Anda di halaman 1dari 35

BUDAYA ORGANISASI DI SEKOLAH

disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengelolaan Pendidikan


dosen pengampu :
Prof. H. Udin Saefudin Sa’ud, Ph.D
Sururi, M.Pd

Oleh :

Bayu Ginanjar 1407052


Lusi Listianti 1404931
Rahma Riyan Diana 1404428
Riani Siti Hasanah N. 1403587

DEPARTEMEN ADMINISTRASI PENDIDIKAN


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Perilaku dalam organisasi bukan semata-mata fungsi dari
ekspektasi formal sekaligus kebutuhan dan motivasi individual! Hubungan
di antara elemen-elemen ini berciri dinamis. Para partisipan menghadirkan
serangkaian nilai, kebutuhan, tujuan, dan kepercayaan uruknya ke tempat
kerja. Karakteristik individual ini menjembatani aspek-aspek rasional
kehidupan organisasional. Terlebih lagi, rasa identitas kolektif pun tumbuh
yang mengubah agregat sederhana individu menjadi "kepribadian" tempat
kerja yang berbeda.
Rasa betah dengan tempat kerja ini telah dianalisis dan dipelajari
dalam beragam nama, di antaranya "karakter organisasional," "milieu,"
"atmosfer," "ideologi," "iklim," "budaya," "sistem baru," dan "organisasi
informal:" Analisis kami tentang lingkungan tempat kerja internal akan
menyoroti dua konsep yang saling terkait —budaya organisasi dan iklim
organisasi. Masing-masing dari dua konsep ini menunjukkan sisi alami,
spontan, dan manusiawi dari organisasi; masing-masing konsep
menunjukkan bahwa seluruh bangunan organisasional itu lebih besar
daripada jumlah bagian-bagiannya; dan masing-masing konsep berupaya
menyingkap makna dan aturan tak tertulis bersama yang memandu
perilaku organisasional.
Perhatian pada budaya kelompok kerja bukanlah barang baru.
Seperti yang telah kita ketahui, pada 1930-an dan 1940-an, Elton Mayo
(1945) dan Chester Bamard (1938) menekankan pentingnya norma,
sentimen, nilai, dan interaksi baru kelompok kerja di tempat kerja sewaktu
keduanya memaparkan hakikat dan fungsi organisasi informal. Philip
Selznick (1957) memperluas analisis kehidupan organisasional dengan
memandang organisasi sebagai institusi, bukan semata-mata organisasi
rasional. Institusi, menurut Selznick (1957, hlm. 14), "dijiwai oleh nilai di
luar tuntutan teknis yang dihadapi:" Peleburan/penjiwaan nilai ini
membuahkan identitas khas bagi organisasi; peleburan nilai menentukan
karakter organisasi. Selznick (1957) melanjutkan uraiannya:
Setiap kali individu melekat dengan sebuah organisasi atau
cara mengerjakan segala sesuatunya lebih sebagai orang daripada
teknisi, maka hasilnya berupa perhatian pada peranti kerjanya demi
peranti itu sendiri. Dari sudut pandang orang yang berkomitmen,
organisasinya berubah dari alat yang bisa dimanfaatkan menjadi
sumber berharga bagi kepuasan pribadi. Ketika institusionalisasi
lumayan maju, maka pandangan, kebiasaan, dan komitmen-
komitmen lain yang berbeda pun berpadu, yang mewarnai semua
aspek kehidupan organisasional dan menumbuhkan integrasi sosial
yang bergerak melampaui koordinasi dan komando formal, (hlm.
14)
Harus diakui bahwa rumusan organisasi sebagai institusi ala
Selznicklah, masing-masing dengan kompetensi dan karakter
organisasional khasnya, yang memberikan landasan bagi analisis
kontemporer organisasi sebagai budaya (Peters dan Waterman, 1982).
Budaya organisasi merupakan satu upaya untuk mewujudkan
perasaan, kesan, atmosfer, karakter, atau sosok sebuah organisasi. Budaya
organisasi mencakup banyak pandangan sebelumnya tentang organisasi
informal, norma, nilai, ideologi, dan sistem baru. Popularitas terma
"budaya organisasi" sebagian merupakan fungsi dari sejumlah buku
populer yang mengulas tentang perusahaan bisnis yang sukses yang
muncul pada 1980-an (Peters dan Waterman, 1982; Deal dan Kennedy,
1982; Ouchi, 1981). Kesimpulan dasar dari semua analisis ini adalah
bahwa organisasi yang efektif memiliki budaya korporat yang kuat dan
unik dan bahwa fungsi dasar kepemimpinan eksekutif adalah membentuk
budaya organisasi.
Organisasi merupakan respons terhadap dan alat penciptaan nilai
untuk memuaskan kebutuhan manusia. Penciptaan nilai dilaksanakan
melalui proses produksi. Organisasi mendapatkan input dari lingkungan
eksternalnya berupa bahan mentah, tenaga kerja, modal, mesin, peralatan,
dan sebagainya. Bahan-bahan input tersebut diproses dalam lingkungan
internalnya. Fungsi proses produksi mencakup:
1. transformasi input menjadi barang dan jasa baru;
2. penciptaan sinergi; dan
3. penciptaan nilai tambah dalam bentuk:
a) sinergi input menjadi barang atau jasa baru;
b) kegunaan output untuk lingkungan eksternal yang berbeda dari
kegunaan input;
c) kemungkinan mendapatkan profit margin.
Dengan penciptaan nilai tambah ini, organisasi dan lingkungan
eksternalnya dapat menciptakan keuntungan, sehingga terciptalah suatu
produk baru (barang dan jasa) yang diperlukan masyarakat yang berada di
lingkungan eksternalnya. Dengar, demikian, masyarakat dapat
berkembang.
Organisasi dipimpin oleh pemimpin yang memimpin anggotanya
untuk mencapai tujuan organisasi. Pemimpin dapat berupa para pemimpin
birokrasi (eselon- eselon birokrasi) atau pengurus organisasi. Dalam
memimpin anggotanya, pemimpin menggunakan suatu pola
kepemimpinan. Pola kepemimpinan suatu organisasi berbeda dengan pola
kepemimpinan organisasi lainnya. Misalnya, sama-sama organisasi
dakwah Islam, pola kepemimpinan Muhammadiyah berbeda dengan pola
kepemimpinan Nahdatul Ulama. Demikian juga, kepemimpinan di Gereja
Advent berbeda dengan kepemimpinan di Gereja Christian Science atau di
Gereja Mormon, walaupun ketiganya merupakan organisasi gereja
Kristen. Begitu pula, kepemimpinan di perusahaan Hero Supermarket
berbeda dengan kepemimpinan di perusahaan Makro.
Sebagai suatu sistem sosial, organisasi merupakan sistem terbuka.
Indikator sistem terbuka terlihat dari garis batas sistemnya yang tidak
solid, tetapi bercelah. Melalui celah tersebut, apa yang ada dan terjadi
dalam lingkungan eksternal organisasi dapat memengaruhi lingkungan
internalnya. Misalnya, suatu perusahaan dipengaruhi inflasi yang terjadi di
lingkungan eksternalnya. Demikian juga, peraturan dan kebijakan
pemerintah dapat memengaruhi perkembangan perusahaan. Sebaliknya,
apa yang terjadi dalam lingkungan internal organisasi dapat memengaruhi
lingkungan eksternalnya. Misalnya, barang dan jasa yang diproduksi di
lingkungan internal organisasi dapat memengaruhi kesejahteraan hidup
masyarakat yang ada di lingkungan eksternal organisasi.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. KONSEP BUDAYA ORGANISASI
1. Definisi Budaya Organisasi
Pandangan tentang budaya menghadirkan kompleksitas dan
kebingungan konseptual. Tidak ada definisi yang utuh dan terpadu
tentang kebudayaan dari antropologi; justru sebaliknya, kita
menemukan beraneka- ragam definisi. Oleh karena itulah, tidaklah
mengherankan apabila ada banyak definisi tentang budaya Organisasi.
Perhatikan berikut ini:
 William Ouchi (1981, hlm. 41) mendefinisikan budaya
organisasi sebagai "simbol, upacara, dan mitos yang
mengkomunikasikan aneka nilai dan kepercayaan dasar
organisasi yang bersangkutan kepada para karyawannya."
 Henry Mintzberg (1989, hlm. 98) menyebut budaya sebagai
ideologi organisasi, atau "tradisi dan kepercayaan sebuah
organisasi yang membedakannya dengan organisasi-organisasi
lain dan menghembuskan ruh tertentu ke dalam kerangka
strukturnya."
 Namun, Edgar Schein (1992,1999) menyatakan bahwa budaya
f seyogianya dikhususkan bagi "tingkat lebih dalam dari
asumsi, nilai, dan kepercayaan dasar" yang menjadi milik
bersama dan diterima apa adanya selagi organisasinya terus
menuai sukses.
Definisi umum kami tentang budaya organisasi adalah sebuah
sistem orientasi bersama yang mempersatukan unitnya dan
memberinya identitas khusus. Namun, muncul ketidaksepakatan besar
seputar apa saja yang dimiliki/ dianut bersama —norma, nilai, filsafat,
perspektif, kepercayaan, ekspektasi, sikap, mitos, atau upacara.
Permasalahan lainnya adalah penentuan intensitas orientasi bersama
dari anggota-anggota organisasi. Apakah organisasi memiliki satu
budaya dasar ataukah banyak kebudayaan? Terlebih-lebih lagi, muncul
ketidaksepakatan seputar tingkat kesadaran dan keterbukaan
organisasi, ataupun ketaksadaran dan ketertutupannya.
Teori-teori manajemen modern menekankan pentingnya
perilaku pelaku manajerial dalam melaksanakan tugasnya. Perilaku
tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh budaya organisasi. Baik atau
buruknya layanan manajerial ditentukan oleh perilaku pelaku
manajerial. Puas atau tidaknya konsumen, pelanggan, nasabah, atau
klien tergantung pada perilaku pemberi layanan. Inilah sebabnya
budaya organisasi merupakan bagian bidang manajemen yang
mendapat perhatian khusus dari para peneliti dan penulis manajemen.
Satu cara untuk mulai mengurai sebagian permasalahan definisi
adalah dengan memandang budaya dari tingkat yang berbeda. Seperti
yang tersaji dalam gambar, budaya terwujud dalam norma, nilai
bersama, dan asumsi dasar, yang masing-masingnya berlangsung di
tingkat kedalaman dan abstraksi yang berbeda.

