Anda di halaman 1dari 6

HMI Cabang Palangka Raya

MATERI TRAINING

TEORI-TEORI PERUBAHAN SOSIAL

12 MEI 2014 | HMIPALANGKARAYA | TINGGALKAN KOMENTAR

Kecenderungan terjadinya perubahan-perubahan sosial merupakan gejala yang wajar yang


timbul dari pergaulan hidup manusia di dalam masyarakat. Perubahan-perubahan sosial
akan terus berlangsung sepanjang masih terjadi interaksi antarmanusia dan
antarmasyarakat. Perubahan sosial terjadi karena adanya perubahan dalam unsur-unsur
yang mempertahankan keseimbangan masyarakat, seperti perubahan dalam unsurunsur
geografis, biologis, ekonomis, dan kebudayaan. Perubahan-perubahan tersebut dilakukan
untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman yang dinamis. Adapun teori-teori yang
menjelaskan mengenai perubahan sosial adalah sebagai berikut.   1. Teori Evolusi
( Evolution Theory ) Teori ini pada dasarnya berpijak pada perubahan yang memerlukan
proses yang cukup panjang. Dalam proses tersebut, terdapat beberapa tahapan yang harus
dilalui untuk mencapai perubahan yang diinginkan. Ada bermacam-macam teori tentang
evolusi. Teori tersebut digolongkan ke dalam beberapa kategori, yaitu unilinear theories of
evolution, universal theories of evolution, danmultilined theories of evolution.

a. Unilinear Theories of Evolution Teori ini berpendapat bahwa manusia dan masyarakat
termasuk kebudayaannya akan mengalami perkembangan sesuai dengan tahapan-tahapan
tertentu dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang kompleks dan akhirnya sempurna.
Pelopor teori ini antara lain Auguste Comte dan Herbert Spencer. b. Universal Theories of
Evolution Teori ini menyatakan bahwa perkembangan masyarakat tidak perlu melalui
tahap-tahap tertentu yang tetap. Kebudayaan manusia telah mengikuti suatu garis evolusi
tertentu. Menurut Herbert Spencer, prinsip teori ini adalah bahwa masyarakat merupakan
hasil perkembangan dari kelompok homogen menjadi kelompok yang heterogen.
c. Multilined Theories of Evolution Teori ini lebih menekankan pada penelitian terhadap
tahaptahap perkembangan tertentu dalam evolusi masyarakat. Misalnya mengadakan
penelitian tentang perubahan sistem mata pencaharian dari sistem berburu ke sistem
pertanian menetap dengan menggunakan pemupukan dan pengairan. Menurut Paul B.
Horton dan Chester L. Hunt, ada beberapa kelemahan dari Teori Evolusi yang perlu
mendapat perhatian, di antaranya adalah sebagai berikut. a. Data yang menunjang
penentuan tahapan-tahapan dalam masyarakat menjadi sebuah rangkaian tahapan seringkali
tidak cermat. b. Urut-urutan dalam tahap-tahap perkembangan tidak sepenuhnya tegas,
karena ada beberapa kelompok masyarakat yang mampu melampaui tahapan tertentu dan
langsung menuju pada tahap berikutnya, dengan kata lain melompati suatu tahapan.
Sebaliknya, ada kelompok masyarakat yang justru berjalan mundur, tidak maju seperti yang
diinginkan oleh teori ini. c. Pandangan yang menyatakan bahwa perubahan sosial akan
berakhir pada puncaknya, ketika masyarakat telah mencapai kesejahteraan dalam arti yang
seluas-luasnya. Pandangan seperti ini perlu ditinjau ulang, karena apabila perubahan
memang merupakan sesuatu yang konstan, ini berarti bahwa setiap urutan tahapan
perubahan akan mencapai titik akhir. Padahal perubahan merupakan sesuatu yang bersifat
terusmenerus sepanjang manusia melakukan interaksi dan sosialisasi. 2. Teori Konflik
( Conflict Theory )

