Anda di halaman 1dari 17

PENGERTIAN DAN PENERAPAN BUDAYA

ORGANISASI YANG ETIS

Disusun Oleh:

Nama : Oktora Surya Putra


NIM : A15.2020.01845
Program Studi : Ilmu Komunikasi

FAKULTAS ILMU KOMPUTER


UNIVERSITAS DIAN NUSWANTORO
SEMARANG
2023
DAFTAR ISI

BAB I: Pendahuluan………………………………………………………………3
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………...3
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………4
C. Tujuan Penulisan…………………………………………………………..4
D. Manfaat Penulisan…………………………………………………………4
E. Metode Penulisan………………………………………………………….4
BAB II: Landasan Teori…………………………………………………………...6
A. Pengertian Budaya Organisasi…………………………………………….6
B. Asal Muasal Budaya Organisasi…………………………………………..8
C. Karakteristik Budaya Organisasi………………………………………….9
D. Menciptakan Budaya Organisasi yang Etis………………………………10
BAB III: Pembahasan……………………………………………………………12
A. Studi Kasus………………………………………………………………12
B. Analisis Kasus…………………………………………………………...14
BAB IV: Penutup…………………………………………………………..........16
A. Kesimpulan…………………………………………………………........16
B. Saran-saran…………………………………………………………........16
Daftar Pustaka…………………………………………………………...............17

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebuah organisasi mempunyai budaya masing-masing. Ini menjadi salah satu
pembeda antara satu organisasi dengan organisasi lainnya. Budaya sebuah organisasi ada
yang sesuai dengan anggota atau karyawan baru, ada juga yang tidak sesuai sehingga
seorang anggota baru atau karyawan yang tidak sesuai dengan budaya organisasi tersebut
harus dapat menyesuaikan kalau dia ingin bertahan di organisasi tersebut.
Budaya organisasi ini dapat membuat suatu organisasi menjadi terkenal dan
bertahan lama. Yang jadi masalah tidak semua budaya organisasi dapat menjadi
pendukung organisasi itu. Ada budaya organisasi yang tidak sesuai dengan perkembangan
zaman. Maksudnya tidak dapat menyocokkan diri dengan lingkungannya, dan lebih
ditakutkan lagi organisasi itu tidak mau menyesuaikan budaya nya dengan perkembangan
zaman karena dia merasa paling benar.
Dalam keadaan inilah anggota tidak akan mendapatkan kepuasan kerja. Memang
banyak faktor lain yang menyebabkan anggota tidak memperoleh kepuasan kerja, tapi
faktor budaya organisasi merupakan faktor yang utama.
Meski telah disadari bahwa budaya organisasi bersifat dinamik dan pluralistic,
perdebatan tentang apakah budaya organisasi dapat di-manage dan dikendalikan masih
terjadi. Pandangan pertama yang diwakili oleh Gagliardi menyatakan bahwa budaya
organisasi dapat di-manage dan dikendalikan. Argumentasi yang digunakan adalah bahwa
budaya organisasi merupakan komponen illusive yang menyatu dalam diri setiap orang
pada dataran yang paling mendasar (alam bawah sadar), sehingga untuk merubah budaya
organisasi membutuhkan pengetahuan yang mendalam tentang bagaimana alam bawah
sadar terbentuk dan berfungsi serta memungkinkan akan menimbulkan konsekuensi yang
tidak diinginkan.
Pandangan kedua menyatakan bahwa budaya organisasi dapat di-manage dan
dikendalikan. Pandangan ini terpecah menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu pendapat bahwa
perubahan budaya organisasi sangat bergantung kemauan para eksekutif dan pendapat
yang mengatakan bahwa perubahan hanya mungkin dilakukan jika memenuhi syarat-
syarat tertentu, misalnya kondisi-kondisi yang memungkinkan terjadinya perubahan
budaya organisasi.
Sementara ada pandangan yang lebih moderat dalam mensikapi terjadinya

