Anda di halaman 1dari 21

HMI DAN KEBANGKITAN ISLAM

(KODE H)

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mengikuti Intermediate Training (LK2)
Tingkat Nasional Himpunan Mahasiswa Islam Kordinator Komisariat Universitas
Muslim Indonesia Cabang Makassar

Disusun Oleh:

MUH. FAIDHUL BARKAH

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)

CABANG MAKASSAR

201
CURRICULUM VITAE

DATA PRIBADI
Nama : Muh. Faidhul Barkah
TTL : Sungguminasa 10 Mei 1998
Alamat : Panciro Gowa
Status : Belum Kawin
Agama : Islam
Nomor KTP : 8271061312950004
Postur tubuh : 153 cm
Usia : 21 tahun
Telepon : 085299733844
e-mail : muhfaidhul@gmail.com
Pendidikan : Mahasiswa

Saya menyukai berbagai hal seperti mengikuti pelatihan pelatihan yang


disediakan oleh organisasi

PENDIDIKAN FORMAL
 2004-2010 : SDN PANCIRO
 2010-2013 : SMPN 1 PALLANGGA
 2013-2016 : SMAN 1 BAJEN
PENGALAMAN
 SEPAK BOLA SMA
MINAT DAN HOBI
 Game, Bersepeda, Futsal, dan Membaca
RIWAYAT ORGANISASI
 Himpunan Mahasiswa Islam
 Keluarga Besar Mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer
 Himpunan Pengusaha Muda Indonesia
NASKAH JURNAL LATIHAN KADER (LK II) NASIONAL HMI KORKOM
UMI CABANG MAKASSAR

HMI DAN KEBANGKITAN ISLAM


OLEH: MUH. FAIDHUL BARKAH
HMI CABANG MAKASSAR
muhfaidhul@gmail.com
08299733844

Abstrak

Dalam memasuki abad ke-21 ini, bangsa Indonesia akan menghadapi


tantangan yang berat dalam bidang ekonomi, karena liberalisasi perdagangan yang
sangat dinamis , berbagai perkembangan teknologi, dinamika informasi, dan
pertumbuhan perdagangan akan memberikan banyak pilihan dan peluang bagi
pertumbuhan ekonomi kita.

Perlu disadari, perjalanan HMI yang merupakan bagian integral bangsa Indonesia,
telah berlangsung lebih dari separuh masa kemerdekaan Indonesia. Secara kultural
HMI merupakan pencerminan dari pluralisme masyarakat Indonesia. Berkat
kemerdekaan, masyarakat muslim, yang pada zaman penjajahan mengalami
hambatan untuk mengenyam Pendidikan formal, apalagi Pendidikan tinggi,
memperoleh akses yang jauh lebih luas untuk mengenyam pendidikan tinggi.

. Dalam perkembangan dewasa ini, intelektualisme akan merupakan salah satu


persoalan sentral kaum Muslim. Gejala yang sering disebut sebagai petunjuk adanya
kebangkitan kembali islam ialah antusiasme orang-orang muda kepada agama,
khususnya di Indonesia, dan juga di seluruh dunia.

Kata kunci : Perjuangan HMI, globalisasi, intelektual islam.


1. Pendahuluan

Pada kebangkitan islam pertama (masa Muhammad) dan kebangkitan


eropa. Dari sumber-sumber yang ada dalam Al-Qur’an, diketahui bahwa
sebelum islam datang, daerah arab dilanda kegalauan social dan metafisis.
Kegalauan ini terjadi karena terjadinya perseteruan antara kelompok elit
Qurays sebagai penguasa ekonomi dan politik yang mewakili kekuatan lama
dengan sekolompok orang yang dikenal dengan kaum hunafa dan
mendakwahkan ajaran tauhid yang . berarti menyimpang dari ajaran keagama
an kuno yang mengenal penyembahan berhala. Islam datang menegaskan
ajaran hanifiyah ini. Dengan sendirinya islam terlibat konflik secara langsung
dengan kekuatan lama dan konservatif yang mendasarkan legitimasinya
kepada masa lalu yang dekat yakni warisan nenek moyang. Sebaliknya islam
menyerukan kembali prinsip-prinsip dasar yakni agama hanifiyah Ibrahim.
Penyembahan berhala kemudian diganti dengan agama tauhid. Mekanisme
serupa juga berlaku dalam proses kebangkitan eropa modern yaitu mekanisme
kembali ke prinsip-prinsip dasar sebagai acuan dan titik tolak dengan cara
menghidupkan kembali warisan Yunani-Romawi abad 12 M yang kemudian
menandai era bangkitnya humanime, suati revolusi pemberontakan terhadap
nilai-nilai gereja abad tengah.

