Anda di halaman 1dari 4

BAB 5

BUDAYA: DARI ANTROPOLOGI KE ORGANISASI

DI SUSUN OLEH:
FAHNISA RIZQI ANGGRAINI 17311084
ADELIA RIZKY S. 17311112
HAFIZH SAIFULLAH 17311128
M. RIFQI DWI T 17311131
ERZA FAUZAN HAIKAL 17311138

PRODI MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA


YOGYAKARTA
2020
Pemahaman tentang organisasi sebagai hasil kebudayaan dan di saat yang sama
organisasi dianggap memiliki budaya menyebabkan kajian terhadap organisasi tidak lagi bersifat
linier. Hal ini bisa diartikan bahwa organisasi tidak serta merta bebas menilai dan semua orang
yang terlibat didalamnya bersifat rasional. Namun sebaliknya organisasi merupakan hasil kreasi
manusia yang sarat dengan nilai sehingga hitam putihnya organisasi sangat bergantung pada
bagaimana orang-orang yang terlinat dengan organisasi menginterpretasikan dan memaknainya.
Perkembangan Kajian Budaya Dalam Bidang Studi Organisasi
Antropologi sebenarnya sudah ada sejak abad XIX, namun demikian fokusnya masih
ditujukan pada masyarakat daerah terpencil yang jauh dari dunia gemerlap bisnis dan politik.
Dengan obyek kajian seperti ini, tidak sedikit orang yang tidak paham akan hasil pekerjaan para
antropolog, bahkan masyarakat yang menjadi objek studi pun tidak tahu mengapa kehidupan
mereka ingin diketahui. Hal ini lah yang mungkin menjadi penyebab mengapa hasil pekerjaan
para antropolog sering diabaikan karena dianggap tidak memberi nilai tambah, khususnya nilai
tambah dalam perspektif ekonomi.
Periode tahun 1920-an.
Henry R. Towne: “Dalam mengelola perusahaan seorang insinyur juga harus mengerti
aspek-aspek ekonomi. Tugas dan tanggung jawab manajer adalah membuat desain yang cocok
untuk kepentingan produksi dan organisasi, mengubah system yang tidak berjalan secara efektif,
memilih orang yang tepat dan mengawasi bawahan serta memastikan semua berjalan sesuai
tujuan. Towne ketika itu menegaskan bahwa dalam mengelola perusahaan seorang insinyur juga
harus mengerti aspek-aspek ekonomi. Terinspirasi oleh pendapat Towne, Frederick Taylor yang
kebetulan hadir pada acara tersebut mulai mengembangkan konsep manajemen pada awal 1900-
an. Konsepnya, dikenal dengan nama scientific management, dituangkan dalam beberapa buku
diantaranya “Shop Management”(1903) dan buku yang sangat populer dalam bidang studi
organisasi manajemen yaitu “The Principle of Scientific Management”(1911).
Hawthrone Plant juga melakukan penelitian pada era tersebut. Penelitian dilakukan
melalui tiga tahap dengan pendekatan yang berbeda. Tahap pertama dengan pendekatan
eksperimen, tahap kedua dengan interview dan tahap ketiga denga observasi langsung. Jika tahap
pertama dan kedua menggunakan pendekatan psikologi maka tahap ketiga menggunakan
pendekatan antropologi
Periode tahun 1950-an dan 1960-an.
Bisa dikatakan bahwa studi antropologi di Hawthrone Plant tidak sepenuhnya berhasil,
namun kita patut bersyukur karena Lloyd Warner telah menjadi pioneer dan peletak dasar bagi
penelitian antropologi di tempat kerja. Upaya Warner bahkan terus berlanjut setelah sepuluh
tahun kemudian, ia bersama Burleigh Gardner, pada tahun 1943 di Chicago University,
mendirikan sebuah komite yang dinakmakan Committee on Human Relation in Industry. Komite
ini, yang dibiayai oleh 6 perusahaan bertujuan untuk membantu menyelesaikan masalah-masalah
organisasi dengan pendekatan antroplogi dengan menjadikan tempat kerja sebagai sebuah sistem
sosial. Selain itu, universitas-universitas lain seperti Cornell University dan Harvard University
juga mendirikan lembaga sejenis setelah sebelumnya pada tahun 1941 didirikan sebuah lembaga
profesional yang dinamakan Society for Applied Anthropology. Lembaga inilah yang berfungsi