Gambar : Tingkat-tingkat kebudayaan


2. Budaya Sebagai Norma, Kepercayaan dan Nilai Bersama
Sebuah perspektif yang lumayan konkret, sebagian pakar
menyebutnya dibuat-buat, tentang budaya pun muncul ketika norma-
norma behavioral digunakan sebagai elemen dasar
budaya/kebudayaan. Norma lazimnya berupa ekspektasi tak tertulis
dan informal yang muncul persis di bawah permukaan pengalaman.
Norma mempengaruhi perilaku secara langsung. Norma jauh lebih
kasa mata daripada nilai ataupun asumsi dasar; sebagai
konsekuensinya, norma memberikan sarana yang jelas untuk
membantu manusia memahami aspek-aspek kultural kehidupan
organisasional. Terlebih-lebih lagi, apabila kita berkomitmen untuk
mengubah perilaku organisasional, maka penting bagi kita untuk
mengetahui dan memahami norma-norma budaya organisasi yang
bersangkutan.
Norma juga dikomunikasikan kepada para partisipan melalui
cerita dan upacara yang memberikan contoh-contoh kasat mata dan
ampuh dari prinsip yang dipegang dan diperjuangkan organisasi.
Kadang-kadang cerita tentang manusia pun diciptakan untuk
memperkuat norma-norma dasar organisasi. Kepala sekolah yang
membela guru kendatipun mendapatkan tekanan hebat dari orangtua
dan atasan akan menjadi simbol kerekatan dan kesetiaan dalam budaya
sekolah; inilah sebuah cerita yang dikisahkan berulang kali kepada
guru-guru baru. Para guru dengan cepat menyerap normanya, "jangan
menyebarkan desas-desus tentang sekolah/' dukung kolegamu," dan
"bela kepala sekolahmu." Norma menentukan cara manusia berbusana
dan berbicara; cara partisipan merespons otoritas, konflik, tekanan, dan
cara manusia menyeimbangkan kepentingan diri dengan kepentingan
organisasi. Contoh-contoh norma meliputi berikut ini: jangan
merongrong kemapanan; jangan mengkritik rekan- rekan guru demi
siswa atau orangtua; semua karyawan mengenakan dasi; urusi masalah
disiplin keilmuanmu sendiri; jangan biarkan siswa keluar kelas
sebelum lonceng berbunyi; dan sering-sering ubah papan
pengumuman. Seperti yang telah dikemukakan norma diberlakukan
melalui sanksi/manusia diberi imbalan dan disemangati ketika
mengikuti norma dan ditentang, dikucilkan, atau dihukum ketika
melanggar norma-norma budaya kelompok. Singkat kata, norma
kelompok kerja menentukan bagian utama dari budaya organisasi.
Di tingkat tengah abstraksi, budaya didefinisikan sebagai
kepercayaan dan nilai bersama. Nilai adalah kepercayaan pada sesuatu
yang dikehendaki. Nilai merupakan cerminan asumsi dasar
kebudayaan, dan berada di tingkat analisis berikutnya. Nilai sering kali
menentukan apa saja yang sebaiknya dilakukan oleh para anggota agar
sukses di dalam organisasi. Ketika kita meminta orang untuk
menjelaskan alasan perilakunya, kita mulai menemukan nilai-nilai
utama organisasinya. Nilai-nilai bersama menentukan watak dasar
organisasi dan memberikan rasa identitas kepada organisasinya.
Apabila para anggota mengetahui prinsip atau nilai yang
diperjuangkan oleh organisasi mereka, apabila mereka mengetahui
standar apa saja yang sebaiknya dipegang teguh, maka mereka lebih
berpeluang untuk mengambil keputusan yang mendukung standar-
standar tersebut. Mereka juga lebih besar kemungkinannya merasa
sebagai bagian dari organisasinya dan bahwa kehidupan organisasi
memiliki makna penting baginya.
Buku William Ouchi (1981) tentang kesuksesan perusahaan-
perusahaan Jepang merupakan salah satu analisis kontemporer pertama
tentang budaya korporat. Ouchi menyatakan bahwa kesuksesan dari
organisasi yang efektif baik di Jepang maupun Amerika merupakan
fungsi dari budaya korporat yang khas, yakni budaya yang konsisten
secara internal dan ditandai dengan nilai keakraban, kepercayaan, kerja
sama, kerja tim dan egalitarianisme bersama. Kesuksesan organisasi-
organisasi ini bukanlah masalah teknologi, namun lebih karena
manajemen manusia nya. Ia menjuluki organisasi-organisasi Amerika
yang memiliki nilai- nilai ini dengan budaya Teori Z.
Organisasi Teori Z memiliki sejumlah ciri yang meningkatkan
budaya khasnya. Kesempatan kerja jangka panjang melahirkan rasa
aman dan komitmen pada organisasi ke dalam diri para karyawan; para
partisipan menjadi lekat dan mengakar dalam organisasi. Proses laju
promosi yang lebih lambat melahirkan lebih banyak kesempatan untuk
memperluas pengalaman dan jalur karier yang lebih beragam sewaktu
karyawan menjalankan fungsi-fungsi yang berbeda dan menjalani
peran-peran yang berlainan. Fakta ini secara efektif membuahkan
kecakapan khas perusahaan dan meningkatkan pengembangan karier.
Pengambilan keputusan yang partisipatif dan sesuai konsensus
menuntut kerja sama dan kerja tim, yakni dua nilai yang
dikomunikasikan dan diperkuat secara terbuka. Tanggung jawab
individual atas pengambilan keputusan kolektif menuntut atmosfer
saling percaya dan dukungan timbal balik. Terakhir, perhatian pada
manusia secara utuh merupakan bagian alami dari hubungan kerja,
yang cenderung berciri informal dan menekankan manusia secara utuh,
bukan semata-mata peran kerja individualnya. Perspektif holistik ini
melahirkan atmosfer egalitarian yang kuat, sebuah komunitas
beranggotakan sederajat yang bekerja secara gotong-royong demi
tujuan bersama, bukan mengandalkan hierarki formal.
Dengan demikian, organisasi Teori Z disusun dan bekerja
untuk meningkatkan nilai-nilai dasar keakraban, kepercayaan, kerja
sama, dan egalitarianisme. Nilai-nilai utama kebudayaan ini
merupakan nilai dominan yang diterima dan dimiliki bersama oleh
sebagian besar anggota organisasi; nilai-nilai inti ini mempengaruhi
hampir setiap aspek kehidupan organisasional.
Organisasi dan Budaya Teori Z