Dengan demikian, mekanisme kebangkitan yang pada dasarnya


mengacu kemasa depan, secara keseluruhan tidak menafikkan atau
mengingkari masa lalu. Sebaliknya, ia bertitik tolak dari suatu kritik atas masa
kini dan masa lalu yang lebih dekat (dalam kasus islam berarti penyembahan
terhadap berhala, sedang dalam kasus eropa berarti dominasi gereja yang
menafikkan akal), dan kembali kepada masa lalu yang jauh (dalam kasus
islam berarti agama hanifiyah Ibrahim dan dalam kasus eropa berarti tradisi
rasionalitas Yunani-Romawi) yang dianggap orisinil atau otentik demi
membangun proyek masa depan. Disini tradisi tidak dijadikan sesuatu yang
beku dan statis, melainkan justru dijadikan sebagai sandaran untuk melakukan
kritik dan melampauinya.

Hal ini berbeda dengan upaya kebangkitan Arab (islam) kontemporer.


Berkaitan dengan mekenisme kebangkitan yang semestinya, upaya
kebangkitan arab kontemporer paling tidak ditandai oleh dua karakter.
Pertama, adanya pembelaan tradisi dalam rangka mempertahankan identitas
dirinya dari ancaman pihak luar. Dengan demikian, proses kembali kepada
prinsip dasar yang semestinya berjalan secara kritis dengan tujuan melampaui
masa lalu dan melompat ke masa depan, akhirnya bertabrakan dan tumpan
tindih dengan proses berlindung ke masa lalu dihadapkan dengan pihak asing.
Kedua, di sini, tradisi mengukuhkan otiritasnya sehingga menimbulkan
wacana memori yang semakin jauh dari realitas. Titik tolak pemikiran bukan
dari realitas tetapi memori yang diadopsi dari tradisi sehingga realitas
kontemporer dibaca dari prespektif tradisi. Akibatnya alam pikiran generasi
sekarang diarahkan oleh metode, konsep dan pikirian para pendahulu dan
turut terbawa dan terlibat dalam konflik dan persoalan-persoalan mereka
meskipun realitas social yang berperan dalam membentuk dan melahirkannya
telah tiada. Dengan kata lain, tradisi mengalami otonomi relative secara
sempurna.

Pada abad ke 18, dunia Islam jatuh ke jurang keruntuhan terdalam.


Tidak ada lagi keproduktifitasan umat Islam dalam bidang politik, ekonomi,
ilmu, seni, dan lain sebagainya layaknya 14 abad masa kejayaannya silam.
Kritisme umat Islam atas modernisasi Barat (modernisme) tumbuh dengan
pesat dalam bentuk yang beragam, baik berupa gerakan intelektual maupun
gerakan social politik.
Gabungan serasi dan seimbang antara iman dan ilmu itulah yang kita
perlukan sepanjang masa dan setiap tempat. Setelah kita mencoba memahami
agama secara benar sebagai usaha meningkatkan iman, kita dengan sendiri-
nya ingin meraih kebahagiaan hidup dunia akhirat yang dijanjikan oleh agama
itu, dengan berusaha melaksanakannya di tempat kita hidup, yaitu di Indo-
nesia sebagai lingkungan politik nasional kita. Maka pelaksanaan ajaran Islam
di Indonesia pun dengan sendirinya menuntut pengetahuan dan pemahaman
lingkungan Indonesia, fisik maupun, lebih-lebih lagi, sosial-budaya.

Salah satu ciri menonjol negeri kita ialah keanekaragaman, baik secara
fisik maupun sosial-budaya. Indonesia adalah negeri dengan heterogenitas
tertinggi di muka bumi, berdasarkan kenyataan bahwa ia terdiri dari 13.000
pulau, besar dan kecil, dihuni dan tidak dihuni (atau, menurut perkiraan
Angkatan Laut kita, 17.000 pulau). Dengan kelompok kesukuan dan bahasa
daerahnya masing-masing yang jumlahnya mencapai ratusan.

2. Pembahasan
A. Revitalisasi Nilai-nilai Islam

Perlu kita ketahui terlebih dahulu nilai-nilai yang dominan di


dalam masyarakat industrial, sebab dehumanisasi adalah suatu proses
yang menyangkut masalah nilai-nilai. Masyarakat industrial menurut
dan melahirkan nilai-nilainya sendiri yang tidak dapat dihindarkan.
Untuk menjadi industrial, masyarakat harus disiapkan untuk menerima
nilai-nilai yang menunjang proses industrialisasi itu. Tetapi lebih
penting lagi ialah bahwa setiap industrialisasi, dikehendaki ataupun
tidak, pasti melahirkan tata nilai yang kebanyakan tidak dikenal oleh
suatu masyarakat non-industrial. Keharusan-keharusan itu, betapapun
buruknya, menjelma menjadi tata nilai resmi. Pelanggaran atas nilai-
nilai itu akan mengakibatkan sanksi-sanksi yang langsung dirasakan
oleh pelakunya menurut ukuran-ukuran masyarakat industrial itu
sendiri.