Menurut pandangan teori ini, pertentangan atau konflik bermula dari pertikaian kelas antara
kelompok yang menguasai modal atau pemerintahan dengan kelompok yang tertindas secara
materiil, sehingga akan mengarah pada perubahan sosial. Teori ini memiliki prinsip bahwa
konflik sosial dan perubahan sosial selalu melekat pada struktur masyarakat. Teori ini
menilai bahwa sesuatu yang konstan atau tetap adalah konflik sosial, bukan perubahan
sosial. Karena perubahan hanyalah merupakan akibat dari adanya konflik tersebut. Karena
konflik berlangsung terus-menerus, maka perubahan juga akan mengikutinya. Dua tokoh
yang pemikirannya menjadi pedoman dalam Teori Konflik ini adalah Karl Marx dan Ralf
Dahrendorf. Secara lebih rinci, pandangan Teori Konflik lebih menitikberatkan pada hal
berikut ini. a. Setiap masyarakat terus-menerus berubah. b. Setiap komponen masyarakat
biasanya menunjang perubahan masyarakat. c. Setiap masyarakat biasanya berada dalam
ketegangan dan konflik. d. Kestabilan sosial akan tergantung pada tekanan terhadap
golongan yang satu oleh golongan yang lainnya. 3. Teori Fungsionalis ( Functionalist
Theory ) Konsep yang berkembang dari teori ini adalah cultural lag (kesenjangan budaya).
Konsep ini mendukung Teori Fungsionalis untuk menjelaskan bahwa perubahan sosial tidak
lepas dari hubungan antara unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakat. Menurut teori ini,
beberapa unsur kebudayaan bisa saja berubah dengan sangat cepat sementara unsur yang
lainnya tidak dapat mengikuti kecepatan perubahan unsur tersebut. Maka, yang terjadi
adalah ketertinggalan unsur yang berubah secara perlahan tersebut. Ketertinggalan ini
menyebabkan kesenjangan sosial atau cultural lag . Para penganut Teori Fungsionalis lebih
menerima perubahan sosial sebagai sesuatu yang konstan dan tidak memerlukan penjelasan.
Perubahan dianggap sebagai suatu hal yang mengacaukan keseimbangan masyarakat. Proses
pengacauan ini berhenti pada saat perubahan itu telah diintegrasikan dalam kebudayaan.
Apabila perubahan itu ternyata bermanfaat, maka perubahan itu bersifat fungsional dan
akhirnya diterima oleh masyarakat, tetapi apabila terbukti disfungsional atau tidak
bermanfaat, perubahan akan ditolak. Tokoh dari teori ini adalah William Ogburn. Secara
lebih ringkas, pandangan Teori Fungsionalis adalah sebagai berikut. a. Setiap masyarakat
relatif bersifat stabil. b. Setiap komponen masyarakat biasanya menunjang kestabilan
masyarakat. c. Setiap masyarakat biasanya relatif terintegrasi. d. Kestabilan sosial sangat
tergantung pada kesepakatan bersama (konsensus) di kalangan anggota kelompok
masyarakat. 4. Teori Siklis ( Cyclical Theory ) Teori ini mencoba melihat bahwa suatu
perubahan sosial itu tidak dapat dikendalikan sepenuhnya oleh siapapun dan oleh apapun.
Karena dalam setiap masyarakat terdapat perputaran atau siklus yang harus diikutinya.
Menurut teori ini kebangkitan dan kemunduran suatu kebudayaan atau kehidupan sosial
merupakan hal yang wajar dan tidak dapat dihindari. Sementara itu, beberapa bentuk Teori
Siklis adalah sebagai berikut. a. Teori Oswald Spengler (1880-1936) Menurut teori ini,
pertumbuhan manusia mengalami empat tahapan, yaitu anak-anak, remaja, dewasa, dan tua.
Pentahapan tersebut oleh Spengler digunakan untuk menjelaskan perkembangan
masyarakat, bahwa setiap peradaban besar mengalami proses kelahiran, pertumbuhan, dan
keruntuhan. Proses siklus ini memakan waktu sekitar seribu tahun. b. Teori Pitirim A.
Sorokin (1889-1968) Sorokin berpandangan bahwa semua peradaban besar berada dalam
siklus tiga sistem kebudayaan yang berputar tanpa akhir. Siklus tiga sistem kebudayaan ini
adalah kebudayaan ideasional, idealistis, dan sensasi. 1) Kebudayaan ideasional, yaitu
kebudayaan yang didasari oleh nilai-nilai dan kepercayaan terhadap kekuatan supranatural.
