Anda di halaman 1dari 30

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Tuhan Yang Maha Esa Yang senantiasa
memberikan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada kita sekalian sehingga kita
dapat menjalankan aktivitas sehari-hari. Shalawat serta salam selalu terhatur
kepada Nabi dan Rasul kita, Rasul yang menjadi panutan semua ummat, yakni
Nabi Besar Muhammad SAW serta keluarga dan sahabat beliau yang telah
membawa kita dari jurang yang penuh kesesataan menuju sebuah kehidupan yang
penuh kebahagiaan dan kedamaian.

Suatu rahmat yang besar dari Allah SWT yang selanjutnya penulis
syukuri, karena dengan kehendaknya, taufiq dan rahmatnya pulalah akhirnya
penulis dapat menyelasaikan makalah ini guna  persyaratan untuk mengikuti
Intermediate Training (LK II) Tingkat Nasional Yang dilaksanakan oleh
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Jakarta timur pada tanggal 21
Februari s/d 28 Februari 2011 di Graha Insan Cita. Adapun judul makalah ini
adalah: (Peran Perjuangan HMI Dari Gerakan Islam ke Tauhid Sosial)
Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya
kepada HMI Cabang Ambon dan juga rekan-rekan kader-kader HMI yang selalu
berjuang, yang selalu memberikan saran, koreksi dan motivasi yang sangat
membangun. Dan juga tidak lupa penulis mengucapkan ribuan terima kasih
kepada Kanda-Kanda Alumni (KAHMI) yang juga tidak luput memberi bantuan
kepada penulis, dari segi moril maupun materil serta ucapan terima kasih juga
penulis sampaikan untuk semua kader HMI Cabang Jakarta pusat utara yang telah
berjuang untuk mengadakan Latihan Kader (LK II) ini dengan harapan dan tujuan
yang sangat mulia.

Makalah ini merupakan hasil jerih payah penulis yang sangat maksimal
sebagai manusia yang tidak lepas dari salah dan khilaf. Namun penulis menyadari
bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Jadi
saran, kritik dan koreksi yang membangun sangat penulis harapkan dari rekan-
rekan semua.
Akhirnya, kepada Allah jualah kita memohon. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita sebagai penambah wawasan dan cakrawala pengetahuan.
Dan dengan memanjatkan do’a dan harapan semoga apa yang kita lakukan ini
menjadi amal dan mendapat ridha dan  balasan serta ganjaran yang berlipat ganda
dari Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang.

Billahittaufiq Wal Hidayah

Ambon, 10 April 2019

                                                                   Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………. i
DAFTAR ISI……………………………………………………………… ii

BAB I: PENDAHULUAN
A.      Latar belakang Masalah………….………………………………. 1
B.      Rumusan Masalah……,............................................................... 2
C.      Tujuan Penulisan……..………………………………………….. 2

BAB II : PEMBAHASAN
A.      Peran HMI di Indonesia………………………………………….. 3
1.       Partisipasi Politik HMI periode 1947 - 196……………..…… 4
2.       Perjuangan HMI Masa Orde Lama Dan Orde Baru……..…..… 5
 HMI Masa Orde Lama……………………………………………. 5
 Peran HMI di Era Orde Baru……………………………………… 6
B. Gerakan Islam dan perjuanga HMI diIndonesia…………………... 7
1. Kondisi Islam Di Negara Indonesia
Sebelum Terbentuknya HMI……………………………………… 7
2. Kondisi Perguruan Tinggi Dan Mahasiswa Islam …………………. 9
3. Saat Berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)……....……. 9
4. Gagasan Pembaharuan Pemikiran KeIslaman…………….……… 10
5. Gagasan Dan Visi Perjuangan Sosial Budaya……………………….
6.  Komitmen Ke-Islaman Dan Ke-Bangsaan
Sebagai Dasar Perjuangan HMI………………………...……..…… 11
C.      HMI Solusi Kesejahteraan Umat ………………………..……..….. 12
1. HMI Menjawab Tantangan Umat Di Zaman Modern...…...……… 12
2. Islam Tidak Ketinggalan Zaman Dan
Menjawab Tantangan Zaman.………………………………..…….. 15
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………….………… 18
B. Sasaran………………………………………………………………. 19
DAFTAR PUSTAKA…..……………………………………………... 20

 
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang Masalah
Berbicara HMI dulu dan masa mendatang, maka kita tidak akan terlepas
dengan sejarah berdirinya HMI. Seorang mahasiswa, Lafran Pane, mendirikan
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tahun 1947 bersama rekan-rekan
perjuangannya. Mereka mendirikan HMI, antara lain karena ingin belajar tentang
keislaman. Keberadaannya terus tumbuh dan berkembang di basis-basis perguruan
tinggi Islam, seperti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta hingga menghasilkan kader-
kader yang berkualitas seperti, Nurcholis Madjid, Azyumardi Azra, Komarudin
Hidayat, Fachri Ali, Abudin Nata dan kader-kader terbaik lainnya.

Oleh karenanya, peran organisasi Islam ini bukan hanya menawarkan


pengajaran Islam secara khusus, tapi lebih jauh dari itu HMI ingin memberikan
pencerahan intelektual politik serta pemberdayaan potensi kader secara
menyeluruh. Dengan memahami Konsepsi tentang Islam dilandasi dengan basis
ketauhidan yang dilabelkan sebagai agama samawi atau monoteisme. Ketauhidan
merupakan cara pandang untuk melihat seluruh dunia sebagai sistem yang utuh,
menyeluruh dan harmonis, yang melampui batas-batas dikotomi, lalu
diorientasikan dalam tujuan ilahi yang sama. Murtadha Mutahhari pun
menyebutnya sebagai pandangan dunia tauhid. Maka, Islam sebagai agama tauhid
perlu kiranya untuk bisa menjawab persoalan-persoalan duniawi (politik, sosial
dan ekonomi) sekaligus ketuhanan.

Tidak lagi diartikan pada tataran formalitas ritual belaka Hassan Hanafi,
salah satu tokoh kontemporer yang dikenal dengan Kiri Islamnya, menganjurkan
agar Islam menjadi agama yang transformatif dan memiliki manfaat praksis bagi
peradaban manusia. Menurutnya, Islam bukan sebagai institusi penyerahan diri
yang membuat kaum muslimin menjadi tidak berdaya dalam menghadapi
kekuatan arus perkembangan masyarakat, tetapi Islam merupakan sebuah basis
gerakan ideologis populistik yang mampu membebaskan manusia dari belenggu-
belenggu penindasan.
Pembebasan kaum tertindas merupakan wujud perjuangan kemanusiaan
yang tertinggi dalam Islam. Ia menjadi ukuran nilai kehidupan manusia atau
setidaknya usaha menjalani hidup didunia untuk semakin menjadi manusia.

Berbicara tentang Teologi Pembebasan, adalah sebuah paham tentang


peran agma dalam ruang lingkup lingkungan sosial. Dengan kata lain paham ini
adalah suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai keagamaan pada
masalah kongkret di sekitarnya dan sebagai respon terhadap situasi ekonomi dan
politik yang dinilai menyengsarakan rakyat.

Teologi pembebasan dalam Islam merupakan istilah yang baru muncul


diakhir abad 20 M. Namun keberadaannya secara esensial, telah ada sejak
lahirnya Islam. Sebab, kelahiran Islam untuk membebaskan umat manusia dari
belenggu penindasan (membela kelompok yang tertindas). Mengangkat derajat
kaum hawa, memperjuangkan kelas bagi kaum budak untuk merdeka, merombak
sistem tradisi yang jahil (mengubur hidup-hidup bayi perempuan, dll).

Istilah teologi pembebasan lahir setelah muncul wacana Marxis sebagai


bentuk perjuangan kelas kaum proletar dari sistem yang dibangun oleh kaum
borjuis, namun perjuangan kelas disini antara wacana Marxis dengan teologi
pembebasan tidaklah sama, karena bagaimanapun juga teologi pembebasan
berpegang pada tauhid, sementara Marxisme tak mengenal tauhid.

