Anda di halaman 1dari 15

PARADIGMA INTERPRETIF DALAM METODE PENELITIAN

NON-POSITIF

Oleh

KELOMPOK 2

Kadek Weda Noveadjani Tista (196020300111035)

Raudhah Trisna Wardhani (196020300111026)

1. LATAR BELAKANG
Ketika seseorang menjalani kehidupan atau melakukan suatu aktifitas, tidak luput dari yang
Namanya pandangan atau kepercayaan. Pandangan atau kepercayaan antara seseorang dengan
orang lain berbeda-beda, serta nantinya akan dapat memberikan suatu gambaran tindakan yang
akan diambil. Tentu saja berbeda pandangan akan berbeda pula tindakannya. Dalam hal akademik,
utamanya berhubungan dengan penelitian sebagai suatu kegiatan ilmiah yang terstruktur dan
terencana, dimana seorang peneliti harus memiliki pijakan filosofis sebagai dasar mereka
melakukan pengujian ilmiah. Dapat terdiri dari latar belakang, makna, hakikat, tujuan, hingga
metode yang akan digunakan. Seluruh komponen penelitian tersebut haruslah berlandaskan atas
pijakan filosofis berupa paradigma.
Paradigma dapat diartikan kedalam banyak hal namun tetap memiliki makna yang sama,
salah satunya menurut Denzin dan Lincoln (eds.) (1994: 99) paradigma ialah “ a basic set of
beliefs that guide action. Paradigms deal with first principles, or ultimates ”. Sedangkan menurut
(Cresweel, 2007: 19) mengartikan paradigma sebagai ‘a basic set of beliefs that guide action’.
Pada akhirnya definisi-definisi tersebut akan bermuara pada paradigma sebagai suatu cara pandang
seseorang tentang sesuatu dimana didalamnya terdapat asumsi, model, teori, serta solusi untuk
menjawab suatu permasalahan, tujuan, dan sifat dasar bahan kajian.
Paradigma ini menjadi sangat penting karena akan menentukan arah kemana penelitian
tersebut akan dibawa, karena terkandung pendekatan-pendekatan yang akan menentukan metode,
teknik, serta piranti penelitian. Terdapat beberapa jenis paradigma, salah satunya yang akan
dibahas ialah paradigma interpretif yang disepadankan dengan pendekatan kualitatif (qualitative
approach), yang umumnya digunakan oleh ilmu-ilmu sosial (social sciences) dan humaniora.
Sajian pendek ini secara khusus akan membahas paradigma interpretif yang menjadi payung utama
penelitian kualitatif. Paradigma interpretif lahir sebagai reaksi terhadap paradigma positivistik
yang dianggap kurang komprehensif untuk menjelaskan realitas.
Paradigma interpretif memandang realitas sosial sebagai sesuatu yang holistik, tidak
terpisah-pisah satu dengan lainnya, kompleks, dinamis, penuh makna, dan hubungan antar gejala
bersifat timbal balik (reciprocal), bukan kausalitas. Realitas social tersebut dipandang secara
subjektif melalui paradigma interpretif. Terkait posisi manusia, paradigma interpretif memandang
manusia sebagai makhluk yang berkesadaran dan bersifat intensional dalam bertindak (intentional
human being). Manusia adalah makhluk pencipta dunia, memberikan arti pada dunia, tidak dibatasi
hukum di luar diri, dan pencipta rangkaian makna. Atas dasar pandangan tersebut, semua tindakan
atau perilaku manusia bukan sesuatu yang otomatis dan mekanis, atau tiba-tiba terjadi, melainkan
suatu pilihan yang di dalamnya terkandung suatu interpretasi dan pemaknaan. Karenanya setiap
tindakan dan hasil karya manusia (dianggap) senantiasa sarat dan diilhami oleh corak kesadaran
tertentu yang terbenam dalam sanubari atau dunia makna pelakunya.
Sejalan dengan pandangan itu, studi terhadap dunia kehidupan dan perilaku manusia
haruslah berpangkal dan bermuara kepada upaya pemahaman (understanding) terhadap apa yang
terpola dalam dunia makna (reasons) atas manusia yang diteliti. Itulah yang menjadi akar filosofis
lahirnya tradisi penelitian kualitatif, yang secara ringkas dapat diartikan sebagai upaya memahami
suatu pemahaman (understanding of understanding). Itu sebabnya penelitian kualitatif dengan
semua ragamnya berada di bawah payung paradigma interpretif, yang kadang-kadang disebut juga
paradigma fenomenologi atau paradigma definisi sosial.
Dikaitkan dengan peran ilmu sosial, menurut Hendrarti (2010: 4), paradigma interpretif
memandang bahwa ilmu sosial sebagai analisis sistematis atas ‘socially meaningful action’ melalui
pengamatan langsung terhadap aktor sosial dalam latar alamiah agar dapat memahami dan
menafsirkan bagaimana para aktor sosial menciptakan dan memelihara dunia sosial mereka.
Secara bergantian, menurut Patton (1990: 68) paradigma interpretif juga disebut paradigma
fenomenologi atau naturalistik, walau diakui ini sering membingungkan.
Dikaitkan dengan hakikat realitas, paradigma interpretif memandang realitas itu bersifat
jamak dan holistik. Peneliti berinteraksi langsung dengan subjek di lapangan dalam hubungan yang
saling mengikat (valuebound), proses penelitian berlangsung secara siklus (tidak linier), bertujuan
untuk mengembangkan teori, dan hasil akhir atau temuan bersifat openended, artinya temuan
penelitian masih terbuka untuk dikritik, direvisi, bahkan hingga disalahkan (being falsified).
Alhasil, paradigma interpretif melahirkan penelitian kualitatif yang sangat kompleks dengan
jenisnya yang begitu beragam dan masing-masing dengan corak metodenya sendiri.

2. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dari makalah ini ialah :
2.1 Apa yang dimaksud dengan Paradigma Interpretif dan bagaimana strukturnya ?
2.2 Bagaimana pendekatan Paradigma Interpretif pada Sosiologi dimana akuntansi ada
didalamnya ?
2.3 Bagaimana pendekatan Paradigma Interpretif dalam penelitian akuntansi ?

3. TUJUAN
Adapun tujuan dari makalah ini ialah :
3.1 Untuk mengetahui tentang Paradigma Interpretif serta struktus dimensi yang mendasari
Paradigma tersebut.
3.2 Untuk mengetahui pendekatan-pendekatan Paradigma Interpretif terhadap sosiologi
dimana akuntansi berada didalamnya.
3.3 Untuk mengetahui terkait pendekatan Paradigma Interpretif pada penelitian serta kajian
akuntansi

4. MANFAAT
Manfaat yang dapat diambil dari makalah ini ialah :
4.1 Manfaat Teoritis
Melalui makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan serta referensi terkait
Paradigma-Paradima pada Akuntansi terlebih terkait pemilihan metode suatu
penelitian.
4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, makalah ini diharapkan mampu memberikan gambaran kepada
pembaca terkait pelaksanaan penelitian yang melibatkan Paradigma Interpretif.
5. PEMBAHASAN

5.1 Paradigma Interpretif dan Strukturnya


Paradigma merupakan sistem kepercayaan hasil dari konstruksi manusia yang dianut
oleh ilmuwan yang didasarkan pada asumsi-asumsi ontologis (bentuk dan sifat realitas),
epistemologis (sifat hubungan mengetahui dan objek yang diketahui), dan metodologis (cara
mengetahui objek) (Atmadja 2014:3). Triyuwono (2006) menyatakan paradigma dalam khasanah
epistemologi merupakan cara pandang mengenai dunia atau worldview. Paradigma merupakan
suatu pendekatan yang dapat dipilih oleh peneliti dalam melakukan penelitian, secara garis besar
pendekatan yang dimaksud disini ialah pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Paradigma ini
terfokus pada interpretasi symbol, Bahasa, pemahaman ilmu social maupun pemikiran manusia.
Dimana dalam ilmu sosiologi yang merupakan ilmu yang mempelajari terkait perilaku manusia
sebagai makhluk social yang saling mempengaruhi secara inheren.
Penelitian interpretif berusaha untuk menjelaskan hubungan antara tindakan dan
makna yang mana interpretasi merupakan proses aktif dan disiplin yang kreatif untuk memastikan
kemungkinan makna tindakan dan pesan (Lannai et al. 2014). Burrell dan Morgan (1979:20)
menggambarkan sifat interpretif sebagai paradigma yang memiliki karakteristik untuk memahami
dan menjelaskan dunia sosial yang tidak terlepas dari kacamata personal yang terlibat langsung
dalam sebuah proses sosial. Peranan sosial masyarakat, penelitian terikat kepada norma-norma,
aturan-aturan tertentu dan keyakinan, serta pandangan. Terdapat empat dimensi sebagai (a)
solipsism: (b) fenomenologi; (c) sosiologi fenomenologis: (d) hermeneutika.

