(RPP)
DISUSUN OLEH :
AKMAL KURNIAWAN
KOMISARIAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
CABANG MAKASSAR
2022
A. Tujuan Pembelajaran Umum
Mendeskripsikan kerangka berpikir ilmiah, serta mengimplementasikan dalam
kehidupan masyarakat
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
1. Peserta dapat memahami definisi dari definisi
2. Peserta dapat memahami Definisi kerangka,berpikir,dan ilmiah.
3. Peserta dapat mengetahui Kemutlakan dan Relativitas
4. Peserta dapat mengetahui Pengertian Filsafat.
5. Peserta dapat memahami pondasi filsafat ilmu
6. Peserta dapat menjelaskan sumber-sumber pengetahuan
7. Peserta dapat menjelaskan kesalahan berpikir
C. Indikator
1. Peserta dapat mengaplikasikan materi kerangka berpikir ilmiah ini di kehidupan sehari-
harinya
2. Peserta dapat mengembangkan materi kerangka berpikir ilmiah ini
D. Metode Pembelajaran
1. Ceramah
2. Diskusi
3. Brainstorming
Alokasi Waktu : 300 menit ( 5 jam )
E. Media Pembelajaran
1. Al-Qur’an dan hadist
2. ATM
3. Buku Bacaan
4. Spidol
5.Papan Tulis
6. Kertas Hvs
F. Langkah-Langkah Pembelajaran
No Kegiatan Waktu Metode
1 Pembuka
(Apersepsi)
1. Fasilitator memberi salam (greeting);
2. Fasilitator memberikan muqadimah dan
berkenalan dengan peserta.
3. Fasilitator menyiapkan peserta secara
psikis dan fisik untuk mengikuti proses
pemberian materi; Ceramah
20 menit
4. Fasilitator mengajukan pertanyaan Brainstorming
tentang kaitan antara pengetahuan
sebelumnya dengan materi yang akan
disampaikan;
5. Fasilitator menjelaskan tujuan
pembelajaran atau kompetensi dasar yang
akan dicapai;
2 Inti
(Eksplorasi)
1. Definisi dari definisi
2. Definisi kerangka,berpikir,dan ilmiah
3. Kemutlakan dan Relativitas
4. Pengertian Filsafat
5. Pondasi Filsafat Ilmu Ceramah
6. Sumber-sumber Pengetahuan 270 menit
Diskusi
7. Kesalahan Berpikir
Brainstorming
3 Kegiatan Akhir
(Konfirmasi)
1. Peserta dan fasilitator melakukan refleksi
terhadap kegiatan forum dan manfaat-
manfaatnya.
2. Fasilitator memberikan ulasan atas hasil Ceramah
pembelajaran di forum. 10 menit Diskusi
3. Fasilitator memberikan motifasi kepada
peserta untuk bersama-sama berproses di
HMI.
4. Peserta diberikan kesempatan untuk
memberikan pesan dan kesan (bila perlu).
5. Fasilitator dan peserta mengucapkan
salam penutup.
G. Penilaian
1. Test Objektif/Subjektif, Penugasan, dan Membuat Kuisioner
1.1 Test objektif yaitu test yang dilakukan diakhir training. Bahan pertanyaan
sebagai berikut :
1. Jelaskan definisi dari definisi?
2. Dengan cara apa kita bisa menghindari kesalahan berpikir!
1.2 Test Subjektif yaitu test yang dilakukan selama training berlangsung dengan cara
peserta diminta menjelaskan kembali. Penugasan diberikan pada saat materi selesai
yaitu berupa review materi KBI yang telah diberikan.
Kuisioner digunakan untuk mengukur tingkat penangkapan peserta, metode
yang digunakan, penyampaian materi, dan suasana training.
1. Bagaimana cara kalian membedakan definisi,kerangka,berpikir dan ilmiah ?
2. Lantas upaya apa yang engkau lakukan mengetahui seseorang tersebut berpikir
ilmiah?
2. Sasaran penilaian
a. Kognitif (30%)
Output :
Kader tambah yakin dengan Islam, cenderung pada kebenaran, loyal, dan
optimis/pantang menyerah.