3
perdebatan ini, yaitu pandangan yang tidak mempertentangkan apakah budaya organisasi
dapat dimanage dan dikendalikan ataukah tidak, tetapi lebih menekankan tentang
bagaimana, kapan dan dalam keadaan apa sebaiknya budaya organisasi dirubah. Diantara
kondisi lingkungan yang memerlukan perubahan antara lain terjadinya krisis organisasi,
pergantian kepemimpinan dan pembentukan organisasi baru.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan budaya organisasi ?
2. Bagaimana asal muasal budaya organisasi ?
3. Apa saja karakteristik budaya organisasi ?
4. Bagaimanakah menciptakan budaya organisasi yang etis ?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian budaya organisasi.
2. Menjelaskan asal muasal budaya organisasi.
3. Mengetahui karakteristik budaya organisasi.
4. Mengetahui bagaimana menciptakan budaya organisasi yang etis.

D. Manfaat Penulisan

Makalah ini disusun dengan harapan memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis. Secara teoritis makalah ini berguna sebagai pengembangan
konsep mata kuliah Interpersonal Employee Relation khususnya materi “Budaya
Organisasi” dan secara praktis makalah ini diharapkan bermanfaat bagi :
1. Penulis, sebagai wahana meningkatkan pengetahuan dan konsep keilmuan,
khususnya tentang materi Budaya Organisasi.
2. Pembaca, sebagai media informasi mata kuliah Interpersonal Relation khususnya
mengenai Budaya Organisasi.

E. Metode Penulisan

Metode yang digunakan dalam penulisan adalah metode deskriptif. Melalui


metode ini penulis menguraikan permasalahan yang dibahas secara explanation atau
penjelasan yang komperhensif. Data teoritis dalam makalah ini dikumpulkan dengan
menggunakan studi pustaka, artinya penulis mengambil data melalui media pustaka
dalam penyusunan makalah ini dan ditambah referensi dari media internet. Penulis

4
mencantumkan berbagai sumber untuk penulisan makalah ini, selain itu juga penulis
menggunakan metode kepustakaan untuk mendapatkan data yang mendukung
penyusunan makalah.

5
BAB 2
LANDASAN TEORI

A. Pengertian Budaya Organisasi


Pengaruh budaya organisasi terhadap perilaku organisasi sangat signifikan.
Karena itu menciptakan busaya organisasi yang sifatnya unik untuk setiap organisasi
amatlah penting. Untuk itu perlu dipahami apa budaya organisasi itu.
Budaya organisasi memiliki makna yang luas. Walter R. Freytag
mendefinisikan budaya organisasi sebagai “a distint and shared set of conscious and
unconscious assumptions and values that binds organizational members together and
prescribes appropriate patters of behavior.” Freytag menitik beratkan pada asumsi-
asumsi dan nilainilai yang disadari atau tidak disadari yang mampu mengikat
kepaduan suatu organisasi. Asumsi dan nilai tersebut menentukan pola perilaku para
anggota di dalam organisasi.
Peneliti lain seperti Larissa A. Grunig, et.al., mendefinisikan budaya
organisasi sebagai “the sum total of shared values, symbols, meaning, beliefs,
assumption, and expectations that organize and integrate a group of people who work
together.”
Definisi Grunig et.al. ini mirip dengan yang telah disampaikan Freytag
sebelumnya, yaitu bahwa budaya organisasi adalah totalitas nilai, simbol, makna,
asumsi, dan harapan yang mampu mengorganisasikan suatu kelompok orang yang
bekerja secara bersamasama.
Menurut Lathans (1998), budaya organisasi merupakan norma-norma dan
nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi. Setiap anggota organisasi
akan berperilaku sesuai dengan budaya yang berlaku agar diterima oleh
lingkungannya. Sarplin (1995) mendefinisikan budaya organisasi merupakan suatu
system nilai, kepercayaan dan kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling
berinteraksi dengan struktur system formalnya untuk menghasilkan norma-norma
perilaku organisasi. Sebagai suatu cognitive framework yang meliputi sikap, nilai-
nilai, norma perilaku dan harapan-harapan yang disumbangkan oleh anggota
organisasi. Budaya organisasi merupakan pola keyakinan dan nilai- nilai (value)
organisasi yang dipahami, dijiwai dan dipraktikkan oleh organisasi sehingga pola
tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar aturan berperilaku dalam