Dalam pembicaraan di masyarakat, baik yang “berat” seperti


diskusidiskusi maupun yang “ringan” seperti percakapan sehari-hari,
sering terungkap masalah bahagia dan sengsara: apakah sebenarnya
hakikat kedua keadaan itu masing-masing, serta bagaimana
hubungannya dengan keadaan yang menyangkut masalah pembagian
rezeki dalam masyarakat, yaitu adanya kaya dan miskin? Menjawab
persoalan itu hampir semua orang sepakat bahwa tidak ada bentuk
hubungan yang mantap antara keadaan bahagia sengsara dengan
keadaan kaya-miskin. Umumnya dapat disetujui bahwa kemiskinan
adalah suatu nasib buruk yang amat tidak mengenakkan bagi yang
kebetulan menjadi orang miskin. Tetapi orang miskin itu, asalkan
tidak menderita kelaparan yang akut umpamanya, tidaklah lebih
sengsara daripada seorang yang kaya. Malahan mereka sering lebih
bahagia: lebih mudah tidur lelap, lebih sering ketawa-riang dan lebih
mampu merasakan kenikmatan makanan yang tersedia baginya.
Semua orang yang berpikir mendalam akan mengatakan kepada kita
bahwa kebahagiaan dan kesengsaraan adalah persoalan keadaan dan
sikap jiwa, dan tidak ada hubungannya dengan harta. Uang dapat
mengobati kelaparan, tetapi tidak dapat mengobati kesengsaraan jiwa.

Tetapi keberatan sosial terhadap kemiskinan bukanlah karena


ia membuat manusia tidak bahagia, melainkan karena ia
memerosotkan martabatnya. Dan justru kenyataan bahwa orang
miskin masih dapat merasa bahagia karena keasorannya dan orang
kaya dapat merasakan bahagia karena kehormatannya membuat
sesuatu semakin memburuk. Sebab dengan begitu maka masing-
masing akan berada pada tempatnya, dan sulit diadakan pergeseran
sosial. Seperti dialami oleh tokoh pergerakan sosialis Jerman yang
terkenal, Ferdinand Lassale, bahwa yang merunyamkan dirinya dalam
menggerakkan orang-orang melarat untuk memberontak kepada
kemiskinan ialah tidak adanya kemauan pada mereka. Mereka menjadi
“nrimo”, dan sikap itu mengalahkan rasa tidak puasnya kepada
keadaan sehingga semangat berjuang pun hilang. Dengan sulitnya
terjadi pergeseran sosial itu maka berarti pula berlangsung terusnya
degradasi sosial. Kemiskinan sebagaimana terdapat di kota-kota besar
sekarang ini, memerosotkan orang-orang miskin itu, kemudian
keadaan yang asor itu menular kepada lingkungan di mana mereka
tinggal. Dan sesuatu yang dapat memerosotkan suatu lingkungan kecil
tentunya juga dapat berbuat serupa untuk lingkungan yang lebih besar,
seperti bangsa dan negara.

Dalam percakapan sehari-hari, perkataan “materialisme” yang


sering dikaitkan dengan gaya hidup modern tidaklah dimaksudkan
sebagai suatu pandangan kefilsafatan seperti yang ada dalam, misalnya
Marxisme (yaitu materialisme sebagai lawan idealisme). Materialisme
orang modern ialah suatu etos yang memandang kebahagiaan manusia
dan harga dirinya ada dalam penampilanpenampilan fisik dan lahiriah,
berdasarkan kekayaan material, meskipun orang itu sepenuhnya
percaya kepada yang gaib atau “immaterial”. Maka timbul ironi bahwa
orang pergi ke dukun, sebagai bagian dari usaha memperoleh
kekayaan material yang lebih banyak. Mereka yang “materialis”
secara ideologis, seperti kaum Marxis, tidak akan pergi ke dukun,
karena tidak percaya kepada yang gaib, yang “immaterial”. Tetapi
materialisme dalam arti gaya hidup kebendaan bukanlah monopoli
orang zaman modern. Kitab Suci al-Qur’an banyak memperingatkan
umat manusia, antara lain melalui penuturan kisah kejadian masa
lampau, tentang bahaya gaya hidup serbakebendaan. Kisah tentang
Qarun, misalnya, dimaksudkan untuk menyampaikan pesan moral
tentang kemungkinan merosotnya harkat dan martabat kemanusiaan
karena gaya hidup serba-kebendaan itu, dengan sikap angkuh dan
tidak peduli kepada kelompok manusia yang kurang beruntung dalam
masyarakat. Dan pesan moral itu juga disampaikan secara langsung,
dengan peringatanperingatan, salah satunya adalah fi rman Allah yang
terjemahnya kurang lebih seperti berikut:

“Ingatlah (manusia), kamu bahkan tidak pernah memuliakan


anak yatim, dan tidak dengan tegas saling mendorong untuk
memberi makan kepada orang miskin, kemudian kamu
memakan (harta) warisan (manusia) dengan penuh ketamakan,
dan kamu cinta harta itu habishabisan,” (Q 89:17-20).