2) Kebudayaan idealistis, yaitu kebudayaan di mana kepercayaan terhadap unsur adikodrati
(supranatural) dan rasionalitas yang berdasarkan fakta bergabung dalam menciptakan
masyarakat ideal. 3) Kebudayaan sensasi, yaitu kebudayaan di mana sensasi merupakan tolok
ukur dari kenyataan dan tujuan hidup. c. Teori Arnold Toynbee (1889-1975) Toynbee
menilai bahwa peradaban besar berada dalam siklus kelahiran, pertumbuhan, keruntuhan,
dan akhirnya kematian. Beberapa peradaban besar menurut Toynbee telah mengalami
kepunahan kecuali peradaban Barat, yang dewasa ini beralih menuju ke tahap
kepunahannya.   Paradigma Paradigma Sosiologi Untuk lebih mempertajam pemahaman
dan seluk-beluk peta paradigma yang dapat digunakan untuk memahami teori-teori
perubahan sosial dan teori pembangunan, maka perIu juga kita memetakan secara lebih luas
paradigma dalam ilmu sosiologi. Untuk itu dalam bagian ini dikemukakan dan disajikan peta
paradigma sosiologi yang dikembangkan oleh Burnell dan Morgan (1979). Burnell dan
Morgan membuat suatu pemetaan paradigma sosiologi yang dapat membantu kita untuk
memahami ‘cara pandang’ berbagai aliran dan teori ilmu-ilmu sosial. Mereka membantu
memecahkan sumber utama keruwetan peta teori ilmu sosial dengan mengajukan peta
filsafat dan teori sosial.[11] Secara sederhana mereka mengelompokkan teori sosial ke dalam
empat kunci paradigma. Empat paradigma itu dibangun atas pandangan yang berbeda
mengenai dunia sosial. Masing-masing pendirian dalam kebenarannya dan melahirkan
analisis tentang kehidupan sosial. Sejak tahun 1960-an sesungguhnya telah muncul berbagai
aliran pemikiran sosiologi yang dalam perkembangannya justru tidak membantu untuk
memperjelas peta paradigma sosiologi. Namun pada awal tahun 1970-an terjadi kebutuhan
dalam perdebatan sosiologi mengenai sifat ilmu sosial dan sifat masyarakat seperti halnya
terjadi pada tahun 1960-an. Untuk memecahkan kebuntuan itu mereka usulkan untuk
menggunakan kembali unsur penting dari perdebatan 1960-an, yakni cara baru dalam
menggunakan kembali unsur penting dari perdebatan 1960-an, yakni cara baru dalam
menganalisis empat paradigma sosiologi yang berbeda. Empat paradigma itu ialah: Humanis
Radikal, srukturalis radikal, interpretatif dan Fungsionalis. Keempat paradigma itu satu
dengan yang lain memiliki pendirian masing-masing, karena memang memiliki dasar
pemikiran yang secara mendasar berbeda. Sifat dan kegunaan empat paradigma tersebut
adalah selain untuk memahami dan menganalisis suatu praktik sosial, juga untuk memahami
ideologi dibalik suatu teori sosial. Paradigma sebagai anggapan-anggapan meta-teoretis yang
mendasar yang menentukan kerangka berpikir, asumsi dan cara bekerjanya teori sosial yang
menggunakannya. Di dalamnya tersirat kesamaan pandangan yang mengikat sekelompok
penganut teori mengenai cara pandang dan cara kerja dan batas-batas pengertian yang sama
pula. Jika ilmuwan sosial menggunakan paradigma tertentu, berarti memandang dunia
dalam satu cara yang tertentu pula. Peta yang digunakan di sini adalah menempatkan empat
pandangan yang berbeda mengenai sifat ilmu sosial dan sifat masyarakat yang didasarkan
pada anggapan-anggapan meta-teoretis. Empat paradigma itu merupakan cara
mengelompokkan kerangka berpikir seseorang dalam suatu teori sosial dan merupakan alat
untuk memahami mengapa pandangan-pandangan dan teori-teori tertentu dapat lebih
menampilkan sentuhan pribadi dibanding yang lain. Demikian juga alat untuk memetakan
perjalanan pemikiran teori sosial seseorang terhadap persoalan sosial. Perpindahan
paradigma sangat dimungkinkan terjadi, dan hal ini sama bobotnya dengan pindah agama.
Misalnya, apa yang pernah terjadi pada Karl Marx yang dikenal Marx tua dan Marx muda,
yakni perpindahan dari humanis radikal ke strukturalis radikal Perpindahan ini
disebut epistemological break. Paradigma Fungsionalis Paradigma fungsionalisme
