Anda di halaman 1dari 10

TUGAS KELOMPOK

PRESPEKTIF CULTURAL APPROACH


Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Komunikasi dan
Pelaku Organisasi, Dosen Pengampu :
Dr. Hj. Purwanti Hadisiwi., M.Ext.Ed
Dr. Hj. Tine Silvana R.,M.Si
Dr. Iwan Koswara, M.Si

RADEN FASHA NURLIDIA 210120160020


SASIMA HADMAD- 210120160026

PROGRAM MAGISTER ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS PADJAJARAN
2016

Budaya organisasi adalah faktor yang menentukan karakteristik suatu organisasi.


Kajian budaya organisasi memiliki nilai signifikan dalam meneliti kinerja sebuah organisasi.
Kajian budaya organisasi menunjukkan bagaimana suatu budaya berkembang di dalam
organisasi, terinternalisasi di dalam perilaku para anggota organisasi, dan memiliki hubungan
dengan kinerja keseluruhan organisasi termaksud. Budaya organisasi satu dengan organisasi
lain relatif berbeda, bergantung pada karakteristik organisasi perusahaan. Dalam hal ini,
organisasi profit memiliki perbedaan budaya dengan organisasi non profit atau, organisasi
pemerintah berbeda budayanya dengan organisasi swasta.

A. Definisi Budaya Organisasi


Sejumlah peneliti telah melakukan kajian seputar konsep budaya organisasi. Walter R.
Freytag mendefinikan budaya organisasi sebagai
... a distint and shared set of conscious and unconscious assumptions and values that binds
organizational members together and prescribes appropriate patters of behavior.
Freytag menitikberatkan pada asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang disadari atau tidak disadari
yang mampu mengikat kepaduan suatu organisasi. Asumsi dan nilai tersebut menentukan
pola perilaku para anggota di dalam organisasi.
Peneliti lain seperti Larissa A. Grunig, et.al., mendefinisikan budaya organisasi
sebagai
... the sum total of shared values, symbols, meaning, beliefs, assumption, and expectations
that organize and integrate a group of people who work together.
Definisi Grunig et.al. ini mirip dengan yang telah disampaikan Freytag sebelumnya, yaitu
bahwa budaya organisasi adalah totalitas nilai, simbol, makna, asumsi, dan harapan yang
mampu mengorganisasikan suatu kelompok orang yang bekerja secara bersama-sama.
Definisi lain, dan ini merupakan definisi dari seorang perintis teori budaya organisasi,
diajukan oleh Edgar H. Schein. Schein menyatakan budaya organisasi sebagai
.... a pattern of shared basic assumption that was learned by a group as it solved its
problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be