6
organisasi.
Schein (1992) mendefinisikan budaya organisasi sebagai suatu pola dari
asumsiasumsi dasar yang ditemukan, diciptakan atau dikembangkan oleh suatu
kelompok tertentu, dengan maksud agar organisasi belajar mengatasi dan
menanggulangi masalah masalahnya yang timbul akibat adaptasi eksternal dan
integrasi internal yang sudah berjalan dengan cukup baik, sehingga perlu diajarkan
kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk memahami, memikirkan
dan merasakan berkanaan dengan masalah-masalah tersebut. Menurut Mondy dan
Noe (1996), budaya organisasi adalah system dari shared values, keyakinan dan
kebiasaan-kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan struktur
formalnya untuk menciptakan norma-norma perilaku.
Budaya organisasi juga mencakup nilai-nilai dan standar- standar yang
mengarahkan perilaku organisasi dan menentukan arah organisasi secara keseluruhan.
Sedangkan Hodge, Anthony dan Gales (1996) mendefinisikan budaya organisasi
(corporate culture) sebagai konstruksi dari dua tingkat karakteristik, yaitu
karakteristik organisasi yang kelihatan (observable) dan yang tidak kelihatan
(unobservable). Pada level observable, budaya organisasi mencakup beberapa aspek
organisasi seperti arsitektur, seragam pola perilaku, peraturan, legenda, mitos, bahasa,
dan seremoni yang dilakukan perusahaan. Sedangkan pada level unobservable budaya
organisasi mencakup shared values, normanorma, asumsi-asumsi, kepercayaan para
anggota organisasi untuk mengelola masalah dan keadaan-keadaan disekitarnya.
Budaya perusahaan juga dianggap sebagai alat untuk menentukan arah organisasi,
megarahkan apa yang boleh dilakukan, dan yang tidak boleh dilakukan, serta
bagaimana mengalokasikan sumber daya dan mengelola sumber daya perusahaan, dan
sebagai alat untuk menghadapi masalah dan peluang dari lingkungan.
Dari sejumlah pengertian diatas, tampak bahwa budaya organisasi memiliki
peran yang sangat strategis untuk mendorong dan meningkatkan efektifitas kinerja
organisasi, khususnya kinerja manajemen dan kinerja ekonomi, baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang. Peran budaya organisasi adalah sebagai alat untuk
menentukan arah organisasi, mengarahkan apa yang boleh dilakukan dan yang tidak
boleh dilakukan, bagaimana mengalokasikan sumber daya dan mengelola sumber
daya organisasional, dan juga sebagai alat untuk menghadapi masalah dan peluang
dari lingkungan internal dan eksternal.
Menurut Susanto, “Budaya organisasi adalah nilai-nilai yang menjadi

7
pedoman sember daya manusia untuk menghadapi permasalahan eksternal dan usaha
penyesuaian integrasi ke dalam perusahaan sehingga masing-masing anggota
organisasi harus memahami nilai-nilai yang ada dan bagaimana mereka harus
bertingkah laku atau berperilaku.”
Menurut Robbins, “Budaya organisasi adalah suatu system makna bersama
yang dianut oelh anggota-anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan yang
lain. “
Menurut Gareth R. Jones, “Budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama
yang dianut oleh anggota-anggota organisasi, suatu system dari makna bersama.” Jadi
budaya organisasi itu adalah suatu budaya yang dianut oleh suatu organisasi dan itu
menjadi pembeda antara satu organisasi dengan organisasi yang lain. Dari semua
pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi merupakan
nilai-nilai dan norma perilaku yang diterima dan dipahami bersama oleh anggota
organisasi sebagai dasar aturan perilaku di dalam organisasi.

