Anda di halaman 1dari 15

BAB I

KONSEP BUDAYA ORGANISASI


(THE CONCEPT OF ORGANIZATIONAL CULTURE)

1.1 Pendahuluan
Budaya organisasi adalah istilah yang banyak digunakan tetapi
hal yang satu ini tampaknya menimbulkan tingkat ambiguitas dalam hal
menilai efektivitasnya pada variabel perubahan dalam suatu organisasi.
Selama beberapa dekade terakhir, sebagian besar saran akademisi dan
praktisi yang mempelajari organisasi konsep budaya adalah iklim dan
praktik-praktik itu organisasi berkembang penanganan orang di sekitar
mereka (Schein, 2004). Watson (2006) menekankan bahwa yang penting
Kecenderungan pemikiran manajerial dalam beberapa dekade terakhir
telah menjadi satu mendorong manajer untuk mencoba menciptakan
yang kuat budaya organisasi.
Penelitian ini meninjau bukti yang menunjukkan mengapa
mengelola budaya penting untuk meningkatkan keduanya secara efektif
kinerja organisasi dan, secara makro, publik program modernisasi
layanan. Berdasarkan nasional dan literatur internasional ditinjau dan
wawancara dilakukan, bimbingan diberikan sehubungan dengan lebih
banyak mengelola budaya secara efektif, dan masalah-masalah yang
harus ditangani syarat keterlibatan dan penggunaannya yang efektif di
publik layanan diuraikan. Prinsip dasar budaya organisasi dan-
bagaimana seorang pemimpin menciptakan Budaya organisasi yalg
diikuti oteh personil dan kelompok yang ada dalam perusahaan tersebut
guna memajukan organisasi/perusahaannya.
Di Indonesia, Budaya organisasi mulai diperkenalkan di era 1990-
an ketika saat itu banyak dibicarakan peiihal konflik budaya, bagaimana
mempertahankan budaya Indonesia serta pembudayaan nilai-nilai baru.
Seiring dengan itu, budaya organisasi kemudian dimasukkan dalam
kurikulum berbagai program pendidikan, pelatihan, bimbingan, dan
penyuluhan, baik di lingkungan perguruan tinggi dan instansi
pemerintah, maupun diberbagai perusahaan swasta besar di Indonesia.

1
1.2 Definisi Budaya Organisasi
Sebelum sampai kepada pengertian budaya organisasi, penulis ingin
menjelaskan terlebih dahulu pengertian budaya dan organisasi itu
sendiri. Pengertian budaya telah banyak didefinisikan oleh para ahli
budaya. Kroeber dan Kluckhohn pada tahun 1952 bahkan menemukan
164 definisi budaya. Oleh karena itu, definisi yang akan dikemukakan
dalam tulisan ini hanya yang terkait dengan budaya organisasi.
1. Taliziduhu Ndraha dalam bukunya Budaya organisasi mengemukakan
definisi budaya menurut Edward Burnett dan Vijay Sathe sebagai
berikut.
Edward Burnett
Culture or Civilization, taken in its wide technographic sense, is that
complex whole which includes lorcwledge, belief art, morals, law, custom
and any other capabilities and habits acquired by men as a member of
society.
Budaya mempunyai pengertian teknografis yang luas meliputi ilmu
pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan
berbagai kemampuan dan kebiasaan lainnya yang didapat seba'gai
anggota masyarakat.
Vijay Sathe
Culture is the set of important assumptions (often unstated) that
members of a community share in common.
Budaya adalah seperangkat asumsi penting yang dimiliki bersama
anggota masyarakat.
2. Robert G. owens dalarn bukunya organizational Behavior in Education
mengemukakan definisi budaya menurut Terrence Deal andAllan
Kennedy sebagai berikut.
Culture is a system of shared values and benefit that interact with an
organization’s people, organizational structures, and control systems to
produce behavioral norms.
Budaya adalah suatu sistem pembagian nilai dan kepercayaan yang
berinteraksi dengan orang dalam suatu organisasi, struktur organisasi,
dan sistem kontrol yang menghasilkan norma perilaku.
3. Edgar H. schein mendefinisikan budaya dalam bukunya organizational
Cutural and Leadership sebagai berikut.