Agaknya gaya hidup kebendaan manusia modern sangat


mencocoki semangat di balik peringatan Tuhan itu. Yaitu gaya hidup
yang serba-berpusat kepada diri sendiri, dan mengabaikan masyarakat
sekeliling. Jika perbincangan kita sehari-hari sering menyebut egoisme
dan individualisme (dalam artian egoisme itu), maka sebetulnya kita
mengidap kekhawatiran yang mendalam terhadap pola hidup
kebendaan yang berlebihan. Tidak jarang kita merasa telah menjadi
“segala-galanya” hanya karena kita telah mengonsumsi kekayaan yang
melimpah. Konsumerisme menjadi kebanggaan, kemudian menjadi
tumpuan rasa harga diri yang tidak pada tempatnya. Penilaian orang
kepada diri kita, kita pertaruhkan kepada tampilan-tampilan lahiriah
yang “mahal” dan mewah. Berkenaan dengan kesesatan ini lagi,
cobalah kita simak fi rman Allah, demikian:

“Sungguh Kami telah ciptakan manusia dalam kesusahan.


Apakah ia mengira, tiada siapa pun yang berkuasa atas
dirinya?! Ia berkata: ‘Aku telah habiskan harta yang melimpah
ruah.’ Apakah ia mengira, tiada siapa pun yang melihatnya?”
(Q 90:4-7).

Dari ajaran Kitab Suci itu kita mengetahui bahwa kesesatan


gaya hidup serba-kebendaan terpatri dalam diri manusia sebagai unsur
kelemahannya. Dan kelemahan manusia itu membuatnya semakin
tidak berdaya menghadapi godaan mudahnya memperoleh kelimpahan
material (bagi mereka yang berada pada saat dan tempat yang “tepat”
atau, dalam slang kita, ada di tempat yang “basah”) di zaman modern
ini.

Dalam sejarah perkembagan umat islam Char Martel pernah


menjawab pertanyaan dari salah satu prajuritnya. Mengapa umat islam
begitu kuat? Charles martel menjawab : “Dalam keyakinan yang
mereka anut mereka lebih kuat dan lebih kokoh dari seluruh benteng
dan tembok penghalang, lebih kuat dari baju besi, tomba, dan semua
senjata. Berilah mereka waktu sampai beberapa lama hingga tangan
mereka dipenuhi rampasan perang, hingga mereka condong pada
istana dan rumah, memiliki pelayan dan pembantu, serta saling
bersaing memperebutkan dunia dengan segala benda dan
perhiasannya. Saat dalam kondisi seperti itulah kalian bias
mengalahkan mereka”.
Seperti halnya rampasan perang pasukan Quraisy saat perang
Uhud menyebabkan pasukan pemanah meninggalkan posisi, dan
pelanggaran yang mereka lakukan terhadap intruksi-intruksi
Rasulullah SAW menjadi sebab kekalahan dan mengubah neraca
peperangan, seperti itu juga perkemahan tempat rampasan perang
ketika pasukan muslimin di bawah komando Abdurrahman Al-Ghafiki
melawan pasukan Eropa di bawah komando Char Martel menjadi
penyebab petaka menyakitkan dan kekalahan pahit.

B. Islam Sebagai Sebuah Refleksi

Barangkali sudah menjadi kesepakatan umum bahwa umat


manusia saat sekarang sedang menghadapi persoalan yang harus
dipecahkan. Sudah jelas bahwa kapitalisme Barat, yang kini sedang
“memonopoli” merk kemodernan, tidak disepakati oleh semua orang
sebagai jalan yang terbaik. Karena itu, timbul berbagai gejala yang
merupakan percobaan memberi alternatif, terpenting di antaranya ialah
gejala komunisme. Tetapi, akhir-akhir ini juga mulai tampak gejala
spiritualisme yang meluangkan kemungkinan bagi semakin
diterimanya agama-agama Timur, khususnya agama Hindu dan Budha
di dunia Barat.