B. Asal Muasal Budaya Organisasi


Kebiasaan, tradisi, dan cara umum dalam melakukan segala sesuatu yang ada
di sebuah organisasi saat ini merupakan hasil atau akibat dari yang telah dilakukan
sebelumnya dan seberapa besar kesuksesan yang telah diraihnya di masa lalu. Hal ini
mengarah pada sumber tertinggi budaya sebuah organisasi: para pendirinya.
Secara tradisional, pendiri organisasi memiliki pengaruh besar terhadap
budaya awal organisasi tersebut. Pendiri organisasi tidak memiliki kendala karena
kebiasaan atau ideologi sebelumnya. Ukuran kecil yang biasanya mencirikan
organisasi baru lebih jauh memudahkan pendiri memaksakan visi mereka pada
seluruh anggota organisasi. Proses penyiptaan budaya terjadi dalam tiga cara:
Pertama, pendiri hanya merekrut dan mempertahankan karyawan yang sepikiran dan
seperasaan dengan mereka. Kedua, pendiri melakukan indoktrinasi dan
menyosialisasikan cara pikir dan berperilakunya kepada karyawan. Terakhir, perilaku
pendiri sendiri bertindak sebagai model peran yang mendorong karyawan untuk
mengidentifikasi diri. Dengan demikian, menginternalisasi keyakinan, nilai, dan
asumsi pendiri tersebut. Apabila organisasi mencapai kesuksesan, visi pendiri lalu
dipandang sebagai faktor penentu utama keberhasilan itu. Di titik ini, seluruh
kepribadian para pendiri jadi melekat dalam budaya organisasi.

8
C. Karakteristik Budaya Organisasi
Adanya budaya organisasi sesungguhnya tumbuh karna diciptakan dan
dikembangkan oleh individu-individu yang bekerja dalam suatu organisasi, dan
diterima sebagai nilai-nilai yang harus dipertahankan dan diturunkan kepada setiap
anggota baru. Nilai-nilai tersebut digunakan sebagai pedoman bagi setiap anggota
selama mereka berada dalam lingkungan organisasi tersebut, dan dapat dianggap
sebagai Ciri khas yang membedakan sebuah organisasi dengan organisasi lainnya.
Antonius dan Antonina mengatakan mengenai karakteristik dan dimensi nilai
yang terkandung dalam budaya organisasi yaitu :
1. Orientasi Hasil.
2. Orientasi Orang.
3. Orientasi Tim.
4. Keagresifan.
5. Kemantapan/stabilitas.
6. Inovasi dan keberanian mengambil resiko.
7. Perhatian pada hal-hal yang lebi rinci.
Dalam teori diatas dijelaskan bahwa sebuah organisasi dapat memiliki
karakteristik yang terkandung dalam budaya organisasinya. Sejauh mana organisasi
berfokus kepada hasil, dan bukan hanya pada proses, melihat sejauh mana keputusan
manajemen memperhitungkan efek hasil pada individu di dalam organisasi itu.
Kemudian sejauh mana kegiatan kerja di organisasikan sekitar timtim, bukannya
individu-individu, melihat sejauh mana karyawan itu agresif dan kompetitif,
bukannya santai-santai, sejauh mana kegiatan organisasi menekankan
dipertahankannya status quo sebagai kontras dari pertumbuhan, lalu sejauh mana
karyawan berani berinovasi dan menghadapi resiko pekerjaan. Sampai pada akhirnya
sejauh mana karyawan mencermati pekerjaan lebih presisi dan memfokuskan pada
hal-hal yang lebih rinci.
Diperkuat dengan pendapat Robbins dan Judge bahwa Kultur Organisasi
mengacu kepada sebuah system makna bersama yang dianut oleh para anggota yang
membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lainnya. System makna bersama
ini, bila diceermati secara lebih seksama, adalah sekumpulan karakteristik kunci yang
dijunjung tinggi oleh organisasi. Penelitian menunjukkan bahwa ada tujuh