2
Culture is a pattern of basic assumption invented, discovered, or
developed by given group as it learns to cope with is ploblem of external
adaptation and internal integration - that has worked well enough to be
considered valid and, therefore, to be taught to new members as the
correct way to perceive, think and fill in relation to those problems.
Budaya adalah suatu pola asumsi dasar yang diciptakan' ditemukan
atau dikembangkan oleh kelompok tertentu sebagai pembelajaran
untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan integrasi internal
yang resmi dan terlaksana d"rrgurriuit dan oleh karena itJ
diajarkar/diwariskan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang
tepat memahami, memikirkan, dan merasakan terkait dengan masalah-
masalah tersebut.
Dari empat defenisi budaya diatas, dapat diketahui bahwa unsur-
unsur yang terdapat dalam budaya terdiri dari: a. Ilmu Pengetahuan;
b. kepercayaan; c. seni; d. moral; e. hukum; f. adat istiadat; ;
perilaku/kebiasaan (norma) masyarakat; h. asumsi-asumsi dasar; i
sistem nilai; j. pembelajaran/pewarisan; k.masalah adaptasi eksternal
dan integrasi internal serta cara mengatasinya.
Demikian pula organisasi telah banyak didefinisikan oleh para ahli
organisasi dan manajemen antara lain sebagai berikut:
a. J.R. Schermerhorn
Organization is a collection of people working together in a division of
labor to achieve a common purpose.
Organisasi adalah kumpulan orang yang bekerja sama untuk mencapal
tujuan bersama.
b. Chester J. Bernard
Organization is a cooperation of two or more persons, a system of
consciously coordinated personal activities or forces.
Organisasi adalah kerja sama dua orang atau lebih, suatu sistem dari
kegiatan- kegiatan atau kekuatan pribadi yang terkoordinasi secara
sadar.
c. PhiliP Selznick
Organization is arrangement of personal for facilitating the
accomplishment of agreed purpose through the allocation of functions
and responsibilities.

3
Organisasi adalah pengaturan personil guna memulanf1 pencapaian
beberapa tujuan yang telah ditetapkan melalui alokasi fungsi dan
tanggung jawab.
Berdasarkan ketiga definisi organisasi diatas, dapat diketahui
bahwa hal-hal yang tercakup dalam organisasi terdiri dari: 1. kumpulan
dua orang atau lebih; 2. kerja sama; 3. tujuan bersama; 4.
sistemkoordinasikegiatan; 5. pembagian tugas dan tanggung jawab
personil.
Budaya organisasi telah didefinisikan oleh beberapa ahli, antara
lain sebagai berikut:
a. Peter F. Druicker dalam buku Robert G. Owens, Organizational
Behavior in Education.
Organizational Culture is the body of solutions to external and internal
problems that has worked consistently for a group and that is therefore
taught to new members as the correct way to perceive, think about, and
feel in relation to those problems.
Budaya organisasi adalah pokok penyelesaian masalah-masalah
eksternal dan internal yang pelaksanaannya diiakukan secara
konsisten oleh suatu kelompok yang kemudian mewariskan kepada
anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami,
memikirkan dan mewariskan kepada anggota-anggota baru sebagai
cata yang tepat untuk memahami, memikirkan, dan merasakan
terhadap masalah-masalah terkait seperti di atas.
b. Phithi Sithi Amnuai dalam tulisannya How to Build a Corporation
Culture dalam majalah Asian Manajer (September 1989) mendefinisikan
budaya organisasi sebagai berikut:
Organizational culture is a set of basic assumptions and beliefs that are
shared by members of an organization, being developed as they learn to
cope with problems of external adaptation and internal integration.
Budaya organisasi adalah seperangkat asumsi dasar dan keyakinan
yang dianut oleh anggota-anggota organisasi, kemudian dikembangkan
dan diwariskan guna mengatasi masalah-masalah adaptasi eksternal
dan masalah integrasi internal.
Baik definisi budaya organisasi yang dikemukakan oleh Peter F.
Drucker maupun Phithi Sithi Amnuai menunjukkan adanya kesamaan
dengan definisi budaya yang dikemukakan oleh Edgar H. Schein.
4
Dari 3 (tiga) definisi yang dikemukikan oleh para tokoh budaya
organisasidi atas terkandung unsur-unsur dalam budaya organisasi
sebagai berikut.
1. Asumsi dasar, Dalam budaya organisasi terdapat asumsi dasar yang
dapat berfungsi sebagai pedoman bagi anggota maupun kelompok
dalam organisasi untuk berperilaku.
2. Keyakinan yang dianut, Dalam budaya organisasi terdapat keyakinan
yang dianut dan dilaksanakan oleh para anggota organisasi. Keyakinan
ini mengandung nilai-nilai yang dapat berbentuk slogan atau moto,
asumsi dasar, tujuan umum organisasi/perusahaan, filosofi usaha,
atau prinsip-prinsip menjelaskan usaha.
3. Pemimpin atau kelompok pencipta dan pengembangan budaya
organisasi. Budaya organisasi perlu diciptakan dan dikembangkan oleh
pemimpin organisasi/perusahaan atau kelompok tertentu dalam
organisasi atau perusahaan tersebut.
4. Pedoman mengatasi masalah. Dalam organisasi/perusahaan, terdapat
dua masalah pokok yang sering muncul, yakni masalah adaptasi
eksternal dan masalah integrasi intemal. Kedua masalah tersebut
dapat diatasi dengan asumsi dasar dan keyakinan yang dianut
bersama anggota organisasi.
5. Berbagi nilai (sharing of value) Dalam budaya organisasi perlu berbagi
nilai terhadap apa yang paling diinginkan atau apa yang lebih baik
atau berharga bagi seseorang.
6. Pewarisan (learning process). Asumsi dasar dan keyakinan yang dianut
oleh anggota organisasi perlu diwariskan kepada anggota-anggota baru
dalam organisasi sebagai pedoman untuk bertindak dan berperilaku
dalam organisasi/perusahaan tersebut.
7. Penyesuaian (adaptasi). Perlu penyesuaian anggota kelompok terhadap
peraturan atau norma yang
berlaku dalam kelompok atau organisasi tersebut, serta adaptasi
organisasi/perusahaan terhadap perubahan lingkungan.
1.3 Jenis budaya organisasi
Penting untuk dicatat bahwa tidak hanya ada satu budaya
organisasi. Secara luas diakui oleh literatur akademik bahwa organisasi
yang berbeda memiliki budaya yang berbeda. Juga, mungkin ada lebih
dari satu budaya dalam organisasi. Satu klasifikasi budaya tipe diusulkan
5
dalam Bradley dan Parker (2006) Kerangka Nilai Pesaing/Competing
Values Framework (CVF) (CVF), berdasarkan pada karya Quinn dan
Rohrbaugh (1983) (lihat Gambar 2.1).

Gambar 2.1
Kerangka Nilai Pesaing dari Budaya Organisasi

CVF telah digunakan dalam sejumlah penelitian untuk menyelidiki


budaya organisasi (mis. Harris dan Mossholder, 1996). CVF memeriksa
peserta tuntutan dalam organisasi antara internal dan mereka
lingkungan eksternal di satu sisi dan di antara kontrol dan fleksibilitas di
sisi lain (Bradley dan Parker, 2001). Tuntutan yang saling bertentangan
ini merupakan dua sumbu dari model nilai yang bersaing. Organisasi
dengan fokus internal menekankan integrasi, informasi manajemen dan
komunikasi, sedangkan organisasi dengan fokus eksternal menekankan
pertumbuhan, sumber daya akuisisi dan interaksi dengan lingkungan
eksternal.
Pada dimensi kedua dari tuntutan yang saling bertentangan,
organisasi dengan fokus pada kontrol menekankan stabilitas dan kohesi
sementara organisasi dengan fokus pada fleksibilitas menekankan
kemampuan beradaptasi dan spontanitas. Gabungan, ini dua dimensi
nilai bersaing memetakan empat utama 'Jenis' budaya organisasi yang

6
diungkapkan secara teoritis analisis organisasi (Zammuto, Gifford dan
Goodman, 1999):
1. Model proses internal melibatkan kontrol/ internal fokus di mana
manajemen informasi dan komunikasi digunakan untuk mencapai
stabilitas dan kontrol. Model ini juga disebut sebagai 'Budaya hierarkis'
karena melibatkan penegakan hukum aturan, kesesuaian, dan
perhatian pada masalah teknis (Denison dan Spreitzer, 1991). Model
proses internal paling jelas mencerminkan model teoritis tradisional
birokrasi dan administrasi publik yang diandalkan aturan dan
prosedur formal sebagai mekanisme kontrol (Weber, 1948; Zammuto,
Gifford dan Goodman, 1999) Bradley dan Parker, 2001, 2006).
2. Model sistem terbuka melibatkan fleksibilitas/ eksternal fokus di mana
kesiapan dan kemampuan beradaptasi digunakan untuk mencapai
pertumbuhan, akuisisi sumber daya dan eksternal dukung. Model ini
juga disebut sebagai 'Budaya perkembangan' karena dikaitkan dengan
pemimpin inovatif dengan visi yang juga mempertahankan fokus pada
lingkungan eksternal (Denison dan Spreitzer, 1991). Organisasi-
organisasi ini dinamis dan berwirausaha neurial, pemimpin mereka
adalah pengambil risiko, dan organisasi hadiah terkait dengan inisiatif
individu (Bradley dan Parker, 2001, 2006).
3. Model hubungan manusia melibatkan fleksibilitas/ fokus internal di
mana pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia yang lebih
luas dimanfaatkan untuk mencapai kohesi dan semangat kerja
karyawan. Model ini budaya organisasi juga disebut sebagai 'Budaya
kelompok' karena dikaitkan dengan kepercayaan dan partisipasi
melalui kerja tim. Manajer di organisasi jenis ini berupaya mendorong
dan membimbing karyawan (Bradley dan Parker, 2001, 2006).
4. Model tujuan rasional melibatkan kontrol/ eksternalfokus di mana
perencanaan dan penetapan tujuan digunakan untuk mencapai
produktivitas dan efisiensi. Model ini budaya organisasi disebut sebagai
budaya rasional karena penekanannya pada hasil dan tujuan
pemenuhan (Denison dan Spreitzer, 1991). Organisasi tipe ini
berorientasi produksi, dan manajer mengatur karyawan dalam
mengejar tujuan yang ditentukan dan tujuan, dan imbalan terkait
dengan hasil (Bradley and Parker, 2001, 2006).

7
Pentingnya pemahaman akademik tentang jenis budaya bukanlah
jenis yang ada dalam bentuk murni di organisasi. Adalah mungkin bagi
organisasi untuk menampilkan beberapa jenis budaya. Sebaliknya, itu
adalah tipologi seperti itu membantu dalam pemahaman kita tentang
budaya dan dominan berpikir untuk menyeimbangkan kembali apa yang
dibutuhkan jika budaya ingin bergeser untuk mendukung praktik dan
nilai baru.
Jenis-jenis budaya organisasi dapat juga ditentukan berdasarkan
proses informasidan tujuannya.
1. Berdasarkan Proses Informasi
Robert E. Quinn dan Michael R. McGrath (dalam bukuArie Indra
Chandra) membagi budaya organisasi berdasarkan proses informasi
sebagai berikut:
a. Budaya rasional. Dalam budaya ini, proses informasi individual
(klarifikasi sasaran pertimbangan logika, perangkat pengarahan)
diasumsikan sebagai sarana bagi tujuan kinerja yang ditunjukkan
(efisiensi, produktivitas, dan keuntungan atau dampak).
b. Budaya ideologis. Dalam budaya ini, pemrosesan informasi intuitif
(dari pengetahuan yang dalam, pendapat dan inovasi) diasumsikan
sebagai sarana bagi tujuan revitalisasi (dukungan dari luar,
perolehan sumber daya dan pertumbuhan).
c. Budaya konsensus. Dalam budaya ini, pemrosesan informasi
kolektif (diskusi, partisipasi, dan konsensus) diasumsikan untuk
menjadi sarana bagi tujuan kohesi (iklim, moral, dan kerja sama
kelompok).
d. Budaya hierarkis. Dalam budaya hierarkis, pemrosesan informasi
formal (dokumentasi, komputasi, dan evaluasi) diasumsikan sebagai
sarana bagi tujuan kesinambungan (stabilitas, kontrol, dan
koordinasi).
Sistem transaksi atau aturan pengelolaan keempat jenis budaya
organisasi di atas dapat dilihat pada Tabel 1.1.
Tabel 1.2
Sistem Transaksi atau Aturan Pengelolaan Empat Jenis Budaya
Organisasi menurut Quin dan Grath

Budaya Budaya Budaya Budaya


Penjelasan
Rasional ldeologis Konsensus Hierarkis
Keperluan/ Mengejar Keperluan Memelihara Melaksanaka
8
tujuan tujuan yang luas kelompok n aturan
organisasi
Kriteria kinerja Produktivitas Dukungan Moral Kontrol
, efisiensi ekternal, kohesi stabilitas
pertumbuha
n dan
perolehan
sumber daya
Lokasi otorita Bos Karisma Keanggotaa
n
Dasar Kompetensi Nilai-nilai Status Aturan
kekuasaan informal

Pengambilan Pernyataan Pandangan Partisipasi Pengetahuan


keputusan formal atas dari dalam Teknis
keputusan yang intuitil
Gaya Mengarahka Mengusulka Hirau, Konservatif,
kepemimpinan n, n, mendukung waspada/hati
berorientasi berorientasi -hati
pada sasaran pada resiko
Pemberian Perjanjian Komitmen Komitmen Pengawasan
pendapatan kontrak pada Nila- berasal dari dan kontrol
nilai proses
Evaluasi anggota Keluaran lntensitas Kualitas Kriteria
yang tampak untuk hubungan formal
berusaha
Motif-motif Pemeliharaan Pertumbuha Aplikasi Keamanan
kepemilikan n

Sumber: Arie Indra chandra : Budaya organisasi dan Kepuasan Keria


(studi Kasus Krakatau Steel Cilegon), '1994.
2. Berdasarkan Tujuannya
Talizuduhu Ndraha membagi budaya organisasi berdasarkan
tujuannya, yaitu:
a. budaya organisasi Perusahaan;
b. budaya organisasi Publik;
c. budayaorganisasi sosial.
1.4 Pentingnya budaya
Beberapa temuan peneliti menunjukkan bahwa beberapa jenis
budaya berkorelasi dengan kinerja ekonomi (Denison, 1990; Kotter dan
Heskett, 1992; Sorensen, 2002). Boyne (2003) menyarankan hubungan
antara budaya organisasi perubahan dan peningkatan layanan publik.
Demikian pula, Ban (1995) dalam sebuah studi dari US Environmental
Protection Agency, menemukan bahwa agensi itu lebih mahir dari yang
lain agen federal dalam mengurangi efek terpusat batasan kebijakan
sumber daya manusia federal. Ini ditautkan ke status agensi sebagai
adhokrasi dengan terbuka budaya, fokus pada perubahan dan
9
fleksibilitas, dan ditandai dengan pemecahan masalah yang kreatif dan
pengambilan risiko.
Pemahaman budaya organisasi dan budaya tipe juga membantu
pemahaman kita tentang mengapa manajerial reformasi dapat berdampak
berbeda di dalam dan di antara organisasi. Organisasi dengan
dominasibudaya proses internal, misalnya, mungkin lebih tahan terhadap
reformasi yang bertujuan mempromosikan inovasi. Pollitt dan Bouckaert
(2004, hal.55) catatan:
‘We would also expect staff in high uncertainty avoidance cultures to be
more concerned with rule-following and more reluctant to risk changing
jobs - both factors of some importance for those reformers who want to
deregulate bureaucracies and encourage more rapid job change in the
public service‘.
Kami juga berharap staf dalam budaya penghindaran ketidakpastian
tinggi menjadi lebih peduli dengan mengikuti aturan dan lebih enggan
mengambil risiko berganti pekerjaan - kedua faktor penting bagi mereka
reformis yang ingin menderegulasi birokrasi dan mendorong perubahan
pekerjaan yang lebih cepat di layanan publik.
Praktisi di sektor swasta dan publik memiliki menyadari bahwa
perubahan organisasi sering kali memerlukan mengubah budaya dan
pembelajaran organisasi. Untuk misalnya, dalam hal meningkatkan
perkembangan karir pengaturan dalam layanan sipil, O'Riordan dan
Humphreys (2002) menyarankan perlunya perubahan budaya organisasi
di banyak bidang departemen (hal.83). Secara khusus, O'Riordan (2004)
mengatakan bahwa ‘developing a culture in which career progression and
development of staff is prioritised represents an important retention and
motivation tool’ (p.77) ‘berkembang budaya di mana kemajuan karir dan
pengembanganstaf diprioritaskan merupakan retensi penting dan alat
motivasi '(hal.77).
Zalami (2005) mencatat bahwa budaya dapat memfasilitasi atau
menghambat transformasi kelembagaan tergantung pada apakah atau
tidak budaya yang ada selaras dengan tujuan perubahan yang diusulkan.
Ini juga dicatat oleh O'Donnell (2006) di ketentuan budaya yang
memfasilitasi inisiatif inovatif di dalam sektor publik dan menyediakan
lingkungan yang mendukung untuk mengembangkan 'pemimpin yang
giat' (hal.98). Masalah budaya muncul sebagai tema berulang sepanjang
10
studi CPMR tentang Inovasi di Sektor Publik Irlandia dan menyarankan
‘Sikap manajemen terhadap manajemen risiko dan toleransi menuju
kegagalan perlu penelitian lebih lanjut dalam hal mereka berdampak
pada pengembangan budaya kewirausahaan di dalam sektor publik
’(hal.96).
Literatur akademik menyarankan bahwa tradisional budaya
organisasi di sektor publik cenderung menghambat modernisasi layanan
publik kecuali mereka sendiri diubah untuk menjadi selaras dengan
modern peran pemerintah sebagai mesin pertumbuhan ekonomi (swasta
pengembangan sektor, kepemilikan perusahaan negara). Zalami (2005),
sebagaimana dirangkum dalam Tabel 2.1, mencatat perubahan itu
pendukung telah mengidentifikasi atribut sektor publik budaya yang
berfokus pada otoritas dan kontrolnya, diarahkan oleh peraturan, sifat
birokrasi, penggunaan sumber daya yang tidak efisien, tidak bertanggung
jawab atas hasil, dan menyarankan paradigma baru lebih responsif
terhadap kebutuhan warga.
Tabel 1.2
Paradigma

Budaya, merupakan hal utama dalam konteks adanya reformasi


manajemen dalam pelayanan publik. Sederhana pendekatan
menunjukkan bahwa budaya birokrasi lama pelayanan publik harus
dibongkar dan diganti dengan yang lebih banyak sektor swasta seperti
budaya kewirausahaan. Tapi kenyataannya adalah, seperti yang
disarankan di sini, bahwa pendekatan sederhana akan tidak bekerja.
Pemahaman yang lebih lengkap tentang budaya dan alasannya untuk
budaya organisasi tertentu dalam pelayanan publik adalah pusat
reformasi manajemen yang berhasil.

11
1.5 Budaya Organisasi Dan Budaya Perusahaan
Di atas telah dikemukakan pengertian budaya organisasi dan
unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Pada subbab ini penulis
ingin membahas seberapa jauh hubungan budaya organisasi dengan
budaya perusahaan. Untuk sampai kepada pembahasan tersebut, penulis
terlebih dahulu ingin mengemukakan pengertian budaya perusahaan
(Corporate Culture).
Beberapa ahli telah mengemukakan definisi budaya perusahaan,
antara lain sebagai berikut.
1. J. Scherriton & J.L. Stern
Corporate Culture generally refers to environment or personality of
organization, with all its multifaceted dimensions. We devide corporate
culture into four aspects. Those are ritualized patterns, management
styles and philosophies, management system and procedures, as well as
written and unwritten norms and procedures.
Budaya perusahaan umunnya terkait dengan lingkungan atau
personalitas organisasi dengan segala dimensi masalah yang dihadapi.
Kami membagi budaya perusahaan dalam 4 (empat) aspek, yaitu pola
ritual, gaya manajemen dan filosofinya, sistem dan prosedur
manajemen, serta norma-norma dan prosedur-prosedur tertulis dan
tidak tertulis.
2. Robbins, dalam bukunya Organizational Behavior
menyatakan bahwa budaya perusahaan adalah sekumpulan sistem
nilai yang diakui dan dibuat oleh semua anggotanya yang membedakan
perusahaan yang satu dengan yang lainnya.
3. Deal and Kennedy, dalam bukunya Corporate Culture
Budaya perusahaan adalah nilai inti sebagai esensi falsafah
perusahaan untuk mencapai sukses yang didukung semua warga
organisasi dan memberikan pemahaman bersama tentang arah
bersama dan menjadi pedoman perilaku mereka dari hari ke hari.
Faktor-faktor pembentuk budaya perusahaan adalah lingkungan
bisnis, nilai-nilai, pahlawan/pelopor ritus dan ritual sertajaringan
budaya.
4. J.P. Kotter and J.L. Heskett dalam bukunya Corporate Culture and
Performance

12
Budaya perusahaan adalah nilai dan praktik yang dimiliki bersama di
seluruh kelompok dalam satu perusahaan, sekurang-kurangnya dalam
manajemen senior. Budaya dalam suatu organisasi terdiri dari nilai
yang dianut bersama dan norma perilaku kelompok.
Dari 4 (empat) definisi di atas, tampak bahwa unsur-unsur yang
terdapat dalam budaya perusahaan terdiri dari: a. Sistem nilai(nilai inti);
b. Lingkungan bisnis; c. pahlawan/pelopor; d. Jaringan budaya; e.pola
ritual keyakinan, nilai dan perilaku; f. gaya manajemen; g. sistem dan
prosedur manajemen; h. norma-norma dan prosedur; i. pedoman
perilaku.
Dari unsur-unsur budaya perusahaan di atas, tampak ada
kesamaan antara budaya organisasi dan budaya perusahaan yang
menyangkut: a. asumsi dasar atau pedoman perilaku; b. keyakinan yang
dianut bersama; c. pemimpin atau pahlawan pencipta budaya
organisasi/perusahaan; d. pedoman perilaku dalam mengatasi masalah;
e. sistem nilai atau nilai-nilai yang dianut; f. lingkungan internal dan
ekstemal; g. pewarisan dan penyesuaian.
Dengan demikian, antara budaya organisasi dan budaya
perusahaan saling terkait karena kedua-duanya ada kesamaan,
meskipun dalam budaya perusahaan terdapat hal-hal khusus seperti
gaya manajemen dan sistem manajemen dan sebagainya, namun
semuanya masih tetap dalam rangkaian budaya organisasi.
Taliziduhu Ndraha dalam bukanya Budaya Organisasi
menyatakan bahwa budaya organisasi merupakan genus dan budaya
perusahaan salah satu spesiesnya. Temuan-temuan kajian budaya
organisasi bisa berlaku untuk budaya perusahaan, tetapi temuan-temuan
kajian dalam budaya perusahaan mungkin tidak seluruhnya berlaku buat
budaya organisasi.
1.6 Latihan Studi Kasus
Volvo IT (2000–2010)
Volvo IT adalah perusahaan global yang berbasis di Gothenburg, Swedia.
Peran utamanya adalah untuk menyediakan layanan TI dan mendukung
tim ke jaringan global industri Volvo.
Mereka secara proaktif bekerja dengan budaya mereka mulai tahun 2000,
dipimpin oleh Manajer Budaya penuh waktu, yang tidak memilih anggota
Tim Eksekutif. Studi kasus ini mencakup transformasi budaya dan
13
perjalanan pembangunan selama selama sebelas tahun (2000 hingga
2011). Inti dari perjalanan budaya adalah Duta Budaya Program, dimulai
pada tahun 2001. Selama tahun-tahun berikutnya, Volvo IT melatih lebih
dari 500 Duta Budaya yang secara aktif mengembangkan budaya di
seluruh organisasi.
Niat dan keyakinan mendasar dengan Budaya ini
Program Duta Besar adalah memberdayakan dan melatih semua formal
dan pemimpin informal untuk mengembangkan kemampuan mereka
untuk menumbuhkan budaya yang diinginkan. Itu adalah perjalanan
yang sedang berlangsung untuk menemukan, mendefinisikan, tumbuh
dan rawat nilai-nilai inti yang dianutnya Fokus pekerjaan budaya
berkembang seiring waktu, karena mereka menanggapi perubahan
kondisi pasar, ambisi strategis dan kebutuhan organisasi, karyawan, dan
pemangku kepentingan. Inilah temanya dalam perjalanan budaya mereka
yang muncul seiring waktu:
Tumbuh Satu Perusahaan: Identitas IT Volvo (2000–2002)
Di awal perjalanan, Volvo IT adalah perusahaan yang baru dibentuk
dengan menggabungkan IT departemen dari tujuh unit bisnis Volvo plus
departemen TI Grup. Tantangan pertama adalah untuk membentuk
budaya bersama untuk organisasi baru, terutama yang berlokasi di
Swedia, Belgia dan Amerika Serikat. Tim diidentifikasi dengan unit bisnis
lama mereka sehingga tidak ada identitas bersama. Ini mengarah ke
internal positioning dan kompetisi. Tantangan utama mereka adalah
mengembangkan seperangkat nilai dan budaya bersama di antara tim
yang tersebar dan membuat satu identitas IT Volvo.
Fokus Pelanggan Tumbuh (2003–2008)
Setelah norma-norma budaya ditetapkan secara internal, mereka mulai
lebih fokus secara eksternal. Karena mereka menjadi entitas yang
terpisah dari Volvo, hubungan internal sebelumnya menjadi pelanggan /
pemasok hubungan, yang menyerukan perilaku dan sikap baru. Selain
itu, Volvo IT mulai dimiliki pelanggan eksternal. Selama periode ini, Volvo
IT tumbuh dari 3.000 menjadi 7.000 karyawan pada puncaknya di tahun
2009.
Memastikan Ketahanan: Budaya di Kota (2008-2010)
Segera setelah krisis keuangan melanda, Volvo dan Volvo IT mengalami
penurunan bisnis yang signifikan. Mereka harus membuat keputusan
14
darurat untuk mengatasi situasi tersebut. Akibatnya mereka harus
membiarkan pergi 2000 dari 7000 karyawan dan konsultan mereka
dalam waktu enam bulan untuk menyesuaikan diri dengan bisnis
berkurang volume. Sementara itu adalah masa yang sulit, kepemimpinan
sadar tentang menjalankan nilai-nilai mereka, untuk mempertahankan
budaya yang mereka inginkan dan tidak mengikis kepercayaan. Karyawan
tahu bahwa itu masalah keberlanjutan jangka panjang. Tingkat kepuasan
karyawan tetap sekitar 90 persen.
Realisasi Strategi: Budaya Sebagai Enabler (2010–2011)
Begitu pasar mulai pulih, Volvo IT tumbuh lagi hingga mencapai 7000
karyawan dan kontraktor pada tahun 2011. Selama periode ini, fokus
budaya adalah memenuhi strategi mereka sambil terus melakukannya
mengembangkan dan merawat budaya mereka.
Selama sepuluh tahun ini, Volvo IT terus melatih Duta Budaya mereka
untuk bekerja sama secara kooperatif tim mereka untuk mengamankan
tujuan dan budaya strategis mereka.
Hasil
 Mempertahankan tingkat kepuasan karyawan yang luar biasa tinggi,
bahkan ketika harus dikurangi 2000 staf. Indeks Kepuasan Karyawan
(ESI) tetap sekitar 90 persen selama lima tahun.
 Kepuasan pelanggan meningkat lebih dari 30 persen selama dekade ini.
Beberapa pelanggan pernah Kepuasan 100 persen pada survei.
 Peningkatan ketepatan pengiriman proyek dari 55 menjadi 90 persen.
 Mereka terpilih sebagai yang terbaik di kelasnya untuk perusahaan IT
paling menarik (diberi peringkat oleh Universum).
Pertanyaan
1. Jelaskan Karakteristik atau jenis Budaya Organisasi pada Volvo IT.
2. Jelaskan bagaimana penerapan Budaya Organisasi pada Volvo IT.
3. Berikan Kesimpulan dari Studi kasus tersebut.

15

Anda mungkin juga menyukai