BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
BUDAYA politik sebagai salah satu bagian kebudayaan merupakan satu di antara
sekian jenis lingkungan yang mengelilingi, mempengaruhi, dan menekan sistem politik1.
Dalam Budaya (kultur) politik itu berinteraksi sejumlah sistem (sistem ekonomi, sistem
sosial, dan sistem ekologi) yang tergolong dalam kategori lingkungan dalam-masyarakat
(intra-societal environment) ataupun lingkungan luar-masyarakat (extra-societal
environment) sebagai hasil kontak sistem politik dengan dunia luar.
Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan
bukan merupakan tujuan pribadi seseorang (private goals). Konsep- konsep pokok yang
dikandung dalam pengertian politik adalah : negara (state), kekuasaan (power), pengambilan
keputusan (decision making), kebijakan (policy), serta pembagian (distribution) dan alokasi
(allocation).3 Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai
kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Kekuasaan adalah kemampuan
seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain
sesuai dengan keinginan pelaku.
Keputusan adalah membuat pilihan di antara beberapa alternatif pilihan. Pengambilan
keputusan menunjuk kepada proses yang terjadi sampai keputusan itu tercapai. Pengambilan
keputusan sebagai konsep pokok politik menyangkut keputusan-keputusan yang diambil
secara kolektif dan mengikat seluruh masyarakat. Keputusan-keputusan itu dapat menyangkut
tujuan masyarakat atau kebijakan-kebijakan untuk mencapai tujuan itu. Setiap proses
membentuk kebijakan umum atau kebijakan pemerintah adalah hasil dari suatu proses
mengambil keputusan yang akhirnya ditetapkan sebagai kebijakan pemerintah. Kebijakan
adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik
dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Pada
prinsipnya pihak yang membuat kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk
melaksanakannya.
1
Koentjaraningrat, Rintangan-rintangan Mental dalam Pembangunan Ekonomi di Indonesia, Lembaga Riset
Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1969, hlm. 17.
2
Bentuk dari budaya politik dalam suatu masyarakat dipengaruhi antara lain oleh
sejarah perkembangan dari sistem, oleh agama yang terdapat dalam masyarakat itu,
kesukuan, status sosial, konsep mengenai kekuasaan, kepemimpinan, dan sebagainya.
Menurut Samuel H.Beer dan Adam B. Ulam serta Gilbert Abcarian dan George S. Masannat,
umumnya dianggap dalam sistem politik terdapat empat variabel, yaitu : (1) kekuasaan –
sebagai cara untuk mencapai hal yang diinginkan antara lain membagi sumber-sumber di
antara kelompok-kelompok dalam masyarakat; (2) kepentingan – tujuan-tujuan yang dikejar
oleh pelaku-pelaku atau kelompok politik; (3) kebijakan – hasil dari interaksi antara
kekuasaan dan kepentingan, biasanya dalam bentuk peraturan perundang-undangan; serta (4)
budaya politik – orientasi subjektif dari individu terhadap sistem politik.5 Jadi, menurut
mereka, budaya politik merupakan salah satu variabel dari sistem politik.
Oleh karena itu, berdasarkan tema “Budaya Nusantara Sebagai identitas dasar dalam
bermasrakat dan bernegara” maka disusunlah makalah yang berjudul “Perkembangan
Kebudayaan Politik sebagai salah satu identitas suatu negara dalam mencapai demokrasi dan
mewujudkan Peran Kader HmI Dalam Membentuk Pemimpin Yang Berkarakter”.
B. Identifikasi Masalah
1. Apa itu budaya politik ?
2. Bagaimana dampak budaya politik dalam suatu system politik ?
3. Apakah demokrasi itu dalam suatu 2negara ?
4. Bagaimana Peran Kader HmI Dalam Membentuk Pemimpin Yang Berkarakter ?
5. Bagaimana Perkembangan Pemikiran Politik HmI ?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian budaya politik
2. Mengetahui dampak politik dalam suatu system politik
3. Mengetahui apa demokrasi itu dalam suatu Negara
4. Mengetahui peran kader HmI dalam membentuk pempimpin yang berkaraktek
5. Mengetahui perkembangan pemikiran politik HmI
3
BAB II
PEMBAHASAN
2
A Almond, Gabriel, Sidney Verba.1984. Budaya Politik,kutip Drs.sahat simomora Hlm 13
.
