Oleh :
A. LATAR BELAKANG
Perilaku dalam organisasi bukan semata-mata fungsi dari
ekspektasi formal sekaligus kebutuhan dan motivasi individual! Hubungan
di antara elemen-elemen ini berciri dinamis. Para partisipan menghadirkan
serangkaian nilai, kebutuhan, tujuan, dan kepercayaan uruknya ke tempat
kerja. Karakteristik individual ini menjembatani aspek-aspek rasional
kehidupan organisasional. Terlebih lagi, rasa identitas kolektif pun tumbuh
yang mengubah agregat sederhana individu menjadi "kepribadian" tempat
kerja yang berbeda.
Rasa betah dengan tempat kerja ini telah dianalisis dan dipelajari
dalam beragam nama, di antaranya "karakter organisasional," "milieu,"
"atmosfer," "ideologi," "iklim," "budaya," "sistem baru," dan "organisasi
informal:" Analisis kami tentang lingkungan tempat kerja internal akan
menyoroti dua konsep yang saling terkait —budaya organisasi dan iklim
organisasi. Masing-masing dari dua konsep ini menunjukkan sisi alami,
spontan, dan manusiawi dari organisasi; masing-masing konsep
menunjukkan bahwa seluruh bangunan organisasional itu lebih besar
daripada jumlah bagian-bagiannya; dan masing-masing konsep berupaya
menyingkap makna dan aturan tak tertulis bersama yang memandu
perilaku organisasional.
Perhatian pada budaya kelompok kerja bukanlah barang baru.
Seperti yang telah kita ketahui, pada 1930-an dan 1940-an, Elton Mayo
(1945) dan Chester Bamard (1938) menekankan pentingnya norma,
sentimen, nilai, dan interaksi baru kelompok kerja di tempat kerja sewaktu
keduanya memaparkan hakikat dan fungsi organisasi informal. Philip
Selznick (1957) memperluas analisis kehidupan organisasional dengan
memandang organisasi sebagai institusi, bukan semata-mata organisasi
rasional. Institusi, menurut Selznick (1957, hlm. 14), "dijiwai oleh nilai di
luar tuntutan teknis yang dihadapi:" Peleburan/penjiwaan nilai ini
membuahkan identitas khas bagi organisasi; peleburan nilai menentukan
karakter organisasi. Selznick (1957) melanjutkan uraiannya:
Setiap kali individu melekat dengan sebuah organisasi atau
cara mengerjakan segala sesuatunya lebih sebagai orang daripada
teknisi, maka hasilnya berupa perhatian pada peranti kerjanya demi
peranti itu sendiri. Dari sudut pandang orang yang berkomitmen,
organisasinya berubah dari alat yang bisa dimanfaatkan menjadi
sumber berharga bagi kepuasan pribadi. Ketika institusionalisasi
lumayan maju, maka pandangan, kebiasaan, dan komitmen-
komitmen lain yang berbeda pun berpadu, yang mewarnai semua
aspek kehidupan organisasional dan menumbuhkan integrasi sosial
yang bergerak melampaui koordinasi dan komando formal, (hlm.
14)
Harus diakui bahwa rumusan organisasi sebagai institusi ala
Selznicklah, masing-masing dengan kompetensi dan karakter
organisasional khasnya, yang memberikan landasan bagi analisis
kontemporer organisasi sebagai budaya (Peters dan Waterman, 1982).
Budaya organisasi merupakan satu upaya untuk mewujudkan
perasaan, kesan, atmosfer, karakter, atau sosok sebuah organisasi. Budaya
organisasi mencakup banyak pandangan sebelumnya tentang organisasi
informal, norma, nilai, ideologi, dan sistem baru. Popularitas terma
"budaya organisasi" sebagian merupakan fungsi dari sejumlah buku
populer yang mengulas tentang perusahaan bisnis yang sukses yang
muncul pada 1980-an (Peters dan Waterman, 1982; Deal dan Kennedy,
1982; Ouchi, 1981). Kesimpulan dasar dari semua analisis ini adalah
bahwa organisasi yang efektif memiliki budaya korporat yang kuat dan
unik dan bahwa fungsi dasar kepemimpinan eksekutif adalah membentuk
budaya organisasi.
