Anda di halaman 1dari 34

2.

LANDASAN TEORI

2.1. Budaya Organisasi


2.1.1. Definisi Budaya Organisasi
Sebelum menyampaikan pengertian budaya organisasi secara langsung,
penulis ingin menjabarkan definisi dari budaya dan organisasi itu sendiri. Budaya
telah banyak didefinisikan oleh banyak ahli, berikut ini adalah beberapa definisi
mengenai budaya.
Menurut Schein (1992), budaya adalah pola asumsi dasar yang ditemukan
atau dikembangkan oleh suatu kelompok selagi mereka belajar untuk menyelesaikan
permasalahan yang ada, proses penyesuaian diri dengan lingkungan eksternal, dan
berintegrasi dengan lingkungan internal. Asumsi dasar yang telah dipelajari tersebut
telah terbukti dapat diterapkan dengan baik untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapinya. Oleh karena itu, hal tersebut diajarkan kepada anggota baru sebagai cara
yang tepat untuk mempersepsikan, berpikir dan memiliki pemahaman yang kuat
dalam hubungan problem tersebut. Schein (1992) juga mengatakan bahwa terdapat
hubungan yang kuat antara budaya dan kepemimpinan. Budaya yang terjadi dalam
sebuah perusahaan merupakan hasil dari budaya yang diciptakan oleh pemimpin
sebelumnya. Pemimpin memiliki peran dalam membuat dan merubah budaya yang
ada. Namun bukan berarti pemimpin merupakan satu-satunya penentu budaya dalam
organisasi. Budaya dan kepemimpinan seperti dua sisi dalam sebuah koin. Ketika
sebuah budaya terjadi, hal tersebut menentukan kriteria kepemimpinan yang
dibutuhkan oleh organisasi. Sebaliknya, kepemimpinan memiliki peran juga dalam
mengelola perubahan budaya yang diperlukan sehubungan dengan lingkungan yang
terus berubah.
Dalam pengertian ini, dapat disimpulkan bahwa budaya adalah suatu pola
asumsi dasar yang terus berkembang. Dimana pola ini tentu mempengaruhi
organisasi, dan dipengaruhi oleh setiap kepemimpinan yang ada dalam organisasi.

7
Universitas Kristen Petra
Budaya berfungsi sebagai sebuah alat yang membantu organisasi baik dalam belajar,
maupun dalam menyelesaikan masalah internal dan eksternal. Hal ini juga diperkuat
oleh pendapat dari para ahli yang telah melakukan penulisan mengenai budaya.
Menurut Hofstede (2005), budaya adalah sebuah pemrograman pemikiran
seseorang, yang membedakan anggota dari satu grup dengan anggota grup lainnya.
setiap orang memiliki pola pemikiran, perasaan, dan respon yang telah dipelajari
selama hidup mereka. Seseorang perlu untuk melupakan pola yang telah dipelajarinya
dalam rangka mempelajari pola pemikiran yang baru. Hofstede (2005) menambahkan
bahwa budaya organisasi dalam mengubah pola yang dimiliki seseorang, karena
budaya organisasi berfungsi sebagai mental programming.
Sebagai mental programming, budaya merupakan hal yang harus dipelajari
oleh seseorang, bukan bawaan seseorang sejak lahir. Budaya merupakan turunan dari
lingkungan sekitar, bukan sesuatu yang memang tertanam dalam gen seseorang.
Budaya berfungsi untuk membentuk kepribadian seseorang.
Menurut Hartanto (2008), budaya didefinisikan sebagai totalitas dari
keyakinan , sikap, pola, perilaku, kelembagaan, seni, dan produk pikiran manusia
yang menjadi karakteristik suatu kelompok dalam komunitas lingkungan sosial.
Budaya bukan fenomena statik, melainkan sebuah fenomena dinamik yang
melambangkan kehidupan manusia. Budaya adalah sesuatu yang hidup.
Mengenai definisi organisasi, Robbins (2005) mengatakan bahwa organisasi
adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah
batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus
menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan
Dalam kedua definisi mengenai organisasi tersebut, dapat dikatakan bahwa
organisasi selalu didasari oleh sebuah sistem koordinasi untuk mencapai sebuah
tujuan bersama, bukan tujuan dari satu/dua orang saja. Jika dihubungkan dengan
definisi budaya sebelumnya, tentu saja kedua hal ini sangat erat kaitannya. Budaya
akan membantu organisasi dalam mencapai suatu sistem koordinasi yang baik,
dimana dalam sistem tersebut terdapat nilai, keyakinan, serta asumsi dasar yang sama
antara anggota organisasi. Budaya organisasi telah didefinisikan oleh beberapa ahli.

8
Universitas Kristen Petra
Menurut Robbins (2005), budaya organisasi merujuk pada suatu sistem
pengertian bersama yang dipegang oleh anggota-anggota suatu organisasi, yang
membedakan organisasi tersebut dari organisasi lain. Setiap pengertian bersama
tersebut membentuk sebuah sistem. Ketika diamati lebih dalam, sistem tersebut
membentuk karakteristik kunci yang menjadi nilai bagi sebuah organisasi.
Menurut Denison (1990), budaya organisasi merupakan suatu nilai-nilai,
kepercayaan, dan prinsip-prinsip yang mendasari suatu sistem manajemen organisasi,
serta sebagai landasan bagi setiap praktek dan perilaku yang terjadi dalam sebuah
organisasi. Setiap sistem yang dihasilkan oleh budaya organisasi, akan menentukan
efektifitas dari perusahaan tersebut.
Menurut Wirawan (2007), budaya organisasi merupakan karakteristik
organisasi, bukan karakteristik dari sebuah individu dalam organisasi. Jika
organisasi dianggap sama dengan manusia, maka budaya organisasi merupakan
personalitas atau kepribadian organisasi. Akan tetapi, budaya seharusnya membentuk
perilaku organisasi anggotanya, bahkan tidak jarang perilaku anggota organisasi
sebagai individu.
Dari ketiga definisi tersebut, dapat diketahui bahwa budaya berbicara
mengenai kesamaan asumsi dasar antara anggota organisasi. Setiap organisasi
memiliki budaya yang berbeda-beda. Hal tersebut disebabkan oleh latar belakang
kepemipinan yang berbeda, dan juga permasalahan yang berbeda-beda. Karena
perbedaan tersebut, maka setiap organisasi tidak bisa dikelola dengan cara yang sama.
Budaya yang mendasari sebuah organisasi perlu ditelusuri secara mendalam,
sehingga dapat diambil sebuah langkah pengendalian yang tepat.
Penulis memilih untuk menggunakan definisi budaya organisasi miliki
Robbins (2005), karena definisi tersebut dapat mencakup penjelasan yang ada dalam
definisi lainnya. Dari definisi budaya organisasi milik Robbins (2005), dapat
disimpulkan bahwa budaya organisasi memiliki 3 aspek penting, yaitu pengertian
bersama, pembentukan sistem dalam organisasi, dan sebagai pembeda antara
organisasi yang satu dengan yang lain. Penjelasan ini juga mengandung hal yang
dikemukakan oleh Hofstede (2005) tentang budaya sebagai mental programming.

9
Universitas Kristen Petra
Pengertian bersama yang dianut oleh sebuah organisasi dapat membentuk sebuah
sistem bagi organisasi, dan juga secara spesifik pada setiap individu.

