Anda di halaman 1dari 8

BAB II TEORI

2.1. Budaya Organisasi

Secara sederhana, budaya merupakan adat istiadat yang sudah berkembang dengan pengetahuan
masyarakat yang telah disepakati oleh kelompok-kelompok tertentu. Selanjutnya, budaya adalah
suatu kebiasaan bersama atau pola asumsi dasar yang ditemukan ataupun dikembangkan oleh
kelompok tertentu saat mereka belajar untuk menghadapi masalah-masalah, menyesuaikan diri
dengan lingkungan eksternal, dan berintegrasi dengan lingkungan intimal. Asumsi dasar tersebut
telah berjalan cukup baik untuk dianggap valid, oleh sebab itu dapat diajarkan kepada anggota
baru sebagai cara yang benar untuk mempersepsikan, berpikir, berperasaan sehubungan masalah-
masalah yang dihadapinya (Marwan dkk, 2020:35).

Darsono (2009: 8-9) mengatakan prestasi manusia sepanjang sejarahnya merupakan kebudayaan.
Untuk memahami manusia, seyogyanya ia ditempatkan pada kontek kebudayaan. Dalam
kebudayaan tercermin segala kenyataan yang bernilai dan berharga dari prestasi manusia. Dalam
kebudayaan kita bertemu dengan segala gejala kehidupan yang telah diolah serta diatur menurut
tata cara tertentu.

E.B. Taylor (1871) yang dikutip dalam buku: Soejono Soekanto (1990 : 172 -173) mengatakan
kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenia, moral, hukum,
adat-istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh
manusia sebagai anggota masyarakat.” Dengan kata lain, kebudayaan mencakup kesemuanya
yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri
dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola berfikir, merasakan dan bertindak.

2.1.1. Pengertian Budaya Organisasi

Menurut Pearce dan Robinson (2016:382), budaya organisasi adalah sekumpulan asumsi penting
(seringkali tidak diungkapkan) yang dianut oleh semua anggota organisasi. Asumsi tersebut
menjadi asumsi bersama melalui internalisasi di kalangan anggota organisasi. Secara umum
budaya (kultur) mengandung 3 kaidah, yaitu kultur akibat pengaruh lingkungan bisnis; kultur
bawaan dari pendiri, pemimpin, dan pegawai; serta kultur bersama.

A.A. Anwar Prabu Mangkunegara (2005:113) mengemukakan beberapa pengertian mengenai


budaya organisasi menurut beberapa sumber sebagai berikut: Keit Davis dan John W.Newstrom
(1989:60) mengemukakan bahwa “organizational culture is the set of assumption, belives,
values, and norms that is shared among its members” Lebih lanjut John R. Schermerhorn dan
James G. Hunt (1991:340) mengemukakan bahwa, “Organizational culture is the system of
shared beliefs and value that develops within an organization and guides the behavior of its
members”. Sedangkan Edgar H. Schein (1992:21) berpendapat bahwa: An organization’s culture
is a pattern of basic assumption invented, discovered or developed by a given group as it learns
to cope with its problems of external adaptation and internal integration that has worked well
enough to be considered valid and to be though to new members as the correct way to perceive,
think and feel in relation to these problems. Berdasarkan pendapat itu dapat disimpulkan bahwa
pengertian budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai dan
norma yang dikembangkan dalam organaisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi
anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integritas internal.

Definisi Budaya Organisasi menurut Ideational School yang dikutip oleh Achmad Sobirin (2009:
125-128) memberikan pengertian budaya organisasi sebagai “the system of such publicly and
collectively accepted meanings operating for given group at a given time” – Budaya adalah
sistem makna yang diterima secara terbuka dan kolektif, yang berlaku untuk waktu tertentu bagi
sekelompok orang tertentu. Sedangkan menurut Adaptationist School seperti dikemukakan oleh
stanly Charlem Hapden – Turner adalah sebagai adalah “Corporate culture is the pattern of
shared beliefs and value that give the members of an institution meaning, and provide them with
the rules for behavior in their organization”. Selanjutnya menurut Realist School seperti
dikemukakan oleh Edgar Schein adalah “Culture is a pettern of shared basic assumptions that
the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that
has work well enaugh to be considered valid and, therefore, to be thought to new members as the
correct way to perceive, think and feel in relation to these problems”

2.1.2. Fungsi Budaya Organisasi

Nevizond Chatab (2007: 11) menyatakan fungsi budaya organisasi sebagai berikut:

1. Identitas yang merupakan ciri atau karakter organisasi;


2. Social cohesion atau pengikat/ pemersatu seperti bahasa Sunda yang bergaul dengan orang
Sunda, sama hobi olahraganya;
3. Sources, misalnya inspirasi;
4. Sumber penggerak dan pola prilaku;
5. Kemampuan meningkatkan nilai tambah, seperti adanya aqua sebagai teknologi baru.;
6. Pengganti formalisasi, seperti olehraga rutin Jumat yang tidak dipaksa;
7. Mekanisme adaptasi terhadap perubahan seperti adanya rumah susun;
8. Orientasinya seperti konteks tinggi (kata-kata menjadi jaminan), konteks rendah (tertulis
menjadi penting) dan konteks rendah (karena diikuti tertulis) dengan subkonteks tinggi
(perintah lisan).

Sedangkan menurut Luthans (2007), beberapa karakteristik penting budaya organisasi


mencakup sebagai berikut:

1. Keteraturan prilaku yang dijalankan; seperti pemakaina bahasa atau terminologi yang
sama;
2. Norma; seperti standar prilaku yang ada pada suatu organisasi atau komunitas;
3. Nilai yang dominant; seperti mutu produk yang tinggi, efisiiensi yang tinggi;
4. Filosofi; seperti kebijakan bagaimana pekerja diperlakukan;
5. Aturan; seperti tuntunan bagi pekerja baru untuk bekerja di dalam organisasi;
6. Iklim organisasi; seperti cara para anggota organisasi berinteraksi dengan pelanggan
internal dan eksternal atau pengaturan tata letak bekerja (secara fisik).

Menurut Kreitner & Kinick (2007) yang di kutip oleh Komang Ardana, Ni Waya Mujiati, Anak
Agung Ayu Sriathi (2009: 170) menyatakan bahwa fungsi budaya organisasi mencakup
sebagaimana yang diperlihatkan dalam bagan sebagai berikut:

1. Membantu menciptakan rasa memiliki jati diri bagi pekerja;


2. Dapat dipakai untuk mengembangkan kekuatan pribadi dengan perusahaan;
3. Membantu stabilitas perusahaan sebagai sistem sosial; dan
4. Menjadi pedoman prilaku, sebagai hasil dari norma-norma prilaku yang sudah terbentuk.

2.1.3. Proses Budaya Organisasi.

Nevizond Chatab (2007 : 12), menjelaskan bahwa proses budaya organisasi dapat dipandang dari
terbentuknya / terciptanya, dipertahankan / dipeliharanya dan diubah/ dikembangkannya budaya
organisasi. Sedangkan untuk menghadapi tantangan perubahan budaya diperlukan adaptasi proses
budaya:

1. Pembentukan/ Menciptakan Budaya


Terbentuknya budaya terutama karena adanya para pendiri, yaitu orang berpengaruh
yang dominant atau kharismatik yang memperagakan bagaimana orgaanisasi
seharusnya bekerja dalam menjalani misi guna meraih visi yang ditetapkan.
Selanjutnya diseleksi orang yang memiliki pengetahuan, ketrampilan, kepemimpinan
dan keteladanan untuk melanjutkan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan kaidah dan
norma dari para pendirinya. Bambang Rudito (2009 : 145) mengatakan perusahaan
tentunya mempunyai harapan dan cita-cita agar para karyawannya khususnya yang
menjalankan roda perusahaan harus bersifat inovatif untuk membaca pasar, kreatif dan
jujur.
2. Pemeliharaan/ Mempertahankan Budaya
Sumber yanng paling pokok dan awal dalam menciptakan budaya adalah para pendirinya.
Langkahnya harus dimulai dari: berbagi pengetahuan, praktek dan amalkan
pengetahuannya, kembangkan ketrampilan dan kemampuan yang sesuai, memiliki sikap
yang konsisten dalam menanggapi berbagai hal, pupuk kebiasaan, tampilkan karakter
sesuai kebiasaan pada berbagai kesempatan. Untuk mempertahankan budaya sedikitnya
terdapat tiga kekuatan berikut, yang memanikannya secara khusus, yaitu tindakan dan
keterllibatan manajemen puncak, praktek seleksi, dan metode serta keefektifan penerapan
sosialisasi-sosialisasi
3. Pengembangan Budaya Organisasi
Menurut Luthans dan model Hirarki Sistem Organisasional oleh Tenner & De Toro,
strategi perubahan dalam kaitannya dengan pengembangan budaya dapat dilakukan
melalui pilihan structural change, process / system change dan HR change.
4. Adaptasi Proses Budaya
Dalam beradaptasi dengan tantangan perubahan lingkungan, andaikan suatu dimensi
budaya X yang ada saat ini, akan berinteraksi dengan dimensi budaya Y, maka pilihan
keluaran dimensi budayanya dapat berupa seperti tabel berikut:

Robbins dan Coulter (2004) yang di kutip oleh Komang Ardana, Ni Waya Mujiati, Anak Agung
Ayu Sriathi (2009 : 172) mengatakan bahwa budaya organisasi itu dapat ditransformasikan
kepada para pegawai dengan berbagai macam cara, yang mana yang paling banyak digunakan
adalah cara-cara berikut:

1. Cerita. Pendongeng organisasi dalam hal ini kalangan ekskutif senior menjelaskan
warisan perusahaan dan menampilkan cerita sebagai wujud penghargaan terhadp orang
yang telah melakukan sesuatu;
2. Ritual. Setia organisasi biasanya memiliki corak ritual sendiri-sendiri, dan terkadng sudah
mengakr dan menjadi bagian hidup suatu organisasi. Kegiatan ini mengekspresikan serta
meneguhkan nilai-nilai utama organisasi;
3. Simbol/ Lambang materi, seperti: pakaian seragam, tata organisasi dan unit di dalam
organisasi memakai bahasa sebagai cara untuk mengidentifikasi budaya. Dari waktu ke
waktu, sering organisasi mengembangkan istilah-istilah khusus untuk menggambarkan
peralatan, orang-orang penting, para pemasok, pelanggan atau produk-produk yang
berkaitan dengan bisnis, yang bisa sebagai alat pemersatu anggota organisasi.

Visi dan Misi. Budaya Organisasi terkait erat dengan visi dan misi yang menjiwai seluruh gerak
langkah suatu organisasi. Cyntia D. Scott, Dennis

T. Jaffe, Glenn R. Tobe (2010 : 3) mengatakan salah satu karakteristik utama organisasi serta tim
dengan kinerja tinggi adalah, mereka memiliki gambaran jelas tentang apa yang berusaha mereka
ciptakan bersama. Mereka pun merasa senang dan memahami tujuan dasar. Mereka memiliki
nilai bersama. Nilai, misi dan visi membentuk inti dan identitas mereka. Elemen kunci ini
mngandung lem yang membuat orang, tim dan organisasi bersikap responsif dan inovatif di
dalam situasi baru. Visi menyatakan “kita ingin menjadi apa”; misi menyatakan “apa yang
harus diperbuat”.

2.2. Disiplin Kerja

Pengertian Disiplin kerja. Veithzal Rivai (2004 : 444-445), Disiplin kerja adalah suatu alat yang
digunakan para manajer untuk berkomunikasi dengan karyawan agar mereka bersedia untuk
mengubah suatu prilaku serta sebagai suatu upaya untuk meningkatkan kesadaran dan kesediaan
seseorang menaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku. Sebagai
contoh, beberapa karyawan terbiasa terlambat untuk bekerja, mengabaikan prosedur
keselamatan, melalaikan pekerjaan detail yang diperlukan untuk pekerjaan mereka, tindakan
yang tidak sopan ke pelanggan, atau terlibat dalam tindakan yang tidak pantas.

Disiplin karyawan memerlukan alat komunikasi, terutama pada peringatan yang bersifat spesifik
terhadap karyawan yang tidak mau berubah sifat dan prilakunya. Penegakan disiplin karyawan
biasanya dilakukan oleh penyelia. Sedangkan kesadaran adalah sikap seseorang yang secara
sukarela mentaati semua peraturan dan sadar akan tugas dan tanaggungjawabnya. Sehingga
seorang karyawan yang dikatakan memiliki disiplin kerja yang tinggi jika yang bersangkutan
konskuen, konsisten, taat asas, bertanggung jawab atas tugas yang diamanahkan kepadanya.

Bentuk-bentuk Disiplin Kerja. Terdapat empat perspektif daftar yang menyangkut disiplin kerja
yaitu:

1. Disiplin Retributif (Retributive Discipline), yaitu berusaha menghukum orang yang


berbuat salah;
2. Disiplin Korektif (Corrective discipline), yaitu berusaha membantu karyawan mengoreksi
prilakunya yang tidak tepat;
3. Perspektif hak-hak individu (Individual Rights Perspective), yaitu berusaha melindungi hak-
hak dasar individu selama tindakan-tindakan disipliner.
4. Perspektif Utilitarium (Ulilitarium Perspective), yaitu berfokus kepada penggunaan disiplin
hanya pada saat konskuensi-konsekuensi tindakan disiplin melebihi dampak-dampak
negatifnya.

Darsono P. & TjatjukSiswandoko (2011 : 130 - 134) menjelaskan beberapa bentuk disiplin,
antara lain:

1. Displin Preventif merupakan cara manajemen untuk mencipta iklim organisasi yang
kondusif untuk meningkatkan produktivitas kerja. Pekerja prilakunya diatur oleh norma-
norma organisasi agar tidak merugikan organisasi di tempat mereka bekerja;
2. Disiplin Positif ialah pembinaan mental kerja karyawan yang kinerjanya tidak memuaskan.
Tujuannnya adalah membantu karyawan untuk memperbaiki diri, bukan memberi sanksi.
Pandangan ini didasarkan bahwa karyawan pada umumnya bersedia bertanggungjawab atas
pekerjaannya. Jika karyawan tidak mempunyai kesadaran diri terhadap kinerjanya, disiplin
positif tidak ada artinya apa- apa;
3. Disiplin Progresif ialah intervensi manajemen kepada karyawan yang kinerjanya tidak
memuaskan organisasi sebelum karyawan yang bersangkutan diberi sanksi atau
diberhentikan. Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan kepada SDM untuk
memperbaiki kinerja sebelum terkena hukuman atau pemberhentian. Didamping itu untuk
memberi peluang pada pimpinan agar dapat bekerja sama dengan SDM dalam memperbaiki
kesalahan yang dilakukan. Davis dan Newstrom (1985 : 90) menjelaskan bahwa untuk
menerapkan disiplin progresif diperlukan beberapa langkah yaitu teguran lisan, teguran
tertulis, skorsing, dan pemberhentian atau pemecatan;
4. Disiplin Tanpa Hukuman. Gray Dessler (1994:600) menjelaskan disiplin tanpa hukuman
(discipline without punishment) dengan tujuan untuk memperoleh peneerimaan karyawan
terhadap aturan, dengan mengurangi sifat punitif (menghukum) dari disiplin itu sendiri.
Adapun caranya adalah dengan memberi cuti selama satu hari tanpa potong gaji kepada
karyawan untuk mempertimbangkan apakah bersedia mematuhi aturan yang ada dan tetap
ingin bekerja. Pada disiplin tanpa hukuman ini nampaknya keputusan diserahkan kepada
karyawan yang bersangkutan dengan memberikan kesempatan/ waktu untuk berfikir dan
mempertimbangkan antara bersedia atau tidak dalam mematuhi aturan-aturan yang berlaku.
Tindakan seperti ini lebih baik karena karyawan seolah-olah tidak mersa dihukum.

Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan disiplin kerja itu ialah prilaku patuh dan taat
pada segala peraturan organisasi berdasarkan kesadaran untuk tercapainya tujuan organisasi.
Kepatuhan atau ketaatan itu secara garis besarnya dapat diukur melalui prilaku karyawan dalam
pelaksanaan tugas, tanggung jawab, kerja sama dan pengabdian.

2.2.1 Pendekatan Disiplin Kerja.

Terdapat tiga konsep dalam pelaksanaan tindakan disipliner: aturan tungku panas (Hot stove
rule), tindakan didiplin progresif (progresive discipline), dan tindakan disiplin positif (positive
descipline). Pendekatan-pendekatan aturan tungku panas dan tindakan disiplin progresif
terfokus pada perilaku masa lalu. Sedangkan pendekatan disiplin positif berorientasi pada
tindakan yang akan datang dalam bekerja sama dengan para karyawan untuk memecahkan
masalah-masalah sehingga masalah itu tidak timbul lagi.

Gambar 1 Konsep Kedisiplinan

2.2.2. Indikator-indikator Kedisiplinan.


Malayu S.P. Hasibuan (2010 : 194 - 198) menjelaskan tentang indikator-indikator yang
mempengaruhi tingkat kedisiplinan karyawan suatu organisasi yang dapat dipergunakan dalam
mempengaruhi bawahannya:

1. Tujuan dan kemampuannya.


2. Teladan kepemimpinan;
3. Balas jasa;
4. Keadilan;
5. Waskat;
6. Sanksi hukum;
7. Ketegasan; dan
8. Hubungan kemanusian.

Selain dari indikator- indikator di atas, Moekijat (2010 : 132) menjelaskan bahwa ada hubungan
yang sangat erat antara moral / semangat kerja yang tinggi dan displin. Apabila pegawai-pegawai
merasa bahagia dalam pekerjaannnya maka mereka pada umumnya mempunyai disiplin.
Sebaliknya apabila moral kerja atau semangat kerja mereka rendah maka mereka dapat
menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik.

REFERENCES

Gandara, D., 2021. Analisis Implementasi Strategi dari Perspektif Kepemimpinan dan Budaya
Organisasi pada Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soedirman 1 Kebumen. [online]
Jimfeb.ub.ac.id. Available at: <https://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/view/7106>
[Accessed 8 July 2021].

Widiati, E., 2012. PENGARUH MOTIVASI KERJA, DISIPLIN KERJA DAN BUDAYA
ORGANISASI TERHADAP KINERJA PEGAWAI KESEHATAN PADA RUMAH SAKIT
PANTI SECANTI GISTING. Magister. IBM ASMI.

Anda mungkin juga menyukai