Tidak terbantah lagi bahwa apa yang telah dicapai oleh


peradaban modern (Barat) merupakan suatu prestasi manusia yang luar
biasa dan tanpa tandingan sebelumnya. Tetapi, semakin diakui oleh
setiap orang, termasuk di antaranya ialah sebagian pemilik peradaban
itu sendiri, bahwa hasil itu terlalu terbatas pada kehidupan lahiriah.
Untuk pertama kalinya, manusia benar-benar mengalami situasi di
mana mereka mulai khawatir dan takut kepada hasil kerja tangannya
sendiri: ilmu pegetahuan dan teknologi.
Sesungguhnya peradaban modern Barat bukanlah golongan
terbesar umat manusia (terbatas hanya pada masyarakat Eropa Barat
dan Amerika Utara saja). Tetapi, pengaruh yang mereka sebarkan
mewarnai kehidupan umat manusia di seluruh pelosok bumi, tak
terkecuali masyarakat negara-negara ber kembang yang di situ praktis
semua negara Muslim termasuk. Kenyataan ini membenarkan
penyederhanaan bahwa persoalan umat manusia dewasa ini ialah
persoalan kapitalisme yang pincang dan tak adil, juga persoalan
komunisme atau sosialisme sebagai alternatif yang tak sempurna.

Perubahan mendalam yang dihadapi umat manusia dalam


memasuki abad ke-21 ini, dari satu segi, merupakan kelanjutan seluruh
proses modernisasi dunia. Proses itu, yang langsung berkaitan dengan
konteks dramatis kehidupan manusia di atas, melipatkan pandangan
perseorangan yang relatif otonom, dengan kemampuan besar untuk
senantiasa menyesuaikan diri dengan situasi baru dan inovasi. Pribadi
seperti itu mempunyai tingkat kesadaran diri yang relatif tinggi, dan
menuntut struktur kekeluargaan, di mana kebebasan dan harkat
pribadinya akan diakui, dan di mana ia dapat menemukan keterkaitan
dengan orang lain, tidak dalam rangka kewenangan dan ketaatan
semata, melainkan dalam rangka perkawanan dan partisipasi yang
hangat. Pribadi serupa itu juga menuntut suatu masyarakat di mana ia
merasa bisa berpartisipasi penuh, yang tujuan-tujuan masyarakat itu
dapat mendukungnya, dan dapat menyumbang untuk mencapainya.
Dan akhirnya, pribadi itu memerlukan suatu pandangan dunia
(weltanschauung) yang terbuka untuk masa depan, yang memberi
penilaian positif kepada usaha memperbaiki kondisi hidup di dunia ini,
dan yang bisa menolong menerangkan apa makna setiap gejolak dan
gangguan dalam proses sejarah manusia.
Agama merupakan suatu cara manusia menemukan makna
hidup dan dunia yang menjadi lingkungannya. Tapi, hidup kita dan
ling kungan abad modern ini, untuk kebanyakan orang, termasuk para
pemeluk agama sendiri, semakin sulit diterangkan maknanya.
Kesulitan itu terutama ditimbulkan oleh masalah-masalah yang
muncul akibat dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi. Ciri-ciri
utama abad modern yang secara tak terbendung mengubah bentuk dan
jaringan masyarakat serta lembaga-lembaganya. Pada abad modern,
nilai berganti dengan cepat, demikian pula cara hidup, dengan akibat
timbulnya rasa tidak menentu serta kejutankejutan, dan memisahkan
manusia semakin jauh dari kepastian moral dan etis tradisional
mereka. Inilah tantangan yang dihadapi agma-agama.

Untuk sampai pada segi operasional agama dalam tindakan


nyata manusia, yang menjadi tekanan dalam pembicaraan ini, kita
harus mempertimbangkan aspek “dramatis” kehidupan manusia, yang
meliputi aspek keagamaan itu sendiri, kekuasaan kekeluargaan dan
kepribadian. Dalam konteks-konteks inilah seseorang mendefi nisikan
dirinya dalam hubungannnya dengan orang lain, lalu menerima atau
menolak nilai kewenangan, dan menentukan pilihan akan apa yang
hendak dilakukan atau tidak, untuk memberi makna kepada hidup ini.

