Anda di halaman 1dari 37

MEMBEDAH NDP

Saya mendapatkan informasi tentang latar belakang perubahan NDP HMI dari Internet.

Eka Sastra dalam "Kata Pengantar" tentang NDP Baru HMI (www.pembaharuan-hmi.com -

NDP Baru, diakses 12 apr. 06) menulis:

Nilai Dasar Perjuangan adalah sebuah landasan filosofis dan ideologis sekaligus

sebagai spirit perjuangan dari organisasi sehingga setiap kader HMI harus mampu

memahami nilai dasar perjuangan bukan hanya pada tataran yang formal tapi juga

secara substansial sehingga tidak ada kontradiksi pada tataran konsep dan taktis

melainkan sebuah keserasian antara landasan konseptual yang diterjemahkan pada

wilayah starategis dan kebijakan yang taktis atau operasional.

Saya tertarik dengan kalimat " setiap kader HMI harus mampu memahami nilai dasar

perjuangan." Apa syarat suatu tulisan supaya mudah dipahami oleh kader-kader HMI, yang

ikut latihan kader biasanya mereka yang baru duduk di semester yang relatif awal? Menurut

Saya, tulisan itu haruslah menggunakan bahasa yang relatif mudah dipahami bagi pemula,

disusun secara sistematis dan mengalir logis. Dari segi tingkat kemudahan pemahaman,

menurut Saya, NDP Baru lebih sulit dipahami dibandingkan NDP Lama. Saya sendiri secara

pribadi harus mengerahkan secara maksimal latar pengetahuan Saya di bidang Filsafat Barat

dan Filsafat Islam untuk memahami teks NDP Baru dan melakukan beberapa kali crosscheck

ke kitab-kitab filsafat dan logika. Kesulitan ini terjadi karena banyak paragraf-paragraf yang

mengandung lebih dari satu ide. Kedua, tim perumus banyak menggunakan istilah-istilah

'payung' (konsep besar), namun tidak ada penjelasannya. Penjelasan ini penting untuk

pembaca pemula. Ketiga, ada beberapa paragraf yang menggantung alias belum selesai,
namun diputus begitu saja. Keempat, penggunaan kalimat yang terlalu panjang. Akibat

kelemahan-kelemahan ini, ketika membaca NDP Baru, Saya harus menyusun ulang urutan-

urutan kalimat; menyederhakan kalimat-kalimat yang panjang; memecah paragraf ke dalam

ide-ide utama; dan melakukan pembacaan intertekstulitas dengan mengecek silang dan

mencari penjelasan dari teks-teks di luar teks NDP Baru itu sendiri. Pekerjaan-pekerjaan

pembacaan ini sulit dilakukan oleh para pemula yang belum punya latar pemahaman logika,

filsafat Barat dan filsafat Islam yang memadai. Sebaiknya teks NDP Baru ini di-proof reading

dulu oleh kader-kader HMI pemula untuk menguji gaya bahasa dan tulisannya. Jika mereka

dapat memahaminya dengan mudah berarti cara penulisan dan uraian sudah bagus. Jika

sebaliknya, berarti cara penulisan dan uraian harus diperbaiki. Kesan yang Saya dapat, NDP

Baru ditulis dengan gaya dan keyakinan yang keliru, yakni semakin sulit dipahami semakin

berbobot.

Selanjutnya Eka Sastra menulis:

Setiap generasi bertanggung jawab pada sejarah yang yang menyertainya, dan

progressifitas perubahan menjadi keniscayaan dari setiap sejarah. Begitu halnya

dengan sebuah organisasi ataupun suatu lembaga pasti diwarnai dengan perubahan,

dan organisasi yang tidak mampu mengikuti pola perubahan yang terjadi pada

zamannya, maka dia akan tertinggal jauh dan menjadi organisasi yang terbelakang,

sehingga wacana perubahan adalah identik dengan parsialitas perubahan yang niscaya

harus direspon. Tuntutan inilah yang mendorong keterbukaan dan progresifitas, karena

wacana yang anti kepada perubahan adalah kejumudan, ketertutupan terhadap realitas

yang mengalami perubahan dan cenderung bersifat status quo dalam memapankan

kekuasaan. Bakornas LPL HMI dalam melihat wacana perubahan yang terjadi dalam
spirit organisasi perlu mengadakan sebuah perubahan dalam pengkaderan yang tentunya

berlandaskan dengan nilai-nilai yang ada dalam organisasi Himpunan Mahsiswa Islam

(HMI), maka dengan itu kami mencoba memfasilitasi kader-kader HMI yang masih

tetap eksis dalam dunia perkaderan untuk memformat ulang materi-materi dalam Nilai

Dasar Perjuangan (NDP) yang menjadi rekomendasi kongres. Sebagai langkah kongkrit

maka kami dari Bakornas LPL HMI mengadakan semiloka Pendalaman NDP di

Mataram, yang kemudian menghasilkan draf materi dan pembentukan tim 8 untuk

kemudian menggodok lebih lanjut materi NDP. Proses penyempurnaan draft narasi yang

menjadi kelanjutan forum di mataram selanjutnya digelarlah pendalaman dan finalisasi

penulisan draft NDP yang diadakan oleh Bakornas yang bekerja sama dengan tim 8 di

cabang Makasar Timur.

Lihat tulisan yang ditulis miring (tulisan miring dari Saya), semangat perubahan NDP HMI

didorong oleh progressifitas perubahan, keterbukaan, anti terhadap kejumudan, ketertutupan.

Kalau semangat ini yang ingin diusung oleh NDP Baru, sebenarnya NDP HMI Lama memuat

semangat ini di dalam kalimat-kalimat berikut:

Sekalipun demikian kenyataan menunjukkan bahwa kepercayaan itu melahirkan nilai-

nilai. Nilai-nilai itu kemudian melembaga dalam tradisi-tradisi yang diwariskan turun-

temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Karena kecenderungan

tradisi untuk tetap mempertahankan diri terhadap kemungkinan perubahan nilai-nilai,

maka dalam kenyataan ikatan-ikatan tradisi sering menjadi penghambat perkembangan

peradaban-peradaban dan kemajuan manusia. Di sinilah terdapat kontradiksi kepercayaan

diperlukan sebagai sumber tata nilai guna menopang peradaban manusia, tetapi pula
nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi yang membeku dan mengikat, maka justru

merugikan peradaban.

Oleh karena itu, pada dasarnya, guna perkembangan peradaban dan kemajuannya,

manusia harus selalu bersedia meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai

yang tradisional, dan menganut kepercayaan yang sungguh-sungguh merupakan

kebenaran. Maka satu-satunya sumber dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran itu

sendiri. Kebenaran merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. Kebenaran yang mutlak

adalah Tuhan Allah.

Perumusan kalimat persaksian (syahadat) Islam yang kesatu: Tidak ada Tuhan selain

Allah mengandung gabungan antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan “tidak ada

Tuhan”, meniadakan segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan “selain Allah”,

memperkecualikan kepercayaan kepada kebenaran. Dengan peniadaan itu, dimaksudkan

agar manusia membebaskan diri dari segala belenggu segenap kepercayaan yang ada

dengan segala akibatnya, dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar manusia hanya

tunduk pada ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilih nilai-nilai, itu berarti

tunduk kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, pencipta segala hal yang ada termasuk

manusia. Tunduk dan pasrah itu disebut Islam (I. DASAR-DASAR KEPERCAYAAN).

Paragraf-paragraf di atas kalau disusun secara argumentatif dalam silogisme kompleks,

kerangka argumennya adalah sebagai berikut:

1. Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan Allah.