Paham ini lahir (teologi pembebasan) untuk merombak paradigma berfikir


mayoritas masyarakat muslim yang selalu menempatkan tuntutan syara’i dalam
teks nash yang hanya dijadikan sebagai rutinitas agama (sebatas aturan fiqih),
bukan menjadi suatu sistem keyakinan (tauhid/aqidah) yang dapat menginspirasi
umat islam dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tataran amr ma’ruf nahi mun’kar
misalnya, selama ini landasan tersebut hanya diimplemtasikan dalam tatanan fiqih
(sholat, puasa, shadaqah, dan lain sebagainya), sementara esesial dari tatanan fiqih
tersebut tidak terimplementasikan dalam ranah sosial.
Padahal menurut Asghar Ali Engineer, salah satu tokoh yang memaparkan
Islam sebagai teologi pembebasan mengatakan bahwa, teologi pembebasan lahir
untuk mengambil peran dalam membela kelompok tertindas, baik ketertindasan
dalam hal religius atau politik dan penindasan ini dapat terlihat dalam tatanan
sosial (strafikasi kelas) dan ekonomi.

Mengacu pada persoalan diatas, maka selayaknya Islam harus


mentransformasikan dirinya untuk perubahan sosial. Islam tidak hanya menekan
pada formalitas ibadah ritual belaka, tanpa menghiraukan tatanan sosial seperti
keadilan dan kemanusiaanan. Islam juga sebagai ideologi yang revolusioner
sebagai wujud pembelaan diri dari berbagai penindasan.Sudah menjadi keharusan
Islam menjadi sebuah sistem keyakinan (tauhid) yang menjiwai setiap muslim
untuk melawan berbagai penindasan dan membebaskan manusia dari keterasingan
dengan menjadikan teologi pembebasan sebagai metode gerakannya.

Harapan Organisasi HMI dideklarasikan (antara lain) sebagai organisasi


mahasiswa yang independen, kader Umat dan Bangsa, dan tidak menjadi
underbouw sebuah partai politik, termasuk partai politik Islam. Wajar jika
Jenderal (Besar) Sudirman saat itu menyambut HMI sebagai Harapan Masyarakat
Indonesia karena dalam HMI berkumpul orang terpelajar, yang tentunya
diharapkan dapat memberi manfaat bagi masa depan bangsanya. Ada warna ke-
Islaman dan ke-Bangsaan sejak kelahirannya. Tidak mengherankan, ketika RI
menghadapi perang kemerdekaan melawan Belanda, mereka juga mendirikan
pasukan bersenjata yang dikenal sebagai Corp Mahasiswa. Dengan cita-cita
pendirian HMI seperti itu, harus diakui, tidaklah mudah memegang khittah HMI
di tengah lingkungan keumatan dan kebangsaan selama ini. Pluralism yang
mewarnai umat dan bangsa tentu menyulitkan formula HMI sebagai kader umat
dan bangsa.

Dalam perjalanannya, HMI selalu ditarik ke kanan dan ke kiri untuk


berpihak kepada salah satu kekuatan umat dan bangsa. Sikap independen sering
menjadi pertaruhan tidak mudah. Tidak jarang HMI dikesankan sebagai tidak
independen lagi.
Oleh karena itu merujuk kondisi ulyang telah penulis paparkan diatas
maka penulis ingin membahas denganlebih rinci tentang persoalan-persoalan
tersebut dalam makalah ini yang berjudul “Peran Perjuangan HMI Dari gerakan
islam ke Tauhid sosial ”

B.     Rumusan Masalah


Dinamika gerakan mahasiswa, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
memang tidak bisa dilepaskan begitu saja dari perannya sebagai organisasi islam
yang di landasi dengan basis ketauhidan dan dilabelka sebagai Agama samawi ,
bentuk dan problematika yang dihadapinya sangat bercorak. Tentunya dengan ciri
khas tersendiri HMI menanggapi problematika Ke-Islaman dan Ke-Bangsaan
dalam menjawab tantangan zaman. Oleh karena itu permasalahan rumusan
masalah yang ingin penulis kaji adalah berkaitan dengan:
1. Peran HMI di indonesia
2. Gerakan islam dan Perjuangan HMI di Indonesia
3. HMI solusi kesejahtraan umat
Seperti telah disinggung di atas, bahwasanya HMI tidak bisa pisah dari
dari perannya begitu saja, dengan kekuatan retorika yang dimainkan dan
menjawab problematika Ke-Islaman dan Ke-Bangsaan dalam menjawab tantangan
zaman yang maju. Oleh karena itu, kajian ini untuk melihat dinamika seajarah
gerakan dan peran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sangat perlu di kaji.

C.    Tujuan Penulisan


Makalah ini bertujuan untuk menganalisa dan mengungkap efek positif
dan negatif sejarah dan peran HMI di Indonesia untuk kemajuan Islam dalam
beragama dan bernegara, penulisan ingin mencoba merealisasikan peran HMI
dalam Kemajuan Islam di Indonesia dan mengungkap dinamika dalam beragama
dan berbangsa sehingga dapat direspon untuk mahasiswa atau masyarakat dan
mempraktekkannya serta menjaga perdamaian Indonesia dalam garis Ke-Islaman.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Peran HMI Di Indonesia


Karakteristik khas pola gerakan HMI sejak awal berdirinya adalah tidak
memisahkan gerakan politik dengan gerakan keagamaan. Berpolitik bagi HMI
adalah suatu keharusan, sebab untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan HMI
haruslah dilakukan secara politis. Hal ini dikuatkan pula oleh pendiri HMI Lafran
Pane, bahwa bidang politik tidak akan mungkin dipisahkan dari HMI, sebab itu
merupakan watak asli HMI semenjak lahir.1[1] Namun hal itu bukan berarti HMI
menjadi organisasi politik, sebab HMI lahir sebagai organisasi kemahasiswaan
dan kepemudaan, yang menjadikan nila-nilai Islam sebagai landasan teologisnya,
kampus sebagai wahana aktivitasnya, mahasiswa Islam sebagai anggotanya.
Background kampus dan idealisme mahasiswa merupakan faktor penyebab HMI
senantiasa berpartisipasi aktif dalam merespon problematika yang dihadapai umat
dan bangsa, jadi wajar jika HMI tetap memainkan peran politiknya dalam kancah
bangsa ini. Selain itu, argumentasi lain dikemukakan oleh Rusli karim2[2] dalam
tulisannya;
“Walaupun HMI bukan organisasi politik, tetapi ia peka dengan permasalahan
politik. Bahkan kadang-kadang karena keterlibatannya yang sangat tinggi dalam
aktivitas politik ia dituduh sebagai kelompok penekan (pressure group)”.
Watak khas pola gerakan politik HMI ini yang terinternalisasi sejak
kelahirannya ini menjadikan HMI senantiasa bersikap lebih berhati-hati dalam
melakukan aktivitas organisasinya, sehingga kehati-hatian inilah yang melahirkan
sikap moderat dalam aktivitas politik HMI. Lahirnya sikap moderat ini sebagai
konsekuensi logis dari kebijakan HMI memposisikan dirinya harus senantiasa
berada diantara berbagai kekuatan kepentingan agar HMI bisa lebih leluasa untuk
melakukan respon serta kritisismenya dalam mencari alternatif dan solusi dari
problematika yang terjadi disekitarnya. Namun sebagai konsekuensi logis pula
bagi HMI, dengan sikap moderat dalam aktivitas politiknya ini, munculnya
1[1] Saleh, Hasanuddin M. 1996. HMI dan Rekayasa Azas Tunggal Pancasila. Yogyakarta :
Kelompok Studi Lingkaran

