Anda di halaman 1dari 50

Perspektif Budaya Organisasi

Dewasa ini istilah budaya tidak hanya jadi trend dan mempesonakan, tetapi juga
dipandang membantu kebanyakan orang dalam membuat perbandingan antara
aspek-aspek simbolik suatu budaya dan aspek-aspek simbolik sebuah organisasi.
Menurut Suryadi (2003:109) munculnya perhatian yang tinggi terhadap konsep
budaya organisasi tampaknya dilatarbelakangi oleh perasaan kecewa para ahli
terhadap teori-teori rasional (objektif) dalam meramalkan perilaku. Teori-teori
tersebut dipandang hanya menjelaskan kulit luar organisasi tetapi tidak
menyinggung jiwa organisasi (aspek simbolik di dalam organisasi). Reaksi terhadap
teori-teori rasional tradisional akhirnya mendorong suatu perubahan ke arah konsep
budaya. Namun demikian, pendekatan kebudayaan tidak dipandang sebagai bentuk
perlawanan terhadap dominasi objectivistic, positivistic,
dan functionalistic dalam teori organisasi dan manajemen. Kehadirannya semata-
mata sebagai pelengkap (salah satu variabel) dalam rangka memprediksi dan
pengendalian organisasi disamping pendekatan yang ada selama ini.[1]
Pace dan Faules, (1994:91) menjelaskan, dalam diskursus teori-teori ilmu sosial,
fenomena budaya dapat ditelaah dalam perspektif objektif maupun subjektif. Asumsi
sederhananya adalah bahwa manusia mengalami keberadaan objek-objek yang
bersifat fisik yang membentuk realitas, namun diyakini juga bahwa manusia
menciptakan pengalaman yang dimilikinya bersama orang lain dan objek-objek. Jika
ditelaah dalam perspektif objektif, kebudayaan sebagai realitas sosial dipandang
sebagai suatu komponen dari sistem sosial, dimana kedua-duanya terintegrasi ke
dalam suatu sistem “sosio-budaya” . Perspektif ini melahirkan kebudayaan sebagai
suatu yang bersifat fisik dan konkret yang melekat pada sistem sosial masyarakat
sebagai sebuah struktur dengan batas-batas yang pasti dalam sistem sosial.
Sebaliknya jika ditelaah dari perspektif subjektif, kebudayaan tersusun atas teori-
teori dunia para anggotanya, yakni makna, lambang dan nilai-nilai yang dimiliki
bersama. Dunia kebudayaan dan dunia sosial dilihat sebagai sesuatu yang berbeda
tetapi berinterelasi. Artinya dimensi kebudayaan suatu masyarakat dapat
berkembang secara tidak serasi dengan dimensi struktur dan proses formalnya. Inti
kajiannya terpusat pada upaya mengungkap sifat simbolik dari struktur dan peristiwa
dalam masyarakat. Yang dicari adalah makna yang bersifat mendalam dari
peristiwa, tindakan, dan segala sesuatu yang menjadi latar belakang disamping yang
bersifat instrumental.[2]
Adanya dikotomi perspektif budaya sebagaimana diuraikan di atas, menurut
Alvesson dan Berg (1988) yang dikutip Poespadibrata (1993:160), seringkali
menimbulkan kerancuan dalam studi dan pembahasan tentang budaya
organisasional. Karena itu, dalam konteks penelitian pemahaman terhadap
pendekatan atau teori mana yang akan digunakan menjadi penting. Mengingat,
bagaimana budaya organisasi dikonsepsikan akan berpengaruh kepada bagaimana
budaya organisasi didefinisikan.[3]
Menurut Sackman (1991:90) terdapat tiga perspektif utama dalam memandang
budaya organisasi, yaitu 1) perspektif holistik, 2) perspektif variabel, dan 3)
perspektif kognitif. Perspektif holistik memandang budaya sebagai cara-cara terpola
mengenai berpikir, menggunakan perasaan dan bereaksi. Perspektif variabel
penekanannya pada pengekpresian budaya. Sedangkan perspektif kognitif memberi
penekanan kepada keyakinan, nilai-nilai, dan norma-norma, pengetahuan yang
diorganisasikan yang ada dalam pikiran orang-orang untuk memahami realitas.
Dalam perspektif kognitif ini, esensi budaya adalah konstruksi bersama mengenai
realitas sosial.[4]
Menurut Suryadi (2003:112), ada tiga implikasi penting yang dapat ditangkap dari
pendekatan budaya terhadap teori-teori organisasi dan manajemen. Pertama,
munculnya paradigma baru dalam memandang fungsi-fungsi manajemen,
khususnya yang berkaitan dengan fungsi kepemimpinan (manajer). Dimana,
kepemimpinan harus dipahami sebagai orang yang mendefinisikan makna dan
menciptakan pandangan tentang realitas organisasi melalui pengikutsertaan
anggota organisasi dalam pemberian makna tersebut pada kegiatan organisasi.
Karena itu, seyogianya pemimpin yang baik itu tidak hanya menciptakan profit bagi
organisasi, tetapi menciptakan pula makna bagi para anggota organisasi. Sayang
sekali para manajer sering lupa untuk menggandengkan kedua-duanya dalam porsi
yang seimbang. Kedua, berkaitan dengan pertanyaan heuristik mengenai apa yang
dapat dipelajari tentang organisasi melalui pendekatan budaya yang luput dari
perhatian teori-teori tradisional (objektif) tentang organisasi dan manajemen. Ketiga
berkaitan dengan pertanyaan pragmatis tentang fungsi budaya yang diperkirakan
dapat memberikan sumbangan positif terhadap kehidupan organisasi. Karena itu,
sejauhmana nilai guna dan sumbangan pendekatan budaya dalam memahami
kehidupan organisasi masih perlu diuji secara empirik. Kenyataannya di Indonesia
pada umumnya menunjukkan bahwa berbagai perubahan untuk menciptakan
strategi bisnis baru sesuai dengan tuntutan perubahan, apabila sudah menyentuh
dimensi sistem nilai, asumsi dasar, kepercayaan, dan konsepsi, seringkali sistem
nilai, asumsi, kepercayaan, dan konsepsi lama masih domina

PENGERTIAN PARADIGMA DAN KEBUDAYAAN


21:57  UNKNOWN  NO COMMENTS
Pengertian Paradigma

Dalam bahasa sederhana paradigma adalah cara pandang, pola pikir, cara berpikir.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Paradigma diartikan sebagai kerangka
berpikir. Paradigma mirip dengan kacamata yang Anda pakai. Dengan kacamata hitam, maka semua
obyek yang Anda lihat akan berwarna hitam. Dengan kacamata kuda, Anda hanya bisa melihat obyek
yang ada di depan Anda. Anda tidak akan bisa mengamati wanita cantik yang ada di samping Anda,
kecuali dengan menggeser pandangan Anda. Paradigma akan mempengaruhi cara pandang Anda
dalam melihat realitas dan bagaimana cara Anda menyikapinya. Ilmuwan sosial Thomas S Kuhn,
orang yang kali pertama menggunakan konsep paradigma, melalui buku Sosiologi Ilmu
Berparadigma Ganda  mengungkapkan paradigma bukan saja bersifat kognitif tapi juga normatif.
Paradigma bukan saja mempengaruhi cara berpikir kita tentang realitas, tetapi juga mengatur cara
mendekati dan bertindak atas realitas.

             Dalam sejarah perkembangan antropologi diwarnai oleh divegensi teori yang semakin
meningkat, dan pola tersebut nampaknya terus berlangsung. Tidak ada kesepakatan tentang berapa
jumlah paradigma dalam antropologi masa kini. Berikut adalah beberapa contoh paradigma
antropologi (Achmad fedyani 2005: 63-66)

1.        Evolusionisme klasik

   paradigma ini berupaya menelusuri perkembangan kebudayaan sejak yang paling awal, asal usul
primitif, hingga yang paling mutakhir, bentuk yang paling kompleks.

2.        Difusionisme

    paradigma ini berupaya menjelaskan kesamaan-kesamaan diantara berbagai kebudayaan.


Kesamaan tersebut terjadi karena adanya kontak-kontak kebudayaan.

3.        Partikularisme

  paradigma ini memusatkan perhatian pada pengumpulan data etnografi dan deskripsi mengenai
kebudayaan tertentu.

4.        Struktural-Fungsionalisme

   paradigma ini berasumsi bahwa komponen-komponen system sosial, seperti halnya bagian-bagian
tubuh suatu organism, berfungsi memelihara integritas dan stabilitas keseluruhan sistem.

5.        Antropologi Pisikologi

    mengekspresikan dirinya ke dalam tiga hal besar : hubungan antara kebudayaan manusia dan
hakikat manusia, hubungan antara kebudayaan dan individu, dan hubungan antara kebudayaan dan
kepribadian khas masyarakat.

6.        Strukturalisme

   adalah strategi penelitian untuk mengungkapkan struktur pikiran manusia-yakni, struktur dari
poses pikiran manusia-yang oleh kaum strukturalis dipandang sama secara lintas budaya.

7.        Materalisme Dialektik

    paradigma ini berupaya menjelaskan alas an-alasan terjadinya perubahan dan perkembangan
system sosial budaya.
8.        Cultural Materialisme

    paradigma ini berupaya menjelaskan sebab-sebab kesamaan dan perbedaan sosial budaya.

9.        Etnosains

    paradigma ini juga disebut “etnografi bau”. Perspektif teoritis mendasar dari paradigma tersebut
yang terkandung dalam konsep analisis kompensional, yang mengemukakan komponen kategori-
kategori kebudayaan dapat dianalisis dalam konteksnya sendiri untuk melihat bagaimana
kebudayaan menstrukturkan lapangan kognisi.

10.    Antropologi Simbolik

  paradigma ini dibangun atas dasar bahwa manusia adalah hewan pencai makna, dan berupaya
mengungkapkan cara-cara simbolik dimana manusia secara individual, dan kelompok-kelompok
kebudayaan dari manusia, memberikan makna kepada kehidupannya.

11.    Sosiobilogi

    Paradigma ini berusaha menerapkan prinsip-prinsip evolusi biologi terhadap fenomena sosial dan
menggunakan pendekatan dan program genetika untuk meneliti banyak prilaku kebudayaan.

Dalam paradigma Antropologi, dikenal pendekatan hermeneutik untuk menganalisis suatu


data, peneliti menempatkan objek penelitian sebagai “teks” yang harus dibaca lalu ditafsirkan.
Menafsirkan berarti kita menerangkan (to clarify), memahami, memaknai objek yang diteliti. Tafsir
disini merupakan interpretasi yang diberikan oleh peneliti dimana dia tidak hanya sekedar
menerangkan, tetapi jauh menembus ke dalam ia mengupas dan menguraikan makna yang tersirat
di balik sebuah “teks” tadi. Makna yang ditafsirkan harus sesuai dengan data yang terkumpul,
sehingga mampu menghasilkan pemaknaan yang logis dan masuk akal. Penelitian Antropologi
cenderung mengembangkan metode penelitian yang bersifat penelitian intensif dan mendalam. Ia
hanya mengkhususkan kepada suatu unsur tertentu saja dari objek yang diteliti, dalam hal ini adalah
masyarakat.

2.        Pengertian Kebudayaan

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan


bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan
akal manusia.

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw
Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh
kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang
lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu
pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala
pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward Burnett Tylor,
kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat
seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan
adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu
yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam
pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan
perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya,
berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup,
organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam
melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan,
antara lain sebagai berikut:

1.    Melville J. Herskovits menyebutkan kebudayaan memiliki 4 unsur pokok, yaitu:

a.     alat-alat teknologi

b.     sistem ekonomi

c.     keluarga

d.     kekuasaan politik

2.    Bronislaw Malinowski mengatakan ada 4 unsur pokok yang meliputi:

a.    sistem norma sosial yang memungkinkan kerja sama antara para anggota masyarakat untuk
menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya

b.    organisasi ekonomi

c.    alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas-petugas untuk pendidikan (keluarga adalah lembaga
pendidikan utama)

d.   organisasi kekuatan (politik)

Wujud Kebudayaan
Menurut J.J. Hoenigman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga: gagasan, aktivitas, dan artefak.

     Gagasan (Wujud ideal)

Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang berbentuk kumpulan ide-ide,


gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat
diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di alam
pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu dalam
bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan buku-buku hasil
karya para penulis warga masyarakat tersebut.

     Aktivitas (tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari
aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul
dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan.
Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati dan didokumentasikan.

     Artefak (karya)

Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya
semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan
didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara ketiga wujud kebudayaan. Dalam kenyataan
kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud
kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal mengatur dan memberi arah kepada
tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.

Budaya Organisasi
Kajian budaya dalam bidang studi organisasi dimulai ketika terjadi perubahan paradigma cara
pandang terhadap organisasi dimana organisasi tidak dipandang lagi sebagai instrumen yang bersifat
formal dan rasional yang sekedar dibentuk untuk membantu manusia untuk memenuhi
kebutuhannya, tetapi juga organisasi dipandang seolah-olah sebagai makhluk hidup yang
mempunyai kepribadian dan karakter unik di luar karakteristik strukturalnya.

Konsep budaya organisasi dapat dikatakan masih relatif baru yakni mulai berkembang sekitar
awal tahun 1980-an. Achmad Sobirin dalam bukunya, Budaya Organisasi, menyebutkan bahwa
secara umum konsep budaya organisasi dibagi menjadi dua mahzab. Mahzab yang pertama
ialah ideational school yang lebih melihat budaya sebagai sebuah organisasi dari apa yang dipahami,
dijiwai, dan dipraktikan bersama oleh anggota sebuah komunitas. Vijai Sathe menyatakan bahwa
budaya organisasi merupakan satu set asumsi yang dianggap sangat penting (meski kadang tidak
tertulis) yang di-shared oleh para anggota sebuah komunitas atau organisasi (Sobirin, 2009:126).

Mahzab yang kedua ialah adalah adaptionist school yang melihat budaya seperti arsitektur
atau tata ruang bangunan fisik dari sebuah organisasi maupun dari orang-orang yang terlibat
didalamnya seperti misalnya pola perilaku maupun cara mereka berkomunikasi. Deal and Kennedy
secara sederhana mengatakan bahwa budaya organisasi adalah cara kita melakukan sesuatu di
lingkungan organisasi ini (Sobirin, 2009: 127).

Peter F. Druicker dalam buku Robert G. Owens, Organizational Behavior in Education,


memberikan definisi budaya organisasi sebagai berikut:
Organizational culture is the body of solutions to external and internal problems that has worked
consistently for a group and that is therefore taught to new members as the correct way perceive,
think about, and feel in relation to those problem.
Budaya Organisasi adalah pokok penyelesaian masalah-masalah eksternal dan internal yang
pelaksanaannya dilakukan secara konsisten oleh suatu kelompok yang kemudian mewariskan
kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang tepat untuk memahami, memikirkan, dan
merasakan terhadap masalah-masalah terkait seperti diatas.

(Tika, 2006 : 4)

Definisi budaya organisasi yang lebih sederhana disebutkan oleh Stephen Robbins (2006: 723)
yaitu sebagai sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan
organisasi itu dari organisasi-organisasi lain. Hal ini menunjukan bahwa budaya merupakan
seperangkat karakteristik utama dari sebuah organisasi.

Budaya organisasi juga didefinisikan oleh Moorhead dan Griffin yaitu sebagai seperangkat
nilai, yang diterima selalu benar, yang membantu seseorang dalam organisasi untuk memahami
tindakan-tindakan mana yang dapat diterima dan tindakan mana yang tidak dapat diterima (Eugene
dan Nic, 1995:63). Nilai-nilai ini biasanya dikomunikasikan melalui cerita ataupun cara-cara simbolis
lainnya.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi merupakan
sistem nilai tertentu yang dianut bersama oleh suatu kelompok tertentu yang digunakan untuk
mengatur tindakan-tindakan yang dianggap benar ataupun tidak dalam kelompok tersebut dan juga
dapat dijadikan sebagai pembeda antara kelompok tersebut dengan kelompok lainnya.

Karakteristik Budaya Organisasi


Karakteristik Budaya Organisasi
Budaya organisasi sebagai istilah deskriptif
Budaya organisasi berkaitan dengan bagaimana karyawan memahami karakteristik
budaya suatu organisasi, dan tidak terkait dengan apakah karyawan menyukai
karakteristik itu atau tidak. Budaya organisasi adalah suatu sikap deskriptif, bukan
seperti kepuasan kerja yang lebih bersifat evaluatif.
Penelitian mengenai budaya organisasi berupaya mengukur bagaimana karyawan
memandang organisasi mereka:

 Apakah mendorong kerja tim?


 Apakah menghargai inovasi?
 Apakah menekan inisiatif?
Sebaliknya, kepuasan kerja berusaha mengukur respons afektif
terhadap lingkungan kerja, seperti bagaimana karyawan merasakan
ekspektasi organisasi, praktik-praktik imbalan, dan sebagainya.
Asal muasal budaya organisasi
Ingvar Kamprad, pendiri IKEA. Sumber dari budaya organisasi yang tumbuh di IKEA
adalah pendirinya.
Kebiasaan, tradisi, dan cara umum dalam melakukan segala sesuatu yang ada di
sebuah organisasi saat ini merupakan hasil atau akibat dari yang telah dilakukan
sebelumnya dan seberapa besar kesuksesan yang telah diraihnya pada masa lalu. Hal ini
mengarah pada sumber tertinggi budaya sebuah organisasi: para pendirinya.
Secara tradisional, pendiri organisasi memiliki pengaruh besar terhadap budaya awal
organisasi tersebut. Pendiri organisasi tidak memiliki kendala karena kebiasaan
atau ideologi sebelumnya. Ukuran kecil yang biasanya mencirikan organisasi baru lebih
jauh memudahkan pendiri memaksakan visi mereka pada seluruh anggota organisasi.
Proses penyiptaan budaya terjadi dalam tiga cara.  Pertama, pendiri hanya merekrut dan
mempertahankan karyawan yang sepikiran dan seperasaan dengan mereka. Kedua,
pendiri melakukan indoktrinasi dan menyosialisasikan cara pikir dan berperilakunya
kepada karyawan. Terakhir, perilaku pendiri sendiri bertindak sebagai model peran yang
mendorong karyawan untuk mengidentifikasi diri dan, dengan demikian,
menginternalisasi keyakinan, nilai, dan asumsi pendiri tersebut. Apabila organisasi
mencapai kesuksesan, visi pendiri lalu dipandang sebagai faktor penentu utama
keberhasilan itu. Di titik ini, seluruh kepribadian para pendiri jadi melekat dalam budaya
organisasi.
Karakteristik budaya organisasi
Penelitian menunjukkan bahwa ada tujuh karakteristik utama yang, secara keseluruhan,
merupakan hakikat budaya organisasi.

 Inovasi dan keberanian mengambil risiko. Sejauh mana karyawan didorong untuk


bersikap inovatif dan berani mengambil risiko.
 Perhatian pada hal-hal rinci. Sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan
presisi, analisis, dan perhatian pada hal-hal detail.
 Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang
pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
 Orientasi orang. Sejauh mana keputusan-
keputusan manajemen mempertimbangkan efek dari hasil tersebut atas orang yang
ada di dalam organisasi.
 Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja di organisasi pada tim
ketimbang pada indvidu-individu.
 Keagresifan. Sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif ketimbang
santai.
 Stabilitas. Sejauh mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan
dipertahankannya status quo dalam perbandingannya dengan pertumbuhan.
Nilai dominan dan subbudaya organisasi
Budaya organisasi mewakili sebuah persepsi yang sama dari para anggota organisasi
atau dengan kata lain, budaya adalah sebuah sistem makna bersama. Karena itu,
harapan yang dibangun dari sini adalah bahwa individu-individu yang memiliki latar
belakang yang berbeda atau berada di tingkatan yang tidak sama dalam organisasi akan
memahami budaya organisasi dengan pengertian yang serupa.
Sebagian besar organisasi memiliki budaya dominan dan banyak subbudaya. Sebuah
budaya dominan mengungkapkan nilai-nilai inti yang dimiliki bersama oleh mayoritas
anggota organisasi. Ketika berbicara tentang budaya sebuah organisasi, hal tersebut
merujuk pada budaya dominannya, jadi inilah pandangan makro terhadap budaya yang
memberikan kepribadian tersendiri dalam organisasi. Subbudaya cenderung
berkembang di dalam organisasi besar untuk merefleksikan masalah, situasi, atau
pengalaman yang sama yang dihadapi para anggota. Subbudaya mencakup nilai-nilai inti
dari budaya dominan ditambah nilai-nilai tambahan yang unik.
Jika organisasi tidak memiliki budaya dominan dan hanya tersusun atas banyak
subbudaya, nilai budaya organisasi sebagai sebuah variabel independen akan berkurang
secara signifikan karena tidak akan ada keseragaman penafsiran mengenai apa yang
merupakan perilaku semestinya dan perilaku yang tidak semestinya. Aspek makna
bersama dari budaya inilah yang menjadikannya sebagai alat potensial untuk menuntun
dan membentuk perilaku. Itulah yang memungkinkan seseorang untuk mengatakan,
misalnya, bahwa budaya Microsoft menghargai keagresifan dan pengambilan risiko dan
selanjutnya menggunakan informasi tersebut untuk lebih memahami perilaku dari para
eksekutif dan karyawan Microsoft. Tetapi, kenyataan yang tidak dapat diabaikan adalah
banyak organisasi juga memiliki berbagai subbudaya yang bisa memengaruhi perilaku
anggotanya.
Pengaruh budaya
Fungsi-fungsi budaya
Budaya memiliki sejumlah fungsi dalam organisasi.