Hermeneutik menempati wilayah paling sedikit dari paradigma. Berasal sebagian besar dari
karya Dilthey dan gagasan tentang Verstehen, pandangan ini pertama kali berevolusi sebagai
metode studi terutama yang disesuaikan dengan pandangan idealis dunia. Baru-baru ini, di bawah
pengaruh Gadamer telah mengambil dimensi baru dan telah berkembang dalam istilah teoretis
yang lebih luas, khususnya dalam kaitannya dengan peran dan pengaruh bahasa dalam kehidupan
sosial. Kepentingan kontemporer dalam konteks paradigma interpretif meningkat dengan cepat.
Meskipun hingga kini sebagian besar telah dibayangi oleh penggunaannya dalam teori kritis dalam
konteks paradigma humanis radikal. Solipsism diidentifikasi di wilayah paling subyektif dari
paradigma tersebut. Hal tersebut merupakan milik dunia metafisika daripada sosiologi dan
dimasukkan untuk menyoroti dilema akhir yang dihadapi semua perspektif filosofis dan sosiologis
yang menekankan subjektif dalam bentuk ekstrim.
a. Hermeneutika
Hermeneutika berkaitan dengan penafsiran dan pemahaman. Produk-produk pikiran
manusia yang menjadi ciri dunia sosial dan budaya. Secara ontologis, para
pendukungnya mengadopsi pandangan 'idealis ideal' dari lingkungan sosial-budaya,
melihatnya sebagai fenomena yang dibangun secara manusia. Manusia dalam perjalanan
kehidupan mengeksternalkan proses internal pikiran mereka melalui penciptaan artefak
budaya yang atta. Dalam karakter obyektif. Lembaga, karya seni, sastra, bahasa, agama
dan sejenisnya adalah contoh dari proses objektifikasi ini. Objektifitas seperti itu dari
pikiran manusia adalah subjek penelitian dalam tics hermeneu.
Sebagian besar melalui karya Dillhey bahwa hermeneutika telah mencapai status
pemikiran dalam konteks teori sosial kontemporer. Di tangan Dilthey, pada dasarnya ini
adalah metodologi untuk mempelajari berbagai objek pikiran. Ini memainkan peran
sentral dalam skema keseluruhannya untuk menghasilkan pengetahuan yang valid secara
obyektif dalam Geisteswissenschafren melalui metode Verstehen. Verstehen, adalah
sarana yang digunakan untuk memahami makna situasi historis atau sosial atau artefak
budaya. Itu adalah metode pemahaman berdasarkan peragaan kembali. Agar dapat
dipahami, subjek penelitian perlu diingatkan kembali dalam kehidupan subyektif dari
pengamat. Melalui proses ini, Dilthev mengklaim, pengetahuan obyektif bisa diperoleh.
b. Solipsisme
Pandangan yang menyatakan bahwa pengalaman pribadi seseoranglah yang merupakan
satu-satunya fakta yang dapat dipercaya, dengan kata lain, seseorang tidak memiliki
landasan untuk percaya akan hal lain kecuali pada dirinya sendiri. Posisi solipsis
menghasilkan relativisme dan skeptisisme yang lengkap. Mengingat bahwa tidak ada
pengetahuan titik referensi eksternal harus dibatasi pada apa yang kita sebagai
pengalaman individu.
c. Fenomenologi
Suatu hal yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Fenomenologi di sini di
bawah dua judul luas. Pertama, perhatian dicurahkan pada apa yang dikenal sebagai
fenomenologi 'transendental' atau 'murni', yang paling sering dikaitkan dengan karya
Husserl. Kedua, akan dipertimbangkan turunan fenomenologi 'eksistensial' ini,
khususnya yang tercermin dalam karya Schutz.
• Fenomenologi Transendental
Ini akan diingat bahwa Husserl adalah seorang matematikawan dan fisikawan yang,
di awal karirnya menjadi prihatin dengan apa yang dianggapnya sebagai fondasi
logika dan sains yang berbahaya. Dalam usahanya mencari fondasi sains yang
objektif, Husserl berusaha membuka arah baru dalam analisis kesadaran. Membawa
pikiran matematis ke subjek, ia puas diri dengan manipulasi esensi ideal. Daripada
bersusah-payah dengan realitas faktual atau perumusan hipotesis, ia mengarahkan
dirinya pada pertanyaan pokok makna. Ia mengesampingkan realitas (atau dalam
istilahnya, 'dalam tanda kurung') dan berusaha menembus ke tingkat fenomena.
Yang cukup menarik, konsep transendental Husserl telah diadopsi sampai taraf
tertentu oleh para ahli teori yang beroperasi dalam suatu perspektif karakteristik
paradigma humanis radikal. Transendensi, dari sudut pandang mereka, telah dilihat
sebagai indikasi potensi pelepasan dari ikatan kehidupan sehari-hari. Karya Sartre,
khususnya, mencerminkan pengaruh langsung Husserl, dan kami akan kembali ke
pembahasan ini di bab selanjutnya.
• Fenomenologi Eksistensial
Fenomenologi ini merupakan suatu filsafat yang merupakan bagian dari fenomenologi
dan eskistensialisme. Aliran dari filsafat eksistensial berusaha memahami kondisi
manusia sebagaimana memanifestasikan dirinya di dalam situasi-situasi konkret.
Kondisi manusia yang dimaksud bukan hanya ciri-ciri fisiknya, tetapi juga seluruh
momen yang hadir pada saat itu (terkait perasaan senang, kecemasan, kegelisahan,
kebebasan serta eksistensial lainnya).