2[2] Karim, M. Rusli. 1997. HMI MPO ; Dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia.
Bandung : Mizan.
kecenderungan sikap akomodatif3[3] dan kompromis dengan kekuatan
kepentingan tertentu, dalam hal ini penguasa. Sikap politik HMI dalam proses
kesejarahannya memperlihatkan dinamika yang cukup menarik untuk dikaji lebih
dalam, terutama kaitannya antara sikap politik HMI dengan konsisi sosial politik
yang terjadi pada masa tertentu. Sedikitnya ada dua faktor yang mempengaruhi
pola gerakan HMI, yaitu;
 Faktor internal, faktor ini berupa corak pemikiran keIslaman-keIndonesiaan
yang dipahami HMI dan kultur gerakan HMI yang dibentuk sejak
kelahirannya
 Faktor eksternal. HMI yang menegaskan dirinya sebagai organisasi berbasis
Islam dengan ajaran Islam sebagai landasan nilai dalam gerakannya, tentunya
tidak bisa dilepaskan dari komunitas Islam. HMI pun menegaskan dirinya
sebagai anak kandung umat Islam yang senantiasa akan berjuang bersama-
sama umat dan ditengah-tengah umat dalam memperjuangkan terciptanya
masyarakat adil makmur  yang  diridhai  Allah  SWT (baldatun toyyibatun
warabbun ghafur). Oleh karena itu, pola gerakan HMI akan banyak sekali
dipengaruhi oleh kondisi  sosio-aspiratif umat Islam. Karena sosio-aspiratif ini
pasti berbeda-beda sesuai dengan perkembangan jaman, maka pola gerakan
HMI dalam konteks ini pun akan berubah sesuai dengan kondisi sosio -
aspiratif umat Islam

1.      Partisipasi Politik HMI periode 1947 - 1960


Rumusan pemikiran politik HMI sudah ditegaskan secara jelas sejak
kelahiran HMI pada 05 Februari 1947 di Yogyakarta, yaitu dalam rumusan tujuan
awal berdirinya HMI. Dalam tujuan awal pembentukan HMI disebutkan;
 Mempertahankan Kemerdekaan Negara Republlik Indonesia dan
mempertinggi derajat rakyat Indonesia
 Menegakkan dan mengembangkan ajaran Agama Islam4[4]

3[3] Mengenai sikap akomodasionis HMI ini, Lafran Pane (pendiri HMI) dalam majalah
Forum Pemuda no. 41, Mei 1983, mengatakan bahwa sikap akomodasionis HMI ini
sudah merupakan kodrat HMI dalam aktivitas organisasinya. (Ibid.)

4[4] Sitompul, Agussalim. 1997. Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah
Perjuangan Bangsa Indonesia.   Jakarta : Integrita Press.
Dari akar sejarahnya itu kelihatan bahwa HMI memainkan sekaligus dua
fungsi dan perannya, gerakan keIslaman dan gerakan keIndonesiaan, yang
dimanifestasikan dalam bentuk gerakan politik. Perjuangan penegakan ajaran
Islam dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia mustahil terwujud bila HMI
tidak berpolitik. Pemaknaan yang lebih dalam terhadap tujuan HMI dikemukakan
oleh Eggi Sudjana5[5] dalam tulisannya; Kedua anak kalimat tersebut
mengandung dua makna tentang peranan HMI sejak kehadirannya di Indonesia.
Makna strategis, yaitu bahwa Islam adalah agama dakwah yang harus
disampaikan pada seluruh umat manusia.
Merujuk pada makna ini, tentu dakwah tidak akan berjalan lancar tanpa
adanya stabilitas politik serta keteraturan wilayah. Untuk itu langkah yang amat
strategis bagi realisasi dakwah islamiah adalah melalui perjuangan pertahanan
Indonesia sebagai tanah air yang merdeka dan bebas dari penjajahan. sedangkan
makna sosiologis adalah bahwa mahasiswa muslim yang mencintai, memiliki dan
memihak serta memaknai keberlangsungan eksistensi negara Indonesia dengan
spirit atau ruhul Islam, pada gilirannya akan melahirkan peradaban masyarakat
muslim yang tipikal keIndonesiaan.6[6]
Walaupun pola gerakannya tidak bisa dipisahkan dari politik, bukan
berarti HMI terlibat secara aktif dalam politik praktis atau bahkan berafiliasi
dengan partai politik. Kesalahan memahami pola gerakan HMI ini terjadi pada
masa ini (Orla), dimana HMI dianggap anak kandung (underbow) partai
Masyumi, padahal HMI dengan independensinya tidak terikat secara formal
(organisatoris) dengan partai politik manapun. Kedekatan dengan partai politik
atau ormas hanyalah karena HMI memiliki persamaan aspirasi “keIslaman dan
semangat modernis” dengan organisasi tersebut. Inilah yang dimaknai oleh HMI
sebagai independensi etis.7[7]
5[5] Tokoh sentral HMI pada peristiwa penolakan azas tunggal Pancasila. Dia adalah
founding father dari HMI MPO, sekaligus ketua umum pertama HMI MPO periode 1986-
1998.

6[6] Karim, M. Rusli. 1997. HMI MPO ; Dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia.
Bandung : Mizan

7[7] Sifat independen HMI sudah ditegaskan sejak HMI berdiri dan itu dilegalisasi dalam
konstitusinya. Independensi oleh HMI punya dua pemaknaan; pertama independensi
organisatoris, HMI tidak berafiliasi (bukan bagian) dengan parpol atau ormas manapun
2.      Perjuangan HMI Masa Orde Lama Dan Orde Baru
HMI Masa Orde Lama
HMI pada Orde Lama berasaskan Islam, namun tidak berencana
mendirikan negara Islam. Bahkan, salah satu tokoh HMI, Dahlan Ranuwihardjo
(ketua umum PB HMI 1951-1953) pernah berdebat dan mengusulkan kepada
presiden Soekarno untuk menolak negara Islam dan menerima negara nasional
atau NKRI. Sikap intelektual HMI ini bersifat independen.
Menjelang pemilu 1955 gerakan mahasiswa terbagi menjadi kiri (isu
utama anti-kapitalisme, anti-nekolim dan anti-fasisme) dan kanan (isu anti-
komunis & anti kediktatoran). Gerakan kiri misalnya GMNI dan CGMI yang
berafiliasi dengan PNI dan PKI, sedangkan gerakan kanan misalnya HMI yang
diindikasikan berafiliasi dengan Masyumi. Menjelang demokrasi terpimpin,
bandul kekuasaan di bawah Soekarno semakin di sebelah kiri sehingga kelompok
mahasiswa kanan mengalami kekalahan.
Padahal, sejak diberlakukannya demokrasi terpimpin, gerakan mahasiswa
mengalami ideologisasi yang juga terjadi pada semua organisasi pergerakan.
Organisasi yang sesuai dengan ideologi negara dapat berkembang, sedangkan
organisasi mahasiswa yang berseberangan dengan ideologi negara terkucilkan
atau bahkan dicap (kontrarevolusi). Presiden Soekarno sempat akan
membubarkan HMI karena menilai HMI melakukan tindakan anti revolusi,
reaksioner, aneh, menjadi tukang kritik, liberal dan terpengaruh oleh cara berpikir
Barat.
Pertentangan semakin tajam hingga menjelang peristiwa Gestok (Gerakan
Satu Oktober) 1965, di mana kekuasaan Soekarno mulai goyah. HMI terlibat
bersama kelompok yang banyak berasal dari kaum kanan berkongsi dengan
militer mulai mengorganisasi diri untuk menggulingkan presiden. Pertarungan ini

tapi berdiri sendiri; kedua independensi etis, HMI akan bekerja sama dengan pihak
manapun dalam memperjuangkan kebenaran (hanief) karena HMI meyakini  kebenaran
itu hak mutlak dan bersumber dari Allah yang dijabarkan dalam ajaran Islam. (PB HMI,
1986).
akhirnya dapat dimenangkan dengan tergulingnya Soekarno berikut gerakan
mahasiswa dan partai politik yang mendukung ideologi Bung Karno.8[8]

 Peran HMI di Era Orde Baru


HMI DIPO Pada masa Orba, ada kecenderungan yang amat kuat dari
alumni HMI DIPO yang berpengaruh untuk masuk dalam lingkup kekuasaan.
Jabatan menteri menjadi mudah diraih bagi orang yang pernah menakodai HMI.
HMI yang menjadi bagian pendiri Orde Baru mengambil peran secara efektif
sebagai sumber rekruitmen kepemimpinan nasional yang kemudian dikenal dalam
doktrin organisasi; ”HMI sebagai sumber insani pembangunan”. Banyak ditemui
tokoh HMI yang mengisi birokrasi kekuasaan sehingga HMI ini tidak lagi
menampilkan sosok herois yang terlibat penuh dalam pergerakan mahasiswa
seperti ditunjukkan oleh para pendahulunya. Kolaborasi penguasa Orde Baru
dengan mantan aktivis mahasiswa, termasuk alumni HMI, berdampak besar
terhadap peran HMI yang hampir-hampir absen dalam setiap momentum
kebangkitan gerakan mahasiswa.

