Anda di halaman 1dari 17

ARTIKEL PENELITIAN

PERILAKU ORGANISASI

“DESAIN DAN STRUKTUR ORGANISASI”

Di Susun Oleh :

Kelompok 5

Rizka Febriyanti C20117478

Ayu Novelia C20119012

Tarisa Ferina C20119014

Nurhalisa C20119015

Muh Fuat Jindar C20119017

Gilfanny Putri C20119019

Alif Ririn Suryaningsih C20119022

PROGAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS TADULAKO

2020/2021
BAB I

PENDAHULUAN

Setiap individu memiliki kepribadian, begitu pula dengan organisasi. Sebagaimana


individu yang memiliki kepribadian yang menjadi karakteristiknya yang berbeda antara
individu satu dengan lainnya, demikian halnya dengan karakteristik organisasi yang menjadi
pembeda dengan organisasi lainnya. Karakteristik organisasi ini menjadi ciri khas yang
menjadi penanda sebuah organisasi. Dalam hal ini, sebagaimana individu, organisasi dapat
digolongkan sesuai dengan sifat-sifat yang dimilikinya. Sifat-sifat inilah yang selanjutnya
dapat digunakan untuk memperkirakan sikap dan prilaku individu yang ada dalam organisasi.

Terdapat suatu variabel dalam organisasi yang memiliki peran yang sangat
menentukan dalam pencapaian tujuan organisasi, yang walaupun sukar untuk ditentukan atau
diuraikan secara seksama tatapi variabel itu ada, dan variabel tersebut biasanya diuraikan
oleh prilaku orang-orang yang ada dalam organisasi dalam bentuk-bentuk yang umum sekali.
Variabel tersebut seringkali kita sebut dengan istilah budaya dan iklim organisasi.
Sebagaimana budaya-budaya suku memiliki totem dan pantangan yang mengatur bagaimana
masing-masing anggota suku bertindak terhadap anggota suku dan orang lain diluar sukunya,
maka suatu organisasi juga memiliki budaya yang mengatur bagaimana anggota-anggotanya
bersikap.

Iklim organisasi juga menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji, dikarenakan kedua
variabel dalam organisasi ini dapat dikatakan menjadi penentu bagi keefektifan organisasi
dalam mencapai tujuannya. Jika diibaratkan sebuah senter, maka iklim organisasi adalah
lampunya sedangkan budaya organisasi adalah baterainya. Sangat jelas sekali senter itu tidak
akan bisa menyala jika baterainya tidak ada. Demikian pula dengan organisasi, Iklim yang
ada dalam organisasi sangat ditentukan oleh bagaimana budaya yang berkembang dalam
organisasi tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, makalah ini akan membahas tentang budaya organisasi
yang mencakup komponen, fungsi, karakteristik, klasifikasi, bagaimana membentuk dan
mempertahankan budaya organisasi. Hal lain yang juga akan dibahas dalam makalah ini
adalah tentang iklim organisasi yang berisi komponen serta hasil-hasil penelitian tentang
iklim organisasi yang pernah dilakukan.
BAB II

PEMBAHASAN

“BUDAYA DAN IKLIM ORGANISASI”

A. BUDAYA ORGANISASI

a. Budaya

Istilah budaya berasal dari bahasa Latin yaitu colere yang berarti mengolah,
mengerjakan, terutama mengolah tanah atau bertani. Kemudian dalam bahasa Inggris
menjadi culture. Menurut Kotter dan Haskett (1922:3), perhatian masyarakat
akademik terhadap budaya berasal dari studi antropologi sosial yang pada akhir abad
ke-19 melakukan studi terhadap masyarakat “primitif”, seperti Eskimo, Afrika dan
penduduk asli Amerika. Studi tersebut mengungkapkan bahwa cara hidup anggota-
anggota masyarakat ini tidak hanya berbeda cara hidup masyarakat maju di Eropa
danAmerika Utara tetapi juga berbeda di antara masing-masing masyarakat primitif
tersebut.

Menurut Edgar H. Schein dalam Umam (2010) berpendapat bahwa “budaya


adalah suatu pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan, atau dikembangkan oleh
kelompok tertentu sebagai pembelajaran untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal
dan integrasi internal yang resmi dan terlaksana dengan baik”. Oleh karena itu,
budaya diajarkan (diwariskan) kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat
memahami, memikirkan, dan merasakan terkait masalah-masalah tersebut.

Sedangkan menurut Hofstede mengartikan “budaya sebagai nilai-nilai dan


kepercayaan yang memberikan orang-orang suatu cara pandang terprogram”. Lebih
lanjut, Nilai-nilai tersebut menurut Phesey dalam Umam (2010) diterjemahkan
sebagai segala sesuatu yang dimuliakan (esteemed), dijunjung (prized) atau dihargai
(appreciated) dalam budaya tersebut.” Adapun kepercayaan diartikan sebagai, “Apa
yang seseorang anggap benar (true)”. Dengan demikian, bentuk atau wujud dari
pengertian budaya dapat dilihat dalam tiga hal, yaitu: pertama, budaya itu abstrak,
budaya itu merupakan kepercayaan, asumsi dasar, gagasan, moral, norma, adat-
istiadat, hukum atau peraturan. Kedua, budaya itu berupa sikap yang merupakan pola
perilaku atau kebiasaan dari kegiatan manusia dalam lingkungan masyarakat, yang
menggambarkan kemampuan beradaptasi, baik secara internal maupun eksternal.
Ketiga, budaya itu tampak secara fisik yang merupakan bentuk fisik hasil karya
manusia.

Dengan demikian, budaya dapat didefinisikan sebagai keseluruhan


pengetahuan manusia sebagai makluk sosial yang digunakannya untuk memahami
dan menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya serta menjadi landasan bagi
tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu
masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-
anggotanya dan pewarisan kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses
belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang
terucapkan maupun yang tidak.

Sebagai milik bersama anggota masyarakat atau suatu kelompok sosial,


budaya menurut Ndaraha (1997; 45) memiliki fungsi sebagai berikut :

- Identitas dan citra suatu masyarakat


- Pengikat suatu masyarakat
- Sumber inspirasi
- Kemampuan untuk membentuk nilai tambah
- Pola prilaku
- Budaya sebagai warisan
- Pengganti formalisasi
- Mekanisme adaptasi terhadap perubahan
- Proses menjadikan bangsa kongruen dengan negara sehingga terbentuk nation
state.

b. Organisasi

Organisasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.


Setiap manusia hidup dalam sebuah organisasi. Organisasi didefinisikan beragam oleh
para ahli. Variasi definisi ini didasarkan pada sudut pandang dan waktu ahli ketika
mendefinisikan.

Gibson, Ivancevich dan Donelly (1996) mendefinisikan organisasi sebagai


“wadah yang memungkinkan masyarakat dapat meraih hasil yang sebelumnya tidak
dapat dicapai oleh individu secara sendiri-sendiri”. Lebih jauh, ketiganya
menyebutkan bahwa organisasi adalah suatu unit terkoordinasi yang terdiri setidaknya
dua orang yang berfungsi mencapai satu sasaran tertentu atau serangkaian sasaran.
Definisi ini menekankan pada upaya pencapaian tujuan bersama secara efektif dan
efisien melalui koordinasi antar unit organisasi.

Robbins (dalam tim dosen AP UPI) mendefiniskan organisasi sebagai


“kesatuan sosial yang dikoordinasikans secara sadar, dengan sebuah batasan yang
relative dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relative terus menerus untuk
mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan”. Definisi dari Robbins ini
menekankan pada organisasi sebagai sebuah sistem sosial yang perlu dikoordinasi
dalam arti perlu manajemen. Batasan organisasi akan berubah sebagaimana tuntutan
lingkungan organisasi, sehingga dikatakan relative.
Definisi lain mengenai organisasi dikemukakan oleh Oteng Sutisna
sebagaimana dikutip Tim Dosen AP UPI menyebutkan bahwa organisasi yakni
“mekanisme yang mempersatukan kegiatan-kegiatan untuk menyelesaikan pekerjaan-
pekerjaan”. Definisi ini menekankan pada mekanisme pekerjaan dalam mencapai
tujuan organisasi.

Dari pendapat-pendapat para ahli tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa


organiasi merupakan suatu sistem interaksi diantara orang-orang untuk mencapai
tujuan organisasi, dimana sistem tersebut memberikan arahan prilaku bagi anggota-
anggotanya.

c. Budaya Organisasi

Terdapat kesepakatan luas bahwa budaya organisasi merujuk pada sistem


pengertian bersama yang dipegang oleh anggota-anggota suatu organisasi yang
membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lainnya (Robbins, 2005;485).
Sistem pengertian bersama ini dalam pengamatan yang lebih seksama merupakan
serangkaian karakter penting yang menjadi nilai bagi suatu organisasi.

Budaya organisasi mengacu pada norma prilaku, asumsi, dan keyakinan dari
suatu organisasi, sementara dalam iklim organisasi mengacu pada persepsi orang-
orang dalam organisasi yang merefleksikan norma-norma, asumsi-asumsi dan
keyakinan (Owens, 1991). Sedangkan Sonhadji dalam Soetopo (2010) mengatakan
bahwa budaya organisasi adalah proses sosialisasi anggota organisasi untuk
mengembangkan persepsi, nilai dan keyakinan terhadap organisasi untuk
mengembangkan persepsi, nilai, dan keyakinan terhadap organisasi. Sementara
Soetopo (2010) mengatakan bahwa budaya organisasi berkenaan dengan keyakinan,
asumsi, nilai, norma-norma prilaku, ideology, sikap, kebiasaan dan harapan-harapan
yang dimiliki oleh organisasi (dalam hal ini termasuk organisasi universitas swasta)

Gibson, Ivanichevich & Donelly dalam Soetopo (2010) berpendapat bahwa


budaya organisasi adalah “kepribadian organisasi yang mempengaruhi cara bertindak
individu dalam organisasi”. Budaya mengandung pola eksplisit dan implisit dari dan
untuk prilaku yang dibutuhkan dan diwujudkan hasil kelompok manusia secara
berbeda termasuk benda-benda ciptaan manusia.

Dari semua definisi tentang budaya organisasi diatas, secara umum dapat
ditetapkan bahwa budaya organisasi berkaitan dengan makna bersama, nilai, sikpa
dan keyakinan. Dapat dikatakan bahwa jantung dari suatu organisasi adalah sikap,
keyakinan, kebiasaan dan harapan dari seluruh individu anggota organisasi mulai dari
manajemen puncak hingga manajemen yang paling rendah, sehingga tidak ada
aktifitas manajemen yang dapat melepaskan diri dari budaya.
 Komponen-Komponen Budaya Organisasi

Robbins dalam Soetopo (2010) mengemukakan tujuh karakteristik budaya


organisasi yaitu :

- Otonomi individu yaitu kadar kebebasan, tanggung jawab dan kesempatan


individu untuk berinisiatif dalam organisasi.
- Struktur yaitu kadar peraturan dan ketetapan yang digunakan untuk mengontrol
prilaku pegawai
- Dukungan yaitu kadar bantuan dan keramahan manajer kepada pegawai
- Identitas yaitu kadar kenalnya anggota terhadap organisasinya secara keseluruhan,
terutama informasi kelompok kerja dan keahlian profesionalnya
- Hadiah performansi yaitu kadar alokasi hadiah yang didasarkan pada criteria
performansi pegawai
- Toleransi konflik yaitu kadar konflik dalam hubungan antar sejawat dan kemauan
untuk jujur dan terbuka terhadap perbedaan
- Toleransi resiko yaitu kadar dorongan terhadap pegawai untuk agresif, inovatif
dan berani menanggung resiko.

 Fungsi Budaya Organisasi

Soetopo (2010) mengemukan bahwa fungsi budaya organisasi bergayut


dengan fungsi eksternal dan fungsi internal. Fungsi eksternal budaya organisasi adalah
melakukan adaptasi terhadap lingkungan diluar organisasi, sementara fungsi internal
berkaitan dengan integrasi berbagai sumber daya yang ada didalamnya termasuk
sumber daya manusia. Jadi secara eksternal budaya organisasi akan selalu beradaptasi
dengan budaya-budaya yang ada diluar organisasi, begitu seterusnya sehingga budaya
organisasi tetap akan selalu ada penyesuaian-penyesuaian. Lebih lanjut Soetopo
menjelaskan bahwa makin kuat budaya organisasi, makin tidak mudah organisasi itu
akan terpengaruh oleh budaya luar yang berkembang di lingkungannya. Sementara
kekentalan fungsi internal makin dirasakan menguat jika didalam organisasi itu
semakin berkembang norma-norma, peraturan, treadisi, adat istiadat organisasi yang
terus menerus dipupuk oleh para anggotanya sehingga berangsur-angsur budaya itu
akan menajdi semakin kuat.

Sementara Robbins (2005) mengemukakan tentang fungsi budaya dalam


organisasi menjadi lima fungsi yaitu :

- Budaya memiliki suatu peran batas-batas tertentu yaitu budaya menciptakan


perbedaan antara satu organisasi dengan organisasi lainnya.
- Budaya menyampaikan rasa identitas kepada anggota-anggota organisas
- Budaya mempermudah penerusan komitmen hingga mencapai batasan yang lebih
luas, melebihi batasan ketertarikan individu
- Budaya mendorong stabilitas sistem sosial. Budaya merupakan suatu ikatan sosial
yang membantu mengikat kebersamaan organisasi dengan menyediakan standar-
standar yang sesuai mengenai apa yang harus dikatakan dan dilakukan karyawan
- Budaya sebagai pembentuk rasa dan mekanisme pengendalian yang memberikan
panduan dan bentuk prilaku serta sikap karyawan.

Dalam organisasi, seringkali terjadi pembandingan antara budaya yang kuat


dan budaya yang lemah. Alasan ini seringkali memiliki dampak yang lebih besar
terhadap sikap karyawan dan lebih tertuju langsung untuk mengurangi keluar
masuknya karywan. Dalam hal ini, Robbins menjelaskan bahwa budaya yang kuat
selalu ditandai oleh nilai-nilai inti organisasi yang dipegang kukuh dan disepkati
secara luas. Semakin banyak anggota organisasi yang menerima nilai-nilai inti dan
semakin besar komitmen mereka terhadap nilai-nilai tersebut, maka budaya
tersebut akan semakin kuat. Sejalan dengan definisi ini, suatu budaya yang kuat
jelas sekali memiliki pengaruh yang besar dalam sikap anggota organisasi
dibandingkan dengan budaya yang lemah.
Hasil spesifik dari suatu budaya yang kuat adalah keluar masuknya pekerja
yang rendah. Suatu budaya yang kuat akan memperlihatkan kesepakatan yang
tinggi mengenai tujuan organisasi diantara anggota-anggotanya. Kebulatan suara
terhadap tujuan akan membentuk keterikatan, kesetiaan, dan komitmen organisasi.
Kondisi ini selanjutnya akan mengurangi kecendrungan karyawan untuk keluar
dari organisasi.

 Karakteristik Budaya Organisasi

O’Reilly dan Jehn dalam Soetopo (2010) mengemukakan tujuh karakteristik


utama yang menjadi inti dari suatu organisasi, yaitu :

- Innovation and risk taking, yaitu derajat sejauh mana pekerja didorong untuk
inovatif dan berani mengambil resiko
- Attention to detail,yaitu derajat seajuh mana para pekerja diharapkan
menunjukkan presisi, analisis, dan perhatian pada detail-detail
- Outcome orientation, yaitu sejauh mana pimpinan berfokus pada hasil, bukan pada
teknis dari proses yang dipakai untuk menjadi hasil
- People orientation, yaitu sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan
efek hasil-hasil pada orang dalam fungsi budaya organisasi menjadi inti dari suatu
budaya organisasi.
- Team orientation, yaitu sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan atas dasar tim
kerja daripada individu.
- Aggressiveness, yaitu sejaunmana orang-orang dalam organisasi bersifat agresif
dan kompeteitif
- Stability, yaitu sejauh mana aktifitas organisasi menekankan pemeliharaan status
quo sebagai kontras dari pertumbuhan.
Masing-masing karakteristik diatas bergerak pada suatu kontinuitas dari
rendah hingga ke tinggi. Menilai suatu organisasi dengan ketujuh karakter ini akan
menghasilkan gambaran mengenai budaya organisasi tersebut. Gambaran tersebut
kemudian menjadi dasar untuk perasaan saling memahami yang dimiliki anggota
organisasi mengenai organisasi mereka, bagaimana segala sesuatu dikerjakan
berdasarkan pengertian bersama tersebut, dan cara-cara anggota organisasi
seharusnya bersikap (Robbins, 2005;486).

 Klasifikasi Budaya Organisasi


Dalam mempelajari budaya organisasi, terdapat empat pendekatan menurut
Robert dan Hunt dalam Soetopo (2010). Keempat pendekatan itu antara lain :
(1) beberapa sarjana memandangnya sebagai asumsi bersama, keyakinan dan nilai-
nilai dalam organisasi dan kelompok kerja,
(2) kelompok kedua tertarik dengan mitos, cerita, dan bahasa sebagai manifestasi
budaya,
(3) memandang tata cara dan seremonial sebagai manifestasi budaya, dan
(4) mempelajari interaksi antar anggota dan symbol-simbol.
Sedangkan Schein membaginya kedalam tiga dimensi budaya yaitu :
(1) artefak dan kreasi berupa teknologi, seni, pola prilaku yang dapat dilihat dan
didengar. Terlihat oleh mata tetapi sering tidak dapat diartikan dan diuraikan,
(2) nilai, dapat diuji dalam lingkungan fisik, dapat diuji hanya oleh konsensus social.
Tingkat yang lebih tinggi mengenai kesadaran,
(3) asumsi dasar, yaitu menegnai hubungan manusia-lingkungan, hakikat dasar
manusia, hakikat hubungan manusia.

Sedangkan Hellriegel dan Slocum dalam Soetopo (2010) mengajukan kerangka


klasifikasi budaya organisasi sebagai berikut :

Sumbu vertical mencerminkan orientasi pengawasan yang relative normal, jarak dari
mantap ke fleksibel. Sumbu horizontal mencerminkan fokus relative terhadap perhatian, jarak
dari fungsi internal ke fungsi eksternal. Sudut-sudut dari empat persegi mewakili empat tipe
murni dari budaya organisasi yaitu birokratik, clan, entrepreneurial dan pasar.

Budaya Birokratik. Suatu organisasi dengan karyawan yang mempunyai formalisasi


nilai peraturan standar prosedur operasi dan koordinasi hierarkis. Perhatian jangka panjang
dalam birokrasi, efisiensi, dan stabilitas dapat diperkirakan. Karyawannya mempunyai
standar nilai yang tinggi terhadap pelayanan pelanggan. Manajer memandang peran mereka
sebagai koordinator yang baik, organisator dan memperkuat standard dan aturan tertulis.

Budaya Clan, mempunyai atribusi tradisi, kesetiaan, komitmen pribadi, sosialisasi


ekstensif, tim kerja, manajemen diri dan pengaruh social. Komitmen individual jangka
panjang pada organisasi diganjar dengan komitmen jangka panjang organisasi terhadap
karyawan.
Budaya entrepreneurial, menunjukkan tingkat pengambilan resiko yang tinggi,
dinamis dan kreatifitas. Ada komitmen terhadap eksperimentasi, inovasi. Budaya ini tidak
hanya cepat bereaksi terhadap perubahan lingkungan, tetapi menciptakan perubahan.

Budaya Pasar. Nilai yang akan dicapai terukur, dan karyawan dituntut untuk
mencapai sasaran, terutama yang berbasis financial dan pasar.

Menciptakan dan Mempertahankan Budaya

Suatu budaya dalam organisasi tidak muncul begitu saja. Bila sudah terbentuk
mantap, budaya tidak akan menghilang begitu saja. Kekuatan apa yang mempengaruhi
pembentukan suatu budaya? Apa yang akan mengukuhkan dan mempertahankan kekuatan
tersebut bila kekuatan tersebut sudah berada pada posisinya. Untuk dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini, kita dapat melihat dari konsep tentang bagaimana suatu budaya
berawal.

Kebiasaan, tradisi, dan cara-cara umum dalam mengerjakan sesuatu yang sudah ada
dalam suatu organisasi berkaitan erat dengan apa yang telah dilakukan sebelumnya dan
dnegan tingkat keberhasilan organisasi tersebut dengan upaya-upayanya. Dengan demikian
sumber utama budaya organisasi tersebut adalah para pendirinya (Robbins, 2005; 492)

Para pendiri organisasi secara tradisional memiliki pengaruh yang dalam membentuk
budaya awal. Mereka memiliki visi bagaimana wujud organisasi tersebut. Mereka tidak
dibatasi oleh kebiasaan-kebiasaan dalam menegrjakan sesuatu atau ideologi-ideologi
sebelumnya. Pemberian karakter terhadap organisasi-organisasi baru dengan ruang lingkup
yang masih kecil, mempermudah para pendiri dalam menerapkan visinya pada keseluruhan
anggota organisasi. Dikarenakan para pendiri tersebut memiliki ide yang masih asli, mereka
juga biasanya memiliki bias tentang cara bagaimana ide-ide tersebut bisa terpenuhi. Budaya
organisasi dihasilkan dari interaksi antara bias dan asumsi para pendiri dengan apa yang
dipelajari selanjutnya oleh anggota awal organisasi dari pengalaman mereka sendiri.

Bila suatu budaya sudah berlaku dalam suatu organiasi, praktik-praktik dalam
organisasi berfungsi untuk menjaga budaya tersebut dengan cara mengekspos karyawan agar
memiliki pengalaman yang serupa (Robbins, 2005; 493). Untyk dapat menjaga budaya
tersebut agar tetap hidup, ada tiga kekuatan yang memainkan peran penting dalam
mempertahankannya. Ketiga kekuatan itu adalah :

1. Praktek-praktek seleksi.

Tujuan yang jelas dari proses seleksi adalah untuk mengidentifikasi dan
mempekerjakan individu-individu yang memiliki wawasan, keterampilan, dan
kemampuan dalam melakukan pekerjaan untuk keberhasilan pekerjaan. Tetapi
biasanya, akan terdapat lebih dari seorang kandidat yang dapat memenuhi persyaratan
dari pekerjaan yang ditawarkan. Keputusan akhir mengenai siapa yang akan
dipekerjakan sangat dipengaruhi oleh penilaian pembuat keputusan, yaitu seberapa
bagus kandidat-kandidat tersebut memiliki kesesuaian dengan organisasi. Calon
pekerja yang memiliki konflik antara nilai-nilai yang mereka miliki dengan nilai-nilai
yang ada dalam organisasi dapat memilih untuk keluar dari proses pelamaran
pekerjaan. Penyeleksian menjadi semacam jalan dua jalur yang memeberi kesempatan
kepada pihak yang mempekerjakan dengan pihak yang melamar pekerjaan untuk
membatalkan ikatan jika terdapat ketidaksesuaian. Dalam hal ini, proses seleksi
mejaga suatu budaya organisasi dengan cara membuang individu-individu yang
mungkin saja menyerang atau menyepelekan budaya organisasi tersebut.

2. Tindakan-tindakan manajemen (manajemen puncak)

Tindakan manajemen puncak juga memiliki dampak utama terhadap budaya


organisasi. Para eksekutif membentuk norma-norma penyaring yang menyeluruh
didalam organisasi melalui apa yang mereka katakan dan mereka lakukan. Apakah
pengambilan resiko lebih mereka kehendaki, seberapa besar keleluasaan yang harus
diberikan manajer terhadap bawahannya, seragam apa yang dipakai, tindakan apa
yang harus dilakukan untuk kenaikan gaji, promosi, dan penghargaan-penghargaan
lainnya, dan lain sebagainya.

3. Metode sosialisasi

Bagaimanapun bagusnya pelaksanaan penerimaan dan penyeleksian pegawai


baru yang dilakukan oleh organisasi, karywan-karyawan baru tidaklah sepenuhnya
terdoktrin dengan budaya organisasi tersebut. Hal ini dikarenakan mereka belum
terbiasa dengan budaya organisasi tersebut. Karyawan-karyawan baru memiliki
kecendrungan untuk mengganggu kepercayaan dan kebiasaan yang sudah berlaku.
Dengan demikian, organisasi perlu membaantu karyawan baru tersebut dalam
beradaptasi dengan budaya mereka. proses adaptasi ini disebut sosialisasi.

Tahap sosialisasi yang paling penting adalah ketika karyawan baru masuk ke
dalam organisasi. Tahap ini merupakan saat-saat dimana organisasi berusaha untuk
membentuk karakter orang luar yang baru masuk mejadi karyawan dengan cara
“penempatan diri yang baik”. Karyawan-karywan yang gagal mempelajari prilaku
peran yang penting akan beresiko dicap tidak dapat bekerjasama, atau dianggap
sebagai pemberontak dan pada akhirnya akan diberhentikan.

Sosialisasi dapat di konsepkan sebagai suatu proses yang terdiri dari tiga tahap
yaitu kedatangan, orientasi dan metamorphosis. Tahap pertama mengarah pada semua
pembelajaran yang dilakukan sebelum karyawan baru bergabung dengan organisasi.
Pada tahap kedua, karyawan baru berusaha mencari seperti apa organisasi tersebut
dan membandingkan keadaan yang diharapkan dengan realita yang mungkin saja
berbeda. Pada tahap ketiga muncul dan berlaku perubahan yang relative bertahan
lama. Proses dengan ketiga tahap ini berpengaruh terhadap produktivitas kerja dan
komitmen karyawan baru terhadap tujuan organisasi dan keputusan mereka untuk
bergabung dengan organisasi (Robbins, 2005; 495)
B. IKLIM ORGANISASI

Owens (1991) menyatakan bahwa “organizational climate is the study of


perceptions that individual have of various aspect of the environment in the
organization”. Dengan demikian pengkajian iklim organisasi dapat dilakukan dengan
menggali data dari persepsi individu yang ada dalam organisasi. Taguiri dan Litwin
dalam Soetopo (2010) mengartikan iklim organisasi adalah suatu kualitas lingkungan
internal organisasi yang dialami oleh anggotanya, mempengaruhi prilakunya dan
dapat dideskripsikan dengan nilai-nilai karakteristik organisasi. Dengan penegrtian
ini, Miner (1998) menyarikan aspek-aspek definisi iklim organisasi sebagai berikut :

- Iklim organisasi berkaitan dengan unit yang besar yang mengandung cirri
karakteristik tertentu.
- Iklim organisasi lebih mendiskripsikan suatu unit organisasi daripada menilainya.
- Iklim organisasi berasal dari praktik organisasi, dan
- Iklim organiasasi mempengaruhi prilaku dan sikap aggota organisasi.

Dalam kaitannya dengan iklim organisasi, Steers dalam Soetopo (2010)


menyatakan bahwa iklim organisasi dapat dilihat dari dua sisi pandang yaitu (1) iklim
organisasi dilihat dari persepsi para anggota terhadap organisasinya, (2) iklim
organisasi dilihat dari hubungan antara kegiatan-kegiatan organisasi dan perilaku
manajemennya.

 Klasifikasi Iklim Organisasi

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Halpin (1971) yang


menggunakan Organizational Climate Description Quesionare (OCDC), terdapat
enam klasifikasi iklim organiasi yaitu :

- Open Climate yang menggambarkan tentang situasi dimana anggota organisasi


merasa senang untuk bekerja, saling kerjasama serta adanya keterbukaan.
- Outonomous Climate yaitu situasi dimana adanya kebebasan, adanya peluang
kreatif, sehingga para anggota memiliki peluang untuk memuaskan kebutuhan-
kebutuhan mereka.
- The Controlled Climate yang ditandai adanya penekanan atas prestasi dalam
mewujudkan kepuasan kebutuhan social, setiap orang bekerja keras serta
kurangnya hubungan antar sesama anggota.
- The Familiar Climate yaitu adanya rasa kesejawatan tinggi antara pimpinan dan
anggota
- The Paternal Climate yang bercirikan adanya pengontrolan pimpinan terhadap
anggota, dan
- The Closed Climate yang ditandai suatu situasi rendahnya kepuasan dan prestasi
tugas serta kebutuhan social para anggota, pimpinan sangat tertutup terhadap para
anggotanya.
Dari keenam klasifikasi iklim organisasi berdasarkan OCDC tersebut, Halpin
kemudian mengelompokkan iklim organiasasi secara garis besar menjadi dua yaitu
open climate dan closed climate. Pengklasifikasian ini bukanlah pemilahan secara
diskrit tetapi merupakan kontinum dari terbuka sampai kepada tertutup. Pertanyaanya
adalah apakah kecendrungan terbuka atau tertutupnya iklim organisasi akan diikuti
oleh makin tinggi atau rendahnya keefektifan organisasi? Hal inilah yang perlu dikaji
secara empirik dilapangan.

Hasil penelitian Miner ini sebagaimana dikutip dalam Soetopo (2010)


menunjukkan bahwa manajer yang bekerja dalam iklim organisasi terbuka
menunjukkan pekerjaan yang lebih baik daripada manajer yang bekerja dalam iklim
organisasi yang tertutup. Hoy and Miskel (2005) mengemukakan bahwa organisasi
yang memiliki situasi kerja dengan iklim terbuka menunjukkan tingkat kepercayaan
dan keefektifan lebih tinggi daripada menggunakan iklim tertutup. Lebih lanjut, Hoy
and Miskel mengatakan bahwa pemimpin yang memperoleh dukungan (support)
tinggi menggambarkan iklim kelompok yang favorable, sementara pemimpin yang
memperoleh dukungan rendah menggambarkan iklim kelompok yang kurang
favorable.

Dalam kaitannya dengan kualitas hubungan antara pemimpin dan bawahan—


yang menggambarkan iklim organisasi—penelitian Fiedler dalam Owens (1991)
menemukan bahwa jika hubungan antara pemimpin dan bawahan baik (misalnya,
pemipin menghargai, mempercayai dan disenangi), maka pemipin akan lebih mudah
memberikan pengaruh dan otoritas daripada jika hubungan pemimpin dan bawahan
tidak baik (misalnya, pemimpin tidak mengahrgai, tidak disenangi, dan kurang
percaya kepada bawahan).

Berdasarkan paparan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemimpin yang


menggunakan orientasi hubungan kemanusiaan akan lebih menopang iklim organisasi
yang terbuka (member kepercayaan, menghargai) daripada pemimpin yang
menggunakan otorientasi tugas.

Halpin sebagaimana dikutip Soetopo (2010) membagi komponen iklim


organisasi berdasarkan karakteristik kelompok sebagai berikut :

- Disengagement atau ketidakikutsertaan, yaitu suatu kadar dimana staf atau


bawahan cenderung tidak terlibat dan tidak commite terhadap pencapaian tujuan
organisasi.
- Hindrance atau halangan, yaitu mengacu pada perasaan para staf bahwa pimpinan
membebani mereka dengan tugas yang memberatkan pekerjaan mereka.
- Esprit atau semangat, yaitu mengacu pada semangat kerja karena terpenuhinya
kebutuhan social dan rasa punya prestasi dalam pekerjaan.
- Intimacy atau keintiman, yaitu kadar kekohesifan antar staf dalam organisasi.
Sedangkan berdasarkan kategori prilaku pemimpin sebagai berikut :

- Aloofness atau keberjarakan, yaitu menggambarkan kadar prilaku pemimpin yang


formal dan impersonal yang menunjukkan jarak social dengan staf.
- Production Emphasis atau penekanan pada hasil yaitu mengacu pada prilaku
pemimpin agar staf bekerja keras, misalnya dengan pengawasan ketat, direktifdan
menuntut hsil maskimal.
- Thrust atau rasa yakin, yaitu mengacu pada kadar prilaku pemimpin yang ditandai
kerja kerasnya agar dicontoh oleh staf.
- Consideration atau perhatian, yaitu mengacu pada kadar prilaku pemimpin dengan
memperlakukan staf secara manusiawi sesuai dengan martabatnya (Owens, 1991;
Halpin, 1971)

 Penelitian Iklim Organisasi

Berdasarkan hasil penelitian Halpin dan Croft tentang iklim organisasi yang
dilakukan pada 71 sekolah dasar yang ada di 6 wilayah Amerika Serikat sebagaimana
dikutip dalam Soetopo (2010), dapat digambarkan mengenai enam iklim organisasi,
yaitu :

1. The Open Climate

The Open Climate menggambarkan suatu situasi dimana para anggota senang
sekali Esprit yang tinggi. Guru-guru bekerja bersama dengan baik tanpa cekcok dan
keluhan (Disengagement rendah). Mereka tidak dibebani oleh menggunungnya kerja
sibuk atau oleh laporan-laporan rutin; kebijakan kepala sekolah mempermudah
pemenuhan guru akan tugas-tugasnya (Hindrance rendah). Pada intinya, semua
anggota kelompok mempunyai hubungan yang menyengangkan satu sama lain, tetapi
mereka tidak terlalu memerlukan tingkat Intimacy yang tinggi. Guru mencapai
kepuasan kerja yang cukup tinggi, dan cukup terdorong untuk mengatasi kesulitan dan
frustasinya. Mereka memperoleh insentif untuk menegrjakan sesuatu dan membuat
organisasi “berjalan”. Guru merasa bangga dengan sekolah itu.

Prilaku kepala sekolah merupakan integrasi antara kepribadiannya dan


peranan yang ia mainkan sebagai kepala sekolah. Dalam hal ini prilakunya dapat
dipandang sebagai asli. Dia tidak hanya memberikan contoh dengan bekerja keras
(Trust tinggi), tetapi bergantung situasi ia dapat juga mengkritik tindakan guru-guru
atau keluar dari kebiasaan untuk membantu guru-guru (Consideration tinggi). Ia
mempunyai fleksibilitas untuk melakukan control dan mengarahkan aktivitas orang
lain atau menunjukkan pemuasan kebutuhan social guru-guru secara individual. Ia
tidak menyendiri, ia tidak membuat peraturan dan prosedur yang membuat tidak
fleksibel dan tidak mempribadi. Ia tidak menekankan pada produksi, ia tidak
memonitor aktivitas guru secara ketat, karena guru-guru bekerja dengan mudah dan
bebas. Ia tidak melakukan semuanya karena ia memiliki kemampuan untuk
melakukan tindakan kepemimpinan yang muncul dari guru (Production Empahsis
rendah).

2. The Outonomous Climate

Wujud kerja dari iklim organisasi ini adalah hamper bebas sempurna, bahwa
kepala sekolah memberikan kepada guru-guru agar memberikan interaksi untuk
strukturnya sendiri sehingga mereka dapat menemukan cara dalam kelompok untuk
memuaskan kebutuhan-kebutuhan social mereka. skor-skornya lebih kepada pemuas
kebutuhan social daripada ke pencapaian tugas (relative skor tinggi pada Esprit dan
Intimacy).

Jika guru-guru berada pada situasi orientasi tugas, mereka mencapai tujuan
dengan mudah dan cepat (Disengagement rendah). Ada tekanan minoritas terhadap
kelompok, tetapi stratifikasi yang ada pada angggota kelompok tidak menghalangi
kelompok sebagai keseluruhan dari bekerja sama dengan baik. Guru-guru bekerja
bersama dengan baik dan melaksanakan tugas-tugas organisasi.

Guru-guru tidak dibebani oleh tugas-tugas administrative, dan mereka tidak


mengeluh untuk membuat laporan-laporan. Kepala sekolah menyusun prosedur dan
tata aturan untuk mempermudah pelaksanaan tugas guru. Guru-guru tidak lari ke
kepala sekolah setiap memerlukan peralatan mengajar, control yang memadai
ditetapkan untuk menggambarkan tugas kepala sekolah dan guru-guru (Hindrance
rendah) semangat kerja tinggi karena adanya pemuasan kebutuhan social yang
diterima oleh guru-guru.

Kepala sekolah memberikan Thrust untuk organisasi dengan memberikan


contoh dan dengan kerja keras. Ia mempunyai fleksibilitas pribadi baik untuk control
maupun untuk kesejahteraan guru-guru. Iklim ini bercirikan skor relative tinggi pada
Esprit dan Intimacy, Disengagement rendah, Hindrance rendah, Aloofeness tinggi,
Production Emphasis rendah dan Consideration menengah.

3. The Controlled Climate

Iklim ini ditandai dengan tekanan pada prestasi dalam mewujudkan kepuasan
kebutuhan social. Setiap orang bekerja keras, dan sedikit waktu untuk berhubungan
dengan sesama atau untuk menyimpang dari control dan arah yang telah ditetapkan.
Iklim ini terlalu memberi bobot pada prestasi tugas dan keluar dari kepuasan
kebutuhan social. Namun demikian selama semangat tinggi (Esprit), iklim ini dapat
diklasifikasikan lebih Opened daripada Closed.

Iklim ini bercirikan Disengagement rendah, Hindrance tinggi, Intimacy


rendah, Production Emphasis tinggi, Consideration rendah dan Thrust menengah.
4. The Familiar Climate

Keistimewaan iklim ini adalah kesejawatan yang tinggi, baik kepala sekolah
maupun guru. Pemuasan kebutuhan social sangat tinggi , sementara sebaliknya kecil
sekali control atau arahan kegiatan kelompok untuk mencapai tujuan.

Iklim ini bercirikan Disengagement yang tinggi, Hindrance rendah, Intimacy


tinggi, Concideration tinggi, Aloofness rendah dan Production Emphasis rendah.

5. The Paternal Climate

Iklim ini bercirikan usaha yang tidak efektif dari kepala sekolah untuk
mengontrol guru-guru, termasuk untuk memuaskan kebutuhan sosialnya.
Pertimbangan mereka, prilakunya tidak asli dan dipersepsi oleh guru sebagai tidak
memotivasi. Iklim ini tentu saja Closed. Ciri lainnya adalah Hindrance rendah,
Intimacy rendah, Esprit rendah, sangat bertentangan dengan Aloofeness, menekankan
Production Emphasis, tetapi tidak ada satupun yang dilaksanakan.

6. The Closed Climate

Iklim ini ditandai oleh suatu situasi dimana anggota kelompok mencapai
sedikit kepuasan dalam prestasi tugas atau kebutuhan social. Pendeknya, kepala
sekolah tidak efektif dalam mengarahkan aktifitas para guru, pada waktu yang sama ia
cenderung mencari kesejahteraan pribadi mereka.

Guru-guru tidak diikut sertakan dan tidak bekerja sama dengan baik, akibatnya
prestasi kelompok menjadi minimal. Untuk mencapai prestasi, usaha guru adalah
meelngkapi berbagai laporan dan mengerjakan tugas-tugas rumah. Kepala sekolah
tidak mendorong pelaksanaan tugas-tugas guru. Kepala sekolah sangat Aloof
(mengasingkan diri) dan impersonal dalam mengontrol dan mengarahkan aktifitas
guru-guru. Ia menekankan produksi dan sering mengatakan “kita harus bekerja keras”,
tetapi kata-katanya keras karena ia sendiri mempunyai Thrust yang rendah dan ia
tidak memotivasi guru-guru dengan menunjukkan contoh yang baik. Dalam hal ini, ia
tidak asli dalam tindakannya, tidak peduli dengan kebutuhan social guru-guru dan
seperti tidak membuat pertimbangan.

Kata-kata “marilah bekerja keras” menjadi “kamu bekerja keras”. Ia berharap


orang lain membuat inisiatif, lagipula ia tidak member kebebasan kepada gur-guru. Ia
sendiri tidak memberikan kepemimpinan yang memadai kepada kelompok. Dengan
demikian guru-guru memandangnya tidak asli; mereka memandangnya sebagai
seorang yang penuh kepalsuan.
BAB III

PENUTUP

Organisasi sebagai wadah tempat berkumpulnya individu untuk mencapai tujuan-


tujuannya sangat bergantung pada bagaimana individu-individu yang ada didalamnya
memiliki asumsi, prilaku dan keyakinan terhadap organisasi. Budaya dan iklim organisasi
menjadi variabel yang sangat menentukan dalam pencapaian tujuan organisasi yang efektif
dan efisien.

Budaya organisasi haruslah dibentuk dengan memperhatikan aspek-aspek yang


menjadi nilai-nilai positif bagi keberlangsungan pencapaian tujuan organisasi. Budaya yang
sudah terbentuk ini kemudian harus mampu dipertahankan oleh organisasi tentunya melalui
orang-orang yang ada dalam organisasi. Proses-proses yang berlangsung dalam organisasi
sangat mempengaruhi keberadaan budaya organisasi. Semakin banyak orang-orang dalam
organisasi yang memegang teguh budaya yang sudah dibentuk, maka budaya itu akan
menajdi semakin kuat. Demikian pula sebaliknya.

Hal lain yang penting dalam keberlangsungan sebuah organisasi adalah iklim
organisasi. Iklim organisasi merupakan suatu kondisi atau cerminan dari budaya yang
terbentuk. Ketika iklim organisasi tidak kondusif maka dapat dipastikan kepuasan kerja
ataupun tujuan lain yang ingin dicapai oleh organisasi akan sulit diwujudkan. Maka seorang
pemimpin dalam sebuah organisasi harus mampu menjaga atau mengkondisikan iklim
organisasi agar selalu kondusif demi terwujudnya tujuan yang sudah ditentukan organisasi.
DAFTAR PUSTAKA

Hoy, K. Wayne & Miskel, G. Cecil (2005). Educational Administration; Theory, Research,
and Practice.The McGraw-Hill Companies, Inc. New York

Owens, G. Roberts (1995). Organizational Behavior in Education. Allyn and Bacon A Simon
& Schuster Company. Needham Heights.

Pace, R.W & Faules, F.D (2002). Komunikasi Organisasi; Strategi Meningkatkan Kinerja
Perusahaan. Bandung. Remaja Rosdakarya

Robbins, P. Stephen (2005). Organizational Behavior; Elevent Edition. Pearson


Education.Inc., Upper Saddle, River. New Jersey

Soetopo, Hendyat (2010). Perilaku Organisasi; Teori dan Praktek di Bidang Pendidikan.
Bandung. Remaja Rosdakarya

Tim Dosen, AP. UPI (2009). Manajemen Pendidikan. Bandung. Alfabeta

Umam, Khairul (2010). Prilaku Organisasi. Bandung. Pustaka Setia

Anda mungkin juga menyukai