2.1.2. Level Budaya Organisasi


Menurut Schein (1992), budaya organisasi memiliki 3 bagian (level), yaitu :
1. Artefact
Pada tingkat ini, budaya organisasi dinilai dari setiap struktur dan proses
organisasi yang dapat dilihat, didengar, dirasakan. Pada level ini, setiap orang dapat
melihatnya dari ruang fisik, produk, perilaku anggota kelompok, gaya berpakaian,
penampilan emosional, mitos, dan lain-lain. Hal-hal yang dapat terlihat tersebut akan
membentuk sebuah artifak, dan menciptakan masalah klasifikasi dalam organisasi.
2. Espoused Values
Pada tingkat kedua, budaya organisasi mulai dilihat dengan lebih mendalam,
yaitu mengacu pada strategi, tujuan, dan nilai yang ditanamkan dalam sebuah
organisasi. Setiap kali sebuah organisasi menghadapi permasalahan, maka akan
diambil tindakan-tindakan sebagai solusi yang didasarkan pada falsafah, misi, tujuan,
standar dan larangan dalam organisasi. Solusi tersebut biasa timbul dari orang-orang
yang memiliki pengaruh dalam organisasi. Solusi yang dihasilkan dan dilakukan
berulang-ulang dapat menjadi bagian dari budaya organisasi.
3. Basic Underlying Assumptions
Asumsi dasar adalah bagian terutama dalam budaya organisasi. Dalam asumsi
dasar terdapat hal yang mendasari setiap perilaku yang ditunjukkan seseorang dalam
organisasi. Asumsi dasar juga menentukan bagaimana seseorang merespon setiap hal
yang dialaminya. Asumsi dasar dapat mencakup hubungan dengan lingkungan, yaitu
apa yang dipercaya seseorang benar dan hal tersebut berdampak pada lingkungannya.
Asumsi dasar tersebut berhubungan mengenai apa yang dipercaya seseorang benar
terhadap kenyataan di lingkungan, waktu dan ruang, sifat manusia, aktivitas manusia,
dan hubungan antar manusia.

10
Universitas Kristen Petra
a. Hakikat mengenai kenyataan dan kebenaran
Asumsi dasar dalam suatu budaya mengenai bagaimana seseorang
menentukan atau menemukan kenyataan. Fokus dalam asumsi dasar ini
terletak pada bagaimana anggota dari sebuah grup menentukan informasi yang
relevan, bagaimana mereka mengartikan informasi, bagaimana mereka
menentukan apakah mereka telah memiliki cukup informasi untuk
memutukan sesuatu atau tidak.
b. Hakikat mengenai waktu.
Persepsi sebuah grup tentang waktu. Contohnya, setiap orang pasti
mempunyai ukuran pribadi mengenai waktu, sehingga seringkali ada orang
yang merasa marah ketika seseorang terlambat, atau ketika merasa bahwa
waktunya telah disia-siakan orang lain.
1. Basic Time Orientation
Setiap budaya memiliki asumsi dasar tersendiri mengenai
waktu, dan memiliki asumsi dasar mengenai masa lalu, masa sekarang,
dan masa yang akan datang. Hal ini akan menentukan bagaimana
orientasi perusahaan dalam bekerja. Contoh, ada beberapa organisasi
yang selalu mengindikasikan asumsi dasarnya padahal-hal yang
terbukti sukses di masa lalu.
2. Monochronic and Polychronic Time
Dalam Monochronic Time, organisasi cenderung mengontrol
perilaku sumber daya manusia dengan sangat terkoordinasi, karena
ingin kinerja dalam organisasi tersebut efisien. Sedangkan dalam
Polychronic Time, hal ini terjadi ketika informasi yang dimiliki tidak
terstruktur dan permasalahan yang terjadi begitu kompleks, sehigga
hubungan antara satu yang lain terbuka bebas, tanpa pengaturan
koordinasi yang baku. Hal ini biasa cocok untuk organisasi dengan
sistem yang lebih kecil atau pada tahap awal organisasi.

11
Universitas Kristen Petra
3. Planning time and development time
Pada umumnya, organisasi yang menganut sistem
monochronic erat dengan planning time. Setiap kegiatan dalam
organisasi tersebut melihat waktu sebagai sesuatu yang linier, dengan
target dan milestones terkait dengan tujuan yang ingin dicapai.
Sebaliknya dalam development time, tidak ada perencanaan baku
mengenai tahap-tahap yang ingin dicapai, karena pemimpin
mengasumsi dasarkan bahwa setiap proses terjadi secara alamiah.
4. Discretionary time horizon
Jangka waktu antara perencanaan dan ekspektasi yang dimiliki
oleh perusahaan. Jangka waktu tersebut bisa berbeda-beda, seperti
bulanan, harian, tahunan, bahkan per jam.
5. Temporal Symmetry and Pacing
Ketika perusahaan menginginkan terjadinya sebuah kinerja
yang simetris, dengan langkah yang stabil, maka harus terdapat
kesamaan asumsi dasar waktu. Contohnya, tidak akan terjadi sebuah
kinerja yang simetris ketika kedua bagian memiliki asumsi dasar
waktu yang berbeda, misalnya antara polychronic dan monochronic.
c. Hakikat mengenai ruang
Ruang yang dimaksud disini adalah seperti posisi dan status seseorang
dalam organisasi. Dalam organisasi, terdapat batasan-batasan ruang dari
seseorang. Ketika ia merasa bahwa batasan itu dilangkahi orang lain tanpa
seijinnya, maka ia akan merasa sangat terganggu. Hal ini dapat dianalisa dari
beberapa sudut pandang.
1. Distance and Relative Placement
Ruang memiliki dua arti, secara fisik dan sosial. Agar terjadi
suatu tindakan yang seimbang dalam ruang, maka seseorang harus
membagikan asumsi dasar mengenai penempatan ruang secara fisik,
dan harus tahu bagiamana mengorientasikan dirinya dengan yang lain
dalam sebuah grup.

12
Universitas Kristen Petra
2. The Symbolics of Space
Keadaan lingkungan eksternal dalam perusahaan menentukan
secara posisi seseorang dalam perusahaan. Contohnya, orang dengan
posisi tinggi diberikan kantor yang mewah dalam perusahaan,
sedangkan karyawan diberikan kantor yang berbeda, dan diberi
kebebasan untuk mendekorasi kantor mereka sendiri.
3. Body Language
Bagaimana seseorang menggunakan gestur, bahasa tubuh
antara satu yang lain menunjukkan bagaimana jarak ruang antara yang
satu dengan yang lain. Hal ini juga berbicara mengenai kebiasaan-
kebiasaan yang menunjukkan persepsi seseorang terhadap status dan
kedekatan yang ada dalam perusahaan.
d. Hakikat mengenai sifat manusia
Dalam setiap budaya, terdapat asumsi dasar mengenai bagaimana
perilaku yang manusiawi, maupun yang tidak. Kluckhohn dan Strodtbeck
(dalam Schein, 1992), menyatakan bahwa setiap komunitas memiliki asumsi
dasar yang berbeda mengenai manusia, seperti asumsi dasar bahwa manusia
pada dasarnya mahluk yang jahat, baik, netral, ataupun keduanya. Pada
umumnya, karyawan akan berperilaku sesuai dengan pandangan yang
diberikan oleh perusahaan kepada mereka.
e. Hakikat mengenai aktivitas manusia
Asumsi dasar ini memiliki hubungan yang paling dekat dengan asumsi
dasar sifat manusia. Asumsi dasar mengenai sifat manusia akan secara
langsung berhubungan dengan bagaimana sebuah grup harus menghubungkan
dirinya dengan kolektif pada lingkungan.
1. The Doing Orientation
Dalam orientasi ini, diasumsi dasarkan bahwa sifat manusia
dapat dikendalikan, orientasi pragmatis mengenai realitas yang terjadi
dan sebuah kepercayaan bahwa manusia dapat bertindak sempurna.
Jadi, orientasi mengasumsi dasarkan bahwa seseorang harus bertindak