2. Kepercayaan yang benar adalah kepercayaan yang bersumber dari kebenaran mutlak,

3. Jadi, kepercayaan yang benar adalah kepercayaan yang bersumber dari Allah.

4. Ukuran kebenaran adalah Allah.


5. Manusia yang berkembang dan maju adalah manusia yang hanya tunduk pada ukuran

kebenaran.

6. Jadi, manusia yang berkembang dan maju adalah manusia yang hanya tunduk pada

Allah.

7. Kepercayaan yang melahirkan nilai-nilai dan melembaga dalam tradisi adalah produk

manusia walaupun bersumber dari Allah.

8. Manusia bukan Tuhan Allah.

9. Jadi, tradisi produk manusia bukan produk Allah.

10. Meninggalkan manusia bukan meninggalkan Allah.

11. Jadi, meninggalkan tradisi produk manusia bukan meninggalkan produk Allah.

12. Imam Syafi'i adalah manusia dan bukan Tuhan Allah (contoh dari Saya)

13. Fiqh Imam Syafi'i adalah tradisi yang diproduk Imam Syafi'i.

14. Jadi, meninggalkan tradisi Fiqh Imam Syafi'i adalah bukan meninggalkan produk

Tuhan Allah.

Saya tidak menemukan semangat progressif seperti paragraf-paragraf di atas dalam

rumusan yang jelas dan argumentatif dalam NDP Baru. Tiga paragraf yang terdiri dari 222

kata yang membangun semangat progressif dalam NDP Lama itu dirumuskan ulang secara

buruk dan tidak sistimatis dan tidak argumentatif dalam NDP Baru dalam satu paragraf yang

hanya terdiri dari 99 kata berikut:

Memiliki sebuah kepercayaan yang benar, yang selanjutnya melahirkan tata nilai, adalah

sebuah kemestian bagi perjalanan hidup manusia. pada hakikatnya, perilaku manusia yang

tidak peduli untuk berkepercayaan benar dan Manusia yang berkepercayaan salah atau

dengan cara yang salah tidak akan mengiringnya pada kesempurnaan. Maka mereka tidak
ubahnya seperti binatang. Manusia harus menelaah secara objektif sendi-sendi

kepercayaannya dengan segala potensi yang dimilikinya. Kajian yang mendalam tentang

kepercayaan sebagai sebuah konsep teoritis akan melahirkan sebuah kesadaran bahwa

manusia adalah maujud yang mempunyai hasrat dan cita-cita untuk menggapai kebenaran

dan kesempurnaan mutlak, bukan nisbi. Artinya, ia mencari Zat Yang Mahatinggi dan

Mahasempurna (Al-Haqq).

Apa yang ingin dikatakan paragraf dalam NDP Baru ini? Perhatikan kalimat-kalimat berikut:

1. Memiliki sebuah kepercayaan yang benar, yang selanjutnya melahirkan tata nilai,

adalah sebuah kemestian bagi perjalanan hidup manusia.

2. pada hakikatnya, perilaku manusia yang tidak peduli untuk berkepercayaan benar dan

Manusia yang berkepercayaan salah atau dengan cara yang salah tidak akan

mengiringnya pada kesempurnaan. Maka mereka tidak ubahnya seperti binatang.

3. Manusia harus menelaah secara objektif sendi-sendi kepercayaannya dengan segala

potensi yang dimilikinya.

4. Kajian yang mendalam tentang kepercayaan sebagai sebuah konsep teoritis akan

melahirkan sebuah kesadaran bahwa manusia adalah maujud yang mempunyai hasrat

dan cita-cita untuk menggapai kebenaran dan kesempurnaan mutlak, bukan nisbi.

Artinya, ia mencari Zat Yang Mahatinggi dan Mahasempurna (Al-Haqq).

Saya menyusun ulang kalimat-kalimat (1-4) di atas dalam bahasa yang jelas dan

mudah dimengerti dengan mengembalikan kalimat-kalimat di atas ke dalam kalimat-kalimat

sederhana berikut:

1. Manusia harus mempunyai kepercayaan yang benar.

2. Kepercayaan yang benar melahirkan tata nilai.


3. Memiliki sebuah kepercayaan yang benar adalah sebuah kemestian bagi perjalanan

hidup manusia.

4. Manusia yang tidak peduli pada kepercayaan yang benar adalah seperti binatang.

5. Manusia harus menelaah secara objektif sendi-sendi kepercayaannya dengan segala

potensi yang dimilikinya.

6. Kepercayaan adalah sebuah konsep teoritis.

7. Kajian yang mendalam tentang kepercayaan sebagai sebuah konsep teoritis akan

melahirkan sebuah kesadaran bahwa manusia adalah maujud yang mempunyai hasrat

dan cita-cita untuk menggapai kebenaran dan kesempurnaan mutlak, bukan nisbi.

Artinya, ia mencari Zat Yang Mahatinggi dan Mahasempurna (Al-Haqq).

Perhatikan kalimat (2). Kalimat ini tidak relevan dengan kalimat-kalimat lainnya untuk

membangun satu ide utama. Kalimat (3) juga harus dibuang karena pengulangan dari kalimat

(1). Dengan membuang kalimat (2) dan (3), Saya susun kembali kalimat-kalimat di atas dalam

susunan diskriptif (bukan argumentatif) berikut:

1. Manusia harus mempunyai kepercayaan yang benar.

2. Karena manusia yang tidak peduli pada kepercayaan yang benar adalah seperti

binatang.

3. Untuk meraih kepercayaan yang benar manusia harus menelaah secara objektif sendi-

sendi kepercayaannya dengan segala potensi yang dimilikinya.

4. Kepercayaan adalah sebuah konsep teoritis.

5. Kajian yang mendalam tentang kepercayaan sebagai sebuah konsep teoritis akan

melahirkan sebuah kesadaran bahwa manusia adalah maujud yang mempunyai hasrat
dan cita-cita untuk menggapai kebenaran dan kesempurnaan mutlak, bukan nisbi.

Artinya, ia mencari Zat Yang Mahatinggi dan Mahasempurna (Al-Haqq).

Selanjutnya, Eka Sastra menulis:

Dari hasil materi tersebut sepenuhnya nilai dasar perjuangan HMI tidaklah mengalami

perubahan yang radikal kecuali hanya beberapa tema yang mengalami perubahan dan

terdapat beberapa tema-tema tambahan khususnya materi landasan dan kerangka Berpikir

dan dasar-dasar kepercayaan.

Yang dimaksud Eka Sastra adalah bahwa NDP Baru dalam "Bab Landasan dan Kerangka

Berfikir" sedang menawarkan "metafisika Islam." Apa yang dimaksud dengan istilah ini:

Bagi mazhab pertama (‘metafisika Islam’) pengalaman inderawi atau data eksperimen

merupakan informasi-informasi yang sangat perlu dalam upaya kita mengetahui aspek

sekunder dari alam materi. Atau dengan kata lain data eksperimen atau pengalaman

inderawi sangatlah dibutuhkan bila obyek pembahasan kita adalah khusus mengenai

hal-hal yang sebagian bersifat ilmiah dan sebagian lagi bersifat filosofis. Adapun teks-

teks kitab suci sangatlah dibutuhkan dalam upaya kita mengetahuai aspek sekunder

dari keadaan-keadaan (kondisi objektif) seperti alam gaib, akhirat, kehendak-kehendak

suci Tuhan atau dengan kata lain jika obyek pembahasan kita berkenaan dengan

sebagian dari obyek filosofis (metafisika dan teologi) yang dalam hal ini pengalaman

inderawi atau eksperimen tak dibutuhkan sama sekali. Karena itu dalam kerangka

berfikir Islam, kedua data di atas (data pengalaman inderawi atau eksperimen dan teks-

teks kitab suci) merupakan premis-premis minor dalam sistematika deduktif. Pada

akhirnya tak dapat diingkari bahwa dari mazhab metafisika Islam yang berlandaskan
prima principia dan hukum objektif kausalitas serta kerangka deduktifnya merupakan

satu-satunya landasan berfikir di dalam menilai segala sesuatu. (NDP Baru).