5.2 Pendekatan Paradigma Interpretif pada ilmu Sosial

Ilmu sosial dikonseptualiasikan menjadi empat asumsi oleh Burrell dan Morgan
(1979), yaitu pertama berkaitan dengan Ontology. Ontology merupakan suatu ilmu filsafat yang
membahas terkait fenomena yang sedang diteliti dan dikaji. Apakah fenomena tersebut benar-
benar terjadi atau hanya berupa ide atau konsep. Dalam ontology terdapat dua kaum filsafat, yaitu
nominalisme dan realisme. Kaum nominalisme memandang bahwa realitas sosial hanyalah suatu
konsep atau ide yang digunakan untuk mempermudah pemahaman dan pendeskripsian terkait
suatu realitas. Sedangkan kaum realisme lebih kepada aliran filsafat yang meyakini bahwa realitas
sosial adalah suatu hal yang benar-benar terjadi (nyata). Berdasarkan padangan tersebut akan
memunculkan cara pandang mekanistik atau materialistik.

Asumsi yang kedua yaitu Epistemology. Epistemology merupakan suatu ilmu filsafat
yang membahas bagaimana suatu realitas atau fenomena sosial awalnya dipahami hingga
menjadikan suatu pengetahuan dan teori yang dipelajari dan digunaan oleh manusia.

Asumsi ketiga adalah Human Nature. Human nature merupakan suatu asumsi ilmu
filsafat yang mendalami penyebab seseorang berperilaku tertentu. Perilaku seseorang dapat
disebabkan oleh beberapa hal diantaranya perilaku yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar atau
perilaku tersebut merupakan kehendak manusia itu sendiri.

Dan asumsi yang keempat yaitu Methodology. Methodology merupakan suatu ilmu
yang menentukan metode atau pendekatan apakah yang digunakan peneliti untuk menyelidiki
suatu realitas atau fenomena sosial yang sedang dipelajarinya. Suatu relaitas atau fenomena sosial
tidak dengan mudah dapat dipahami. Perlu adanya cara pandang yang mendalam untuk dapat
memahami makna dari setiap permasalahan yang terjadi. Realitas sosial berhubungan dengan
masyarakat dan setiap kelompok masyarakat memiliki karakteristiknya tersendiri. Tidak berhenti
disitu, dalam satu karakteristik masyarakat memiliki banyak anggota atau individu dan setiap
individu tentu memiliki cara pandang serta penerimaan yang berbeda terkait dengan satu ralitas
sosial yang sedang dipelajari. Oleh karena itu, dalam melakukan penelitian ilmu sosial diperlukan
paradigma yang tepat. Penulis merangkumkan empat paradigma menurut Burrell dan Morgan
(1979:23), yaitu Fuctionalist Paraadigm, Intepretive Paradigm, Radical Humanist, dan Radical
Strustualist.