13
Universitas Kristen Petra
aktif dalam mengendalikan perusahaan. Orientasi ini berfokus pada
pekerjaan, efisiensi, dan pada penemuan-penemuan baru.
2. The Being Orientation
Orientasi ini sepenuhnya bertentangan dengan doing
orientation, dimana pandangan ini berasumsi dasar bahwa seseorang
tidak dapat mempengaruhi sifat manusia. Sehingga, individu harus
menerima dan menikmati budaya yang telah ada saat ini.
3. The Being-in Becoming Orientation
Orientasi ini merupakan sisi netral dari kedua orientasi
sebelumnya, dimana terdapat sebuah asumsi dasar bahwa
keharmonisan akan tercipta apabila seseorang terus mengembangkan
kapasitasnya dan terus beradaptasi dengan lingkungan. Seseorang
cukup mengendalikan apa yang baginya bisa dikendalikan, sehingga ia
pun akan mendapatkan pengembangan diri yang optimal, dan
aktualisasi diri.
f. Hakikat mengenai hubungan manusia
Asumsi dasar mengenai hubungan akan menyelesaikan masalah-
masalah terkait kekuasaan, hirarki, hubungan antar karyawan. Asumsi dasar
ini tentu juga menggambarkan asumsi dasar perusahaan mengenai sifat dasar
manusia. Contoh, apabila perusahaan berasumsi dasar bahwa individu adalah
seorang yang agresif, maka perusahaan akan mendesain sistem yang
memungkinkan individu tersebut berinteraksi dengan leluasa. Selain itu,
asumsi dasar ini juga mencerminkan asumsi dasar lain mengenai kebenaran,
realitas, dan lingkungan eksternal
1. Individualism and Groupism
Hal ini akan mencerminkan asumsi dasar yang dimiliki oleh
pendiri perusahaan. Ketika perusahaan mempercayai bahwa tugas
akan lebih mudah diselesaikan ketika dikerjakan oleh individu, maka
perusahaan akan meminimalisir terjadinya pekerjaan secara kelompok,
dan sebaliknya. Hal ini akan sangat mempengaruhi gaya bekerja

14
Universitas Kristen Petra
sebuah perusahaan, dapat dilihat dari proses yang terjadi dalam
organisasi, sistem hadiah, dan pengendalian
2. Participation and Involvement
Argumen yang dimiliki oleh manajer tentang cara
berpartisipasi dan terlibat dalam perusahaan mencerminkan asumsi
dasar perusahaan mengenai sifat dasar dari para karyawan.

2.1.3. Unsur-Unsur Budaya Organisasi


Menurut Tika (2010), budaya organisasi tersusun oleh beberapa unsur :
1. Asumsi dasar
Dalam budaya organisasi terdapat asumsi dasar yang dapat berfungsi
sebagai pedoman bagi anggota maupun kelompok dalam organisasi untuk
berperilaku.
2. Keyakinan yang dianut
Dalam budaya organisasi terdapat keyakinan yang dianut dan dilaksanakan
oleh para anggota organisasi. Keyakinan ini mengandung nilai-nilai yang
dapat berbentuk slogan atau moto, asumsi dasar, tujuan umum
organisasi/perusahaan, filosofi usaha, atau prinsip-prinsip menjelaskan
usaha.
3. Pemimpin atau kelompok pencipta dan pengembangan budaya organisasi
Budaya organisasi perlu diciptakan dan dikembangkan oleh pemimpin
organisasi/perusahaan atau kelompok tertentu dalam organisasi atau
perusahaan tersebut.
4. Pedoman mengatasi masalah
Dalam organisasi/perusahaan, terdapat dua masalah pokok yang sering
muncul, yakni masalah adaptasi eksternal dan masalah integrasi internal.
Kedua masalah tersebut dapat diatasi dengan asumsi dasar dan keyakinan
yang dianut bersama anggota organisasi.

15
Universitas Kristen Petra
5. Berbagi nilai (sharing of value)
Organisasi perlu untuk berbagi nilai terhadap apa yang paling diinginkan
atau apa yang berguna bagi seseorang.
6. Pewarisan (learning process)
Asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota organisasi perlu
diwariskan kepada anggota-anggota baru dalam organisasi sebagai
pedoman untuk bertindak dan berperilaku dalam organisasi tersebut.
7. Penyesuaian (adaptasi)
Anggota organisasi tentu mengalami proses penyesuasian pada setiap
peraturan atau norma yang sedang berlaku dalam organisasi tersebut.
Organisasi itu sendiri tentu juga mengalami proses adaptasi dengan
perubahan yang berasal dari lingkungan sekitarnya.
Menurut Smerek dan Denison (dalam Frontiera, 2008), budaya organisasi
terdiri dari 4 komponen, yaitu involvement, consistency, adaptability, dan mission.
Smerek dan Denison mengatakan bahwa terdapat korelasi yang positif antara tingkat
adaptasi dan keterlibatan anggota dengan kinerja yang dimiliki oleh organisasi. Hal
ini mengindikasikan bahwa kedua hal ini akan sangat menentukan bagaimana
performa sebuah organisasi di masa depan.
Menurut Gardner (1999), terdapat 13 unsur budaya organisasi :
1. Degree to which individual employees believe themselves to be an
important part of the organization.
Setiap anggota organisasi harus merasa bahwa keberadaan mereka memiliki
kontribusi tersendiri bagi kelangsungan hidup organisasi.
2. Degree to which employees feel they perform well and the true value and
support the employer affords individual and group performance.
Anggota organisasi harus merasa bahwa setiap kegiatan mereka dalam
mencapai tujuan organisasi didukung penuh oleh organisasi.
3. Organizational support and value for personal and professional
development, education and training.

16
Universitas Kristen Petra
Dukungan ini berfungsi agar anggota dapat merasa nyaman di dalam
organisasi, dan lebih berkomitmen penuh terhadap kinerjanya.
4. A safe workplace.
Organisasi harus memperhatikan tingkat keselamatan dari anggotanya. Ketika
organisasi memperhatikan setiap detil dari lingkungan kerja dari anggotanya,
organisasi telah menunjukkan nilai kepeduliannya terhadap kondisi dari setiap
anggota organisasi.
5. Utilizing performance potential.
Apabila anggota organisasi adalah salah satu kunci suksesnya organisasi,
maka setiap potensi yang ada harus dimaksimalkan.
6. Degree to which a clear, consistent focus on improving the quality of
incoming materials (tools, equipment, supplies, services) exists.
Selain melakukan pembaharuan secara nirwujud, organisasi juga harus
melakukan pembaharuan secara fisik.
7. Systems and methodology for problem reporting.
Harus ada metode yang jelas dalam melakukan koordinasi sehubungan dengan
masalah dalam organisasi. Hal ini akan sangat membantu dalam mengatasi
masalah hirarki di perusahaan.
8. Management/system responsiveness to reported problems.
Organisasi harus menyiapkan langkah-langkah korektif sehubungan dengan
masalah. Sebisa mungkin, para anggota juga diberikan wewenang dalam
merespon masalah yang dihadapinya.
9. Performance-based consequences: Recognition and reward for positive
performance.
Setiap orang harus dihargai atas performanya, bukan dihargai secara
subyektif.
10. Performance-based consequences: Confrontation and correction of poor
performance.
Setiap pelanggaran dan performa yang buruk harus diberikan tindakan yang
jelas dan tegas oleh organisasi.

17
Universitas Kristen Petra
11. Positive working relationships and communication among leaders. Each
organization has leaders.
Organisasi harus merancang agar terjadi hubungan yang positif, serta
kemudahan dalam berkomunikasi antara pimpinan dan anggota organisasi.
12. Employee involvement, participation and input.
Anggota organisasi juga harus diberikan kesempatan berpartisipasi dalam
setiap pengambilan keputusan organisasi.
13. Job security (mergers, takeovers, layoffs, wage reductions).
Organisasi harus memberikan anggotanya rasa aman dalam bekerja, terutama
menyangkut hal-hal yang sensitif seperti peleburan, kenaikan gaji, pemecatan,
dan lain-lain.
Ketiga definisi tersebut membahas unsur-unsur budaya organisasi dengan cara
yang berbeda-beda. Tika (2010) menjabarkan unsur budaya organisasi berdasarkan
setiap komponen dasar penyusun budaya, seperti asumsi dasar, kepemimpinan,
pedoman, keyakinan, dan lain-lain. Tika (2010) menjelaskan bagaimana setiap
komponen tersebut berlaku. Smerek dan Denison (dalam Frontiera, 2008)
mengatakan bahwa tingkat involvement, consistency, adaptability, dan mission
organisasi merupakan penyusun budaya utama dari sebuah organisasi. Keempatnya
dapat menyusun jenis budaya yang berbeda-beda. Sedangkan Gardner (1998),
menghubungkan unsur-unsur organisasi dengan praktek manajemen dalam organisasi
secara langsung. Ketiga definisi tersebut berbicara mengenai kedua hal yang sama,
yaitu penanaman nilai oleh seseorang yang berpengaruh, dan pedoman yang
dirancang organisasi dalam mendesain sistem nilai yang ada. Penulis memilih untuk
menggunakan definisi unsur budaya organisasi milik Gardner (1998), karena teori
milik Gardner merupakan integrasi langsung antara komponen penyusun organisasi
dengan praktek-praktek yang harus dilakukan dalam sebuah organisasi. Integrasi ini
membuat pembahasan menjadi jauh lebih mendalam, seperti tingkatan rasa memiliki
karyawan dalam sebuah organisasi, dukungan organisasi. Pembahasan tersebut
mengandung komponen-komponen dasar dari budaya organisasi yang telah

18
Universitas Kristen Petra
dikemukakan dalam definisi lainnya, seperti kepemimpinan dan pengertian bersama.
Selain itu, definisi unsur-unsur budaya organisasi milik Gardner (1998) juga
mencakup beberapa hal yang tidak dikemukakan dalam definisi yang lainnya, seperti
tempat kerja (workplace), pembaruan alat fisik, keamanan kerja (job security),
hubungan, serta aliran informasi dalam organisasi. Unsur-unsur tersebut tidak dibahas
dalam definisi lainnya, padahal sebenarnya hal-hal tersebut ikut menjadi unsur
penyusun dalam budaya organisasi.

2.1.4. Karakteristik Budaya Organisasi


Robbins (2005) menjabarkan karakteristik budaya organisasi menjadi 7
dimensi:
1. Inovasi dan keberanian mengambil resiko, yaitu sejauh mana organisasi
mendorong para pegawai untuk bersikap inovatif dan berani mengambil
resiko serta bagaimana organisasi menghargai tindakan pengambilan resiko
oleh pegawai dan membangkitkan ide pegawai.
2. Perhatian terhadap detail, yaitu sejauh mana organisasi mengharapkan
pegawai memperlihatkan kecermatan, analisis dan perhatian terhadap rincian.
3. Orientasi pada hasil, yaitu sejauh mana manajemen memusatkan perhatian
pada hasil dibandingkan perhatian terhadap tekhnik dan proses yang
digunakan untuk meraih hasil tersebut.
4. Orientasi pada manusia, yaitu sejauh mana manajemen memusatkan pada
perkembangan sumber daya manusia.
5. Orientasi pada tim, yaitu sejauhmana penekanan diberikan pada kerja tim
dibandingkan dengan kerja individual.
6. Agresifitas, yaitu sejauh mana orang-orang dalam organisasi itu agresif dan
kompetitif untuk menjalankan budaya organisasi sebaik-baiknya.
7. Stabilitas yaitu sejauh mana kegiatan organisasi menekankan status quo
sebagai kontras dari pertumbuhan.

19
Universitas Kristen Petra
2.1.5. Fungsi Budaya Organisasi
Menurut Robbins (2005), terdapat 5 fungsi budaya organisasi, yaitu :
1. Berperan menetapkan batasan.
2. Mengantarkan suatu perasaan identitas bagi anggota organisasi
3. Mempermudah timbulnya komitmen yang lebih luas daripada kepentingan
individual seseorang.
4. Meningkatkan stabilitas sistem sosial karena merupakan perekat sosial yang
membantu mempersatukan organisasi
5. Sebagai mekanisme kontrol dan menjadi rasional dalam memandu,
membentuk sikap serta perilaku para karyawan.
Robbins (2005) mengatakan bahwa budaya dapat menambah komitmen
organisasi dan meningkatkan konsistensi dari perilaku karyawan. Dari sudut pandang
karyawan, budaya dapat mengurangi ambiguitas, memberi tahu karyawan tentang apa
yang harus dilakukan.
Menurut Schein (1992), budaya organisasi memiliki beberapa fungsi, sesuai
dengan tahap pengembangan yang dialami oleh organisasi tersebut :
1. Fase awal organisasi
Pada tahap ini, fungsi budaya organisasi terletak pada pembeda, baik terhadap
lingkungan maupun terhadap anggota organisasi lain
2. Fase pertengahan hidup organisasi
Pada fase ini, budaya organisasi berfungsi sebagai integrator karena
munculnya sub budaya baru sebagai penyelamat krisis identitas dan membuka
kesempatan baru untuk mengarahkan perubahan budaya organisasi.
3. Fase Dewasa
Pada fase ini, budaya organisasi dapat sebagai penghambat dalam berinovasi
karena berorientasi pada kebesaran masa lalu dan menjadi sumber nilai untuk
merasa nyaman.

20
Universitas Kristen Petra
Menurut Tika (2010), fungsi utama budaya organisasi adalah sebagai berikut :
1. Sebagai batas pembeda terhadap lingkungan, organisasi, maupun kelompok lain.
Batas ini ada karena adanya identitas tertentu yang dimiliki oleh suatu organisasi
yang tidak dimiliki oleh organisasi lainnya.
2. Sebagai perekat bagi karyawan dalam suatu organisasi
Hal ini merupakan bagian dari komitmen kolektif karyawan. Mereka akan merasa
bangga sebagai anggota organisasi, ketika mempunyai rasa memiliki, partisipasi, dan
rasa tanggung jawab atas kemajuan perusahaannya.
3. Mempromosikan stabilitas sistem sosial
Budaya dapat menunjukkan stabilitas sosial yang positif, mendukung serta konflik
yang diatur secara efektif.
4. Sebagai mekanisme kontrol dalam menggabung dan membentuk sikap serta
perilaku karyawan.
Dengan dilebarkannya mekanisme kontrol, didatarkannya struktur, diperkenalkannya
tim-tim dan karyawan diberi kuasa oleh organisasi. Hal ini akan membantu karyawan
dalam memiliki nilai yang sama, karena semua orang diarahkan ke sebuah tujuan
bersama.
5. Sebagai Integrator
Budaya organisasi dapat dijadikan sebagai integrator karena adanya subbudaya baru.
Kondisi seperti ini biasanya dialami oleh adanya perusahaan-perusahaan besar di
mana setiap unit terdapat subbudaya baru. Hal ini mempersatukan para anggota
perusahaan yang mempunya latar belakang budaya berbeda.
6. Membentuk perilaku bagi para karyawan
Fungsi ini dimaksudkan agar karyawan dapat mengerti bagaimana mencapai tujuan
organisasi.
7. Sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah pokok organisasi
Masalah yang seringkali dihadapkan pada organisasi adalah masalah adaptasi
terhadap lingkungan enksternal dan integrasi internal. Budaya organisasi diharapkan
dapat membantu mengatasi masalah tersebut.

21
Universitas Kristen Petra
8. Sebagai acuan dalam menyusun perencanaan perusahaan
Sebagai acuan dalam perencenaan pemasaran, segmentasi pasar, penentuan
positioning yang dikuasai perusahaan tersebut.
9. Sebagai alat komunikasi
Budaya sebagai alat komunikasi tercermin pada aspek-aspek komunikasi yang
mencakup kata-kata, segala sesuatu yang bersifat material dan perilaku. Kata-kata
mencerminkan kegiatan dan politik organisasi. Material merupakan indikator dari
status dan kekuasaan, sedangkan perilaku merupakan tindakan-tindakan realistis yang
pada dasarnya dapat dirasakan oleh semua insan yang ada dalam organisasi.
10. Sebagai penghambat berinovasi
Budaya dapat menjadi penghambat apabila gagal dalam menyelesaikan masalah
yang dihadapi organisasi. Kegagalan tersebut karena organisasi hanya berorientasi
pada budaya masa lalu.
Menurut Wirawan (2007), budaya memiliki sejumlah fungsi didalam suatu
Organisasi, yaitu :
1. Menjelaskan persamaan antara organisasi yang satu dengan lainnya.
2. Membangun sensitivitas atas identitas dari setiap anggota.
3. Memfasilitasi komitmen generasi untuk sesuatu yang lebih besar daripada
ketertarikan mereka sendiri.
4. Membangun stabilitas dari sistem sosial.
Menurut Trompeenars dan Hampden-Turner (dalam Hartanto, 2009), budaya
organisasi berfungsi dalam mempengaruhi :
1. Fokus perhatian di tempat kerja.
Budaya kerja yang berlaku di suatu perusahaan akan menentukan hal-hal apa
yang dianggap paling penting dalam perusahaan tersebut.
2. Perilaku kerja dan profesionalitas anggota perusahaan.
Budaya kerja akan sangat mempengaruhi suasana serta lingkungan kerja dari
perusahaan. Kedua hal ini tentu akan membentuk setiap perilaku dan standar
profesionalitas yang dimiliki oleh setiap orang di dalamnya.

22
Universitas Kristen Petra
3. Hal-hal yang dihargai di tempat kerja.
Budaya akan menentukan hal-hal apa saja yang paling dihargai dalam sebuah
perusahaan.
4. Persepsi tentang waktu, individu, kelompok, masyarakat, lingkungan alam
Budaya kerja juga akan menentukan bagaimana persepsi orang tentang
keempat hal tersebut. Keempat hal tersebut merupakan faktor penting dalam
berbisnis. Namun, setiap perusahaan tentu memiliki tingkatan prioritas yang berbeda
untuk keempat hal tersebut.
Hartanto (2009), juga mengatakan bahwa budaya yang baik bukan hanya
berfungsi untuk memuaskan para pemilik saham, namun juga dapat menjadi sebuah
kebanggan tersendiri bagi anggota di dalamnya. Perusahaan perlu mengembangkan
budaya positif yang bertujuan agar setiap potensi dan kapabilitas karyawan dapat
dimaksimalkan.
Dari setiap definisi tersebut, semuanya berpendapat bahwa fungsi utama
organisasi adalah sebagai pembeda, perekat, alat pengendalian, dan terkadang juga
dapat berfungsi sebagai penghambat. Robbins (2005) dan Wirawan (2007) juga
berpendapat bahwa budaya organisasi dapat membantu menciptakan komitmen dalam
setiap anggota organisasi. Sehubungan dengan fungsi budaya sebagai pembeda,
Hartanto (2009) mengatakan bahwa budaya akan menentukan hal-hal yang dihargai
dan penting dalam organisasi. Sehingga, setiap organisasi tentu memiliki prioritas
yang berbeda-beda. Sedangkan menurut Schein (1992), fungsi-fungsi tersebut dapat
terus berubah, tergantung pada fase yang sedang dialami perusahaan. Penulis memilih
untuk menggunakan definisi fungsi budaya organisasi menurut Tika (2010).
Kelengkapan definisi tersebut akan memudahkan penulis dalam meneliti fungsi-
fungsi budaya organisasi yang terjadi di PT SSU. Fungsi budaya organisasi yang
dikemukakan oleh Tika (2010) sangat mudah untuk disesuaikan dengan kondisi
organisasi yang akan diteliti, karena merupakan definisi fungsi organisasi yang
mendasar dan umum untuk digunakan dalam organisasi.

23
Universitas Kristen Petra
2.1.6. Pembentuk Budaya Organisasi
Menurut Robbins (2005), skema terbentuknya budaya organisasi adalah
sebagai berikut :
Manajemen
Puncak

Filosofi dari Kriteria Budaya


Pendiri Organisasi Seleksi Organisasi

Sosialisasi

Gambar 2.1 Proses Terbentuknya Budaya Organisasi


Sumber : Robbins, 2005
Budaya organisasi pada awalnya diturunkan dari filosofi yang dimiliki oleh
pendiri organisasi tersebut. Hal ini mempengaruhi beberapa kriteria yang digunakan
dalam perekrutan. Lalu, tindakan dari manajemen puncak menentukan setiap perilaku
yang dapat diterima dan tidak dapat diterima dalam perusahaan. Tingkat kesuksesan
sosialisasi ini akan ditentukan dari bagaimana karyawan menyesuaikan dengan setiap
nilai-nilai organisasi dalam proses seleksi, dan preferensi manajemen puncak dalam
metode sosialisasi.
Robbins (2005) juga menambahkan bahwa budaya disampaikan kepada
karyawan dalam beberapa bentuk :
1. Stories
Stories yang dimaksud adalah setiap cerita mengenai pendiri organisasi,
pelanggaran, kisah sukses, pengurangan tenaga kerja, realokasi karyawan,
respon organisasi pada kesalahan, dan lain-lain. Cerita-cerita ini menjadi dasar
dalam beberapa perilaku yang ada dalam organisasi, dan menjelaskan
mengapa beberapa praktek dalam organisasi masih dilakukan.

24
Universitas Kristen Petra
2. Rituals
Setiap kegiatan yang dilakukan secara repetitif, yang secara tidak langsung
menjelaskan setiap nilai-nilai kunci dalam sebuah organisasi.
3. Material Symbols
Rancangan dari bangunan kantor, kendaraan yang digunakan oleh manajemen
puncak, elegansi dari perabot, kostum yang digunakan adalah contoh dari
simbol material dalam perusahaan. Hal ini akan memberikan informasi
kepada karyawan tentang siapa yang penting, bagaimana cara memperlakukan
manajemen puncak, dan beberapa perilaku yang sesuai dalam perusahaan.
4. Language
Setiap bahasa yang digunakan dalam organisasi dapat membantu
mengidentifikasi tentang latar belakang budaya dari orang tersebut. Banyak
organisasi mengembangkan istilah unik untuk menggambarkan perlengkapan,
kantor, orang penting, pemasok, pelanggan atau produk yang berkaitan
dengan bisnisnya.
Meskipun setiap hal tersebut memiliki peran krusial, namun budaya organisasi
yang terbentuk sangat ditentukan oleh pendiri organisasi. Pendiri organisasi tidak
hanya menentukan misi awal dan cara organisasi tersebut beroperasi, namun juga
menentukan siapa anggota organisasi yang ada, dan bagaimana cara merespon setiap
hal yang terjadi dalam organisasi.
Ketika budaya organisasi telah terbentuk, Robbins (2005) mengatakan bahwa
budaya tersebut harus dipertahankan. Budaya dapat dipertahankan dengan menjaga
ketiga aspek :
1. Seleksi
Dengan merekrut orang-orang yang sesuai dengan kriteria yang diharapkan
oleh organisasi. Merekrut orang-orang yang tepat dapat membantu organisasi
dalam mempertahankan budaya, karena orang-orang tersebut dapat
menyesuaikan diri dengan nilai yang dipegang organisasi dengan baik.

25
Universitas Kristen Petra
2. Manajemen Puncak
Setiap tindakan yang dilakukan manajemen puncak memiliki dampak yang
sangat besar bagi budaya organisasi. Tindakan dari manajemen puncak
menentukan norma yang dipegang dalam organisasi, tingkat kebebasan pada
karyawan, dan lain-lain.
3. Sosialisasi
Meskipun proses seleksi telah dijalankan dengan baik, karyawan tetap harus
mendapatkan doktrinasi tentang budaya organisasi. Karena pada umumnya,
karyawan baru memiliki potensi untuk mengganggu setiap keyakinan yang
ada dalam organisasi.
Organisasi harus membantu karyawan dalam beradaptasi dengan
budaya organisasi. Proses tersebut adalah sebagai berikut :

Productivity

Prearrival Encounter Metamorphosis Commitment

Turnover

Gambar 2.2 Proses sosialisasi budaya organisasi


Sumber : Robbins, 2005
1. Prearrival Stage
Dalam tahap ini, individu datang dengan nilai-nilai, sikap dan ekspektasi
mereka secara pribadi. Hal ini menentukan bagaimana cara mereka
menyelesaikan organisasi.
2. Encounter Stage
Dalam tahap ini, individu mulaiu menghadapi realita yang terjadi dalam
budaya organisasi. Setiap individu tersebut mengalami proses sosialisasi,
dimana hal ini akan menghapus asumsi dasar lama mereka, dan menggantinya
dengan seperangkat asumsi dasar yang dimiliki organisasi.

26
Universitas Kristen Petra
3. Metamorphosis Stage
Ketika terjadi sosialisasi, maka hal ini akan mengubah individu tersebut.
Dalam proses tersebut tentu akan menghasilkan sesuatu. Hasil tersebut
beragam, seperti produktivitas, komitmen, dan bahkan turnover.
Schein (1992), juga berpendapat bahwa budaya terbentuk dari tiga sumber,
yaitu :
1. Keyakinan, nilai, dan asumsi dasar dari pemilik organisasi.
2. Pengalaman yang dialami anggota organisasi ketika organisasi tersebut
berkembang.
3. Keyakinan, nilai, dan asumsi dasar baru yang dibawa oleh setiap anggota dan
pemimpin baru.
Pembentukan budaya organisasi juga dipengaruhi oleh pendiri organisasi, dan
kelompok yang terbentuk pada awal mula terbentuknya organisasi tersebut. Schein
(1992) mengatakan proses tersebut biasa terjadi sebagai berikut :
1. Seorang (pendiri organisasi) mempunyai ide untuk membentuk perusahaan
baru.
2. Pendiri membawa satu atau beberapa orang lainnya dan menciptakan
kelompok baru yang berbagi visi yang sama dengan pendiri perusahaan.
Mereka semua percaya bahwa ide tersebut sangat baik, dapat dilaksanakan,
mengandung resiko, serta memerlukan investasi menyangkut waktu, uang,
dan energi.
3. Kelompok pendiri mulai bertindak untuk menciptakan sebuah organisasi
dengan menanamkan modal, memperoleh paten, membuat badan hukum,
ruang kantor, dan sebagainya.
4. Bergabung dalam organisasi dan memulai membangun sejarah yang sama.

27
Universitas Kristen Petra
Menurut Schein, pendiri biasanya berperan utama dalam mendefinisikan dan
menyelesaikan masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal. Pendiri mempunyai
ide asal yang didasarkan atas sejarah budaya dan personalitasnya sendiri. Pendiri
tidak hanya mempunyai level penentuan dan rasa percaya tinggi yang tinggi, namun
juga mempunyai asumsi dasar kuat mengenai bagaimana kebenaran seharusnya
ditegakkan, serta bagaimana mengatur waktu dan ruang.
Schein (1992) juga menambahkan, pemimpin memiliki peran yang terus
berbeda, sesuai dengan fase yang dialami organisasi
1. Kepemimpinan pada tahap penciptaan organisasi
Pada tahap ini, pemimpin membutuhkan visi dan kemampuan untuk
mengartikulasi dan melaksanakan visi serta kemampuan tersebut. Pada saat
ini, pemimpin dengan asumsi dasarnya sendiri, menanamkan kepada anggota
kelompok secara berangsur-angsur dan konsisten misi, tujuan, struktur dan
prosedur kerja organisasi. Pada setiap tahap pertumbuhan kelompok,
pemimpin terus mengidentifikasi permasalahan yang terjadi kelompok.
Bentuk budaya yang berkembang akan sangat ditentukan oleh perilaku
pemimpin.
2. Kepemimpinan pada tahap pertengahan hidup organisasi
Pada tahap ini, pemimpin atau beberapa generasi pemimpin telah
mengembangkan integritas budaya yang tinggi, memperluas dan melakukan
diversifikasi budaya sedang pemimpin lainnya membiarkan budaya tumbuh
seperti biasa. Pada tahap ini pemimpin berusaha menjadikan organisasi lebih
efektif di masa depan. Karena itu pemimpin sangat membutuhkan cara-cara
yang dapat membantu untuk menerapkan misi organisasi dan intervensi
keterampilan sesuai dengan perubahan budaya yang diinginkan.
3. Kepemimpinan pada saat organisasi dewasa
Kemampuan pemimpin menangani budaya sangat terpengaruh dari kondisi
dalam organisasi. Karena budaya organisasi telah terbentuk sesuai dengan
realitas yang telah diserap. Pada saat ini, ada kemungkinan bahwa pemimpin
tidak mau mengubah budaya organisasi. Dalam kondisi tersebut, pemimpin

28
Universitas Kristen Petra
bisa diperoleh dari luar organisasi. Pemimpin tersebut harus seorang yang
dapat mendiagnosa budaya, dan membuat asumsi dasar baru.

Karena lingkungan eksternal dan internal budaya organisasi terus berubah, maka
organisasi perlu terus beradaptasi. Budaya organisasi yang baik di masa lalu belum
tentu dapat berfungsi dengan baik juga pada masa kini. Organisasi harus terus
memahami dan merasakan setiap masalah yang terjadi selama masa hidup organisasi.
Proses adaptasi eksternal dan integrasi internal organisasi juga ikut membentuk
budaya organisasi tersebut.
1. Masalah adaptasi eksternal budaya organisasi
Menurut Schein (1992), masalah adaptasi eksternal dibagi ke dalam
lima unsur :
a. Misi dan Strategi
Cara mendapatkan sebuah pemahaman yang sama mengenai
misi, tugas utama, dan fungsi-fungsi dalam organisasi
b. Tujuan
Membentuk sebuah persetujuan umum mengenai tujuan
organisasi, yang diturunkan dari misi organisasi.
c. Cara atau Alat
Membentuk persetujuan mengenai cara yang digunakan dalam
mencapai tujuan organisasi, seperti struktur organisasi,
penentuan divisi, sistem hadiah (reward), dan sistem otoritas.
d. Pengukuran
Membentuk persetujuan tentang kriteria yang akan digunakan
dalam mengukur seberapa baik performa sebuah grup dalam
mencapai tujuan organisasi. Contohnya, organisasi dapat
mengukur bagaimana sistem kontrol dan aliran informasi.

29
Universitas Kristen Petra
e. Koreksi
Mengadakan persetujuan dalam organisasi mengenai perbaikan
strategi, ketika tujuan yang ditetapkan oleh organisasi belum
tercapai.
2. Masalah Integrasi Internal Budaya Organisasi
Menurut Schein (1992), masalah integrasi internal dipengaruhi
oleh sistem adaptasi eksternal. Schein (1992) membagi masalah
integrasi internal menjadi enam unsur yang dapat dijelaskan berikut :
a. Bahasa yang Sama dan Kategori Konseptual
Bahasa yang dipakai bersama untuk berkomunikasi antar
individu. Jika anggota organisasi tidak bisa berkomunikasi,
maka tidak mungkin terbentuk sebuah kelompok. Bahasa dasar
yang digunakan sebauh kelompok biasa memerlukan kategori
konseptual. Sebagai contoh, setiap perkataan yang dikatakan
oleh pemimpin mencerminkan gaya yang sedang dibawanya.
b. Batas-Batas Kelompok dan Kriteria Inklusif dan Ekslusif
Persetujuan mengenai siapa orang dalam dan orang luar di
organisasi, serta kriteria yang digunakan dalam menentukan
keanggotaan. Anggota kelompok tidak akan memfungsikan
diri dengan baik dan berkonsentrasi ketika tidak jelas
keanggotaannya. Demikian kelompok tidak akan memiliki
kinerja yang baik jika tidak memberikan kejelasan dan batasan
mengenai tugas anggota organisasi. Terdapat perbedaan
perlakuan antara orang dalam dan orang luar organisasi
menyangkut peraturan yang dipakai. Bagi orang dalam
diberikan keuntungan khusus, hadiah yang lebih bagus serta
memperoleh kartu identitas. Sebaliknya orang luar hanya
mendapatkan sedikit.

30
Universitas Kristen Petra
c. Kekuatan dan Status
Persetujuan tentang kriteria dan peraturan bagaimana
seseorang memperoleh, membina, dan kehilangan kekuatan.
Persetujuan ini melihat bagaimana kekuasaan dan status
dialokasikan dalam perusahaan. Ada perusahaan yang
menempatkan seseorang ke dalam suatu jabatan tinggi dengan
mempertimbangkan senioritas, loyalitas, dan keberhasilan
dalam menangani pekerjaan. Ada juga yang mendasarinya
pada kemampuan negosiasi, meyakinkan, dan membuktikan
kebenaran.
d. Hubungan Keintiman, Kekeluargaan, dan Cinta
Persetujuan tentang norma hubungan antar anggota organisasi.
Setiap kelompok harus memutuskan bagaimana
menghubungkan antara otoritas dengan hubungan kerja.
Hubungan kerja dapat menjadi masalah. Masalah tersebut biasa
terjadi ketika terdapat kelompok yang lebih mementingkan
hubungan kerjanya daripada norma yang telah ditentukan oleh
organisasi.
e. Imbalan (Hadiah) dan Hukuman
Persetujuan terhadap kriteria hadiah dan hukuman. Sistem ini
harus dipenuhi, sebagai alat dalam menentukan karakteristik
budaya pada organisasi baru. Hal ini akan sangat
mencerminkan beberapa hal yang dianggap penting dalam
sebuah organisasi.
f. Agama dan Ideologi
Persetujuan tentang bagaimana mengelola hal-hal yang tidak
bisa diijelaskan seperti agama dan ideologi. Agama dapat
menjelaskan hal yang tidak terjelaskan dan memberi petunjuk
tentang bagaimana mengatasi ambisius, ketidaktentuan, dan
situasi menakutkan. Ideologi dapat dipandang sebagai

31
Universitas Kristen Petra
seperangkat nilai utama yang dapat dianggap sebagai pedoman
gerakan yang dihadapkan dengan lingkungan yang luas. Pada
beberapa kalangan, idelologi biasa disatukan dengan agama.
Kedua ahli tersebut mengemukakan satu hal yang sama, yaitu budaya yang
terjadi dalam sebuah organisasi sangat ditentukan oleh pendiri organisasi tersebut.
Hanya saja, keduanya membahas proses terbentuknya organisasi dengan cara
pandang dan dimensi waktu yang berbeda. Robbins (2005) membahas terbentuknya
budaya organsisasi dengan melihat dari sudut pandang individu yang di dalamnya,
dan peran manajemen pada awal perekrutan karyawan. Sedangkan Schein (1992),
lebih menekankan pada peranan pemimpin seutuhnya dalam membentuk budaya
dalam sebuah organisasi. Robbins (2005) hanya membahas mengenai peranan
pemimpin sampai pada tahap seleksi, sedangkan Schein (1992) terus menekankan
bahwa pemimpin memiliki peranan berkesinambungan dari fase awal sampai dengan
fase dewasa dalam sebuah organisasi. Hal ini mengakibatkan terjadinya sebuah pola
khusus dalam penyelesaian masalah internal dan eksternal dalam sebuah organisasi.
Penulis memilih untuk menggunakan teori dari Schein (1992), karena penulis
berpendapat bahwa peranan pemimpin secara dominan tidak hanya selesai pada tahap
seleksi. Pemimpin terus memiliki peran dalam pembentukan budaya organisasi,
terutama dalam mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi dalam fase hidup
organisasi. Karena pemimpin berfungsi sebagai penentu dalam setiap penyelesaian
masalah internal dan eksternal organisasi. Pemimpin harus terus memantau dan
berperan aktif dalam perkembangan bduaya dalam organisasi. Selain itu, teori ini juga
sesuai dengan keadaan budaya organisasi di PT SSU, dimana para pimpinan di PT
SSU merupakan orang-orang yang telah ada sejak awal berdirinya perusahaan
tersebut.

32
Universitas Kristen Petra
2.1.7. Kekuatan Budaya Organisasi
Menurut Robbins (2005), budaya organisasi kuat adalah budaya dimana nilai-
nilai inti organisasi dipegang secara intensif dan dianut bersama secara meluas oleh
anggota organisasi. Kekuatan sebuah budaya organisasi dapat dilihat dari
pengaruhnya terhadap ethical climate dan ethical behaviour dari setiap anggotanya.
Budaya yang kuat tentu akan membentuk standar etik yang tinggi, seperti toleransi
yang tinggi dalam pengambilan resiko, agresif, dan berfokus pada hasil tanpa
mengabaikan proses yang dilalui dalam organisasi. Manajer yang memiliki budaya
kuat juga tentu akan memfasilitasi orang-orang di bawahnya untuk terus-menerus
menerapkan standar etik tersebut.
Ketika budaya organisasi tersebut kuat dan memiliki standar etika yang tinggi,
hal ini akan sangat berpengaruh pada perilaku karyawan secara positif. Ada beberapa
hal yang dapat dilakukan oleh manajer dalam membentuk sebuah budaya organisasi
yang kuat :
1. Be a Role Model
Anggota organisasi akan selalu melihat tingkah laku dari manajer di atasnya.
Ketika sebuah manajer dapat berperilaku baik, hal ini akan secara tidak
langsung menjadi sebuah pesan yang kuat bagi para karyawan.
2. Communicate Ethical Expectation
Ambiguitas dalam standar etik dapat diatasi dengan melakukan standarisasi
etik yang kemudian disosialisasikan secara seksama kepada para anggota
organisasi. Sehingga para karyawan dapat dihimbau untuk mengikuti standar
etik yang ada.
3. Provide Ethical Training
Organisasi dapat melakukan beberapa pelatihan untuk memfasilitasi
anggotanya dalam berperilaku.
4. Visibly Rewards Ethical Acts and Punish Unethical Ones
Harus ada sebuah sistem hadiah (reward) yang jelas dalam sebuah organisasi.
Selain sistem tersebut jelas, harus ada kejelasan tindakan juga atas setiap hal
yang dilakukan oleh setiap anggota dari organisasi.

33
Universitas Kristen Petra
5. Provide Protect Mechanism
Agar setiap tindakan yang dilakukan tidak disertai oleh perasaan takut, maka
organisasi juga perlu merancang semacam proteksi bagi setiap anggota yang
ingin melaporkan hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan yang
dihadapi oleh organisasi.
Robbins (2005) mengatakan bahwa ciri-ciri dari budaya organisasi kuat
adalah sebagai berikut :
1. Menurunnya tingkat keluarnya karyawan.
2. Adanya tingkat kesepakatan yang tinggi antara anggota organisasi
3. Adanya pembinaan kohesif, kesetiaan, dan komitmen organisasi

2.1.8 Organizational Culture Assessment Instrument


Organizational Culture Assessment Instrument (OCAI) merupakan metode
penelitian untuk budaya organisasi, yang dikembangkan oleh Cameron dan Quinn
(ocai-online, 2010, p.3). Cameron dan Quinn berpendapat bahwa setiap perusahaan
pasti memiliki lebih dari satu budaya organisasi, pada umumnya dalam sebuah
perusahaan terdapat campuran dari berbagai macam budaya. Cameron dan Quinn
menambahkan bahwa organisasi yang baik adalah organisasi yang fleksibel.
Organisasi tersebut harus dapat menyesuaikan diri dengan setiap struktur,
kontradiksi, dan kompetisi di dalamnya.
Cameron dan Quinn (OCAI online, 2010, p.5) mengatakan bahwa terdapat 4
jenis budaya organisasi, melalui competing values framework :

34
Universitas Kristen Petra
Gambar 2.3 Competing Values Network
Sumber : Cameron dan Quinn (OCAI Online, 2010, p.5)
Diolah oleh penulis
1. The Clan Culture (Budaya Klan)
Dalam jenis budaya ini, terdapat suasana kerja yang nyaman, setiap
orang berbagi informasi pribadi, mirip seperti sebuah keluarga. Pemimpin
dalam organisasi seringkali dilihat sebagai seorang mentor atau bahkan orang
tua. Organisasi dijalankan berbasis pada loyalty dan tradisi, yang
menyebabkan terjadinya tingkat komitmen yang tinggi. Organisasi yang
menganut budaya ini menitikberatkan tujuannya ke arah jangka panjang dari
pengembangan sumber daya manusia dan juga menganggap penting moral
dan kohesifitas. Sukses didefinisikan sebagai sensitivitas pada kondisi
pelanggan dan kepekaan pada sesama. Organisasi sangat memperhatikan
praktek kerjasama, partisipasi, dan konsensus.
a. Jenis pemimpin : Fasilitator, team-builder, mentor
b. Value Drivers : komitmen,komunikasi, pengembangan
c. Teori untuk efektivitas : pengembangan sumber daya manusia
dan partisipasi menghasilkan efektivitas

35
Universitas Kristen Petra
d. Quality Strategies : empowerment, team building,
melibatkan karyawan, pengembangan
sumber daya manusia, komunikasi
terbuka.
2. The Adhocracy Culture (Budaya Adokrasi)
Dalam jenis budaya ini, terdapat suasana kerja yang dinamis,
kewirausahaan, dan kreatif. Pemimpin dianggap sebagai innovator dan
pengambil resiko. Hal yang membuat organisasi ini terus berjalan adalah
komitmen untuk terus bereksperimen dan berinovasi. Organisasi memiliki
tujuan jangka panjang untuk terus bertumbuh, memperbanyak sumber daya,
dan menjadi pemimpin dalam pasar. Sukses didefinisikan sebagai
terbentuknya produk barang/jasa yang baru dan unik. Organisasi terus
mendukung inisiatif individu dan kebebasan.
a. Jenis pemimpin : innovator, kewirausahaan, visioner.
b. Value Drivers : hasil yang innovatif, transformasi,
kecepatan.
c. Teori untuk efektivitas : inovasi, visi dan sumber daya baru
memproduksi efektifitas.
d. Quality Strategies : membuat standar baru, mengantisipasi
kebutuhan, pengembangan secara
konsisten, menemukan solusi kreatif.
3. The Market Culture (Budaya Pangsa Pasar)
Dalam jenis budaya ini, organisasi memiliki tujuan utama untuk
menyelesaikan pekerjaan yang telah didelegasikan. Pemimpin merupakan
seorang pendorong untuk kerja keras, produser, dan kompetitor. Pemimpin
menjadi sosok figur yang teguh dan cenderung menuntut. Hal yang membuat
organisasi terus berjalan adalah keinginan untuk meraih kemenangan.
Reputasi dan kesuksesan juga menjadi tujuan umum yang harus dicapai
organisasi. Tujuan jangka panjang perusahaan mencakup pencapaian tujuan
yang dapat diukur. Sukses didefinisikan sebagai market share dan penetrasi

36
Universitas Kristen Petra
pasar. Harga yang kompetitif dan menjadi pemimpin pasar adalah hal yang
penting bagi organisasi. Organisasi memiliki gaya kompetitif yang kuat.
a. Jenis pemimpin : hard driver, competitor, producer.
b. Value Drivers : market share, pencapaian tujuan,
profitabilitas.
c. Teori untuk efektivitas : menjadi kompetitor yang afresif and
fokus pada konsumen menghasilkan
efektifitas.
d. Quality Strategies : mengukur preferensi konsumen,
meningkatkan produktivitas, membuat
partnership, melibatkan konsumen dan
pemasok.
4. The Hierarchy Culture (Budaya Hirarki)
Dalam jenis budaya ini, organisasi memiliki bentuk yang sangat
formal dan terstrukturisasi dengan baik. Pemimpin merupakan seorang yang
dapat mengkoordinasi dengan baik dan berpikiran efisien. Organisasi
berusaha keras untuk mempertahankan operasional yang berjalan mulus
sebagai prioritasnya. Reputasi dan kesuksesan juga menjadi tujuan umum
yang harus dicapai organisasi. Tujuan jangka panjang perusahaan adalah
stabilitas dan performa dengan efisiensi dan operasional yang baik. Sukses
didefinisikan sebagai penjadwalan yang mulus dan biaya rendah. Harga yang
kompetitif dan menjadi pemimpin pasar adalah hal yang penting bagi
organisasi. Manajemen dititikberatkan pada keamanan dalam bekerja dan
prediktabilitas.
a. Jenis pemimpin : koordinator, monitor, pengorganisasi.
b. Value Drivers : efisiensi, ketepatan, konsistensi dan
keseragaman.
c. Teori untuk efektivitas : kontrol dan efisiensi proses
menghasilkan efektifitas.

37
Universitas Kristen Petra
d. Quality Strategies : deteksi kesalahan, pengukuran, kontrol
proses, penyelesaian masalah sistematik.

2.2. Hubungan Antar Konsep


Dalam sebuah perusahaan, perlu ada sebuah sistem yang mengatur, dan
dipercaya oleh semua anggota yang ada di dalamnya. Hal tersebut baru akan terjadi
apabila setiap orang di dalam perusahaan memiliki kesamaan. Kesamaan tersebut
tidak hanya berbicara mengenai hal-hal yang dapat dilihat, didengar, dan dirasakan
secara visual. Namun kesamaan tersebut berbicara mengenai sesuatu yang lebih
dalam, yaitu kesamaan nilai, keyakinan, dan asumsi dasar dalam sebuah perusahaan.
Ketika dilihat lebih dalam, maka dapat terlihat bahwa terdapat asumsi dasar yang
mendasari semua hal visual tersebut. Asumsi dasar tersebut memang terbentuk dari
sejak awal sebuah perusahaan didirikan. Budaya yang saat ini ada merupakan hasil
dari asumsi dasar serta perilaku yang dianut oleh pendiri organisasi, maupun setiap
kesuksesan-kesuksesan yang telah dialami oleh perusahaan selama masa hidupnya.
Apabila sebuah perusahaan ingin mewujudkan kesamaan asumsi dasar
tersebut, diperlukan budaya organisasi yang baik. Seperti yang dikatakan oleh
Hofstede (2005), budaya berfungsi sebagai control mechanism. Budaya akan
membantu kelancaran setiap kebijakan, sistem yang sedang diterapkan oleh sebuah
organisasi. Robbins (2005), juga mengatakan bahwa budaya organisasi yang kuat
akan mengkomunikasikan kepada anggota perusahaan apa tujuan perusahaan serta
identitas perusahaan kepada anggotanya. Sehubungan dengan pernyataan tersebut,
ada beberapa karakteristik budaya organisasi yang harus dipenuhi. Penulis
menggunakan teori karakteristik budaya organisasi miliki Robbins (2005). Robbins
(2005) mengatakan bahwa terdapat tujuh karakteristik budaya organisasi yang harus
dipenuhi, seperti inovasi dan keberanian mengambil resiko, perhatian terhadap detail,
berorientasi pada hasil, stabilitas, berorientasi pada tim, agresifitas, dan berorientasi
pada manusia. Dengan menggunakan teori ini, maka penulis dapat mendapatkan
gambaran langsung tentang bagaimana proses penyelesaian masalah yang terjadi

38
Universitas Kristen Petra
dalam sebuah organisasi, cara berperilaku, serta pemahaman bersama yang dimiliki
oleh para anggota organisasi.
Ketika karakteristik tersebut telah dipenuhi oleh sebuah perusahaan, maka
budaya organisasi yang kuat berdasarkan pada kesepahaman para karyawan terhadap
setiap nilai-nilai, peraturan, dan asumsi dasar yang dimiliki oleh perusahaan. Kuatnya
budaya tersebut akan tercermin dari bagaimana penerimaan karyawan akan setiap
nilai perusahaan, dan menjadikan identitas perusahaan tersebut sebagai identitas diri
karyawan. Pada kenyataannya, setiap perusahaan memegang karakteristik yang
beragam. Menurut Cameron dan Quinn (OCAI Online, 2010, p. 4), organisasi
memiliki budaya dominan, meskipun hal tersebut biasa mencakup campuran dari
beberapa budaya. Untuk memudahkan identifikasi jenis budaya, maka digunakan
OCAI sebagai alat identifikasi jenis budaya. Alat ini akan digunakan setelah asumsi
dasar dari PT. SSU seudah teridentifikasi. Diharapkan PT SS Utama dapat
memahami, serta terus membentuk budaya organisasi yang kuat, sehingga terjadi
sebuah integrasi asumsi dasar antara perusahaan dengan karyawan.

39
Universitas Kristen Petra
2.3 Kerangka Berpikir

Analisis Budaya Organisasi pada PT SS Utama

Level Budaya Organisasi

Artefact Espoused Basic Underlying


Values Assumptions

Karakteristik Budaya Organisasi


1. Inovasi dan keberanian mengambil resiko
2. Perhatian terhadap detil
3. Orientasi kepada hasil
4. Orientasi kepada orang
5. Orientasi kepada tim
6. Agresivitas
7. Stabilitas

Organizational Culture Assessment Instrument


(OCAI)
4 Jenis Budaya Organisasi
The Clan Culture
The Adhocracy Culture
The Market Culture
The Hierarchy Culture

Sumber : Robbins (2005), Schein (1992),

dan Cameron dan Quinn (OCAI Online, 2010, p.5)

Diolah oleh penulis

40
Universitas Kristen Petra

Anda mungkin juga menyukai