considered valid and, therefore, to be taught to new member as the correct way to perceive,
think, and feel in relation to those problem.
Schein menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan sebuah pola asumsi-asumsi dasar
yang bersifat valid dan bekerja di dalam organisasi. Serangkaian asumsi dasar dapat dipelajari
oleh para anggota organisasi. Budaya organisasi mampu bertindak sebagai pemberi solusi
atas masalah organisasi, berperan selaku adaptor terhadap faktor-faktor yang berkembang di
luar organisasi, serta dalam melakukan integrasi internalnya dari para anggotanya.
Definisi yang lebih rinci mengenai budaya organisasi diberikan oleh Matt Alvesson,
bahwa saat bicara mengenai budaya organisasi, maka
... seems to mean talking about the importance for people of symbolism of rituals, myths,
stories and legends and about the interpretation of events, ideas, and experiences tha are
influenced and shaped by the groups within they live. I will also, however, take
organizational culture to include values and assumptions about social reality ...
Bagi Alvesson, pembicaraan mengenai budaya organisasi sulit dilepaskan dari
pembicaraan mengenai pentingnya simbolisme bagi manusia, serta peristiwa, gagasan, dan
pengalaman yang dialami serta dibentuk oleh kelompok di mana seseorang beraktivitas.
Dalam analogi dengan kajian sosiologi, anggota organisasi berposisi sebagai individu
sementara organisasi berposisi sebagai masyarakat. Organisasi membentuk anggota
organisasi agar menyesuaikan diri terhadap budaya yang berkembang di dalam organisasi
sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam organisasi tersebut. Contoh dari budaya
organisasi ini adalah organisasi ketentaraan, dalam mana setiap jam 07.00 WIB para
anggotanya biasa melakukan apel pagi. Ini merupakan ritual di dalam organisasi dan jika
ada anggota yang tidak ikut apel atau terlambat, sanksi-sanksi tertentu akan tertimpa
kepadanya, dan tidak satupun anggota organisasi yang akan memprotesnya. Demikian pula
artifak seperti seragam, topi upacara, ataupun susunan acara melekat pada ritual tersebut.
Ritual seperti organisasi ketentaraan tentunya berbeda dengan organisasi lain, misalnya
organisasi para seniman.
Definisi lain mengenai budaya organisasi diajukan oleh Jan A. Pfister dengan
mengkombinasikan defisini budaya organisasi dari Edgar H. Schein, OReilly, and Chapman.
Pfister mendefinisikan budaya organisasi sebagai: ... a pattern of basic assumptions that a
group has invented, discovered or developed in learning to cope with its problems of external

adaptation and internal integration, which is represented in a system of shared values


defining what is important, and norms, defining appropriate attitudes and behaviors, that
guide each individuals attitude and behaviors.
Bagi Pfister, budaya organisasi memiliki empat karakteristik yaitu : (1) pemahaman bersama
di antara anggota kelompok; (2) interaksi para anggota suatu kelompok; (3) bersifat implisit
ataupun eksplisit; dan (4) didasarkan sejarah serta tradisi. Nilai serta norma yang mengatur
perilaku anggota kelompok adalah kata kunci untuk mengamati budaya organisasi. Nilai
mengimplikasikan apa yang penting atau dijunjung tinggi oleh suatu organisasi sementara
norma merupakan upaya organisasi untuk mengatur perilaku yang diharapkan atas para
anggotanya. Dengan pandangan seperti ini, budaya organisasi adalah relatif dari satu
organisasi ke organisasi lainnya, bergantung pada nilai dan norma yang dikembangkannya.
Hingga titik ini, definisi dari budaya organisasi telah cukup jelas, dalam mana
keseluruhannya rata-rata menekankan pada konsep nilai, norma, asumsi, yang berlaku di
dalam suatu organisasi yang mengatur perilaku individu dalam berpikir ataupun merasa di
dalam organisasi dalam rangka beradaptasi dengan lingkungan eksternal maupun membangun
integrasi internal, dalam mana nilai, norma, dan asumsi tersebut akan disosialisasi dan
diinternalisasi kepada anggota-anggota baru organisasi.

B. Fungsi-fungsi Budaya Organisasi


Menurut Robbins (1996 : 294), fungsi budaya organisasi sebagai berikut :
a. Budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain.
b. Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
c. Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada
kepentingan diri individual seseorang.
d. Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu
dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk dilakukan oleh karyawan.
e. Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan
membentuk sikap serta perilaku karyawan.
C. Ciri-ciri Budaya Organisasi
Menurut Robbins (1996:289), ada 7 ciri-ciri budaya organisasi adalah:

1. Inovasi dan pengambilan resiko. Sejauh mana karyawan didukung untuk menjadi
inovatif dan mengambil resiko.
2. Perhatian terhadap detail. Sejauh mana karyawan diharapkan menunjukkan
kecermatan, analisis dan perhatian terhadap detail.
3. Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen memfokus pada hasil bukannya pada
teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
4. Orientasi orang. Sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek pada
orang-orang di dalam organisasi itu.
5. Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim, ukannya
individu.
6. Keagresifan. Berkaitan dengan agresivitas karyawan.
7. Kemantapan. Organisasi menekankan dipertahankannya budaya organisasi yang
sudah baik.
Dengan menilai organisasi itu berdasarkan tujuh karakteristik ini, akan diperoleh
gambaran majemuk dari budaya organisasi itu. Gambaran ini menjadi dasar untuk
perasaan pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi itu,
bagaimana urusan diselesaikan di dalamnya, dan cara para anggota berperilaku.
D. Lapisan-Lapisan Budaya Organisasi
Dalam mengukur budaya suatu organisasi, seorang peneliti harus mengamati sejumlah
lapisan. Lapisan-lapisan tersebut beranjak dari yang paling dasar hingga yang paling mudah
dilihat. Lapisan-lapisan tersebut juga turut menentukan indikator-indikator yang digunakan
dalam penelitian guna meneliti masalah budaya organisasi.
Salah satu kajian Edgar H. Schein mengenai kaitan antara kepemimpinan dan budaya
organisasi secara awal berupaya mengungkap lapisan-lapisan yang ada di dalam konsep
budaya organisasi. Schein membagi lapisan budaya organisasi menjadi 3 tingkat yaitu :
(1) Artifak;
Artifak adalah seluruh fenomena yang bisa dilihat, didengar, dan dicerap
tatkala seseorang memasuki suatu organisasi baru yang budayanya masih belum
familiar baginya. Artifak dapat dilihat dan bersifat nyata ... anything that one
can see, hear, or feel in the organizational experience, and often the first thing we
notice about an organization when we enter it. Norma-norma, standar-standar,
dan kebiasaan-kebiasaan merupakan artifak layaknya atribut-atribut yang lebih
bersifat fisik seperti pakaian, arsitektur fisik, bahasa, ritual dan upacara. Keyton
memasukkan norma ke dalam lapisan artifak ini.

Norma yang dimaksud Keyton adalah cara dengan mana suatu kolektivitas,
atau kelompok orang, terlibat dalam perilaku rutin. Lebih spesifik lagi, suatu
norma adalah (a) pola komunikasi atau perilaku (b) yang mengindikasikan apa
yang orang seharusnya lakukan di setting tertentu. (c) Ia juga termasuk harapan
kolektif tentang perilaku apa yang seharusnya terjadi atau reaksi apa yang
seharusnya diberlakukan terhadap satu perilaku tertentu. Sebab itu, norma bersifat
formal berupa aturan formal (peraturan organisasi, etika organisasi, tata tertib
organisasi) maupun informal di mana norma tidak dibakukan secara tertulis tetapi
tetap mengatur bagaimana orang seharusnya berbuat ataupun berkomunikasi.
Nilai adalah kecenderungan orang-orang di dalam organisasi untuk
berhubungan satu sama lain dan menentukan pandangan para anggota atas
realitas. Termasuk ke dalam nilai adalah strategi, tujuan, prinsip, atau kualitas
yang bersifat ideal, menyeluruh, serta diinginkan oleh organisasi.
Hasil dari nilai adalah terciptanya pedoman perilaku organisasi. Nilai
kerap diasosiasikan dengan masalah pekerjaan di dalam organisasi yang meliputi
prestise, kesejahteraan, kontrol, otoritas, ambisi, kesenangan, independensi,
kreativitas, kesetaraan, toleransi, respek, komitmen, ataupun kesopanan.
Asumsi

adalah

kepercayaan

yang

diterima

secara

taken-for-

granted,merasuk secara dalam dan para anggota organisasi tidak lagi


mempertanyakannya. Kendati tertanam dalam di suatu organisasi, asumsi bersifat
abstrak, implisit, dan tidak kentara. Misalnya, para anggota organisasi memegang
asumsi mengenai: Kendati tertanam dalam di suatu organisasi, asumsi bersifat
abstrak, implisit, dan tidak kentara. Misalnya, para anggota organisasi memegang
asumsi mengenai: diri mereka misalnya selaku kaum profesional atau pekerja,
dalam hubungan dengan anggota organisasi lain, klien, pelanggan, vendor, atau
stakeholder di luar organisasi, mengenai organisasi mereka sendiri, dan pekerjaan
yang mereka lakukan.