4
Sikap-sikap lain seperti keyakinan akan kebebasan, persamaan, dan efektivitas politik
merupakan kepercayaan masyarakat pada kemampuannya sendiri untuk merealisasikan
kebutuhannya dan menyatakan tuntutannya secara efektif dalam kehidupan politik. Biasanya
keyakinan-keyakinan ini muncul di negara-negara yang menggunakan sistem demokrasi.
Terakhir, kepercayaan terhadap pemerintahan menjadi tolak ukur penting untuk
menganalisa budaya politik suatu masyarakat. Masyarakat yang sudah kehilangan
kepercayaannya terhadap pemirintahan yang sah (ini artinya pemerintah sudah tidak lagi
berwibawa terhadap rakyatnya), akan mengambil dua alternatif sikap: tidak perduli dengan
pemerintahan atau sebaliknya sangat ingin menggulingkan pemerintahan.
Gabriel A. Almond dan Sidney Verba mengaitkan budaya politik dengan orientasi dan
sikap politik seseorang terhadap sistem politik dan bagian-bagiannya yang lain serta sikap
terhadap peranan kita sendiri dalam sistem politik. Gabriel A. Almond dan Sidney
Verba melihat bahwa dalam pandangan tentang objek politik, terdapat tiga komponen yaitu:
Komponen Kognitif, yaitu kemampuan yang menyangkut tingkat pengetahuan dan
pemahaman serta kepercayaan dan keyakinan seorang santri terhadap jalannya sistem politik
dan atributnya, seperti tokoh-tokoh pemerintahan, kebijaksanaan yang mereka ambil, atau
mengenai simbol-simbol yang dimiliki oleh sistem politiknya, seperti ibukota negara,
lambang negara, kepala negara, batas-batas negara, mata uang yang dipakai, dan lain
sebagainya
Komponen Afektif, yaitu menyangkut perasaan seorang warga negara terhadap sistem
politik dan peranan yang dapat membuatnya menerima atau menolak sistem politik itu.
Komponen Evaluatif, yaitu menyangkut keputusan dan praduga tentang obyek-obyek politik
yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan
perasaan. Eagly dan Chaiken mengemukakan bahwa sikap seorang santri dapat diposisikan
sebagai hasil evaluasi terhadap objek politik, yang diekspresikan ke dalam proses-proses
kognitif, afektif, dan perilaku. Sebagai hasil evaluasi, sikap yang disimpulkan dari berbagai
pengamatan terhadap objek diekspresikan dalam bentuk respon kognitif, afektif (emosi),
maupun perilaku. Gabriel A. Almond mengajukan pengklasifikasian budaya politik sebagai
berikut:
1. Budaya politik parokial, yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang
disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah).
2. Budaya politik kaula atau subyek, yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju
tetapi masih bersifat pasif.
3. Budaya politik partisipan, yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik
sangat tinggi.
Dari ketiga komponen tersebut di atas yang digunakan penulis untuk menentukan budaya
politik santri pada pondok pesantren Tebuireng Kabupaten Jombang.
Semua tipe kebudayaan politik merupakan skala suatu titik awal karena kesenjangan
dapat terjadi dalam bentuk penolakan terhadap seseorang pemegang jabatan dan peranan
pentingdalam suatu perubahan sistematik, yaitu peralihan dari suatu kebudayaan politik yang
lebih sederhana menuju pola yang lebih kompleks. Berbagai kebudayaan politik dapat saja
tetap bersifat campuran untuk waktu yang yang lama. Apabila kebudayaan tetap bersifat
campuran, maka akan terjadi ketegangan antara kultur dan struktur serta adanya
kecenderungan sifat menuju instabilitas struktural. Ada beberapa tipologi kebudayaan politik
yang bersifat murni, maka dapat dibedakan 3 bentuk kebudayaan politik:
1.1.1 Kebudayaan Subyek-Parokial
Kebudayaan subyek parokial adalah suatu tipe kebudayaan politik di mana
sebagian besar penduduk menolak tuntutan-tuntutan eksklusif masyarakat desa atau
otoritas feodal dan telah mengembangkan kesetiaan terhadap sistem politik yang lebih
kompleks dengan struktur-struktur pemerintahan pusat yang bersifat khusus.