A Test Objektif
B Penugasan
C Kuisioner
b. Afektif (50%)
Output :
Kader Mengetahui nilai-nilai peran HMI.
A Test subjektif
B Penugasaan
c. Psikomotorik (20%)
Output :
Kader menjalankan sholat dan ibadah lain, senang mengaji dan mengkaji, serta
berbagi.
A Test subjektif
H. Uraian Materi
Definisi yang kedua dari kata definisi adalah menjelaskan sesuatu denga beberapa
pendekatan,sehingga sesatu itu jelas.Misalnya,jika kita ingin mendefinisikan
kertas,maka kita gunakan bentuk,warna,tekstur,kegunaan,sumber dan seterusnya,s
ebagai pendekatan untuk memberikan kita pemahaman tentang kertas, sehingga
gambaran tentang kertas bagi kita menjadi jelas adanya.
Kerangka adalah suatu yang menyusun atau menopang yang lain, sehingga
sesuatu yang lain dapat berdiri dan Berpikir merupakan gerak akal dari satu titik ke
titik yang lain atau bisa juga gerak akal dari pengetahuan yang satu kepengetahuan
yang lain. Pengetahuan pertama kita adalah ketidaktahuan (kita tahu bahwa diri kita
sekarang tidak mengetahui sesuatu), pengetahuan yang kedua adalah tahu (kemudian
kita mengetahui apa yang sebelumnya tidak kita tahu). Wajar kemudian ada juga yang
mendefinisikan berfikir sebagai gerak akal dari tidak tahu menjadi tahu. Jadi inti dari
ini adalah gerak akal.Kata Descrates dalam Bukunya Filsafat manusia"Aku Berpikir
maka Aku Ada". Jadi ketika manusia tidak berpkir pastinya dia bukan manusia.
Pengetahuan pertama kita adalah ketidaktahuan (kita tahu bahwa kita sekarang
tidak mengetahui sesuatu), pengetahuan yang kedua adalah tahu (kemudian kita
mengetahui apa yang sebelumnya tidak kita tahu). Wajar kemudian ada juga yang
mendefinisikan berpikir sebagai gerak akal dari tidak tahu menjadi tahu. Tapi yang
penting (inti pembahasannya) adalah adanya gerak akal.
Suatu hal yang penting sebelum menjalajahi dunia pemikiran perlu kiranya kita
memahami jawban dari beberapa pertanyaan berikut: apakah dari semua yang ada?
Apakah ide atau realitas diluar kita ini bersifat mutlak atau relative? Dalam artian,
tidak hal yang pasti seperti dalam kacamata kaum sofis (Filosphis).
Secara social, kaum sophis ini (Sphis = arif, pandai) menimbulkan gejolak
negative dimasyarakat pada zamanny karena tidak ada lagi yang dapat dipercaya.
Memang konsekwensi dari relativitas adalah hilangnya kepercayaan. Disaat seperti
inilah muncul tokoh Socrates (± 470-399 SM) yang menggugurkan asumsi-asumsi
yang dibangun oleh kaum sophis.
Socrates yang dikenal sebagai seorang guru Filsafat Yunai kuno yang sangat
berpengaruh. Ia memakai metode dialektika untuk membimbing orang memahami
suatu pengetahuan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan setapak demi setapak
demi sempai hal-hal yang meragukan terjawab atau menjadi jelas, mengatakan bahwa
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang berasl dari kata philo = cinta dan Sophia =
arif. Mungkin disinilah kerendahatian Socrates tidak mengangap dirinya sebagai orang
pintar, tapi sebagai pecinta kearifan. Disini perlu ditegaskan bahwa puncak ilmu
adalah kearifan.
Kelemahan kedua adalah sofisme tidak memiliki pijakan teori yang jelas,
sehingga turunan dari prinsip berpikirnya juga menjadi tidak jelas. Setahu penulis,
sofisme tidak lain dari kebingungan, kegundaan karena tidak memiliki system berpikir
yang komprehensif. Cara kerja sofisme sagat sederhana, menciptakan antitesa dari
sebuah pernyataan dalam bahasa keraguan. Akibatnya adalah munculnya keraguan
baru dan tak mampu menjawab masalah.
