu. Di titik
ini, seluruh kepribadianpara pendiri jadi melekat dalam budaya
organisasi.
6
pekerjaan. Sampai pada akhirnya sejauh mana karyawan
mencermati pekerjaan lebih presisi dan memfokuskan pada hal-hal
yang lebih rinci.
Diperkuat dengan pendapat Robbins dan Judge bahwa Kultur
Organisasi mengacu kepada sebuah system makna bersama yang
dianut oleh para anggota yang membedakan organisasi tersebut
dengan organisasi lainnya. System makna bersama ini, bila
diceermati secara lebih seksama, adalah sekumpulan karakteristik
kunci yang dijunjung tinggi oleh organisasi. Penelitian menunjukkan
bahwa ada tujuh karakteristik utama yang, secara keseluruhan,
merupakan hakikat kultur organisasi.
1. Innovation and Risk Taking (Inovasi dan pengambilan resiko), suatu
tingkatan dimana pekerja didorong untuk menjadi inovatif dan
mengambil resiko.
7
risiko tinggi, rendah sampai sedang dalam hal keagresifan, dan
fokus pada sarana selain juga hasil. Para manajer dalam kultur
semacam ini didorong untuk mengambil resiko dan berani
berinovasi, dilarang terlibat dalam persaingan yang tak terkendali,
dan akan memberikan perhatian pada bagaimana tujuan dicapai dan
juga pada tujuan apa yang akan dicapai.
Manajemen yang dapat dilakukan untuk menciptakan kultur
yang lebih etis dapat dilakukan dengan praktik-praktik:
1. Menjadi model peran yang visibel. Karyawan akan melihat perilaku
manajemen puncak sebagai acuan standar untuk menentukan
perilaku yang semestinya mereka ambil. Ketika manajemen senior
dianggap mengambil jalan yang etis, hal ini memberi pesan positif
bagi semua karyawan.
2. Mengkomunikasikan harapan-harapan yang etis. Ambiguitas etika
dapat diminimalkan dengan menciptakan dan mengomunikasikan
kode etik organisasi. Kode etik ini harus menyatakan nilai-nilai
utama organisasi dan berbagai aturan etis yang diharapkan akan
dipatuhi para karyawan.
3. Memberikan pelatihan etis. Selenggarakan seminar. Lokakarya, dan
program-program pelatihan etis. Gunakan sesi-sesi pelatihan ini
untuk memperkuat standar tuntunan organisasi, menjelaskan
praktik-praktik yang diperbolehkan dan yang tidak, dan menangani
dilema etika yang mungkin muncul.
4. Secara nyata memberikan penghargaan atas tindakan etis dan beri
hukuman terhadap tindakan yang tidak etis. Penilaian kinerja
terhadap para manajer harus mencakup evaluasi hal demi hal
mengenai bagaimana keputusan-keputusannya cukup baik menurut
kode etik organisasi. Penilaian harus mencakup sarana yang dipakai
untuk mencapai sasaran dan juga pencapaian tujuan itu sendiri.
Orang-orang yang bertindak etis harus diberi penghargaan yang
jelas atas perilaku mereka. Sama pentingnya, tindakan tidak etis
harus diganjar secara terbuka/nyata.
5. Memberikan mekanisme perlindungan. Organisasi perlu memiliki
mekanisme formal sehingga karyawan dapat mendiskusikan dilema-
dilema etika dan melaporkan perilaku tidak etis tanpa takut. Cara
ini bisa meliputi pembentukan konselor etis, badan pengawas
(ombudsmen), atau petugas etika.
8
BAB III
PEMBAHASAN
A. Studi Kasus
9
kombinasi tidak mencapai sasaran keuangan yang telah ditetapkan
dan hanya 15% mencapai sasaran keuangan mereka.
