considered valid and, therefore, to be taught to new member as the correct way to perceive,
think, and feel in relation to those problem.
Schein menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan sebuah pola asumsi-asumsi dasar
yang bersifat valid dan bekerja di dalam organisasi. Serangkaian asumsi dasar dapat dipelajari
oleh para anggota organisasi. Budaya organisasi mampu bertindak sebagai pemberi solusi
atas masalah organisasi, berperan selaku adaptor terhadap faktor-faktor yang berkembang di
luar organisasi, serta dalam melakukan integrasi internalnya dari para anggotanya.
Definisi yang lebih rinci mengenai budaya organisasi diberikan oleh Matt Alvesson,
bahwa saat bicara mengenai budaya organisasi, maka
... seems to mean talking about the importance for people of symbolism of rituals, myths,
stories and legends and about the interpretation of events, ideas, and experiences tha are
influenced and shaped by the groups within they live. I will also, however, take
organizational culture to include values and assumptions about social reality ...
Bagi Alvesson, pembicaraan mengenai budaya organisasi sulit dilepaskan dari
pembicaraan mengenai pentingnya simbolisme bagi manusia, serta peristiwa, gagasan, dan
pengalaman yang dialami serta dibentuk oleh kelompok di mana seseorang beraktivitas.
Dalam analogi dengan kajian sosiologi, anggota organisasi berposisi sebagai individu
sementara organisasi berposisi sebagai masyarakat. Organisasi membentuk anggota
organisasi agar menyesuaikan diri terhadap budaya yang berkembang di dalam organisasi
sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam organisasi tersebut. Contoh dari budaya
organisasi ini adalah organisasi ketentaraan, dalam mana setiap jam 07.00 WIB para
anggotanya biasa melakukan apel pagi. Ini merupakan ritual di dalam organisasi dan jika
ada anggota yang tidak ikut apel atau terlambat, sanksi-sanksi tertentu akan tertimpa
kepadanya, dan tidak satupun anggota organisasi yang akan memprotesnya. Demikian pula
artifak seperti seragam, topi upacara, ataupun susunan acara melekat pada ritual tersebut.
Ritual seperti organisasi ketentaraan tentunya berbeda dengan organisasi lain, misalnya
organisasi para seniman.
Definisi lain mengenai budaya organisasi diajukan oleh Jan A. Pfister dengan
mengkombinasikan defisini budaya organisasi dari Edgar H. Schein, OReilly, and Chapman.
Pfister mendefinisikan budaya organisasi sebagai: ... a pattern of basic assumptions that a
group has invented, discovered or developed in learning to cope with its problems of external
1. Inovasi dan pengambilan resiko. Sejauh mana karyawan didukung untuk menjadi
inovatif dan mengambil resiko.
2. Perhatian terhadap detail. Sejauh mana karyawan diharapkan menunjukkan
kecermatan, analisis dan perhatian terhadap detail.
3. Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen memfokus pada hasil bukannya pada
teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
4. Orientasi orang. Sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek pada
orang-orang di dalam organisasi itu.
5. Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim, ukannya
individu.
6. Keagresifan. Berkaitan dengan agresivitas karyawan.
7. Kemantapan. Organisasi menekankan dipertahankannya budaya organisasi yang
sudah baik.
Dengan menilai organisasi itu berdasarkan tujuh karakteristik ini, akan diperoleh
gambaran majemuk dari budaya organisasi itu. Gambaran ini menjadi dasar untuk
perasaan pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi itu,
bagaimana urusan diselesaikan di dalamnya, dan cara para anggota berperilaku.
D. Lapisan-Lapisan Budaya Organisasi
Dalam mengukur budaya suatu organisasi, seorang peneliti harus mengamati sejumlah
lapisan. Lapisan-lapisan tersebut beranjak dari yang paling dasar hingga yang paling mudah
dilihat. Lapisan-lapisan tersebut juga turut menentukan indikator-indikator yang digunakan
dalam penelitian guna meneliti masalah budaya organisasi.
Salah satu kajian Edgar H. Schein mengenai kaitan antara kepemimpinan dan budaya
organisasi secara awal berupaya mengungkap lapisan-lapisan yang ada di dalam konsep
budaya organisasi. Schein membagi lapisan budaya organisasi menjadi 3 tingkat yaitu :
(1) Artifak;
Artifak adalah seluruh fenomena yang bisa dilihat, didengar, dan dicerap
tatkala seseorang memasuki suatu organisasi baru yang budayanya masih belum
familiar baginya. Artifak dapat dilihat dan bersifat nyata ... anything that one
can see, hear, or feel in the organizational experience, and often the first thing we
notice about an organization when we enter it. Norma-norma, standar-standar,
dan kebiasaan-kebiasaan merupakan artifak layaknya atribut-atribut yang lebih
bersifat fisik seperti pakaian, arsitektur fisik, bahasa, ritual dan upacara. Keyton
memasukkan norma ke dalam lapisan artifak ini.
Norma yang dimaksud Keyton adalah cara dengan mana suatu kolektivitas,
atau kelompok orang, terlibat dalam perilaku rutin. Lebih spesifik lagi, suatu
norma adalah (a) pola komunikasi atau perilaku (b) yang mengindikasikan apa
yang orang seharusnya lakukan di setting tertentu. (c) Ia juga termasuk harapan
kolektif tentang perilaku apa yang seharusnya terjadi atau reaksi apa yang
seharusnya diberlakukan terhadap satu perilaku tertentu. Sebab itu, norma bersifat
formal berupa aturan formal (peraturan organisasi, etika organisasi, tata tertib
organisasi) maupun informal di mana norma tidak dibakukan secara tertulis tetapi
tetap mengatur bagaimana orang seharusnya berbuat ataupun berkomunikasi.