9
karakteristik utama yang, secara keseluruhan, merupakan hakikat kultur organisasi.
1. Innovation and Risk Taking (Inovasi dan pengambilan resiko), suatu
tingkatan dimana pekerja didorong untuk menjadi inovatif dan mengambil resiko.
2. Attention to Detail (Perhatian pada hal-hal detail), dimana pekerja
diharapkan menunjukkan ketepatan, analisis, dan perhatian pada hal detail.
3. Outcome Orientation (Orientasi pada manfaat), dimana menajemen
memfokus pada hasil atau manfaat daripada sekadar pada teknik dan proses yang
dipergunakan untuk mendapatkan manfaat tersebut.
4. People Orientation (Orientasi pada orang), di mana keputusan manajemen
mempertimbangkan pengaruh manfaatnya pada orang dalam organisasi.
5. Team Orientation (Orientasi pada tim), dimana aktivitas kerja di organisasi
berdasar tim daripada individual.
6. Aggresiveness (Agresivitas), dimana orang cenderung lebih agresif dan
kompetitif daripada easygoing.
7. Stability (Stabilitas), dimana aktivitas organisasional menekankan pada
menjaga status quo sebagai lawan dari perkembangan.
Dari semua pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat
beberapa karakteristik budaya organisasi, yaitu inovasi dan pengambilan resiko,
perhatian pada detail, orientasi hasil, orientasi kepada para individu, orientasi kepada
tim, keagresifan, serta stabilitas.

D. Menciptakan Budaya Organisasi yang Etis


Isu dan kekuatan suatu kultur mempengaruhi suasana etis sebuah organisasi
dan perilaku etis para anggotanya. Kultur sebuah organisasi yang punya kemungkinan
paling besar untuk membentuk standar etika tinggi adalah kultur yang tinggi
toleransinya terhadap risiko tinggi, rendah sampai sedang dalam hal keagresifan, dan
fokus pada sarana selain juga hasil. Para manajer dalam kultur semacam ini didorong
untuk mengambil resiko dan berani berinovasi, dilarang terlibat dalam persaingan
yang tak terkendali, dan akan memberikan perhatian pada bagaimana tujuan dicapai
dan juga pada tujuan apa yang akan dicapai.
Manajemen yang dapat dilakukan untuk menciptakan kultur yang lebih etis
dapat dilakukan dengan praktik-praktik:
1. Menjadi model peran yang visibel. Karyawan akan melihat perilaku

10
manajemen puncak sebagai acuan standar untuk menentukan perilaku yang
semestinya mereka ambil. Ketika manajemen senior dianggap mengambil jalan yang
etis, hal ini memberi pesan positif bagi semua karyawan.
2. Mengkomunikasikan harapan-harapan yang etis. Ambiguitas etika dapat
diminimalkan dengan menciptakan dan mengomunikasikan kode etik organisasi.
Kode etik ini harus menyatakan nilai-nilai utama organisasi dan berbagai aturan etis
yang diharapkan akan dipatuhi para karyawan.
3. Memberikan pelatihan etis. Selenggarakan seminar. Lokakarya, dan
programprogram pelatihan etis. Gunakan sesi-sesi pelatihan ini untuk memperkuat
standar tuntunan organisasi, menjelaskan praktik-praktik yang diperbolehkan dan
yang tidak, dan menangani dilema etika yang mungkin muncul.
4. Secara nyata memberikan penghargaan atas tindakan etis dan beri hukuman
terhadap tindakan yang tidak etis. Penilaian kinerja terhadap para manajer harus
mencakup evaluasi hal demi hal mengenai bagaimana keputusan-keputusannya cukup
baik menurut kode etik organisasi. Penilaian harus mencakup sarana yang dipakai
untuk mencapai sasaran dan juga pencapaian tujuan itu sendiri. Orangorang yang
bertindak etis harus diberi penghargaan yang jelas atas perilaku mereka. Sama
pentingnya, tindakan tidak etis harus diganjar secara terbuka/nyata.
5. Memberikan mekanisme perlindungan. Organisasi perlu memiliki
mekanisme formal sehingga karyawan dapat mendiskusikan dilema-dilema etika dan
melaporkan perilaku tidak etis tanpa takut. Cara ini bisa meliputi pembentukan
konselor etis, badan pengawas (ombudsmen), atau petugas etika.