Organisasi merupakan respons terhadap dan alat penciptaan nilai
untuk memuaskan kebutuhan manusia. Penciptaan nilai dilaksanakan
melalui proses produksi. Organisasi mendapatkan input dari lingkungan
eksternalnya berupa bahan mentah, tenaga kerja, modal, mesin, peralatan,
dan sebagainya. Bahan-bahan input tersebut diproses dalam lingkungan
internalnya. Fungsi proses produksi mencakup:
1. transformasi input menjadi barang dan jasa baru;
2. penciptaan sinergi; dan
3. penciptaan nilai tambah dalam bentuk:
a) sinergi input menjadi barang atau jasa baru;
b) kegunaan output untuk lingkungan eksternal yang berbeda dari
kegunaan input;
c) kemungkinan mendapatkan profit margin.
Dengan penciptaan nilai tambah ini, organisasi dan lingkungan
eksternalnya dapat menciptakan keuntungan, sehingga terciptalah suatu
produk baru (barang dan jasa) yang diperlukan masyarakat yang berada di
lingkungan eksternalnya. Dengar, demikian, masyarakat dapat
berkembang.
Organisasi dipimpin oleh pemimpin yang memimpin anggotanya
untuk mencapai tujuan organisasi. Pemimpin dapat berupa para pemimpin
birokrasi (eselon- eselon birokrasi) atau pengurus organisasi. Dalam
memimpin anggotanya, pemimpin menggunakan suatu pola
kepemimpinan. Pola kepemimpinan suatu organisasi berbeda dengan pola
kepemimpinan organisasi lainnya. Misalnya, sama-sama organisasi
dakwah Islam, pola kepemimpinan Muhammadiyah berbeda dengan pola
kepemimpinan Nahdatul Ulama. Demikian juga, kepemimpinan di Gereja
Advent berbeda dengan kepemimpinan di Gereja Christian Science atau di
Gereja Mormon, walaupun ketiganya merupakan organisasi gereja
Kristen. Begitu pula, kepemimpinan di perusahaan Hero Supermarket
berbeda dengan kepemimpinan di perusahaan Makro.
Sebagai suatu sistem sosial, organisasi merupakan sistem terbuka.
Indikator sistem terbuka terlihat dari garis batas sistemnya yang tidak
solid, tetapi bercelah. Melalui celah tersebut, apa yang ada dan terjadi
dalam lingkungan eksternal organisasi dapat memengaruhi lingkungan
internalnya. Misalnya, suatu perusahaan dipengaruhi inflasi yang terjadi di
lingkungan eksternalnya. Demikian juga, peraturan dan kebijakan
pemerintah dapat memengaruhi perkembangan perusahaan. Sebaliknya,
apa yang terjadi dalam lingkungan internal organisasi dapat memengaruhi
lingkungan eksternalnya. Misalnya, barang dan jasa yang diproduksi di
lingkungan internal organisasi dapat memengaruhi kesejahteraan hidup
masyarakat yang ada di lingkungan eksternal organisasi.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. KONSEP BUDAYA ORGANISASI
1. Definisi Budaya Organisasi
Pandangan tentang budaya menghadirkan kompleksitas dan
kebingungan konseptual. Tidak ada definisi yang utuh dan terpadu
tentang kebudayaan dari antropologi; justru sebaliknya, kita
menemukan beraneka- ragam definisi. Oleh karena itulah, tidaklah
mengherankan apabila ada banyak definisi tentang budaya Organisasi.
Perhatikan berikut ini:
William Ouchi (1981, hlm. 41) mendefinisikan budaya
organisasi sebagai "simbol, upacara, dan mitos yang
mengkomunikasikan aneka nilai dan kepercayaan dasar
organisasi yang bersangkutan kepada para karyawannya."
Henry Mintzberg (1989, hlm. 98) menyebut budaya sebagai
ideologi organisasi, atau "tradisi dan kepercayaan sebuah
organisasi yang membedakannya dengan organisasi-organisasi
lain dan menghembuskan ruh tertentu ke dalam kerangka
strukturnya."