4. Pengertian Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani, Philo yang berarti cinta dan Sophis yang
berarti arif, pandai. Secara bahsa semua Filsafat lazim diterjemahkan sebagai cinta
kearifan, kepandaian. Namun, cakupan pengertian sophia yang semula itu ternyata
sangat luas. Dahulu Sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula
kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebijakan intelektual, pertimbangan sehat,
sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikan dalam memutuskan hal-hal yang
praktis.
Pengertian tentang Filsafat yang mempunyai arti sebagai berpikir secara radikal,
menyeluruh dan sistematis. Maksudnya, dengan berpikir radikal (bahasa Yunani radix
= akal) atau sampai ke akar-akarnya, sehingga melihat sesuatu secara menyeluruh dan
tersusun, sehingga kita arif dalam melihat persoalan. Ketiak dilekatkan dengan kata
ilmu, maka berarti berpikir secara radikal, menyelurh dan sistematis terhadap ilmu.
Ilmu sendiri dapat dilihat dari dua sudut pandang. Sudut pandang barat,
membedakan ilmu dengan pengetahuan. Ilmu (Science) adalah kumpulan
pengetahuan(Knowledge) yang sistematis. Misalnaya ilmu biologi adalah kumpulan
pengetahuan tentang mahkluk hidup dan semua yang berkaitan secara sistematis. Ada
tiga aspek yang menjadi pondasi filsafat ilmu yaitu Epistemologi, ontology, dan
aksiologi.
a. Epistemologi
Secara etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme berarti
pengetahuan, dan logos berarti teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang
filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya
(validitasnya) pengetahuan. Dalam kajian Epistemologi, kajian mengenai kebenaran
haruslah haruslah objektif sehingga siapapun akan mendapatkan paham yang sama pada
saat memandang sebuah masalah dan solusi dari masalah tersebut. Kajian mengenai
relativistik mungkin saja masuk dalam ranah ini namun dalam pandangan ilmu
pengetahuan, seluruh pengamat adalah benar hanya saja melihat dari sisi yang berbeda,
oleh karena itu ketika sudut pandang dari setiap pengamat disamakan akan muncul sisi
yang sama.
Pengertian lain, mengenai epistemologi menyatakan bahwa epistimologi
merupakan pembahasan mengenai bagaimana mendapatkan pengetahuan atau lebih
menitikberatkan pada sebuah proses pencarian ilmu: apakah sumber-sumber
pengetahuan ? apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai
tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia
b. Ontology
Ontologi, cabang ilmu filsafat ini berasal dari bahasa yunani, yaitu kata Ontosâ
dan Logosâ. Ontos berarti ada dan logos berarti ilmu. Bisa diartikan ontos/ada ialah
hakikat, yang ada, pertanyaan tentang apa. Dan logos/ilmu bisa diartikan sebuah
kumpulan pengetahuan yang disusun secara sistematis sehingga bisa sampai disebut
ilmu. Ontologi secara sederhana bisa dikatakan ilmu yang membahas tentang apa, ada /
keberadaan (eksistensi) dan hakikat dari terbentuknya manusia (misalnya). Contohnya,
apa hakikat sebuah mobil?. Mobil ialah sebuah transportasi yang dapat mengantarkan
kita ke tempat yang dituju. Yang dapat diartikan Hakikat sebuah mobil ialah sebuah alat
transportasi.
c. Aksiologi
Aksiologi merupakan cabang filsafat yang khusus membahas tentang nilai, manfaat,
moral, etika keindahan atau estetika. Secara etimologi aksiologi berasal dari kata axion
dan logos berasal dari bahasa Yunani. Axion yang berarti nilai dan logos berarti ilmu.
Axion secara sederhana dapat diartikan sebagai hakikat nilai, manfaat dari segala
sesuatu, keindahan atau bisa disebut estetika, moralitas. sedangkan logos dapat diartikan
sebagai kumpulan pengetahuan yang disusun secara sistematis.