Satu contoh dari industri pelayanan kesehatan
mengilustrasikan permasalahannya. Dua organisasi pelayanan
kesehatan yang besar, kedua-duanya berpusat di California Selatan,
telah terlibat dalam persaingan yang ketat. Homedco dan Abbey
Healthcare Group memutuskan, daripada meneruskan persaingan,
lebih baik mereka memperkuat posisi pasar mereka dengan
penggabungan untuk menciptakan sebuah perusahaan besar
menjadi Apria Healthcare Group. Bersama-sama mereka
merencanakan untuk memperluas pelayanan kesehatan mereka
sebagai pengaruh dari perluasan pelayanan yang telah dikelola.
Tiga tahun kemudian nilai persediaan dari Apria telah merosot
sebesar 25%, dan penghasilan menurun. Sejauh mana kemerosotan
Apria merupakan bukti yang cepat ; ketika usaha mulai
mencari perusahaan lain untuk mengambil –alih perusahaan, hanya
beberapa pembeli tampak tertarik. Apa yang terjadi ini terutama
karena oleh masalah operasional yang disebabkan oleh merger.
Masalah masalah tersebut tidak dapat diselesaikan karena konflik
internal yang terjadi antara bekas eksekutif dan tenaga kerja
Homedco dan Abbey Healthcare. Puncaknya, BOD, yang bahkan
terpisah dapat menerima keputusan untuk mengganti Timothy
Aitken, yang semula adalah CEO Abbey Healthcare, dengan Jeremy
Jones dari Homedco untuk menjabat sebagai CEO.
Tampak nyata dari semula bahwa kedua perusahaan tersebut
memiliki budaya organisasi yang sangat berbeda. Homedco memiliki
struktur yang lebih formal dengan pembuatan keputusan yang lebih
terpusat, sedangkan Abbey Healthcare pembuatan keputusan
bersifat sangat desentralisasi dan manajer cabang mempunyai
wewenang yang sangat besar. Juga, penggabungan sistem
komputer dan penagihan dengan menggunakan sistem Abbey
Healthcare berarti bahwa tenaga kerja yang berasal dari Homedco
harus mendapatkan pelatihan, dimana hal ini tidak dapat terjadi
begitu cepat. Sebagai akibatnya, banyak sekali kesalahan dalam
penagihan yang menimbulkan keluhan dan telepon dari pelanggan
yang tidak puas yang diterima oleh departemen pelayanan
pelanggan Apria.
Untuk menghemat biaya dan menghilangkan duplikasi tugas,
lebih kurang 14% dari tenaga kerja pada perusahaan yang
digabungkan tersebut kehilangan pekerjaan. Akan tetapi, jumlah
terbesar dari mereka adalah tenaga kerja yang sebelumnya
merupakan tenaga kerja Abbey. Untuk mereka yang masih tinggal di
perusahaan, tampak bahwa kebanyakan manajer Homedco tidak
10
terpengaruh dibandingkan dengan yang dialami manajer Abbey
Healthcare. Sebagai contoh, hanya ada 6 dari 21 manajer regional
yang sebelumnya mereka bekerja untuk Abbey Healthcare, di mana
dalam hal ini mengakibatkan kebanyakan perwakilan penjualan
Abbey yang mempunyai kinerja yang baik memilih keluar dari
perusahaan. Bahkan perubahan beberapa peraturan dasar Sumber
Daya Manusia telah menimbulkan masalah.
Contohnya, ketika peraturan Sumber Daya Manusia Homedco
digunakan di kantor Abbey, kode yang baru dan prosedur
penyimpanan data mengganggu beberapa tenaga kerja yang
merupakan tenaga kerja Abbey sebelumnya. Sehingga
mengakibatkan banyak sekali dari mereka yang meninggalkan
perusahaan pada tahun pertama penggabungan. Karena tingkat
konflik yang sangat hebat menyebabkan tenaga kerja dari satu
perusahaan menganggap mereka yang berasal dari perusahaan lain
adalah “orang bodoh” dan menolak untuk membalas menelepon
kembali tenaga kerja dari perusahaan lain. Akhirnya, baik Aitken
maupun Jones meninggalkan perusahaan, dan tim eksekutif yang
baru berjuang untuk membangun kembali Apria. Bukannya menjadi
merger yang sehat, malahan menciptakan “merger dari neraka”.