1.1.2. Kebudayaan Partisipan-Subyek
Kebudayaan partisipan-subyek ini mempunyai proses peralihan dar kebudayaan
parokial menuju kebudayaan subyek yang dilakukan pasti mempengaruhi cara
bagaimana proses peralihan dari budaya subyek menuju budaya partisipan
berlangsung. Seperti ditunjukkan oleh Gabriel dan Verba bahwa penanaman rasa
loyalitas nasional dan identifikasi, serta kecenderungan untuk mentaati peraturan
pemerintahan pusat, merupakan masalah prioritas yang pertama bagi bangsa-bangsa
yang baru muncul.
6
4
Afan Gaffar, Politik Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), Hlm 97
7
5
Arifin, Rahman. 2002. Sistem Politik Indonesia dalam Perspektif Struktural
Fungsional. Surabaya. SIC hlm 21
Afan Gaffar, Politik Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), hlm 97
8
6
Rais, Amin. 1986. Pengantar Dalam Demokrasi dan Proses Politik, LP3ES. Jakarta. Hal 12
9
7
Agussalim Sitompul, 44 Indikator Kemunduran HMI, CV Misaka Galiza, Jakarta, 2008, hlm. 10.
11
Definisi dan pengertian diatas, setidaknya terdapat tiga ciri yang terintegrasi dalam diri
seorang kader. Pertama, seorang kader bergerak dan terbentuk dalam organisasi. Kader
mengenal aturan permainan organisasi sesuai dengan ketentuan yang ada, seperti NDP dalam
pemahaman yang integralistik dengan Pancasila dan UUD 1945. Dari segi operasionalisasi
organisasi, kader selalu berpegang dan mematuhi AD/ART HMI, pedoman perkaderan, dan
ketentuan lain. Kedua, seorang kader mempunyai komitmen yang tinggi secara terus
menerus, konsisten dalam memperjuangkan dan melaksanakan kebenaran. Ketiga, seorang
kader mempunyai bakat dan kualitas sebagai tulang punggung yang mampu menyangga
kesatuan kumpulan manusia yang lebih besar. Jadi, fokus seorang kader terletak pada
kualitas. Kader HMI adalah anggota HMI yang telah menjalani proses perkaderan sehingga
memiliki ciri kader, yang integritas kepribadian yang utuh, beriman, berilmu, dan beramal
shaleh sehingga siap mengemban tugas dan amanah dalam kehidupan beragama,
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Mengingat fungsi HMI sebagai organisasi kader, maka seluruh aktivitasnya harus dapat
memberi kesempatan berkembang bagi kualitas- kualitas pribadi anggota-anggotanya. Sifat
kekaderan HMI dipertegas dalam pasal 4 Anggaran Dasar HMI yaitu Terbinanya insane
kademis, pencipta, pengabdi, yang bernafaskan islam, dan bertanggung jawab atas
terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT. Tujuan HMI ini telah
memberi tuntunan kemana perkaderan HMI diarahkan. Anggota HMI yang merupakan
human material yang dihadapi HMI untuk dibina dan dikembangkan menjadi kader HMI,
adalah mereka yang memiliki kualitas-kualitas sebagai: a) mahasiswa, yaitu mereka yang
telah mencapai tingkat pendidikan intelektual tertentu, calon sarjana, dan potensial menjadi
intelegensia, b) kader yaitu mereka yang memiliki kesediaan untuk berlatih dan
mengembangkan kualitas pribadinya guna menyongsong tugas masa depan umat Islam dan
bangsa Indonesia, c) pejuang, yaitu mereka yang ikhlas, bersedia berbuat dan berkorban guna
mencapai cita-cita umat Islam dan bangsa Indonesia pada waktu sekarang dan yang akan
datang. Pada hakekatnya, tugas pokok HMI adalah tugas perkaderan yang mana semua
kegiatannya hendaklah menggambarkan fungsi kekaderannya sehingga membentuk profil
kader yang ideal, yaitu Muslim intelektual profesional.
