Anda di halaman 1dari 19

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
BUDAYA politik sebagai salah satu bagian kebudayaan merupakan satu di antara
sekian jenis lingkungan yang mengelilingi, mempengaruhi, dan menekan sistem politik1.
Dalam Budaya (kultur) politik itu berinteraksi sejumlah sistem (sistem ekonomi, sistem
sosial, dan sistem ekologi) yang tergolong dalam kategori lingkungan dalam-masyarakat
(intra-societal environment) ataupun lingkungan luar-masyarakat (extra-societal
environment) sebagai hasil kontak sistem politik dengan dunia luar.
Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan
bukan merupakan tujuan pribadi seseorang (private goals). Konsep- konsep pokok yang
dikandung dalam pengertian politik adalah : negara (state), kekuasaan (power), pengambilan
keputusan (decision making), kebijakan (policy), serta pembagian (distribution) dan alokasi
(allocation).3 Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai
kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Kekuasaan adalah kemampuan
seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain
sesuai dengan keinginan pelaku.
Keputusan adalah membuat pilihan di antara beberapa alternatif pilihan. Pengambilan
keputusan menunjuk kepada proses yang terjadi sampai keputusan itu tercapai. Pengambilan
keputusan sebagai konsep pokok politik menyangkut keputusan-keputusan yang diambil
secara kolektif dan mengikat seluruh masyarakat. Keputusan-keputusan itu dapat menyangkut
tujuan masyarakat atau kebijakan-kebijakan untuk mencapai tujuan itu. Setiap proses
membentuk kebijakan umum atau kebijakan pemerintah adalah hasil dari suatu proses
mengambil keputusan yang akhirnya ditetapkan sebagai kebijakan pemerintah. Kebijakan
adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik
dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Pada
prinsipnya pihak yang membuat kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk
melaksanakannya.

1
Koentjaraningrat, Rintangan-rintangan Mental dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia, Lembaga Riset
Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1969, hlm. 17.
2

Bentuk dari budaya politik dalam suatu masyarakat dipengaruhi antara lain oleh
sejarah perkembangan dari sistem, oleh agama yang terdapat dalam masyarakat itu,
kesukuan, status sosial, konsep mengenai kekuasaan, kepemimpinan, dan sebagainya.
Menurut Samuel H.Beer dan Adam B. Ulam serta Gilbert Abcarian dan George S. Masannat,
umumnya dianggap dalam sistem politik terdapat empat variabel, yaitu : (1) kekuasaan –
sebagai cara untuk mencapai hal yang diinginkan antara lain membagi sumber-sumber di
antara kelompok-kelompok dalam masyarakat; (2) kepentingan – tujuan-tujuan yang dikejar
oleh pelaku-pelaku atau kelompok politik; (3) kebijakan – hasil dari interaksi antara
kekuasaan dan kepentingan, biasanya dalam bentuk peraturan perundang-undangan; serta (4)
budaya politik – orientasi subjektif dari individu terhadap sistem politik.5 Jadi, menurut
mereka, budaya politik merupakan salah satu variabel dari sistem politik.
Oleh karena itu, berdasarkan tema “Budaya Nusantara Sebagai identitas dasar dalam
bermasrakat dan bernegara” maka disusunlah makalah yang berjudul “Perkembangan
Kebudayaan Politik sebagai salah satu identitas suatu negara dalam mencapai demokrasi dan
mewujudkan Peran Kader HmI Dalam Membentuk Pemimpin Yang Berkarakter”.
B. Identifikasi Masalah
1. Apa itu budaya politik ?
2. Bagaimana dampak budaya politik dalam suatu system politik ?
3. Apakah demokrasi itu dalam suatu 2negara ?
4. Bagaimana Peran Kader HmI Dalam Membentuk Pemimpin Yang Berkarakter ?
5. Bagaimana Perkembangan Pemikiran Politik HmI ?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian budaya politik
2. Mengetahui dampak politik dalam suatu system politik
3. Mengetahui apa demokrasi itu dalam suatu Negara
4. Mengetahui peran kader HmI dalam membentuk pempimpin yang berkaraktek
5. Mengetahui perkembangan pemikiran politik HmI
3

BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Budaya Politik


Budaya politik merupakan pola perilaku suatu masyarakat dalam kehidupan bernegara,
penyelenggaraan administrasi negara, politik pemerintahan, hukum, adat istiadat, dan norma
kebiasaan yang dihayati oleh seluruh anggota masyarakat setiap harinya. Budaya politik juga
dapat di artikan sebagai suatu sistem nilai bersama suatu masyarakat yang memiliki
kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif dan penentuan
kebijakan publik baik masyarakat maupun santri.Almond menawarkan beberapa kata kunci
untuk memahami budaya politik,yakni identitas nasional,kesadaran kelas,motivasi untuk
berprestasi,keyakinan akan kebebasan dan persamaan,efektivitas politik dan kepercayaan
pada pemerintah.
Identitas nasional merupakan suatu sikap untuk mengukur kesatuan dan stabilitas nasional
suatu masyarakatKontek ini yang nantinya dapat digunakan untuk melakukan analisa
terhadap tinggi atau rendahnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan dan system
politik.Contoh identitas nasional di Italia dianggap sama intensitasnya dengan identitas
nasional di Tanzania,sebuah Negara yang baru lahir sekitar 35 tahun lalu .Hal ini dikarenakan
pemerintah Tanzania telah melakukan sosialisasi secara sistematik dalam pembentukan
negaranya demi mengembangkan dasar-dasar dukungan rakyat.Sementara Italia meskipun
negara modern,namun rakyatnya masih terikat kuat dengan ikatan lokalisme dan regionalism.
Kesadaran kelas merupakan sekumpulan sikap yang sangat mempengaruhi struktur dari
sistem kepartaian dan stabilitas pemerintahan. Ini berguna untuk memprediksi orientasi
pemilih terhadap suatu partai politik dan penilaian rakyat terhadap pemerintahan. Sebagai
contoh, di beberapa negara Eropa, kaum buruh dan golongan berpenghasilan rendah
cenderung memberikan suaranya untuk Partai Buruh, Partai Sosialis atau Partai Komunis.
Sementara mereka yang datang dari golongan kelas menengah dan profesional cenderung
memilih partai yang liberal dan konservatif.
Motivasi untuk berprestasi merupakan idiom penting untuk mengukur keinginan rakyat
dalam memperoleh kecakapan atau kekayaan material. Mereka akan berpartisipasi dalam
politik jika menganggap bahwa sistem politik yang ada dapat mengakomodir hal itu.23