Untuk apa metafisika Islam ini dimuat dalam NDP HMI. Menurut Eka Sastra, metafisika

Islam adalah cara berfikir untuk meyakini, antara lain, Ada-Nya secara rasional karena NDP

Lama terlalu induktif sehingga dapat mengingkari metafisika dan terlalu tekstual sehingga

dogmatis:

Materi ini dianggap penting karena secara substansial materi ini dapat mengantarkan kita

berpikir induktif yang ukuran kebanaran hanya dalam batas yang material dan

mengarahkan kita kepada tidak meyakini hal-hal yang sifatnya metafisika dan hal itu

mengingkari landasan ideologis organisasi yang berbasis Islam.

Apakah metafisika Islam mampu menawarkan cara berfikir non-induktif dan tidak

tekstual? Perhatikan paragraf-paragraf dalam NDB Baru berikut:

Ada berbagai macam pandangan yang menjelaskan tentang ketiadaan kebenaran dan

kesempurnaan mutlak (Zat yang maha sempurna) tersebut sehingga mereka

menganggap bahwa alam ini terjadi dengan sendirinya (kebetulan) tidak ada yang

mengadakannya.

Metafisika Islam dengan Prima principianya sebagai prinsip dasar dalam berpikir

mampu menyelesaikan perdebatan itu dengan penjelasan Kemutlakan

WUJUD(ADA)nya, dimana Wujud adalah sesuatu yang jelas keberadaannya dan

Tunggal karena selain keberadaan adalah ketiadaan sehingga apabila ada sesuatu selain

ADA maka itu adalah ketiadaan dan itu sesuatu yang mustahil karena ketiadaan tidak

memiliki keberadaan.
Manusia - yang terbatas - tidak sempurna – tergantung - memerlukan sebuah sistem

nilai yang sempurna dan tidak terbatas sebagai sandaran dan pedoman hidupnya.

Sistem nilai tersebut harus berasal dari ke-ADA-an (Zat Yang Mahasempurna) yang

segala atributnya berbeda dengan mahluk. Konsekuensi akan kebutuhan asasi manusia

pada sosok Mahasempurna ini menegaskan bahwa sesuatu itu harus dapat dijelaskan

oleh argumentasi-argumentasi rasional, terbuka, dan tidak doktriner. Sehingga, semua

lapisan intelektual manusia tidak ada yang sanggup menolak eksistensi-Nya.

Bagaimana cara membuktikan Tuhan dengan menggunakan kerangka berfikri metafisika

Islam? Perhatikan paragraf-paragraf berikut:

Diantara berbagai dalil yang dapat diajukan, membicarakan keberadaan Tuhan

adalah hal yang paling prinsipil. Keberadaan dan perbedaan agama satu dengan yang

lainnya di tentukan oleh sosok “Tuhan“ tersebut. yang pasti, ciri-ciri keberadaan Tuhan

(pencipta / khaliq). Bertolak belakang dengan ciri-ciri khas manusia (Yang diciptakan/

makhluq). Bila manusia adalah maujud tidak sempurna, bermateri, tersusun, terbatas,

terindera, dan bergantung, maka tuhan adalah zat yang mahasempurna, immateri, tidak

tersusun, sederhana, tidak terdiri dari bagian, tidak terindera secara material, dan

tunggal (Esa/Ahad).

Dengan demikian diketahuilah bahwa manusia dapat mengetahui ciri-ciri umum

Tuhan, namun mustahil dapat mengetahui materi Zat-Nya. Manusia mengklaim dapat

menjangkau zat Tuhan, sesungguhnya telah membatasi Tuhan dengan Rasionya

(reason). Segala sesuatu yang terbatas, pasti bukan Tuhan. Ketika manusia menyebut

“Dia Mahabesar“. Sesungguhnya Ia lebih besar dari seluruh konsepsi manusia tentang

kebesaran-Nya. Berdasarkan hal tersebut, potensialitas akal (Intelect) manusia dalam


mengungkap hakikat zat-Nya menyiratkan bahwa pada dasarnya seluruh makhluk

diciptakan oleh-Nya sebagai manifestasi diri-Nya (inna lillahi) yang kemudian akan

kembali kepada-Nya (wa inna ilaihi raji’un) sebagai realisasi kerinduan manusia akan

keabadian kesempurnaaan, kebahagiaan mutlak.

Apakah betul paragraf di atas menggunakan Prima Principa sebagai premis mayor,

hukum kausalitas, dan metode deduktif dalam menilai keberadaan Tuhan? Apakah betul

paragraf-paragraf di atas menjadikan data empiris dan kitab suci sebagai premis minor? Untuk

menjawab kedua pertanyaan ini, mari kita sempurnakan cara berfikir di atas dengan

menyusunnya dalam argumen deduktif yang sempurna (Premis Mayor, Premis Minor, dan

Konklusi):

1. Bila manusia adalah maujud tidak sempurna, bermateri, tersusun, terbatas,

terindera, dan bergantung, maka tuhan adalah zat yang mahasempurna, immateri,

tidak tersusun, sederhana, tidak terdiri dari bagian, tidak terindera secara material,

dan tunggal (Esa/Ahad). (Premis Mayor)

2. Manusia adalah maujud tidak sempurna, bermateri, tersusun, terbatas, terindera,

dan bergantung. (Premis Minor)

Jadi,

3. Tuhan adalah zat yang mahasempurna, immateri, tidak tersusun, sederhana, tidak

terdiri dari bagian, tidak terindera secara material, dan tunggal (Esa/Ahad).

(Konsklusi)

Jika kita kembalikan ke dalam simbol-simbol logika formal, susunannya adalah:

1. P à Q (Jika P, maka Q)

2. P
3. Q

Susunan kerangka berfikir seperti ini di dalam logika disebut Modus Ponens. Dalam

kerangka berfikir di atas, manusia dijadikan sebagai landasan dalam mengetahui ciri-ciri

Tuhan. Dengan kata lain, Tuhan tidak dijadikan sebagai landasar berfikir dalam mengetahui

ciri-ciri Tuhan itu sendiri. Tegasnya, Tuhan bukan sebagai Prima Principia.

Dengan cara berfikir yang sama, argumen-argumen berikut menjadikan sesuatu selain

Tuhan sebagai landasan dalam membuktikan Tuhan:

Argumen A:

1. Jika alam ada, maka Tuhan Ada.

2. Alam ada.

Jadi,

3. Tuhan Ada.

Argumen B:

1. Saya yakin Tuhan Ada, maka Tuhan Ada.

2. Saya yakin Tuhan Ada.

Jadi,

3. Tuhan Ada.

Argumen A adalah ungkapan lain dari proposisi "Tuhan Ada karena alam ada." Di sini

kita membuktikan Ada-Nya dengan berlandaskan pada alam. Bukan sebaliknya, yakni "Alam

ada karena Tuhan Ada" atau "Tuhan Ada, oleh karena itu alam ada." Argumen B menyatakan

bahwa Keberadaan Tuhan tergantung kepada keberadaan manusia (keyakinannya). Argumen

A dan B ini bertentangan dengan sistem metafisika Islam yang meletakkan Tuhan sebagai

prima principia.
Jadi, cara berfikir dalam Bab Dasar-dasar Kepercayaan NDP Baru adalah tindak

konsisten dengan sistem metafisika Islam yang disebutkan dalam Bab Landasan dan Kerangka

Berfikir. Kemungkinannya, Tim Perumus tidak paham dengan apa yang mereka tulis dalam

Bab Landasan dan Kerangka Berfikir atau mereka paham secara teoritis namun belum sampai

tahap aplikasi. (Untuk memahami penggunaan logika deduktif, di mana Tuhan diletakkan

sebagai premis mayor, Silahkan baca: Fazlur Rahman. The Philosophy of Mulla Sadra.