Tujuan HMI sebagai tujuan umum yang hendak dicapai oleh HMI menjadi garis
arah dan titik sentral seluruh kegiatan dan aktivitas perkaderan HMI. Konsekuensi
dari tujuan itu maka dengan sendirinya tujuan merupakan ukuran/norma dari semua
kegiatan HMI. Dengan demikan kegiatan-kegiatan HMI benar-benar relevan dengan
tujuannya. Bagi anggota, tujuan organisasi merupakan titik pertemuan persamaan
12
kepentingan yang paling pokok dari seluruh anggota. Oleh karena itu peranan anggota
dalam pencapaian tujuan organisasi adalah sangat besar dan menentukan.
Kualitas tersebut sebagaimana dalam pasal tujuan (pasal 4 AD HMI) adalah
sebagai berikut:
4.1.1. Kualitas Insan Akademis
Berpendidikan Tinggi, berpengetahuan luas, berfikir rasional, obyektif, dan
kritis. Memiliki kemampuan teoritis, mampu memformulasikan apa yang diketahui
dan dirahasiakan. Dia selalu berlaku dan menghadapi suasana sekelilingnya dengan
kesadaran. Sanggup berdiri sendiri dengan lapangan ilmu pengetahuan sesuai dengan
ilmu pilihannya, baik secara teoritis maupun tekhnis dan sanggup bekerja secara
ilmiah yaitu secara bertahap, teratur, mengarah pada tujuan sesuai dengan prinsip-
prinsip perkembangan. Aktualisasi untuk saat ini adalah sebagai insan akademis,
dihadapkan pada kehidupan yang serba praktis dengan berbagai kepentingan asal
menguntungkan seperti ini, terkadang kita mengorbankan status akademisi kita dan
lebih memilih untuk menjadi pelacur intelektual. Kader HMI tetap harus menjaga
independensi akademisinya, mengesampingkan kepentingan- kepentingan praktis,
melakukan inovasi-inovasi sesuai dengan bidang ilmunya guna mendukung dan
mensukseskan bangsanya dalam mencetak pribadi pemimpin yang berkarakter guna
menopang pembangunan nasional. Bukan malah mengabdi kepada kepentingan asing
yang bisa merugikan bangsanya.
4.1.2 Kualitas Insan Pencipta
Sanggup melihat kemungkinan-kemungkinan lain yang lebih dari sekedar yang
ada dan bergairah besar untuk menciptakan bentuk-bentuk baru yang lebih baik dan
bersikap dengan bertolak dari apa yang ada (yaitu Allah). Berjiwa penuh dengan
gagasan- gagasan kemajuan, selalu mencari perbaikan dan pembaharuan. Bersifat
independen dan terbuka, tidak isolatif, insan yang menyadari dengan sikap demikian
potensi, kreatifnya dapat berkembang dan menentukan bentuk yang indah-indah.
Dengan ditopang kemampuan akademisnya dia mampu melaksanakan kerja
kemanusiaan yang disemangati ajaran Islam.
4.1.3 Kualitas Insan Pengabdi
Ikhlas dan sanggup berkarya demi kepentingan orang banyak atau untuk sesama
umat. Sadar membawa tugas insan pengabdi, bukannya hanya membuat dirinya baik
tetapi juga membuat kondisi sekelilingnya menajadi baik. Insan akdemis, pencipta
dan mengabdi adalah yang bersungguh-sungguh mewujudkan cita-cita dan ikhlas
13
8
Ansari, Muhammad Faiz-Ur-Rahman, Konsepsi Masyarakat Islam Modern, Risalah, Bandung, 1983, hlm. 121
14
9
Sidrahta muhta,Hmi & kekuasaan,2006,Jakarta,Hlm.49
15
10
Sidrahta muhta,Hmi & kekuasaan,2006,Jakarta,Hlm.49
16
belaka dan betapa panjangnya angka nol itu tetap tidak berarti,tetapi ia akan
berarti kalau ditambah angka 1 di depannya.
Madjid mengatakan bahwa sirnanya prinsip Ketuhanan berarti akan
melahirkan sekularisme dan seorang sekuler yang konsekuen adalah ateis.Dalam
konteks Islam yang paripurna bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara
agama dan dunia politik adalah gejala sementara Islam yang sedang mengalami
kemunduran.