2
A Almond, Gabriel, Sidney Verba.1984. Budaya Politik,kutip Drs.sahat simomora Hlm 13

.
4

Sikap-sikap lain seperti keyakinan akan kebebasan, persamaan, dan efektivitas politik
merupakan kepercayaan masyarakat pada kemampuannya sendiri untuk merealisasikan
kebutuhannya dan menyatakan tuntutannya secara efektif dalam kehidupan politik. Biasanya
keyakinan-keyakinan ini muncul di negara-negara yang menggunakan sistem demokrasi.
Terakhir, kepercayaan terhadap pemerintahan menjadi tolak ukur penting untuk
menganalisa budaya politik suatu masyarakat. Masyarakat yang sudah kehilangan
kepercayaannya terhadap pemirintahan yang sah (ini artinya pemerintah sudah tidak lagi
berwibawa terhadap rakyatnya), akan mengambil dua alternatif sikap: tidak perduli dengan
pemerintahan atau sebaliknya sangat ingin menggulingkan pemerintahan.
Gabriel A. Almond dan Sidney Verba mengaitkan budaya politik dengan orientasi dan
sikap politik seseorang terhadap sistem politik dan bagian-bagiannya yang lain serta sikap
terhadap peranan kita sendiri dalam sistem politik. Gabriel A. Almond dan Sidney
Verba melihat bahwa dalam pandangan tentang objek politik, terdapat tiga komponen yaitu:
Komponen Kognitif, yaitu kemampuan yang menyangkut tingkat pengetahuan dan
pemahaman serta kepercayaan dan keyakinan seorang santri terhadap jalannya sistem politik
dan atributnya, seperti tokoh-tokoh pemerintahan, kebijaksanaan yang mereka ambil, atau
mengenai simbol-simbol yang dimiliki oleh sistem politiknya, seperti ibukota negara,
lambang negara, kepala negara, batas-batas negara, mata uang yang dipakai, dan lain
sebagainya
Komponen Afektif, yaitu menyangkut perasaan seorang warga negara terhadap sistem
politik dan peranan yang dapat membuatnya menerima atau menolak sistem politik itu.
Komponen Evaluatif, yaitu menyangkut keputusan dan praduga tentang obyek-obyek politik
yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan
perasaan. Eagly dan Chaiken mengemukakan bahwa sikap seorang santri dapat diposisikan
sebagai hasil evaluasi terhadap objek politik, yang diekspresikan ke dalam proses-proses
kognitif, afektif, dan perilaku. Sebagai hasil evaluasi, sikap yang disimpulkan dari berbagai
pengamatan terhadap objek diekspresikan dalam bentuk respon kognitif, afektif (emosi),
maupun perilaku. Gabriel A. Almond mengajukan pengklasifikasian budaya politik sebagai
berikut:
1. Budaya politik parokial, yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang
disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah).

A Almond, Gabriel, Sidney Verba.1984. Budaya Politik Tingkah Laku Politik,


dan Demokrasi Politik di Lima Negara. Jakarta. Bina Aksara. Hlm 12
5

2. Budaya politik kaula atau subyek, yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju
tetapi masih bersifat pasif.
3. Budaya politik partisipan, yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik
sangat tinggi.
Dari ketiga komponen tersebut di atas yang digunakan penulis untuk menentukan budaya
politik santri pada pondok pesantren Tebuireng Kabupaten Jombang.
Semua tipe kebudayaan politik merupakan skala suatu titik awal karena kesenjangan
dapat terjadi dalam bentuk penolakan terhadap seseorang pemegang jabatan dan peranan
pentingdalam suatu perubahan sistematik, yaitu peralihan dari suatu kebudayaan politik yang
lebih sederhana menuju pola yang lebih kompleks. Berbagai kebudayaan politik dapat saja
tetap bersifat campuran untuk waktu yang yang lama. Apabila kebudayaan tetap bersifat
campuran, maka akan terjadi ketegangan antara kultur dan struktur serta adanya
kecenderungan sifat menuju instabilitas struktural. Ada beberapa tipologi kebudayaan politik
yang bersifat murni, maka dapat dibedakan 3 bentuk kebudayaan politik:
1.1.1 Kebudayaan Subyek-Parokial
Kebudayaan subyek parokial adalah suatu tipe kebudayaan politik di mana
sebagian besar penduduk menolak tuntutan-tuntutan eksklusif masyarakat desa atau
otoritas feodal dan telah mengembangkan kesetiaan terhadap sistem politik yang lebih
kompleks dengan struktur-struktur pemerintahan pusat yang bersifat khusus.
1.1.2. Kebudayaan Partisipan-Subyek
Kebudayaan partisipan-subyek ini mempunyai proses peralihan dar kebudayaan
parokial menuju kebudayaan subyek yang dilakukan pasti mempengaruhi cara
bagaimana proses peralihan dari budaya subyek menuju budaya partisipan
berlangsung. Seperti ditunjukkan oleh Gabriel dan Verba bahwa penanaman rasa
loyalitas nasional dan identifikasi, serta kecenderungan untuk mentaati peraturan
pemerintahan pusat, merupakan masalah prioritas yang pertama bagi bangsa-bangsa
yang baru muncul.
6