E. Perspektif Budaya Organisasi


Dalam meneliti budaya organisasi, para periset memiliki cara pandang sendiri-sendiri
dalam melakukan proses pengamatan. Perbedaan cara pandang berefek pada perbedaan

ontologi atas hal-hal yang diamati, ukuran-ukuran yang dibuat, prioritas penelitian, dan
tentunya kesimpulan-kesimpulan yang mereka susun. Majken Schultz berupaya melakukan
ikhtisar mengenai cara pandang atau perspektif para peneliti dalam mengamati budaya
organisasi yang meliputi kelompok-kelompok :
A. Variabel atau Metafora;
B. Integrasi, Diferensiasi, dan Ambiguitas;
C. Rasionalitas, Fungsionalisme, dan Simbolisme.
Variabel atau Metafora. Dua perspektif ini mempertentangkan antara pandangan
bahwa organisasi memiliki budaya (variabel) dengan yang memandang bahwa organisasi
adalah budaya itu sendiri (metafora). Organisasi dikatakan punya budaya dan budaya tersebut
dianggap sebagai variabel, sama posisinya dengan variabel-variabel lain seperti struktur,
tugas, aktor, dan teknologi. Budaya dianggap sebagai atribut suatu organisasi, yang secara
khusus didefinisikan sebagai nilai-nilai dan sikap-sikap. Dalam konteks variabel ini, budaya
organisasi dapat dianggap sebagai variabel bebas yang menentukan jalannya organisasi,
ataupun sebagai variabel terikat di mana budaya organisasi adalah variabel yang tumbuh
akibat variabel-variabel lain di dalam organisasi. Sebagai variabel terikat, budaya organisasi
dapat dimanipulasi oleh para anggota organisasi.
Selaku variabel, budaya organisasi dapat diukur dengan menggunakan skala. Skala
yang terbentuk biasanya terdiri atas 2 jenis, yaitu:
A. Budaya yang Kuat atau Lemah, yang mengevaluasi konsistensi dan dampak internal
budaya terhadap para anggota organisasi;
B. Budaya yang Efisien atau Inefisien, yang mengevaluasi budaya dalam hubungannya
dalam pemenuhan tujuan, kemampuan berinovasi, dan kapasitas strategisnya.
Berlawanan dengan perspektif variabel, perspektif metafora menganggap bahwa
organisasi adalah budaya itu sendiri. Perspektif ini memandang organisasi sebagai bentuk
ekspresif, yaitu manifestasi dari kesadaran manusia, manifestasi dari budaya. Organisasi
dipahami dan dianalisa utamanya bukan dalam terma-terma ekonomi atau material melainkan
dalam terma-terma gagasan dan aspek-aspek simbolik. Dalam perspektif metafora, budaya
tidak dapat dibatasi pada variabel tertentu melainkan mem-bypass proses-proses bagaimana
para anggota organisasi menginterpretasikan pengalaman, bagaimana interpretasi ini
diekspresikan, serta bagaimana interpretasi tersebut berhubungan dengan tindakantindakakan keorganisasian.