Albany: SUNY Press, 1975)

Kesalahan lainnya (dalam Bab Landasan dan Kerangka Berfikir) adalah uraian tentang

pembagian pengetahuan menjadi: (1) pengetahuan tasawwur (konseptual); dan (2)

pengetahuan tasdiqi (assent). Kesalahan terjadi pada penjelasan tentang fungsi tasdiq bagi

tasawwur. Kesalahannya remeh namun mendasar. Kesalahan dasar, karena Anda cukup

membaca buku-buku Pengatar Logika Dasar untuk mengetahui kesalahan ini. Anda tidak perlu

membaca Filsafat Logika, Flsafat Bahasa, atau Filsafat Jiwa untuk mengetahui kesalahan ini.

Anda tidak perlu membaca Kitab-Kitab Mantiq yang ditulis oleh para filosof Muslim untuk

mengetahui kesalahan ini. Anda cukup membaca buku Logika Dasar tulisan R.G. Soekadijo

(Jakarta: Gramedia, Cet-7, 1999: 5) yang dipakai mahasiswa peserta Mata Kuliah

Logika/Mantiq program S1 di Fakultas Dakwah IAIN Antasari (Saya mengajar Mata Kuliah

ini). Pada halaman 5 disebutkan bahwa konsep atau conceptus atau pengertian "tidak ada

hubungannya dengan benar atau salah, pengertian tidak benar, tidak salah."

Kesalahan selanjutnya adalah tentang "Skriptualisme." Dalam Bab Landasan dan

Kerangka berfikir disebutkan:

Sementara mazhab skriptualisme menjadikan teks-teks kitab suci sebagai landasan dalam

menilai segala sesuatu serta tekstual dalam kerangka berfikirnya...Begitu pula bagi
mazhab ketiga (skriptualisme), mereka skeptis terhadap landasan dan kerangka berfikir

kedua mazhab yang lain.

Kenapa Tim Perumus salah dalam memahami cara kerja dan berfikir skriptualisme?

Sebenarnya orang-orang yang dicap tekstual dan skriptualis itu tetap menggunakan akal,

bahkan cara berfikir deduktif, namun mereka kadang tidak sadar telah menggunakannya.

Dalam pelatihan dengan materi NDP, mestinya peran Nara Sumber adalah membangkitkan

kesadaran ini dengan cara membongkar cara berfikir kaum skriptualis sehingga mereka sadar

dan mengakui telah menggunakan akal dan logika deduktif ketika menggunakan teks-teks

kitab suci dalam menilai sesuatu.

Selanjutnya Eka Sastra menulis:

Dan materi dasar-dasar kepercayaan yang selama ini bersifat dogmatis karena

pembuktian wujud melalui pemahaman teks yang justru membawa paradigma

determenistik dan jauh dari prinsip-prinsip rasionalitas. Olehnya itu terjadi pengayaan

pendekatan dalam membuktikan esensialitas ajaran islam secara logis dengan pendekatan

deduktif.

Apakah NDP Lama bersifat dogmatis dalam pembuktian wujud Tuhan? Saya kira

tidak. Coba perhatikan paragraf-paragraf berikut, terutama baris-baris ditulis miring (tulisan

miring dari Saya):

Tuhan itu ada, dan ada secara mutlak hanyalah Tuhan. Pendekatan ke arah

pengetahuan akan adanya Tuhan dapat ditempuh manusia dengan berbagai jalan, baik

bersifat intuitif, ilmiah, historis, pengalaman dan lain-lain. Tetapi karena kemutlakan dan

kenisbian manusia, maka manusia tidak dapat menjangkau sendiri kepada pengertian

hakekat Tuhan sebenarnya. Namun demi kelengkapan kepercayaan kepada Tuhan ,


manusia memerlukan pengetahuan secukupnya tentang ketuhanan. Dan tata nilai yang

lebih tinggi namun tidak bertentangan dengan insting dan indera.

Sesuatu yang diperlukan itu adalah wahyu yaitu pengajaran atau pemberitahuan yang

langsung dari Tuhan sendiri Kepada manusia.

Pembahasan Per Bab

Pandangan Amandemen NDP HMI tentang Jenis-Jenis Pengetahuan:

NO JENIS PENGETAHUAN CIRI-CIRI

1 Pengetahuan tasawwur (konsepsi) Gagasan tunggal (gunung)

Gagasan majemuk (gunung batu)

Belum ada penilaian maka ia dapat saja benar

atau salah.

Watak penilaian adalah ingin diketahuinya

"sesuatu itu (konsepsi) apakah ia benar atau

salah".

2 Pengetahuan tasdhiqi (assent) Pengetahuan yang bersifat yakin.

Proses penilaian terhadap konsepsi agar dapat

diyakini.

Watak penilaian adalah ingin diketahuinya

"sesuatu itu (konsepsi) apakah ia benar atau

salah".

Watak penilaian adalah ingin diketahuinya

"mengapa dan kenapa sesuatu itu dapat


terjadi."

Menurut Saya, Tim Perumus (TP) gagal membedakan antara apa yang diketahui adalah

"ada" dan apa yang diketahui adalah "benar" atau gagal membedakan antara ontologi

(metafisika) dan epistemologi. Dalam sejarah filsafat, kerancuan ini terjadi karena Plato,

(filosof Yunani yang menjadi rujuakan filosof Muslim dan filosof Barat) dalam Republic

ketika membahas knowledge and belief menyatakan bahwa objek pengetahuan adalah "what

completely is" dan objek kepercayaan adalah "what is and is-not". Dari sini muncul

interpretasi bahwa makna "is" (es) adalah (1) eksistensial bahwa apa yang kita ketahui adalah

apa yang ada, sedangkan apa yang kita percayai itu dapat saja ada atau tidak ada; atau (2)

predikatif bahwa yang kita ketahui adalah particulars dan yang kita ketahui adalah Forms;

atau (3) veridikal bahwa apa yang kita ketahui dan percayai adalah proposisi yang bernilai

benar atau salah. (lihat Allan Silverman, "Plato's Middle Period Metaphysics and

Epistemology" dalam http://www.seop.leeds.ac.uk/entries/plato-metaphysics diakses 2003)

Ketika kita bicara tentang konsep dan assent (tasawwur dan tasdhiq) apakah kita sedang

berbicara tentang yang ada atau tidak ada? Apakah kita sedang berbicara tentang benar atau

salah? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, mari kita perhatikan pernyataan Al-Farabi

dalam Huruf:

It may happen, however, that what he [the questioner] conceptualizes and comprehends

from [stating] the name is a concept that is unknown [ghayr ma'lum], whether it has

[external] existence or not, such as when the concept 'elephant' is outlined to someone who

has not seen an elephant, it may be the case that his assent [tasdiq] regarding his existence

does not come about and he will not know whether that which is thus and with these

attributes exists or not...And if it turns out that his concept has no [external] existence, then
these parts that are the name's components remain only in the man's mind and whatever

that expression denotes is not an essence of anything (dikutip dari Shukri B. Abed,

Aristotelian Logic and the Arabic Language in Alfarabi,NY: SUNY, 1991: hal. 60)