1.1.3. Kebudayaan Parokial-Partisipan


Dalam kebudayaan ini kita mendapatkan masalah kontemporer mengenai
pembangunan kebudayaan di sejumlah Negara yang sedang berkembang. Di negara
ini budaya politik yang dominan adalah budaya parokial. Norma-norma struktural
yang telah diperkenalakan biasanya bersifat partisipan, demi keselarasan mereka
menuntut suatu kultur partisipan. Sehingga persoalan yang erlu ditanggulangi ialah
mengembangkan orientasi input dan output secara simultan. Bukan suatu hal yang
aneh jika hampir semua sistem politik ini terancam oleh fragmentasi parokial, karean
tidak ada struktur untuk bersandar bagi masyarakat, birokrasi tidak berdiri tegak
terhadap kesetiaan masyarakatnya, sedangkan infrastruktur tidak berakar dari
warganegara yang kompeten dan bertanggungjawab.
Dari penjelasan di atas bahwa hampir semua budaya politik itu bersifat heterogen.
Budaya politik santri pada Pondok Pesantren Tebuireng ini masuk pada tipologi
budaya politik campuran parokial-partisipan. Karena di dalam kebudayaan politik
parokial-partisipan lebih berorientasi kearah partisipasi, tetapi masih saja terdapat
perbedaan pokok dalam orientasi politik. Demikin pula di Pondok Pesantren
Tebuireng ini bahwa santri sangat ingin berpartisipasi terhadap jalannya sistem politik
di Indonesia, hanya saja santri masih terikat oleh pesantren dan Kyai. Dari sini lah
santri masih pasih untuk lebih mengedepankan pengaruh sosial-politiknya terhadap
politik praktis.
Konsep budaya politik muncul dan mewarnai wacana ilmu politik pada akhir
Perang Dunia II, sebagai dampak perkembangan ilmu politik di Amerika Serikat.
Sebagaimana diungkapkan oleh banyak kalangan ilmuwan politik, setelah PD II
selesai, di Amerika Serikat terjadi apa yang disebut revolusi dalam ilmu politik, yang
dikenal sebagai Behavioral Revolution, atau ada juga yang menamakannya dengan
Behavioralism.23 Behavioral revolution terjadi dalam ilmu politik adalah sebagai
dampak dari semakin menguatnya tradisi atau madzhab positivisme, sebuah paham
yang percaya bahwa ilmu sosial mampu memberikan penjelasan akan gejala sosial
seperti halnya ilmu-ilmu alam memberikan penjelasan tehadap gejala-gejala alam,
dalam ilmu sosial, termasuk ilmu politik. Paham ini sangat kuat diyakini oleh tokoh-
tokoh besar sosiologi, seperti Herbert Spencer, Auguste Comte, juga Emile
Durkheim.45

4
Afan Gaffar, Politik Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), Hlm 97
7

Paham positivisme merupakan pendapat yang sangat kuat di Amerika Serikat


semenjak Charles E. Merriam mempeloporinya di Universitas Chicago, yang
kemudian dikenal sebagai The Chicago School atau Madzhab Chicago, yang memulai
pendekatan baru dalam ilmu politik. Salah satu dampak yang sangat menyolok dari
behavioral revolutuion ini adalah munculnya sejumlah teori, baik yang bersifat grand
maupun pada tingkat menengah (middle level theory). Kemudian, ilmu politik
diperkaya dengan sejumlah istilah, seperti misalnya sistem analysis, interest
aggregation, interest articulation, political socialization, politic culture, conversion,
rule making, rule aplication, dan lain sebagainya.
Miriam Budiardjo menyatakan bahwa salah satu aspek penting dalam sistem politik
adalah budaya politik yang mencerminkan faktor subyektif. Budaya politik adalah
keseluruhan dari pandangan-pandangan politik, seperti norma- norma, pola-pola orientasi
terhadap politik dan pandangan hidup pada umumnya. Budaya politik mengutamakan
dimensi psikologis dari suatu sistem politik, yaitu sikap-sikap, sistem-sistem kepercayaan,
simbol-simbol yang dimiliki oleh individu-individu dan beroperasi di dalam seluruh
masyarakat, serta harapan- harapannya.
Menurut ahli psikologi sosial, yang memandang bahwa belajar sebagai suatu proses yang
berakhir dengan terjadinya perubahan pola tingkah laku seseorang. Menurut para ahli itu,
bahwa nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan dalam suatu masyarakat, termasuk didalamnya
nilai-nilai politik, senantiasa mengalami proses transformasi, pemahaman dan internalisasi ke
dalam individu melalui tiga mekanisme utama, yakni asosiasi, peneguhan dan imitasi, di
mana tingkah laku para aktor politik penting ditiru, sebagai bagian dari perilaku masyarakat.
Dari tiga proses di atas, apa yang disebut nilai-nilai dan kebiasaan- kebiasaan yang
membentuk budaya politik dan diwariskan dari generasi ke generasi untuk kemudian
mendikte orientasi, sikap dan tingkah laku politik santri dalam kebudayaaan. Pada dimensi
inilah keterkaitan antara budaya politik santri dengan sikap dan tingkah laku politik, termasuk
didalamnya partisipasi politik. Dimensi lain yang cukup mendasar perlu dicermati, adalah
refleksi dari proses budaya politik santri dalam upaya menjabarkan kekuasaan masyarakat,
sebagai cerminan wajah nyata dari orientasi, sikap dan tingkah laku.