Namun, Edgar Schein (1992,1999) menyatakan bahwa budaya
f seyogianya dikhususkan bagi "tingkat lebih dalam dari
asumsi, nilai, dan kepercayaan dasar" yang menjadi milik
bersama dan diterima apa adanya selagi organisasinya terus
menuai sukses.
Definisi umum kami tentang budaya organisasi adalah sebuah
sistem orientasi bersama yang mempersatukan unitnya dan
memberinya identitas khusus. Namun, muncul ketidaksepakatan besar
seputar apa saja yang dimiliki/ dianut bersama —norma, nilai, filsafat,
perspektif, kepercayaan, ekspektasi, sikap, mitos, atau upacara.
Permasalahan lainnya adalah penentuan intensitas orientasi bersama
dari anggota-anggota organisasi. Apakah organisasi memiliki satu
budaya dasar ataukah banyak kebudayaan? Terlebih-lebih lagi, muncul
ketidaksepakatan seputar tingkat kesadaran dan keterbukaan
organisasi, ataupun ketaksadaran dan ketertutupannya.
Teori-teori manajemen modern menekankan pentingnya
perilaku pelaku manajerial dalam melaksanakan tugasnya. Perilaku
tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh budaya organisasi. Baik atau
buruknya layanan manajerial ditentukan oleh perilaku pelaku
manajerial. Puas atau tidaknya konsumen, pelanggan, nasabah, atau
klien tergantung pada perilaku pemberi layanan. Inilah sebabnya
budaya organisasi merupakan bagian bidang manajemen yang
mendapat perhatian khusus dari para peneliti dan penulis manajemen.
Satu cara untuk mulai mengurai sebagian permasalahan definisi
adalah dengan memandang budaya dari tingkat yang berbeda. Seperti
yang tersaji dalam gambar, budaya terwujud dalam norma, nilai
bersama, dan asumsi dasar, yang masing-masingnya berlangsung di
tingkat kedalaman dan abstraksi yang berbeda.
B. BUDAYA SEKOLAH
1. Budaya Sekolah
Terrence Deal (1985) menyatakan bahwa sekolah yang efektif
memiliki budaya yang kuat dengan karakteristik berikut ini:
1. Nilai-nilai bersama dan konsensus tentang "cara kita
menyelesaikan segala urusan di sekitar kita."
2. Kepala sekolah sebagai pahlawan yang mewujudkan nilai-nilai
utama
3. Ritual unik yang mewujudkan kepercayaan yang dianut secara
luas.
4. Karyawan sebagai pahlawan situasional.
5. Ritual akulturasi dan pembaruan budaya.
6. Ritual yang signifikan untuk menjunjung tinggi dan mengubah
nilai- nilai utama.
7. Keseimbangan antara inovasi dengan tradisi dan antara
otonomi dengan kontrol.
8. Partisipasi luas dalam ritual budaya.
2. Budaya Kontrol
Cara lain untuk mengonsep budaya sekolah adalah dari sudut
kepercayaan dominan yang sama-sama dianut oleh guru dan kepala
sekolah tentang pengontrolan siswa. Willard Waller (1932), dalam
salah satu penelitian sistematis pertamanya tentang sekolah sebagai
sebuah sistem sosial, meminta perhatian pada pentingnya kontrol siswa
terkait dengan aspek struktural sekaligus normatif budaya sekolah.
Bahkan sebagian besar penelitian yang telah memusatkan perhatian
pada sekolah sebagai sebuah sistem sosial telah melukiskan
(munculnya) subbudaya siswa antagonistik, konflik kehadiran, dan
permasalahan siswa (Gordon, 1957; Coleman, 1961; Willower dan
Jones, 1967).
Kontrol siswa merupakan aspek utama kehidupan sekolah.
Dengan mempertimbangkan sifat mencoloknya, konsep ini bisa
digunakan untuk membedakan jenis-jenis sekolah. Konseptualisasi
kontrol siswa dalam penelitian oleh Donald J. Willower, Terry I.