C. Membudayakan Islam Sebagai Haluan Dalam Menghadapi


Tantangan Zaman
Ketika membandingkan antara dua negeri muslim dari ujung
yang paling jauh yaitu Indonesia dan Maroko, Clifford Greertz
mengambil tokoh sunan Kalijaga dan Sidi Lahsen Lyusi sebagai
perlambang corak keislaman masing-masing kedua bangsa itu.
Majapahit yang sedang mati dan turun martabat serta
kehilangan wibawa, kemudian menembus berbagai gejolak politico-
relijius negeri-negeri pelabuhan perantara, dan akhirnya sampai
kepada spriritualitas yang bangkit kembali di Mataram; suatu ikhtisan
transformasi sosial dalam sosok manusia. Sebagai suatu perlambang
dan suatu ide yang terwujud nyata, sunan Kalijaga mempertuatkan
Jawa yang Hindu dan Jawa yang Islam, dan disitulah terletak daya
tariknya, sama juga untuk kita maupun untuk orang lain. Apa pun
sebenarnya yang terjadi, ia di pandang sebagai jembatan antara dua
peradaban tinggi, dua epok sejarah, dan dua agama besar.
Hindunisme-Budhisme Majapahit yang di situ ia dibesarkan, dan
Mataram Islam ia kembangkan.
Sebagai perlambang gaya keislaman dua bangsa, terdapat
kesamaan antara Kalijaga dan Lyusi, yaitu kedua-duanya muncul dan
memainkan peran dalam masa-masa kritis perkembangan masyarakat,
dan mencoba, kemudian dipercaya sebagai hasil, menemukan jalan
keluar dan penyelesaian. Kedua-duanya mengambar dari satu tempat
lain, dengan penuh semangat mencari. Merk hidup dalam zaman yang
berdekatan; Kalijaga di abad enam belas, dan Lyusi di abad tujuh
belas. Di Jawa, krisis yang dihadapi Kalijaga adalah akibat
melemahnya Majapahit yang Hindu-Budhis dan merebaknya
demoralisasi, kemudian dilancarkanlah introduksi Islam yang vital dan
dinamis. Dari gambaran yang diberikan oleh Grerttz itu tampak
adanya pengaruh tertentu lingkungan budaya dalam ekspresi
keagamaan seseorang. Sebab sementara Kalijaga menampilkan sosok
yang serba damai dan rukun, sedangkan Lyusi banyak bersemangat
oposisional, namun oleh masyarakatnya masing-masing kedua-duanya
diakui sebagai wakil yang absah bagi corak keislaman mereka.
Pengaruh lingkungan budaya dalam eksprresi keagamaan lebih
banyak lagi diketemukan dalam hal-hal praktis dan konkret. Untuk
negeri dan lingkungan budaya kita, sarung merupaka contoh nyata
yang dapat ditunjukan dengan mudah. Tidak ada unversalitas dalam
pakaian sarung, namun ia secara kultural lokal telah menjadi lambang
keislaman.
Berkenaan dengan itu, tidak perlu lagi ditegaskan bahwa
unsur-unsur budaya lokal yang dapat atau harus dijadikan sumber
hukum ialah yang sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan
prinsip Islam. Unsur-unsur yang bertentangan dengan prisip isalam
dengan sendirinya harus dihilangkan dan diganti. Dan inilaih makna
kehadiran Islam di suatu tempat atau negeri.