5
Arifin, Rahman. 2002. Sistem Politik Indonesia dalam Perspektif Struktural
Fungsional. Surabaya. SIC hlm 21
Afan Gaffar, Politik Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), hlm 97
8

2.1 Dampak Budaya Politik Dalam Suatu Sistem Politik


Suatu sosok pemimpin dengan gaya kepemimpinannya dalam suatu sistem politik yang
mengambil penekanan pada suatu tipe budaya politik tertentu akan berdampak pada suasasna
sistem politik yang bersangkutan.
2.1.1 Dampak dari Budaya Politik Kaula
Oleh karena budaya politik kaula memposisikan individu atau kelompok dalam
keadaan pasif sehingga apatis, maka partisipasi mereka kepada pengem- bangan kehidupan
politik suatu pemerintahan/institusi dalam suatu sistem politik rendah. Pada gilirannya
lembaga tidak dapat memanfaatkan potensi mereka untuk peningkatan lembaga dan
kesejahteraan umum/bersama. Pada sisi lain, budaya politik kaula dapat membentuk
kepemimpinan korup, otoriter, despotis.

2.1.2 Dampak dari Budaya Politik Parokial


Oleh karena budaya politik parokial memposisikan individu atau kelompok dalam
lingkup kedaerahan yang sempit, maka partisipasi mereka kepada pengembangan kehidupan
politik suatu pemerintahan/institusi dalam suatu sistem politik terkotak-kotak berdasarkan
asal daerahnya masing-masing. Pada gilirannya partisipasi individu atau kelompok terhadap
pengembangan kehidupan politik suatu pemerintahan/institusi dalam suatu sistem politik
rendah dan kesejahteraan tidak merata. Dalam konteks negara dapat muncul paham
tribalisme.
2.1.3 Dampak dari Budaya Politik Primordial
Oleh karena budaya politik primordial memposisikan individu atau kelompok pada
pilihan pertemanan atau perhimpunan yang sempit untuk memuluskan kepentingannya dalam
suatu sistem politik, maka kontribusi atau partisipasi individu atau kelompok terhadap
pengembangan kehidupan politik suatu pemerintahan/institusi dalam suatu sistem politik
terbatas. Individu-individu atau kelompok-kelompok terfragmentasi ke dalam kepentingan-
kepentingan yang dapat saja menghambat atau bahkan anti kemajuan suatu
pemerintahan/institusi dalam suatu sistem politik di mana mereka berada.
2.1.4 Dampak dari Budaya Politik Partisipan
Oleh karena budaya politik partisipan memposisikan individu atau kelompok sebagai
anggota aktif dari suatu pemerintahan/institusi dalam suatu sistem politik, maka kontribusi
atau partisipasi individu atau kelompok terhadap pengembangan kehidupan politik suatu
pemerintahan/institusi dalam suatu sistem politik tinggi. Oleh karena kepemimpinan
memperhatikan prinsip-prinsip persamaan, kebebasan, partisipasi, transparansi, toleransi, dan
akuntabilitas publik dari demokrasi, maka dapat mendorong partisipasi aktif dalam suasana
demokratis dari segenap warga yang pada gilirannya lembaga bisa memetik kemajuan
kehidupan politik dalam suatu sistem politik yang signifikan.

Dalam ulasan mengenai Menyongsong Budaya Politik Masa Depan, Soetjipto


Wirosardjono mengemukakan :
6

6
Rais, Amin. 1986. Pengantar Dalam Demokrasi dan Proses Politik, LP3ES. Jakarta. Hal 12
9

Falsafah, kelembagaan, wahana, dan pendidikan politik itu dalam dinamikanya,


berhadapan dengan realitas sosial, dan budaya yang berkembang dan berubah. Banyak
negara, untuk sampai pada kemapanan dalam budaya politik mem- butuhkan waktu ratusan
tahun. Keragaman budaya yang melatarbelakangi pem- bentukan sebuah nation yang
memiliki ketangguhan ideologi membutuhkan waktu untuk mengendapkan hadirnya budaya
politik yang mantap. Budaya politik mantap ialah perilaku politik yang mencerminkan secara
utuh dan setara dengan derajat perkembangan kebudayaan yang telah dicapai oleh bangsa itu.
Selanjutnya, dalam ulasan mengenai Menyongsong Budaya Politik Masa Depan,
Soetjipto Wirosardjono mengingatkan :
Bagi Indonesia, dasar ideologi kehidupan berbangsa dan bernegara ialah Pancasila.
Pengamalan Pancasila akan berhadapan dengan dinamika masyarakat yang tetap berubah,
berkembang, dan maju. Oleh karena itu, Pancasila ialah ideologi terbuka. Oleh karena
terbuka, tentulah ideologi ini bersikap reseptive terhadap gagasan dan cara pandang baru
serta mutakhir mengenai dimensi pengamalan sila-silanya, sepanjang kerangka batas lima sila
yang ditegakkan itu. Corak keterbukaanya ialah yang akan tetap membuat Pancasila ideologi
yang operasional untuk dilaksanakan, dipraktikkan, dan diamalkan. Oleh karena kriteria
operatifnya membuka diri guna menampung perkembangan yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia.
3.1.Demokrasi
Demokrasi merupakan tatanan hidup bernegara yang menjadi pilihan negara-negara di
dunia pada umumnya. Demokrasi lahir dari tuntutan masyarakat barat akan persamaan hak
dan kedudukan yang sama di depan hukum. Hal ini terjadi karena pada masa sebelum adanya
deklarasi Amerika dan Perancis, setiap warga dibeda-bedakan kedudukannya baik di depan
hukum maupun dalam tatanan sosial masyarakat.
Demokrasi yang berasal dari kata demos dan kratos berarti pemerintahan dari untuk oleh
rakyat. Amin Rais mengartikan demokrasi sebagai dasar hidup bernegara pada umumnya
yang memberikan pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan
dalam masalah- masalah pokok yang mengenai kehidupannya termasuk dalam menilai
kebijaksanaan pemerintah negara oleh karena kebijaksanaannya tersebut menentukan
kehidupan rakyat. Dengan demikian demokrasi adalah pemerintahan yang diselenggarakan
berdasarkan kehendak dan kekuasaan rakyat. Atau jika ditinjau dari sudut organisasi ia
berarti sebagai suatu pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas
persetujuan rakyat karena kedaulatan berada ditangan rakyat.
10