untuk mengumpulkan dan mengkaji laporan hasil penelitian antropologi yang dilakukan di
perusahaan/industri. Organisasi tidak lagi dipandang closed system seperti pada pendekatan
human relation approach tetapi dipandang juga sebagai hasil kebudayaan dan sekaligus memiliki
budaya.
Pemindahan Konsep Budaya Kedalam Disiplin Organisasi
Nancy Morey dan Fred Luthans mengatakan bahwa proeses pemindahan konsep dari konsep
budaya ke konsep organisasi melalui empat tahap:
1. Trasposition stage, merupakan tahap pemindahan konsep lama kedalam konsep baru
organisasi, dengan demikian cara pandangan baru.
2. Interpretation stage, konsep baru digunakan untuk menginterpretasikan kejadian-
kejadian yang ada di organisasi.
3. Correction stage, merupakan kegiatan koreksi, adjustment atau modifikasi agar konsep
baru benar-benar operasional.
4. Spelling-out stage, secara eksplisit menegaskan konsep lama setelah melalui modifikasi
cocok dilakukan bahkan menghasilkan konsep baru.
5. Budaya dalam Perspektif Organisasi.
Keterlibatan antropolog dalam bidang studi organisasi menyebabkan perubahan cara
pandang dalam cara memahami organisasi. Organisasi tidak semat-mata dipandang sebagai alat
bantu tetapi juga sebagai masyarakat dengan segala atribut-atributnya. Perbedaan cara pandang
ini setelah para antropolog membawa serta cara-cara atau metode yang biasa digunakan untuk
meneliti budaya dalam perspektif macro ke dalam penelitian organisasi.
Budaya dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan bak dua sisi
mata uang. Selama ada masyarakat pasti ada budaya, demikian juga sebaliknya. F.Lando Jonaco:
“Sekumpulan orang tidak bisa disebut sebagai masyarakat apabila tidak mempunyai budaya,
sebaliknya budaya tidak pernah ada jika tidak ada masyarakat”.
Ada 3 wujud atau dimensi budaya dalam organisasi, (1). Artefak, sesuatu yang kelihatan
yang dihasilkan oleh orang-orang perusahaan (2). Sistem perilaku, hubungan antar personal dan
lingkungan sekitar (3). Sistem nilai, ini menyangkut norma, kepercayaan-kerpercayaan, nilai
sejarah perusahaan, etos kerja, misi, tujuan, strategi, “roh” atau spirit perusahaan, sistem inilah
yang disebut dengan inti budaya. Kesemua wujud atau dimensi ini membentuk secara holistik
sebuah perusahaan, yang menjadi cermin perusahaan.
Dimensi ketiga yakni sistem nilai merupakan hal yang tidak nampak namun
mengendalikan perilaku manusia, karena tidak nampak sehingga sulit sekali untuk dirubah. Jhon
P. Kotter penulis buku Leading Change yang sangat digemari para perusahaan global
mengatakan, sistem nilai atau sistem budaya adalah nilai-nilai yang diyakini bersama berakar
dalam di dalam sistem kebudayaan keseluruhan, perubahan kultur merupakan bagian yang
tersulit tidak semudah yang dibayangkan. Namun transformasi perusahaan menuju perubahan
budaya harus dilakukan untuk berubah menjadi perusahaan yang kuat yang mampu beradaptasi
dengan lingkungan yang berubah cepat. Karena sulitnya merubah budaya, perubahan budaya
menjadi tujuan akhir, yang sebelumnya kita harus melewati tahap-tahap transformasi besar
dalam proses belajar sebagai prinsip budaya yang digerakkan para pemimpin sebagai motor
perubahan.
Demikianlah membangun budaya organisasi atau pelakukan perubahan budaya organisasi
adalah pilihan wajib bagi perusahaan untuk dapat berhasil menggapai segala tujuannya. Tekanan
globalisasi, deregulasi berbagai bidang, perubahan teknologi yang pesat, persaingan pasar yang
ketat telah memaksa semua pemimpin perusahaan dimanapun untuk memimpin organisasinya
dalam perubahan budaya. Hampir semua perusahaan global yang popular dewasa ini memiliki
budaya perusahaan yang sangat kuat.

Anda mungkin juga menyukai