Masa jahiliyah suatu bangsa atau masyarakat ialah masa


sebelum datangnya Islam disitu, yang masa itu diliputi oleh praktik-
praktik yang berlawanan dengan ajaran tawhid serta ajaran-ajaran lain
dalam Islam, seperti, misalnya, tata sosial tanpa hukum, takhayul,
mitologi, feodalisme, ketidak pedulian kepada nasib orang yang
tertindas, pengingkaran hak asasi, perlawanan terhadap prinsip
persamaan umat manusia.
Telah menjadi catatan para ahli bahwa kawasan nusantara
adalah salah satu dari sedikit daerah yang diIslamkan tanpa didahului
penaklukan militer. Metode pengIslaman atas daerah ini ialah
perembesan damai. Meskipun melalui pembebasan damai, tidaklah
berarti Islam di Indonesia terbebas dari suasana bergejolak. Suasana
itu terlebih lagi, tampak pada berbagai peristiwa konfrontasi antara
Islam dan kolonialisme. Terlepas dari berbagai kemungkinan
penyebab konfrontasi itu (misalnya, masalah perdagangan, rasa harga
diri pribadi, dan konflik lokal yang mengundang campur tanggan
pihak luar). Mungkin harus dikatakan bahwa Islam di Indonesia,
dalam kelembutan metode perembesan itu, masih tetap menunjukan
ciri sosial-budaya yang dapat disebut radikal, yakni dalam hal sifat
egaliter dan semangat keilmuan yang sekaligus meruapakan daya tarik
agama.
Suatu perkara yang patutu kita catat dan renungkan bersama
ialah pernyataan persiden Soeharto dalam peringatan Dies natalis UI
yang ke 25 bahwa negara kita adalah negara sosial-religius. Tetapi
bagaimana pun untuk banyak keterangan persiden bahwa negara
bersifat sosial-religius itu sangat melegakan. Pertama dari sudut
pemakaian istilah, dan kedua dari segi penyegaran intensi atau
komitmen bersama. Pernyataan persiden itu menyenangkan sebab
dapat dinilai sebagai penegasan niat atau intensi serta komitmen kita
bersama dalam mewujudkan suatu masyarakat yang sebaik-baiknya.
Memang dapat dikatakan bahwa adanya ide itu sesungguhnya sudah
termaktub dalam pembukaan UUD 45, dalam hal ini ialah apa yang
kini dikenal sebagia sila ke 5 dari pada Pancasila.
Beberapa simbol telah dikemukakan kepala negara.
Umpamanya bahwa masyarakat kita adalah antikapitalisme,
antifeodalisme, antipenindasan, dan seterusnya. Juga segi-segi
positifnya telah dikemukakan dalam berbagai kesempatan,
umpamanya bahwa kita menghendaki kemakmuran bersama ,
pembagian rezeki yang semakin merata, pemikulan beban secara
gotong royong melalui partisipasi seluruh rakyat dan seterusnya.
Tetapi satu hal yang masi menganggu kemantapan masyarakat sosial
ialah tendensi yang sering dikonstatir bahwa tanah air kita sekarang
orang yang kaya menjadi semakin kaya dan miskin menjadi semakin
miskin.
Dalam hubungan dalam maslah ini, kita melihat sesuatu yang
amat meminta perhatian dalam masyarakat kita. Ambilah pola-pola
kehidupan di ibukota Jakarta sebagai “miniatur Indonesia” yang belum
adil ini. Kita saksikan setiap saat betapa orang-orang yang lebih
beruntung dengan bebas menikmati kekayaannya, dan betapa orang-
orang miskin juga dengan bebas memerkan kemelaratannya. Orang-
orang kaya itu seakan-akan berkata “ semua harta benda ini adalah
hasil dari keringatku sendiri, dan oleh karena itu adalah hak pribadiku
yang mutlak untuk menikmatinya dengan cara-cara yang aku senangi.
Dan salah orang miskin sendirilah yang apabilah ia tidak
mengumpulkan kekayaan. “sebaliknya orang-orang miskin itu seakan-
akan berkata (karena umunya terdiri dari mereka yang berpindidikan
rendah atau tidak berpendidikan sama sekali), “sudah terlanjut aku
menjadi melarat, dan tidak ada gunanya menyembunyikan lagi.
Padahal semua keadaan itu adalah hasil dari suatu sistem, yaitu
sistem distribusi rezeki yang berlaku. Dan mereka tidak menyadari
bahwa suatu sistem dapat diubah sama sekali. Tidak ada suatu sistem
yang mutlak berlaku dan benar selama-lamanya.
Agama merupakan sesuatu cara manusia menemukan makna
hidup dan dunia yang menjadi lingkungannya, tapi, hidup kita dan
lingkungan abad modern ini untuk kebanyakan orang, termaksuk para
pemeluk agama sendiri, semakin sulit diterangkan maknanya.
Kesulitan itu terutama di timbulkan oleh masalah-masalah yang
muncul akibat dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi, ciri-ciri
utama abad modern yang secara tak terbendung mengubah bentuk dan
jaringan masyarakat serta lembaga-lembaga.
Sudah tentu kita menyadari bahwa Indonesia bukan atau belum
merupakan negara industri. Indonesia adalah negara pertanian, lagi
pula masi amat miskin. Tetapi hal itu tidak menghalangi kita untuk
membicarakan beberapa hal yang menyangkut masyarakat yang telah
mengalami industrialisasi. Sebab, mengatakan bahwa kita tidak
berkepentingan terhadap persoaloan-persoalan yang ditimbulkan
mengimplikasikan bahwa kita tidak akan terkena oleh akibat-
akibatnya yang buruk, dan hal tersebut kurang realistis. Dunia sudah
sedemikian dipersempit dan diperkecil oleh kemajuan-kemajuan
teknologi, sehingga tidak satu bangsa pun dapat secara sempurna
menghindari keterkenaan pengaru-pengaruh dari bangsa lain.
Perlu kita ketahui terlebih dahulu nilai-nilai yang dominan di
dalam masyarakat industrial, sebab dehumanisasi adalah suatu proses
yang menyangkut masalah nilai-nilai. Masyarakat industrial menuntu
dan melahirkan nilai-nilai sendiri yang tidak dapat dihindari. Untuk
menjadi industri, masyarakat harus disiapkan untuk menerima nilai-
nilai yang menunjang proses industrialisasi itu.
Pada zaman modern kita menghadapi persoalan makna hidup
karena beberapa hal. Di antaranya ialah tekanan yang amat berlebihan
kepada segi material kehidupan. Kemajuan dan kecanggihan dalam
cara mewujudkan keinginan memenuhi hidup material yang
merupakan ciri utama zaman modern ternyata harus ditebus manusia
dengan ongkos yang amat mahal, yaitu hilangnya kesadaran akan
makna hidup yang lebih mendalam.
Defenisi “sukses” dalam perbendaharaan kata manusia modern
hampir-hampir identik hanya dengan keberhasilan mewujudkan angan-
angan dalam bidang kehidupan materi. Ukuran “sukses dan tidak
sukses kebanyakan terbatas hanya kepada seberapa jauh orang
bersangkutan menampilkan dirinya secara lahiriah, dalam kehidupan
material.
Kendati demikian manusia benar-benar mengalami situasi yang
didalamya mereka mulai khawatir dan takut pada hasil kerja tangannya
sendiri: ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebab, sekalipun kedua unsur
pokok peradaban mederen ini harus diakui telah banyak sekali
memperbaiki nasib sebagian besar umat manusia, harus diakui pula
bahwa dalam dirinya terkandung unsur-unsur destruktif, misalnya
hilang kedamaian hidup yang bersifat menyeluruh dan asasi.
Peradaban modern barat adalah pincang karena tekanannya yang
berlebihan kepada kekinian dan kedisinian atau duniawi, dan kurang
sekali memerhatikan hal-hal yang bersifat lebih mendalam. Hal ini
merupakan alasan alasan bagi terjadinya berbagai ketegangan, sebab
setiap orang atau kelompok memperebutkan kekayaan materil yang
ternyata terbatas itu. Komunisme ditawarkan dan dicoba, sebagai
alternatif atau jalan keluar dari persoalan kapitalisme itu. Dengan
tekanan kepada segi keadilan sosial dan ekonomi, komunisme
mencoba hendak menemukan kembali untuk kedamaian hidup dalam
peradaban meteril. Tetapi, komunisme berjalan lebih jauh lagi dalam
proses meninggalkan kehidupan ruhani, bahkan melakukannya dengan
kesadaran penuh dan “profesional”. Agaknya mereka mulai belajar
mengakui bahwa komunisme memang sungguh merupakan alternatif
yang lebih baik dari pada kapitalisme barat, tetapi masi enggan untuk
membayar harga sistem yang totaliter itu, yaitu dengan kemerdekaan
pribadi. Dan tampaknya mereka tetap menghindar untuk
mempertanyakan, apakah benar seseorang atau masyarakat dapat
meraskan hidup dalam kedamaian, sekalipun adil segi sosial-
ekonominya, jika tidak percaya kepada Tuhan.
Materialisme orang modern ialah suatu etos yang memandang
kebahagian manusia dan harga dirinya ada dalam penampilan fisik dan
lahiriya, berdasarkan kekayaan mateil, tetapi materialisme dalam arti
gaya hidup kebendaan bukanlah monopoli orang zaman modern. Kitab
suci Al-Qur’an banyak memperingatkan umat manusia, antara lain
melalui penuturan kisah kejadian masa lampau, tentang bahaya gaya
hidup serba kebendaan. Kisah tentang Qarun, misalnya, dimaksudkan
untuk menyampaikan pesan moral tentang kemungkinan merosotnya
harkat dan martabat kemanusiaan karena gaya hidup serba kebendaan
itu, dengan sikap angkuh dan tidak peduli kepada kelompok manusia
yang kurang beruntung dalam masyarakat.