Gerakan HMI-DIPO pun senada dan seirama dengan penguasa. Jadi, sulit
untuk menemukan hal-hal yang menonjol dari HMI DIPO. Kritik terhadap
pemerintahan nyaris tidak ada. Dan kegiatan yang dilaksanakan DIPO cenderung
normatif, seakan menjauh dari idealisme seperti pada 20 tahun awal berdirinya.

HMI-MPO adalah sempalan HMI yang dianggap ilegal oleh pemerintah.


Di masa Orba, organisasi ini ditekan dan dianggap sebagai "organisasi terlarang".
Sekretariatnya terus dipantau oleh intelejen, kegiatannya direpresi, pendapatnya
dipendam secara paksa. Dalam kasus ini, cukup sulit untuk mengatakan sejauh
mana peranan HMI-MPO pada masa Orba. Kegiatan mereka berkisar di masalah
dakwah secara sembunyi-sembunyi di mushala-mushala kampus dan kampung
yang menjadi konsentrasi pondokan mahasiswa. Yang mereka lakukan selama itu
adalah membangun opini internal turun temurun mengenai kebobrokan orde baru.
Selain itu juga ada fungsi regenerasi dengan menanamkan semangat dan cita-cita
HMI pada saat awal didirikan, garis perjuangan organisasi, dan lain sebagainya.
Bisa disimpulkan, dari kegiatan HMI-MPO di masa orde baru terdapat usaha

8[8] Alfaqirillah”risalah pergerakan mahasiswa”2007 lingkar pena


untuk mempertahankan idealisme dan semangat organisasi ditengah paksaan
untuk mengakui asas tunggal Pancasila dan represifitas sebagai akibat
pembangkangan mereka. Mereka tidak melakukan kegiatan yang menonjol bukan
karena mereka tidak mau, tetapi karena mereka tidak memiliki sumber daya dan
kesempatan untuk melakukan hal itu. Bergerak sedikit saja, bisa-bisa salah satu
aktivis mereka hilang tak jelas keberadaannya. Ini yang diwaspadai untuk
menghindari pembubaran secara paksa oleh pemerintah.

B.     Perjuangan HMI di Indonesia


1.       Kondisi Islam Di Negara Indonesia Sebelum Terbentuknya HMI

Himpunan Mahasiswa Islam atau HMI merupakan suatu organisasi yang


bernafaskan Islam dan bersifat independen atau bebas dan merdeka tidak
tergantung dan memihak dengan kelompok atau golongan tertentu. HMI telah
berdiri sejak 5 februari 1947 dan sampai sekarang organisasi ini masih berkiprah
dan terus berkembang ke berbagai Universitas yang dimana suatu Universitas
tersebut terdapat mahasiswa Islam maka di Universitas tersebut terdapat
organisasi HMI ini, organisasi ini sangatlah luas seiring dengan banyaknya
Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta yang ada di Indonesia. Organisasi
ini merupakan suatu organisasi pengkaderan dimana bertujuan terbinanya insan
akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas
terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.

Secara garis besar sebelum terbentukya organisasi ini, terjadinya


kemunduran umat Islam pada waktu itu baik dari segi pemikiran dll, di Indonesia,
dan hal itulah yang membuat organisasi HMI ini terbentuk yang diprakarsai oleh
Lafran Pane, ia seorang mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam), kini UII
(Universitas Islam Indonesia) yang masih duduk ditingkat I yang ketika itu genap
berusia 25 tahun dan untuk melakukan suatu gerakan pembaharuan ketika itu.
Seiring dengan berjalannya waktu dimulai sebelum terbentuknya HMI sampai era
reformasi sekarang, HMI telah melewati banyak fase atau tahap dalam
perkembangannya seperti di jelaskan di atas sehingga kini HMI tetap dan terus
menjalankan syariat organisasinya yang nasionalis dan tetap bernuansa Islam,
sehingga kader-kader HMI sekarang menjadi seorang muslim yang nasionalis,
berintelektual yang sekaligus menjunjung tinggi asas-asas keIslaman di Indonesia
agar membuat Negara ini bangkit dan terus maju dalam pembangunan baik dalam
segala aspek manapun, dan untuk menunjukkan kepada Negara luar khususnya
Negara non-muslim bahwa Indonesia sebagai Negara dengan umat muslim
terbanyak di dunia bisa membuat rakyat dan negaranya maju dalam segala bidang
dan tetap menjunjung tinggi asas-asas keislaman.
Sebagai Mahasiswa atau kaum intelektual di masa sekarang, dengan sifat
keindependen dari HMI ini kita harus selalu dituntut untuk mengambil sikap
berani, kritis, adil, jujur dan selalu berpikir obyektif dan rasional. Dengan sifat
independen inilah Mahasiswa harus mampu mencari, memilih dan menempuh
jalan atas dasar keyakinan dan kebenaran, maka kader-kader HMI haruslah
berkualitas karena itu merupakan suatu modal untuk meningkatkan mutu dari
kader HMI sehingga mampu berperan aktif pada masa sekarang dan mendatang.
Dengan mengetahui sejarah terbentuknya organisasi ini pada masa lalu,
kita dapat mengetahui semangat juang HMI. Merupakan sebuah tonggak bagi
HMI untuk meneruskan perjuangan pencipta dan para pendahulu di HMI agar
selalu terciptanya hari esok yang lebih baik. Tidak jauh berbeda dengan apa yang
terjadi di dunia saat itu, umat Islam berada dalam cengkaraman nekolim barat.
Penjajah memperlakukan umat Islam sebagai masyarakat kelas bawah dan
diperlakukan tidak adil, serta hanya menguntungkan kelompok mereka sendiri
atau rakyat yang sudah seideologi dengan mereka.
Umat Islam Indonesia hanya mementingkan kehidupan akhirat, dengan
penonjolan simbolisasi Islam dalam ubudiyah, sebagai upaya kompensasi atas
ketidakberdayaan untuk melawan nekolim, sehingga pemahaman umat tidak
secara benar dan kaffah. Bahkan ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa
pintu ijtihad telah ditutup, hal ini menyebabkan umat hidup dalam suasana taqlid
dan jumud. Selain itu umat Islam Indonesia berada dalam perpecahan berbagai
macam aliran/firqah dan masing-masing golongan melakukan truth claim, hal ini
menyebabkan umat Islam Indonesia tidak kuat akibat kurang persatuan di
kalangan umat Islam di Indonesia.
2.       Kondisi Perguruan Tinggi Dan Mahasiswa Islam
Perguruan tinggi adalah tempat untuk menuntut ilmu yang akan
menghasilkan para pemimpin untuk masa sekarang dan masa yang akan datang.
Selain itu perguruan tinggi adalah motor penggerak perubahan, dan perubahan
tersebut diharapkan menuju sesuatu yang lebih baik. Begitu pentingnya perguruan
tinggi, maka banyak golongan yang ingin menguasainya demi untuk kepentingan
golongan tersebut.

Sejalan dengan perguruan tinggi dan dunia kemahasiswaan yang strategis


tersebut, ada beberapa faktor dominan yang menguasai dan mewarnai perguruan
tinggi dan dunia kemahasiswaan, antara lain sistem yang diterapkan khususnya di
perguruan tinggi adalah sistem pendidikan barat yang mengarah pada sekularisme
dan dapat menyebabkan dangkalnya agama atau aqidah dalam kehidupan. Selain
itu adanya organisasi kemahasiswaan yang berhaluan komunis dan ini
menyebabkan aspirasi Islam dan umat Islam kurang terakomodir.