Integrasi, Diferensiasi, dan Ambiguitas. Perspektif integrasi menekankan pada


konsensus yang konsisten dan luas di dalam organisasi. Bagi perspektif ini, budaya organisasi
terdiri atas nilai serta persepsi, dengan mana identitas keorganisasian menjelaskan fitur
sentral, terus-menerus, dan unik dari budaya organisasi tertentu. Perspektif ini juga
menganggap bahwa manifestasi kultural dapat diinterpretasi secara konsisten dan diperkuat
secara lebih lanjut. Bagi perspektif integrasi, budaya organisasi diasumsikan dimiliki oleh
seluruh anggota organisasi secara bersama-sama. Elemen-elemen budaya bersifat tunggal dan
terdapat budaya yang dominan. Schultz mengungkapkan, analisis mengenai Los Angeles
Olympic Organizing Committee menunjukkan bahwa organisasi tersebut menggunakan
cerita, humor, ritual, perayaan yang diperuntukkan bagi para anggotanya. Dalam perspektif
ini, posisi leader atau pemimpin organisasi cukup kuat dalam mana ia berposisi sebagai aktor
yang mempengaruhi anggota agar menggunakan budaya yang sama. Dari perspektif integrasi,
budaya organisasi adalah monolitik dan dan dapat dilihat secara sama oleh sebagian besar
anggota organisasi dari sudut manapun mereka melihatnya.
Perspektif Diferensiasi memandang budaya organisasi sebagai tengah mengalami
kekurangan konsensus di dalam sejumlah isu lintas sektor organisasi atau kelompok dalam
organisasi (gejala subkultur). Tatkala diferensiasi berpengaruh pada fitur inti budaya
organisasi, maka identitas organisasi menjadi multirupa dan saling bersaing. Kajian
diferensiasi ini tampak dalam persaingan budaya antara departemen riset versus departemen
produksi, misalnya. Departemen Riset cenderung bekerja dalam jangka panjang, sementara
Departemen Produksi cenderung bekerja dalam jangka pendek. Perspektif ini juga fokus pada
manifestasi budaya yang inkonsisten interpretasinya semisal tatkala eksekutif puncak
mengumumkan suatu kebijakan, tetapi diterapkan secara berbeda oleh para anggota.
Konsensus tetap ada, tetapi ada di level subkultur (sub budaya). Aneka sub budaya organisasi
dapat hadir secara harmonis, independen, atau berkonflik satu sama lain. Di dalam sub
budaya, segalanya jelas, ambiguitas dienyahkan. Secara metaforis dapat dikatakan sub
budaya ibarat pulau yang jelas di tengah laut ambiguitas. Perspektif diferensiasi menghendaki
kajian atas budaya dilakukan terutama pada sub budaya suatu organisasi. Kemunculan
diferensiasi budaya dapat dijelaskan lewat siklus rekrutmen pekerja. Tatkala organisasi
berskala kecil, proses rekrutmen cenderung mudah dalam mencari calon pekerja yang sama
budayanya dengan anggota yang sudah ada. Namun, tatkala organisasi membesar, proses
rekrutmen yang mampu merekrut calon pekerja dengan budaya kompatibel (selaras dengan
budaya organisasi yang sedang berkembang) cenderung sulit. Manajemen puncak tidak

terlibat langsung dalam proses, sehingga peluang masuknya anggota baru yang tidak
kompatibel dengan budaya organisasi dominan semakin meningkat.
Perspektif Ambiguitas menyatakan bahwa ambiguitas intrinsik adalah nyata di dalam
setiap budaya organisasi. Kurangnya kejelasan, variasi makna dan kepercayaan, dan
lemahnya kepemimpinan dapat membawa pada situasi chaos. Dalam kondisi chaos ini,
manifestasi budaya jadi multi tafsir dan identitas keorganisasian cenderung didefinisikan
secara oportunistik. Apa yang konsisten bagi seorang anggota mungkin saja tidak bagi
anggota lainnya. Jika perspektif integrasi menganggap konsensus adalah ada, perspektif
diferensiasi menganggap konsensus adalah fluktuatif, maka perspektif ambiguitas
menganggap bahwa budaya organisasi adalah ambigu. Joanne Martin menjelaskan, perspektif
ambiguitas fokus pada penafsiran beragam yang tidak dapat disatukan pada konsensus
budaya organisasi menurut perspektif integrasi dan konsensus sub budaya yang menjadi
tekanan perspektif diferensiasi. Dalam perspektif ambiguitas, pola budaya yang diidentifikasi
tidak pernah muncul dua kali dalam serangkaian pengamatan.
Rasionalisme, Fungsionalisme, Simbolisme. Perspektif Rasionalisme memandang
bahwa budaya organisasi sekadar instrumen untuk pencapaian tujuan organisasi. Perspektif
Fungsionalisme memandang bahwa budaya organisasi adalah pola nilai dan asumsi dasar
bersama yang menjalankan fungsi organisasi dalam beradaptasi dengan lingkungan eksternal
ataupun melakukan integrasi internal. Perspektif Simbolis menyatakan bahwa budaya
organisasi adalah pola simbol dan makna yang dikonstruksi secara sosial di dalam suatu
organisasi.