Eidell, dan Hoy (1967) di Pennsylvania State University memberikan
landasan bagi perspektif semacam itu.2 Para peneliti Penn State
mendalilkan sebuah kontinum kontrol siswa dari corak pembinaan
hingga humanistik. Prototipe dari kedua ekstrem ini dirangkum secara
singkat berikut ini.
Model bagi budaya pembinaan adalah sekolah tradisional, yang
menghadirkan setting yang kaku dan sangat terkontrol yang
mengutamakan pelanggengan ketertiban. Para siswa distereotipekan
berdasarkan tampilan fisik, perilaku, dan status sosial orangtuanya.
Guru yang menganut orientasi pembinaan memandang sekolah sebagai
sebuah organisasi otokratis dengan hierarki status guru-siswa yang
kaku. Arus kekuasaan dan komunikasi bersifat sepihak dan dari atas ke
bawah; siswa harus menerima keputusan gurunya bulat-bulat. Guru
tidak berupaya memahami perilaku siswa namun justru memandang
perilaku nakal sebagai serangan pribadi. Guru memandang siswa
sebagai orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak berdisiplin yang
harus dikontrol melalui sanksi- sanksi yang menghukum.
Impersonalitas, sinisme, dan ketidakpercayaan penuh prasangka
mewarnai atmosfer sekolah bercorak pembinaan.
Model bagi budaya humanistik adalah sekolah yang
dikonsep/dipandang sebagai sebuah komunitas pendidikan tempat para
siswa belajar melalui interaksi dan pengalaman kooperatif. Model ini
memandang pembelajaran dan perilaku dari kacamata psikologis dan
sosiologis. Model ini mengganti kontrol guru yang ketat dengan
kedisiplinan diri. Orientasi humanistik mengantar menuju atmosfer
demokratis dengan arus komunikasi dua arah antara siswa dengan guru
dan meningkatnya kebebasan menentukan nasib sendiri. Terma
"orientasi humanistik" digunakan dalam pengertian sosiopsikologis
seperti yang dinyatakan oleh Erich Fromm (1948); orientasi
humanistik menekankan pentingnya individu dan pen- ciptaan
atmosfer yang memenuhi kebutuhan siswa.
Orientasi kontrol siswa dari sebuah sekolah bisa diukur dengan
menjajaki orientasi individual para staf profesional sekolahnya dengan
menggunakan formulir Ideologi Kontrol Siswa (PCI/Pupil Control
Ideology) (Willower, Eidell, dan Hoy, 1967; Hoy, 2001). Untuk
salinan PCI dan petunjuk pemberian skor, kunjungi
www.waynekhoy.com.
Appleberry dan Hoy (1969) ataupun Hoy dan Clover (1986)
menemukan bahwa humanisme dalam orientasi kontrol siswa sekolah
dan keterbukaan iklim organisasi sekolah ternyata berkorelasi sangat
kuat. Hoy dan Appleberry (1970) membandingkan sekolah paling
humanistik dengan sekolah paling membina berdasarkan profil iklim
sekolahnya. Sekolah dengan orientasi kontrol siswa pembinaan
ternyata memiliki keacuhtakacuhan guru yang secara signifikan lebih
besar, tingkat semangat lebih rendah, dan pengawasan lebih ketat oleh
kepala sekolah daripada sekolah dengan orientasi kontrol-siswa
humanistik. Orientasi kontrol-siswa sebuah sekolah ternyata berkaitan
erat dengan banyak aspek penting kehidupan sekolah.
Perhatikan gambaran umum tentang karakter sekolah yang
muncul dari penelitian berikut ini. Sekolah-sekolah pembinaan
memiliki siswa yang lebih terasing daripada sekolah-sekolah
humanistik (Hoy, 1972), sedangkan sekolah-sekolah humanistik
menghadirkan iklim sosial yang sehat yang mengarah pada
pengembangan citra-diri yang lebih matang bagi siswa (Diebert dan
Hoy, 1977). Terlebih-lebih lagi, persepsi siswa tentang iklim sekolah
humanistik ternyata berkaitan positif dengan mo¬tivasi, pemecahan
masalah, dan kesungguhannya untuk belajar (Lunen- burg, 1983)
sekaligus persepsi positifnya tentang kualitas kehidupan sekolah
(Lunenberg dan Schmidt, 1989). Semakin bersifat pembinaan iklim
se¬kolah, maka semakin besar vandalisme siswa, semakin kasar
insiden, semakin besar kekacauan (Finkelstein, 1998), dan semakin
menghambat kecenderungan struktur sekolahnya (Hoy, 2001).