Rasionalisme dan rasionalisme,menurut Madid bahwa Islam menjunjung
tinggi dan menganjurkan rasionalitas.Rasionalitas lebih menekankan system
pemikiran dan pedoman hidup yang didasarkan dunia materialistic.Sedangkan
rasionalisme adalah ajaran tertentu.Madjid selalu berulang-ulang menekankan
pada rasionalisme,iman yang keduanya bekerja dimana yang satu didunia
temporal dan lainnya didunia transenden.Konsep ini nampaknya berkembang
menjadi kerangka Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HmI.
5.1.4. HmI dan Pembangunan Politik
HmI sebagai sumber insan pembangunan bangsa,nampaknya terus
mengembangkan pemikiran-pemikiran khususnya terkait dengan pembangunan
politik Indonesia.Pada Kongres X HmI yang memilih Akbar Tanjung sebagai
ketua Umumnya,terdapat beberapa rekomendasi penting.Pasca pemilu 1971
antusiasme politik pemerintah dan rakyat Indonesia mengalami penurunan
sehingga menimbulkan kesan sementara bahwa”politik no,perkembangan
yes.”HmI memandang bahwa antara pembangunan politik dan ekonomi suatu
bangsa harus berjalan saling menopang satu sama lainnya.Indokator kanaikan
GNP Indonesia perlu diimbangi dengan pembangunan politik khususnya
pemerintahan.11
11
Sidrahta muhta,Hmi & kekuasaan,2006,Jakarta,Hlm.75
17
mengharapkan system demokrai dapat terwujud adanya control yang efektif oleh
mesin politik sangat dominan ? HmI juga menuntut adanya perubahan struktur
politik.
Dalam pandangan HmI awal decade 1970 an bahwa dipedulikan
membaharuan struktur politik yang dapat ditempuh melalui dua
pendekatan.Sistem mobilisasi dan system politik RRC yang memang
menggunakan system partai tunggal.Sedangkan model yang kedua adalah
sebagaimana dipraktekkan Negara-negara di Eropa barat dalam kasus
pembaharuan struktur politik Indonesia,hmI mengusulkan beberapa dtindakan
strategis menciptakan prakondisi kea rah itu.(1) Penyederhanaan partai politik
dengan menmfungsikan partai-partai politik secara wajar.Fungsionalisasi Golkar
sebagai lembaga pendukung pembangunan nasional.Dismaping juga HmI
mengajak komponen bangsa saat itu untuk melakukan pembinaan floating mass
agar pembangunan menjadi lebih favourable bagi pembinaan karakter
bangsa.Berkaitan dengan masalah Golkar,HmI bersikap mendua,disatu sisi
mendukung eksistensinya,tetapi menuntut ketegasan fungsi Golkar sebagai
partai politikmsebagai golongan karya dan juga bertindak sebagai partai
pemerintah dan menjadi bagian dari aparatur pemerintahan itu sendiri.
Seiring dengan peningkatan kesadaran politik masyarakat pada
pertengahan tahun 1970-an dan dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup
memadai,HmI mencermati adanya peningkatan partisipasi politik segenap
kelompok-kelompok masyarakat. Merespons perkembangan itu,HmI menuntut
adanya kebijakan public yang berpihak kepada kepentingan seluruh rakyat yakni
dengan adanya pemerintahanyang kuat dan bersih.Hasil Kongres HmI ke-XII
dengan jelas mengharapkan pelaksanaan demokrasi politik.Pemikiran politik
HmI menyangkut demokrasi politik adalah seluruh usaha timbal balik,baik
pemerintah maupun kelompok masyarakat untuk memberikan peranan maksimal
dan adil terhadap pranata politik resmi dan organisasi sosial yang hidup ditengah
masyarakat.Di sini HmI memaknai dinamika politik nasional dengan
memandang pentingnya kebersamaan dan pluralism.HmI sebaliknya menolak
monolitisme dalam kehidupan demokratis yang sedang dibangun.
HmI tidak memandang demokrasi politik itu sebagai factor yang
independen ,tetapi merupakan satu konsep yang menyeluruh dengan aspek-
aspek demokrasi lainnya,seperti demokrasi politik,demokrasi
18
12
Sidrahta muhta,Hmi & kekuasaan,2006,Jakarta,Hlm.49
19