Karakteristik Organisasi Nilai utama


1. Pemekerjaan jangka panjang  Komitemen organisasi
2. Laju proposal lebih lambat  Orientasi karier
3. Pengambilan keputusan  Kerja sama dan kerja tim
partisipatif
4. Tanggung jawab individu atas  Kepercayaan dan kesetiaan
keputusan kelompok kelompok
5. Orientasi holistik  egalitarianisme

Berbagi penelitian lainnya (Deal dan Kennedy, 1982; Peters


dan Waterman, 1982) tentang perusahaan-perusahaan yang sukses
juga menyatakan luar biasa pentingnya budaya organisasi yang kuat
dalam memacu efektivitas. Deal danKennedy (1982) menyatakan
bahwa organisasi yang sukses sama-sama memiliki karakteristik
kultural bersama. Keduanya menyatakan bahwa organisasi semacam
itu memiliki:
 Filsafat organisasi yang dianut secara luas.
 Perhatian pada individu yang lebih penting daripada aturan
dan kebijakan formal.
 Ritual dan upacara yang membangun identitas bersama.
 Rasa akan aturan dan perkecualian informal yang dipahami
dengan baik.
 Kepercayaan bahwa tindakan yang diperbuat oleh
karyawan itu penting bagi yang lain.
Dalam kebudayaan/budaya yang kuat, kepercayaan dan nilai
dianut kuat-kuat, dimiliki secara luas, dan memandu perilaku
organisasional. Tentunya cukup menggoda untuk melompat pada
kesimpulan bahwa serangkaian nilai spesifik menentukan keunggulan
dalam organisasi, namun kesimpulan ini tentu tidak dibenarkan.
Sesuatu yang meningkatkan keunggulan pada masa lalu tidak secara
otomatis meningkatkan keunggulan pada hari ini atau esok hari
(Aupperle, Acar, dan Booth, 1986; Hitt dan Ireland, 1987). Bahkan,
dalam kenyataannya, budaya yang kuat bisa menjadi kendala pada
saat-saat perubahan cepat karena budaya organisasi bisa begitu
tertanam kuatnya sehingga mencegah adaptasi dengan hambatan-
hambatan baru. Hanson (2003) mengamati bahwa, dilihat dari banyak
segi, hubungan antara budaya dengan efektivitas sesungguhnya sama
dengan hubungan antara struktur dengan efektivitas. Baik budaya
maupun struktur bisa merongrong hasil-hasil dengan menghentikan
ataupun mengacaukan sistem melalui kekakuan, konflik, dan agenda
tersembunyi.
3. Fungsi Kebudayaan Sebagai Asumsi Tersirat
Meskipun mungkin tidak ada satu pun budaya terbaik, budaya
yang kuat meningkatkan kerekatan, kesetiaan, dan komitmen, yang
pada gilirannya mengurangi kecenderungan anggota untuk
meninggalkan organisasinya (Mowday, Porter, dan Steers, 1982).
Terlebih-lebih lagi, Robbins (1991) merangkum sejumlah fungsi
penting yang dijalankan oleh budaya organisasi:
• Budaya memiliki fungsi penentu batas; budaya menciptakan
perbedaan di antara sekian organisasi.
• Budaya memberikan rasa identitas kepada organisasi.
• Budaya memudahkan pengembangan komitmen pada
kelompok.
• Budaya meningkatkan stabilitas di dalam sistem sosial.
• Budaya merupakan lem sosial yang mengikat organisasi kuat-
kuat; budaya memberikan standar yang tepat bagi perilaku.
Budaya berfungsi untuk memandu dan membentuk sikap
sekaligus perilaku anggota organisasi. Namun, penting untuk diingat-
ingat bahwa budaya yang kuat bisa fungsional ataupun disfungsional
artinya, budaya bisa meningkatkan ataupun menghambat efektivitas.
Di tingkat yang terdalam, budaya/kebudayaan merupakan
wujud kolektif dari asumsi-asumsi tersirat. Ketika anggota-anggota
dari sebuah organisasi berbagi pandangan dunia di sekeliling mereka
dan tempat mereka di dunia tersebut, muncullah budaya. Artinya,
sebuah pola asumsi-asumsi dasar pun diciptakan, ditemukan, atau
dikembangkan oleh organisasinya sewaktu organisasi tersebut belajar
mengatasi permasalahan adaptasi eksternal dan integrasi internalnya.
Pola ini terbukti telah bekerja dengan cukup baik sehingga dipandang
sahih dan diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang
benar untuk memandang, berpikir, dan merasa terkaitan dengan
permasalahan tersebut. Karena asumsi-asumsinya telah bekerja
berulang kali, maka asumsi tersebut menjadi sedemikian dasarnya
sehingga diterima bulat-bulat, cenderung tidak ditentang dan
diperdebatkan, dan karenanya sangat kedap perubahan. Dari
perspektif ini, kunci untuk memahami budaya organisasi adalah
mengurai asumsi-asumsi tersirat yang dipegang oleh para anggota dan
menemukan bagaimana asumsi-asumsi tersebut melebur bersama-
sama ke dalam sebuah pola atau paradigma kultural.
Asumsi-asumsi tersirat merupakan premis abstrak tentang
hakikat hubungan manusia, kodrat manusia, kebenaran, realita, dan
lingkungan (Dyer, 1985). Sebagai contoh, apakah kodrat manusia itu
pada dasarnya baik, jahat, ataukah netral? Bagaimanakah kebenaran
pada akhirnya ditetapkan—apakah diwahyukan ataukah ditemukan?
Apakah dugaan pola hubungan di antara anggota kelompok —pada
dasarnya berciri hierarkis, kooperatif, ataukah individualistik? Ketika
organisasi mengembangkan pola-pola asumsi dasar yang konsisten dan
tegas, maka organisasi tersebut memiliki budaya yang kuat.
Tidak ada cara sederhana untuk menyingkap pola-pola dasar
asumsi yang mendasari sesuatu yang dihargai dan dilakukan oleh
manusia. Schein (1992,1999) mengembangkan serangkaian prosedur
yang saling berkaitan untuk mengurai budaya sebuah organisasi.
Prosedur ciptaan Schein ini merupakan sebuah pendekatan yang
menggabungkan teknik antropologis dengan klinis dan melibatkan
serangkaian perjumpaan dan eksplorasi bersama antara peneliti dengan
berbagai informan yang penuh motivasi yang hidup di dalam
organisasi dan mengejawantahkan budayanya.
4. Dimensi Budaya Organisasi
Sementara itu, dalam buku Wirawan dalam “Budaya dan Iklim
Organisasi: Teori Aplikasi dan Penelitian” (2007) budaya organisasi
didefinisikan sebagai “norma, nilai-nilai, asumsi, kepercayaan, filsafat,
kebiasaan organisasi, dan sebagainya (isi budaya organisasi) yang
dikembangkan dalam waktu yang lama oleh pendiri, pemimpin, dan
anggota organisasi yang disosialisasikan dan diajarkan kepada anggota
baru serta diterapkan dalam aktivitas organisasi sehingga
memengaruhi pola pikir, sikap, dan perilaku anggota organisasi dalam
memproduksi produk, melayani para konsumen, dan mencapai tujuan
organisasi.
Budaya organisasi merupakan karakteristik organisasi, bukan
individu anggotanya. Jika organisasi disamakan dengan manusia, maka
budaya organisasi merupakan personalitas atau kepribadian organisasi.
Akan tetapi, budaya organisasi membentuk perilaku organisasi
anggotanya, bahkan tidak jarang perilaku anggota organisasi sebagai
individu.
Definisi budaya organisasi di atas berisi sejumlah kata kunci
yang memerlukan penjelasan.
1) Isi budaya organisasi. Isi budaya organisasi terdiri atas beragam
jenis. Isi budaya organisasi ada yang dapat diindera dengar, mudah
seperti artefak dan ada yang sukar diindera seperti nilai-nilai,
norma, asumsi, dan filsafat organisasi. Isi budaya organisasi besar
dan kompleks lebih banyak daripada isi budaya organisasi kecil
dan sederhana.
2) Sosialisasi. Budaya organisasi disosialisasikan atau didifusikan
dan diajarkan kepada setiap anggota organisasi baru. Isi budaya
organisasi diperkenalkan dan diajarkan serta diterapkan dalam
kegiatan organisasi. Mereka yang ingin menjadi anggota organisasi
wajib memahami, merasa memiliki, dan menerapkannya dalam
perilakunya. Anggota organisasi yang melanggarnya dikenai
sanksi. Misalnya, anggota organisasi wajib melaksanakan kode etik
organisasi. Agar setiap anggota organisasi melaksanakar. norma
kode etik, di sejumlah organisasi diawasi pelaksanaannya oleh
direktur kode etik. Dalam organisasi TNI pengawasan dilakukan
oleh provos dan Dewan Kehormatan Perwira, sedangkan di
Kepolisian Republik Indonesia oleh provos serta Divisi Profesi dan
Pengamanan.
3) Memengaruhi pola pikir, sikap, dan perilaku anggota
organisasi. Ketika melaksanakan tugasnya, anggota organisasi
mempunyai pola pikir, sikap, dan perilaku tertentu. Semua hal
tersebut dibimbing oleh norma, nilai-nilai, dan kode etik
organisasi. Misalnya, budaya organisasi memengaruhi cara
berbicara menghormat, melayani klien, berpakaian, memproduksi
produk, dan sebagainya.