Bukti pun menunjukkan perlunya sekolah-sekolah publik yang
kurang bersifat pembinaan dan lebih berciri humanistik karena
sekolah-sekolah semacam ini memiliki siswa yang kurang terasing,
lebih puas, dan lebih produktif. Namun, perubahan ke arah humanistik
memang lebih mudah diomongkan daripada dipraktikkan, dan
dipastikan lambat kehadirannya dan sering kali tidak berhasil;
kendatipun begitu, upaya untuk itu sebaiknya ditempuh.
3. Budaya Keandalan
Kepercayaan bersama pada kapabilitas dan kemampuan guru
dan penyelenggara sekolah merupakan bagian penting dari budaya
sebuah sekolah. Keandalan guru kolektif merupakan persepsi bersama
guru di sebuah sekolah bahwa upaya-upaya staf pengajar secara
keseluruhan akan menimbulkan Efek positif terhadap siswa. Menurut
Bandura (1993,1997), keandalan guru kolektif merupakan aset penting
sekolah dari perspektif organisasional karena aset ini membantu
menjelaskan aspek pembeda yang dimiliki oleh sekolah tentang
prestasi siswa. Di tingkat kolektif, budaya keandalan merupakan
seperangkat kepercayaan atau persepsi sosial yang diperkuat,
bukannya dilemahkan, melalui pemanfaatannya dan hal tersebut
memberikan identitas unik kepada sekolahnya.
Seperti yang telah kita ketahui, empat sumber utama informasi
keandalan diri adalah pengalaman penguasaan, pengalaman seperti
merasakan sendiri/ persuasi sosial, dan pembangkitan emosional.
Persis seperti halnya keempat sumber ini penting bagi individu,
keempat-empatnya juga sangat penting dalam pengembangan
keandalan pengajaran kolektif. Pengalaman penguasaan penting bagi
organisasi. Para guru sebagai sebuah kelompok mengalami kesuksesan
dan kegagalan. Kesuksesan membangun kepercayaan kuat pada rasa
keandalan kolektif staf pengajar; kegagalan melemahkannya. Namun
apabila kesuksesan berlangsung sering dan terlalu mudah, maka
kegagalan besar kemungkinan menimbulkan keputusasaan. Rasa
keandalan kolektif yang cepat pulih membutuhkan pengalaman dalam
mengatasi kesulitan melalui upaya yang gigih. Harus diakui bahwa
organisasi belajar melalui pengalaman dan karena¬nya berpeluang
sukses dalam mencapai tujuan-tujuannya (Huber, 1996; Levitt dan
March, 1996).
Pengalaman langsung bukanlah satu-satunya sumber informasi
bagi guru tentang keandalan kolektifnya. Guru juga menyimak cerita
tentang prestasi kolega-koleganya sekaligus kisah sukses sekolah-
sekolah lain. Demikian pula, penelitian sekolah yang efektif
melukiskan karakteristik sekolah-sekolah percontohan. Jadi, persis
sebagaimana pengalaman seperti merasakan sendiri dan pemberian
contoh berfungsi sebagai dua sumber efektif keandalan guru pribadi,
keduanya juga meningkatkan keandalan guru kolektif. Organisasi
belajar dengan mengamati organisasi-organisasi yang lain (Huber,
1996).
Pembentukan Keandalan Kolektif '. Meskipun keempat
sumber informasi di atas sangat penting dalam penciptaan keandalan
kolektif, pengolahan dan interpretasi informasi juga penting. Guru
menilai sesuatu yang dibutuhkannya sewaktu terlibat dalam
pengajaran; kami menyebut proses ini dengan analisis tugas mengajar.
Analisis semacam itu berlangsung di dua tingkat individu dan sekolah.