Menurut Al-Farabi, nama, kata, lafaz, konsep mempunyai dua unsur: (1) pengertian

dalam jiwa; dan (2) eksistensi di luar jiwa. Misalnya, kata 'gajah' makna konseptualnya adalah

di dalam jiwa seseorang, sedangkan makna denotatifnya adalah hewan yang ia lihat di dunia

nyata. Ia tahu bahwa gajah adalah ada di dunia nyata karena ia melihatnya. Jadi, proses tasdiq

bahwa gajah itu benar adanya di dunia nyata bisa dilakukan antara lain melalui salah satu

organ panca indera: mata. Oleh karena itu, fungsi tasdiq terhadap tasawwur adalah menilai

apakah sesuatu yang dikonsepsikan itu adalah ada atau tidak ada. Misalnya, konsep tentang

'Tuhan', 'surga', dan 'gunung':

1. Apakah Tuhan ada atau tidak ada?

2. Apakah surga ada atau tidak ada?

3. Apakah gunung ada atau tidak ada?

Fungsi tasdiq terhadap tasawwur bukan menilai apakah sesuatu yang dikonsepsikan itu adalah

benar atau salah. Karena konsep itu tidak ada yang benar atau salah. Tasdiq terhadap

pertanyaan-pertanyaan di atas dapat dijawab dengan berfikir logis-argumentatif-deduktif.

Berdasarkan uraian di atas, saya mengajukan koreksi berikut:

NO JENIS PENGETAHUAN CIRI-CIRI

1 Pengetahuan tasawwur (konsepsi) Konsep tunggal (gunung)

Konsep majemuk (gunung batu)

Belum ada penilaian maka ia dapat saja ada


atau tidak ada.

Watak penilaian adalah ingin diketahuinya

"sesuatu itu (konsepsi) apakah ia ada atau

tidak ada".

2 Pengetahuan tasdhiqi (assent) Pengetahuan yang bersifat yakin.

Proses penilaian terhadap konsepsi agar dapat

diyakini.

Watak penilaian adalah ingin diketahuinya

"sesuatu itu (konsepsi) apakah ia ada atau

tidak ada".

Watak penilaian adalah ingin diketahuinya

"mengapa dan kenapa sesuatu itu dapat

terjadi."

Pandangan Amandemen NDP HMI tentang Mazhab Filsafat:

NO MAZHAB FILSAFAT CIRI-CIRI

1 Metafisika Islam Doktrin aqliah

Menjadikan prima principia, kausalitas, dan

metode deduktif sebagai kerangka berfikir.

2 Empirisme Doktrin emperikal

Menjadikan pengalaman inderawi atau

eksperimen sebagai landasan dalam menilai

segala sesuatu dimana induktif sebagai


kerangka berfikirnya.

3 Skriptualisme Doktrin tekstual

Menjadikan teks-teks kitab suci sebagai

landasan dalam menilai segala sesuatu serta

tekstual dalam kerangka berfikirnya.

Secara singkat, TP ingin mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah wahyu, akal,

dan pengalaman. Sedangkan metode berfikir adalah tekstual, deduktif, dan induktif. Adapun

objek pengetahuan adalah alam materi dan alam gaib.

Berdasarkan uraian di atas, Bab I dari Amandemen NDP HMI secara sistematis dapat

disusun sebagai berikut:

BAB I: LANDASAN DAN KERANGKA BERFIKIR

A. Jenis-Jenis Pengetahuan

1. Pengetahuan tasawwur (konsepsi)

2. Pengetahuan tasdhiqi (assent).

B. Mazhab Filsafat

1. Metafisika Islam

2. Emperisme

3. Skriptualisme

Prima principia dan kausalitas lebih merupakan isu metafisika, sedangkan berfikir rasional

dan deduktif lebih merupakan persoalan epistemologi. Karena Islam harus dimulai dari

keyakinan bahwa Tuhan adalah ada (ontologis-metafisis), fungsi epistemologi adalah

mendukung keyakinan itu. Singkatnya, dalam Islam: percaya dulu, baru berfikir.
DASAR-DASAR KEPERCAYAAN

NDP Lama NDP Baru

Manusia & Kepercayaan. Manusia, Kepercayaan & Pengetahuan.

Manusia memerlukan suatu bentuk Manusia adalah makhluk percaya.

kepercayaan. Kepercayaan utama makhluk sebelum

Kepercayaan melahirkan tata nilai. merespon sesuatu di luar dirinya diketahui

Kepercayaan harus benar. secara intuitif.

Menganut kepercayaan salah adalah Pengetahuan intuitif tentang kepercayaan

berbahaya. adalah bekal untuk mengetahui dan

Aneka ragam kepercayaan. mempercayai pengetahuan baru melalui

Mungkin semua kepercayaan salah. aktivitas berfikir.

Mungkin salah satu saja yang benar. Berfikir adalah aktivitas khas manusia

Mungkin masing-masing kepercayaan memecahkan masalah berdasarkan

mengandung kebenaran dan kepalsuan yang pengetahuan sebelumnya.

campur baur. (Jadi, manusia adalah makhluk percaya dan

Nilai-Nilai dan tradisi. mengetahui secara intuitif dan berfikir).

Kepercayaan melahirkan nilai-nilai. Kepercayaan, Kebenaran &

Nilai-nilai melembaga dalam tradisi. Kesempurnaan.

Tradisi diwariskan turun-temurun dan Kepercayaan yang benar adalah untuk

mengikat masyarakat yang mendukungnya. mencapai kesempurnaan.

Tradisi yang membeku cenderung anti Manusia harus menelaah secara objektif

perubahan nilai-nilai, maka menghambat sendi-sendi kepercayaan untuk menghindari


perkembangan peradaban dan kemajuan kesalahan.

manusia. Manusia punya hasrat dan cita-cita

Kebenaran mutlak menggapai kebenaran dan kesempurnaan

Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan Allah. mutlak.

Allah adalah sumber nilai dan pangkal nilai. Allah adalah Zat Yang Mahatinggi dan

Kebenaran mutlak adalah asal dan tujuan Mahasempurna (Al-Haqq).

segala kenyataan. Nilai yang sempurna

Tauhid dan Kebenaran. Manusia memerlukan sistem nilai yang

"Tiada Tuhan selain Allah." sempurna sebagai sandaran dan pedoman

"Tidak ada Tuhan" berarti tidak ada hidupnya.

kepercayaan Sistem nilai itu harus berasal dari Zat Yang

"Selain Allah" berarti kecuali kepercayaan Mahasempurna.

kepada kebenaran. Sosok Yang Mahasempurna harus dijelaskan

Tunduk kepada Allah adalah tunduk kepada secara rasional, terbuka, tidak doktriner.

Yang Maha Benar dan membebaskan diri Tujuan argumentasi rasional dan terbuka

dari selain kebenaran yang mutlak. agar manusia tidak sanggup menolak

Tunduk dan pasrah itu disebut Islam. eksistensi-Nya.

Mengetahui Tuhan. Berbagai agama.

Adanya Tuhan dapat diketahui melalui Mungkin semua agama benar.

berbagai jalan: intuitif, ilmiah, historis, Mungkin semua agama itu salah.

pengalaman dll. Mungkin hanya satu agama yang benar.

Hakekat Tuhan tidak dapat diketahui Secara sosiologis semua agama tidak sama.

manusia. Menilai semua agama adalah salah adalah


Tidak semua informasi tentang Tuhan mustahil karena bertentangan dengan prinsip

diketahui oleh manusia, maka Allah kebergantungan manusia pada yang

memberitahu melalui wahyu. Mahasempurna.

Wahyu. Jadi, hanya satu agama saja yang benar.