Etika pun dibagi kembali dalam dua bagian yaitu Etika deskriptif dan etika
normatis. Etika deskriptif membahas tentang tindakan apa yang diperbolehkan atau
tidak diperbolehkan, moralitas sebagai aturan yang digunakan untuk membatasi
perilaku, tindakan manusia. Intinya Etika deskriptif ini membahas tentang penilaian
perilaku yang dianggap baik atau buruk. Sedangkan estetika normatif membahas
tentang penilaian tindakan baik atau buruk itu dapat dikritisi, Apakah aturan moral itu
sudah benar atau belum, Apakah aturan moral itu relevan untuk diterapkan ke kelompok
sosial atau masyarakat tertentu itu. Sedangkan estetika secara khusus membahas tentang
keindahan Apakah tindakan tersebut bisa membuat kita senang atau sebaliknya. Apakah
sebuah tindakan tersebut memiliki manfaat tertentu, Apakah sebuah mobil itu memiliki
nilai guna manfaat, dan apakah sebuah mobil itu dapat memberikan kesenangan dan
sebagainya.
Aksiologi juga memiliki dua cabang yaitu etika dan estetika. Etika secara sederhana
membahas tentang perilaku manusia, moralitas, ukuran baik dan buruk, kebahagiaan,
keadilan. sedangkan estetika secara sederhana membahas tentang keindahan, ukuran
keindahan, apakah seni bagian dari estetika dan juga kebahagiaan.
6. Sumber-sumber Pengetahuan
a. Skriptualisme
Skriptualisme adalah sebuah sistem berpikir yang dalam menilai kebenaran
digunakan teks kitab. Asumsi dasar yang terbangun adalah teks dalam kitab mutlak
adanya, oleh karenanya dalam penilain kebenaran harus sesuai dengan teks kitab.
Mempertanyakan teks kitab sama saja dengan mempertanyakan kemutlakan. Biasanya
kaum skriptual adalah orang yang beragama secara sederhana. Maksudnya, peran akal
dalam wilayah keagamaan sangat sempit bahkan hampir tidak ada. Akal dianggap
terbatas dan tidak mampu menilai, olehnya kembali lagi ke teks kitab. Namun dalam
wilayah epistemologi, skriptualisme memiliki beberapa kekurangan, antara lain:
· Tidak memiliki alasan yang jelas, mengapa kita harus mempercayai kitab tersebut.
Kalau yang mutlak adalah teks kitab, maka pertanyaannya “Bagaimana caranya diantara
banyak kitab menilai bahwa kitab inilah yang benar”. Kalau kita langsung percaya, maka
kitab lain juga harus kita langsung percaya. Nah, kalau kontradisi, kitab yang mana
benar? Artinnya, kelemahan pertamanya adalah butuh sesuatu dalam membuktikan
kebenaran sebuah kitab.
· Dari kelemahan pertama dapat kita turunkan kelemahan berikutnya, yakni: terjebak
pada subjektifitas. Artinya, kebenaran sebuah kitab sangat tergantung pada umatnya.
Kebenaran Al Qur’an, walau berbicara universal, hanya dibenarkan oleh umat Islam.
Umat Nasrani, Budha dan sebagainya meyakini kitab mereka masing-masing. Sementara
kita tidak dapat memaksakan kitab kita pada umat lain sebagaimana kita pun pasti tidak
akan menerima teks kitab umat lain
b. Idealisme Platonian
Pemikiran Plato dapat digambarkan kurang lebih seperti ini. Sebelum manusia lahir
dan masih berada di alam ide, semua kejadian telah terjadi. Olehnya, manusia telah
memiliki pengetahuan. Ketika terlahir di alam materi ini, pengetahaun itu hilang. Untuk
itu yang harus manusia lakukan kemudian adalah bagaimana mengingat kembali.
Pengetahuan yang kita miliki hari ini kemarin dan akan datang sebetulnya (dalam
perspektif teori ini) tidak lebih dari pengingatan kembali. Teori ini juga sering disebut
sebagai teori pengingatan kembal. Namun sebagai alat penilaian, teori ini memiliki
beberapa kekurangan.