Perjalanan sejarah demokrasi di Indonesia telah membuktikan bahwa tidak selamanya


demokrasi dilaksanakan sesuai dengan konstitusi. Kenyataan silih bergantinya sistem
demokrasi di Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai lahirnya Maklumat Wakil Presiden
Nomor X, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, sampai pada munculnya reformasi
menunjukkan betapa dominannya peranan (pemerintahan) negara dalam memberikan warna
terhadap sistem demokrasi di Negara Indonesia. Sementara rakyat sebagai pemegang
kedaulatan negara dipaksa mengikuti kemauan dan kekuatan elite politik yang sedang
berkuasa dalam menjalankan demokrasi.
Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya
berasal dari rakyat baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan
(demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani yaitu demokratia (kekuasaan
rakyat), yang dibentuk dari kata demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan), merujuk pada sistem
politik yang muncul pada pertengahan abad ke 5 dan ke 4 SM di kota Yunani Kuno
khususnya Athena.10 Dapat diartikan secara umum bahwa demokrasi adalah pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Begitulah pemahaman yang sederhana tentang
demokrasi, yang diketahui oleh hampir semua orang.
4.1 Peran Kaderi HmI Dalam Membentuk Pemimpin Yang Berkarakter
Terlihat dalam tubuh organisasi, kader memiliki fungsi tersendiri yaitu sebagai tenaga
penggerak organisasi, sebagai calon pemimpin, dan sebagai benteng organisasi. Secara
kualitatif, kader mempunyai mutu, kesanggupan bekerja dan berkorban yang lebih besar
daripada anggota biasa. Kader itu adalah anggota inti. Kader merupakan benteng dari
“serangan” dari luar serta penyelewengan dari dalam. Ke dalam tubuh organisasi, kader
merupakan pembina yang tidak berfungsi pemimpin. Kader adalah tenaga penggerak
organisasi, yang memahami sepenuhnya dasar dan ideologi perjuangan. Ia mampu
melaksanakan program perjuangan secara konsisten di setiap waktu, situasi, dan tempat.
Terbawa oleh fungsinya itu, untuk menjadi kader organisasi yang berkualitas, anggota harus
menjalani pendidikan, latihan, dan praktikum. Pendidikan kader harus dilaksanakan secara
terus menerus dan teratur, rapi dan berencana, yang diatur dalam pedoman perkaderan.
Kongres ke-8 HMI tahun 1966 merumuskan pengertian kader adalah tulang punggung
organisasi, pelopor, penggerak, pelaksana, penyelamat cita-cita HMI masa kini dan yang
akan datang dimanapun berada, tetap berorientasi kepada asas dan syariat islam.7

7
Agussalim Sitompul, 44 Indikator Kemunduran HMI, CV Misaka Galiza, Jakarta, 2008, hlm. 10.
11

Definisi dan pengertian diatas, setidaknya terdapat tiga ciri yang terintegrasi dalam diri
seorang kader. Pertama, seorang kader bergerak dan terbentuk dalam organisasi. Kader
mengenal aturan permainan organisasi sesuai dengan ketentuan yang ada, seperti NDP dalam
pemahaman yang integralistik dengan Pancasila dan UUD 1945. Dari segi operasionalisasi
organisasi, kader selalu berpegang dan mematuhi AD/ART HMI, pedoman perkaderan, dan
ketentuan lain. Kedua, seorang kader mempunyai komitmen yang tinggi secara terus
menerus, konsisten dalam memperjuangkan dan melaksanakan kebenaran. Ketiga, seorang
kader mempunyai bakat dan kualitas sebagai tulang punggung yang mampu menyangga
kesatuan kumpulan manusia yang lebih besar. Jadi, fokus seorang kader terletak pada
kualitas. Kader HMI adalah anggota HMI yang telah menjalani proses perkaderan sehingga
memiliki ciri kader, yang integritas kepribadian yang utuh, beriman, berilmu, dan beramal
shaleh sehingga siap mengemban tugas dan amanah dalam kehidupan beragama,
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Mengingat fungsi HMI sebagai organisasi kader, maka seluruh aktivitasnya harus dapat
memberi kesempatan berkembang bagi kualitas- kualitas pribadi anggota-anggotanya. Sifat
kekaderan HMI dipertegas dalam pasal 4 Anggaran Dasar HMI yaitu Terbinanya insane
kademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan islam, dan bertanggung jawab atas
terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT. Tujuan HMI ini telah
memberi tuntunan kemana perkaderan HMI diarahkan. Anggota HMI yang merupakan
human material yang dihadapi HMI untuk dibina dan dikembangkan menjadi kader HMI,
adalah mereka yang memiliki kualitas-kualitas sebagai: a) mahasiswa, yaitu mereka yang
telah mencapai tingkat pendidikan intelektual tertentu, calon sarjana, dan potensial menjadi
intelegensia, b) kader yaitu mereka yang memiliki kesediaan untuk berlatih dan
mengembangkan kualitas pribadinya guna menyongsong tugas masa depan umat Islam dan
bangsa Indonesia, c) pejuang, yaitu mereka yang ikhlas, bersedia berbuat dan berkorban guna
mencapai cita-cita umat Islam dan bangsa Indonesia pada waktu sekarang dan yang akan
datang. Pada hakekatnya, tugas pokok HMI adalah tugas perkaderan yang mana semua
kegiatannya hendaklah menggambarkan fungsi kekaderannya sehingga membentuk profil
kader yang ideal, yaitu Muslim intelektual profesional.
Tujuan HMI sebagai tujuan umum yang hendak dicapai oleh HMI menjadi garis
arah dan titik sentral seluruh kegiatan dan aktivitas perkaderan HMI. Konsekuensi
dari tujuan itu maka dengan sendirinya tujuan merupakan ukuran/norma dari semua
kegiatan HMI. Dengan demikan kegiatan-kegiatan HMI benar-benar relevan dengan
tujuannya. Bagi anggota, tujuan organisasi merupakan titik pertemuan persamaan
12