Wahyu adalah pengajaran atau (Agama yang benar adalah agama yang

pemberitahuan yang langsung dari Tuhan sempurna dan berasal dari Yang

sendiri kepada manusia. Mahasempurna)

Wahyu diterima Nabi dan Rasul. Keabadian, Kesempurnaan, kebahagiaan

Al-Quran. mutlak.

Muhammad Rasululullah Manusia tidak sempurna, Tuhan

Sifat-sifat Tuhan. Mahasempurna.

Alam raya. Segala sesuatu yang terbatas bukan Tuhan.

Manusia. Seluruh makhluk diciptakan oleh-Nya,

Sunnatullah. manifiestasi diri-Nya (inna lillahi) yang

Iman dan ilmu. akan kembali kepada-Nya (wa inna ilaihi

Syirik. raji'un) sebagai realisasi kerinduan manusia

Hari kiamat. akan keabadian kesempurnaan, kebahagiaan

mutlak.

Setelah manusia melakukan pencarian

ketuhanan dan kerasulan adalah

kecenderungan fitrah dan kesadaran rasional

untuk meraih kebahagiaan, keabadian dan

ksempurnaan di akhirat.
Wahyu.

Rasul

Al-Quran

La ilaha illa Allah & kebenaran

Tidak ada Tuhan yang benar kecuali Tuhan

yang merupakan kebenaran

Tunggal/Esa/Ahad.

Pencarian kebenaran dapat melalui jalan

filosofis, intuitif, ilmiah, historis, dan lain-

lain.

Saya melihat adanya perpindahan paradigma dari Tuhan Allah sebagai kebenaran

mutlak (NDP HMI) kepada Tuhan Allah Yang Mahasempurna (NDP HMI Amandemen).

Dari tema kebenaran ke tema kesempurnaan. Perpindahan dari manusia yang selalu ingin

meraih kebenaran ke manusia yang selalu ingin mencapai kesempurnaan. Insan Kamil:

manusia yang rindu akan keabadian kesempurnaan, kebahagiaan mutlak. Tema utama NDP

Baru adalah kebahagiaan, kesempurnaan, keabadian. Semua ini adalah tema-tema tasawwuf.

Dan hanya memberikan ruang satu paragraf untuk membahas kebenaran. Singkatnya, NDP

Baru dapat saja jatuh ke tasawwuf tanpa rasionalitas, ketika sentuhan filsafatnya lemah.

HARI AKHIRAT

NDP Lama NDP Baru

Hari akhirat Hakikat penciptaan

Yang ada pada hari kiamat atau hari agama Tujuan penciptaan adalah bergerak menuju
(yaumuddin) adalah pertanggungan jawab Kesempurnaan Tertinggi (ALLAH).

individu manusia yang bersifat mutlak Hari Akhirat.

dihadapan ilahi atas segala perbuatan dahulu Kepercayaan pada hari akhirat adalah salah

di dalam sejarah (dalam Dasar-Dasar satu syarat menjadi Muslim.

Kepercayaan) Kesadaran akan adanya hari akhirat memacu

Informasi tentang hari kiamat hanya kesungguhan beragama.

diketahui melalui wahyu. Kepercayaan kepada akhirat adalah prinsip

kedua setelah Tauhid.

Kebahagiaan kita sangat tergantung pada

keimanan pada hari akhirat.

Manusia dimintai pertanggungjawaban di

akhirat.

Beriman kepada hari akhirat adalah tuntutan

hakiki bagai kebahagiaan manusia.

Pembahasan tentang hari akhirat ini termuat dalam "BAB III: HAKEKAT

PENCIPTAAN DAN ESKATOLOGI (MA'AD)". Bab khusus ini tidak ada dalam NDP

HMI lama. NDP Lama membahas masalah akhirat ini dalam Bab Dasar-Dasar Kepercayaan.

Membaca pembahasan tentang kebahagiaan di dunia dan di akhirat dalam NDP Baru membuat

saya serasa menjadi jama'ah sholat Jum'at yang sedang mendengarkan khatib berceramah

tentang hari akhirat dan pentingnya kesungguhan beragama supaya bahagia di dunia dan di

akhirat. Rasa filosofinya kurang, karena tidak diketahui apakah pertanggungjawaban adalah

bersifat individual atau bukan. Selanjutnya juga tidak diketahui implikasi kepercayaan kepada
hari akhirat terhadap pentingnya moralitas. Saya mengusulkan Bab ini diganti judulnya

dengan "KEBAHAGIAAN DI DUNIA DAN AKHIRAT."

Bagaimana pandangan NDP Baru tentang manusia? Kita memasuki "BAB IV: MANUSIA

DAN NILAI-NILAI KEMANUSIAAN."

Manusia adalah makhluk basyariah (dimensi fisiologis), annas (dimensi sosilogis), insan

(dimensi psikologis).

Kemuliaan manusia diukur dari aspek insaniahnya (spiritual dan intelektual), bukan bentuk

fisiknya.

Tuhan adalah sumber segala kesempurnaan dan kemuliaan.

Manusia ideal (insan kamil) adalah manifestasi Tuhan termulia di muka bumi karenanya

ditugaskan sebagai wakil Tuhan yang dikenal sebagai khalifah/nabi dan rasul (QS. 2:30).

Ciri-ciri kemuliaan Tuhan tergambar/ termanifestasikan pada diri manusia (QS. 33:21).

Nabi dan Rasul adalah contoh real yang terbaik (uswatun hasanah) dari "gambaran/cerminan"

Tuhan di muka bumi (QS. 68:4).

Keidentikan manusia kepada khalifah/nabi/rasul merupakan tolak ukur kemuliaan manusia

dan sebaliknya berkontradiksi dengannya merupakan ukuran kebejatan dan dianggap syaitan

(QS.6:112).

Menurut Saya, judul yang cocok untuk Bab IV ini adalah "INSAN KAMIL." Rasul

adalah contoh untuk menjadi sempurna atau wasilah melaluinya manusia dapat menjadi

sempurna (insan kamil). Tasawwuf banget gitu lo. Konsep insan kamil tidak ada dalam Al-

Quran, ini adalah konsep sekunder diambil dari tradisi tasawwuf. Untuk memahami konsep

"insan kamil," kita harus terlebih dahulu membaca warisan tradisi tasawwuf. Anda tidak akan

memahami konsep ini, kalau Anda langsung membaca AL-Qur'an.


Saya langsung saja masuk ke "BAB VII: KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN

EKONOMI." Bagaimana pemahaman NDP Baru tentang kapitalisme dan sosialisme?

Kapitalisme sesuai dengan konsepnya tentang manusia yang berkenaan dengan karakter

dasar dan tujuan akhir manusia yaitu bahwa manusia pada dasarnya bersifat baik dan

lemah, cenderung meyakini bahwa penyebab terjadinya diskriminasi serta tidak

terjadinya distribusi kekayaan secara tidak adil dikarenakan dipasungnya kebebasan

individu oleh baik masyarakat, pemerintah, individu lain disatu sisi dan di sisi lain tidak

adanya aturan-aturan yang menjamin kepentingan-kepentingan individu. Berdasarkan

ini upaya menciptakan keadilan sosial maupun ekonomi bisa terwujud hanya dengan

cara memberikan kebebasan secara mutlak, yakni kesempatan ekonomi yang seluas-

luasnya kepada setiap individu dimana kebebasannya hanya dibatasi oleh kebebasan

orang lain, meskipun kebebasan ini justru dapat menyebabkan perbedaan pendapatan

dan kekayaan individu (dengan asumsi bahwa orang menggunakan kebebasannya secara

sama dalam sistem kapitalis).