11
BAB 3
PEMBAHASAN

A. Studi Kasus
Sejalan dengan makin meningkatnya merger dan akuisisi, membuktikan
bahwa menggabungkan dua budaya organisasi yang berbeda bukanlah pekerjaan yang
mudah. Juga, banyak keuntungan yang diharapkan dari merger tersebut tidak
terealisasi karena budaya organisasi dan Sumber Daya Manusia yang berbeda.
Menurut suatu perkiraan secara nasional, 70% dari semua kombinasi tidak mencapai
sasaran keuangan yang telah ditetapkan dan hanya 15% mencapai sasaran keuangan
mereka.
Satu contoh dari industri pelayanan kesehatan mengilustrasikan
permasalahannya. Dua organisasi pelayanan kesehatan yang besar, kedua-duanya
berpusat di California Selatan, telah terlibat dalam persaingan yang ketat. Homedco
dan Abbey Healthcare Group memutuskan, daripada meneruskan persaingan, lebih
baik mereka memperkuat posisi pasar mereka dengan penggabungan untuk
menciptakan sebuah perusahaan besar menjadi Apria Healthcare Group. Bersama-
sama mereka merencanakan untuk memperluas pelayanan kesehatan mereka sebagai
pengaruh dari perluasan pelayanan yang telah dikelola.
Tiga tahun kemudian nilai persediaan dari Apria telah merosot sebesar 25%,
dan penghasilan menurun. Sejauh mana kemerosotan Apria merupakan bukti yang
cepat ; ketika usaha mulai mencari perusahaan lain untuk mengambil –alih
perusahaan, hanya beberapa pembeli tampak tertarik. Apa yang terjadi ini terutama
karena oleh masalah operasional yang disebabkan oleh merger. Masalah masalah
tersebut tidak dapat diselesaikan karena konflik internal yang terjadi antara bekas
eksekutif dan tenaga kerja Homedco dan Abbey Healthcare. Puncaknya, BOD, yang
bahkan terpisah dapat menerima keputusan untuk mengganti Timothy Aitken, yang
semula adalah CEO Abbey Healthcare, dengan Jeremy Jones dari Homedco untuk
menjabat sebagai CEO.
Tampak nyata dari semula bahwa kedua perusahaan tersebut memiliki budaya
organisasi yang sangat berbeda. Homedco memiliki struktur yang lebih formal dengan
pembuatan keputusan yang lebih terpusat, sedangkan Abbey Healthcare pembuatan
keputusan bersifat sangat desentralisasi dan manajer cabang mempunyai wewenang