kepentingan yang paling pokok dari seluruh anggota. Oleh karena itu peranan anggota
dalam pencapaian tujuan organisasi adalah sangat besar dan menentukan.
Kualitas tersebut sebagaimana dalam pasal tujuan (pasal 4 AD HMI) adalah
sebagai berikut:
4.1.1. Kualitas Insan Akademis
Berpendidikan Tinggi, berpengetahuan luas, berfikir rasional, obyektif, dan
kritis. Memiliki kemampuan teoritis, mampu memformulasikan apa yang diketahui
dan dirahasiakan. Dia selalu berlaku dan menghadapi suasana sekelilingnya dengan
kesadaran. Sanggup berdiri sendiri dengan lapangan ilmu pengetahuan sesuai dengan
ilmu pilihannya, baik secara teoritis maupun tekhnis dan sanggup bekerja secara
ilmiah yaitu secara bertahap, teratur, mengarah pada tujuan sesuai dengan prinsip-
prinsip perkembangan. Aktualisasi untuk saat ini adalah sebagai insan akademis,
dihadapkan pada kehidupan yang serba praktis dengan berbagai kepentingan asal
menguntungkan seperti ini, terkadang kita mengorbankan status akademisi kita dan
lebih memilih untuk menjadi pelacur intelektual. Kader HMI tetap harus menjaga
independensi akademisinya, mengesampingkan kepentingan- kepentingan praktis,
melakukan inovasi-inovasi sesuai dengan bidang ilmunya guna mendukung dan
mensukseskan bangsanya dalam mencetak pribadi pemimpin yang berkarakter guna
menopang pembangunan nasional. Bukan malah mengabdi kepada kepentingan asing
yang bisa merugikan bangsanya.
4.1.2 Kualitas Insan Pencipta
Sanggup melihat kemungkinan-kemungkinan lain yang lebih dari sekedar yang
ada dan bergairah besar untuk menciptakan bentuk-bentuk baru yang lebih baik dan
bersikap dengan bertolak dari apa yang ada (yaitu Allah). Berjiwa penuh dengan
gagasan- gagasan kemajuan, selalu mencari perbaikan dan pembaharuan. Bersifat
independen dan terbuka, tidak isolatif, insan yang menyadari dengan sikap demikian
potensi, kreatifnya dapat berkembang dan menentukan bentuk yang indah-indah.
Dengan ditopang kemampuan akademisnya dia mampu melaksanakan kerja
kemanusiaan yang disemangati ajaran Islam.
4.1.3 Kualitas Insan Pengabdi
Ikhlas dan sanggup berkarya demi kepentingan orang banyak atau untuk sesama
umat. Sadar membawa tugas insan pengabdi, bukannya hanya membuat dirinya baik
tetapi juga membuat kondisi sekelilingnya menajadi baik. Insan akdemis, pencipta
dan mengabdi adalah yang bersungguh-sungguh mewujudkan cita-cita dan ikhlas
13

mengamalkan ilmunya untuk kepentingan sesamanya. Aktualisasinya dalam


permasalahan yang ada saat ini khususnya untuk mencetak pribadi pemimpin yang
berkarakter guna menopang pembangunan nasional, kader HMI harus memiliki
kesadaran social, sehingga ia tidak hanya mencari keuntungan untuk dirinya sendiri,
namun ia juga mampu membangun lingkungan masyarakatnya, sehingga bisa
sejahtera bersama-sama.
4.1.4 Kualitas Insan Yang Bernafaskan Islam
Ajaran Islam yang telah menjiwai dan memberi pedoman pola fikir dan pola
perilakunya tanpa memakai merk Islam. Islam akan menjadi pedoman dalam berkarya
dan mencipta sejalan dengan nilai-nilai universal Islam. Dengan demikian Islam telah
menapasi dan menjiwai karyanya. Ajaran Islam telah berhasil membentuk “unity
personality” dalam dirinya. Nafas Islam telah membentuk pribadinya yang utuh
tercegah dari split personality tidak pernah ada dilema pada dirinya sebagai warga
negara dan dirinya sebagai muslim insan ini telah mengintegrasikan masalah
suksesnya dalam pembangunan nasional bangsa kedalam suksesnya perjuangan umat
Islam Indonesia dan sebaliknya. Aktualisasinya dalam permasalahan yang ada saat ini
khususnya untuk mencetak pribadi pemimpin yang berkarakter guna menopang
pembangunan nasional, kader HMI dituntut untuk tetap berpegang teguh pada ajaran-
ajaran Islam, berhubungan dengan Negara asing tentu saja didalamnya terdapat
transfer-transfer nilai dan kebudayaan yang kadang bertentangan dengan Islam.8