Batas
Budaya berperan sebagai penentu batas-batas; artinya, budaya menciptakan perbedaan
atau yang membuat unik suatu organisasi dan membedakannya dengan organisasi
lainnya.
Identitas
Budaya memuat rasa identitas suatu organisasi.

Komitmen
Budaya memfasilitasi lahirnya komitmen terhadap sesuatu yang lebih besar daripada
kepentingan individu.

Stabilitas
Budaya meningkatkan stabilitas sistem sosial karena budaya adalah perekat sosial yang
membantu menyatukan organisasi dengan cara menyediakan standar mengenai apa
yang sebaiknya dikatakan dan dilakukan karyawan.

Pembentuk sikap dan perilaku


Budaya bertindak sebagai mekanisme alasan yang masuk akal (sense-making) serta
kendali yang menuntun dan membentuk sikap dan perilaku karyawan. Fungsi terakhir
inilah yang paling menarik. Sebagaimana dijelaskan oleh kutipan berikut, budaya
mendefinisikan aturan main:
Dalam definisinya, bersifat samar, tanmaujud, implisit, dan
begitu adanya. Tetapi, setiap organisasi mengembangkan
sekmpulan inti yang berisi asumsi, pemahaman, dan aturan-
aturan implisit yang mengatur perilaku sehari-hari di tempat
kerja… Hingga para pendatang baru mempelajari aturan,
mereka tidak diterima sebagai anggota penuh organisasi.
Pelanggaran aturan oleh pihak eksekutif tinggi atau
karyawan lini depan membuat publik luas tidak senang dan
memberi mereka hukuman yang berat. Ketaatan pada
aturan menjadi basis utama bagi pemberian imbalan dan
“ mobilitas ke atas. ”

Budaya sebagai beban


Hambatan untuk perubahan
Budaya menjadi kendala manakala nilai-nilai yang dimiliki bersama tidak sejalan dengan
nilai-nilai yang dapat meningkatkan efektivitas organisasi. Hal ini paling mungkin terjadi
bila lingkungan sebuah organisasi bersifat dinamis

 Hambatan bagi keragaman. Merekrut karyawan baru yang, karena faktor ras,
usia, jenis kelamin, ketidakmampuan, atau perbedaan-perbedaan lain, tidak sama
dengan mayoritas anggota organisasi lain akan menciptakan sebuah paradoks.
 Hambatan bagi akuisisi dan merger. Secara historis, faktor kunci yang
diperhatikan manajemen ketika membuat keputusan akuisisi atau merger terkait
dengan isu keuntungan finansial atau sinergi produk. Belakangan ini, kesesuaian
budaya juga menjadi fokus utama.
FUNGSI BUDAYA ORGANISASI
 

A.PENGERTIAN DAN FUNGSI BUDAYA ORGANISASI

Budaya organisasi adalah sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para anggota
yang membedakan suatu organisasi dari organisasi-organisasi lainnya. Sistem makna
bersama ini adalah sekumpulan karakteristik kunci yang dijunjung tinggi oleh organisasi.

Adapun pengertian Budaya Organisasi menurut beberapa ahli, yaitu :

1.Menurut Wood, Wallace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, Osborn (2001:391), budaya


organisasi adalah sistem yang dipercayai dan nilai yang dikembangkan oleh organisasi
dimana hal itu menuntun perilaku dari anggota organisasi itu sendiri.

2.Menurut Tosi, Rizzo, Carroll seperti yang dikutip oleh Munandar (2001:263), budaya
organisasi adalah cara-cara berpikir, berperasaan dan bereaksi berdasarkan pola-pola
tertentu yang ada dalam organisasi atau yang ada pada bagian-bagian organisasi.

3.Menurut Robbins (1996:289), budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang
dianut oleh anggota-anggota organisasi itu.

FUNGSI BUDAYA ORGANISASI


Budaya organisasi memiliki fungsi yang sangat penting. Fungsi budaya organisasi adalah
sebagai tapal batas tingkah laku individu yang ada didalamnya.
Menurut Robbins (1996 : 294), fungsi budaya organisasi sebagai berikut :
1.Budaya menciptakan pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain.
2.Budaya membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
3.Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada
kepentingan diri individual seseorang.
4.Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu
dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk dilakukan oleh karyawan.
5.Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan
membentuk sikap serta perilaku karyawan.

1. TIPOLOGI BUDAYA ORGANISASI


Menurut Sonnenfeld dari Universitas Emory (Robbins, 1996 :290-291), ada empat tipe
budaya organisasi :
1. Akademi
Perusahaan suka merekrut para lulusan muda universitas, memberi mereka pelatihan
istimewa, dan kemudian mengoperasikan mereka dalam suatu fungsi yang khusus.
Perusahaan lebih menyukai karyawan yang lebih cermat, teliti, dan mendetail dalam
menghadapi dan memecahkan suatu masalah.
2. Kelab
Perusahaan lebih condong ke arah orientasi orang dan orientasi tim dimana
perusahaan memberi nilai tinggi pada karyawan yang dapat menyesuaikan diri dalam
sistem organisasi. Perusahaan juga menyukai karyawan yang setia dan mempunyai
komitmen yang tinggi serta mengutamakan kerja sama tim.
3. Tim Bisbol
Perusahaan berorientasi bagi para pengambil resiko dan inovator, perusahaan juga
berorientasi pada hasil yang dicapai oleh karyawan, perusahaan juga lebih menyukai
karyawan yang agresif. Perusahaan cenderung untuk mencari orang-orang berbakat
dari segala usia dan pengalaman, perusahaan juga menawarkan insentif finansial
yang sangat besar dan kebebasan besar bagi mereka yang sangat berprestasi.
4. Benteng
Perusahaan condong untuk mempertahankan budaya yang sudah baik. Menurut
Sonnenfield banyak perusahaan tidak dapat dengan rapi dikategorikan dalam salah
satu dari empat kategori karena merek memiliki suatu paduan budaya atau karena
perusahaan berada dalam masa peralihan.
2. KREATIVITAS INDIVIDU DAN TEAM PROSES INOVASI
Kreativitas dengan inovasi itu berbeda. Kreativitas merupakan pikiran untuk
menciptakan sesuatu yang baru, sedangkan inovasi adalah melakukan sesuatu yang
baru. Hubungan keduanya jelas. Inovasi merupakan aplikasi praktis dari kreativitas.
Dengan kata lain, kreativitas bisa merupakan variabel bebas, sedangkan inovasi
adalah variabel tak bebas. Dalam praktek bisnis sehari-hari, ada perencanaan yang
meliputi strategi, taktik, dan eksekusi. Dalam pitching konsultansi atau agency, sering
terdengar keluhan bahwa secara konseptual apa yang disodorkan agency bagus,
tetapi strategi itu tak berdampak pada perusahaan karena mandek di tingkat
eksekusi. Mengapa? Sebab, strategi bisa ditentukan oleh seseorang, tetapi
eksekusinya harus melibatkan banyak orang, mulai dari atasan hingga bawahan. Di
sinilah mulai ada gesekan antarkaryawan, beda persepsi hingga ke sikap
penentangan.
Itu sebabnya, tak ada perusahaan yang mampu berinovasi secara konsisten tanpa
dukungan karyawan yang bisa memenuhi tuntutan persaingan. Hasil pengamatan kami
menunjukkan, perusahaan-perusahaan inovator sangat memperhatikan masalah
pelatihan karyawan, pemberdayaan, dan juga sistem reward untuk meng-create daya
pegas inovasi. Benih-benih inovasi akan tumbuh baik pada perusahaan-perusahaan yang
selalu menstimulasi karyawan, dan mendorong ke arah ide-ide bagus. Melalui program
pelatihan, sistem reward, dan komunikasi, perusahaan terus berusaha untuk
mendemokratisasikan inovasi.

Pengertian Apresiasi Menurut


Beberapa Referensi
Sepuluh Pengertian Apresiasi dari Berbagai Referensi

1. Pengertian apresiasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penilaian


baik; penghargaan; misalnya –terhadap karya-karya sastra ataupun karya seni.
2. Apresiasi berasal dari bahasa Inggris, appreciation yang berarti penghargaan
yang positif. Sedangkan pengertian apresiasi adalah kegiatan mengenali, menilai, dan
menghargai bobot seni atau nilai seni. Biasanya apresiasi berupa hal yang positif
tetapi juga bisa yang negatif. Sasaran utama dalam kegiatan apresiasi adalah nilai
suatu karya seni. Secara umum kritik berarti mengamati, membandingkan, dan
mempertimbangkan. Tetapi dalam memberikan apresiasi, tidak boleh mendasarkan
pada suatu ikatan teman atau pemaksaan. Pemberian apresiasi harus dengan setulus
hati dan menurut penilaian aspek umum.
Dari pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa apresiasi positif dapat diberikan
kepada seseorang, atau beberapa individu atau sebuah kelompok yang melakukan karya
positif dengan suatu hal yang positif juga, atau sebaliknya.
http://hilman2008.wordpress.com/2009/06/19/apresiasi/
3. Pengertian apresiasi secara umum adalah suatu penghargaan atau penilaian
terhadap suatu karya tertentu. Biasanya apresiasi berupa hal yang positif tetapi juga
bisa yang negatif. Apresiasi dibagi menjadi tiga, yakni kritik, pujian, dan saran.
Sementara itu, orang yang ahli dalam bidang apresiasi secara umum adalah seorang
kolektor atau pencinta suatu seni pada umumnya. Tetapi dalam memberikan
apresiasi, tidak boleh mendasarkan pada suatu ikatan teman atau pemaksaan.
Pemberian apresiasi harus dengan setulus hati dan menurut penilaian aspek umum.
-http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20081204221626AAdJoV5-
4. Pengertian apresiasi adalah 1. kesadaran terhadap nilai seni dan budaya; 2.
penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu; 3. kenaikan nilai barang karena harga
pasarnya naik atau permintaan akan barang itu bertambah;
ber•a•pre•si•a•si v mempunyai apresiasi; ada apresiasi;
meng•ap•re•si•a•si v melakukan pengamatan, penilaian, dan penghargaan (misalnya
terhadap sebuah karya seni)
-http://www.artikata.com/arti-319466-apresiasi.html-
5. Apresiasi berasal dari bahasa Inggris “appreciation” yang berarti penghargaan,
penilaian, pengertian, bentuk ituberasal dari kata kedua “to aprreciate” yang berarti
menghargai, menilai, mengerti. Apresiasi mengandung makna pengenalan melalui
perasaan atau kepekaan batin, dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang
diungkapkan pengarang. (Aminuddin, 1987).
6. Secara makna leksikal, apresiasi (appreciation) mengacu pada pengertian
pemahaman dan pengenalan yang tepat, pertimbangan, penilaian, dan pernyataan
yang memberikan penilaian (Hornby dalam Sayuti, 1985:2002).
7. Apresiasi merupakan kegiatan mengakrabi karya sastra secara bersungguh-
sungguh. Sehubungan dengan itu, apresiasi memerlukan kesungguhan penikmat
sastra dalam mengenali, menghargai, dan menghayati, sehingga ditemukan
penjiwaan yang benar-benar dalam (Elliyati, 2004)
8. Apresiasi adalah menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh sehingga
tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan
yang baik terhadap cipta sastra (Effendi, 1973).
9. Apresiasi mengandung makna pengenalan melalui perasaaan atau kepekaaan
batin, dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang
(Aminuddin, 1987).
10. Secara leksikografis, kata apresiasi berasal dari bahasa Inggris appreciation, yang
berasal dari kata kerja to apreciate, yang menurut kamus Oxford berarti to judge
value of understand or enjoyfully in the right way; dan menurut kamus Webstern
adalah to estimate the quality of to estimate rightly to be sensitevely aware of. Jadi
secara umum mengapresiasi adalah mengerti serta menyadari sepenuhnya, sehingga
mampu menilai secara semestinya.
Dalam kaitannya dengan kesenian, apresiai berarti kegiatan mengartikan dan
menyadari sepenuhnya seluk beluk karya seni serta menjadi sensitif terhadap gejala
estetis dan artistik sehingga mampu menikmati dan manilai karya tersebut secara
semestinya. Dalam mengapresiai, seorang penghayat sedang mencari pengalam
estetis. Sehingga motivasi yang muncul adalah motivasi pengalaman estetis.
Pengalaman estetis menurut Albert R. Candler adalah kepuasan kontemplatif atau
kepuasan intuitif.
– http://tjahjo-prabowo.staff.fkip.uns.ac.id/apresiasi-seni/-
Hubungan Etika dan Budaya
Hubungan antara Etika dengan Kebudayaan : Meta-ethical cultural relativism
merupakan cara pandang secara filosofis yang yang menyatkan bahwa tidak ada
kebenaran moral yang absolut, kebenaran harus selalu disesuaikan dengan budaya
dimana kita menjalankan kehidupan soSial kita karena setiap komunitas sosial
mempunyai cara pandang yang berbeda-beda terhadap kebenaran etika.
 

Etika erat kaitannya dengan moral. Etika atau moral dapat digunakan okeh manusia
sebagai wadah untuk mengevaluasi sifat dan perangainya. Etika selalu berhubungan
dengan budaya karena merupakan tafsiran atau penilaian terhadap kebudayaan. Etika
mempunyai nilai kebenaran yang harus selalu disesuaikan dengan kebudayaan karena
sifatnya tidak absolut danl mempunyai standar moral yang berbeda-beda tergantung
budaya yang berlaku dimana kita tinggal dan kehidupan social apa yang kita jalani.

Baik atau buruknya suatu perbuatan itu tergantung budaya yang berlaku. Prinsip moral
sebaiknya disesuaikan dengan norma-norma yang berlaku, sehingga suatu hal dikatakan
baik apabila sesuai dengan budaya yang berlaku di lingkungan sosial tersebut. Sebagai
contoh orang Eskimo beranaggapan bahwa tindakan infantisid (membunuh anak) adalah
tindakan yang biasa, sedangkan menurut budaya Amerika dan negara lainnya tindakan
ini merupakan suatu tindakan amoral.

Suatu premis yang disebut dengan “Dependency Thesis” mengatakan “All moral
principles derive their validity from cultural acceptance”. Penyesuaian terhadap
kebudayaan ini sebenarnya tidak sepenuhnya harus dipertahankan dan dibutuhkan
suatu pengembangan premis yang lebih kokoh.

Hubungan antara Etika dengan Krisis Kemanusiaan


Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan moral. Etika berasal dari bahasa yunani yaitu kata “ethos” yang berarti suatu
kehendak atau kebiasaan baik yang tetap. Manusia yang pertama kali menggunakan
kata-kata itu adalah seorang filosof Yunani yang bernama Aristoteles ( 384 – 322 SM ).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika / moral adalah ajaran tentang baik dan
buruk mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya. Menurut K. Bertenes, etika
adalah nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang dalam
mengatur tingkah lakunya. Etika berkaitan erat dengan berbagai masalah nilai karena
etika pada pokoknya membicarakan tentang masalah-masalah predikat nilai ”susila” dan
”tidak susila”, ”baik” dan ”buruk”. Kualitas-kualitas ini dinamakan kebajikan yang
dilawankan dengan kejahatan yang berarti sifat-sifat yang menunjukkan bahwa orang
yang memilikinya dikatakan tidak susila. Sesungguhnya etika lebih banyak bersangkutan
dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungannya dengan tingkah laku
manusia (Katsoff, 1986).

Etika dibagi menjadi 2 kelompok, etika umum dan etika khusus. Etika khusus dibagi
menjadi 2 kelompok lagi menurut Suseno (1987), yaitu etika individual dan etika sosial
yang keduanya berkaitan dengan tingkah laku manusia sebagai warga masyarakat. Etika
individual membahas kewajiban manusia terhadap diri sendiri dalam kaitannya dengan
kedudukan manusia sebagai warga masyarakat. Etika sosial membicarakan tentang
kewajiban manusia sebagai anggota masyarakat atau umat manusia. Dalam masalah ini,
etika individual tidak dapat dipisahkan dengan etika sosial karena kewajiban terhadap
diri sendiri dan sebagai anggota masyarakat atau umat manusia saling berkaitan dan
tidak dapat dipisahkan. Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia lain
baik secara langsung maupun dalam bentuk kelembagaan (keluarga, masyarakat, dan
negara), sikap kritis terhadap pandangan-pandangan dunia, idiologi-idiologi maupun
tanggungjawab manusia terhadap lingkungan hidup. Etika sosial berfungsi membuat
manusia menjadi sadar akan tanggungjawabnya sebagai manusia dalam kehidupannya
sebagai anggota masyarakat.

Di dunia kita sekarang ini, kesadaran akan etika individual dan etika sosial sangatlah
rendah. Contoh nyatanya adalah adanya kelangkaan perspektif etika di kalangan para
penguasa politik dan ekonomi yang telah memicu penyalahgunaan kekuasaan (abuse of
power) dalam berbagai sudut kehidupan. Parliament of the World’s Religion II, tahun
1993, yang diselenggarakan di Chicago, menghasilkan deklarasi yang disebut dengan
etika global (global ethic) sebagai penjabaran praktis berupa paradigma etika dan moral
untuk diejawantahkan dalam kehidupan empiris.
 

Lahirnya Deklarasi Etika Global tersebut merupakan realisasi antisipasif dan solutif atas
sebuah kekuatan dahsyat bernama globalisasi yang dewasa ini tidak hanya memasuki
wilayah kehidupan material seperti ekonomi, budaya, dan politik pada banyak negara di
seluruh belahan dunia, tetapi kekuatan tersebut juga merambah wilayah nonmeterial,
yaitu etika. Globalisasi sendiri telah banyak menimbulkan dampak positif, tetapi juga
dampak negatif, yaitu krisis kemanusiaan. Dunia manusia saat ini sedang dilanda suatu
krisis multidimensi global, yang meliputi krisis ekonomi global, krisis ekologi global, dan
krisis politik global. Berbagai terpaan krisis tersebut lalu bermuara pada krisis
kemanusiaan seperti kemiskinan, kelaparan, pengangguran, kezaliman, kekerasan,
penindasan, pengisapan, pembunuhan, dan lain-lain.

Jika ditelusuri secara seksama, kita ketahui krisis kemanusiaan yang ada berpangkal
mula dari krisis etika. Kelangkaan wawasan dan pengetahuan etika, terutama di
kalangan penguasa politik dan ekonomi, mendorong merajalelanya perusakan yang
kemudian mengarah pada kerusakan dunia dan segala tatanannya. Dari perspektif etika
global, permasalahan yang dihadapi proses peradaban bangsa-bangsa di dunia
belakangan ini, tidak lain adalah masalah etik, yaitu rendahnya kadar apresiasi terhadap
etika peradaban. Proses peradaban berkembang sedemikian cepat, terutama pada aspek
material yang mengatas namakan kebebasan, kekuatan dan kepercayaan atas diri
manusia. Dengan demikian, proses peradaban menempatkan manusia sebagai “pencipta
yang memiliki kuasa besar” terhadap hidup dan kehidupannya. Kehidupan manusia
kemudian berorientasi pada paradigma “antropo-centris”, yaitu berpusat pada diri
manusia itu sendiri, sehingga manusia diliputi paham “egoisme kemanusiaan”. Egosime
kemanusian tersebut, sebagai mana diketahui, menjelma dalam paham, baik yang
bersifat individualistis maupun kolektif, sebut saja rasisme, nasionalisme, sekterianisme,
atas seksisme (feminisme dan maskulinisme). Semua bentuk egoisme manusia tersebut
menghalangi manusia untuk menjadi manusia sejati, manusia berkemanusiaan.

Sebuah paragraf dalam Declaration toward a Global Ethic of the Parliament of the
World’s Religions yang dikeluarkan di Chicago pada 1993 berbunyi sebagai berikut,
“Dalam tradisi etika dan agama umat manusia, kita menemukan perintah: kalian tidak
boleh mencuri! Atau dalam bahasa positifnya: berdaganglah secara jujur dan adil! Makna
dari perintah ini adalah tidak seorang pun berhak dengan cara apa pun merampas atau
merebut hak orang lain atau hak kesejahteraan bersama. Begitu juga tidak seorang pun
berhak menggunakan apa yang dimilikinya tanpa peduli akan kebutuhan masyarakat
dan bumi. Dalam pandangan deklarasi etika global, tidak mungkin ada suatu tatanan
dunia baru tanpa tatanan etika global. Etika global, mengacu pada suatu permufakatan
mendasar tentang nilai-nilai mengikat, ukuran-ukuran pasti, dan sikap-sikap pribadi yang
harus dimiliki setiap manusia, khususnya manusia beragama.

Pemecahan problematika sosial, ekonomi, politik dan lingkungan hidup mungkin


dilakukan dengan proses pembangunan yang berkesinambungan lewat perencanaan
ekonomi dan politik serta pembelakuan hukum dan undang-undang. Namun, semua itu
belum cukup tanpa perubahan “orientasi batin” (inner orientation) dan sikap mental
yang berkualitas dari masyarakat. Masyarakat membutuhkan reformasi sosial dan
ekologis, tapi dalam waktu bersamaan mereka juga membutuhkan pembaruan spiritual.
Untuk benar-benar berperilaku manusiawi berarti :
 Kita harus menggunakan kekuasaan ekonomi dan politik untuk melayani
kemanusiaan, bukan menyalahgunakannya dalam persaingan merebut dominasi yang
kejam. Kita harus mengembangkan semangat mengasihi mereka yang menderita,
khususnya kepada anak-anak, kaum lanjut usia, masyarakat miskin, penderita cacat,
dan mereka yang berada dalam kesepian.
 Kita harus mengembangkan saling respek dan peduli agar tercapai keseimbangan
kepentingan yang layak, bukan cuma memikirkan kekuasaan tanpa batas dan
persaingan yang tidak terhindarkan.
 Kita harus menghargai nilai-nilai kesederhanaan, bukan keserakahan tanpa
terpuaskan akan uang, prestis, dan pemuasan konsumtif. Dalam keserakahan,
manusia kehilangan “rohnya”, kebebasannya, ketenangan, dan kedamaian diri serta
dengan demikian kehilangan apa yang membuatnya manusiawi”.
Hubungan antara Kebudayaan dengan Krisis Kemanusiaan
Mendiskusikan perihal entitas kebudayaan bangsa kita saat ini sangat dalam kaitannya
dengan kebudayaan global, yakni budaya asing (Barat) yang selama ini dirasakan
timpang. Dalam arti, ketika arus utama (mainstream) dari pilihan arah orientasi
pengembangan budaya nasional, akhirnya jatuh pada komitmen membuka diri dengan
mengadakan sharing seluas-luasnya dengan pluralitas budaya global .

Konklusi harapan besar dari komitmen terbukanya kita dengan peradaban dunia ternyata
mempengaruhi kebudayaan universal, namun tidak dapat termanifestasikan secara
komprehensif. Kenyataan yang terjadi saat ini adalah adanya paradigma ketidakadilan
besar dalam dialektika kebudayaan yang dialami oleh bangsa kita dan juga bangsa-
bangsa Timur lainnya.

Apabila kita cermati, sebenarnya kebudayaan kita tengah bahkan terus akan berproses
dalam format fenomena yang mungkin dapat disebut sebagai “gegar budaya”. Banyak
indikator yang tersaji di keseharian masyarakat kita yang secara empiris terlihat
munculnya keprihatinan dimana-mana pada hampir semua aspek kehidupan manusia,
yang kemudian dapat dirangkum dalam satu ungkapan krisis multidimensional. Hal ini
mengindikasikan bahwa sebenarnya ada sesuatu yang salah dalam proses kebudayaan
bangsa kita selama ini, sehingga berimplikasi pada carutmarut persoalan bangsa yang
tidak kunjung selesai.

“Kekosongan” kebudayaan yang bangsa kita saat ini rasakan dapat berdampak negatif
terhadap kebudayaan bangsa kita sendiri dan nilai kemanusiaan. Peralihan kebudayaan
Timur menjadi kebarat-baratan seperti lazimnya seks bebas, pergaulan bebas, film
porno, minum alkohol, diperbolehkannya hubungan sesama jenis, dll membuat kita
bertanya, kemanakah nilai kemanusiaan dan agama yang selama ini menjadi ciri khas
dari bangsa Timur? Budaya Barat tersebut dengan segera merusak citra bangsa dan
cepat mempengaruhi anak-anak muda yang relatif rentan dengan dunia baru. Selain itu,
efek negatif budaya barat menjadikan timbulnya krisis kemanusiaan. Krisis kemanusiaan
ini dapat berakibat timbulnya pembunuhan, hamil di luar nikah, timbulnya penyakit
menular seksual, dan meningkatkan angka kriminalitas.

KENDALA-KENDALA DALAM PENCAPAIAN TUJUAN ETIKA BISNIS


 
Pencapaian tujuan etika bisnis di Indonesia masih berhadapan dengan beberapa masalah
dan kendala. Keraf(1993:81-83) menyebut beberapa kendala tersebut yaitu:

1. Standar moral para pelaku bisnis pada umumnya masih lemah.


Banyak di antara pelaku bisnis yang lebih suka menempuh jalan pintas, bahkan
menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan dengan mengabaikan etika
bisnis, seperti memalsukan campuran, timbangan, ukuran, menjual barang yang
kadaluwarsa, dan memanipulasi laporan keuangan.

2. Banyak perusahaan yang mengalami konflik kepentingan.


Konflik kepentingan ini muncul karena adanya ketidaksesuaian antara nilai pribadi yang
dianutnya atau antara peraturan yang berlaku dengan tujuan yang hendak dicapainya,
atau konflik antara nilai pribadi yang dianutnya dengan praktik bisnis yang dilakukan
oleh sebagian besar perusahaan lainnya, atau antara kepentingan perusahaan dengan
kepentingan masyarakat. Orang-orang yang kurang teguh standar moralnya bisa jadi
akan gagal karena mereka mengejar tujuan dengan mengabaikan peraturan.

3. Situasi politik dan ekonomi yang belum stabil.


Hal ini diperkeruh oleh banyaknya sandiwara politik yang dimainkan oleh para elit politik,
yang di satu sisi membingungkan masyarakat luas dan di sisi lainnya memberi
kesempatan bagi pihak yang mencari dukungan elit politik guna keberhasilan usaha
bisnisnya. Situasi ekonomi yang buruk tidak jarang menimbulkan spekulasi untuk
memanfaatkan peluang guna memperoleh keuntungan tanpa menghiraukan akibatnya.

4. Lemahnya penegakan hukum.


Banyak orang yang sudah divonis bersalah di pengadilan bisa bebas berkeliaran dan
tetap memangku jabatannya di pemerintahan. Kondisi ini mempersulit upaya untuk
memotivasi pelaku bisnis menegakkan norma-norma etika.

5. Belum ada organisasi profesi bisnis dan manajemen untuk menegakkan kode etik
bisnis dan manajemen.
Organisasi seperti KADIN beserta asosiasi perusahaan di bawahnya belum secara khusus
menangani penyusunan dan penegakkan kode etik bisnis dan manajemen.

Etika Bisnis Dalam Perusahaan


Sekarang kalangan bisnis sudah memiliki kesadaran akan pentingnya Etika Bisnis dalam
operasi bisnis. Bahkan dalam perkembangannya Etika Bisnis tidak lagi menjadi beban
yang terpaksa harus dilaksanakan perusahan melainkan sudah menjadi salah satu
strategy pengembangan perusahaan. Karena Tujuan perusahaan dapat didefinisikan
sebagai upaya untuk “memaksimumkan kesejahteraan si pemilik dalam rentang waktu
jangka panjang melalui aktivitas penjualan barang dan/atau jasa. Contoh nyata akan
manfaat etika bisnis sebagai strategy pengembangan perusahaan misalnya Company
Social Responsibility dianggap dapat memberikan keuntungan pada perusahaan dalam
bentuk profitabilitas, kinerja financial yang lebih kokoh, menurunkan resiko bentrok
dengan lingkungan sekitar, meningkatkan reputasi perusahaan, dll.
 

MANFAAT TERCAPAINYA TUJUAN ETIKA BISNIS BAGI PERUSAHAAN


 

Etika bisnis bagi perusahaan ini,menyangkut kebijakan etis perusahaan berhubungan


dengan kesulitan yang bisa timbul (mungkin pernah timbul dimasa lalu), seperti konflik
kepentingan, hubungan dengan pesaing dan pemasok, menerima hadiah,sumbangan
dan sebagainya. Latar belakang pembuatan etika bisnis adalah sebagai cara ampuh
untuk melembagakan etika dalam struktur dan kegiatan perusahaan. Bila Perusahaan
memiliki etika sendiri,mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan perusahaan
yang tidak memilikinya.

Manfaat Etika Bisnis bagi Perusahaan :

1. Dapat meningkatkan kredibilitas suatu perusahaan, karena etika telah dijadikan


sebagai corporate culture. Hal ini terutama penting bagi perusahaan besar yang
karyawannya tidak semuanya saling mengenal satu sama lainnya. Dengan adanya
etika bisnis, secara intern semua karyawan terikat dengan standard etis yang sama,
sehingga akan mefigambil kebijakan/keputusan yang sama terhadap kasus sejenis
yang timbul.
 

2. Dapat membantu menghilangkan grey area (kawasan kelabu) dibidang etika.


(penerimaan komisi, penggunaan tenaga kerja anak, kewajiban perusahaan dalam
melindungi lingkungan hidup).
 

3. Menjelaskan bagaimana perusahaan menilai tanggung jawab sosialnya.


 

4. Menyediakan bagi perusahaan dan dunia bisnis pada umumnya, kemungkinan


untuk mengatur diri sendiri (self regulation).
 

5. Bagi perusahaan yang telah go publik dapat memperoleh manfaat berupa


meningkatnya kepercayaan para investor. Selain itu karena adanya kenaikan harga
saham, maka dapat menarik minat para investor untuk membeli saham perusahaan
tersebut.
 

6. Dapat meningkatkan daya saing (competitive advantage) perusahaan.


 

7. Membangun corporate image / citra positif , serta dalam jangka panjang dapat
menjaga kelangsungan hidup perusahaan (sustainable company).
 

Etika bisnis perusahhan memiliki peran yang sangat penting, yaitu untuk membentuk
suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki dsaya saing yang tinggi serta mempunyai
kemampuan menciptakan nilai yang tinggi,diperlukan suatu landasan yang kokoh.
Biasanya dimulai dari perencanaan strategis, organisasi yang baik, system prosedur
yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang handal serta etika perusahaan
yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen.

Karena itu, tindakan perusahaan berasal dari pilihan dan tindakan individu manusia,
indivdu-individulah yang harus dipandang sebagai penjaga utama kewajiban moral dan
tanggung jawab moral : individu manusia bertanggung jawab atas apa yang dilakukan
perusahaan karena tindakan perusahaan secara keseluruhan mengalir dari pilihan dan
perilaku mereka. Jika perusahaan bertindak keliru, kekeliruan itu disebabkan oleh pilihan
tindakan yang dilakukan oleh individu dalam perusahaan itu, jika perusahaan bertindak
secara moral, hal itu disebabkan oleh pilihan individu dalam perusahaan bertindak
secara bermoral. Etika bisnis mempunyai prinsip dalam kaitan ini berhubungan dengan
berbagai upaya untuk menggabungkan berbagai nilai-nilai dasar (basic values) dalam
perusahaan, agar berbagai aktivitas yang dilaksanakan dapat mencapai tujuan.

Secara lebih jelas, mekanismenya berjalan sebagai berikut.“Memaksimumkan


kesejahteraan si pemilik dalam jangka panjang”, berhubungan dengan dimensi waktu
yang relatif panjang serta menyangkut sustainability. Hal ini membutuhkan adanya
“kepercayaan” atau “saling mempercayai” (trust) dari berbagai pihak yang berhubungan
dengan perusahaan (stakeholders). Kalimat “kesejahteraan pemilik” merupakan derivasi
dan perwujudan dari “hak kepemilikan” (ownership) yang muncul dari adanya
penghargaan (respect) terhadap “kepemilikan pribadi” (property rights).

Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika bisnis akan selalu menguntungkan
perusahaan baik untuk jangka panjang maupun jangka menengah karena :

 Mampu mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi, baik


intern perusahaan maupun dengan eksternal.
 Mampu meningkatkan motivasi pekerja.
 Melindungi prinsip kebebasan berniaga.
 Mampu meningkatkan keunggulan bersaing.
 

Tidak bisa dipungkiri, tindakan yang tidak etis yang dilakukan oleh perusahaan akan
memancing tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra
produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan beroperasi
dan lain sebagainya. Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai
perusahaan.

Sedangkan perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika bisnis, pada umumnya
termasuk perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula,
terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yang tidak etis, misalnya
diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier. Perlu dipahami, karyawan
yang berkualitas adalah aset yang paling berharga bagi perusahaan. Oleh karena itu,
perusahaan harus semaksimal mungkin harus mempertahankan karyawannya. Untuk
memudahkan penerapan etika perusahaan dalam kegiatan sehari-hari maka nilai-nilai
yang terkandung dalam etika bisnis harus dituangkan kedalam manajemen korporasi
yakni dengan cara :

 
 Menuangkan etika bisnis dalam suatu kode etik (code of conduct)
 Memperkuat sistem pengawasan
 Menyelenggarakan pelatihan (training) untuk karyawan secara terus menerus.

Di sini saya akan menjelaskan tentang antropologi, apa pentingnya antropologi, dan asas
antropologi..

1. Mengapa belajar antropologi?

  Antropologi adalah suatu studi ilmu yang mempelajari tentang manusia baik dari segi
budaya, perilaku, keanekaragaman, dan lain sebagainya. Antropologi adalah istilah kata
bahasa Yunani yang berasal dari kata anthropos dan logos. Anthropos berarti manusia dan
logos memiliki arti cerita atau kata.
Objek dari antropologi adalah manusia di dalam masyarakat suku bangsa, kebudayaan dan
prilakunya. Ilmu pengetahuan antropologi memiliki tujuan untuk mempelajari manusia dalam
bermasyarakat suku bangsa, berperilaku dan berkebudayaan untuk membangun masyarakat
itu sendiri.

  Secara harfiah antropologi adalah ilmu (logos) tentang manusia (antropos). Definisi
demikian tentu kurang jelas, karena dengan definisi seperti itu antropologi mencakup banyak
disiplin ilmu seperti sosiologi, psikologi, ilmu polotik, ilmu ekonomi, ilmu sejarah, biologi
manusia dan bahkan humaniora, filsafat dan sastra yang semuanya mempelajari atau
berkenaan dengan manusia. Sudah tentu hal ini tidak benar, palagi disiplin-disiplin ilmu lain
tersebut justru sudah berkembang jauh lebih tua dari pada antropologi.
Oleh karena itu pasti ada sesuatu yang khusus tentang manusia yang menjadi pusat perhatian
antropologi.Sayang bidang permasalahan yang khusus dipelajari oleh antropologi tidak jelas
batasnya, karena terlalu cepatnya pemisahan ilmu-ilmu cabang antropologi yang sangat
berlainan bidang permasalahan yang dipelajari. Akibatnya tidak ada satupun definisi umum
yang dapat disepakati oleh semua ilmuwan antropologi.
Salah satu karakteristik yang paling banyak mendapat perhatian dalam antropologi adalah
hubungan antara kebudayaan dan ciri-ciri biologis manusia. Masa ketergantungan manusia
pada pengangkutan jalan kaki, ukuran otak yang besar, dan kemampuan menggunakan
simbol-simbol adalah contoh beberapa ciri biologis yang memungkinkan mereka
menciptakan dan mendapatkan kebudayaan.
Untuk membantu mahasiswa dalam pelajaran awal, dapat dipergunakan rangkuman sebagai
berikut: antropologi adalah ilmu yang mempelajari karakteristik hidup manusia dengan
naberorientasi pada kebudayaan yang dihubungkan dengan ciri-ciri sosio-psikologi atau ciri-
ciri biologis, melalui pendekatan yang holistik yaitu pendekatan dengan cara melihat atau
memandang sesuatu sebagai suatu kebulatan yang utuh atau holistik.

2. Ruang Lingkup Antropologi?

 
1. ANTRPOLOGI FISIK
Antropologi fisik mempelajari manusia sebagai organisme biologis yang melacak
perkembanhan manusia menurut evolusinya dan menyelidiki variasi biologisnya dalam
berbagai jenis (spesies). Melalui aktivitas analisis yang mendalam terhadap fosil-fosil dan
pengamatan pada primate-primata yang pernah hidup, para ahli antrpologi fisik berusaha
melacak nenek moyang jenis manusia untuk mengetahui bagaimana, kapan, dan mengapa
kita menjadi makhluk seperti sekaran ini (Haviland, 1999: 13)

2. ANTROPOLOGI BUDAYA
Antropologi budaya memfokuskan perhatianya kepada kebudayaan manusia ataupun cara
hidupnya dalam masyarakat. menurut Haviland (1999:12) cabang antropologi budaya ini
dibagi-bagi lagi menjadi tiga bagian, yakni arkeologi, antroplogi linguistic, dan etnologi.

Antropologi budaya juga merupakan studi tentang praktik-praktik social, bentuk-bentuk


ekspresif, dan penggunaan bahasa, dimana makna diciptakan dan diujui sebelum digunakan
oleh masyarakat manusia ?(Burke,2000:193).
Biasanya, istilah antropologi budaya dikaitkan dengan tradisi riset dan penulisan antropologi
di Amerika. pada awal abad ke-20, Franz Boas (1940) mengajukan tinjauan kirtisnya
terhadap asumsi-asumsi antropologi evolusioner serta inflikasi yang cendrung bersifat rasial.
Dalam hal itu, boas menyoroti keberpihakan pada komparasi dan generalisasi antropollgi
tradisional ytang dinilainnya kurang tepat, selanjutnya ia mengembangkan alitan baru yang
sering disebut antropologi boas. dalam hal ini, boas merumuskan konsep kebudayaan yang
bersifat relative. plural dan holistic
saat ini, kajian antropologi budaya lebih menekankan pada empat aspek yang tersusun.

a.     Pertimbangan politik, di mana antropologi budaya sering terjebak oleh kepentingan-


kepentingan politik     dan membiarkan dalam penulisannya masih terpaku oleh metode-
metode lama yang sudah terbukti kurang layak untuk menyusun sebuah karya ilmiah, seperti
yang dikeluhkan said dalam orientalisme (1970).

b.     Menyangkut hubungan kebudayaan dengan kekuasaan. jika pada awalnya bertumpuk


pada asumsasumsi kepatuhan dan penguasaan masing-masing terhadap kebudayaanya
sedangkan pada masa kini dengan munculnya karya Bourdieu (1977) dan Foucault
(1977,1978) kian menekankan pengunaan taktis diskursus budaya yang melayani kalangan
tertentu di masyarakat.

c.     Menyangkut bahasa dalam antropologi budaya,  dimana terjadi pergeseran makna


kebudayaan dari homogenitas ke heterogenitas yang menekankan peran bahasa sebagai
sistem formal abstraksi-abstraksi kategori  budaya.

d.     Preferensi dan pemikiran individual dimana terjadi antara hubungan antara jati diri dan
emosi, sebab antara kepribadiyaan dan kebudayaan memiliki keterkaitan yang erat.

cabang antropologi budaya ini dibagi-bagi menjadi tiga bagian yakni arkeologi, antropologi
linguistic dan etnologi.
a. Arkeologi
Arkeologi adalah cabang antropologi kebudayaan yang mempelajari benda-benda
peninggalan lama dengan maksud untuk menggambarkan serta menerangkan perilaku
manusia karena dalam peninggalan-peninggalannya lam itulah terpantul eksfresi
kebudayaannya.

b. Antropologi linguistic
Ernest Cassirer (1951 : 32) mengatakan bahwa manusia mahluk yan g paling mahir dalam
menggunakan simbol-simbol sehingga manusia disebut homo symbolicum karena itulah
manusia dapat berbahasa berbicara dan melakukan gerakan-gerakan lainnya yang juga
banyak dilakukan oleh makhluk-makhluk lain yang serupa dengan manusia. tidak hanya
mengenai cara orang berkomunikasi, tetapi juga tentang bagaimana memahami dunia luar.

c. Etnologi
Pendekatan etnologi adalah etnografi, lebih memusatkan perhatiannya kepada kebudayaan-
kebudayaan zaman sekaranng, etnologi ini mirip dengan arkeologi, bedanya dalam etnologi
tentang keyakinan yang dialami dalam kehidupan sekarangsedangkan arkeologi tentang
kalampauan yang sangat klasik. benar ungkapan Kluckhohn (1965) yang mengatakan bahwa
ahli atnografi adalah ahli arkeologi yang mengamati arkeologinya hidup-hidup. antopologi
pada hakikatnya mendokumentasikan kondisi manusia pada masa lampau dan masa kini.
perhatian utamanya adalah pada masyarakat-masyarakat eksotis, mas prasejarah, bahasa tak
tertulis, dan adat kebiasaan yang aneh. mereka yang masih berpradaban rendah (savage)
bukankah para bangsawan alam dan keberadaan hidup mereka tidak juga firdausi (kapplan
dan Manners, 1999:xiii).
selain antropologi fisik dan kebudayaan adalah antropologi ekonomi, antropologi medis,
antropologi medis,antropologi psikolog, dan antropologi social.

1. Antropologi Ekonomi
bidang ini merupakan cara manusia dalam memerintahkan dan mengekpresikan didri melalui
penggunaan barang dan jasa material (Gudeman, 2000: 295). khususnya aliran mikro dan
neoklasik . melalui pengkajian pendekatan neoklasik, walaupun cakupnya begitu besar
(makro) bahkan yang lebih unik lagi adalah aliran marxisme.

2. Antropologi Medis
Antropologi medis merupakan subdidiplin yang sekarang paling populis di Amerika serikat,
terutama yang berjasa dalam perkembangan disiplin ini adalah foster dan Anderson yang
menulis karyanya medical Anthropology  [1978 (1986)], disusun oleh McElroy dan Towsend
dalam bukunya medical Antropology in Ecological Perspective (19850.
3. Antropologi psikolog
Bidang ini merupakan wilayah antropologi yang mengkaji tentang hubunganya antara
individu dengan makna dan nilai dengan kebiasaan social dari system budaya yang ada
(White,2000:856). secara historis bidang antropologi psikologi tersebut lebih dekat pada
psikoanalisis daripada psikologi eksperimental.

4. Antropologi sosial
Bidang ini mulai dikembangkan oleh James George Frazer di Amerika Serikat pada awal
abad ke-20. penekanan pada antropologi social inggris bergerak menjadi suatu studi
komperatif masyarakat kontenporer(kuper, 2000:971). mereka bereksperimen dengan suatu
kisaran yang luas dari strategi penelitian yang bersifat komparatif, historis dan etnografis.

B. PENDEKATAN, METODE, TEKNIK, ILMU BANTU, DAN JENIS PENENTUAN


ANTROPOLOGI.
Pendekatan yang digunakan dalam antropologi menggunakan pendekatan kuantatif
(positivisic) dan kualitatif (naturalistic).adanya relativitaas yang ekstrem, berangkat dari
anggapan-anggapan bahwa tidak ada dua budayapun yang sama, pola, tatanam, dan makn a
akan dipaksakan jika elemen-elemen di abstrakan demi perbandingan. oleh karena itu,
perbandingan bagian-bagian yang telah diabstrasikan dari suatu keutuhan, tidaklah dapat d
pertahankan secara analistis

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN ANTROPOLOGI


Antropologi memang merupakan studi tentang mat manusia. antropologi melaluai pendekatan
dan metode ilmiah berusaha menyusun sejumlah generalisasi yang bermakna tentang manusia
dan perilakunya.

1. Hubungan antropologi dengan sosiologi


sepintas lalu lebih banyak ke arah kesamaannya antara antropologi dan sosiologi.
dalam antropologi budaya mempelajari gambaran tentang perilaku manusia and konteks
social budaya.

2. Hubungan antropologi dengan psikologi


de ngan demikian, psikolog membahas factor-factor penyebab perilaku manusia secara
internal seperti motivasi , minat, sikap, konsep diri, dan lain-lain.

3. Hubungan antropologi dengan ilmu sejarah


Lebih menyurupai hubungan antara ilmu arkeologi dengan antropologi. sebab sejarah itu
diperlukan, terutama untuk memecahkan masalah-masalah yang terjadi karena masyarakat
yang diselidikinya mengalami pengaruh dari suatu kebudayaan dari luar.

4. Hubungan antropologi dengan ilmu geografi


Di antara berbagai macam bentuk hidup di bunmi yang b erpa flora dan fauna itu,

5. Hubungan antropologi dengan ilmu ekonomi


kekuatan, prosese dan hukum-hukum ekonomi yang berlaku  alam aktivitas kehidupan
ekonominya sangat dipengaruhi system kemasyarakatan, carabeerfikit, pandang dan sikap
hidupdarei warga masyarakat pedesaan tersebut.

6. Hubungan antara antropologi dengan ilmu politik.


sampai masalah yang menyangkut latar belakang social budaya dari kekuatan-kekuatan
politik tersebut
E. OBJEKTIFITAS DALAM ANTROPOLOGI
Menurut kapplan dan manners (1999: 32) semua ilmu social dan bukan hanua antropologi
mengalami bias.
F.SEJARAH PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI
Disiplin antropologi, sebagaimana yang telah kita kenal merupakan produk peradaban berarti
yang relative baru. Dalam sejarah lahirnya antropologi, perkembangan ilmu tersebut melalui
suatu tahapan yang panjang.

1. Menurut pemikiran evolusionitis orang-orang yang di anggap primitive itu secara


kesejarahan dapat memberikan pemahaman tentang cara hidup nenek moyang manusia.

2. Melihat gambaran ilmu-ilmu sosial (khususnya setelah 1920), banyak ahli antropologi
berpendirian bahwa penelitian dan perbandingan etnografikan memudahkan pengembangan
ilmu sosial yang benar-benar universal, menyentuh umat manusia, dan tidak membatasi diri
pada studi-studi tentang masyarakat modern barat.

3. Sejumlah ahli antropologi yang dipengaruhi oleh etnologi dan kemudian sosiobiologi,
menyakini bahwasannya etnografi komparatif akan mengangkat unsur-unsur kemanusiaan
yang universal.

4. Para humanis yang acap kali skeptik terhadap generalisasi-generalisasi mengenai prilaku
manusia. kajiannya sering bersifat jangka panjang dan historis.

G. KONSEP-KONSEP ANTROPOLOGI
Sebagai ilmu-ilmu sosial lainnya, penggunaan konsep antropologi adalah penting karena
pengembangan konsep yang teridentifikasi dengan baik merupakan tujuan dari setiap di siplin
ilmu.
Advertisment

Adapun yang merupakan contoh konsep-konsep antropologi di antaranya:

1. Kebudayaan
2. Evolusi
3. Culture area (daerah budaya)
4. Enkulturasi
5. Difusi
6. Akulturasi
7. Etnosentrisme
8. Tradisi
9. Ras dan Etnik
10. Stereotip
11. Kekerabatan
12. Magis
13. Tabu, dan
14. Perkawinan
H. TEORI-TEORI ANTROPOLOGI
1. Teori orientasi nilai budaya dan kluckhohn
2. Teori evolusi sosiokultural pararel-konvegen-devergen sahlins dan harris
3. Teori evolusi kebudayaan lewis H,morgan.
4. Teori evolusi animisme dan magic dari tailer da frazer
5. Teori evolusi keluarga j.j bachoven
6. Teori upacara sejaji smitch

3. pentingnya Antropologi? 

Antropologi dikatakan sebagai salah satu akar atau landasan lahirnya ilmu komunikasi.
Seiring dengan perkembangan antropolgi tersebutlah akhirnya para ahli budaya melihat jika
dalam budaya juga sangat tergantung pada komunikasi. Hal inilah yang kemudian dikaji
mengenai proses dari komunikasi tersebut sehingga lahirlah ilmu komunikasi dari antroplogi.
Namun untuk lebih jelasnya mengenai keterkaitan tersebut sebaiknya kita terlebih dahulu
melihat menganai antopologi dan komunikasi itu sendiri.

Kebudayaan adalah komunikasi simbolis, simbolisme itu adalah keterampilan kelompok,


pengetahuan, sikap, nilai, dan motif. Makna dari simbol-simbol itu dipelajari dan
disebarluaskan dalam masyarakat melalui institusi. Menurut Levo-Henriksson (1994),
kebudayaan itu meliputi semua aspek kehidupan kita setiap hari, terutama pandangan hidup –
apapun bentuknya – baik itu mitos maupun sistem nilai dalam masyarakat. Ross (1986,hlm
155) melihat kebudayaan sebagai sistem gaya hidup dan ia merupakan faktor utama (common
domitor) bagi pembentukan gaya hidup

Peradaban Romawi dan Yunani menjadi dasar bagi antropologi terutama yang berkaitan
dengan maslah estetika, etika, metafisika, logam dan sejarah. Mempelajari antropologi dapat
dilihat dari segi sejarah harus didasarkan pada orientasi humanistic, sejarah dan ilmu alam,
karena perbedaan kondisi iklim dan keadaan permukaan tanah akan membawa peradaban
keaadaan fisik, karakteristik dan konstitusi suatu masyarakat yang berbeda (Hipocrates 1962:
135). Memformulasikan tradisi filosofis dan tradisi keilmuan akan memberikan proposisi-
proposisi sebagai berikut;

1. Segala sesuatu itu mempunyai sebuah bentuk yang menentukan maksud dari bentuk
tersebut2. Semua hal yang ada dalam suatu Negara akan mengalami perubahan secara terus
menerus; perubahan tersebut akan berkisar antara integrasi dan disintegrasi
3. Setiap bentuk merupakan sebuah struktur yang setiap bagiannya tersusun secara berbeda-
beda tergantung dari kepentingannya
4. Desain setiap bagian memberikan sumbangan pada keseluruhan sistem sosial melalui
aktualisasi
5. Dalam setiap sistem terjadi penyaringan untuk membuat keseimbangan dalam setiap
bagian sistem.
6. Perubahan yang terjadi pada salah satu bagian system akan menganggu aktivitas dan akan
mengakibatkan ketidak harmonisan dalam sistem tersebut.
7. Perubahan secara besar-besaran merupakan hasil modifikasi internal dari suatu bagian
yang sedang diperluas dan kemudian dikontrol dengan membangun kembali harmosisasi
dalam sistem.

Budaya sebagai konsep sentral. Linton (1945:32) memberikan definisi budaya secara
spesifik, yaitu, budaya merupakan konfigurasi dari prilaku manusia dari elemen-elemen yang
ditransformasikan oleh anggota masyarakat. Budaya secara umum telah dianggap sebagai
milik manusia, dan digunakan sebagai alat komunikasi sosial di mana didalamnya terdapat
proses peniruan. Selanjutnya konsep budaya telah menuntun para pakar etnologi Amerika dan
Jerman kedalam suatu bentuk teoritik. Setelah Radcliffe-Brown (1965:5) para ilmuan
antropologi sosial Prancis dan Inggris cenderung untuk membedakan konsep budaya dan
sosial dan cenderung membatasi kedua konsep tersebut pada cara belajar berfikir, merasa,
dan bertindak, yang merupakan dari proses sosial.

C. Kluchohn menghimpun dan menerbitkan kembali 164 definisi kebudayaan yang


dikelompokkan menjadi enam: deskriptif, historical, normatif, psikologis, struktural dan
genetic (Saifuddin, 2005: 83), Klukhohn melalui Universal Categories od Culture (1953)
merumuskan 7 unsur kebudayaan yang unierasl (Koentjaraningrat, 1979: 218) yaitu:
a. Sistem teknologi, yaitu peralatan dan perlengkapan hidup menusia (pakaian, perumahan,
alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi transport dan sebagainya.
b. Sistem mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekomoni (pertanian, peternakan, sistem
produksi, sistem distribusi dan lainnya).
c. Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hokum dan sistem
perkawinan).
d. Bahasa (lisan dan tulisan).
e. Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya).
f. Sistem pengetahuan.
g. Religi (sistem kepercayaan)

Setiap praktik komunikasi pada dasarnya adalah suatu representasi budaya, atau tepatnya
suatu peta atas suatu relitas (budaya) yang sangat rumit. Komunikasi dan budaya adalah dua
entitas tak terpisahkan, sebagaimana dikatakan Edward T. Hall, “budaya adalah komunikasi
dan komunikasi adalah budaya. Begitu kita mulai berbicara tentang komunikasi, tak
terhindarkan, kita pun berbicara tentang budaya
Budaya dan komunikasi berinteraksi secara erat dan dinamis. Inti budaya adalah komunikasi.
Karena budaya muncul melalui komunikasi. Akan tetapi pada gilirannya budaya yang tercipta
pun mempengaruhi cara berkomunikasi anggota budaya yang bersangkutan. Hubungan antara
budaya dan komunikasi adalah timbale balik. Budaya takkan eksis tanpa komunikasi dn
komunikasi pun takkan eksis tanpa budaya. Entitas yang satu takkan berubah tanpa
perubahan entitas lainnya. Menurut Alfred G. Smith, budaya adalah kode yang kita pelajari
bersama dan untuk itu dibutuhkan komunikasi. Komunikasi membutuhkan perkodean dan
simbol-simbol yang harus dipelajari. Godwin C. Chu mengatakan bhawa setiap pola budaya
dan tindakan melibatkan komunikasi. Untuk dipahami, keduanya harus dipelajari bersama-
sama. Budaya takkan dapat dipahami tanpa mempelajari komunikasi, dan komunikasi hanya
dapat dipahami dengan memahami budaya yang mendukungnya

Beberapa bidang konsep antropologi budaya yang dikaji yang sangat relavan dengan
komunikasi yaitu;
1. objek simbol, umpamanya bendara melambangkan bangsa dan uang menggambarkan
pekerjaan dan barang-barang dagangan (komoditi)
2. Karakteristik objek dalam kultur manusia. contoh warna unggu dipahami untuk “kerajaan”,
hitam untuk “duka cita” warna kuning untuk “kekecutan hati”, putih untuk untuk “kesucian”,
merah untuk “keberanian” dan sebagainya
3. Ketiga adalah gesture dimana tindakan yang memiliki makna simbolis, senyuman dan
kedipan, lambaian tangan, kerutan kening, masing-masing memiliki makna tersendiri dan
semuanya memiliki makna dalam konteks cultural.
4. Simbol adalah jarak yang luas dari pembicaraan dan kata-kata yang tertulis dalam meyusun
bahsa. Bahasa adalah kumpulan simbol paling penting dalam kultur.

Gatewood menjawab bahwa kebudayaan yang meliputi seluruh kemanusian itu sangat
banyak, dan hal tersebut meliputi seluruh periode waktu dan tempat. Artinya kalau
komunikasi itu merupakan bentuk, metode, teknik, proses sosial dari kehidupan manusia
yang membudaya, maka komunikasi adalah sarana bagi transmisi kebudayan, oleh karena itu
kebudayaan itu sendiri merupakan komunikasi. Berdasarkan pendapat Gatewood itu kita akan
berhadapan dengan pernyataan klasik tentang hubungan antara komunikasi dengan
kebudayaa, apakah komunikasi dalam kebudayaan atau kebudayaan ada dalam komunikasi?
ada satu jawaban netral yang disampaikan oleh Smith (1976) bahwa; “komunikasi dan
kebudayaan tidak dapat dipisahkan”. Dalam tema atau bagian uraian tentang kebudayaan dan
komunikasi, sekurangnya-kurangnya ada dua jawaban: pertama, dalam kebudayaan ada
sistem dan dinamika yang mengatur tata cara pertukaran simbol-simbol komunikasi, dan
kedua, hanya dengan komunikasi maka pertukaran simbol-simbol dapat dilakukan dan
kebuadayaan hanya akan eksis jika ada komunikasi (Alo Leliweri, 2004, 21).

Budaya adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari komunikasi. Masyarakat terbentuk dari
nilai norma yang mengatur mereka. Manusia merupakan homostatis di mana komunikasi
membentuk kebudayaan dan juga bagian dari kebuadayaan itu sendiri. Dalam kehidupan
budaya masyarakat dan intekasi menyebabkan maka terjadinya proses komunikasi yang
menjadi alat bantu atau guna membantu mereka dalam berinteraksi dengan baik. Bahasa yang
merupakan alat komunikasi juga sangat dipengaruhi oleh proses budaya. Dengan adanya
kesamaan mengenai memaknai sesuatu tersebutlah sehingga membentuk suatu kebudayaan
yang lebih baik dalam interkasi. Pengaruh komunikasi yang disebabkan oleh budaya ini
pulalah yang menjadikan perbedaan pemaknaan dari setiap budaya masyarakat dalam
berkomunikasi. Jadi, antropologi merupakan ilmu yang lebih dahulu ada dalam memahami
perkembangan interaksi manusia, kemudian antropologi ini terus berkembang sehingga mulai
melihat dan mengkaji pada prose komunikasi yang tercipta. Inilah yang kemudian
menjadikan antropologi menjadi salah satu landasan sehingga lahirnya ilmu komunikasi.

Komunikasi, sosial, budaya, dan perkembangan peradaban sekarang ini adalah tidak hanya
sekedar unsur-unsur dan kata-kata saja tetapi merupakan konsep yang yang tidak dapat
dipisah-pisahkan. Sehingga studi komunikasi sangat dipengaruhi oleh kajian antropologi
begitu juga perkembangan antropologi yang didasarkan pada kekuatan manusia dalam
menciptakan peradabannya sangat terkait oleh komunikasi.

Manusia sebagai individu maupun sebagai mahluk sosial selalu berupaya untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya berupa kebutuhan utama, kebutuhan sosial, dan
kebutuhan integratif. (Suparlan. 1986) Benarkah demikian? Bagaimana dengan kita
sebagai mahasiswa? Mahasiswa saja sudah merupakan bagian organisasi sosial
yang sudah terkategorisasi dalam struktur sosial. Terlebih mahasiswa Paramadina,
bahkan status sosialnya saja memiliki nilai yang berarti di tengah mahasiswa lain.

Tetapi dapatkah golongan berlabel mahasiswa itu disebut organisasi sosial? Kenapa
disebut organisasi sosial? Kenapa harus ada organisasi sosial semacam ini? Lalu
bagaimana dengan lembaga kemahasiswaan lain? Bukankah lebih mudah
mengkategorikan UKM sebagai organisasi sosial? Pertanyaan itu wajib diungkap
dalam pergolakan wacana, lebih lebih saat diskusi.

Definisi organisasi sosial

Terdapat dua wilayah keilmuan yang secara khusus membahas organisasi sosial
sebagai objek kajian. Dua wilayah itu berbeda satu sama lain, meskipun
perbedaannya tipis. Dua wilayah yang dimaksud adalah antropologi sosial dan
sosiologi.

Antropologi sosial melihat fenomena kemanusiaan secara utuh dan menyeluruh.


Hal ini terlihat dari metode penyelidikan yang lebih berupaya menginventarisir hal
yang langsung menyangkut manusia. Dalam ranah sosiologi, penyelidikan lebih
memusatkan pada unsur-unsur atau gejala-gejala khusus dalam masyarakat
manusia: dengan menganalisa kelompok-kelompok sosial yang khusus (social
groupings), hubungan antar kelompok atau individu (social relations), atau proses
yang berada di sekitar kehidupan kemasyarakatan (social processes).

Metode operasional kedua ilmu itu menghasilkan penelitian yang intensif seperti
yang sering dilakukan antropolog sosial. Sementara sosiolog mengkaji masyarakat
secara umum melalui metode penelitian yang meluas.

Akibat perbedaan itu, organisasi sosial dalam antropologi lebih bersifat integral.
Bahwa manusia memiliki kekhususan secara individu, terikat pengalaman yang
berbeda, memiliki pemahaman yang berbeda, pemahaman kebahasaan, dan
seterusnya. Segala unsur lain di luar organisasi sosial mempengaruhi unsur
organisasi sosial itu sendiri.

Koentjaraningrat melihat organisasi sosial ini sebagai unsur yang universal. Karena
itu, dimana ada masyarakat manusia, berarti disitulah terdapat unsur yang
mendorong manusia berada dalam satu pengaturan, pengorganisiran atau
pengelompokan yang berfungsi menunjang kebutuhan yang berkaitan langsung
dengan kehidupan, dan pada akhirnya melestarikan nilai yang telah disepakati oleh
semua anggota.

Kehidupan masyarakat diorganisasi atau diatur oleh adat istiadat dan aturan
berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan mana ia hidup dan bergaul dari hari
ke hari. Karena masyarakat terbagi ke dalam lapisan-lapisan, maka orang yang
berada di luar afiliasinya akan berbeda. Perbedaan itu menimbulkan posisi yang
berbeda, ada yang tinggi dan ada yang dianggap lebih rendah.

Organisasi sosial oleh Koentjaraningrat dikategorisasikan sebagai salah satu unsur


kebudayaan universal. Unsur-unsur tadi ada dan bisa didapatkan di dalam
kebudayaan dan semua bangsa dimanapun di dunia.

Koentjaraningrat menguraikan posisi organisasi sosial ini menjadi kian penting


dalam sebuah masyarakat terutama dalam meneliti masyarakat desa, atau
masyarakat yang belum modern. Pembedaan ini sebetulnya bisa jadi merupakan
cara untuk mempermudah penguraian tentang organisasi sosial.

Hubungan kekerabatan bagi Koentjaraningrat merupakan sebuah fenomena


budaya yang menunjukan organisasi sosial yang masih mudah dijumpai di semua
masyarakat. Hubungan kekerabatan ini menciptakan pola-pola khusus baik itu
dalam proses maupun dengan nilai yang ada dalam hubungan itu. Pada sebuah
masyarakat, hubungan kekerabatan, misalnya yang berdasarkan asas keturunan
ayah (patrilineal) merupakan unsur yang akan mengikat anggotanya dalam
lingkaran aturan yang berlaku.

Hubungan seperti di atas, bisa jadi sudah bergeser. Nilai dan segala proses yang
terjadi dalam hubungan kekerabatan mengalami perubahan seiring perkembangan
masyarakat. bagi Koentjaraningrat, berubahnya masyarakat ke arah industrialisasi
bahkan ke era informasi akan membuat pola organisasi sosial semula, seketika
berubah dan mengalami bentuk baru. Dalam masyarakat yang lebih modern,
organisasi sosial ini bahkan secara definitif berubah. Muncul kelompok-kelompok,
organisasi-organisasi, lembaga negara, bahkan hubungan lintas negara yang pada
kajian budaya masuk dalam unsur dasar yang tidak bisa ditinggalkan.

Kelompok sebagai organisasi sosial

Kelompok atau komunitas merupakan sebuah bentuk organisasi sosial terutama


pada lingkungan masyarakat modern. Kelompok terbentuk bisa berdasarkan
banyak hal. Ada yang menggunakan lingkup primordial, kepentingan politik,
persamaan hobi dan lain hal. Secara mekanistis, kelompok bisa terbentuk melalui
kedekatan (proximity) dan daya tarik (attraction) tertentu. selain itu adanya
kesamaan tujuan dan alasan ekonomi dapat pula menjadi sebab mengapa orang
mau berkelompok (Gibson et al. 1982).

Fitrah manusia sebagai mahluk sosial yang memang tidak bisa lepas dari
pengaturan agar kondisi sosial tetap terjalin dengan baik mengharuskan adanya
organisasi sosial semacam ini. Keinsyafan individu akan kebutuhan inilah yang
mendorong terciptanya organisasi sosial. Selain itu, fitrah manusia yang lain seperti
halnya kebebasan dalam menentukan kehendak mendorong kemungkinan
munculnya perbedaan diantara anggota kelompok. Namun dibalik perbedaan
tersebut, manusia memiliki sifat konformitas, yaitu kemampuan untuk
menyesuaikan diri terhadap apa yang diinginkan orang lain. Seseorang bersedia
melakukan sesuatu bentuk prilaku yang diinginkan orang lain, meskipun dia sendiri
tidak menginginkan prilaku tersebut. Sifat konformitas ini didasari rasa takut celaan
dari lingkungannya (Sears at al. 1985). Semakin besar rasa percaya (trust) individu
terhadap individu-individu lain dalam kelompok, semakin besar kemungkinan untuk
menyesuaikan diri terhadap kelompok.

Cukup banyak teori yang membantu menjelaskan fenomena penting dalam


kehidupan berkebudayaan ini. Satu contoh yang membantu dalam menganalisa
proses munculnya kelompok sebagai bagian dari organisasi sosial ini adalah teori
tahapan pertumbuhan kelompok menurut Tuckman et al :
1. Forming (fade pembentukan rasa kekelompokan)
2. Storming (fase pancaroba)
3. Norming (fase pembentukan norma)
4. Performing (fase berprestasi)

Uraian singkat ini dapat membantu kita melihat keberadaan kelompok atau
komunitas yang sering kita jumpai, bahkan kita berada di dalamnya, yang
mendorong keinsyafan kita bahwa fenomena kelompok sebagai organisasi sosial
tidak bisa kita hindari. Sebaliknya, kelompok tertentu yang dipertahankan
merupakan kelompok yang masih dipercaya sebagai penentu kebutuhan
anggotanya. Kelompok tertentu, termasuk yang sudah memiliki sejarah panjang
dan legitimit, manakala sudah tidak sesuai dengan kebutuhan, akan bubar dengan
sendirinya.

*Disampaikan dalam diskusi tentang Organisasi Sosial menurut perspektif


Koentjaraningrat.
**Sumber bacaan utama dari Pengantar Ilmu Antropologi karya Koentjaraningrat dan
beberapa buku

Manusia sebagai individu maupun sebagai mahluk sosial selalu berupaya untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya berupa kebutuhan utama, kebutuhan sosial, dan
kebutuhan integratif. (Suparlan. 1986) Benarkah demikian? Bagaimana dengan kita
sebagai mahasiswa? Mahasiswa saja sudah merupakan bagian organisasi sosial
yang sudah terkategorisasi dalam struktur sosial. Terlebih mahasiswa Paramadina,
bahkan status sosialnya saja memiliki nilai yang berarti di tengah mahasiswa lain.

Tetapi dapatkah golongan berlabel mahasiswa itu disebut organisasi sosial? Kenapa
disebut organisasi sosial? Kenapa harus ada organisasi sosial semacam ini? Lalu
bagaimana dengan lembaga kemahasiswaan lain? Bukankah lebih mudah
mengkategorikan UKM sebagai organisasi sosial? Pertanyaan itu wajib diungkap
dalam pergolakan wacana, lebih lebih saat diskusi.

Definisi organisasi sosial

Terdapat dua wilayah keilmuan yang secara khusus membahas organisasi sosial
sebagai objek kajian. Dua wilayah itu berbeda satu sama lain, meskipun
perbedaannya tipis. Dua wilayah yang dimaksud adalah antropologi sosial dan
sosiologi.

Antropologi sosial melihat fenomena kemanusiaan secara utuh dan menyeluruh.


Hal ini terlihat dari metode penyelidikan yang lebih berupaya menginventarisir hal
yang langsung menyangkut manusia. Dalam ranah sosiologi, penyelidikan lebih
memusatkan pada unsur-unsur atau gejala-gejala khusus dalam masyarakat
manusia: dengan menganalisa kelompok-kelompok sosial yang khusus (social
groupings), hubungan antar kelompok atau individu (social relations), atau proses
yang berada di sekitar kehidupan kemasyarakatan (social processes).

Metode operasional kedua ilmu itu menghasilkan penelitian yang intensif seperti
yang sering dilakukan antropolog sosial. Sementara sosiolog mengkaji masyarakat
secara umum melalui metode penelitian yang meluas.
Akibat perbedaan itu, organisasi sosial dalam antropologi lebih bersifat integral.
Bahwa manusia memiliki kekhususan secara individu, terikat pengalaman yang
berbeda, memiliki pemahaman yang berbeda, pemahaman kebahasaan, dan
seterusnya. Segala unsur lain di luar organisasi sosial mempengaruhi unsur
organisasi sosial itu sendiri.

Koentjaraningrat melihat organisasi sosial ini sebagai unsur yang universal. Karena
itu, dimana ada masyarakat manusia, berarti disitulah terdapat unsur yang
mendorong manusia berada dalam satu pengaturan, pengorganisiran atau
pengelompokan yang berfungsi menunjang kebutuhan yang berkaitan langsung
dengan kehidupan, dan pada akhirnya melestarikan nilai yang telah disepakati oleh
semua anggota.

Kehidupan masyarakat diorganisasi atau diatur oleh adat istiadat dan aturan
berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan mana ia hidup dan bergaul dari hari
ke hari. Karena masyarakat terbagi ke dalam lapisan-lapisan, maka orang yang
berada di luar afiliasinya akan berbeda. Perbedaan itu menimbulkan posisi yang
berbeda, ada yang tinggi dan ada yang dianggap lebih rendah.

Organisasi sosial oleh Koentjaraningrat dikategorisasikan sebagai salah satu unsur


kebudayaan universal. Unsur-unsur tadi ada dan bisa didapatkan di dalam
kebudayaan dan semua bangsa dimanapun di dunia.

Koentjaraningrat menguraikan posisi organisasi sosial ini menjadi kian penting


dalam sebuah masyarakat terutama dalam meneliti masyarakat desa, atau
masyarakat yang belum modern. Pembedaan ini sebetulnya bisa jadi merupakan
cara untuk mempermudah penguraian tentang organisasi sosial.

Hubungan kekerabatan bagi Koentjaraningrat merupakan sebuah fenomena


budaya yang menunjukan organisasi sosial yang masih mudah dijumpai di semua
masyarakat. Hubungan kekerabatan ini menciptakan pola-pola khusus baik itu
dalam proses maupun dengan nilai yang ada dalam hubungan itu. Pada sebuah
masyarakat, hubungan kekerabatan, misalnya yang berdasarkan asas keturunan
ayah (patrilineal) merupakan unsur yang akan mengikat anggotanya dalam
lingkaran aturan yang berlaku.

Hubungan seperti di atas, bisa jadi sudah bergeser. Nilai dan segala proses yang
terjadi dalam hubungan kekerabatan mengalami perubahan seiring perkembangan
masyarakat. bagi Koentjaraningrat, berubahnya masyarakat ke arah industrialisasi
bahkan ke era informasi akan membuat pola organisasi sosial semula, seketika
berubah dan mengalami bentuk baru. Dalam masyarakat yang lebih modern,
organisasi sosial ini bahkan secara definitif berubah. Muncul kelompok-kelompok,
organisasi-organisasi, lembaga negara, bahkan hubungan lintas negara yang pada
kajian budaya masuk dalam unsur dasar yang tidak bisa ditinggalkan.

Kelompok sebagai organisasi sosial

Kelompok atau komunitas merupakan sebuah bentuk organisasi sosial terutama


pada lingkungan masyarakat modern. Kelompok terbentuk bisa berdasarkan
banyak hal. Ada yang menggunakan lingkup primordial, kepentingan politik,
persamaan hobi dan lain hal. Secara mekanistis, kelompok bisa terbentuk melalui
kedekatan (proximity) dan daya tarik (attraction) tertentu. selain itu adanya
kesamaan tujuan dan alasan ekonomi dapat pula menjadi sebab mengapa orang
mau berkelompok (Gibson et al. 1982).

Fitrah manusia sebagai mahluk sosial yang memang tidak bisa lepas dari
pengaturan agar kondisi sosial tetap terjalin dengan baik mengharuskan adanya
organisasi sosial semacam ini. Keinsyafan individu akan kebutuhan inilah yang
mendorong terciptanya organisasi sosial. Selain itu, fitrah manusia yang lain seperti
halnya kebebasan dalam menentukan kehendak mendorong kemungkinan
munculnya perbedaan diantara anggota kelompok. Namun dibalik perbedaan
tersebut, manusia memiliki sifat konformitas, yaitu kemampuan untuk
menyesuaikan diri terhadap apa yang diinginkan orang lain. Seseorang bersedia
melakukan sesuatu bentuk prilaku yang diinginkan orang lain, meskipun dia sendiri
tidak menginginkan prilaku tersebut. Sifat konformitas ini didasari rasa takut celaan
dari lingkungannya (Sears at al. 1985). Semakin besar rasa percaya (trust) individu
terhadap individu-individu lain dalam kelompok, semakin besar kemungkinan untuk
menyesuaikan diri terhadap kelompok.

Cukup banyak teori yang membantu menjelaskan fenomena penting dalam


kehidupan berkebudayaan ini. Satu contoh yang membantu dalam menganalisa
proses munculnya kelompok sebagai bagian dari organisasi sosial ini adalah teori
tahapan pertumbuhan kelompok menurut Tuckman et al :
1. Forming (fade pembentukan rasa kekelompokan)
2. Storming (fase pancaroba)
3. Norming (fase pembentukan norma)
4. Performing (fase berprestasi)

Uraian singkat ini dapat membantu kita melihat keberadaan kelompok atau
komunitas yang sering kita jumpai, bahkan kita berada di dalamnya, yang
mendorong keinsyafan kita bahwa fenomena kelompok sebagai organisasi sosial
tidak bisa kita hindari. Sebaliknya, kelompok tertentu yang dipertahankan
merupakan kelompok yang masih dipercaya sebagai penentu kebutuhan
anggotanya. Kelompok tertentu, termasuk yang sudah memiliki sejarah panjang
dan legitimit, manakala sudah tidak sesuai dengan kebutuhan, akan bubar dengan
sendirinya.

*Disampaikan dalam diskusi tentang Organisasi Sosial menurut perspektif


Koentjaraningrat.
**Sumber bacaan utama dari Pengantar Ilmu Antropologi karya Koentjaraningrat dan
beberapa buku

Teori dan paradigma Karl Marx


Aktivitas Ekonomi sebagai Penentu Organisasi Sosial dalam Masyarakat

Karl Marx dikenal sebagai pemikir dan penulis tentang banyak hal. Berbeda dengan ahli lain,
misalnya kalangan ekonom yang banyak dikritiknya, semasa hidupnya, Marx menggunakan
pendekatan sejarah. Di sisi lain, meskipun keilmuannya menyumbang kepada berbagai bidang,
namun minat utama Marx adalah kritiknya terhadap ekonomi politik. Beda dengan yang lain, Marx
selalu melihat dan mendasarkan bangun keilmuan dan metodenya kepada adanya kontradisksi-
kontradiksi. Kontradiksi yang pokok pada masyarakat kapitalisme adalah yang terjadi antara
kelompok dominan yaitu pemilik pabrik (borjuis) dengan kelompok tersubordinasi yaitu buruh
(proletar).

Dalam Turner (1981) disebutkan bahwa Marx membangun teorinya dari filsafat Hegel dan Feuerbach.
Marx mengambil dialektika gagasan dari Hegel yang lalu dipadu dengan material religius dari
Feuerbach, meskipun dalam hal tertentu ia menolak pemikiran kedua ahli tersebut. Dalam konsep
dialektika Marx, ia melihat ada hubungan timbal balik antara materi dan pikiran. Melalui penggalian
sejarah, Marx berkesimpulan bahwa sejarah manusia pada hakekatnya adalah sejarah perjuangan
kelas.

Tulisan ini hanya membahas sebagian dari bangun teori Karl Marx, khususnya tentang organisasi
sosial (social organization). Dalam menyusun model analisanya, Marx mendasarkan pada premis
bahwa organisasi produksi pada hakekatnya mempengaruhi struktur sosial masayaarkat. Marx
menekankan bahwa hal ini dapat dilihat secara gamblang.

Permasalahan organisasi sosial dibahas Marx baik pada buku German Ideology, Manifesto maupun
The Capital; dimana sifat organisasi sosial merupakan pokok perhatiannya. Marx menguraikan pola-
pola bagaimana organisasi sosial lahir, bertahan, dan berubah dalam perjalanan waktu. Ia ingin
mengungkapakan bagaimana hal itu berjalan dalam sejarah manusia. Marx melihat adanya
kesalinghubungan antara tingkat teknologi, produktivitas, diferensiasi sosial, ukuran populasi, tingkat
diferensiasi, pemusatan kekuasaan, serta kepercayaan (beliefs) dan norma.

Hal seperti ini tentu bukan suatu yang baru, karena banyak pemikir sebelumnya juga telah melihat ini
sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi. Satu sumbangan Marx yang penting dalam konteks ini
adalah bagaimana integrasi dari sistem-sistem yang berbeda (differentiated systems) tersebut dapat
dicapai. Untuk menjawab ini, berbeda dengan penjelasan ahli lain, ia melihat pengaruh dari tingkat
diferensiasi, terpusatnya kekuasaaan, dan manipulasi dari sistem ide.

Sesuai dengan pemikiran Marx yang khas secara keseluruhan - yang berpusat pada kesenjangan,
konflik dan semacamnya – Marx melihat distribusi kekuasaan yang tidak seimbang lah sebagai akar
munculnya konflik kepentingan. Marx melihat kesejajaran antara keduanya, dimana konflik akan
semakin berpeluang terjadi antara dua kelompok, yaitu kelompok mereka yang dominan dan
kelompok yang tersubordinasi. Dalam masyarakat kapitalis, kedua kelompok dimaksud adalah pemilik
perusahaan atau pemilik modal, dan kelompok buruh.

Hal ini disebut dengan prinsip kesenjangan dan perubahan dalam sistem sosial (Turner dan
Beeghley, 1981). Kesenjangan menjadi semakin besar ketika pihak yang memiliki kekuasaan
semakin mengkonsentrasikan kekuasaaannya sehingga menjadi semakin kuat, sehingga ia semakin
mudah mengontrol sumberdaya ekonomi. Selain itu, kesenjangan distribusi terhadap sumberdaya
yang langka terjadi karena pihak yang berkuasa tadi membatasi mobilitas kelompok yang
tersubordinasi.

Benih konflik dimulai ketika kelompok yang dirugikan dan berada di posisi lebih rendah
mempertanyakan keabsahan penguasaan sumber daya (yang cenderung langka) oleh kelompok
yang dominan. Disini Marx meyakini bahwa semakin kelompok tersubordinasi merasa sadar, maka
pertanyaan tentang legitimasi ini semakin menguat. Kesadaran ini semakin cepat tumbuh dan
berkembang luas, jika mereka terkonsentrasi pada satu tempat secara geografis dan semakin
mudahnya berkomunikasi. Kelompok-kelompok buruh yang tinggal berdekatan dan bermomunikasi
secara intensif, menjadikan kesadaran tersebut semakin tumbuh cepat.

Pada rumusan lebih detail disebutkan bahwa para buruh akan mudah tumbuh kesadaran kolektifnya
dengan mengembangan kesatuan sistem kepercayaannya (unifying systems of beliefs). Hal ini hanya
dimungkinkan apabila di antara mereka terjalin komunikasi yang semakin baik, dan termasuk
pengorganisasian diri di antara mereka. Para buruh harus bisa mengembangkan ideologi
perjuangannya sendiri, dimana kecepatan pertumbuhannya tergantung kepada kemampuan untuk
membangkitkan juru bicara, serta kemampuan kelompok dominan untuk mengendalikan proses
sosialisasi dan komunikasinya. Dengan kata lain, semakin banyak campur tangan apalagi hambatan
dari pihak pemilik pabrik, maka ideologi dimaksud menjadi semakin sulit berkembangan dan
menyebar. Sepintas terlihat bahwa probabilitas-probabilitas ini disusun dalam bentuk linier, dan juga
sangat determinan dari satu faktor ke faktor lain secra berantai.

Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok-kelompok buruh berkembang dari apa yang disebut
dengan “class of it self” menjadi “class for itself”. Kesadaran kelas belum terjadi pada kondisi class-in-
itself dimana orang-orang yang sama belum memiliki sadar kelas. Sedangkan kondisi class-for-itself
tercapai saat mereka sadar penuh dan lalu mengorganisasikan diri. Syarat terbentuknya kelas adalah
apabila ada kesadaran ditambah dengan tidak adanya kompetisi horizontal. Jadi, kesadaran kelas
tercipta jika muncul kesadaran tentang kepentingan objektif di antara mereka.

Pengorganisasian diri kelompok tersubordinasi (dalam hal ini buruh) dan kepemimpinannya dapat
menjadi inisiasi untuk terjadinya konflik terbuka. Dan ini berhubungan terbalik dengan
pengorganisasian di kelompok dominan. Pada gilirannya, jika organisasi buruh semakin kuat, yang
disertai pula dengan resistensi di kalangan kelompok dominan (penguasa atau pemilik modal), maka
peluang konflik untuk muncul menjadi semakin besar.

Pada akhirnya, konflik ini akan merubah struktur sosial masyarakat. Disini Marx pada hakekatnya
bermaksud menunjukkan bahwa perubahan dalam struktur dan sistem sosial masyarakat berasal dari
perubahan dalam sistem produksi yang merupakan aktivitas ekonomi masyarakat. Jadi, oragnisasi
sosial yang dimaksud pada hakekatnya adalah organisasi yang melayani agar aktivitas ekonomi
masyarakatnya berjalan.
Namun, dari pembahasan di atas sedikit disebut bahwa meskipun aktor perubahan sejarah adalah
manusia, tapi teknologi dan perkembangan ekonomi juga berperan penting. Perkembangan teknologi
membantu komunikasi antar buruh sehingga menjadi makin mudah dan intensif. Sementara
perkembangan ekonomi yang cenderung terpusat di kota misalnya bersama-sama dengan
perkembangan demografi juga memberikan kontribusi.
Dari uraian ini terlihat Marx berupaya memberikan analisis mengenai organisasi inti dari cara produksi
kapitalis. Marx menyusun hukum gerak ekonomi dan perubahan sosial secara lebih luas dari
masyarakat. Ia merumuskan hukum-hukum yang menentukan asal-usul, keberadaan, perkembangan
dan kematian suatu organisasi sosial tertentu dan digantikan oleh organisasi sosial lain (yaitu
sosialis). Terlihat dari paparan dalam buku Turner dan Beeghley (1981) ini bahwa cara produksi
kapitalis itu sebagai suatu struktur yang berkembang-sendiri, yaitu lahir-sendiri namun akan hancur
pula sendiri. Karena di dalam diri kapitalisme itu ada benih-benih yang dapat menghancurkanm
dirinya sendiri.

Sebagaimana metode Marx yang menggunakan materialisme sejarah, ia mengurai abstraksi-


abstraksi sistem dan dunia kehidupan dalam masyarakat kapitalis. Marx menjelaskan tentang struktur
dasar sosial masyarakat melalui tinjauan kelas-kelas sosial beserta perjuangan-perjuangannya.
Hal ini juga sudah digarisbawahi dalma tulisan Mills (Inventory of Ideas; dalam Mills, 1962), dimana
basis ekonomi dari suatu masyarakat menentukan struktur sosial masyarakat tersebut secara
keseluruhan dan juga psikologi orang-orang di dalamnya. Basis ekonomi dimaksud terdiri atas 3 hal
yaitu mode of production, substruktur, dan fondasi ekonomi.

Buruh sebagai Sumber Nilai Lebih dan Penumpukan Modal bagi Kapitalis

Tulisan ini hanya membahas sebagian dari bangun teori Karl Marx, yaitu tentang proses pertukaran
dan pengembangan kapital atau modal dalam ekonomi industri. Sumber penulisan berasal dari tulisan
Turner dan Beeghley (1981) terutama pada halaman 158 – 169. Marx menjelaskan hal ini melalui
beberapa perhitungan sederhana berkenaan dengan nilai kapital, mesin, upah tenaga kerja dan
keuntungan atau nilai lebih.
Turner dan Beeghley memulai paparan ini dengan menjelaskan sistem ekonomi sebelum kapitalisme.
Pada sistem ekonomi sederhana yang belum mengenal uang, komoditas dipertukarkan langsung
antar barang, dimana nilai barang yang dipertukarkan disamakan dengan nilai total barang dari pihak
lain. Apabila per unit barang memiliki nilai yang berbeda, maka jumlah unitnya dapat berbeda antar
pihak tersebut.

Ketika sudah dikenal uang, maka uang menjadi alat pengukur nilai yang dikandung barang, yaitu
dengan melekatkan harga pada barang tersebut. Karenanya, uang akhirnya berkembang menjadi
simbol kerja manusia yang melekat pada komoditas. Proses pertukaran pada tahap-tahap awal ini
adalah berpola ”komoditas-uang-komoditas”. Uang semata-mata hanya difungsikan untuk
memudahkan besar nilai barang, sehingga uang hanya membantu dalam pertukaran. Pola seperti ini
kemudian berubah menjadi ”uang-komoditas-uang”.
Kapitalisme dicirikan oleh pola pertukaran yang kedua ini yaitu uang-komoditas-uang. Jika pada pola
pertama uang hanyalah alat yang membantu pertukaran, pada pola kedua pertukaran
dipersembahkan untuk uang. Orang membeli komoditas untuk kemudian dijual lagi adalah untuk
mendapatkan uang lebih banyak. Tujuan pokoknya disini adalah memperbanyak uang. Dalam bahasa
Marx disebut: ”commences with money and ends with money” (dimulai oleh uang dan diakhiri dengan
uang). Hal ini terjadi ketika ”uang berikutnya” dalam pola uang-komoditas-uang lebih besar
dibandingkan ”uang pertama”. Kapitalis membeli barang dengan harga murah dan lalu menjualnya
lebih tinggi. Ini merupakan salah satu bentuk nilai lebih (surplus value).

Hal ini dicontohkan dalam produksi tekstil, dimana seorang penjahit membeli bahan kain seharga
1000 dollar, lalu memperkerjakan penjahit lain yang dibayar 500 dollar, dan lalu menjual hasilnya
seharga 2000 dollar. Dari hasil ini setelah dikurangi total biaya, ia mendapat untung 500 dollar. Nilai
ini merupakan surplus value dari kegiatan si penjahit tadi yang berperan sebagai pengusaha.
Perbedaan yang penting disini yang harus dicatat adalah bahwa si penjahit sejak semula memang
tidak berniat untuk memakai sendiri hasil jahitannya, namun semata-mata dalam tujuan memperoleh
keuntungan (provit making). Kapitalisme pada hakekatnya adalah sirkulasi dari aktivitas ini yang
berjalan secara terus menerus dan dalam skala luas.

Dalam konteks ini, nilai lebih (surplus value) tersebut sesungguhnya diperoleh dari tenaga kerja.
Mereka yang diperkerjakan oleh si pemilik modal itulah yang sejatinya menjadi sumber pendapatan,
bukan dari komoditas yang menjadi bahan baku. Meskipun dari harga pembelian bahan baku
(commodity) dapat pula menjadi salah satu sumber nilai lebih, namun Marx menegaskan bahwa
tenaga kerjalah yang sesungguhnya menjadi sumber nilai lebih. Tenaga kerja menjadi sumber
perolehan nilai lebih untuk kapitalis, bukan yang lain. Dengan membayar buruh berupa upah, secara
tidak langsung merupakan upaya menyembunyikan si buruh dari relasi langsung dalam sistem
pertukaran. Dengan kata lain, si buruh dihalangi untuk terlibat langsung dalam sistem pasar dan
ekonomi secara lebih luas. Implikasi lain, karena kapitalis menginginkan nilai lebih, maka ia akan
menjual produk lebih tinggi. Harga yang ditawarkan ke pasar jauh lebih tinggi dibandingkan andai si
buruh itu sendiri yang menjualkannya langsung.

Upah juga menyembnyikan nilai tenaga kerja sesungguhnya. Dengan membayar 3 shilling per hari
kerja, seolah-olah nilai buruh memang hanya 3 shilling tersebut, padahal nilainya lebih besar. Marx
juga menekankan bahwa sumber nilai lebih adalah karena pembedaan antara tenaga kerja (labor)
dengan kemampuan tenaga kerja (labor power). Tenaga kerja adalah orang-orang yang berkerja
pada kapitalis, sedangkan kemampuan tenaga kerja adalah nilai kapasitas si pekerja menurut
kapitalis. Nilai tersebut sama dengan besar upah yang kapitalis bersedia memberikan kepada
pekerja. Nilai tersebut sudah mencakup mental dan fisik si pekerja.

Pada hakekatnya, kemampuan tenaga kerja tersebut adalah komoditas, yang maknanya menjadi
serupa dengan komoditas lain. Dalam bahasa yang lebih lugas dikatakan bahwa itulah yang tenaga
kerja bisa jual dari dirinya. Dalam sistemn kapitalis, tenaga kerja hanya bisa menjual tenaganya
tersebut kepada kapitalis yang memiliki alat produksi (means of production). Nilai tenaga kerja - atau
harga jualnya (selling price) – ditentukan berbagai faktor terutama nilai komoditas lain serta jumlah
waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan satu perkejaan. Satu pertimbangan lain yang dipakai
adalah berapa kebutuhan hidup si buruh, baik untuk makanan, pakaian dan perumahan. Kenapa ini
harus diperhatikan? Karena si buruh harus dijaga sedemikian rupa sehingga ia bisa dan siap kembali
ke industri atau dalam bahasa ekonomi disebut kembali ke pasar kerja.

Tambahan lain lagi, kapitalis juga harus mempertimbangkan agar terjamin regenerasi tenaga kerja.
Untuk itu, harus dihitung juga berapa yang harus dibayarkan ke buruh agar anak-anaknya nanti di
masa berikutnya siap untuk menjadi tenaga kerja seperti orang tuanya.

Marx menyebut bahwa sumber dari nilai lebih sesungguhnya adalah buruh yang dipaksa berkerja
lebih lama dibandingkan kebutuhannya untuk hidup subsisten. Kapitalis hanya membeli kemampuan
tenaga kerja (power labor) itu belaka. Upah yang dibayarkan kapitalis semata-mata untuk menjaga
kapasitas tenaga kerja, yaitu agar mereka tidak sakit sehingga produktivitas kerjanya menurun. Jika
hanya untuk bertahan hidup seorang buruh cukup bekerja 6 jam per hari, si kapitalis membuatnya
bekerja 12 jam, sehingga si kapitalis memperoleh nilai lebih. Jadi, nilai lebih tersebut datang dari jam
kerja buruh yang dipanjangkan.

Nilai lebih dapat pula diperoleh kapitalis dengan menekan nilai modal vairabel (variable capital) yaitu
dari tenaga kerja. Dengan berkerja lebih produktif, berarti nilai modal variabel menjadi rendah. Jadi,
disini terjadi eksploitasi tenaga kerja oleh kapitalis. Peningkatan produktivitas tenaga kerja dapat
dicapai melalui dua cara, yaitu dengan menata organisasi produksi sehingga menjadi lebih efisien
misalnya dengan sistem ban berjalan, dan kedua dengan menerapkan teknologi yang lebih baik.
Dengan memakai teknologi lebih baik – yang lebih efisien dan cepat misalnya – kapitalis juga dapat
lebih bersaing dibandingkan kapitalis lain yang menjadi kompetitornya.

Namun, inovasi teknologi bukanlah sesuatu yang permanen, karena pemilik industri lain dengan
mudah dapat menirunya. Karena itu, hal ini tidak dapat diandalkan sebagai sumber nilai lebih yang
mantap. Kreatifitas dan daya inovatif industriawan tidak dapat menjadi sumber perolehan keuntungan
yang dapat diandalkan. Karena alasan itulah, sumber nilai lebih kembali datang dari tenaga kerja atau
buruh. Analisa dari data-data ekonomi kapitalis sepanjang abad ke-19 membuat Marx menyimpulkan
bahwa produktivitas atau pertumbuhan ekonomi meningkat secara mantap melalui eksploitasi kaum
proletar, bukan dari penerapan teknologi dan lain-lain. Buruh lah mesin ekonomi yang sesungguhnya,
demikian kira-kira maksud Marx.
Dalam membicarakan akumulasi kapital, Marx menyebut ada dua hal yang saling berhubungan
berkenaan dengan sifat nilai lebih, yaitu reproduksi sederhana (simple reproduction) dan konversi
nilai lebih menjadi kapital (conversion of surplus value into capital). Konversi nilai lebih menjadi kapital
disebut Marx sebagai proses penumpukan kapital. Proses ini diprediksi Marx memiliki tiga
konsekuensi yang saling berhubungan, yaitu kalangan proletar terpisah dari kepemilikan dan kontrol
terhadap barang-barang privat dan bahkan terhdap kerjaannya sendiri (=teralienasi), buruh yang
semakin miskin karena mesin menggantikan kerja buruh, dan kecepatan keuntungan akan semakin
menurun sehingga akan menuju pada krisis.

Pada bagian akhir dari buku ini, Marx menjelaskan tentang bagaimana asal terbentuknya kapitalisme,
yang dikutip Turner dan Beeghley (1981) dari buku The Capital. Terbentuknya kapitalisme menurut
Marx merupakan suatu proses yang dilabelinya dengan istilah primitive accumulation. Dalam
menjelaskan ini Marx menyebut bahwa perlu dipelajari sekaligus bagaimana tumbuhnya kaum
proletar dan borjuis bersama-sama. Marx menggunakan pendekatan struktural dalam menjelaskan
ini. Kelahiran kalangan proletar bisa dirunut dari abad ke 15 dan 16 ketika tercerabutnya petani-petani
mandiri (self supporting) ke kota dan lalu menjadi kelompok yang tidak memiliki pegangan.
Bersamaan dengan itu, juga terjadi beberapa perubahan dalam sistem perekonomian beserta
institusi-institusinya misalnya sistem kredit.

Dari penjelasan ini terlihat bahwa Marx telah menemukan jawaban bagaimana kapitalisasi
berlangsung. Perolehan nilai lebih bagi kalangan kapitalis pada hakekatnya berasal dari tenaga kerja
yang disekploitasi sedemikian rupa terutama dengan memperpanjang waktu kerjanya dan selalu
berupaya menekan upahnya. Kondisi ini jelas sangat merisaukan Marx. Karena itu, ia meyakini
bahwa pada saatnya sistem kapitalisme ini akan menemukan kehancurannya sendiri. Akar
penyebabnya adalah karena sistem ini tidak manusiawi. Marx dalam posisinya sebagai teoritikus dan
aktor lapangan sekaligus berupaya mewujudkan mimpinya ini, yaitu menggantikan sistem kapitalisme
menjadi komunisme yang diyakini akan lebih manusiawi.

Prinsip-Prinsip Teoritikal Marx: Organisasi Sosial, Ketimpangan dan Perubahan Sosial

Paper ini didasarkan atas buku Turner dan Beeghley (1981) khususnya berkenaan dengan sub bab
prinsip-prinsip teori Marx (hal. 183-190). Bagian ini menjelaskan apa dasar-dasar Marx dalam
membangun teorinya, setelah pada bagian-bagian sebelumnya dipaparkan berbagai hal berkenaan
dengan dasar filsafat Marx, serta bangun dasar dari teorinya tentang sistem kapitalisme. Menurut
Turner dan Beeghley, secara jelas Marx telah mneguraikan dalam berbagai bukunya, bagaimana
organisasi produksi memberi pengaruh pokok kepada terbentuknya struktur sosial dalam masyarakat.
Sistem produksi kapitalisme, meskipun sejatinya hanya berlangsung dalam aktvitas-aktivitas di
pabrik, namun secara tidak langsung juga memberikan warna kepada kehidupan di masyarakat
secara luas.

Penjelasan dan prediksi Marx sangat jelas tentang kapitalisme. Marx melihat bagaimana fenomena
perkembangan yang besar dalam kepitalisme diikuti oleh fenomena terbaginya masyarakat atas dua
kelas utama (buruh dan majikan kapitalis), serta timbulnya alienasi (keterasingan) dan pemiskinan
buruh. Kedua hal ini, serta berbagai perkembangan yang mengikutinya, pada waktunya akan
menyebabkan tingkat keuntungan kapitalis semakin rendah sehingga menimbulkan krisis yang
meluas. Pada tahap terakhir dari proses ini, akan lahir revolusi komunis. Revolusi ini dipercaya Marx
akan menghancurkan sistem kapitalis, sehingga merubah secara besar-besaran baik struktur di
pabrik maupun di tengah masyarakat.

Meskipun sepanjang hidup Marx, dan pola sejarah secara umum, hal ini tidak terjadi, namun Turner
dan Beeghley melihat bahwa bebarapa prinsip yang disampaikan Marx tetap berlaku. Prinsip-prinsip
tersebut berkenaan dengan dua hal, yaitu sistem keorganisasian dalam sistem sosial, dan adanya
ketimpangan serta perubahan dalam sistem sosial.

Prinsip Organisasi Sosial


Dalam menyusun model analisanya, Marx mendasarkan pada premis bahwa organisasi produksi
pada hakekatnya mempengaruhi struktur sosial masayarakat. Marx menekankan bahwa hal ini bukan
sesuatu yang rumit, namun dapat dilihat secara gamblang. Bagaimana pengaruh sistem
keorganisasian dalam aktivitas industri secara mudah terlihat pengaruhnya kepada terbentuknya
sistem keorganisasian masyarakat di tempat mana kapitalisme tersebut dipraktekkan.

Marx secara luas membahas persoalan ini pada berbagai buku yaitu buku German Ideology,
Manifesto maupun The Capital; dimana sifat organisasi sosial merupakan pokok perhatiannya. Marx
menguraikan pola-pola bagaimana organisasi sosial lahir, bertahan, dan berubah dalam perjalanan
waktu. Marx mendapatkan bahwa hal itu berjalan dalam sejarah manusia. Ia juga melihat adanya
kesalinghubungan antara tingkat teknologi, produktivitas, diferensiasi sosial, ukuran populasi, tingkat
diferensiasi, pemusatan kekuasaan, serta kepercayaan (beliefs) dan norma.

Hal seperti ini tentu bukan suatu yang baru, karena banyak pemikir sebelumnya juga telah melihat ini
sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi. Satu sumbangan Marx yang penting dalam konteks ini
adalah bagaimana integrasi dari sistem-sistem yang berbeda (differentiated systems) tersebut dapat
dicapai. Untuk menjawab ini, berbeda dengan penjelasan ahli lain, ia melihat pengaruh dari tingkat
diferensiasi, terpusatnya kekuasaaan, dan manipulasi dari sistem ide.

Dalam menjelaskan bagaimana organisasi sosial sistem kapitalis mempengaruhi sistem sosial
masyarakat, Marx menggunakan beberapa proposisi. Marx melihat adanya kesejajaran dan
hubungan timbal balik yang positif antara penerapan tingkat teknologi dengan tingkat produktivitas
yang dapat dicapai suatu masyarakat. Produktivitas yang meningkat menyebabkan terjadinya
diferensiasi sosial. Kedua fenomena ini juga saling berhubungan secara positif.

Selanjutnya, dengan semakin tingginya produktivitas dan stratifikasi sosial, maka semakin kuat
kemampuan sistem tersebut untuk mendukung kehidupan populasi penduduk yang semakin besar.
Pada gilirannya, populasi yang besar lalu menekan kepada kebutuhan untuk semakin meningkatkan
produktivitas, serta juga semakin tegas dan meluasnya stratifikasi sosial.

Populasi yang lebih besar dengan derajat stratifikasi yang juga besar, menyebabkan tercapainya
integrasi sosial yang kuat, setidaknya dalam jangka pendek. Hal ini terjadi melalui diferensiasi dan
kosentrasi kekuasaan. Selanjutnya, kedua hal ini – diferensiasi dan konsentrasi kekuasaan –
menjadikan bahwa norma dalam sistem dikontrol dan dikuasai oleh mereka yang memiliki keuasaan
besar. Mereka menggunakan ini untuk melegitimasi ketimpangan distribusi sumber daya yang langka
yang juga berkaitan dengan diferensiasi.

Ketimpangan dan Perubahan Sistem Sosial

Marx secara panjang lebar mengupas bagaimana ketimpangan atau ketidakadilan yang berlangsung
dalam sistem kapitalis menuju kepada terjadinya konflik, dan dengan demikian menjadi sumber untuk
perubahan. Kekuasaan (power) merupakan akarnya, sehingga dengan adanya ketimpangan
kekuasaan – antara buruh dan kapitalis – akan menuju kepada distribusi yang juga tak seimbang. Hal
ini menjadi sinyal kepada lahirnya konflik kepentingan. Marx menyusun beberapa proposisi
berkenaan dengan ini.

Sesuai dengan pemikiran Marx yang khas secara keseluruhan - yang berpusat pada kesenjangan,
konflik dan semacamnya – Marx melihat distribusi kekuasaan yang tidak seimbang lah sebagai akar
munculnya konflik kepentingan. Marx melihat kesejajaran antara keduanya, dimana konflik akan
semakin berpeluang terjadi antara dua kelompok, yaitu kelompok mereka yang dominan dan
kelompok yang tersubordinasi. Dalam masyarakat kapitalis, kedua kelompok dimaksud adalah pemilik
perusahaan atau pemilik modal, dan kelompok buruh.

Semakin tidak seimbang distribusi sumberdaya dalam sebuah sistem sosial, maka akan melahirkan
konflik kepentingan yang juga lebih besar antara kalangan yang dominan dan tersubordinasi tersebut.
Marx melihat bahwa kekuasaan yang besar memudahkan konsolidasi kontrol terhadap sumber daya.
Hal ini sejajar dengan semakin timpangnya distribusi kekuasaan terhadap sumber daya.

Marx menyebut ini dengan prinsip kesenjangan dan perubahan dalam sistem sosial. Kesenjangan
menjadi semakin besar ketika pihak yang memiliki kekuasaan semakin mengkonsentrasikan
kekuasaaannya sehingga menjadi semakin kuat, sehingga ia semakin mudah mengontrol
sumberdaya ekonomi. Kesenjangan distribusi terhadap sumberdaya yang langka terjadi karena pihak
yang berkuasa membatasi mobilitas kelompok yang tersubordinasi. Hal ini merupakan strategi yang
mudah dipahami, karena kontrol terhadap sumber daya merupakan hal pokok yang akan menentukan
posisi dalam struktur ekonomi.

Konflik sesungguhnya terjadi ketika kelompok yang dirugikan dan berada di posisi lebih rendah
(subordinat) mempertanyakan keabsahan penguasaan sumber daya langka oleh kelompok yang
dominan. Marx melihat bahwa semakin kelompok tersubordinasi merasa sadar, maka pertanyaan
tentang legitimasi ini semakin menguat. Kesadaran ini semakin cepat tumbuh dan berkembang luas,
jika mereka terkonsentrasi pada satu tempat secara geografis. Mereka menjadi mudah berkomunikasi
satu sama lain.

Hal ini merupakan fenomena yang umum di wilayah industri, dimana kelompok-kelompok buruh yang
tinggal berdekatan berpeluang dapat bermomunikasi secara lebih intensif. Pada gilirannya, hal ini
menyebabkan kesadaran tumbuh semkain cepat pula. Selain itu, para buruh yang tersubordinasi
akan mudah tumbuh kesadaran kolektifnya apabila berkembang kesatuan sistem kepercayaannya
(unifying systems of beliefs). Hal ini hanya dimungkinkan apabila di antara mereka terjalin komunikasi
yang semakin baik, dan termasuk pengorganisasian diri di antara mereka.

Perkembangan ini baru bisa tercapai jika para buruh bisa mengembangkan ideologi perjuangannya.
Cepat atau lambatnya pertumbuhan ideologi ini tergantung kepada beberapa hal, misalnya
kepemimpinan buruh. Kemampuan kelompok dominan untuk mengendalikan proses sosialisasi dan
komunikasinya dapat berperan sebaliknya, atau bisa memperlambat laju penyebaran ideologi dan
kesadaran. Artinya, dengan semakin banyak campur tangan dan hambatan dari pihak kapitalis, maka
ideologi dimaksud menjadi semakin sulit berkembang dan terdistribusi di kalangan buruh.

Pergerakan buruh sesungguhnya tercapai bila terjadi perkembangan dari “class of it self” menjadi
“class for itself”. Kondisi class-for-itself tercapai saat buruh sadar secara penuh dan lalu
mengorganisasikan diri dengan baik. Jadi, kesadaran kelas hanya tercipta jika muncul kesadaran
tentang kepentingan objektif di antara mereka sesama buruh. Pada gilirnanya pula, pengorganisasian
buruh ini dapat menjadi inisiasi untuk terjadinya konflik terbuka. Jika organisasi buruh semakin kuat,
maka konflik berpeluang untuk semakin besar dan luas.

Konflik yang pada mulanya terjadi di lingkungan pabrik atau aktivitas ekonomi, akan merubah struktur
sosial masyarakat. Jadi, sekali lagi, Marx memperlihatkan bagaimana perubahan dalam struktur dan
sistem sosial masyarakat sesungguhnya berasal dari perubahan dalam sistem produksi. Perubahan
aktivitas ekonomi masyarakat di pabrik, menjadi pemicu perubahan sosial dalam masyarakat. Dengan
kata lain, perubahan material menjadi sumber perubahan sosial di masyarakat.

Pada hakekatnya Marx berupaya menganalisis mengenai organisasi pokok dari cara produksi
kapitalis. Marx menyusun hukum gerak ekonomi dan perubahan sosial secara lebih luas. Marx telah
berhasil menyusun hukum-hukum yang menentukan asal-usul, proses, dan arah perubahan sosial
dalam masyarakat. Ia menguraikan berbagai abstraksi-abstraksi sistem kehidupan sosial dalam
masyarakat kapitalis. Keorganisasian cara berproduksi sistem kapitalis di pabrik-pabrik merupakan
penyebab utama perubahan sosial, berupa kemajuan maupun kehancuran, yaitu kehancuran sistem
kapitalis itu sendiri. Bersama dengan ini, ketimpangan dalam struktur pabrik, yang pada hakekatnya
juga merupakan struktur dari keorganisasian pabrik, juga menjadi pemicu perubahan sosial di
masyarakat.

Konsep Marx tentang Perubahan Sosial


Karl Marx dikenal sebagai pemikir dan penulis tentang banyak hal. Berbeda dengan ahli lain,
misalnya kalangan ekonom yang banyak dikritiknya, semasa hidupnya, Marx menggunakan
pendekatan sejarah. Di sisi lain, meskipun keilmuannya menyumbang kepada berbagai bidang,
namun minat utama Marx adalah kritiknya terhadap ekonomi politik. Beda dengan yang lain, Marx
selalu melihat dan mendasarkan bangun keilmuan dan metodenya kepada adanya kontradisksi-
kontradiksi. Kontradiksi yang pokok pada masyarakat kapitalisme adalah yang terjadi antara
kelompok dominan yaitu pemilik pabrik (borjuis) dengan kelompok tersubordinasi yaitu buruh
(proletar).

Dalam Turner (1981) disebutkan bahwa Marx membangun teorinya dari filsafat Hegel dan Feuerbach.
Marx mengambil dialektika gagasan dari Hegel yang lalu dipadu dengan material religius dari
Feuerbach, meskipun dalam hal tertentu ia menolak pemikiran kedua ahli tersebut. Dalam konsep
dialektika Marx, ia melihat ada hubungan timbal balik antara materi dan pikiran. Melalui penggalian
sejarah, Marx berkesimpulan bahwa sejarah manusia pada hakekatnya adalah sejarah perjuangan
kelas.

Tulisan ini hanya membahas sebagian dari bangun teori Karl Marx, khususnya tentang organisasi
sosial (social organization). Dalam menyusun model analisanya, Marx mendasarkan pada premis
bahwa organisasi produksi pada hakekatnya mempengaruhi struktur sosial masayaarkat. Marx
menekankan bahwa hal ini dapat dilihat secara gamblang.

Aktivitas Ekonomi sebagai Pembentuk Organisasi Sosial dalam Masyarakat

Permasalahan organisasi sosial dibahas Marx baik pada buku German Ideology, Manifesto maupun
The Capital; dimana sifat organisasi sosial merupakan pokok perhatiannya. Marx menguraikan pola-
pola bagaimana organisasi sosial lahir, bertahan, dan berubah dalam perjalanan waktu. Ia ingin
mengungkapakan bagaimana hal itu berjalan dalam sejarah manusia. Marx melihat adanya
kesalinghubungan antara tingkat teknologi, produktivitas, diferensiasi sosial, ukuran populasi, tingkat
diferensiasi, pemusatan kekuasaan, serta kepercayaan (beliefs) dan norma.

Hal seperti ini tentu bukan suatu yang baru, karena banyak pemikir sebelumnya juga telah melihat ini
sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi. Satu sumbangan Marx yang penting dalam konteks ini
adalah bagaimana integrasi dari sistem-sistem yang berbeda (differentiated systems) tersebut dapat
dicapai. Untuk menjawab ini, berbeda dengan penjelasan ahli lain, ia melihat pengaruh dari tingkat
diferensiasi, terpusatnya kekuasaaan, dan manipulasi dari sistem ide.

Sesuai dengan pemikiran Marx yang khas secara keseluruhan - yang berpusat pada kesenjangan,
konflik dan semacamnya – Marx melihat distribusi kekuasaan yang tidak seimbang lah sebagai akar
munculnya konflik kepentingan. Marx melihat kesejajaran antara keduanya, dimana konflik akan
semakin berpeluang terjadi antara dua kelompok, yaitu kelompok mereka yang dominan dan
kelompok yang tersubordinasi. Dalam masyarakat kapitalis, kedua kelompok dimaksud adalah pemilik
perusahaan atau pemilik modal, dan kelompok buruh.

Hal ini disebut dengan prinsip kesenjangan dan perubahan dalam sistem sosial (Turner dan
Beeghley, 1981). Kesenjangan menjadi semakin besar ketika pihak yang memiliki kekuasaan
semakin mengkonsentrasikan kekuasaaannya sehingga menjadi semakin kuat, sehingga ia semakin
mudah mengontrol sumberdaya ekonomi. Selain itu, kesenjangan distribusi terhadap sumberdaya
yang langka terjadi karena pihak yang berkuasa tadi membatasi mobilitas kelompok yang
tersubordinasi.

Benih konflik dimulai ketika kelompok yang dirugikan dan berada di posisi lebih rendah
mempertanyakan keabsahan penguasaan sumber daya (yang cenderung langka) oleh kelompok
yang dominan. Disini Marx meyakini bahwa semakin kelompok tersubordinasi merasa sadar, maka
pertanyaan tentang legitimasi ini semakin menguat. Kesadaran ini semakin cepat tumbuh dan
berkembang luas, jika mereka terkonsentrasi pada satu tempat secara geografis dan semakin
mudahnya berkomunikasi. Kelompok-kelompok buruh yang tinggal berdekatan dan bermomunikasi
secara intensif, menjadikan kesadaran tersebut semakin tumbuh cepat.

Pada rumusan lebih detail disebutkan bahwa para buruh akan mudah tumbuh kesadaran kolektifnya
dengan mengembangan kesatuan sistem kepercayaannya (unifying systems of beliefs). Hal ini hanya
dimungkinkan apabila di antara mereka terjalin komunikasi yang semakin baik, dan termasuk
pengorganisasian diri di antara mereka. Para buruh harus bisa mengembangkan ideologi
perjuangannya sendiri, dimana kecepatan pertumbuhannya tergantung kepada kemampuan untuk
membangkitkan juru bicara, serta kemampuan kelompok dominan untuk mengendalikan proses
sosialisasi dan komunikasinya. Dengan kata lain, semakin banyak campur tangan apalagi hambatan
dari pihak pemilik pabrik, maka ideologi dimaksud menjadi semakin sulit berkembangan dan
menyebar. Sepintas terlihat bahwa probabilitas-probabilitas ini disusun dalam bentuk linier, dan juga
sangat determinan dari satu faktor ke faktor lain secra berantai.

Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok-kelompok buruh berkembang dari apa yang disebut
dengan “class of it self” menjadi “class for itself”. Kesadaran kelas belum terjadi pada kondisi class-in-
itself dimana orang-orang yang sama belum memiliki sadar kelas. Sedangkan kondisi class-for-itself
tercapai saat mereka sadar penuh dan lalu mengorganisasikan diri. Syarat terbentuknya kelas adalah
apabila ada kesadaran ditambah dengan tidak adanya kompetisi horizontal. Jadi, kesadaran kelas
tercipta jika muncul kesadaran tentang kepentingan objektif di antara mereka. Pada tulisan Mills
(1962) disebutkan bahwa kesempatan untuk terjadinya revolusi akan terbuka hanya bila kondisi
objektif (objective condition) bertemu dengan kesiapan subjektif (subjective readiness).

Pengorganisasian diri kelompok tersubordinasi (dalam hal ini buruh) dan kepemimpinannya dapat
menjadi inisiasi untuk terjadinya konflik terbuka. Dan ini berhubungan terbalik dengan
pengorganisasian di kelompok dominan. Pada gilirannya, jika organisasi buruh semakin kuat, yang
disertai pula dengan resistensi di kalangan kelompok dominan (penguasa atau pemilik modal), maka
peluang konflik untuk muncul menjadi semakin besar.

Pada akhirnya, konflik ini akan merubah struktur sosial masyarakat. Disini Marx pada hakekatnya
bermaksud menunjukkan bahwa perubahan dalam struktur dan sistem sosial masyarakat berasal dari
perubahan dalam sistem produksi yang merupakan aktivitas ekonomi masyarakat. Jadi, oragnisasi
sosial yang dimaksud pada hakekatnya adalah organisasi yang melayani agar aktivitas ekonomi
masyarakatnya berjalan.
Namun, dari pembahasan di atas sedikit disebut bahwa meskipun aktor perubahan sejarah adalah
manusia, tapi teknologi dan perkembangan ekonomi juga berperan penting. Perkembangan teknologi
membantu komunikasi antar buruh sehingga menjadi makin mudah dan intensif. Sementara
perkembangan ekonomi yang cenderung terpusat di kota misalnya bersama-sama dengan
perkembangan demografi juga memberikan kontribusi.

Dari uraian ini terlihat Marx berupaya memberikan analisis mengenai organisasi inti dari cara produksi
kapitalis. Marx menyusun hukum gerak ekonomi dan perubahan sosial secara lebih luas dari
masyarakat. Ia merumuskan hukum-hukum yang menentukan asal-usul, keberadaan, perkembangan
dan kematian suatu organisasi sosial tertentu dan digantikan oleh organisasi sosial lain (yaitu
sosialis). Terlihat dari paparan dalam buku Turner dan Beeghley (1981) ini bahwa cara produksi
kapitalis itu sebagai suatu struktur yang berkembang-sendiri, yaitu lahir-sendiri namun akan hancur
pula sendiri. Karena di dalam diri kapitalisme itu ada benih-benih yang dapat menghancurkanm
dirinya sendiri. Pemaparan seperti ini juga disampaikan Turner (1982) terutama di bawah bab
”Contrasting Theoritical Proposition”.

Sebagaimana metode Marx yang menggunakan materialisme sejarah, ia mengurai abstraksi-


abstraksi sistem dan dunia kehidupan dalam masyarakat kapitalis. Marx menjelaskan tentang struktur
dasar sosial masyarakat melalui tinjauan kelas-kelas sosial beserta perjuangan-perjuangannya.

Hal ini juga sudah digarisbawahi dalma tulisan Mills (Inventory of Ideas; dalam Mills, 1962), dimana
basis ekonomi dari suatu masyarakat menentukan struktur sosial masyarakat tersebut secara
keseluruhan dan juga psikologi orang-orang di dalamnya. Pada hakekatnya, ekonomi menjadi
penentu utama untuk seluruh sisi kehidupan suatu masyarakat baik politik, religi dan institusi legal
serta dunia ide, images, dan ideologi. Semua adalah refleksi dari bagaimana ekonomi dijalankan
dalam masyarakat bersangkutan. Basis ekonomi dimaksud terdiri atas 3 hal yaitu mode of production,
substruktur, dan fondasi ekonomi. Ketiga ini berbeda dengan bagian lain dari masyarakat yang
disebut dengan superstruktur atau institusi dan bentuk-bentuk ideologi.

Adanya institusi kepemilikan privat merupakan sumber dimulainya relasi antara kelas, yaitu kelas
yang menguasai dan yang tidak. Hal ini menjadi basis pula untuk terwujudnya bagaimana kekuatan
produksi.
Disebutkan dalam Mills bahwa kekuatan produksi dalam masyarakat merupakan sesuatu konsep
yang kompleks, dimana di dalamnya tercakup sekaligus elemen materi maupun sosial. Pada bagian
berikut dipaparkan pula bahwa dinamika perubahan sejarah adalah hasil dari konflik antara kekuatan
produksi dengan relasi produksi.

Penetapan dan Peran HARGA POKOK dalam sistem Produksi Kapitalis

Dalam buku “Capital” volume III, khususnya pada Part I bab I ini, Marx telah menguraikan bagaimana
sesungguhnya rasionalitas yang dikandung pada fenomena proses produksi kapitalis berlangsung. Ia
menemukan serta membahas dan menyajikan bentuk kongkrit yang berasal dari proses gerakan
kapital secara keseluruhan yang merupakan kesatuan dari proses produksi dan proses sirkulasi
kapitalis. Konfigurasi kapital ini mendekati bentuk yang ada dimasyarakat yang terlihat dalam
persaingan dan dalam kesadaran sehari-hari pelaku produksi itu sendiri.

Nilai suatu komoditi C yang diproduksi dengan cara kapitalis dapat dilukiskan oleh rumusan C=c+v+s.
Jika kita mengurangi dari nilai produksi ini nilai-nilai s, maka tersisa sekedar suatu kesetaraan atau
penggantian nilai dalam komoditi untuk nilai kapitalis c+v yang dikeluarkan untuk unsur-unsur
produksi. Jika diandaikan bahwa produksi suatu barang tertentu memerlukan suatu pengeluaran
kapital sebesar £500, itu berasal dari £20 untuk biaya keausan perkakas-perkakas kerja, £380 untuk
bahan mentah, ditambah £100 untuk tenaga kerja. Jika kita anggap tingkat nilai lebih £100, maka nilai
produksi adalah 400+100 +100 = £600.
Dalam contoh ini, nilai komoditi adalah sebesar £500. Besar nilai harga pokok ini semata-mata adalah
unutk menggantikan pengeluaran kapital (c+v), atau di luar nilai lebih.. Bagian ini sangat esensial,
karena nilai inilah yang menggantikan harga alat-alat produksi yang dikonsumsi dan tenaga kerja
yang digunakan. Uang sejumlah ini semata-mata untuk menggantikan ongkos komoditi itu bagi si
kapitalis sendiri. Oleh karena itu, nilai ini merupakan harga pokok (cost price) dari komoditi yang
dihasilkan. Dengan kata lain, jika si kapitalis tidak memperoleh nilai lebih sekalipun, usahanya tidak
akan bangkrut. Dengan menjual seharga ”harga pokok”, artinya biaya mesin, bahan baku, dan upah
tenaga kerja sudah ditutupi.

Namun demikian, cerdiknya kapitalis adalah, ongkos komoditi tersebut bagi si kapitalis dan apa
ongkos sebenarnya untuk memproduksi satu komoditi, adalah dua kuantitas yang sepenuhnya
berbeda. Bagian dari nilai komoditi yang terdiri atas nilai lebih tidak berongkos apapun bagi si
kapitalis, justru karena itu ongkos si pekerja untuk kerjanya yang tidak dibayar. Tetapi karena pekerja
itu, dalam situasi produksi kapitalis, dirinya sendiri merupakan unsur dari kapitalis produktif, yang
diposisikan sebagai milik si kapitalis, maka si kapitalislah produsen komoditi yang sesungguhnya.
Dalam kondisi ini, harga pokok komoditi itu niscaya tampil baginya sebagai ongkos sesungguhnya
dari komoditi itu sendiri. Jika kita menyebutkan harga pokok itu k, maka rumusannya menjadi C=k+s,
atau nilai komoditi = harga pokok + nilai lebih.

Namun demikian, kategori harga pokok tidak ada sangkut-paut apapun dengan pembentukan nilai
komoditi atau proses valorisasi kapital. Jika diketahui bahwa lima-per-enam dari suatu nilai komoditi
sebesar £600 yaitu £500, adalah hanya suatu kesetaraan, suatu nilai pengganti, bagi kapitalis
sebesar £500 yang telah dikeluarkan, dan oleh karena itu hanya cukup untuk membeli kembali unsur-
unsur material dari kapital itu. Jadi, harga pokok di dalam ekonomi kapitalis menyajikan kemiripan
palsu dari suatu katagori sesungguhnya dari produksi nilai.
Lebih detail, terbaca pula dari bagian ini bahwa nilai dari produk yang baru terbentuk (£600) terdiri
atas niai yang muncul kembali dari kapital konstan £400 yang dikeluarkan untuk alat-alat produksi,
dan sebagai suatu nilai yang baru diproduksi sebesar £200. Harga pokok komodoti itu (£500)
merupakan £400 yang muncul kembali ditambah separuh dari nilai yang baru diproduksi sebesar
£200. Dua bagian ini merupakan unsur-unsur dari nilai komoditi yang sepenuhnya berbeda, baik asal
usulnya maupun perannya bagi perkembangan usaha kapitalis.

Perbedaan antara kapital tetap dan kapital variabel, dalam hubungan dengan kalkulasi harga pokok,
dengan demikian hanya menegaskan asal usul harga pokok dalam nilai kapital yang dikeluarkan.
Atau, dapat juga dimaknai sebagai harga dari unsur-unsur produksi, termasuk kerja yang menjadi
ongkos kapitalis itu sendiri. Pembentukan nilai tersebut merupakan bagian variabel dari kapitalis yang
dikeluarkan untuk tenaga kerja. Hal ini secara jelas teridentifikasikan dengan kapital konstan (bagian
dari kapital yang terdiri atas bahan-bahan produksi), dibawah judul kapital yang beredar, dan dengan
demikian proses valorisasi kapital secara sempurna dimistifikasikan.

Disamping harga pokok, komponen yang lain adalah nilai lebih (surplus value). Nilai lebih pada
mulanya adalah suatu kelebihan dari nilai komoditi, sehingga nilai jual komoditi menjadi di atas harga
pokok. Harga pokok setara dengan nilai dari kapital yang dikeluarkan dan terus menerus di
transformasi kembali menjadi unsur-unsur material. Dalma kondisi ini, nilai tambahan ini adalah suatu
nilai yang termasuk pada kapital yang dikeluarkan dalam produksi komoditi dan kembai dari proses
sirkulasinya.

Dalam rumusan yang disusun Marx terlihat bahwa sekalipun nilai lebih (s) pada hakekatnya hanya
merupakan suatu tambahan pada kapital variabel, namun sekaligus juga merupakan suatu tambahan
nilai pada c+v. Artinya, nilai lebih adalah tambahan terhadap seuruh kapital yang dikeluarkan dalam
proses produksi. Rumusan c+(v+s) yang menandakan bahwa s diproduksi dengan mentransformasi
nilai kapital v tertentu yang dikeuarkan dimuka berupa tenaga kerja menjadi suatu besaran variabel,
dapat juga digambarkan sebagai (c+v)+s.

Namun begitu nilai-lebih merupakan suatu tambahan tidak saja pada bagian kapital yang dikeluarkan
di muka (investasi), tetapi juga pada bagian yang tidak memasuki proses ini. Yaitu suatu tambahan
nilai tidak saja pada kapital yang digunakan yang telah diganti dari harga pokok komoditi itu,
melainkan juga kapital yang digunakan untuk produksi pada umumnya.

Sebagai contoh perhitungan, jika sebelum proses produksi kita mempunyai suatu nilai kapital sebesar
£1.200. Nilai ini datang dari £20 sebagai nilai keausan mesin, ditambah £1180 dari kapital beredar
berupa bahan-bahan produksi dan upah-upah. Setelah proses produksi, diperoleh sebanyak £1.180
sebagai komponen nilai dari kapital produktif, ditambah suatu kapital komoditi sebesar £600. Jika
ditambahkan kedua jumlah nilai itu, maka si kapitalis kini memiliki suatu nilai sebesar £.780. Jika ia
mengurangi dari satu jumlah kapital sebesar £1.680 yang telah dikeluarkannya dimuka, maka tersisa
suatu nilai tambahan sebesar £100. Nilai lebih £100 merupakan juga suatu tambahan pada seluruh
kapital yang digunakan sebesar £1.680 seperti pada pecahan darinya, dan £500 yang habis
digunakan dalam proses produksi itu.

Jadi, nilai tambahan ini berasal dari kegiatan produktif yang dilakukan dengan kapital yang sudah
dimilikinya. Nilai ini berasal dari kapital itu sendiri karena setelah proses produksi itu ia tetap
mempunyainya, padahal sebelum proses produksi ia tidak mempunyainya. Berkenaan dengan kapital
yang sesungguhnya habis digunakan dalam proses produksi, nilai lebih tersebut tampak berasal
secara sama dari unsur-unsur berbagai nilai dari kapital ini, baik alat-alat produksi maupun kerja.
Kedua unsur itu sama-sama terlibat di dalam pembentukan harga pokok. Kedua-duanya
menambahkan nilai masing-masing, yang hadir sebagai kapital yang dikeluarkan di muka, pada nilai
produk itu dan tidak dibeda-bedakan sebagai besar-besaran konstan dan variabel. Ini menjadi nyata
jika kita mengendalikan untuk sesaat bahwa semua kapital yang digunakan akan terdiri atas
khususnya upah-upah ataupun khususnya atas nilai alat-alat produksi.
Nilai lebih sebenarnya adalah bentuk laba yang ditransformasi. Ia merupakan kapital jika ia
diinvestasikan untuk memproduksi suatu produk, atau sebagai kemungkinan lain laba lahir karena
suatu jumlah nilai digunakan sebagai kapital. Jika laba dilambangkan dengan ”p”, maka rumusan C=
c+v+s= k+s diubah menjadi rumusan C=k+p, atau nilai komoditi=harga pokok + laba.

Laba merupakan hal yang sama seperti nilai lebih kecuali suatu bentuk yang dimistifikasi, sekalipun
suatu yang niscaya lahir dari cara produksi kapitalis. Karena tiada perbedaan yang dapat dikenali
antara kapital konstan dan kapital variabel dalam membentuk harga pokok, maka asal usul
perubahan nilai yang terjadi dalam perjalanan proses produksi digeser dari kapital variabel pada
kapital secara menyeluruh. Pergeseran ini karena harga tenaga kerja tampak pada suatu kutub dalam
bentuk upah-upah yang ditranspormasi, dan nilai lebih tampak pada kutub lainnya dalam bentuk laba
yang ditransformasi.

Batas minimum bagi harga jual suatu komoditi ditentukan oleh harga pokoknya. Jika ia dijual dibawah
harga pokok, maka komponen-komponen kapital produktif yang telah dikeluarkan tidak dapat
sepenuhnya digantikan dari harga jual produk. Jika proses ini berlangsung cukup lama, maka nilai
kapital yang dikeluarkan dimuka akan sepenuhnya hilang. Kapitalis akan bangkrut.

Dari sudut pandang ini, si kapitalis cendrung untuk memperlakukan harga pokok sebagai nilai internal
yang sesungguhnya dari nilai komoditi itu, karena ia adalah harga yang diperlakukan semata-mata
untuk mempertahankan kapitalnya. Namun dalam konteks ini ditambahkan kenyataan bahwa harga
pokok komoditi itu adalah harga beli yang si kapitalis itu sendiri telah membayar untuk produksinya.
Yaitu harga beli yang ditentukan oleh proses produksi itu sendiri, dan kelebihan ekses nilai atau nilai
lebih yang diwujudkan dengan penjualan komoditi itu. Dengan demikian tampak bahwa si kapitalis
telah menentukan harga diatas nilainya. Ini merupakan suatu kelebihan dari nilai atas harga
pokoknya. Terlihat bahwa nilai lebih yang tersembunyi didalam komoditi itu tidak semata-mata
diwujudkan dengan penjualannya, namun sesungguhnya berasal dari penjuaan itu sendiri.

Laba tidak berasal dari produksi. Karena jika itu yang terjadi maka ia akan termasuk didalam ongkos
produksi dan tidak akan menjadi suatu lebihan diatas dan melampaui ongkos-ongkos yang telah
dikeluarkan. Laba tidak dapat berasal dari pembayaran komoditi, kecuali ia sudah hadir sebelum
terjadinya pembayaran.
Harga pokok komoditi adalah harga sesungguhnya yang bersumber dari penjualan komoditi. Komoditi
dijual menurut nilainya manakala harga jualnya setara dengan harga pokoknya, yaitu setara dengan
harga alat-alat produksi yang dikonsumsi didalamnya, ditambah upah-upah. Dalam kenyataan,
pereduksian nilai-nilai komoditi pada harga-harga pokoknya merupakan landasan bagi operasional
bank. Komponen dari nilai komoditi dapat diwakili oleh bagian-bagian sebanding dari produk itu
sendiri.

Jika semua komoditi dijual menurut harga pokoknya, hasilnya dalam kenyataan akan sama jika
mereka semuanya dijual diatas harga-harga pokok tetapi menurut nilainya. Karena bahkan jika nilai
tenaga kerja, panjangnya hari kerja dan tingkat ekploitasi dianggap sebagai sama dimana-mana,
namun jumlah-jumah nilai lebih yang dikandung berbagai jenis komoditi yang berbeda-beda adalah
tidak setara.
Pada intinya, Marx ingin menunjukkan darimana ia bisa membangun rumusannya tentang apa itu
sistem kapitalis. Ia dengan detail menunjukkan bagaimana kompleksitas proses produksi, yang pada
hakikatnya merupakan ranah material, menjadi landasan terbentuknya sistem kapitalis yang
berlangsung. Bagaimana buruh dieksploitasi terlihat dari kesengajaan si kapitalis menambahkan nilai
lebih (s) dalam memutuskan berapa harga jual komoditi hasil produksinya. Sebenarnya bisa saja ia
cukup memperhitungkan biaya tetap ditambah biaya variabel, dan usahanya tidak akan bangkrut.
Namun, si kapitalis ingin keuntungan yang lebih. Keuntungan ini adalah dengan mengeksploitasi
tenaga buruh.

Sumber bacaan:
 Marx, Karl. Capital: A Critic of Political Economy. Volume 3. Penguin Classics and New Left
Review. Translated by David Frenbach.
 Mills, C. Wright. 1962. The Marxist. Dell Publ

KARL MARX DENGAN SEGALA


PEMIKIRANNYA
2 Mei 2010   09:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:28  13564  0 0

Karl Marx

Karl Marx lahir di Trier, sebuah kota di Jerman, dekat perbatasan dengan Prancis di tahun
1818. lahir setelah perang Napoleon, dan setahun setelah David Ricardo meluncurkan
bukunya “The Principles of Political Economy”. Dia merupakan pendiri Idiologi komunis
yang sekaligus merupakan seorang teoritikus besar kapitalisme. Bukan hanya sekedar
ekonom, namun juga seorang philosopis, sosiologis, dan seorang revolusionir. Merupakan
seorang profesor dalam berbagai ide yang Revolusioner, yang menginspirasi pemikir-pemikir
lainnya. Setelah menyelesaikan gelar Ph. D dalam filsafat pada tahun 1841 di Bonn, Berlin,
dan Jena. Maka dari sinilah karier Marx dimulai. Pemikiran Karl Marx merupakan adopsi
antara filsafat Hegel, French, dan tentunya pemikiran dari David Ricardo (pemikir teori
ekonom klasik). Analisa Karl Marx tentang kapitalisme merupakan aplikasi dari teori yang
dikembangkan oleh G.W.F Hegel, dimana teorinya berpendapat juka,”sejarah berproses
melalui serangkaian situasi dimana sebuah ide yang diterima akan eksis, tesis. Namun segea
akan berkontradiksi dengan oposisinya, antitesis. Yang kemudian melahirkanlah antitesis,
kejadian ini akan terus berulang, sehingga konflik-konflik tersebut akan meniadakan segala
hal yang berproses menjdai lebih baik.”

Karl Marx beserta teman dekatnya, yakni Friedrich Engles (1820-1895) menuliskan sebuah
buku “Das Kapital”, yang isinya kurang lebih tentang bagaimana ekonomi sosial atau
komunis diorganisasikan. Yang kemudian disusul buku The Communist Manifesto (1848)
yang berisikan daftar singkat karakter alamiah komunis. Dimana suprastruktur yang
berfungsi untuk menjaga relasi produksi yang dipengaruhi oleh historis (seni, literatur, musik,
filsafat, hukum, agama, dan bentuk budaya lai yang diterima oleh masyarakat). Prinsip-
prinsip komunis modern dalam bukunya tersebut antara lan :

1.pengahapusan kekayaan tanah dan menerapkan sewa tanah bagi tujuan-tujuan


publik.

2.pengenaan pajak pendapat (tax income) yang bertingkat.

3.pengapusan seluruh hak-hak warisan.

4.penarikan kekayaan seluruh emigran dan para penjahat atau pemberontak.


5.sentralisasi kredit pada negara melalui bank nasional dengan modal negara dan
monopoli yang bersifat eksklusif.

6.sentralisasi alat-alat komunikasi, dan transportasi di tangan negara.

7.perluasan pabrik dan alat-alat produksi yang dimilki oleh negara, menggarap tanah
yang tanah, dan meningkatkan guna tanah yang sesuai dengan perencanaan umum.

Karl Marx percaya dalam kapitalisme, terjadi keterasinagan (alienasi) manusia dari dirinya
sendiri. Kekayaan pribadi dan pasar menurutnya tidak memberikan nilai dan arti pada semua
yang mereka rasakan sehingga mengasingkan manusia, manusia dari diri mereka sendiri.
Hasil keberadaan pasar, khususnya pasar tenaga kerja menjauhkan kemampuan manusia
untuk memperoleh kebahagiaan sejati, karena dia menjauhkan cinta dan persahabatan. Dia
berpendepat bahwa dalam ekonomi klasik, menerima pasar tanpa memperhatikan kekayaan
pribadi, dan pengaruh kebradaan pasar pada manusia. Sehingga sangat penting untuk
mengetahui hubungan antra kekayaan pribadi, ketamakan, pemisahan buruh, modal dan
kekayaan tanah, antara pertukaran dengan kompetisi, nilai dan devaluasi manusia, monopoli
dan kompetisi dan lain-lain. Fokus kritiknya terhadap ekonomi klasik adalah, is tidak
memeperimbangkan kekuatan produksi akan meruntuhkan hubungan produksi.

Hasil dari teori historis Karl Marx pada masyarakat antara lain :

1.
2. masyarakat feudalisme, dimana faktor-faktor produksi berupa tanah pertanian
dikuasai oleh tuan-tuan tanah.
3. Pada masa kapitalisme hubunganantara kekuatan dan relasi prodksi akan berlangsung,
namunkarena terjadi peningkatan output dan kegiatanekonomi, sebagaimanafeudalisme juga
mengandung benih kehancurannya, maka kapitalismepun akan hancur dan digantikan dengan
masyarakat sosialise.
4. Masa sosialisme dimana relasi produksi mengikuti kapitalisme masih mengandung
sisa-sisa kapitlisme.
5. Pada masa komunisme, manusia tidak didorong untuk bekerja dengan intensif uang
atau materi.

Menurut Karl Marx dalam komoditas dan kelas dapat dibagi menjadi dua kelas, yaitu:

1.
2. kaum kapitalis (borjuis) yang memiliki alat-alat produksi.
3. Kaum buruh (proletar) yang tidak memiliki alat-alat produksi, ruang kerja, maupun
bahan-bahan produksi.
Teori historis dari Karl Marx mencoba menerapkan nya ke dalam masyarakat, dengan
meneliti antara kekuatan dan relasi produksi. Dimana nantinya akan terjadi sebuah
kontradiksi, yang berakibat perubahan kekuatan produksi dari penggilingan tangan pada
sistem feodal menjadi penggilingan uap pada sistem kapitalisme. Menurutnya satu-satunya
biaya sosial untuk memproduksi barang adalah buruh.

Analisa karl marx tentang Kapitalisme

karl marx adalah salah satu penentang ekonomi kapitalis memunculkan akibat social yang
tidak diinginkan dan sebagai pertentangan pada kapitalisme menjadi lebih nyata dari waktu
ke waktu. Kritik karl marx ini tertuang pada hukum Karl Marx tentang kapitalisme, yang
berisi tentang :

1.Surplus pengangguran

Pada konsep tentang surplus pengangguran ini, Karl Marx berpendapat bahwa selalu
terjadi kelebihan penawaran tenaga kerja yang erdampak pada penekanan tingkat upah
sehingga menjadi surplus value dan keuntungan tetap bernilai positif. Karl Marx
melihat ada 2 faktor penyebab terjadinya surplus tenaga kerja ini. Pertama,
yaitu Direct Recruitment yang terjadi akibat penggantian tenaga kerja manusia oleh
mesin-mesin produksi. Kedua, Indirect Recruitment yang terjadi akibat adanya
anggota baru tenaga kerja yang memasuki pasar tenaga kerja.

2.Penurunan tingkat keuntungan

Dalam model Karl Marx dirumuskan bahwa tingkat keuntungan (P) mempunyai
hubungan positif dengan tingkat surplus Value (S’) dan mempunyai hubungan
negative dengan organic komposition of capita (Q).

P=S’(1-Q)

Dengan asumsi bahwa surpus value dipertahankan untuk tidak berubah. Setiap
kenaikan dalam organic composition of capital akan menghasilkan penurunan pada
tingkat keuntungan, melalui mekanisme sebagai berikut.

Menurut Karl Marx ada pengaruh yang kuat para kapitalis untuk menghimpun modal.
Penghimpunan modal ini berarti bahwa aka nada lebih banya fariabel modal yang
digunakan untuk menambah tenaga kerja, sehingga akan menaikkan upah dan akan
mengurangi tingkat pengangguran. Tingkat surplus value akan mengalami penurunan
sebagai akibat dari naiknya upah, begitu juga tingkat laba juga akan turun. Para
kapitalis akan bereaksi dengan mengganti tenaga kerja manusia dengan mesin dengan
menambah organic composition of capital. Jika tingkat surplus value dipertahankan
untuk tidak berubah maka kenaikan pada organic composition of capital akan
mendorong tingkat keuntungan pada level yang lebih rendah.

3.Krisis Bisnis
Pada konteks krisis bisnis (depresi), Karl Marx berpendapat bahwa adanya perubahan
orientasi atau tujuan dari proses produksi dari tujuan nilai guna pada zaman ekonomi barter
berubah menjadi tujuan nilai tukar dan keuntungan saat dibawah kapitalisme, menyebabkan
terjadinya fluktuasi ekonomi. Pada ekonomi barter, produse hanya menghasilkan barang
untuk dikonsumsi sendiri atau ditukar dengan komoditi yang lain, sehingga pada saat
ekonomi barter ini tidak pernah terjadi over produksi. Sedangkan ketika tujuan produksi
berubah menjadi nilai tukar dan keuntungan maka terjadinya over produksi pada suatu
perekonomian akan mungkin terjadi. Over produksi itu sendiri akan berdampak pada
menurunnya tingkat keuntungan. Perubahan tingkat keuntungan tersebut akan berdampak
pada pengeluaran untuk infestasi. Volatility dari pengeluaran infestasi inilah yang menurut
pendapat Karl Mark merupakan penyebab umum dari fluktuasi pada keseluruhan aktifitas
ekonomi. menghasilkan siklus bisnis, hal ini Karl Marx bercermin pada pertumbuhan
dramatic pada industry tekstil di Inggris dengan mekanisme sebagai berikut. Adanya ledakan
pada teknologi akan menyebabkan peningkatan akumulasi dari modal dan permintaan pada
tenaga kerja. Jumlah pengangguran akan berkurang, tingkat upah akan naik, surplus value
akan berkurang, dan tingkat surplus value akan berkurangdan akhirnya akan mengurangi
tingkat keuntungan. Penurunan tingkat keuntungan akan menyebabkan penurunan akumulasi
modal dan akan menyebabkan depresi. Namun menurut Karl Marx depresi ini mempunyai
elemen yang akhirnya, cepat atau lambat akan menyebabkan ekspansi yang baru pada
kegiatan ekonomi.

Teori klasikmelihat bahwaadanya pasar di harapkan dapat memecahkan masalah alokasi


sumber daya yang ada, hal ini akan menciptakan suatu kondisi keseimbangan dalam jangka
panjang.

4.Jatuhnya nilai profit dan krisis bisnis

Dalam model Karl Marxian sebuah ekonomi klasik dengan jelas bergantung pada kapitalis itu
sendiri yang berupaya untuk mengubah jumlah atau nilai profit dan mengubah ekspetasi
profit dalam kaitannya dengan krisis bisnis. Karl Marx memakai hukumnya itu untuk
menjelaskan fluktusi dalam jangka pendek dalam aktifitas ekonomi. Untuk memperoleh
profit yang besar, aliran kapitalis menambah komposisi modal an ternyata hal itu justru
menurunkan profit.

Kaum kapitalis secara periodic akan berusaha menanggulangi jatuhnya nilai profit dengan
mengurangi infestasi secara berlebih yang dapat menyebabkan aktifitas ekonomi mengalami
fluktuasi yang nantinya bias menyebabkan krisis.

Karl Marx mengatakan bahwa fakor yang menyebabkan fluktuasi dalam aktifitas bisnis,
yaitu: jatuhnya nilai profit, factor teknologi baru yang tidak sama, dan tidak proporsionalnya
pengembangan dalam suatu sector ekonomi yang nantinya dapat menyebabkan penurunan
dalam level kegiatan ekonomi.

Fluktuasi menurutnya terjadi dalam suatu system karena pada dasarnya kebanyakan dari
aktifitas kapitalis cenderung ingin mencari jumlah profit sebanyak mungkin.

Adapun teori karl marx tentang krisis bisnis mungkin banyak terdapat kekurangan secara
internal, tidak diragukan lagi bahwa pandangannya tentang kapitalis secara mendasar belum
stabil. Meskipun begitu, visi dari karl marx tentang teori kapitalis ini secara lebih lanjut tidak
mendapat smabutan oleh teori orthodox sapai tahun 1930.

5.Konsentrasi modal

Meskipun model karl marx memberi asumsi mengenai adanya pasar persaingan sempurna
dengan jumlah yang besar untuk perusahan-perusahan kecil dalam tiap –tiap industry, namun
karena ketatnya persaingan maka akan mengarah pada jatuhnya industry-industri kecil
sehingga akan mengurangi persaingan.

Untuk mengurangi adanya persaingan salah satunya dengan peusatan modal. Pemusatan
modal ini terjadi melalui sebuah redistribusi pada modal. Karl Marx menujukan bahwa
perusahaan yang besar lebih bias mencapai skala ekonomi yang lebih baik ketimbang
perusahaan yang kecil, hal ini disebabkan karena perusahaan yang besar itu dapat
memproduksi dengan biaya yang rendah. Persaingan diantara perusahaan yang besar dan
yang kecil menghasilkan pertumbuhan monopoli. Penambahan modal secara lebih jauh
dengan mengembangkan sistem kredit dan kerja sama dalam bentuk organisasi bisnis.

6.Bertambahnya kesengsaraan kaum proletar

kontradiksi kapitalisme menurut marx menyebabkan bertambahnya tingkat kesengsaraan


pada kaum proletar. Bertambahnya kesengsaraan secara absolut menunjukkan pendapatan
dari masyarakat secara global menurun dalam sistem kapitalis dan juga menunjukan bahwa
bagian pendapatan nasional mereka menjadi turun di kemudian hari.

Hingga pada akhirnya marx berasumsika secara konsisten bahwa hal yang harus dilakukan
untuk menghilangkan kesengsaraan, yakni dengan lebih memperhatikan pada kualitas hidup
mereka.

Anda mungkin juga menyukai