B. BUDAYA SEKOLAH
1. Budaya Sekolah
Terrence Deal (1985) menyatakan bahwa sekolah yang efektif
memiliki budaya yang kuat dengan karakteristik berikut ini:
1. Nilai-nilai bersama dan konsensus tentang "cara kita
menyelesaikan segala urusan di sekitar kita."
2. Kepala sekolah sebagai pahlawan yang mewujudkan nilai-nilai
utama
3. Ritual unik yang mewujudkan kepercayaan yang dianut secara
luas.
4. Karyawan sebagai pahlawan situasional.
5. Ritual akulturasi dan pembaruan budaya.
6. Ritual yang signifikan untuk menjunjung tinggi dan mengubah
nilai- nilai utama.
7. Keseimbangan antara inovasi dengan tradisi dan antara
otonomi dengan kontrol.
8. Partisipasi luas dalam ritual budaya.
2. Budaya Kontrol
Cara lain untuk mengonsep budaya sekolah adalah dari sudut
kepercayaan dominan yang sama-sama dianut oleh guru dan kepala
sekolah tentang pengontrolan siswa. Willard Waller (1932), dalam
salah satu penelitian sistematis pertamanya tentang sekolah sebagai
sebuah sistem sosial, meminta perhatian pada pentingnya kontrol siswa
terkait dengan aspek struktural sekaligus normatif budaya sekolah.
Bahkan sebagian besar penelitian yang telah memusatkan perhatian
pada sekolah sebagai sebuah sistem sosial telah melukiskan
(munculnya) subbudaya siswa antagonistik, konflik kehadiran, dan
permasalahan siswa (Gordon, 1957; Coleman, 1961; Willower dan
Jones, 1967).
Kontrol siswa merupakan aspek utama kehidupan sekolah.
Dengan mempertimbangkan sifat mencoloknya, konsep ini bisa
digunakan untuk membedakan jenis-jenis sekolah. Konseptualisasi
kontrol siswa dalam penelitian oleh Donald J. Willower, Terry I.
Eidell, dan Hoy (1967) di Pennsylvania State University memberikan
landasan bagi perspektif semacam itu.2 Para peneliti Penn State
mendalilkan sebuah kontinum kontrol siswa dari corak pembinaan
hingga humanistik. Prototipe dari kedua ekstrem ini dirangkum secara
singkat berikut ini.
Model bagi budaya pembinaan adalah sekolah tradisional, yang
menghadirkan setting yang kaku dan sangat terkontrol yang
mengutamakan pelanggengan ketertiban. Para siswa distereotipekan
berdasarkan tampilan fisik, perilaku, dan status sosial orangtuanya.
Guru yang menganut orientasi pembinaan memandang sekolah sebagai
sebuah organisasi otokratis dengan hierarki status guru-siswa yang
kaku. Arus kekuasaan dan komunikasi bersifat sepihak dan dari atas ke
bawah; siswa harus menerima keputusan gurunya bulat-bulat. Guru
tidak berupaya memahami perilaku siswa namun justru memandang
perilaku nakal sebagai serangan pribadi. Guru memandang siswa
sebagai orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak berdisiplin yang
harus dikontrol melalui sanksi- sanksi yang menghukum.
Impersonalitas, sinisme, dan ketidakpercayaan penuh prasangka
mewarnai atmosfer sekolah bercorak pembinaan.
Model bagi budaya humanistik adalah sekolah yang
dikonsep/dipandang sebagai sebuah komunitas pendidikan tempat para
siswa belajar melalui interaksi dan pengalaman kooperatif. Model ini
memandang pembelajaran dan perilaku dari kacamata psikologis dan
sosiologis. Model ini mengganti kontrol guru yang ketat dengan
kedisiplinan diri. Orientasi humanistik mengantar menuju atmosfer
demokratis dengan arus komunikasi dua arah antara siswa dengan guru
dan meningkatnya kebebasan menentukan nasib sendiri. Terma
"orientasi humanistik" digunakan dalam pengertian sosiopsikologis
seperti yang dinyatakan oleh Erich Fromm (1948); orientasi
humanistik menekankan pentingnya individu dan pen- ciptaan
atmosfer yang memenuhi kebutuhan siswa.
Orientasi kontrol siswa dari sebuah sekolah bisa diukur dengan
menjajaki orientasi individual para staf profesional sekolahnya dengan
menggunakan formulir Ideologi Kontrol Siswa (PCI/Pupil Control
Ideology) (Willower, Eidell, dan Hoy, 1967; Hoy, 2001). Untuk
salinan PCI dan petunjuk pemberian skor, kunjungi
www.waynekhoy.com.
Appleberry dan Hoy (1969) ataupun Hoy dan Clover (1986)
menemukan bahwa humanisme dalam orientasi kontrol siswa sekolah
dan keterbukaan iklim organisasi sekolah ternyata berkorelasi sangat
kuat. Hoy dan Appleberry (1970) membandingkan sekolah paling
humanistik dengan sekolah paling membina berdasarkan profil iklim
sekolahnya. Sekolah dengan orientasi kontrol siswa pembinaan
ternyata memiliki keacuhtakacuhan guru yang secara signifikan lebih
besar, tingkat semangat lebih rendah, dan pengawasan lebih ketat oleh
kepala sekolah daripada sekolah dengan orientasi kontrol-siswa
humanistik. Orientasi kontrol-siswa sebuah sekolah ternyata berkaitan
erat dengan banyak aspek penting kehidupan sekolah.
Perhatikan gambaran umum tentang karakter sekolah yang
muncul dari penelitian berikut ini. Sekolah-sekolah pembinaan
memiliki siswa yang lebih terasing daripada sekolah-sekolah
humanistik (Hoy, 1972), sedangkan sekolah-sekolah humanistik
menghadirkan iklim sosial yang sehat yang mengarah pada
pengembangan citra-diri yang lebih matang bagi siswa (Diebert dan
Hoy, 1977). Terlebih-lebih lagi, persepsi siswa tentang iklim sekolah
humanistik ternyata berkaitan positif dengan mo¬tivasi, pemecahan
masalah, dan kesungguhannya untuk belajar (Lunen- burg, 1983)
sekaligus persepsi positifnya tentang kualitas kehidupan sekolah
(Lunenberg dan Schmidt, 1989). Semakin bersifat pembinaan iklim
se¬kolah, maka semakin besar vandalisme siswa, semakin kasar
insiden, semakin besar kekacauan (Finkelstein, 1998), dan semakin
menghambat kecenderungan struktur sekolahnya (Hoy, 2001).
Bukti pun menunjukkan perlunya sekolah-sekolah publik yang
kurang bersifat pembinaan dan lebih berciri humanistik karena
sekolah-sekolah semacam ini memiliki siswa yang kurang terasing,
lebih puas, dan lebih produktif. Namun, perubahan ke arah humanistik
memang lebih mudah diomongkan daripada dipraktikkan, dan
dipastikan lambat kehadirannya dan sering kali tidak berhasil;
kendatipun begitu, upaya untuk itu sebaiknya ditempuh.
3. Budaya Keandalan
Kepercayaan bersama pada kapabilitas dan kemampuan guru
dan penyelenggara sekolah merupakan bagian penting dari budaya