· Tidak ada landasan yang memutlakkan bahwa dahulu kita pernah di alam ide
· Turunan dari yang pertama, kalaupun (jadi diasumsikan teori ini benar) ternyata
sebelum lahir kita telah memiliki pengetahuan, maka persoalannya adalah apakah
pengetahuan kita saat ini selaran dengan pengetahuan kita sewaktu di alam ide. Kalau
dikatakan selaras, apa yang dapat dijadikan bukti.
· Ketiga, tidak diterangkan dimanakah ide dan material itu menyatu (saat manusia
belum dilahirkan), dan mengapa disaat kita lahir, tiba-tiba pengetahuan itu hilang. Kalau
dikatakan material kita terlalu kotor untuk menampung ide, maka mengapa saat ini kita
bukan saja memiliki ide, tapi bahkan mampu mengembangkan ide disaat material kita
justru semakin kotor.
c. Empirisme
Doktrin empirisme berlandaskan pada pengalaman dan persepsi inderawi. Oleh
karena itu, kebenaran dalam doktrin ini adalah sesuatu yang dapat ditangkap oleh indra
manusia. Bangunan sains kita pada hari ini sangat kental nuansa empirisnya. Tetapi
empirisme memiliki kekurangan sebagai berikut:
· Indera terbatas mata misalnya memiliki daya jangkau penglihatan yang berbeda.
Begitupun telinga dan indera lainnya. Olehnya indera hanya bisa menangkap hal-hal yang
bersifat terbatas atau material pula. Makanya fenomena penyembahan dan jatuh cinta
misalnya, tidak dapat dijawab dengan tepat oleh kaum empiris.
· Indera dapat mengalami distorsi. Sebagai contoh terjadinya fatamorgana atau
pembiasan benda pada dua zat dengan kerapatan molekul berbesa. Ketika kita masukkan
pensil ke dalam gelas berisi air kita akan melihatnya bengkok karena kerapatan molekul
air, gelas dan udara sebagai medium berbeda. Padahal jika kita periksa ternyata pensil
tetap lurus.
d. Kaum Perasa (Intuisi)
Kaum perasa selalu menjadikan perasaannya sebagai tolok ukur kebenaran. Ciri
khas mereka adalah “Yakin saja”. Mereka menganggap dirinya sebagai orang yang paling
mampu mendengar suara hatinya, dan menjadikan suara hatinya sebagai ukuran
kebenaran. Banyak orang beragama seperti ini padahal sistem berpikir macam ini
memiliki kekurangan dalam pembuktian kebenaran sebagai berikut:
· Tidak jelas yang didengar itu adalah suatu hati atau justru sekedar gejolak
emosional, atau bahkan (dengan pendekatan orang beragama) justru bisikan setan. Jangan
sampai hanya gejolak emosi lantas dianggap suara hati, atau bisikan setan. Nah
persoalannya bagaimana membedakannya?
· Kalau pun didengar adalah suara hati, maka akan subjektif. Karena hati orang
berbeda. Jika subjektif, maka yang didapatkan adalah relativitas, bukan kemutlakan.
· Tidak punya landasan mengapa kita mesti mengikuti suara hati. Kalau akal
menjustifikasi penggunaan hati berarti tidak konsisten. Tetapi kalau menggunakan hati
sebagai alasan mengapa harus mengikuti suara hati, maka kembali ke point sebelumnya.
Keadilan dalam hubungannya dengan status dan lingkup sosial adalah bahwa Islam
memberikan panduan moralistik agar manusia dapat hidup berdampingan secara damai
dan bersahabat dengan manusia lain meskipun berbeda suku, agama dan ras. Sedangkan
konsep keadailan ekonomi adalah bahwa Islam sangat menekankan egaliterianisme
(persamaan hak) dan menghindari segala bentuk kepincangan sosial yang dimulai dari
kepincangan ekonomi. Dengan demikian, konsep-konsep keadilan sosial dan keadilan
ekonomi dalam perspektif Islam adalah disandarkan pada ajaran bersaudara.
e. Rasionalisme
Rasionalisme kurang lebih berarti sebuah pemahaman yang menjadikan akal
sebagai ukuran sebuah kebenaran. Rasionalisme di sini, bukan berarti seperti pendangan
barat karena rasionalisme dalam pendangan barat berarti menggunakan metode ilmiah
yang justru berangkat dari dokrin empirical.