Sayangnya, situasi ini bukanlah hal yang tabu, budaya konflik
serupa juga telah melenyapkan keefektivan merger oleh perusahaan
dalam bidang industri yang lain. Salah satu contoh adalah merger
antara dua lembaga keuangan yaitu Society Corp. dan Key
Corporation (Key Corp.). Sejak merger, perusahaan yang di
gabungkan tersebut telah mengalami pertumbuhan hanya separuh
dari pertumbuhan bank yang lain dalam ukuran perusahaan yang
sama dan telah mengurangi tenaga kerja sebanyak 5.000 orang.
Pada kasus ini, sama seperti kasus Apria, membuktikan bahwa
masalah ketidakharmonisan Sumber Daya Manusia dan budaya
organisasi dapat menghancurkan nilai suatu merger yang tampak
logis dari perspektif bisnis strategi yang luas.
B. Analisis Kasus
11
dengan baik. Hal tersebut harus dimulai dari pimpinan (CEO)
perusahaan tersebut.
Pemimpin seharusnya dapat menjadi model peran yang visible yang
baik, dan tidak memihak kepada perusahaannya terdahulu sebelum
di merger tersebut, pimpinan harus dapat menjadi penengah dan
memberikan peran yang baik di depan para karyawannya, sehinga
hal tersebut dapat memberikan pesan positif bagi semua
karyawannya. Kemudian pimpinan mengkomunikasikan kembali
harapan harapan yang etis yaitu berupa kode etik organisasi. Kode
etik tersebut tentu saja harus menyatakan nilai-nilai utama
organisasi dan berbagai aturan yang baru yang dapat dipatuhi oleh
para karyawan.
Pemimpin juga dapat memberikan beberapa pelatihan etis seperti
seminar, loka karya dan yang lain-lain yang nantinya dapat
memperkuat standar tuntutan organisasi, mana yang diperbolehkan
dan mana yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan di dalam
organisasi. Setelah itu, pemimpin dapat secara nyata memberikan
penghargaaan kepada karyawan yang menjunjung tinggi kode etik
tersebut, dan memberikan hukuman kepada karyawan yang
melanggar, dengan begitu akan membuat karyawan untuk selalu
menjunjung tinggi kode etik dari budaya organisasi tersebut.
Terakhir pemimpin dapat mengadakan mekanisme formal di dalam
organisasi yang dapat mengurusi perihal kode etik tersebut.
Sehingga karyawan dapat melaporkan hal-hal yang terjadi dalam
perusahaan yang melanggar kode etik tersebut dan ditindaklanjuti.
Dengan beberapa tindakan yang dapat dilakukan oleh pemimpin
tersebut dalam menciptakan kembali budaya organisasi, dapat
membuat perusahaan tersebut berjalan kembali dengan lancar dan
tidak ada lagi kesalahpahaman yang terjadi diantara kedua
perusahaan yang telah di merger tersebut.
12
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
13
tindakan yang tidak etis secara nyata, dan memberikan mekanisme
perlindungan.
B. Saran- Saran
DAFTAR PUSTAKA
Wahab, Abdul Azis. 2011. Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan (Telaah
Terhadap Organisasi dan Pengelolaan Organisasi Pendidikan). Bandung : Alfabeta
Wibowo. 2010. Budaya Organisasi. (Sebuah Kebutuhan untuk Meningkatkan Kinerja Jangka
Panjang). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Larissa A. Grunig, James E. Grunig, Dkk. 2002. Excellent Public Relations and
Effective Organizations: A Study of Communication Management in Three Countries. New
Jersey : Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers
14