8
Ansari, Muhammad Faiz-Ur-Rahman, Konsepsi Masyarakat Islam Modern, Risalah, Bandung, 1983, hlm. 121
14

5.1 Perkembangan Pemikiran Politik HmI


5.1.1. Perkembangan Pemikiran Islam
Dalam perkembangan HmI,maka persoalan keislaman sudah merupakan suatu
kajian yang dilakukan secara intensif sejak awal.Sebagaimana kita ketahui bahwa
latar belakang kelahiran HmI merupakan kerisauan generasi muslim saat itu yang
menyaksikan keputusan gerakan pembaharuan umat islam di Indonesia.Setelah
suatu gerakan muda islam yang dikenal dengan Jong Islaminten Bond (JIB) pada
jaman penjajahan Belanda dan Jepang hanya mampu mengkader satu generasi
yakni dari 1924-1945.
Dalam konteks ideologis,HmI jelas mewakili kalangan Islam terutama Islam
modernis di Indonesia,maka adalah suatu hal yang wajar terjadi ketika pada
jaman pemerintahan demokrasi terpimpin dibawah Soekarno,HmI mendapat
berbagai tuduhan sebagai kekuatan kontra revolusi.Tersirat didalam berbagai
upaya pembubaran HmI oleh kaum komunis adalah ketika menemukan semacam
musuh ideologis yang sama yakni Islam.
5.1.2. Relasi Islam dan Negara
Masalah hubungan Islam dan Negara telah mendapat ruang perdebatan sendiri
dalam diskursus Indonesia modern.Wacana ini menurut Bachtiar Effendi
berlandaskan pada hubungan politik Islam dan Negara muncul dari pandangan
yang berbeda dikalangan para pendiri Negara bagaimana Indonesia yang dicita-
citakan.Hubungan yang tidak harmonis antara Islam dan negara-negara bangsa
justru muncul dari keinginan mengartikulasikan secara sosiokultural,ekonomis
dan politis di Indonesia.Pada sisi lain,terdapat juga pemikiran yang
mengedepankan substansialisme Islam yaitu tentang pentingnya
keadilan,kesamaan,partisipasi dan musyawarah.
Berdasarkan pada perkembangan Islam yang semakin pesat itu,maka Kahane
(dalam Karim)mengajukan hipotesis sebagai berikut :
1. Islam sebagai agama pemeluk pertama yang dating ke Indonesia.
2. Kesederhanaan tradisi (ajaran) Islam.
3. Persamaan antara agama pribumi dan Islam.
4. Kemungkinan wujud bersama agama orang Jawa dan Islam.9

9
Sidrahta muhta,Hmi & kekuasaan,2006,Jakarta,Hlm.49
15

5. Alasan pelengkap,sebagai alat yang diperlukan untuk hubungan


komersial,pembangunan d10an pertukaran.
6. Taktik penetrasi.
7. Islam sebagai satu kekuatan penentang terhadap kepentingan penjajah dan cara-
cara paksaan.
8. Penyebaran Islam sebagai hasil kekosongan budaya dan institusi yang
disebabkan oleh runtuhnya kerajaan-kerajaan pusat Indonesia.
Menariknya gerakan pemikiran baru ini banyak dimotori oleh tokoh tokoh
HmI waktu itu.Gerakan ini tidak saja membicarakan tentang persoalan politik
Orde Baru yang memojokan umat Islam tetapi juga membicarakan tentang
Tuhan,manusia dan berbagai persoalan kemasyarakatan,terutama hubungannya
dengan politik umat Islam serta bagaimana melakukan terobosan-terobosan
untuk mengembalikan daya gerak psikologi umat islam.

5.1.3. Pembaharuan Pemikiran Islam dan Dampaknya bagi Pemikiran Politik


HmI
Dalam disertasinya,Greg Barton mengkategorikan pemikiran Nurcholish
Madjid ke dalam tiga aspek.(1) Pembaharuan pemikiran islam.(2) Islam dan
masyarakat modernindustrial dan (3) Islam dan hubungan antara iman dan ilmu
pengetahuan.Dalam rangka menyusun kebijakan-kebijakan HmI diawal Orde
Baru,Madjid banyak menyebarkan tulisannya diberbagai media maupun forum
ilmiah.Menurut Barton Madjid menjabarkan gagasan pembaharuan pemikiran
Islam kedalam pemikiran-pemikiran yang operasional sebagi berikut :
Pentingnya prinsip-prinsip moral yang abadi,dibalik peradaban besar dan
kekuatan persenjataan yang lengkap dan kemakmuran adalah sesuatu yang
sangat kuat,tersimpan dan kemakmuran adalah sesuatu yang sangat
kuat,tersimpan gagasan-gagasan besar dan system pemikiran yang unggul,tanpa
itu peradaban akan mengalami kematian.Selanjutnya dengan meminjamkan
konsep Hamka,Madjid menegaskan bahwa Pancasila sebagai bilangan 10.000
(sepuluh Ribu),dimana angka 1 merupakan perumpamaan sila pertama,Ketuhana
Yang Maha Esa dan angka nol berikutnya merupakan ialah ederatan angka nol