sebuah sekolah. Keandalan guru kolektif merupakan persepsi bersama
guru di sebuah sekolah bahwa upaya-upaya staf pengajar secara
keseluruhan akan menimbulkan Efek positif terhadap siswa. Menurut
Bandura (1993,1997), keandalan guru kolektif merupakan aset penting
sekolah dari perspektif organisasional karena aset ini membantu
menjelaskan aspek pembeda yang dimiliki oleh sekolah tentang
prestasi siswa. Di tingkat kolektif, budaya keandalan merupakan
seperangkat kepercayaan atau persepsi sosial yang diperkuat,
bukannya dilemahkan, melalui pemanfaatannya dan hal tersebut
memberikan identitas unik kepada sekolahnya.
Seperti yang telah kita ketahui, empat sumber utama informasi
keandalan diri adalah pengalaman penguasaan, pengalaman seperti
merasakan sendiri/ persuasi sosial, dan pembangkitan emosional.
Persis seperti halnya keempat sumber ini penting bagi individu,
keempat-empatnya juga sangat penting dalam pengembangan
keandalan pengajaran kolektif. Pengalaman penguasaan penting bagi
organisasi. Para guru sebagai sebuah kelompok mengalami kesuksesan
dan kegagalan. Kesuksesan membangun kepercayaan kuat pada rasa
keandalan kolektif staf pengajar; kegagalan melemahkannya. Namun
apabila kesuksesan berlangsung sering dan terlalu mudah, maka
kegagalan besar kemungkinan menimbulkan keputusasaan. Rasa
keandalan kolektif yang cepat pulih membutuhkan pengalaman dalam
mengatasi kesulitan melalui upaya yang gigih. Harus diakui bahwa
organisasi belajar melalui pengalaman dan karena¬nya berpeluang
sukses dalam mencapai tujuan-tujuannya (Huber, 1996; Levitt dan
March, 1996).
Pengalaman langsung bukanlah satu-satunya sumber informasi
bagi guru tentang keandalan kolektifnya. Guru juga menyimak cerita
tentang prestasi kolega-koleganya sekaligus kisah sukses sekolah-
sekolah lain. Demikian pula, penelitian sekolah yang efektif
melukiskan karakteristik sekolah-sekolah percontohan. Jadi, persis
sebagaimana pengalaman seperti merasakan sendiri dan pemberian
contoh berfungsi sebagai dua sumber efektif keandalan guru pribadi,
keduanya juga meningkatkan keandalan guru kolektif. Organisasi
belajar dengan mengamati organisasi-organisasi yang lain (Huber,
1996).
Pembentukan Keandalan Kolektif '. Meskipun keempat
sumber informasi di atas sangat penting dalam penciptaan keandalan
kolektif, pengolahan dan interpretasi informasi juga penting. Guru
menilai sesuatu yang dibutuhkannya sewaktu terlibat dalam
pengajaran; kami menyebut proses ini dengan analisis tugas mengajar.
Analisis semacam itu berlangsung di dua tingkat individu dan sekolah.
Di tingkat sekolah, analisisnya membuahkan kesimpulan tentang
tantangan-tantangan mengajar di sekolah bersangkutan, artinya, apa
saja yang dibutuhkan oleh sekolah agar sukses. Pertimbangannya
meliputi kemampuan dan motivasi siswa, ketersediaan materi dan alat
bantu pengajaran, tekanan masyarakat, dan kualitas fasilitas fisik
sekolah sekaligus optimisme umum terhadap kapabilitas sekolah dalam
mengatasi situasi-situasi negatif di rumah siswa sekaligus di sekolah.
Guru menganalisis sarana yang dibutuhkan untuk membuat sekolahnya
sukses, hambatan atau keterbatasan yang harus diatasi, dan sumber
daya yang tersedia. Kemudian guru mengevaluasi tugas mengajar
bersamaan dengan penilaiannya tentang kompetensi mengajar staf
guru; bahkan guru memberikan penilaian eksplisit tentang kompetensi
mengajar kolega-koleganya berdasarkan tugas-tugas mengajar di
bidang keahlian/sekolah spesifik mereka. Di tingkat sekolah, analisis
kompetensi mengajar mengantar menuju kesimpulan tentang
kecakapan mengajar, metode, pelatihan, dan kepakaran staf guru.
Penilaian tentang kompetensi mengajar bisa meliputi kepercayaan staf
pengajar pada kemampuan untuk sukses dari semua anak didik di
sekolah. Karena analisis tentang tugas dan kompetensi mengajar
berlangsung secara serentak, maka tentunya sulit memisahkan dua
domain keandalan mengajar kolektif ini. Kedua domain berinteraksi
satu sama lain seiring dengan kemunculan keandalan guru kolektif.
Singkat kata, pengaruh utama terhadap keandalan guru kolektif
dianggap berupa analisis dan interpretasi tentang keempat sumber
informasi pengalaman penguasaan, pengalaman seperti merasakan
sendiri, persuasi sosial, dan kondisi emosional. Di dalam proses-proses
ini, organisasi memusatkan perhatiannya pada dua domain yang saling
berkaitan: tugas mengajar dan kompetensi mengajar. Kedua domain ini
dinilai berdasarkan apakah organisasinya memiliki kapabilitas untuk
sukses dalam mengajar siswa. Interaksi di antara penilaian-penilaian
ini membentuk keandalan guru kolektif di sebuah sekolah.
Konsekuensi dari keandalan guru kolektif yang tinggi adalah
penerimaan atas tujuan-tujuan yang menantang, upaya organisasional
yang kuat, dan kegigihan yang mengarah pada performa lebih baik.
Tentu saja kebalikannya juga berlaku. Keandalan kolektif lebih rendah
mengarah pada upaya lebih sedikit, kecenderungan untuk menyerah,
dan tingkat performa yang lebih rendah. Proses dan komponen
keandalan guru efektif itu sama dengan proses dan komponen
keandalan guru individual. Seperti yang diperlihatkan oleh gambarnya,
keunggulan performa memberikan umpan balik bagi organisasi, yang
lantas memberikan informasi baru yang lebih lanjut membentuk
keandalan guru kolektif di sekolah. Namun kepercayaan pada tugas
mengajar sekaligus kompetensi mengajar berpotensi tetap tak berubah
kecuali apabila muncul peristiwa dramatis karena, sekali sudah
terbangun, budaya keandalan sebuah sekolah pun menjadi sifat yang
relatif stabil yang membutuhkan upaya besar untuk mengubahnya.
Sesungguhnya relatif mudah untuk memetakan keandalan kolektif
sebuah sekolah karena Goddard dan rekan- rekannya (Goddard, Hoy,
dan Woolfolk Hoy, 2000; Goddard, 2002) telah mengembangkan
beberapa instrumen yang sahih dan terpercaya untuk mengukurnya.
Informasi tentang Skala Keandalan Kolektif (Skala CE), ciri-ciri, dan
petunjuk penetapan skornya bisa dibaca di www.coe. ohio.
state.edu/whov.
Gambar : Model Keandalan Kolektif