12
yang sangat besar. Juga, penggabungan sistem komputer dan penagihan dengan
menggunakan sistem Abbey Healthcare berarti bahwa tenaga kerja yang berasal dari
Homedco harus mendapatkan pelatihan, dimana hal ini tidak dapat terjadi begitu
cepat. Sebagai akibatnya, banyak sekali kesalahan dalam penagihan yang
menimbulkan keluhan dan telepon dari pelanggan yang tidak puas yang diterima oleh
departemen pelayanan pelanggan Apria.
Untuk menghemat biaya dan menghilangkan duplikasi tugas, lebih kurang
14% dari tenaga kerja pada perusahaan yang digabungkan tersebut kehilangan
pekerjaan. Akan tetapi, jumlah terbesar dari mereka adalah tenaga kerja yang
sebelumnya merupakan tenaga kerja Abbey. Untuk mereka yang masih tinggal di
perusahaan, tampak bahwa kebanyakan manajer Homedco tidak terpengaruh
dibandingkan dengan yang dialami manajer Abbey Healthcare. Sebagai contoh, hanya
ada 6 dari 21 manajer regional yang sebelumnya mereka bekerja untuk Abbey
Healthcare, di mana dalam hal ini mengakibatkan kebanyakan perwakilan penjualan
Abbey yang mempunyai kinerja yang baik memilih keluar dari perusahaan. Bahkan
perubahan beberapa peraturan dasar Sumber Daya Manusia telah menimbulkan
masalah.
Contohnya, ketika peraturan Sumber Daya Manusia Homedco digunakan di
kantor Abbey, kode yang baru dan prosedur penyimpanan data mengganggu beberapa
tenaga kerja yang merupakan tenaga kerja Abbey sebelumnya. Sehingga
mengakibatkan banyak sekali dari mereka yang meninggalkan perusahaan pada tahun
pertama penggabungan. Karena tingkat konflik yang sangat hebat menyebabkan
tenaga kerja dari satu perusahaan menganggap mereka yang berasal dari perusahaan
lain adalah “orang bodoh” dan menolak untuk membalas menelepon kembali tenaga
kerja dari perusahaan lain. Akhirnya, baik Aitken maupun Jones meninggalkan
perusahaan, dan tim eksekutif yang baru berjuang untuk membangun kembali Apria.
Bukannya menjadi merger yang sehat, malahan menciptakan “merger dari neraka”.
Sayangnya, situasi ini bukanlah hal yang tabu, budaya konflik serupa juga
telah melenyapkan keefektivan merger oleh perusahaan dalam bidang industri yang
lain. Salah satu contoh adalah merger antara dua lembaga keuangan yaitu Society
Corp. dan Key Corporation (Key Corp.). Sejak merger, perusahaan yang di
gabungkan tersebut telah mengalami pertumbuhan hanya separuh dari pertumbuhan
bank yang lain dalam ukuran perusahaan yang sama dan telah mengurangi tenaga
kerja sebanyak 5.000 orang. Pada kasus ini, sama seperti kasus Apria, membuktikan

13
bahwa masalah ketidakharmonisan Sumber Daya Manusia dan budaya organisasi
dapat menghancurkan nilai suatu merger yang tampak logis dari perspektif bisnis
strategi yang luas.

B. Analisis Kasus
Melihat dari masalah yang terjadi di atas, salah satunya adalah mengenai
penggabungan dari 2 budaya organisasi yang berbeda. Masalah tersebut sering terjadi
kepada perusahaan-perusahaan yang melakukan penggabungan atau merger
perusahaan. Perbedaan 2 budaya menjadi satu tersebut malah membuat perusahaan
memiliki penurunan dalam pasar.
Oleh karena itu, seharusnya perusahaan tersebut harus menciptakan kembali
suatu budaya organisasi yang etis agar perusahaan tersebut dapat berjalan dengan
baik. Hal tersebut harus dimulai dari pimpinan (CEO) perusahaan tersebut. Pemimpin
seharusnya dapat menjadi model peran yang visible yang baik, dan tidak memihak
kepada perusahaannya terdahulu sebelum di merger tersebut, pimpinan harus dapat
menjadi penengah dan memberikan peran yang baik di depan para karyawannya,
sehinga hal tersebut dapat memberikan pesan positif bagi semua karyawannya.
Kemudian pimpinan mengkomunikasikan kembali harapan harapan yang etis yaitu
berupa kode etik organisasi.
Kode etik tersebut tentu saja harus menyatakan nilai-nilai utama organisasi
dan berbagai aturan yang baru yang dapat dipatuhi oleh para karyawan. Pemimpin
juga dapat memberikan beberapa pelatihan etis seperti seminar, loka karya dan yang
lain-lain yang nantinya dapat memperkuat standar tuntutan organisasi, mana yang
diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan di dalam
organisasi.
Setelah itu, pemimpin dapat secara nyata memberikan penghargaaan kepada
karyawan yang menjunjung tinggi kode etik tersebut, dan memberikan hukuman
kepada karyawan yang melanggar, dengan begitu akan membuat karyawan untuk
selalu menjunjung tinggi kode etik dari budaya organisasi tersebut. Terakhir
pemimpin dapat mengadakan mekanisme formal di dalam organisasi yang dapat
mengurusi perihal kode etik tersebut.
Sehingga karyawan dapat melaporkan hal-hal yang terjadi dalam perusahaan
yang melanggar kode etik tersebut dan ditindaklanjuti. Dengan beberapa tindakan
yang dapat dilakukan oleh pemimpin tersebut dalam menciptakan kembali budaya