Di tingkat sekolah, analisisnya membuahkan kesimpulan tentang
tantangan-tantangan mengajar di sekolah bersangkutan, artinya, apa
saja yang dibutuhkan oleh sekolah agar sukses. Pertimbangannya
meliputi kemampuan dan motivasi siswa, ketersediaan materi dan alat
bantu pengajaran, tekanan masyarakat, dan kualitas fasilitas fisik
sekolah sekaligus optimisme umum terhadap kapabilitas sekolah dalam
mengatasi situasi-situasi negatif di rumah siswa sekaligus di sekolah.
Guru menganalisis sarana yang dibutuhkan untuk membuat sekolahnya
sukses, hambatan atau keterbatasan yang harus diatasi, dan sumber
daya yang tersedia. Kemudian guru mengevaluasi tugas mengajar
bersamaan dengan penilaiannya tentang kompetensi mengajar staf
guru; bahkan guru memberikan penilaian eksplisit tentang kompetensi
mengajar kolega-koleganya berdasarkan tugas-tugas mengajar di
bidang keahlian/sekolah spesifik mereka. Di tingkat sekolah, analisis
kompetensi mengajar mengantar menuju kesimpulan tentang
kecakapan mengajar, metode, pelatihan, dan kepakaran staf guru.
Penilaian tentang kompetensi mengajar bisa meliputi kepercayaan staf
pengajar pada kemampuan untuk sukses dari semua anak didik di
sekolah. Karena analisis tentang tugas dan kompetensi mengajar
berlangsung secara serentak, maka tentunya sulit memisahkan dua
domain keandalan mengajar kolektif ini. Kedua domain berinteraksi
satu sama lain seiring dengan kemunculan keandalan guru kolektif.
Singkat kata, pengaruh utama terhadap keandalan guru kolektif
dianggap berupa analisis dan interpretasi tentang keempat sumber
informasi pengalaman penguasaan, pengalaman seperti merasakan
sendiri, persuasi sosial, dan kondisi emosional. Di dalam proses-proses
ini, organisasi memusatkan perhatiannya pada dua domain yang saling
berkaitan: tugas mengajar dan kompetensi mengajar. Kedua domain ini
dinilai berdasarkan apakah organisasinya memiliki kapabilitas untuk
sukses dalam mengajar siswa. Interaksi di antara penilaian-penilaian
ini membentuk keandalan guru kolektif di sebuah sekolah.
Konsekuensi dari keandalan guru kolektif yang tinggi adalah
penerimaan atas tujuan-tujuan yang menantang, upaya organisasional
yang kuat, dan kegigihan yang mengarah pada performa lebih baik.
Tentu saja kebalikannya juga berlaku. Keandalan kolektif lebih rendah
mengarah pada upaya lebih sedikit, kecenderungan untuk menyerah,
dan tingkat performa yang lebih rendah. Proses dan komponen
keandalan guru efektif itu sama dengan proses dan komponen
keandalan guru individual. Seperti yang diperlihatkan oleh gambarnya,
keunggulan performa memberikan umpan balik bagi organisasi, yang
lantas memberikan informasi baru yang lebih lanjut membentuk
keandalan guru kolektif di sekolah. Namun kepercayaan pada tugas
mengajar sekaligus kompetensi mengajar berpotensi tetap tak berubah
kecuali apabila muncul peristiwa dramatis karena, sekali sudah
terbangun, budaya keandalan sebuah sekolah pun menjadi sifat yang
relatif stabil yang membutuhkan upaya besar untuk mengubahnya.
Sesungguhnya relatif mudah untuk memetakan keandalan kolektif
sebuah sekolah karena Goddard dan rekan- rekannya (Goddard, Hoy,
dan Woolfolk Hoy, 2000; Goddard, 2002) telah mengembangkan
beberapa instrumen yang sahih dan terpercaya untuk mengukurnya.
Informasi tentang Skala Keandalan Kolektif (Skala CE), ciri-ciri, dan
petunjuk penetapan skornya bisa dibaca di www.coe. ohio.
state.edu/whov.
Gambar : Model Keandalan Kolektif