Intepretive paradigm juga merupakan akar dari sociology of regulation namun dengan
sudut pandang subjektif. Realitas sosial dibahas dengan memandang dunia sebagaimana adanya
dengan merujuk dari aktor yang terlibat secara langsung. Pendekatan ini mencoba untuk
menjelaskan, memahami, dan menafsirkan suatu makna dan simbol yang dimunculkan oleh
seorang aktor dalam suatu realitas sosial. Beberapa pendekatan yang digunakan dalam intepretive
meliputi interaksi sosial, dramaturgi, grounded theory, ataupun etnomethodology.
Djamhuri (2012) mencoba untuk mejelaskan karakteristik interpretivism yang
merupakan penekanan terhadap suatu upaya pengkonstruksian dan penafsiran suatu tindakan
masyarakat baik dari pengetahuan yang mereka miliki maupun pengalaman yang telah mereka
lakukan dalam suatu tindakan sosial. Dengan demikian, tujuan dari adanya sosiologi interpretif
adalah untuk menemukan suatu makna yang tersembunyi dari berbagai tindakan sosial dari apa
yang dipahami oleh pelaku atau aktor yang berperan melalui suatu upaya pemahaman yang searah
dan baik. Adanya sosiologi intepretif berupaya untuk melakukan konstruksi ulang terhadap
struktur sosial ketika interaksi sosial sedang berlangsung dengan pamahaman keseluruhan aktor
yang terlibat.

Interaksi simbolik mengasumsikan bahwa manusia dapat mengerti berbagai hal


dengan belajar dari pengalaman, baik pengalaman sendiri ataupun pengalaman aktor lain. Persepsi
tersebut diterjemahkan dalam simbolsimbol khusus. Kuswarno (2009) menyebutkan tiga premis
yang mendasari pemikiran interaksi simbolik oleh Blumer, yaitu 1) manusia bertindak terhadap
sesuatu berdasarkan makna yang ada pada sesuatu tersebut bagi mereka, 2) makna tersebut berasal
dari adanya interaksi sosial seseorang dengan orang lain, dan 3) makna tersebut mendapat
penyempurnaan saat proses interaksi sosial sedang berlangsung. Suatu realitas sosial terjadi karena
adanya interaksi antar individu. Dengan demikian, Djamhuri (2012) menyetakan bahwa dalam
pandangan sosiologis manusia memiliki kesadaran dan kemauan untuk bebas, sehingga dengan
kemauannya manusia dapat merubah suatu struktur dan keadaan yang ada.

Interaksi simbolik mengasumsikan bahwa manusia dapat mengerti berbagai hal


dengan belajar dari pengalaman, baik pengalaman sendiri ataupun pengalaman aktor lain. Persepsi
tersebut diterjemahkan dalam simbolsimbol khusus. Kuswarno (2009) menyebutkan tiga premis
yang mendasari pemikiran interaksi simbolik oleh Blumer, yaitu 1) manusia bertindak terhadap
sesuatu berdasarkan makna yang ada pada sesuatu tersebut bagi mereka, 2) makna tersebut berasal
dari adanya interaksi sosial seseorang dengan orang lain, dan 3) makna tersebut mendapat
penyempurnaan saat proses interaksi sosial sedang berlangsung. Suatu realitas sosial terjadi karena
adanya interaksi antar individu. Dengan demikian, Djamhuri (2012) menyetakan bahwa dalam
pandangan sosiologis manusia memiliki kesadaran dan kemauan untuk bebas, sehingga dengan
kemauannya manusia dapat merubah suatu struktur dan keadaan yang ada.
5.3 Pendekatan Interpretif pada Penelitian Akuntansi

Berdasarkan pernyataan Denzin (1989) menunjukkan bahwa pendekatan secara


intepretif mencoba untuk memberikan suatu pengalaman baru yang dapat secara langsung diakses
oleh pembaca. Fokus pada penelitan interpretif adalah pengalaman hidup yang secara radikal
mengubah dan membentuk makna atau suatu arti yang mereka berikan sendiri bersama dengan
pengalaman mereka. Pendekatan secara interpretif didasarkan pada filosofi penelitian yang sangat
bertentangan dengan banyak tradisi dari penelitian ilmiah secara tradisional pada ilmu sosial.
Pendekatan hanya boleh digunakan ketika peneliti menguji hubungan antara masalah pribadi
dengan Lembaga-lembaga public yang telah dibuat untuk mengatasi masalah pribadi.