4. Budaya Saling Percaya


Pandangan lain tentang budaya sekolah bisa dipetakan
berdasarkan kepercayaan staf pengajar, yakni kepercayaan bersama
kolektif para guru. Kepercayaan sedikit mirip dengan udara; tak
seorang pun banyak memikirkannya hingga terasa dibutuhkan pada
saat tidak ada. Namun, kepercayaan di sekolah-sekolah itu penting
karena memfasilitasi kerja sama (Tschannen-Moran, 2001);
meningkatkan keterbukaan (Hoffman, Sabo, Bliss, dan Hoy, 1994);
meningkatkan kerekatan kelompok (Zand, 1997); mendukung
profesionalisme (Tschannen-Moran, 2009); membangun kemampuan
organisasional (Cosner, 2009); dan meningkatkan prestasi siswa
(Goddard, Tschannen-Moran, dan Hoy, 2001; Hoy, 2002; Bryk dan
Schneider, 2002; Tschannen-Moran, 2004; Cybulski, Hoy, dan
Sweetland, 2005). Setiap orang menginginkan kepercayaan dan
dipercayai. Namun kepercayaan bermakna banyak hal.
Hubungan kepercayaan dibangun di atas kesalingtergantungan;
artinya, kepentingan seseorang tidak bisa dicapai tanpa berpijak pada
kepentingan orang lain (Rousseau, Sitkin, Burt, dan Camerer, 1998).
Tidaklah mengejutkan bahwa kebutuhan akan kepercayaan muncul
dalam banyak relasi sosial di sekolah-sekolah akibat tingkat
kesalingtergantungan yang tinggi. Sebagai contoh, guru bergantung
pada kepala sekolah dan kepala sekolah pun bergantung pada guru,
fakta yang sama bisa dikatakan berlaku bagi guru dengan siswa
sekaligus guru dengan orang- tua. Namun, kesalingtergantungan dalam
hubungan lazimnya memunculkan kerentanan/kemudahan percaya,
yang merupakan ciri umum kepercayaan (Baier, 1986; Bigley dan
Pearce, 1998; Coleman, 1990; Mayer, Davis, dan Schoorman, 1995;
Mishra, 1996). Individu secara intuitif tahu apa itu mempercayai —
artinya, kepercayaan menjadikan diri kita rentan dari orang-orang lain
dengan keyakinan bahwa orang-orang lain tidak akan bertindak dengan
cara-cara yang merugikan Anda namun kepercayaan itu kompleks
dengan banyak aspeknya.
Di samping kerentanan, ada lima aspek umum lainnya dari
kepercayaan; baik hati, reliabilitas, kompetensi, kejujuran, dan
keterbukaan (Hoy dan Tschannen-Moran, 1999; Hoy dan Tschannen-
Moran, 2003; Tschannen-Moran dan Hoy, 2000; Tschannen-Moran,
2004). Penelitian tentang kepercayaan staf guru di sekolah-sekolah
(Hoy dan Tschannen- Moran, 2003) memperlihatkan bahwa semua
aspek kepercayaan di atas ternyata sama-sama berubah-ubah dan
membentuk sebuah pandangan yang padu tentang kepercayaan di
sekolah. Dengan kata lain, ketika staf pengajar memiliki tingkat
kepercayaan yang tinggi pada kepala sekolah, maka staf guru juga
percaya bahwa kepala sekolahnya baik hati, terpercaya, kompeten,
jujur, dan terbuka dalam berinteraksi dengan para guru. Oleh karena
itulah, kepercayaan staf guru merupakan kesediaan para guru untuk
rentan/mudah percaya pada pihak lain yang didasarkan pada keyakinan
bahwa pihak lain tersebut bersifat baik hati, terpercaya, kompeten,
jujur, dan terbuka.
Kepercayaan melekat dalam hubungan dan memiliki
kekhususan melalui perujukannya pada orang-orang lain. Empat
petanda/referen kepercayaan staf guru cukup menarik minat dalam
memetakan budaya kepercayaan organisasional di sekolah. Tingkat
kepercayaan staf guru pada para siswa, kepala sekolah, orangtua, dan
satu sama lain sesungguhnya memberikan landasan bagi gambaran
umum kepercayaan di sekolah-sekolah. Namun, pada dasarnya guru
tidak membedakan antara mempercayai siswa dengan mempercayai
orangtua; mempercayai siswa sama artinya dengan mempercayai
orangtua, dan begitu sebaliknya (Hoy dan Tschannen-Moran, 2003).
Oleh karena itulah, budaya saling percaya bisa ditaksir dengan
mengkaji tingkat kepercayaan staf guru pada siswa dan orangtua,
kepala sekolah, dan kolega-koleganya.
Tiga referen kepercayaan ini cenderung berkaitan satu sama lain secara
sedang dan positif sedemikian rupa sehingga kepercayaan pada satu
referen akan melimpah kepada referen-referen lainnya, namun masih
dimungkinkan, misalnya, bagi para guru untuk memperlihatkan
kepercayaan tinggi pada kepala sekolah dan kolega namun tidak pada
siswa dan orangtua atau menyatakan kepercayaan yang kuat pada
kolega namun tidak pada kepala sekolah. Kendatipun demikian, ada
kemungkinan untuk mendapatkan gambaran yang baik tentang
kepercayaan kolektif di sekolah dengan mengkaji profil kepercayaan
staf guru pada kepala sekolah, kolega, siswa, dan orangtua.
Prototipe bagi budaya saling percaya di sekolah adalah
prototipe yang kepercayaan staf gurunya tergolong tinggi pada ketiga-
tiga referen. Pertama, para guru mempercayai kepala sekolah. Mereka
percaya bahwa kepala sekolah akan bertindak secara konsisten demi
kepentingan terbaik mereka dan bersifat terbuka, jujur, dan kompeten.
Terlebih-lebih lagi, staf pengajar juga memandang kolega-koleganya
sama kompeten, terbuka, jujur, dan apa adanya dalam interaksi mereka
satu sama lain; guru telah belajar untuk saling bergantung dan menaruh
kepercayaan bahwa kolega-koleganya, bahkan dalam kondisi sulit
sekalipun, tidak akan meng- khianati kepercayaannya. Terakhir, staf
guru secara keseluruhan percaya pada siswa dan orangtua; para guru
percaya bahwa siswa merupakan pembelajar yang kompeten; mereka
mempercayai apa yang dikatakan oleh siswa dan orangtua; mereka
percaya bisa bergantung secara konsisten pada orangtua dan siswa; dan
mereka percaya bahwa orangtua dan siswa itu jujur, terbuka, dan
tulus/apa adanya. Singkat kata, budaya kepercayaan organisasional
yang kuat di sekolah merupakan budaya yang staf gurunya
mempercayai kepala sekolah, anggota guru saling mempercayai satu
sama lain, dan staf guru mempercayai siswa sekaligus orangtua; semua
kelompok bekerja bersama-sama dan bahu membahu.
Kepercayaan staf guru di sebuah sekolah bisa ditentukan
dengan melaksanakan tes Skala-T Omnibus kepada staf guru di
sekolah. Skala dengan 26-butir, dengan grafiks yang bisa digunakan di
tingkat SD, SMP, atau SMA, mengukur ketiga-tiga referen
kepercayaan —kepercayaan staf pengajar pada kepala sekolah, pada
kolega, dan pada siswa dan orangtua. Masing-masing dari tiga subtes
skalanya mengukur kepercayaan staf guru berdasarkan semua aspek
kepercayaan yang dibahas di muka. Lebih jauh lagi, masing-masing
pengukuran sangat terpercaya dan telah memperlihatkan validitas
konstruk dan validitas prediktif (Hoy dan Tschannen- Moran, 2003).
Seluruh Skala-T bisa dibaca daring di www.waynekhoy. com. dan Hoy
dan Tschannen-Moran (2003) telah mempublikasikan detail-detail
teknis tentang perkembangan dan pengujiannya.

