Anda di halaman 1dari 3

Nama : GUSTI ADE ARDIAN

NIM : 042339974

1. Sosiologi sebagai salah satu disiplin ilmu dalam hal ini salah satu cabang imu
sosial dicetuskan pertama kali oleh ilmuwan Perancis, bernama August Comte
tahun 1842. Comte memiliki pemikiran yang dianggap sangat penting tentang
“hukum tiga jenjang”. Karena pandangannya itulah maka Comte disebut sebagai
tokoh sosiologi yang beraliran positivisme. Dalam kerangka pandang
positivisme, Comte berpendapat bahwa sosiologi sebegai ilmu yang mempelajari
masyarakat harus bersifat ilmiah, menggunakan metode observasi yang
sistematik, kajiannya bersifat eksperimen, dan analisisnya bersifat historis
komparatif (Zanden, 1993:9).
Sebagai sebuah ilmu, sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan
yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan dapat di kontrol secara kritis
oleh orang lain atau umum. Sosiologi memenuhi salah satu syarat sebagai ilmu
pengetahuan, yaitu memiliki metode penelitian, baik kuantiatif maupun kualitatif.
Sama seperti ilmu pengetahuan lain, teori-teori yang dihasilkan dalam sosiologi
juga dikumpulkan melalui metode-metode penelitian yang ilmiah. Sosiologi
memiliki dimensi-dimensi yang lebih pragmatis dari hanya sekadar mengenal
obyek penelitian melalui teori. Sosiologi mampu menawarkan langkah nyata
dalam merespon suatu fenomena. Langkah nyata ini dapat diolah
untuk mempelajari masyarakat melalui penelitian serta teori-teori sosiologi untuk
memahami mengapa suatu fenomena sosial terjadi dalam masyarakat.
Kemudian hasil penelitian yang telah dibuat dapat digunakan sebagai acuan
untuk melakukan perubahan sosial yang dapat menyelesaikan berbagai
permasalahan yang ada di dalam masyarakat.

2. Perbedaan tiga perspektif utama dalam sosiologi dan contoh nyata dalam
kehidupan sehari-hari:
A. Perspektif Struktural Fungsional
Dalam perspektif ini, masyarakat dilihat sebagai suatu jaringan
kelompok yang bekerja sama secara terorganisasi dan teratur, serta memiliki
seperangkat aturan dan nilai yang dianut sebagian besar anggota
masyarakat tersebut. Jadi, masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang
stabil, selaras, dan seimbang. Dengan demikian menurut pandangan
perspektif ini, setiap kelompok atau lembaga melaksanakan tugas tertentu
secara terus-menerus, karena hal itu fungsional. Sehingga, pola perilaku
timbul karena secara fungsional bermanfaat dan apabila kebutuhan itu
berubah, pola itu akan hilang atau berubah.
Sebagai contoh Lembaga Keagamaan berfungsi membimbing
pemeluknya menjadi anggota masyarakat yang baik dan penuh pengabdian
untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akherat. Lembaga ekonomi memilki
fungsi untuk mengatur proses produksi dan distribusi barang-barang dan
jasa-jasa di masyarakat.

B. Perspektif Konflik
Perspektif ini melihat masyarakat sebagai sesuatu yang selalu berubah,
terutama sebagai akibat dari dinamika pemegang kekuasaan yang terus
berusaha memelihara dan meningkatkan posisinya. Perspektif ini
beranggapan bahwa kelompok-kelompok tersebut mempunyai tujuan sendiri
yang beragam dan tidak pernah terintegrasi. Dalam mencapai tujuannya,
suatu kelompok sering kali harus mengorbankan kelompok lain. Karena itu
konflik selalu muncul, dan kelompok yang tergolong kuat setiap saat selalu
berusaha meningkatkan posisinya dan memelihara dominasinya.
Ciri lain dari perspektif ini adalah cenderung memandang nilai dan moral
sebagai rasionalisasi untuk keberadaan kelompok yang berkuasa. Dengan
demikian kekuasaan tidak melekat dalam diri individu, tetapi pada posisi
orang dalam masyarakat. Pandangan ini juga menekankan bahwa fakta
sosial adalah bagian dari masyarakat dan eksternal dari sifat-sifat individual.
Singkatnya, pandangan ini berorientasi pada studi struktur sosial dan
lembaga-lembaga sosial. Ia memandang masyarakat terus-menerus berubah
dan masing-masing bagian dalam masyarakat potensial memacu dan
menciptakan perubahan sosial. Dalam konteks pemeliharaan tatanan sosial,
perspektif ini lebih menekankan pada peranan kekuasaan.
Sebagai contoh konflik antara Israel dan Palestina. Perang antar
kelompok dapat disamakan dengan perjuangan untuk mempertahankan
hidup dan yang terkuatlah yang menang dalam kehidupan sosial. Kebencian
yang besar dan yang melekat antar kelompok, antar ras dan antar orang
yang berbeda menyebabkan konflik tak terelakan.
C. Perspektif Simbolik Interaksionisme
Perspektif ini cenderung menolak anggapan bahwa fakta sosial adalah
sesuatu yang determinan terhadap fakta sosial yang lain. Bagi perspektif ini,
orang sebagai makhluk hidup diyakini mempunyai perasaan dan pikiran.
Dengan perasaan dan pikiran orang mempunyai kemampuan untuk memberi
makna terhadap situasi yang ditemui, dan mampu bertingkah laku sesuai
dengan interpretasinya sendiri. Sikap dan tindakan orang tidak dipaksa oleh
struktur yang berada di luarnya (yang membingkainya) serta tidak semata-
mata ditentukan oleh masyarakat. Jadi, orang dianggap bukan hanya
mempunyai kemampuan mempelajari, memahami, dan melaksanakan nilai
dan norma masyarakatnya, melainkan juga bisa menemukan, menciptakan,
serta membuat nilai dan norma sosial (yang sebagian benar-benar baru).
Karena itu orang dapat membuat, menafsirkan, merencanakan, dan
mengontrol lingkungannya. erspektif ini memusatkan perhatian pada interaksi
antara individu dengan kelompok, terutama dengan menggunakan simbol-
simbol, antara lain tanda, isyarat, dan katakata baik lisan maupun tulisan.
Atau dengan kata lain perspektif ini meyakini bahwa orang dapat berkreasi,
menggunakan, dan berkomunikasi melalui simbol-simbol.
Sebagai contoh, tindakan orang yang merokok. Fakta objektif yang
ditunjukkan ilmu medis menyatakan bahwa merokok berakibat buruk bagi
organ tubuh. Namun sekelompok anak muda memilih untuk merokok bukan
karena mereka tidak tahu kebenaran objektif yang menjadi resiko merokok,
tetapi karena mereka meyakini bahwa merokok itu meningkatkan image
positif tentang dirinya setidaknya dilingkungan pergaulannya.

Anda mungkin juga menyukai