Pendekatan secara interpretif berbicara tentang hubungan timbal balik antara


kehidupan pribadi dan respon publik pada masalah-masalah pribadi. Melalui paradigma ini,
peneliti melihat segala sesuatu langsung dari aktor yang terlibat. Berusaha menjelaskan dan
menyelesaikan realitas sosial langsung dari sumber yang bersangkutan. Cara ini tidak diperoleh
ketika peneliti menggunakan paradigma positivis utamanya. Data hanya dikumpulkan melalui
sebuah instrumen yang kemudian dioleh menjadi kesimpulan. Tidak memperhatikan apa,
mengapa, dimana, siapa, yang seperti apa, dan bagaimana aktor dapat menjawab instrumen yang
peneliti berikan.

Paradigma intepretif bukan bertujuan untuk generalisasi sepertihalnya kebanyakan


penelitian dengan paradigma positifis, namun dikarenakan hal tersebut peneliti dapat menggali
secara lebih dalam berbagai hal tentang suatu realitas sosial di masyarakat. Beberapa keunggulan
yang dapat diberikan oleh paradigma ini adalah 1) dapat membantu peneliti mengidentifikasi
perbedaan pengertian atau pemahaman dari masalah yang sedang diteliti, 2) membantu
menemukan dan membuktikan secara benar fakta-fakta yang sering disembunyikan oleh aktor
yang berhubungan dengan masalah, 3) dapat mengidentifikasi titik strategi intervensi pada situasi
sosial, 4) dimungkinkan untuk melakukan sugesti terhadap kebijakan dan program untuk dapat
dinilai dan diinterpretasikan, dan 5) batas dari statistik dan evaluasi terhadap nilai statistik dapat
di ekspose secara lebih lanjut dan materi untuk menginterpretasi dapat lebih dilengkapi (Denzin,
2009:11).

Pengujian atau penelitian terkait dengan realitas sosial memunculkan dua objek, yaitu
aktor sebagai informan yang diteliti dan peneliti sebagai pencari informasi di lapangan.
Selanjutnya peneliti melakukan proses pencarian dan pengumpulan informasi kepada aktor yang
berperan langsung pada realitas dan sudut pandang yang ingin diteliti. Tentu terdapat dua sudut
pandang, yaitu dari aktor dan peneliti itu sendiri, dengan demikian perlu adanya suatu paradigma
atau pendekatan agar sudut pandang dapat mengerucut dan diperoleh pemahaman yang tepat.
Paradigma intepretif dipandang cocok dengan permasalahan ini dengan berbagai alasan yang telah
diungkapkan sebelumnya. Paradigma intepretif sendiri memiliki berbagai metode dalam
melakukan pendekatan, salah satunya adalah fenomenologi. Kuswarno (2009:110) menyebutkan
bahwa fenomenologi merupakan suatu analisis yang merekonstruksi kehidupan manusia yang
sebenarnya dalam bentuk apa yang mereka sendiri alami. Anggota masyarakat saling berbagi
persepsi dasar mereka terkait dengan dunia dan realitas yang mereka hadapi yang mereka
internalisasikan melalui sosialisasi yang memungkinkan mereka untuk melakukan interaksi dan
komunikasi.

Penelitian menggunakan paradigma intepretif dengan fenomenologi yang tidak murni,


dapat menggabungkannya dengan berbagai teori lain seperti konstruksi realitas secara sosial,
interaksi simbolik dan juga dramaturgi, dan juga manajemen komunikasi. Memahami kehidupan
aktor secara lebih mendalam dari simbol apa yang mereka munculkan hingga kehidupan mereka
ketika realitas tersebut atau di balik realitas tersebut dapat diungkapkan. Peneliti hanya
menggunakan sudut pandang aktor sebagai informan dalam pendekatan ini. Dengan demikian
peneliti dapat memandang realitas atau permasalahan secara lebih dekat. Ketika dihubungkan
dengan ilmu filsafat Barrell dan Morgan (1979), mengetahui secara lebih dekat dapat membantu
peneliti untuk mengetahui apakah realitas atau fenomena sosial tersebut hanya nominalisme atau
merupakan realisme. Hal ini berhubungan dengan aliran ilmu filsafat ontology. Realitas yang
terjadi apakah hanya sebuah konsep atau ide yang dimunculkan manusia untuk mendekatkan
pemahaman ataukah sebuah realisme atau kenyataan yang memang benar-benar terjadi. Peneliti
bahkan tidak dapat menduga informasi apakah yang akan didapatkan. Sehingga terdapat
kemungkinan terbukanya fokus-fokus ilmu lain yang sebelumnya tidak diduga oleh peneliti
sendiri. Tentu hasil yang didapat akan membuka pandangan penulis untuk menghasilkan
kesimpulan baru. Kesimpulan baru tersebut dapat digunakan sebagai informasi baru yang akan
mengembangkan ilmu pengetahuan sosial, bahkan memungkinkan untuk mendekatkan pada
terbukanya kebenaran suatu ilmu.
Cara pandang interpretif dalam berbagai aspeknya, secara umum selaras dengan cara
pandang non-positivisme. Secara lebih detail, beberapa cara pandang interpretif tersebut meliputi
(dengan perbandingan cara pandang positivisme):