3. Kesimpulan
Melihat berbagai bentuk kehidupan keagamaan yang kita
kenal sekarang, barangkali dibenarkan membuat generalisasi, bahwa
semua agama mengajarkan tanggung jawab. Agama Islam, misalnya,
mengajarkan dengan kuat sekali tanggung jawab pribadi di hadapan
Pengadilan Tuhan di Hari Kemudian. Selanjutnya, tanggung jawab
pribadi itu membawa akibat adanya tanggung jawab sosial, karena
setiap perbuatan pribadi yang bisa dipertanggungjawabkan di ha dapan
Tuhan adalah sekaligus, dan tidak bisa tidak, perbuatan yang bisa
dipertanggungjawabkan di hadapan sesama manusia. Dengan
menggunakan istilah keagamaan Islam yang lebih khusus, iman yang
pribadi itu membawa akibat adanya amal saleh yang me masyarakat.
Sebab, kebenaran bukanlah semata-mata persoalan kognitif; kebenaran
harus mewujudkan diri dalam tindakan. Dari sini, memancar berbagai
implikasi keagamaan dan kemasyarakatan yang harus diperankan oleh
agama dalam kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan mereka
di abad modern ini.
Daftar Pustaka

Madjid Nurcholis

h. “Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan”. Paramadina. Jakarta:1993

Madjid Nurcholish. “Islam Agama Peradaban”. Paramadina. Jakarta:1995

Madjid Nurcholish. “Islam Kemodernan dan Keindonesiaan”. Mizan Pustaka.


Jakarta:2008
Abdul hafiz. “HMI dan KAHMI Menyongsong Perubahan,Menghadapi
Pergantian Zaman ”. Majelis Nasional KAHMI . Jakarta:1997

Madjid Nurcholish. “Islam Doktrin Peradaban”. Paramadina.


Jakarta:1992
Edward W. Said. “orientalisme”. Pustaka Pelajar.Yogyakarta:2010.
Muhammad Abed Al-Jabiri. “Disruption”.IRCISoD. Yohyakarta:1989

Maran, Raga Rafael. “Manusia & Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya
Dasar”. PT Rineka. Jakarta:2000

Muhamad Ali. “Para Panglima Islam Penakluk Dunia ”. (Kelompok


AQWAW Jembatan Ilmu). Cipayung,Jakarta Timur:2016

Anda mungkin juga menyukai