Bagaimana dengan pemahaman NDP Lama tentang Kapitalisme?

Kejahatan dalam bidang ekonomi yang menyeluruh adalah penindasan oleh

“kapitalisme”. Dengan kepitalisme seseorang dapat mudah memeras orang-orang yang

berjuang mempertahankan hidupnya karena kemiskinan, kemudian merampas hak-

haknya secara tidak sah, berkat kemampuannya untuk memaksakan persyaratan kerja

dan hidup kepada mereka. Oleh karena itu menegakkan keadilan mencakup

pemberantasan kapitalisme dan segenap usaha akumulasi kekayaan kepada sekelompok

kecil masyarakat.
Menurut Saya, kapitalisme yang diuraikan oleh NDP Baru dan Lama adalah sama saja:

kapitalisme klasik. Sekarang ini kapitalisme sudah mempercantik dan memperganteng dirinya

karena kritik internal para pemikirnya sendiri dan juga sebagai respon terhadap kritik eksternal

terutama dari para pemikir sosialisme. Perhatikan pegembangan kapitalisme oleh para pemikir

liberal seperti Hobhouse dan Rawls.

Kritik terhadap liberalisme klasik datang dari Leonard Trelawny Hobhouse (1864-

1929). Hobhouse adalah salah satu toko neo-liberalisme atau liberalisme sosial. Pandangannya

tentang liberalisme termuat dalam bukunya Liberalism (1911). Ia merekonstruksi teori liberal

dan menolak unsur-unsur signifikan dalam teori liberal versi Locke tentang ekonomi.

Menurutnya kapitalisme yang berbasis ekonomi pasar bebas telah melahirkan ketidakadilan

yang luar biasa, antara lain kondisi sosial-ekonomi yang buruk. Oleh karena itu, negara harus

mengadopsi kebijakan-kebijakan ekonomi yang dapat mereduksi ketidakadilan dan

ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin. Ia menolak liberalisme klasik yang terlalu

berlebihan mengandalkan kepemilikan privat dan mekanisme pasar. Menurutnya, Negara

harus memberlakukan kontrol sosial atas sumberdaya-sumberdaya ekonomi dasar atau

kebutuhan pokok bagi banyak orang. Ia menganjurkan peran negara demokratis dalam

menyediakan kebutuhan pokok untuk kesejahteraan sosial, humanitarisnisme, kewajiban

sosial, kewajiban publik, dan reformasi sosial. Ia juga menolak liberalisme klasik yang terlalu

fokus pada individualisme. Menurutnya, individual liberties dan social liberties dapat

didamaikan, dan masyarakat liberal tidak mengharuskan peran negara yang minimal (minimal

state). Baginya, negara domokratis liberal harus berperan aktif membuat masyarakat mampu

mengengembangkan diri.
Kritik terhadap kapitalisme juga datang dari filosof liberal, John Rawls. Kritik Rawls,

terutama ditujukan kepad J.S. Mill. Menurut Mill, liberti warga negara mensyaratkan adanya

perlindungan terhadap setiap warga dari gangguan. Salah satu bentuk gangguan adalah

gangguan terhadap property: pencurian, penipuan, atau pengrusakan. Hukum dibuat untuk

mengatur distribusi properti dan melindungi kepemilikan pribadi atas properti dari pencurian,

penipuan, atau pengrusakan. Namun, Mill berpendapat bahwa kita tidak punya hak

perlindungan dari pengaruh pasar, dan persaingan ekonomi. Mill lebih menyukai sistem

kapitalisme yang tidak ikut campur terhadap jalannya pasar dan membiarkan terjadinya

persaingan ekonomi. Kapitalisme jenis ini disebut laissez-faire capitalism. Pendirian Mill

mendapat kritikan dari kaum liberal yang datang kemudian, seperti John Rawls. Rawls

berpendapat bahwa pasar bebas telah melahirkan ketidakadilan sosial-ekonomi. Oleh karena

itu, properti harus diredistribusi dari yang kaya kepada yang kurang beruntung untuk

memastikan keadilan sosial bagi semua. Pandang Rawls ini disebut welfare liberalism.

Selanjutnya "BAB VIII: SAINS ISLAM." Di sini NDP Baru menawarkan pendekatan

terhadap sains. Model Islamisasi sains apa yang ditolak oleh NDP Baru?

Islamisasi sains dengan pelabelan ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits yang dipandang

sesuai dengan penemuan sains mestilah dihindari, karena kebenaran-kebenaran al-Qur’an

bersifat abadi dan universal, sementara kebenaran-kebenaran sains modern selain bersifat

temporer dan hanya benar dalam lingkup ruang dan waktu tertentu, sains ini juga bersifat

materealistik atau positivistik. Pendekatan demikian akan mengalami jalan buntu dengan

berubahnya teori-teori sebelumnya dengan ditemukannya teori-teori baru. Dengan

demikian ayat-ayat yang tadinya dipandang relevan dengan teori-teori sebelumnya, alau

menjadi dipertanyakan relevansinya.


Begitupula islamisasi sains tidak dengan upaya mendengungkan ayat-ayat al-

Qur’an tentang kewajiban berilmu pengetahuan ke telinga generasi muslim. Hal ini

karena upaya tersebut berkaitan dengan sumberdaya manusia (SDM) muslim yang

mayoritas telah atau akan berkembangg tidak sesuai dengan sains islam.

Model sains Islam apa yang ditawarkan oleh NDP Baru?

Namun pendekatan yang mesti dilakukan adalah dengan membuat klasifikasi ilmu

pengetahuan dengan menetapkan status dan basis ontologinya, sebab ia merupakan

basis bagi sebuah epistimologi. Perbedaan dalam menetapkan status ontologis

meniscayakan perbedaan pada status epistimologi berikut metodologinya. Perbedaan ini

dapat terlihat pada epistimologi modern dengan epistimologi yang telah dicanangkan

oleh para filosof muslim yang telah ditinggalkan oleh mayoritas kaum muslim itu

sendiri. Epistimologi barat berbasis pada status ontologi materealistik dan menolak

adanya realitas (ontologi) metafisis. Epistimologi ini hanya memusatkan perhatiannya

pada objek fisik. Adapun sains islam bukan hanya berbasis kepada status ontologis alam

materi (objek-objek fisika) tetapi lebih dari itu ia tetapkan pula bahwa selain status

ontologi alam materi terdapat pula objek ontologi alam mitsal (objek-objek matematika)

dan objek ontologi alam akal (objek-objek metafisika). Berdasarkan klasifikasi sains

seperti ini, sains Islam menawarkan beberapa metodologi ilmiahnya sesuai dengan status

ontologinya, yaitu; intuisi dan penyatuan jiwa (metode kaum irfan), untuk mengetahui

objek-objek nonmateri murni atau objek-objek metafisika dengan cara langsung, deduksi

rasional untuk mengetahui objek metafisika secara tidak langsung maupun objek-objek

matematika dan Induksi (Observasi dan eksperimen) untuk mengetahui objek-objek

fisika. Sains metafisika mengkaji objek-objek atau wujud yang secara niscaya bersifat
nonmateri murni yang tidak dipengaruhi oleh materi dan gerak. Seperti Teologi,

Kosmologi, Ekskatologi. Sains matematika mengkaji objek-objek atau wujud yang

meskipun bersifat nonmaterial namun berhubungan dengan materi dan gerak. Seperti

aretimetika, geometri, optika, astronomi, astrologi, musik, ilmu tentang gaya, keteknikan

dan lain sebagainya. Sains fisika mengkaji objek-objek atau wujud yang secara niscaya

terkait dengan materi dan gerak. Seperti unsur-unsur (atom-atom), mineral, tumbuh-

tumbuhan, binatang dan manusia (secara fisik). Dalam klasifikasi sains islam karena

status objek-objek metafisika merupakan realitas ontologis yang berada dipuncak (yang

paling tertinggi) yang menjadi sebab segala sesuatu dibawahnya, dimana objek-objek

fisika merupakan objek realitas terbawah dan terendah dari hirarki objek ontologi, maka

secara berturut-turut sains metafisika merupakan sains tertinggi dan sains fisika

merupakan sains terendah setelah sains matematika.