C. Tipologi Budaya Organisasi


Beranjak dari aneka definisi, lapisan, dan perspektif dalam memandang budaya
organisasi, maka muncul aneka ragam tipologi budaya organisasi. Tujuan tipologi ini
menunjukkan aneka budaya organisasi yang mungkin ada di realitas. Kajian mengenai
tipologi budaya organisasi ini sangat bervariasi.
Tipologi budaya organisasi dapat diturunkan dari tipologi organisasi. Amitai Etzioni
membagi tipe organisasi dengan membuat tabulasi silang antara jenis kekuasaan dengan jenis

keterlibatan individu di dalam organisasi. Jenis kekuasaan ia bagi menjadi Koersif,


Remuneratif, dan Normatif sementara jenis keterlibatan ia bagi menjadi Alienatif, Kalkulatif,
dan Moral.
Koersif adalah kuasa dalam organisasi yang muncul dari penghukuman fisik atau
ancaman penghukuman fisik. Remuneratif muncul dari kendali atas sumber daya dan reward
material. Normatif muncul dari distribusi dan manajemen reward serta penalti simbolik.
Keterlibatan, adalah kecenderungan evaluatif dan emosional dari para aktor terhadap
suatu tindakan. Alienatif adalah keterlibatan yang sangat tidak disetujui. Kalkulatif adalah
keterlibatan yang lemah baik itu setuju atau tidak setuju. Moral adalah keterlibatan yang
sangat disetujui.
Etzioni yakin bahwa cenderung akan ada perimbangan antara keterlibatan dan power
dalam suatu organisasi sehingga pola budaya suatu organisasi adalah persilangan antara
kedua konsep tersebut. Menurut Etzioni, tipe kombinasi yang paling sering muncul dalam
realitas organisasi adalah Koersif-Alienatif, Remuneratif-Kalkulatif, dan Normatif-Moral
yang pada tabel di atas ada dalam domain 1, 5, dan 9. Etzioni melanjutkan bahwa ketiga
domain tersebut merupakan tipe organisasi yang paling efektif. Dari hasil tabulasi silangnya,
Etzioni kemudian mengajukan tipologi organisasinya yaitu : (1) Organisasi Koersif; (2)
Organisasi Utilitarian; dan (3) Organisasi Normatif.
Organisasi Koersif adalah organisasi di mana para anggotanya terperangkap dalam
alasan fisik dan ekonomi sehingga harus mematuhi apapun peraturan yang ditimpakan oleh
otoritas. Organisasi Utilitiarian adalah organisasi di mana para anggota dimungkinkan untuk
bekerja yang adil untuk hasil yang adil pula serta adanya kecenderungan untuk mematuhi
beberapa aturan yang esensial di samping para pekerja menyusun norma dan aturan yang
melindungi diri mereka sendiri. Organisasi Normatif adalah organisasi di mana para
individunya memberi kontribusi pada komitmen karena menganggap organisasi adalah sama
dengan tujuan diri mereka sendiri.

Anda mungkin juga menyukai