sesungguhnya merupakan aliran pemikiran yang paling banyak dianut di dunia. Pandangan
fungsionalisme berakar kuat pada tradisi sosiologi keteraturan. Pendekatannya terhadap
permasalahan berakar pada pemikiran kaum obyektivis. Pemikiran fungsionalisme
sebenarnya merupakan sosiologi kemapanan, ketertiban sosial, stabilitas sosial, kesepakatan,
keterpaduan sosial, kesetiakawanan, pemuasan kebutuhan, dan hal-hal yang nyata (empirik).
Oleh karenanya, kaum fungsionalis cenderung realis dalam pendekatannya, positivis,
deterministis dan nomotetis. Rasionalitas lebih diutamakan dalam menjelaskan peristiwa
atau realitas sosial. Paradigma ini juga lebih berorientasi pragmatis, artinya berusaha
melahirkan pengetahuan yang dapat diterapkan, berorientasi pada pemecahan masalah yang
berupa langkah-langkah praktis untuk pemecahan masalah praktis juga. Mereka lebih
mendasarkan pada “filsafat rekayasa sosial” (social engineering) sebagai dasar bagi usaha
perubahan sosial, serta menekankan pentingnya cara-cara memelihara, mengendalikan atau
mengontrol keteraturan, harmoni, serta stabilitas sosial. Paradigma ini pada dasamya
berusaha menerapkan metode pendekatan pengkajian masalah sosial dan kemanusiaan
dengan cara yang digunakan ilmu alam dalam memperlakukan objeknya. Paradigma ini
dimulai di Prancis pada dasawarsa pertama abad ke-19 karena pengaruh karya Comte,
Spencer, Durkheim, dan Pareto. Aliran ini berasal dari asumsi bahwa realitas sosial terbentuk
oleh sejumlah unsur empirik nyata dan hubungan antar semua unsur tersebut dapat dikenali,
dikaji, diukur dengan pendekatan dan menekankan alat seperti yang digunakan dalam ilmu
alam. Menggunakan kias ilmu mekanika dan biologi untuk menjelaskan realitas sosial pada
dasarnya adalah prinsip yang umumnya digunakan oleh aliran ini. Namun demikian, sejak
awal abad ke-20, mulai terjadi pergeseran, terutama setelah dipengaruhi oleh tradisi
pemikiran idealisme Jerman seperti pemikiran Max Weber, Geroge Simmel dan George
Herbet Mead. Sejak saat itu banyak kaum fungsionalis mulai meninggalkan rumusan teoretis
dari kaum objektivis dan mulai bersentuhan dengan paradigma interpretatif yang lebih
subjektif. Kias mekanika dan biologi mulai bergeser melihat manusia atau masyarakat, suatu
pergeseran pandangan menuju para pelaku langsung dalam proses kegiatan sosial. Pada
tahun 1940-an pemikiran sosiologi “perubahan radikal” mulai menyusupi kubu kaum
fungsionalis untuk meradikalisasi teori-teori fungsionalis. Sungguhpun telah terjadi
persentuhan dengan paradigma lain, paradigma fungsonalis tetap saja secara mendasar
menekankan pemikiran objektivisme dan realitas sosial untuk menjelaskan keteraturan 
menekankan pemikiran objektivisme dan realitas sosial untuk menjelaskan keteraturan 
sosial. Karena persentuhan dengan paradigma lain itu sebenarnya telah lahir beragam
pemikiran yang berbeda atau campuran dalam paham fungsionalis. Paradigma
Interpretatif (Fenomenologi) Paradigma interpretatif sesungguhnya menganut pendirian
sosiologi keteraturan seperti halnya fungsionalisme, tetapi mereka menggunakan pendekatan
objektivisme dalam analisis sosialnya sehingga hubungan mereka dengan sosiologi
keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan sosial menurut apa adanya,
yakni mencari sifat yang paling dasar dari kenyataan sosial menurut pandangan subjektif
dan kesadaran seseorang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial bukan menurut orang
lain yang mengamati. Pendekatannya cenderung nominalis, antipositivis dan ideografis.
Kenyataan sosial muncul karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang.
Karenanya, mereka berusaha menyelami jauh ke dalam kesadaran dan subjektivitas pribadi
manusia untuk menemukan pengertian apa yang ada di balik kehidupan sosial. Sungguhpun
demikian, anggapan-anggapan dasar mereka masih tetap didasarkan pada pandangan bahwa