10
Sidrahta muhta,Hmi & kekuasaan,2006,Jakarta,Hlm.49
16

belaka dan betapa panjangnya angka nol itu tetap tidak berarti,tetapi ia akan
berarti kalau ditambah angka 1 di depannya.
Madjid mengatakan bahwa sirnanya prinsip Ketuhanan berarti akan
melahirkan sekularisme dan seorang sekuler yang konsekuen adalah ateis.Dalam
konteks Islam yang paripurna bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara
agama dan dunia politik adalah gejala sementara Islam yang sedang mengalami
kemunduran.
Rasionalisme dan rasionalisme,menurut Madid bahwa Islam menjunjung
tinggi dan menganjurkan rasionalitas.Rasionalitas lebih menekankan system
pemikiran dan pedoman hidup yang didasarkan dunia materialistic.Sedangkan
rasionalisme adalah ajaran tertentu.Madjid selalu berulang-ulang menekankan
pada rasionalisme,iman yang keduanya bekerja dimana yang satu didunia
temporal dan lainnya didunia transenden.Konsep ini nampaknya berkembang
menjadi kerangka Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HmI.
5.1.4. HmI dan Pembangunan Politik
HmI sebagai sumber insan pembangunan bangsa,nampaknya terus
mengembangkan pemikiran-pemikiran khususnya terkait dengan pembangunan
politik Indonesia.Pada Kongres X HmI yang memilih Akbar Tanjung sebagai
ketua Umumnya,terdapat beberapa rekomendasi penting.Pasca pemilu 1971
antusiasme politik pemerintah dan rakyat Indonesia mengalami penurunan
sehingga menimbulkan kesan sementara bahwa”politik no,perkembangan
yes.”HmI memandang bahwa antara pembangunan politik dan ekonomi suatu
bangsa harus berjalan saling menopang satu sama lainnya.Indokator kanaikan
GNP Indonesia perlu diimbangi dengan pembangunan politik khususnya
pemerintahan.11

meskipun untuk menjamin pemerataan pembangunan dibutuhkan strong


government dan clean government.Sikap politik HmI seperti ini nampaknya
ditandai dengan kemenangan mutlak Golkar dalam lembaga legislative DPR
baik ditingkat pusat maupun daerah adalah sikap yang ambigu ketika HmI

11
Sidrahta muhta,Hmi & kekuasaan,2006,Jakarta,Hlm.75
17

mengharapkan system demokrai dapat terwujud adanya control yang efektif oleh
mesin politik sangat dominan ? HmI juga menuntut adanya perubahan struktur
politik.
Dalam pandangan HmI awal decade 1970 an bahwa dipedulikan
membaharuan struktur politik yang dapat ditempuh melalui dua
pendekatan.Sistem mobilisasi dan system politik RRC yang memang
menggunakan system partai tunggal.Sedangkan model yang kedua adalah
sebagaimana dipraktekkan Negara-negara di Eropa barat dalam kasus
pembaharuan struktur politik Indonesia,hmI mengusulkan beberapa dtindakan
strategis menciptakan prakondisi kea rah itu.(1) Penyederhanaan partai politik
dengan menmfungsikan partai-partai politik secara wajar.Fungsionalisasi Golkar
sebagai lembaga pendukung pembangunan nasional.Dismaping juga HmI
mengajak komponen bangsa saat itu untuk melakukan pembinaan floating mass
agar pembangunan menjadi lebih favourable bagi pembinaan karakter
bangsa.Berkaitan dengan masalah Golkar,HmI bersikap mendua,disatu sisi
mendukung eksistensinya,tetapi menuntut ketegasan fungsi Golkar sebagai
partai politikmsebagai golongan karya dan juga bertindak sebagai partai
pemerintah dan menjadi bagian dari aparatur pemerintahan itu sendiri.
Seiring dengan peningkatan kesadaran politik masyarakat pada
pertengahan tahun 1970-an dan dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup
memadai,HmI mencermati adanya peningkatan partisipasi politik segenap
kelompok-kelompok masyarakat. Merespons perkembangan itu,HmI menuntut
adanya kebijakan public yang berpihak kepada kepentingan seluruh rakyat yakni
dengan adanya pemerintahanyang kuat dan bersih.Hasil Kongres HmI ke-XII
dengan jelas mengharapkan pelaksanaan demokrasi politik.Pemikiran politik
HmI menyangkut demokrasi politik adalah seluruh usaha timbal balik,baik
pemerintah maupun kelompok masyarakat untuk memberikan peranan maksimal
dan adil terhadap pranata politik resmi dan organisasi sosial yang hidup ditengah
masyarakat.Di sini HmI memaknai dinamika politik nasional dengan
memandang pentingnya kebersamaan dan pluralism.HmI sebaliknya menolak
monolitisme dalam kehidupan demokratis yang sedang dibangun.
HmI tidak memandang demokrasi politik itu sebagai factor yang
independen ,tetapi merupakan satu konsep yang menyeluruh dengan aspek-
aspek demokrasi lainnya,seperti demokrasi politik,demokrasi
18

pendidikan,demokrasi sosial budaya,demokrasi hukum dan ekonomi.HmI


mencontohkan hubungan antara kesenjangan ekonomi dengan bagaiman hukum
ini ditegakkan.Selain itu juga HmI menyoroti pentignya pemukaan ruang public
dalam proses penentuan kebijakan menyangkut hajat hidup orang banyak.Secara
jauh ke depan,sekitar tiga decade lalu,HmI telah menyikapi agar lembaga
legislative dapat berfungsi maksimal agar wakil rakyat itu dapat melaksanakan
khendak rakyat dengan menyelesaikan berbagai masalah sosial dan
politik.Disamping peranan legislative itu dapat terkontrol dan akuntabel tetapi
sekaligus sebagai proses pendidikan politk. 12

12
Sidrahta muhta,Hmi & kekuasaan,2006,Jakarta,Hlm.49
19

Anda mungkin juga menyukai