Faktor-faktor di atas adalah ancaman yang serius, karena menyebabkan


masalah dalam hidup dan kehidupan serta keberadaan Islam dan umat Islam.
Mahasiswa Islam kurang memiliki ruang gerak karena berada dalam sistem yang
sekuler dan tidak sesuai dengan ajaran Islam, dan harus menghadapi tantangan
dari mahasiswa komunis yang sangat bertentangan dengan fitrah manusia dan
bertentangan pula dengan ajaran Islam. Jelas sudah bahwa mahasiswa Islam
sangat sulit untuk bergerak memperjuangkan aspirasi umat Islam.

3.       Saat Berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)

HMI lahir pada saat umat Islam Indonesia berada dalam kondisi yang
memprihatinkan, yaitu terjadinya kesenjangan dan kejumudan pengetahuan,
pemahaman, penghayatan ajaran Islam sehingga tidak tercermin dalam kehidupan
nyata. Pada saat HMI berdiri, sudah ada organisasi kemahasiswaan, yaitu
Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY), namun PMY didominasi oleh partai
sosialis yang berpaham komunis. Akibat didominasi oleh partai sosialis maka
PMY tidak independen untuk memperjuangkan aspirasi mahasiswa, maka banyak
mahasiswa yang tidak sepakat dan tidak bisa membiarkan mahasiswa terlibat
dalam polarisasi politik. Sebagai realisasi dari keinginan tersebut maka di
Yogyakarta pada tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan dengan tanggal 5
Februari 1947 sebuah organisasi kemahasiswaan, yaitu Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) sebagai organisasi independen dan sebagai anak umat dan anak
bangsa.

4.       Gagasan Pembaharuan Pemikiran KeIslaman

Sebuah konsep Islam sebagai teologi pembebasan dalam berbagai


perspektif. Sebagai awalan, ia menerangkan tentang konsep teologi pembebasan.
Menurut Engineer, teologi pembebasan hadir untuk mengambil peran dalam
membela kelompok yang tertindas. Ia (teologi pembebasan_red) anti kemapanan,
baik kemapanan religius maupun politik.

Engineer mengintepretasikan kembali ungkapan Marx yang terkenal


“agama adalah candu bagi masyarakat” bukan sekedar agama saja, tetapi agama
yang kemudian ikut memantapkan status quo dan tidak mendukung perubahan.
Islam sendiri pada awal perkembangannya banyak dipeluk oleh orang-orang yang
bukan merupakan golongan elit di masyarakat. Muhammad SAW sebagai
pembawa risalah juga berasal dari keluarga Quraisy yang walaupun cukup
terpandang, tidak tergolong sebagai keluarga yang kaya dan memiliki status social
yang tinggi. Pada saat itu Islam menjadi tantangan yang membahayakan para
saudagar kaya Mekah, sehingga kemudian mereka menolak ajarannya.
Bukan semata-mata karena mereka menolak risalah tauhid, tetapi lebih kepada
ketakutan mereka terhadap Islam yang akan membawa perubahan sosial,
khususnya pada tingkatan kekuasaan, baik politik maupun ekonomi.

Banyak ayat-ayat Al Qur’an yang menyinggung masalah-masalah sosial,


yang bersifat kolektif (umat) dan personal. Salah satu hal yang ditegaskan disana
adalah konsep keimanan. Engineer percaya bahwa orang yang beriman pasti dapat
dipercaya, berusaha menciptakan kedamaian dan ketertiban, dan memiliki
keyakinan terhadap semua nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan.
Engineer melihat bahwa bangsa-bangsa di Asia dan Afrika pada saat ini sedang
giat melakukan perubahan sosial. Tetapi kemudian, timbul pertanyaan perubahan
seperti apakah yang dibuat dan untuk membela kepentingan siapa, rakyat ataukah
penguasa? Ia mengangkat beberapa fenomena seperti Imam Khomeini yang
memimpin revolusi Iran akibat tekanan dari Syah, penguasa Iran yang
memberlakukan westernisasi. Engineer kembali membandingkan atara marxisme
dan tradisi religio-kultural dalam sebuah perubahan sosial. Agama sebagai
instrument, dapat digunakan sebagai candu atau malah ideologi yang revolusioner.
Seperti Yahudi yang menentang Fir’aun, Islam di Iran menggulingkan Syah dan
Kristen di Filipina yang merobohkan Marcos. Revolusi tidak akan muncul bila
tidak ada penindasan.
Islam mengajarkan untuk menempatkan manusia sederajat (egaliter) dan menolak
segala bentuk penindasan; menumpuk harta, riba, kemiskinan dan kebodohan.
Menurut Al Qur’an, hak atas kekayaan itu tidak bersifat absolut. Semua yang ada
di bumi dan di langit adalah kepunyaan Allah, dan kita dilarang untuk membuat
kerusakan disana.

Konsep keadilan ekonomi, politik dan sosial Ibn Taymiyyah, seorang ahli
hukum abad pertengahan, berkali-kali dikutip oleh Engineer sebagai acuan. Ibn
Taymiyyah mengatkan bahwa “ Kehidupan manusia di muka bumi ini akan lebih
tertata dengan sistem yang berkeadilan walau disertai suatu perbutan dosa,
daripada dengan tirani yang alim”. Ekstrimnya dikatakan bahwa Alah
membenarkan negara yang berkeadilan walaupun dipimpin oleh orang kafir, dan
menyalahkan negara yang tidak menjamin keadilan meskipun dipimpin oleh
seorang Muslim. Juga disebutkan bahwa dunia akan bias bertahan dengan
keadilan dan kekafiran, namun tidak dengan ketidakadilan dan Islam.
Iqra’ sebagai ayat pertama yang turun bukanlah tanpa sebab yang jelas. Pada saat
itu, Arab tidak mengenal budaya menulis. Tetapi Al Qur’an menekankan pena
(menulis) sebagai alat untuk menyebarkan ilmu pengetahuan dari satu tempat ke
tempat lain. Hal ini memberi dampak liberatif bagi bangsa Arab, dari bangsa yang
membenci ilmu pengetahuan menjadi bangsa yang tekun belajar dan menemukan
rahasia alam selama berabad-abad. Cara pandang bangsa Arab pada Jahiliyah
yang bias gender dibongkar habis oleh Islam. Islam mendudukan laki-laki dan
perempuan sama derajatnya, hanyalah yang paling bertaqwa yang memiliki
derajat lebih dimata Allah. Dalam bidang ekonomi pun Al-Qur’an menekankan
pada keadilan. Al Qur’an memerintahkan kepada orang-orang
beriman untuk menyumbangkan kelebihan hartanya (Qs.2 :219). Toleransi
merupakan hal yang dijunjung tinggi dalam Islam. Al Qur’an menegaskan dengan
jelas, tidak ada paksaan dalam agama (QS.2: 256), dan bagimu agamamu, bagiku
agamaku (Qs. 190: 6).

Dalam menghadapi tantangan kemiskinan, Engineer mengatakan bahwa


jika agama hendak menciptakan kesehatan sosial, dan menghindarkan diri dari
sekedar menjadi pelipur lara dan tempat berkeluh kesah, agama harus
mentransformasikan diri menjdi alat yang canggih untuk melakukan perubahan
sosial. Teologi, meskipun berasal dari teks- skriptural yang diwahyukan dari
Tuhan, sebagian bersifat situasional-kontekstual dan normatif-metafisis. Ruhnya
yang militan tampak menonjol ketika tetap menidentifikasikan dirinya dengan
kaum tertindas. Al Qur’an memberi peringatan “Mengapa kamu tidak berperang
di jalan Allah dan membela orang yang tertindas, lakilaki, perempuan dan anak-
anak yang berkata, ‘ Tuhan kami! Keluarkan kami dari kota ini yang
penduduknya berbuat zalim. Berilah kami perlindungan dan pertolongan dari-
Mu!” (QS.4 :75).