Menurut Kang Jalal, sesuatu kadang dianggap tidak rasional karena tiga hal.
Pertama tidak empiris. Sesuatu yang tidak dicerna indara manusia biasanya dianggap
tidak rasional. Hal ini umumnya menghinggapi orang yang sangat empiris. Kedua
menyimpang dari rata-rata. Sewaktu perang Khibar, kaum muslim menundudukkan
benteng terakhir kaum Yahudi. Para sahat ssejumlah 50 laki-laki yang kuat tidak mampu
mengangkat pintu benteng itu, tapi Sayidina Ali mampu mengangkatnya sendirian. Ini
dianggap tidak rasional, padahal hal ini rasional hanya tidak seperti kebanyakan. Ketiga
tidak tahu. Ketidak tahuan adalah kemudian yang orang berusaha tutupi dengan
penisbahan stigma irasonal.
Rasionalisme tidak menutup diri dari teks, pengalaman atau persepsi inderawi,
juga perasaan. Akan tetapi, kaum rasionalis menggunakan akal dalam menilai semua
yang ditangkap oleh bagian diri kita. Namun, bagi sekelompok orang akal tidak dapat
digunakan untuk menilai kebenaran. Alasannya, akal terbatas. Artinya, penggunaan akal
sangat dekat dengan mengakal-akali sesuatu.
7. Kesalahan Berpikir
yakni pengambilan satu atau dua kasus dalam upaya mendukung argumen kita.
Misalnya “saya menganggap bahwa siswa yang berkacamata adalah siswa yang pintar,
sebab di kelas saya, nilai terbaik diraih oleh teman saya yang menggunakan kacamata.
Pola berpikir seperti ini sangat sulit untuk dipatahkan karena sumber pengetahuan
berasal dari pengalaman pribadi yang secara psikologis manusia akan mencoba
membentuk defense mechanism dengan berbagai cara agar terhindar dari kesalahan
argumen nya tersebut.
Misalnya “kemiskinan tidak dapat dihilangkan karena hal itu sudah terjadi dari
dampak perang dunia, solusinya bukan menghilangkan kemiskinan, tapi melokasikannya di
beberapa tempat terpencil”. Pola berpikir seperti ini cenderung kembali ke belakang,
mencoba merelevansikannya dengan proses masa lalu yang menjadi penyebab kejadian
tersebut timbul saat ini.
yakni memandang bahwa kejadian bersifat temporal. Pola berpikir ini memiliki
asumsi bahwa yang pertama adalah sebab dari yang kedua, si A datang setelah si B, maka
A dianggap sebagai sebab dan B sebagai akibat.
yakni menganggap sesuatu yang terjadi berasal dari takdir tuhan, sehingga manusia
tidak memiliki upaya atau inisiatif untuk berusaha sedikitpun. Pola pikir seperti ini dapat
menciptakan manusia-manusia yang tunduk pada suatu keadaan dan tidak memiliki
keinginan untuk merekonstruksi kejadian tersebut menjadi lebih baik.
e. argumentum ad verecundiam
f. fallacy of composition
Mengejar peluang dari satu atau dua kejadian sehingga hal lain terabaikan dan
menjadi tidak seimbang.Misalnya “di dalam sebuah kampung, si A berprofesi sebagai
seorang penceramah yang terkenal, lalu profesi tersebut banyak ditiru oleh warga pada
kampung tersebut sehingga yang berperan sebagai pendengar tidak ada
g. circular reasoning
yakni pemikiran yang berputar-putar, menggunakan kesimpulan untuk mendukung
asumsi yang digunakan lagi menuju kesimpulan semula.
Misalnya si A menganggap bahwa kelas akan terlihat efektif apabila siswanya aktif
dan sering bertanya di kelas, lalu ada yang bertanya, apa buktinya jika kelas itu aktif ? lalu
si A menjawab “kalau siswanya sering bertanya di kelas” lalu ditanya lagi “kalau siswanya
aktif dan sering bertanya itu apa artinya?”, lalu si A menjawab lagi “artinya kelas tersebut
efektif
H. Referensi