5. Budaya Optimisme Akademik


Cara lain untuk mengonsep budaya sekolah adalah dari sudut
optimisme kolektif kepala sekolah dan guru-gurunya. Optimisme
semacam itu merupakan fungsi dari keandalan, kepercayaan staf guru,
dan penekanan akademis sekolah. Tiga sifat kolektif ini tidak hanya
mirip ciri khas dan fungsinya namun juga dampak ampuh dan
positifnya terhadap prestasi siswa; bahkan, dalam kenyataannya, ketiga
sifat di atas bekerja sama secara terpadu untuk menciptakan
lingkungan sekolah yang positif yang disebut optimisme akademis
(Hoy, Tarter, dan Woolfolk Hoy, 2006a, 2006b; McGuigan dan Hoy,
dalam proses cetak; Smith dan Hoy, 2006). Banyak konsepsi
memperlakukan optimisme sebagai sebuah karakteristik kognitif
(Peterson, 2000; Snyder dkk., 2002). Namun, konsepsi mutakhir
tentang optimisme akademis meliputi komponen kognitif, afektif, dan
behavioral. Keandalan kolektif merupakan sebuah kepercayaan
kelompok; keandalan kolektif itu kognitif. Kepercayaan staf guru pada
orangtua dan guru lainnya merupakan respons afektif sekolah,
sedangkan penekanan akademis merupakan penerapan behavioral
keandalan dan kepercayaan.
Optimisme akademis merupakan serangkaian kepercayaan
kolektif tentang kekuatan dan kapabilitas di sekolah yang melukiskan
gambaran yang kaya tentang agensi manusia tatkala optimisme
menjadi tema dominan yang memadukan keandalan dan kepercayaan
dengan penekanan akademis. Sebuah budaya sekolah yang dijiwai oleh
kepercayaan semacam itu memiliki rasa akan probabilitas. Keandalan
menumbuhkan kepercayaan bahwa staf pengajar bisa memberikan
sumbangsih positif bagi pembelajaran siswa; guru mempercayai
dirinya sendiri. Kepercayaan staf pengajar pada siswa dan orangtua
mencerminkan kepercayaan bahwa guru, orangtua, dan siswa bisa
bekerja sama untuk meningkatkan pembelajaran, artinya, staf pengajar
mempercayai siswa-siswanya. Penekanan akademis merupakan
perilaku yang terejawantahkan yang dipicu oleh dua kepercayaan di
atas, artinya, staf pengajar memusatkan perhatian pada kesuksesan
siswa dalam dunia akademis. Oleh karena itulah, sebuah sekolah
dengan optimisme akademis tinggi melahirkan sebuah
budaya/kebudayaan yang staf pengajarnya percaya bahwa mereka bisa
memberikan sumbangsih, bahwa siswa bisa belajar, dan performa
akademis bisa dicapai (Hoy, Tarter, dan Woolfolk Hoy, 2006b). Tiga
aspek optimisme kolektif ini berinteraksi satu sama lain (lihat Gambar
5.3). Sebagai contoh, kepercayaan staf guru pada orangtua dan siswa
sesungguhnya memfasilitasi rasa keandalan kolektif, dan keandalan
kolektif memperkuat kepercayaan. Demikian pula, ketika staf guru
mempercayai orangtua, maka guru percaya dirinya bisa menekankan
standar akademis lebih tinggi tanpa cemas bahwa orangtua akan
merongrongnya, sedangkan penekanan pada standar akademis tinggi
pada gilirannya memperkuat kepercayaan staf guru pada orangtua dan
siswa. Terakhir, ketika staf pengajar secara keseluruhan percaya bisa
mengorganisir dan melaksanakan tindakan-tindakan yang diperlukan
untuk menimbulkan efek positif bagi prestasi siswa, maka mereka akan
menekankan prestasi akademis, sedangkan penekanan akademis pada
gilirannya memperkuat rasa keandalan kolektif yang kuat. Singkat
kata, semua aspek optimisme akademis berada dalam hubungan
transaksional satu sama lain dan berinteraksi untuk menciptakan
budaya optimisme akademis di sekolah.
Penelitian Bryk dan Snyder (2002) tentang saling percaya di
kalangan sekolah-sekolah perkotaan menghubungkan saling percaya
antar pribadi dengan prestasi, tetapi para peneliti menyatakan bahwa
saling percaya hanya memiliki pengaruh yang tidak langsung terhadap
prestasi. Mereka berpendapat bahwa saling percaya membantu
perkembangan serangkaian kondisi sekolah, yang pada gilirannya
langsung mendorong prestasi siswa yang lebih tinggi. Mereka terutama
mengemukakan bahwa kondisi organisasi berikut membantu
mempertinggi perkembangan prestasi siswa:
1. Sikap guru "dapat bekerja" dan tanggung jawab internal.
2. Menjangkau dan berkolaborasi dengan para orangtua.
3. Komunitas profesional - praktik kerja kolaboratif dan
ekspektasi serta standar akademis yang tinggi.
4. Komitmen dengan komunitas sekolah.
Gambar : Optimisme Akademik

Apa yang sedang dijelaskan oleh Bryk dan Schneider tentang


kondisi sekolah yang mendorong pembelajaran adalah sangat mirip
dengan elemen-elemen optimisme akademik (Forsyth, Adams, dan
Hoy 2011; Hoy dalam proses). Pada kenyataannya, sebagian besar
kondisi organisasi yang diidentifikasi oleh Bryk dan Schneider
langsung memetakan elemen- elemen dasar yang menyusun optimisme
akademik. "Sikap dapat bekerja" dari kelompok didefinisikan oleh
keandalan kolektif. Menjangkau dan bekerja sama dengan para
orangtua dilingkupi oleh saling percaya kolektif pada para orangtua
dan siswa. Komunitas profesional menyangkut praktik kerja
kolaboratif dan ekspektasi serta standar akademis yang tinggi
digabungkan menjadi iklim penekanan akademik. Dengan kata lain,
budaya optimisme akademik mencakup kondisi organisasi yang
dikatakan oleh Byrk dan Schneider mendorong prestasi siswa.
Gambar : Kondisi sekolah yang mendorong prestasi siswa