Olehnya itu Untuk melakukan pembaharuan dalam Islam perlu adanya


pengetahuan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan umat Islam akan
agamanya harus ditingkatkan, sehingga dapat mengetahui dan memahami ajaran
Islam secara benar dan utuh. Kebenaran Islam memiliki jaminan
kesempurnaannya sebagai peraturan untuk kehidupan yang dapat menghantarkan
manusia kepada kebahagian dunia dan akhirat.

Tugas suci umat Islam dalah mengajak umat manusia kepada kebenaran
Illahi dan kewajiban umat Islam adalah menciptakan masyarakat adil makmur
material dan spiritual. Dengan adanya gagasan pembaharuan pemikiran
keislaman, diharapkan kesenjangan dan kejumudan pengetahuan, pemahaman,
penghayatan dan pengamalan ajaran Islam dalpat dilakukan dan dilaksanakan
sesuai dengan ajaran Islam. Kebekuan pemikiran umat Islam telah membawa pada
arti agama yang kaku dan sempit, tidak lebih dari agama yang hanya melakukan
peribadatan. Al-Qur’an hanya dijadikan sebatas bahan bacaan, Islam tidak
ditempatkan sebagai agama universal. Gagasan pembaharuan pemikiran Islam ini
pun hendaknya dapat menyadarkan umat Islam yang terlena dengan kebesaran
dan kejayaan masa lalu.

5.      Gagasan Dan Visi Perjuangan Sosial Budaya

Ciri utama masyarakat Indonesia adalah kemajemukan sosial budaya,


kemajemukan tersebut merupakan sumber kekayaan bangsa yang tidak ternilai,
tetapi keberagaman yang tidak terorganisir akan mengakibatkan perpecahan
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan awal saat HMI berdiri juga
tidak terlepas pada gagasan dan visi perjuangan sosial budaya, yaitu:

 Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat


rakyat Indonesia
 Menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam

Dari tujuan tersebut jelaslah bahwa HMI ingin agar kehidupan sosial
budaya yang ada menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia guna
mempertahankan kemerdekaan yang baru diraih. Untuk menegakkan dan
mengembangkan ajaran Islam pun harus dipelajari kondisi sosial budaya agar
tidak terjadi benturan kultur.

Masyarakat muslim Indonesia yang hanya memahami ajaran Islam sebatas


ritual harus diubah pemahamannya dan keadaan sosial budaya yang telah
mengakar ini tidak dapat diubah serta merta, tetapi melalui proses panjang dan
bertahap.

6. Komitmen Ke-Islaman Dan Ke-Bangsaan Sebagai


Dasar Perjuangan HMI

Dari awal terbentuknya HMI telah ada komitmen keumatan dan


kebangsaan yang bersatu secara integral sebagai dasar perjuangan HMI yang
dirumuskan dalam tujuan HMI yaitu:
 Mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat
rakyat Indonesia yang didalamnya terkandung wawasan atau pemikiran
kebangsaan atau ke-Indonesiaan
 Menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam yang didalamnya
terkandung pemikiran ke-Islaman

Komitmen tersebut menjadi dasar perjuangan HMI didalam kehidupan


berbangsa dan bernegara. Sebagai organisasi kader, wujud nyata perjuangan HMI
dalam komitmen keumatan dan kebangsaan adalah melakukan proses perkaderan
yang ingin menciptakan kader berkualitas insan cita yang mampu menjadi
pemimpin yang amanah untuk membawa bangsa Indonesia mencapai asanya.
Komitmen keislaman dan kebangsaan sebagai dasar perjuangan masih melekat
dalam gerakan HMI. Kedua komitmen ini secara jelas tersurat dalam rumusan
tujuan HMI (hasil Kongres IX HMI di Malang tahun 1969) sampai sekarang,

“Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam, dan


bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi
Allah SWT”.

Namun kedua komitmen itu tidak dilakukan secara institusional,


melainkan dampak dari proses pembentukan kader yang dilakukan oleh HMI.

C.    HMI Solusi Kesejahteraan Umat


1.       HMI Menjawab Tantangan Umat Di Zaman Modern
Di Indonesia sendiri, Fachry Ali dan Bahtiar Effendy menyatakan tentang
tipologi gerakan intelektualisme Islam neo-modernisme. Gerakan pemikiran neo-
modernisme merupakan gerakan pemikiran Islam yang muncul di Indonesia
sekitar tahun 1970-an. Gerakan ini lahir dari tradisi modernisme Islam yang
terdahulu dan telah cukup mapan di Indonesia.  Akan tetapi ia memakai
pendekatan yang lebih khas dari sisi konsepsi maupun aplikasi ide-ide

Nurcholish Madjid merupakan tokoh gerakan intelektual ini.  Dengan


cerdas ia memadukan cita-cita liberal dan progresif dengan keimanan yang saleh. 
Melalui konsep rasionalitas, Cak Nur, sapaan akrabnya, menyatakan arti
pentingnya untuk menelusuri dan memahami pengetahuan manusia yang relative
dan terbatas. Hal ini menyangkut persoalan hubungan kedudukan antara agama
dan akal yang telah lama menjadi bahan perdebatan para teolog sejak dulu.
Karena pengetahuan manusia yang terbatas itulah maka kebenaran yang bersifat
mutlak tidak dapat dicapai oleh manusia. Selanjutnya Cak Nur menawarkan satu
bentuk teologi inklusif, dimana inti ketajaman teologi ini adalah kesadaran
teologis yang mensyaratkan adanya ruang kebebasan berpikir sebagai wujud
komitmen ketauhidan seseorang. Ruang kebebasan inilah yang menjadi substansi
bagi pembaharuan dan kemajuan dalam Islam.  Sikap keterbukaan untuk mau
menerima kebenaran dan perbedaan dari orang lain.

HMI telah menjadikan pemikiran neo-modernisme ini sebagai referensi


utama bagi pemahaman teologinya. Lewat pemikiran-pemikiran Cak Nur yang
juga mantan ketua PB HMI inilah konsep Islam Keindonesiaan ditawarkan oleh
kader-kader HMI.

Lain halnya dengan PMII, ormas mahasiswa Islam ini lebih


mengembangkan teologi yang lebih radikal bila dipandang oleh sebagian besar
umat Islam pada umumnya.  Pada mulanya PMII memakai doktrin teologi Aswaja
(ahlussunnah wal jama’ah) sebagi doktrin resmi yang dipakai NU dan masyarakat
Islam Indonesia pada umumnya.  Doktrin teologi Aswaja lebih banyak berbicara
mengenai takdir manusia yang telah ditentukan Allah, dan kedudukan manusia
sebagai makhluk. Namun akhir-akhir ini tradisi kritik yang berkembang di PMII
tidak hanya menggugat kemapanan struktur sosial, ekonomi dan politik yang ada,
tapi termasuk doktrin teologi Aswaja. PMII dengan berani menggulirkan perlunya
pembacaan kembali konsep Aswaja tersebut.

Dewasa ini terdapat loncatan perubahan yang cukup menyolok dikalangan


kader-kader PMII. Sebagai angkatan muda NU, mereka sebagian besar berasal
dari kalangan tradisional, kelompok masyarakat yang sering diidentikkan dengan
konservatifisme sosial lewat apresiasi yang rendah terhadap hal-hal baru. Mereka
juga dikenal dengan keterbelakangan kultural  karena orientasi hidup mereka
dipercayai hanya sebatas penerapan dan pemeliharaan nilai-nilai lama yang teguh
dipegangi dan diyakini.  Pandangan ini mulai bergeser ketika PMII kini memiliki
pandangan intelektual yang lebih terbuka, peka dan peduli terhadap masalah
keagamaan dan kehidupan social. Konsekuensi dari keterbukaan ini bagi PMII
adalah sikap menerima perbedaan, akomodatif, dan toleran.