Nilai adalah kecenderungan orang-orang di dalam organisasi untuk
berhubungan satu sama lain dan menentukan pandangan para anggota atas
realitas. Termasuk ke dalam nilai adalah strategi, tujuan, prinsip, atau kualitas
yang bersifat ideal, menyeluruh, serta diinginkan oleh organisasi.
Hasil dari nilai adalah terciptanya pedoman perilaku organisasi. Nilai
kerap diasosiasikan dengan masalah pekerjaan di dalam organisasi yang meliputi
prestise, kesejahteraan, kontrol, otoritas, ambisi, kesenangan, independensi,
kreativitas, kesetaraan, toleransi, respek, komitmen, ataupun kesopanan.
Asumsi
adalah
kepercayaan
yang
diterima
secara
taken-for-
ontologi atas hal-hal yang diamati, ukuran-ukuran yang dibuat, prioritas penelitian, dan
tentunya kesimpulan-kesimpulan yang mereka susun. Majken Schultz berupaya melakukan
ikhtisar mengenai cara pandang atau perspektif para peneliti dalam mengamati budaya
organisasi yang meliputi kelompok-kelompok :
A. Variabel atau Metafora;
B. Integrasi, Diferensiasi, dan Ambiguitas;
C. Rasionalitas, Fungsionalisme, dan Simbolisme.
Variabel atau Metafora. Dua perspektif ini mempertentangkan antara pandangan
bahwa organisasi memiliki budaya (variabel) dengan yang memandang bahwa organisasi
adalah budaya itu sendiri (metafora). Organisasi dikatakan punya budaya dan budaya tersebut
dianggap sebagai variabel, sama posisinya dengan variabel-variabel lain seperti struktur,
tugas, aktor, dan teknologi. Budaya dianggap sebagai atribut suatu organisasi, yang secara
khusus didefinisikan sebagai nilai-nilai dan sikap-sikap. Dalam konteks variabel ini, budaya
organisasi dapat dianggap sebagai variabel bebas yang menentukan jalannya organisasi,
ataupun sebagai variabel terikat di mana budaya organisasi adalah variabel yang tumbuh
akibat variabel-variabel lain di dalam organisasi. Sebagai variabel terikat, budaya organisasi
dapat dimanipulasi oleh para anggota organisasi.
Selaku variabel, budaya organisasi dapat diukur dengan menggunakan skala. Skala
yang terbentuk biasanya terdiri atas 2 jenis, yaitu:
A. Budaya yang Kuat atau Lemah, yang mengevaluasi konsistensi dan dampak internal
budaya terhadap para anggota organisasi;
B. Budaya yang Efisien atau Inefisien, yang mengevaluasi budaya dalam hubungannya
dalam pemenuhan tujuan, kemampuan berinovasi, dan kapasitas strategisnya.
Berlawanan dengan perspektif variabel, perspektif metafora menganggap bahwa
organisasi adalah budaya itu sendiri. Perspektif ini memandang organisasi sebagai bentuk
ekspresif, yaitu manifestasi dari kesadaran manusia, manifestasi dari budaya. Organisasi
dipahami dan dianalisa utamanya bukan dalam terma-terma ekonomi atau material melainkan
dalam terma-terma gagasan dan aspek-aspek simbolik. Dalam perspektif metafora, budaya
tidak dapat dibatasi pada variabel tertentu melainkan mem-bypass proses-proses bagaimana
para anggota organisasi menginterpretasikan pengalaman, bagaimana interpretasi ini
diekspresikan, serta bagaimana interpretasi tersebut berhubungan dengan tindakantindakakan keorganisasian.
terlibat langsung dalam proses, sehingga peluang masuknya anggota baru yang tidak
kompatibel dengan budaya organisasi dominan semakin meningkat.
Perspektif Ambiguitas menyatakan bahwa ambiguitas intrinsik adalah nyata di dalam
setiap budaya organisasi. Kurangnya kejelasan, variasi makna dan kepercayaan, dan
lemahnya kepemimpinan dapat membawa pada situasi chaos. Dalam kondisi chaos ini,
manifestasi budaya jadi multi tafsir dan identitas keorganisasian cenderung didefinisikan
secara oportunistik. Apa yang konsisten bagi seorang anggota mungkin saja tidak bagi
anggota lainnya. Jika perspektif integrasi menganggap konsensus adalah ada, perspektif
diferensiasi menganggap konsensus adalah fluktuatif, maka perspektif ambiguitas
menganggap bahwa budaya organisasi adalah ambigu. Joanne Martin menjelaskan, perspektif
ambiguitas fokus pada penafsiran beragam yang tidak dapat disatukan pada konsensus
budaya organisasi menurut perspektif integrasi dan konsensus sub budaya yang menjadi
tekanan perspektif diferensiasi. Dalam perspektif ambiguitas, pola budaya yang diidentifikasi
tidak pernah muncul dua kali dalam serangkaian pengamatan.
Rasionalisme, Fungsionalisme, Simbolisme. Perspektif Rasionalisme memandang
bahwa budaya organisasi sekadar instrumen untuk pencapaian tujuan organisasi. Perspektif
Fungsionalisme memandang bahwa budaya organisasi adalah pola nilai dan asumsi dasar
bersama yang menjalankan fungsi organisasi dalam beradaptasi dengan lingkungan eksternal
ataupun melakukan integrasi internal. Perspektif Simbolis menyatakan bahwa budaya
organisasi adalah pola simbol dan makna yang dikonstruksi secara sosial di dalam suatu
organisasi.