Anda mungkin bertanya, "Apa yang dibawa budaya optimisme


akademik ke pemahaman kita bahwa elemen-elemen individual dari
saling percaya kolektif, keandalan kolektif, dan penekanan akademis
sudah tidak dibawa?" Pertama, seperti yang telah diterangkan di atas,
optimisme akademis menyatukan kepada satu konsep kondisi sekolah
yang telah ditemukan melalui bertahun-tahun penelitian untuk
memperbaiki pembelajaran siswa. Penelitian tersebut (Bryk dan
Schneider, 2002; Forsyth, Adams, dan Hoy, 2011; dan Hoy, dalam
proses cetak) memetakan suatu teori dinamika tentang bagaimana
kondisi sekolah mendorong prestasi siswa, yang mempunyai implikasi
penting untuk memperbaiki sekolah. Model kami pastinya (Gambar
5.2) dan penjelasannya hanya merupakan permulaan dan bukan akhir,
tetapi teori jelas menunjukkan cara bagi penelitian dan praktik di masa
yang akan datang.
Dalam optimisme akademik, kita mempunyai peta jalan praktis
untuk memandu ke arah perbaikan sekolah dan siswa. Budaya
optimisme akademik paling tidak memberikan tiga jalur yang berbeda,
tetapi terkait untuk mempertinggi prestasi akademik: membantu
membangun keandalan kolektif, menciptakan saling percaya kolektif,
dan memperkuat penekanan akademis. Sebagai contoh, cara yang
bagus untuk mendorong keandalan kolektif adalah dengan
menciptakan situasi di mana para guru dan siswa (1) mengalami
prestasi akademik, (2) melihat model-model keberhasilan dalam
lingkungan yang bebas dari tekanan yang tidak diperlukan, dan (3)
diajak oleh yang lain untuk meyakini diri mereka sendiri dan
kemampuannya (Bandura, 1997; Goddard, LoGerfo, dan Hoy, 2004).
Lebih lanjut, kepercayaan para staf guru kepada para siswa dan
orangtua dapat diciptakan dengan proyek pertukaran dan saling kerja
sama, baik formal dan informal, di antara para orangtua dan guru
(Hoy, Tarter, dan Woolfolk Hoy, 2006b; Forsyth, Adams, dan Hoy,
2011).
Kepala sekolah harus merupakan pemimpin intelektual sekolah
dan mendorong iklim di mana keberhasilan akademis merupakan
tujuan dasar. Sekolah harus merayakan keberhasilan intelektual dan
akademis. Namun, keberatan sedang mengantri. Intervensi apa pun
untuk meningkatkan salah satu elemen optimisme akademis juga harus
bersifat mendukung kedua elemen lainnya. Sebagai contoh, strategi
untuk memperkuat pengelompokan atau standar yang lebih tinggi,
dapat mengurangi saling percaya di antara para guru, siswa, dan
orangtua. Hindari memperkuat satu elemen optimisme akademik
dengan mengorbankan elemen lainnya; tindakan ini bersifat
kontraproduktif. Gunakan ketiga kriteria kepercayaan kolektif,
keandalan kolektif, dan penekanan akademis untuk menilai perubahan
yang memungkinkan. Tanpa mengabaikan intervensi, pastikan bahwa
sekolah tidak mengorbankan satu kriteria pun.
Pada level teoretis, budaya optimisme adalah kekuatan besar
untuk perbaikan. Seligman (1998,2011) adalah orang pertama yang
menantang pandangan tradisional tentang prestasi dan keberhasilan
sebagai fungsi bakat dan motivasi. Ia memberikan bukti untuk ketiga
faktor dasar dalam keberhasilan - yaitu optimisme. Ia memberikan
contoh bahwa optimisme sama pentingnya dengan bakat atau motivasi
dalam keberhasilan; optimisme yang dipelajari menggerakkan para
individu pada dinding pesimisme yang dipelajari. Pesimisme adalah
penghambat utama keberhasilan. Seperti yang telah diterangkan di
bagian lain (Hoy, Tarter, dan Woolfolk Hoy, 2006b), pesimisme pada
level individu dan organisasi mengarah ke rasa tanpa harapan dan
kesia-siaan. Pesimisme di sekolah mendorong ke kepasrahan yang
membosankan sehingga anak-anak tersebut tidak dapat belajar dan
tidak ada yang dapat dilakukan guru tentang hal itu. Sayangnya,
pandangan ini menghancurkan dan mengekalkan diri. "Pesimisme juga
melahirkan ketakutan dan fokus pada menghindari kesalahan, yang
menghambat keberanian dan inovasi terus-menerus serta kegigihan"
(Hoy, dan proses cetak). "Kebalikannya, optimisme akademik
memandang para guru karena mampu, para siswa karena bersedia, para
orangtua sebagai pendukung, dan tugas sebagai sesuatu yang dapat
dicapai" (Hoy, Tarter, dan Woolfolk Hoy, 2006a, hlm. 40).
Singkat kata, budaya optimisme akademis menyelamatkan
penyelenggara sekolah dan staf pengajar dari kungkungan pesimisme
dan kesia-siaan yang dipelajari. Optimisme akademis menciptakan
sebuah budaya dengan kepercayaan dan norma kolektif yang
memandang guru sebagai yang cakap, siswa sebagai yang tulus,
orangtua sebagai yang mendukung, dan kesuksesan akademis sebagai
hal yang bisa dicapai. Untuk mengukur optimisme akademis sekolah
Anda, kunjungi www.waynekhoy.com. Selain itu, ukuran optimisme
akademis terbaru tentang para guru individual dan para siswa
individual juga telah dikembangkan (Beard, Hoy, Woolfolk Hoy,
2010; Fahy, Wu, dan Hoy, 2010; Forsyth, Adams, dan Hoy, 2011;
Woolfolk Hoy, Hoy, dan Kurtz, 2008) dan diposting di www.
waynekhoy.com.
6. Perubahan Budaya di Sekolah
Sebagian besar anggota organisasi dapat menuliskan daftar
norma-norma yang berjalan di kelompok kerja mereka dan bahkan
menyarankan norma- norma baru yang akan lebih efektif untuk
memperbaiki produktivitas atau moral (Kilmann, Saxton, dan Serpa,
1985). Sejumlah cara dapat digunakan untuk memunculkan norma-
norma aktual, tetapi biasanya para peserta enggan untuk menentukan
norma-norma kecuali mereka percaya diri bahwa informasi tidak akan
digunakan melawan mereka atau organisasi. Dengan demikian,
anonimitas dan kerahasiaan responden sangat penting dalam
mengidentifikasi norma-norma yang menonjol dalam organisasi.
Kilmann dan rekan-rekannya (1985) berhasil menggunakan
kelompok-kelompok kecil dalam setting workshop untuk menjelaskan
norma- norma. Ia menyatakan bahwa hanya dengan sedikit dorongan
dan gambaran untuk menyuruh kelompok memulai, para anggota
dengan cepat mulai menghitung banyak norma; bahkan, mereka
senang karena mampu menerjemahkan apa yang sebelumnya tidak
dinyatakan secara resmi dan jarang dibahas.
Norma-norma yang berlaku memetakan "cara hal-hal" seputar
organisasi. Tentu saja, pernyataan norma-norma sering dimulai dengan
"di sekitar sini". Sebagai contoh, "Di sini, tidak masalah untuk
mengakui kesalahan, selama Anda tidak mengulanginya lagi." Norma-
norma utama organisasi biasanya terkait dengan bidang-bidang penting
seperti kontrol, dukungan, inovasi, relasi sosial, penghargaan, konflik,
dan standar keunggulan. Untuk mulai mengidentifikasi norma-norma
sekolah, para guru dapat diminta untuk menuliskan pandangan-
pandangan mereka tentang sekolah menyangkut pernyataan "di sekitar
sini". Sebagai contoh, mereka diminta untuk menyelesaikan
pernyataan-pernyataan berikut:
1. Di akhir rapat staf guru, setiap orang ...
2. Di sini, dasar sebenarnya bagi penghargaan ...
3. Di sini, kontrol para siswa ...
4. Di sini, keputusan dicapai melalui ...
5. Di sini, menanggung risiko ...
6. Di sini, perbedaan opini ditangani oleh ...
7. Di sini, standar prestasi ...
8. Di sini, kami menangani masalah dengan ...
Kilmann (1984) merekomendasikan prosedur lima langkah
berikut sebagai strategi perubahan norma:
• Norma-norma yang muncul. Para guru, biasanya dalam
workshop, mengidentifikasi norma-norma yang memandu sikap
dan perilaku mereka.
• Jelaskan arah baru. Para guru membahas ke mana sekolah
diarahkan dan mengidentifikasi arah baru yang diperlukan
untuk kemajuan.
• Menetapkan norma-norma baru. Para guru mengidentifikasi
serangkaian norma baru yang mereka percaya akan mengarah
pada perbaikan dan keberhasilan organisasi.
• Mengidentifikasi kesenjangan budaya. Para guru menguji
ketidaksesuaian antara norma-norma aktual (langkah 1) dan
norma- norma yang diharapkan (langkah 3). Ketidaksesuaian
ini adalah kesenjangan budaya; semakin besar kesenjangan,
maka semakin memungkinkan norma-norma yang ada menjadi
tidak berfungsi.
• Menutup kesenjangan budaya. Tindakan menuliskan norma-
norma baru sering kali mengakibatkan banyak anggota
kelompok mengadopsi norma-norma baru dan norma yang
diharapkan (Kilmann, 1984). Tetapi para guru sebagai sebuah
kelompok juga harus sepakat bahwa norma-norma yang
diinginkan akan menggantikan norma-norma lama dan bahwa
perubahan akan dimonitor dan dikuatkan. Pertemuan-
pertemuan guru berikutnya kemudian dapat digunakan untuk
menegakkan norma-norma baru dan mencegah kemunduran
menuju norma-norma dan praktik- praktisi lama.
John Miner (1988) mencatat bahwa proses ini khususnya
bermanfaat dalam mengidentifikasi dan mengubah aspek-aspek negatif
budaya organisasi. Sebagai contoh, norma-norma negatif yang
ditimbulkan pada langkah 1 dapat digantikan oleh norma-norma yang
lebih diinginkan yang diidentifikasi pada langkah 3, sebagai berikut:
• Dari: Jangan mengacau keadaan; jangan bersedia mengerjakan
segala hal yang berlebihan; jangan berbagi informasi; jangan
beritahukan kepada kolega atau atasan Anda segala hal yang
tidak ingin mereka dengar.
• Ke: Eksperimen dengan ide-ide baru; membantu lainnya ketika
mereka memerlukan bantuan; berkomunikasi secara terbuka
dengan para kolega Anda; gigih dalam mengidentifikasi
masalah.
Miner (1988) berpendapat bahwa pendekatan kelompok ini ke
perubahan budaya mungkin lebih bermanfaat untuk mengidentifikasi
aspek- aspek disfungsional budaya daripada menghasilkan perubahan
nyata, dan Schein (1985) menuduh bahwa proses ini paling banyak
berhubungan dengan aspek-aspek superfisial budaya. Namun
demikian, proses lima langkah Kilmann terlihat sebagai saran yang
bermanfaat untuk membantu kelompok guru dalam mendapatkan
informasi khsus tentang lingkungan tempat kerja mereka untuk
mengembangkan rencana perubahan. Deal dan Peterson (2009)
memberikan perspektif lain yang menarik tentang pembentukan
budaya sekolah, yang mungkin bermanfaat untuk para kepala sekolah.
BAB III
PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai