Secara sederhana, budaya merupakan adat istiadat yang sudah berkembang dengan pengetahuan
masyarakat yang telah disepakati oleh kelompok-kelompok tertentu. Selanjutnya, budaya adalah
suatu kebiasaan bersama atau pola asumsi dasar yang ditemukan ataupun dikembangkan oleh
kelompok tertentu saat mereka belajar untuk menghadapi masalah-masalah, menyesuaikan diri
dengan lingkungan eksternal, dan berintegrasi dengan lingkungan intimal. Asumsi dasar tersebut
telah berjalan cukup baik untuk dianggap valid, oleh sebab itu dapat diajarkan kepada anggota
baru sebagai cara yang benar untuk mempersepsikan, berpikir, berperasaan sehubungan masalah-
masalah yang dihadapinya (Marwan dkk, 2020:35).
Darsono (2009: 8-9) mengatakan prestasi manusia sepanjang sejarahnya merupakan kebudayaan.
Untuk memahami manusia, seyogyanya ia ditempatkan pada kontek kebudayaan. Dalam
kebudayaan tercermin segala kenyataan yang bernilai dan berharga dari prestasi manusia. Dalam
kebudayaan kita bertemu dengan segala gejala kehidupan yang telah diolah serta diatur menurut
tata cara tertentu.
E.B. Taylor (1871) yang dikutip dalam buku: Soejono Soekanto (1990 : 172 -173) mengatakan
kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenia, moral, hukum,
adat-istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh
manusia sebagai anggota masyarakat.” Dengan kata lain, kebudayaan mencakup kesemuanya
yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri
dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola berfikir, merasakan dan bertindak.
Menurut Pearce dan Robinson (2016:382), budaya organisasi adalah sekumpulan asumsi penting
(seringkali tidak diungkapkan) yang dianut oleh semua anggota organisasi. Asumsi tersebut
menjadi asumsi bersama melalui internalisasi di kalangan anggota organisasi. Secara umum
budaya (kultur) mengandung 3 kaidah, yaitu kultur akibat pengaruh lingkungan bisnis; kultur
bawaan dari pendiri, pemimpin, dan pegawai; serta kultur bersama.
Definisi Budaya Organisasi menurut Ideational School yang dikutip oleh Achmad Sobirin (2009:
125-128) memberikan pengertian budaya organisasi sebagai “the system of such publicly and
collectively accepted meanings operating for given group at a given time” – Budaya adalah
sistem makna yang diterima secara terbuka dan kolektif, yang berlaku untuk waktu tertentu bagi
sekelompok orang tertentu. Sedangkan menurut Adaptationist School seperti dikemukakan oleh
stanly Charlem Hapden – Turner adalah sebagai adalah “Corporate culture is the pattern of
shared beliefs and value that give the members of an institution meaning, and provide them with
the rules for behavior in their organization”. Selanjutnya menurut Realist School seperti
dikemukakan oleh Edgar Schein adalah “Culture is a pettern of shared basic assumptions that
the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that
has work well enaugh to be considered valid and, therefore, to be thought to new members as the
correct way to perceive, think and feel in relation to these problems”
Nevizond Chatab (2007: 11) menyatakan fungsi budaya organisasi sebagai berikut:
1. Keteraturan prilaku yang dijalankan; seperti pemakaina bahasa atau terminologi yang
sama;
2. Norma; seperti standar prilaku yang ada pada suatu organisasi atau komunitas;
3. Nilai yang dominant; seperti mutu produk yang tinggi, efisiiensi yang tinggi;
4. Filosofi; seperti kebijakan bagaimana pekerja diperlakukan;
5. Aturan; seperti tuntunan bagi pekerja baru untuk bekerja di dalam organisasi;
6. Iklim organisasi; seperti cara para anggota organisasi berinteraksi dengan pelanggan
internal dan eksternal atau pengaturan tata letak bekerja (secara fisik).
Menurut Kreitner & Kinick (2007) yang di kutip oleh Komang Ardana, Ni Waya Mujiati, Anak
Agung Ayu Sriathi (2009: 170) menyatakan bahwa fungsi budaya organisasi mencakup
sebagaimana yang diperlihatkan dalam bagan sebagai berikut:
Nevizond Chatab (2007 : 12), menjelaskan bahwa proses budaya organisasi dapat dipandang dari
terbentuknya / terciptanya, dipertahankan / dipeliharanya dan diubah/ dikembangkannya budaya
organisasi. Sedangkan untuk menghadapi tantangan perubahan budaya diperlukan adaptasi proses
budaya:
Robbins dan Coulter (2004) yang di kutip oleh Komang Ardana, Ni Waya Mujiati, Anak Agung
Ayu Sriathi (2009 : 172) mengatakan bahwa budaya organisasi itu dapat ditransformasikan
kepada para pegawai dengan berbagai macam cara, yang mana yang paling banyak digunakan
adalah cara-cara berikut:
1. Cerita. Pendongeng organisasi dalam hal ini kalangan ekskutif senior menjelaskan
warisan perusahaan dan menampilkan cerita sebagai wujud penghargaan terhadp orang
yang telah melakukan sesuatu;
2. Ritual. Setia organisasi biasanya memiliki corak ritual sendiri-sendiri, dan terkadng sudah
mengakr dan menjadi bagian hidup suatu organisasi. Kegiatan ini mengekspresikan serta
meneguhkan nilai-nilai utama organisasi;
3. Simbol/ Lambang materi, seperti: pakaian seragam, tata organisasi dan unit di dalam
organisasi memakai bahasa sebagai cara untuk mengidentifikasi budaya. Dari waktu ke
waktu, sering organisasi mengembangkan istilah-istilah khusus untuk menggambarkan
peralatan, orang-orang penting, para pemasok, pelanggan atau produk-produk yang
berkaitan dengan bisnis, yang bisa sebagai alat pemersatu anggota organisasi.
Visi dan Misi. Budaya Organisasi terkait erat dengan visi dan misi yang menjiwai seluruh gerak
langkah suatu organisasi. Cyntia D. Scott, Dennis
T. Jaffe, Glenn R. Tobe (2010 : 3) mengatakan salah satu karakteristik utama organisasi serta tim
dengan kinerja tinggi adalah, mereka memiliki gambaran jelas tentang apa yang berusaha mereka
ciptakan bersama. Mereka pun merasa senang dan memahami tujuan dasar. Mereka memiliki
nilai bersama. Nilai, misi dan visi membentuk inti dan identitas mereka. Elemen kunci ini
mngandung lem yang membuat orang, tim dan organisasi bersikap responsif dan inovatif di
dalam situasi baru. Visi menyatakan “kita ingin menjadi apa”; misi menyatakan “apa yang
harus diperbuat”.
Pengertian Disiplin kerja. Veithzal Rivai (2004 : 444-445), Disiplin kerja adalah suatu alat yang
digunakan para manajer untuk berkomunikasi dengan karyawan agar mereka bersedia untuk
mengubah suatu prilaku serta sebagai suatu upaya untuk meningkatkan kesadaran dan kesediaan
seseorang menaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku. Sebagai
contoh, beberapa karyawan terbiasa terlambat untuk bekerja, mengabaikan prosedur
keselamatan, melalaikan pekerjaan detail yang diperlukan untuk pekerjaan mereka, tindakan
yang tidak sopan ke pelanggan, atau terlibat dalam tindakan yang tidak pantas.
Disiplin karyawan memerlukan alat komunikasi, terutama pada peringatan yang bersifat spesifik
terhadap karyawan yang tidak mau berubah sifat dan prilakunya. Penegakan disiplin karyawan
biasanya dilakukan oleh penyelia. Sedangkan kesadaran adalah sikap seseorang yang secara
sukarela mentaati semua peraturan dan sadar akan tugas dan tanaggungjawabnya. Sehingga
seorang karyawan yang dikatakan memiliki disiplin kerja yang tinggi jika yang bersangkutan
konskuen, konsisten, taat asas, bertanggung jawab atas tugas yang diamanahkan kepadanya.
Bentuk-bentuk Disiplin Kerja. Terdapat empat perspektif daftar yang menyangkut disiplin kerja
yaitu:
Darsono P. & TjatjukSiswandoko (2011 : 130 - 134) menjelaskan beberapa bentuk disiplin,
antara lain:
1. Displin Preventif merupakan cara manajemen untuk mencipta iklim organisasi yang
kondusif untuk meningkatkan produktivitas kerja. Pekerja prilakunya diatur oleh norma-
norma organisasi agar tidak merugikan organisasi di tempat mereka bekerja;
2. Disiplin Positif ialah pembinaan mental kerja karyawan yang kinerjanya tidak memuaskan.
Tujuannnya adalah membantu karyawan untuk memperbaiki diri, bukan memberi sanksi.