a. Dimensi Ontologis. Dimensi ini meliputi bagaimana cara pandang peneliti terhadap
realitas yang diteliti. Realitas adalah subyektif dan berganda sebagaimana yang
diperlihatkan oleh partisipan dalam studi.
Non-Positivisme Positivisme
Realitas adalah subyektif dan berganda Realitas adalah obyektif dan tunggal,
sebagaimana yang diperlihatkan oleh terlepas dari peneliti
partisipan dalam studi.

b. Dimensi Epistemologis. Dimensi ini meliputi cara pandang tentang bagaimana hubungan
peneliti dengan yang diteliti.
Non-Positivisme Positivisme
Peneliti berinteraksi dengan yang diteliti Peneliti independen dari yang diteliti

c. Dimensi Aksiologis. Dimensi ini meliputi cara pandang tentang peranan nilai-nilai.
Non-Positivisme Positivisme
Value-laden dan bias Value-free dan tidak bias

d. Dimensi Retoris. Dimensi ini meliputi cara pandang atas bahasa penelitian.
Non-Positivisme Positivisme
- Informal - Formal
- Mengembangkan keputusan - Berdasarkan pada seperangkat definisi
- Personal voice - Impersonal voice
- Kata-kata kualitatif - Kata-kata yang dikuantifikasi

e. Dimensi Metodologis. Dimensi ini meliputi cara pandang atas dilakukannya proses
penelitian.
Non-Positivisme Positivisme
- Proses induktif - Proses deduktif
- Mutual simultaneous shaping of factors - Sebab akibat
- Emerging design; kategori-kategori - Static design; kategori-kategori
diidentifikasi selama proses penelitian ditentukan sebelum penelitian
- Dibatasi konteks - Bebas konteks
- Pola-pola, teori-teori dikembangkan - Generalisasi untuk prediksi dan
untuk memahami eksplanasi
- Akurasi dan keandalan melalui verifikasi - Akurasi dan keandalan melalui validitas
dan reliabilitas

Selanjutnya, secara spesifik, mengidentifikasi karakteristif riset dalam paradima


interpretif, beberapa penulis menyebutkan hal- sebagai berikut (lihat misalnya Salim (2001; 75-
76)):

Kriteria Interpretif
Tujuan penelitian Mengadakan pemahaman, pemaknaan dan rekonstruksi tindakan
social
Peran teori Sebagai langkah menyusun deskripsi dan pemahaman terhadap
kelompok masyarakat yang hendak ditelitinya
Sifat pengetahuan Merupakan rekonstruksi pemikiran individual yang kemudian
berkembang menjadi konsensus masyarakat
Peranan Common- Kekuatan teori berasal dari kehidupan keseharian yang harus dapat
sense digunakan oleh warga masyarakat secara maksimal
Akumulasi Lebih banyak laporan dari rekonstruksi pemikiran ; seolah berasal
pengetahuan dari pengalaman yang dimiliki sendiri
Lingkup eksplanasi Ideografis
Eksplanasi sejati Kesesuaian dari kehendak baik bagi mereka yang menyadari sedang
belajar
Bukti yang baik Ditanamkan dalam konteks interaksi social
Kriteria kualitas Bersifat terpercaya dan asli serta dapat mengandung salah pengertian
Nilai dan etika Nilai merupakan bagian integral dalam interaksi social
Voice “Passionate participant” sebagai fasilitator yang banyak pilihan dan
kemampuan merekonstruksi

6. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa :
6.1 Paradigma merupakan sistem kepercayaan hasil dari konstruksi manusia yang dianut
oleh ilmuwan yang didasarkan pada asumsi-asumsi ontologis (bentuk dan sifat
realitas), epistemologis (sifat hubungan mengetahui dan objek yang diketahui), dan
metodologis (cara mengetahui objek) (Atmadja 2014:3). Paradigma ini terfokus pada
interpretasi symbol, Bahasa, pemahaman ilmu social maupun pemikiran manusia.
Dimana dalam ilmu sosiologi yang merupakan ilmu yang mempelajari terkait perilaku
manusia sebagai makhluk social yang saling mempengaruhi secara inheren. Terdapat
empat dimensi sebagai (a) solipsism: (b) fenomenologi; (c) sosiologi fenomenologis:
(d) hermeneutika.
6.2 Ilmu sosial dikonseptualiasikan menjadi empat asumsi oleh Burrell dan Morgan
(1979), yaitu berkaitan dengan Ontology, Episthemology, Human Nature, dan
Methodology. Adanya sosiologi intepretif berupaya untuk melakukan konstruksi ulang
terhadap struktur sosial ketika interaksi sosial sedang berlangsung dengan pamahaman
keseluruhan aktor yang terlibat.
6.3 Denzin (1989) menunjukkan bahwa pendekatan secara intepretif mencoba untuk
memberikan suatu pengalaman baru yang dapat secara langsung diakses oleh pembaca.
Fokus pada penelitan interpretif adalah pengalaman hidup yang secara radikal
mengubah dan membentuk makna atau suatu arti yang mereka berikan sendiri bersama
dengan pengalaman mereka. Cara pandang interpretif dalam berbagai aspeknya, secara
umum selaras dengan cara pandang non-positivisme.

7. REFERENSI
Atmadja, N. Bawa. 2014. Saraswati Dan Ganesha Sebagai Simbol Paradigma
Interpretivisme Dan Positivisme: Visi Integral Mewujudkan Iptek Dari Pembawa
Musibah Menjadi Berkah Umat Manusia. Pustaka Larasan. Denpasar.
Burrel, G. dan G. Morgan. 1979. Sociological Paradigms and Organisational Analysis.
Ashgate Publishing Company, USA.
Budianto, I.M. 2002. Realitas dan Obyektifitas. Penerbit Wedatama Widya Sastra.
Jakarta.
Chua, W.F. 1986. Radical Developments in Accounting Thought. The Accounting Review.
Vol. 61, No. 4 (Oct); 601-632.
Creswell, J.W. 2007. Qualitative Inquiry & Research Design Choosing among Five
Approaches. 2nd ed. Sage Publications Inc. USA.
Denzin, Norman K. & Lincoln, Yvonna S. (eds.). Handbook of Qualitative Research.
Thousand Oaks, London, New Delhi: SAGE Publications.
Djamhuri, A., 2012. Ilmu Pengetahuan Sosial dan Berbagai Paradigma dalam Kajian
Akuntansi. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 2(1).
Faisal, Sanapiah. ____ “Karakteristik dan Jenis Penelitian Kualitatif”, Makalah lepas,
tanpa tahun. Given, Lis M. (ed.). 2008. The Sage Encyclopedia of Qualittaive
Research Methods. Los Angeles, London, New Delhi, Singapore: SAGE
Publications.
Hendrarti, Dwi Windyastuti Budi. 2010. “Konsep Dasar dan Isu Penelitian Kualitatif”,
Makalah pada Pelatihan Metodologi Penelitian Kualitatif (Teori & Praktek), oleh
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya, 9- 11 Februari
2010.
Kuswarno, E., 2009. Fenomenologi: metode penelitian komunikasi: konsepsi, pedoman,
dan contoh penelitiannya. Widya Padjadjaran.
Lannai, D., M. Sudarma, G. Irianto, dan U. Ludigdo. 2014. "Phenomenology Study About
Performance Meaning At Indonesia Foundation (Case Studies At Wakaf
Foundation Of Indonesian Muslim University)." International Journal of Business
and Management Invention, Vol. 3, No. 5, hlm 8–16.
Ludigdo, U., 2014. Seputar Etika dalam Riset. Bahan ajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya
Salim, A. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (dari Denzin Guba dan
Penerapannya). Tiara Wacana, Yogyakarta.
Triyuwono, I. 2012. Akuntansi Syari’ah: Perspektif, Metodologi, dan Teori. Edisi ke-3.
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Patton, Michael Quinn. 1990. Qualitative Evaluation and Research Methods. Newbury
Park, London, New Delhi: Sage Publications.

Anda mungkin juga menyukai