Tradisi berpikir kritis terhadap segala macam bentuk kemapanan yang ada,
telah membawa PMII untuk melakukan kajian terhadap kondisi kehidupan sosial,
termasuk kebekuan-kebekuan yang dialami agama.  Doktrin-doktrin ajaran agama
saat ini, menurut PMII, sudah tidak relevan lagi dengan perubahan jaman.  Karena
ajaran agama yang ada telah tercerabut dari keaslian akar tradisi masyarakat. 
Ajaran agama tidak tertanam dalam kesadaran masyarakat.  Untuk itu perlu
dilakukan tafsir ulang terhadap doktrin-doktrin ajaran agama, bahkan sampai
keakar-akarnya yaitu dimensi teologis.

Pada tataran teologis PMII lebih memandang bahwa semua agama akan
bermuara pada satu titik yang sama yakni Tuhan.  Terdapatnya agama-agama
yang berbeda merupakan suatu bentuk keanekaragaman jalan atau cara yang
mengandung makna kebenarannya sendiri-sendiri, dan keanekaragaman ini
merupakan fitrah yang dikehendaki Tuhan.  Yang terpenting bagi agama saat ini 
adalah harus membawa kemanfaatan nyata bagi kesejahteraan manusia.

Ahmad Baso, salah seorang senior di PB PMII mengungkapkan suatu


gagasan mengenai kritik wacana agama.  Kritik agama Baso adalah Islam sebagai
sistem kultur dan ideologi. Titik perhatiannya diarahkan pada kritik  nalar atau
cara-cara berpikir yang secara sistemik membentuk pola pikir penganutnya secara
sadar maupun tidak sadar. Lebih lanjut Baso mencontohkan kebekuan tradisi
pembaharuan dalam pemikiran tokoh-tokohnya, baik itu pada diri Nurcholish
Madjid, Dawam Rahardjo, maupun dalam pemikiran Abdurrahman Wahid. 
Makna “ISLAM LIBERAL” dalam pemikiran Nurcholish Madjid, hanya berhenti
pada tingkat wacana.  Gagasan tersebut tidak bisa diterjemahkan secara praksis
dalam kehidupan umat di lapisan bawah.

KAMMI yang dilahirkan oleh para aktivis Lembaga Dakwah Kampus


memiliki corak pergerakan yang khas.  Jaringan mereka sangat luas dan telah ada
hampir diseluruh Perguruan Tinggi di Indonesia. Tidak mengherankan jika pada
usia yang masih muda KAMMI di puji banyak kalangan sebagai ormas
mahasiswa Islam tersolid saat ini.  Kehadiran massa dalam jumlah besar di setiap
aksinya, memperkuat daya tekan KAMMI dalam mendukung gerakan reformasi.
Pada tataran teologis KAMMI memiliki doktrin pemahaman yang cukup
kuat bahwa Islam sebagai suatu sistem yang kaffah merupakan solusi terbaik
dalam menjawab tantangan kemanusian.  Bagi KAMMI, Islam tidak hanya
berbicara mengenai pribadi individu, tapi Islam juga mengatur juga tentang
hubungan sosial.  Karena itu kemenangan Islam dalam keyakinan KAMMI adalah
suatu keniscayaan.
Tradisi pendekatan wacana yang berkembang di KAMMI adalah upaya
pencarian keabsahannya gerakannya melalui teks-teks suci.  Hampir di setiap kali
muncul wacana pemikiran KAMMI akan selalu diikuti sumber pembenarannya
dari teks Al Qur’an dan Hadits. Pembacaan terhadap teks-teks suci tersebut telah
memberikan semangat juang (ghirah) tersendiri bagi KAMMI. Pada akhirnya,
kontekstualisasi teks dengan realitas sosial sekarang mendorong KAMMI
berkiprah lebih banyak di bidang pelayanan sosial, pendidikan politik, dan
advokasi umat.
2.         Islam Tidak Ketinggalan Zaman Dan Menjawab Tantangan Zaman
Tantangan zaman, dapat diartikan munculnya fakta, keadaan, atau problem
baru seiring dengan perkembangan waktu. Misalnya, Dulu tidak terbayang ada
sarana komunikasi dan informasi yang canggih seperti internet saat ini. Dengan
adanya internet, berarti ada tantangan zaman. pergaulan bebas yang liar di
kalangan muda-mudi, sekarang makin menggila. Ini tantangan zaman. Kita umat
Islam dulu memiliki sistem Khilafah sebagai institusi yang memungkinkan
adanya kehidupan Islam, tetapi pada tahun 1924 Khilafah diluluhlantakkan oleh
Mustafa Kamal yang murtad. Tiadanya Khilafah, adalah tantangan zaman.
Sekarang penguasa negeri-negeri Islam telah mencampakkan ideologi Islam,
menganut dan menerapkan ideologi Kapitalisme, serta menjadi agen-agen yang
setia bagi negara-negara penjajah yang kafir. Ini semua tantangan zaman
Setiap tantangan, pasti butuh jawaban dan penyelesaian. Dalam hal ini,
Islam sebagai ideologi sempurna secara potensial menyediakan jawaban-jawaban
bagi segala masalah atau persoalan yang timbul di tengah manusia.9[9]

9[9].. Asy Syakshiyah Al Islamiyah. Juz I hal. 303


menguraikan secara ringkas metode (thariqah) Islam untuk memecahkan masalah,
yaitu memahami fakta persoalan sebagaimana adanya, lalu memberikan solusi
padanya. Solusi ini bisa berupa Syariat Islam bila persoalannya berkaitan dengan
hukum-hukum syara’, dan bisa pula berupa cara (uslub) dan sarana (wasilah)
tertentu jika persoalan yang dihadapi tidak secara langsung berhubungan dengan
hukum syara’, misalnya teknik dalam pertanian, kedokteran, kesehatan, dan
sebagainya.10[10] Taqiyyuddin An Nabhani menjelaskan metode Islam yang harus
ditempuh para mujtahidin untuk memecahkan persoalan. Pertama, mempelajari
dan memahami problem yang ada (fahmul musykilah). Kedua, mengkaji nash-
nash syara’ yang bertalian dengan problem tersebut (dirasatun nushush). Ketiga,
mengistinbath hukum syara’ dari dalil-dalil syara’ untuk menyelesaikan persoalan
yang ada.
Metode itulah yang dapat kita gunakan untuk menjawab setiap tantangan
zaman. Secara ringkas, Islam menjawab tantangan zaman dengan cara
memberikan pemecahan terhadap problem-problem baru yang muncul. Inilah
pengertian yang benar mengenai bagaimana Islam menjawab tantangan zaman
yang terjadi. Dengan demikian, jelas tidak betul pendapat yang mengatakan
bahwa dalam menjawab tantangan zaman. Islam menempuhnya dengan cara
beradaptasi, menyesuaikan diri, atau mengubah hukum-hukumnya agar selaras
dengan tuntutan keadaan. Dalihnya, Islam itu luwes, fleksibel, tidak kaku, tidak
ekstrem, tetapi moderat, lunak, dan selalu bersikap kompromistis dengan realitas.
Dalih batil itu kadang juga dilengkapi dengan kaidah ushul fiqih yang fatal
kekeliruannya:
Laa yunkaru taghayyurul ahkam bi taghayyuriz zaman wal makan.
(Tidak boleh diingkari, adanya perubahan hukum karena perubahan waktu dan
tempat)11[11]
Berdasarkan argumen-argumen sesat itu akhirnya mereka membuang
hukum-hukum Islam yang dianggapnya biadab atau tidak sesuai dengan semangat

10[10]. Nizhamul Islam. hal. 69

11[11]. Muhlish Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, hal. 145


orang zaman modern saat ini. Hukum potong tangan bagi pencuri, hukum rajam
bagi pezina, haramnya riba, hukuman mati untuk orang murtad, harus dienyahkan
dari muka bumi karena dianggap tidak berperikemanusaan, sudah usang, kuno,
dan ketinggalan zaman. Begitu pula kewajiban jihad fi sabilillah dan kewajiban
adanya Khilafah Islamiyah harus ditolak mentah-mentah atau diselewengkan dari
pengertiannya yang hakiki, karena dianggap sebagai kegiatan kaum ekstremis,
fundamentalis, serta tidak cocok dengan selera orang yang telah maju pikirannya.
Pendapat seperti ini, serta pola pikir yang melahirkan pendapat ini, sangat
bertentangan dengan Islam. Karena pola pikir yang dipakai oleh mereka yang
berpendapat seperti itu, adalah pola pikir khas Barat tatkala mereka berbicara
tentang persoalan hukum dan kaitannya dengan kenyataan masyarakat yang ada.
Hukum, menurut Barat, haruslah lahir dari masyarakat. Hukum adalah anak
kandung, dan ibunya adalah masyarakat. Dengan kata lain, yang sumber hukum,
adalah keadaan masyarakat itu sendiri. Karenanya, jika keadaan masyarakat
berubah, berubah pulalah segala nilai, norma, dan pranata kehidupan12[12]
Pandangan ini adalah pandangan kufur, yang bertentangan dengan Islam.
Sebab dalam Islam sumber hukum adalah wahyu semata, bukan yang lain. Bukan
kenyataan masyarakat, bukan tuntutan keadaan, bukan semangat kemodernan,
bukan pula hal-hal lain yang sebenarnya merupakan alasan-alasan yang terlalu
dicari-cari. Jika zina dan riba telah haram menurut wahyu, maka sampai Hari
Kiamat tetap haram. Jika hudud wajib dilaksanakan menurut wahyu, maka
statusnya tetap wajib sampai Hari Kiamat. Begitu pula jihad dan Khilafah yang
diwajibkan Allah dan Rasul-Nya, hukumnya tetap wajib dan tidak boleh dianulir
atau dibatalkan oleh siapa pun sampai Hari Kiamat.
Seorang muslim yang meyakini pola pikir itu secara jazim
(membenarkannya dengan pasti), sungguh dia telah murtad dan keluar dari agama
Islam. Sebab, pandangan tersebut berarti menolak nash-nash yang qath’i tsubut
(pasti sumbernya dari Rasulullah) dan qath’i dalalah (pasti pengertiannya) yang
mewajibkan kita untuk terikat dengan hukum-hukum syara’ dan menyumberkan
hukum-hukum syara’ itu dari al wahyu semata, bukan yang lainnya.13[13] Sumber

12[12] . Dr. M. Ahmad Mufti dan Dr. Sami Shalih Al Wakil, At Tasyri wa Sannul Qawanin
fi Ad Daulah Al Islamiyah, hal. 9-11
hukum dalam Islam adalah wahyu, bukan kenyataan masyarakat. Allah SWT
berfirman :
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu
mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil
pelajaran (daripadanya)”. (QS Al Araaf :3)

BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
HMI merupakan sebuah organisasi perjuangan yang telah lama hadir di
Indonesia dalam menciptakan kader-kader sebagai leader di bangsa ini, HMI telah
ikut berperan aktiv dalam kancah perpolitikan dan dimensi ruang social di bangsa
yang telah merdeka 66 tahun silam.
Tidak dapat dipungkiri setelah berdirinya HMI di tahun 1947, HMI
langsung memberi kontribusinya untuk mempertahankan dan mengisi
kemerdekaan bangsa ini, yang saat itu sedang mengalami degradasi moral setelah
dijajah ratusan tahun oleh bangsa luar. Ini juga dikarenakan alasan atau penyebab
Lefran Pane menagmabil inisiatif untuk mendekalrasikan HMI.
Tidak mudah bagi HMI saat itu untuk mengambil peran dalam
mempertahan NKRI dikarenakan tekanan-tekanan yang datang dari luar, bahkan
banyak kader-kader HMI disaat itu dibunuh dan dimarginalkan oleh oknum-
oknum yang bertentangan dengan HMI, terutama disebabkan oleh perbedaan
ideologi. Namun semangat kader-kader HMI di saat itu tidak mudah luntur oleh
ancaman dan tekanan, mereka terus mampu menunjukan eksistensinya dalam
mengisi kemerdekaan dan member andil dalam membangun sebuah peradaban
yang islami dan mampu membendung arus komunis yang saat sedang
berkembang pesat di tanah air ini.
Di era orde baru begitu banyak organisasi-organisasi yang di bubarkan
oleh pemerintah, namun HMI dengan berdasarkan keislamannya masih mampu

13[13] Ahmad Jibraan


mempertahankan diri hingga sampai era reformasi HMI terus memberikan
kontribusinya melalui kader-kader yang telah dihasilkannya untuk mewarnai
demokrasi di Indonesia.
Dalam perjalanannya HMI tidak selalu berjalan mulus, masih banyak
permasalahan yang terjadi dalam tubuh HMI untuk memberikan kontribusinya
kepada bangsa Indonesia. Bahkan tidak sedikit kader-kader HMI yang mencoreng
almamaternya sendiri dan harus diakui ini juga merupakan sebuah peran kearah
negative yang diberikan oleh HMI kepada bangsa ini.
63 tahun memang belum waktunya untuk menikmati secara keseluruhan
hasil-hasil dari apa yang telah diperbuat selama waktu itu. Sebagai organisasi
perjuangan maka kita harus selalu berpandangan bahwa perjuangan ini masih
jauh, dan kita harus meningkatkan amal dan pengabdian kita untuk terwujudnya
tujuan tersebut. Karena pada hakikatnya, hidup ini adalah suatu perjuangan dan
perjuangan itu adalah suatu proses panjang yang harus dilakukan setiap saat.
HMI tidaklah boleh terus terlena dengan romantisme masa lalu, haruslah
ada perubahan di dalamtubuh HMI, dari semua lini, apakah secara struktural atau
kultural di internal HMI sendiri. Persatuan menjadi modal dasar bagi HMI agar
terus eksis.

B.       Saran- saran


HMI tidaklah boleh terus terlena dengan romantisme masa lalu, haruslah
ada perubahan di dalamtubuh HMI, dari semua lini, apakah secara struktural atau
kultural di internal HMI sendiri. Persatuan menjadi modal dasar bagi HMI agar
terus eksis.
Hmi juga harus mengingat bahwa ini adalah organisasi pengkaderan, dan
inilah kita harus kembali kepada titah perjuangan yang sebenarnya. Tidak terus
terseret ke arus politik, karena HMI bukan hanya mengurusi bidang politik.
Peningkatan kapasitas setiap kader juga harus ditingkatkan, buat apa kita sebagai
organisasi besar tetapi kader yang kita miliki hanya penjadi pengekor tanpa
kapasitas untuk diri sendiri. Moral para kader juga harus diperhatikan kembali.
Melakukan reformasi keagamaan untuk meningkatkan dan memperbaharui
pengetahuan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran agama Islam bagi
setiap individu anggota HMI, memperkokoh kembali tradisi intelektual HMI yang
pernah diraihnya, sebagai pewaris dari generasisebelumnya, HMI harus
menghindari kepentingan politik sesaat dan harus berani untuk melakukan
koreksi, kritikan terhadap alumni HMI dimanapun berada, sebagai konsekuensi
dari sifat indenpendensi HMI.

DAFTAR PUSTAKA

Saleh, Hasanuddin M. HMI dan Rekayasa Azas Tunggal Pancasila, Yogyakarta :


Kelompok Studi Lingkaran, 1996
Karim, M. Rusli. HMI MPO ; Dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia,
Bandung : Mizan, 1997
Sitompul, Agussalim. Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah
Perjuangan Bangsa Indonesia, Jakarta : Integrita Press, 1997
Mufti , M. Ahmad dan Al Wakil, Sami Shalih. At Tasyri wa Sannul Qawanin fi
Ad Daulah Al Islamiyah,
Alfaqirillah.”risalah pergerakan mahasiswa” Jakarta: lingkar pena, 2007
Muhlish, Usman. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, 2000
Aritonang, Diro. runtuhnya rezim soeharto, Bandung : Pustaka hidayah, 1999
Antonie, C.A. Dake, Soekarno File berkas-berkas Soekarni 1965-1967 “kronologi
suatu keruntuhan “,Jakarta : Aksara Taruna, 2005
Tanja, Victor I. HMI, Sejarah dan Kedudukannya Ditengah Gerakan Muslim
Islam dan Teologi pembebesan, 1999 Asghar Ali Engineer

Anda mungkin juga menyukai