14
organisasi, dapat membuat perusahaan tersebut berjalan kembali dengan lancar dan
tidak ada lagi kesalahpahaman yang terjadi diantara kedua perusahaan yang telah di
merger tersebut.

15
BAB 4
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan dari pembahasan teori-teori di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Budaya organisasi merupakan nilai-nilai dan norma perilaku yang diterima dan
dipahami bersama oleh anggota organisasi sebagai dasar aturan perilaku di dalam
organisasi.
2. Proses penyiptaan budaya terjadi dalam tiga cara: Pertama, pendiri hanya merekrut
dan mempertahankan karyawan yang sepikiran dan seperasaan dengan mereka.
Kedua, pendiri melakukan indoktrinasi dan menyosialisasikan cara pikir dan
berperilakunya kepada karyawan. Terakhir, perilaku pendiri sendiri bertindak sebagai
model peran yang mendorong karyawan untuk mengidentifikasi diri.
3. Terdapat 7 karakteristik dalam organisasi, yaitu: orientasi hasil, orientasi orang,
orientasi tim, keagresifan, kemantapan/stabilitas, inovasi dan keberanian mengambil
resiko, dan perhatian pada hal-hal yang lebi rinci.
4. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh seorang pemimpin untuk
menciptakan budaya organisasi yang etis, yaitu menjadi model peran yang visible,
mengkomunikasikan harapan-harapan yang etis kepada karyawan, memberikan
pelatihan etis, memberikan penghargaan atas tindakan etis dan hukuman terhadap
tindakan yang tidak etis secara nyata, dan memberikan mekanisme perlindungan.

B. Saran-saran
Saran yang penulis berikan dalam kajian budaya organisasi adalah bahwa
budaya dalam organisasi seharusnya dapat dijunjung tinggi dan dijaga di dalam suatu
organisasi. Sebab tanpa adanya budaya organisasi yang baik, suatu organisasi akan
banyak memiliki suatu kesalahpahaman sehingga kegiatan organisasi tersebut akan
berjalan kurang baik.

16
DAFTAR PUSTAKA

Wahab, Abdul Azis. 2011. Anatomi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan (Telaah Terhadap
Organisasi dan Pengelolaan Organisasi Pendidikan). Bandung : Alfabeta

Wibowo. 2010. Budaya Organisasi. (Sebuah Kebutuhan untuk Meningkatkan Kinerja Jangka
Panjang). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Larissa A. Grunig, James E. Grunig, Dkk. 2002. Excellent Public Relations and Effective
Organizations: A Study of Communication Management in Three Countries. New Jersey : Lawrence
Erlbaum Associates, Inc., Publishers

Antonius Atoshoki Gea dan Antonina Panca Yuni Wulandari. 2006. Character Building IV :Relasi
dengan Dunia. Jakarta: Elex Media Komputindo)

Robbins, Stephen P.; Judge, Timothy A. 2008. Perilaku Organisasi Buku 2. Jakarta: Salemba Empat.

17

Anda mungkin juga menyukai