Pandangan ini didasarkan bahwa karyawan pada umumnya bersedia bertanggungjawab atas
pekerjaannya. Jika karyawan tidak mempunyai kesadaran diri terhadap kinerjanya, disiplin
positif tidak ada artinya apa- apa;
3. Disiplin Progresif ialah intervensi manajemen kepada karyawan yang kinerjanya tidak
memuaskan organisasi sebelum karyawan yang bersangkutan diberi sanksi atau
diberhentikan. Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan kepada SDM untuk
memperbaiki kinerja sebelum terkena hukuman atau pemberhentian. Didamping itu untuk
memberi peluang pada pimpinan agar dapat bekerja sama dengan SDM dalam memperbaiki
kesalahan yang dilakukan. Davis dan Newstrom (1985 : 90) menjelaskan bahwa untuk
menerapkan disiplin progresif diperlukan beberapa langkah yaitu teguran lisan, teguran
tertulis, skorsing, dan pemberhentian atau pemecatan;
4. Disiplin Tanpa Hukuman. Gray Dessler (1994:600) menjelaskan disiplin tanpa hukuman
(discipline without punishment) dengan tujuan untuk memperoleh peneerimaan karyawan
terhadap aturan, dengan mengurangi sifat punitif (menghukum) dari disiplin itu sendiri.
Adapun caranya adalah dengan memberi cuti selama satu hari tanpa potong gaji kepada
karyawan untuk mempertimbangkan apakah bersedia mematuhi aturan yang ada dan tetap
ingin bekerja. Pada disiplin tanpa hukuman ini nampaknya keputusan diserahkan kepada
karyawan yang bersangkutan dengan memberikan kesempatan/ waktu untuk berfikir dan
mempertimbangkan antara bersedia atau tidak dalam mematuhi aturan-aturan yang berlaku.
Tindakan seperti ini lebih baik karena karyawan seolah-olah tidak mersa dihukum.
Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud dengan disiplin kerja itu ialah prilaku patuh dan taat
pada segala peraturan organisasi berdasarkan kesadaran untuk tercapainya tujuan organisasi.
Kepatuhan atau ketaatan itu secara garis besarnya dapat diukur melalui prilaku karyawan dalam
pelaksanaan tugas, tanggung jawab, kerja sama dan pengabdian.
Terdapat tiga konsep dalam pelaksanaan tindakan disipliner: aturan tungku panas (Hot stove
rule), tindakan didiplin progresif (progresive discipline), dan tindakan disiplin positif (positive
descipline). Pendekatan-pendekatan aturan tungku panas dan tindakan disiplin progresif
terfokus pada perilaku masa lalu. Sedangkan pendekatan disiplin positif berorientasi pada
tindakan yang akan datang dalam bekerja sama dengan para karyawan untuk memecahkan
masalah-masalah sehingga masalah itu tidak timbul lagi.
Selain dari indikator- indikator di atas, Moekijat (2010 : 132) menjelaskan bahwa ada hubungan
yang sangat erat antara moral / semangat kerja yang tinggi dan displin. Apabila pegawai-pegawai
merasa bahagia dalam pekerjaannnya maka mereka pada umumnya mempunyai disiplin.
Sebaliknya apabila moral kerja atau semangat kerja mereka rendah maka mereka dapat
menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik.
REFERENCES
Gandara, D., 2021. Analisis Implementasi Strategi dari Perspektif Kepemimpinan dan Budaya
Organisasi pada Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soedirman 1 Kebumen. [online]
Jimfeb.ub.ac.id. Available at: <https://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/view/7106>
[Accessed 8 July 2021].
Widiati, E., 2012. PENGARUH MOTIVASI KERJA, DISIPLIN KERJA DAN BUDAYA
ORGANISASI TERHADAP KINERJA PEGAWAI KESEHATAN PADA RUMAH SAKIT
PANTI SECANTI GISTING. Magister. IBM ASMI.