manusia hidup serba tertib, terpadu dan rapat, kemapanan, kesepakatan, kesetiakawan.
Pertentangan, penguasan, benturan sama sekali tidak menjadi agenda kerja mereka. Mereka
terpengaruh lansung oleh pemikiran sosial kaum idealis Jerman yang berasal dari pemikiran
Kant yang lebih menekankan sifat hakikat rohaniah daripada kenyataan sosial. Perumus teori
ini yakni mereka yang penganut filsafat fenomenologi antara lain Dilttey, Weber, Husserl, dan
Schutz.     Paradigma Humanis Radikal  Para penganut humanis radikal pada dasamya
berminat mengembangkan sosiologi perubahan radikal dari pandangan subjektivis yakni
berpijak pada kesadaran manusia. Pendekatan terhadap ilmu sosial sama dengan kaum
interpretatif yaitu nominalis, antipositivis, volunteris dan ideografis. Kaum humanis radikal
cenderung menekankan perlunya menghilangkan atau mengatasi berbagai pembatasan
tatanan sosial yang ada. Namun demikian, pandangan dasar yang penting bagi humanis
radikal adalah bahwa kesadaran manusia telah dikuasai atau dibelenggu oleh supra struktur
idiologis di luar dirinya yang menciptakan pemisah antara dirinya dengan kesadarannya
yang murni (alienasi), atau membuatnya dalam kesadaran palsu (false consciousness) yang
menghalanginya mencapai pemenuhan dirinya sebagai manusia sejati. Karena itu, agenda
utamanya adalah memahami kesulitan manusia dalam membebaskan dirinya dari semua
bentuk tatanan sosial yang menghambat perkembangan dirinya sebagai manusia.
Penganutnya mengecam kemapanan habis-habisan. Proses-proses sosial dilibat sebagai tidak
manusiawi. Untuk itu mereka ingin memecahkan masalah bagaimana manusia bisa
memutuskan belenggu-belenggu yang mengikat mereka dalam pola-pola sosial yang mapan
untuk mencapai harkat kemanusiaannya. Meskipun demikian, masalah-masalah
pertentangan struktural belum menjadi perhatian mereka Paulo Freire misalnya dengan
analisisnya mengenai tingkatan kesadaran manusia dan usaha untuk melakukan
“konsientisasi”, yang pada dasarnya membangkitkan kesadaran manusia akan sistem dan
struktur penindasan, dapat dikategorikan dalam paradigma humanis radikal. Paradigma
Strukturalis Radikal Penganut paradigma strukturalis radikal seperti kaum humanis radikal
memperjuangkan perubahan sosial secara radikal tetapi dari sudut pandang objektivisme.
Pendekatan ilmiah yang mereka anut memiliki beberapa persamaan dengan kaum
fungsionalis, tetapi mempunyai tujuan akhir yang saling berlawanan. Analisisnya lebih
menekankan pada konflik struktural, bentuk-bentuk penguasaan dan pemerosotan harkat
kemanusiaan. Karenanya, pendekatannya cenderung realis, positivis, determinis, dan
nomotetis. Kesadaran manusia yang bagi kaum humanis radikal penting, justru oleh mereka
dianggap tidak penting. Bagi kaum strukturalis radikal yang lebih penting justru hubungan-
hubungan struktural yang terdapat dalam kenyataan sosial yang nyata. Mereka menekuni
dasar-dasar hubungan sosial dalam rangka menciptakan tatanan sosial baru secara me-
nyeluruh. Penganut paradigma strukturalis radikal terpecah dalam dua perhatian, pertama
lebih tertarik pada menjelaskan bahwa kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan

perubahan sosial. Sebagian mereka lebih tertarik pada keadaan penuh pertentangan dalam
perubahan sosial. Sebagian mereka lebih tertarik pada keadaan penuh pertentangan dalam
suatu masyarakat.  

sumber: http://alfinnitihardjo.ohlog.com/teori-teori-perubahan-sosial.oh112689.html
(http://alfinnitihardjo.ohlog.com/teori-teori-perubahan-sosial.oh112689.html)
http://pergerakan07.blogspot.com/2012/04/lsafat-sosiologi-perubahan-sosial.html
(http://pergerakan07.blogspot.com/2012/04/lsafat-sosiologi-perubahan-sosial.html)

Iklan

LAPORKAN IKLAN INI


Iklan

LAPORKAN IKLAN INI


HMI CABANG HMI PALANGKARAYA LK 2 MATERI LK MATERI LK 2
HMI MATERI LK HMI TEORI PERUBAHAN SOSIAL

Anda mungkin juga menyukai