Kritik Saya terhadap NDP Baru tentang sains Islam? Pertama, pemetaan epistemologi

Barat yang keliru. Epistemologi Barat tidak tunggal, jika yang kita maksud dengan Barat

adalah mulai dari zaman Yunani, Abad Tengah, dan Modern.

Mengenai dua pertanyaan utama epistemology: (1) apa yang kita ketahui dan (2)

bagaimana mengetahuinya. NDP Baru menyatakan bahwa dalam epistemology Barat hanya

objek-objek fisik , bukan noninderawi, nonfisik, dan metasisika yang dapat diketahui secara

sainstifik. Sedangkan dalam Islam baik objek-objek fisik dan objek-objek non-fisik dapat

diketahui. Namun, NDP Baru sendiri tidak menjelaskan apakah dalam Islam objek-objek non-

fisik dapat diketahui secara sainstifik. Ia hanya menyatakan bahwa dalam Islam status

ontologis dari objek-objek non-fisik yang tidak dapat ditangkap secara inderawi, seperti

konsep-konsep mental, metafisika, Tuhan, jin, malaikat, ruh, adalah real. Kalau begitu
bagaimana cara mengetahuinya? Apakah dapat diketahui dengan observasi-empiris dalam

Islam? NDP Baru menyatakan bahwa hal-hal itu tidak dapat ditangkap secara inderawi

(observasi empiris). Jadi, sebenarnya NDB Baru ingin menyatakan bahwa metode observasi-

empiris tidak dapat mengetahui adanya, misalnya, Tuhan.

Sampai di sini, menurut hemat Saya, NDP Baru sudah mulai rancu dalam

membandingkan epistemologi Islam dan Barat. Ketika berbicara tentang status ontologis

objek-objek non-fisik di Barat yang disorot adalah perspektif science, sehingga sudah dapat

diduga bahwa objek non-fisik itu tidak dapat diketahui. Sedangkan ketika membahas status

ontologisnya dalam epistemology Islam, NDP Baru menggunakan perspektif rasional-logis.

Tetapi, ia tidak membahas status ontologis objek itu dari perspektif epistemology rasional

yang non-empiris yang berkembang di Barat. Seperti Dercartes, misalnya, yang menyatakan

bahwa ruh adalah ada dan dapat diketahui secara rasional. Karena pertanyaan apakah Tuhan

dapat diketahui secara rasional-logis adalah berbeda dari pertanyaan apakah Tuhan dapat

diketahui secara observasi-empiris.

Saya kira yang menjadi persoalan adalah scienticism, yakni bahwa sesuatu dapat

dikatakan ada jika hanya jika dapat diketahui dengan prinsip-prinsip science, yakni secara

observasi, empiris, induktif.

Apa yang dikemukan NDP Baru ini tentang metodologi, juga telah dilontarkan oleh

Ziauddin Sardar. Sardar menyatakan bahwa ilmuwan Barat hanya menggunakan satu metode

ilmiah, yaitu observasi, sedangkan para pemikir Muslim menggunakan tiga macam metode

sesuai dengan tingkat atau hierarki objeknya, yaitu: (1) metode observasi, sebagaimana yang

digunakan di Barat, atau disebut bayani, (2) metode logis atau demonstratif (burhani), dan (3)

metode intuitif (‘irfani), yang masing-masing bersumber pada indra, akal, dan hati. (Mulyadhi
Kartanegara. Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam. Mizan: Bandung, cet.I.,

2002: 61).

Sebelum memetakan posisi filosof Muslim klasik dalam bidang epistemologi, terlebih

dahulu Saya jelaskan epistemologi Barat mulai dari Yunani, Abad Tengah, dan Modern.

Menurut Keith Lehrer (http://www.ditext.com/clay/lehrer) secara historis ada tiga

perspektif dalam epistemology yang berkembang di Barat, yaitu: (1) Dogmatic Epistemology;

(2) Critical Epistemology; dan (3) Scientific Epistemology.

1. Dogmatic Epistemology: adalah pendekatan tradisional terhadap epistemology,

terutama Plato. Dalam perspektif epistemology dogmatif, metaphysics (ontology) diasumsikan

dulu ada, baru kemudian ditambahkan epistemology. Setelah realitas dasar diasumsikan ada ,

baru kemudian ditambahkan epistemology untuk menjelaskan bagaimana kita mengetahui

realitas tersebut. Pertanyaan utama epsitemologi jenis ini: Apa yang kita ketahui? Lalu

bagaimana cara kita mengetahuinya? Singkatnya, epistemology dogmatif menetapkan

ontology sebelum epistemology.

Untuk melihat contoh cara kerja epistemology jenis ini, silahkan lihat karya Plato,

Theaetetus, terutama ketika ia menganalisis pengetahuan sebagai opini yang benar, forms

sebagai the ultimate reality yang bermuara pada definisi bahwa pengetahuan adalah sebagai

kesedaran intuitif terhadap forms.

2. Critical Epistemology. Revolusi dari epistemology dogmatic ke epistemology kritis

dintrodusir oleh Descartes. Descartes membalik epistemology dogmatic dengan menanyakan

apa yang dapat kita ketahui sebelum menjelaskannya. Pertanyakan dulu secara kritis, baru

diyakini. Ragukan dulu bahwa sesuatu itu ada, kalau terbukti ada, baru dijelaskan. Berfikir

dulu, baru yakini atau tidak. Ragukan dulu, baru yakini atau tidak. Descartes menganut the
immediacy theses, bahwwa apa yang kita ketahui adalah terbatas pad ide-ide yang adalah jiwa

kita (our own minds). Metode Descartes disebut juga metode skeptis. Yakni, skeptis bahwa

kita dapat mengetahui secara langsung objek di luar diri kita tanpa melalui jiwa kita. Thesis ini

dikembangkan oleh David Hume dengan teori primary qualities dan secondary qualities.

Pertanyaan utama epsitemologi jenis ini: Apa yang dapat kita ketahui? Dapatkah kita

mengetahuinya? Munkinkah kita dapat mengetahui sesuatu di luar diri kita? Singkatnya,

epistemology kritis metapkan ontology setelah epistemology.

Reid menolak tesis ini dengan berargumen bahwa kita mempunyai pengetahuan

langsung tentang dunia luar (the external world). Menuut Reid, kita tidak melihat penampakan

objek, tapi objek itu sendiri.

Selanjutnya silahkan baca karya Descartes, Meditations, dan karya Hume, Inquiry Into

the Human Understanding (teruratama "The sections on perception and skepticism"). Dan

karya Reid, Inquiry and Essays (Selected sections on perception).

3. Scientific Epistemology. I argue that there is a third approach to epistemology where

theories about what we can know and theories about what is real are given equal status, that is,

neither is assumed to be prior to the other. Consequently, a theory of knowledge should

explain how we know those things which we most clearly do know and at the same time

provide a critical standard of evaluation for knowledge claims. Pertanyaan utama epsitemologi

jenis ini: Apa yang benar-benar sudah kita ketahui dan bagaimana cara kita mengetahuinya?

Epistemology ini tidak peduli apakah batu di depan mata kita adalah penampakan atau bukan.

Yang ia urus adalah bahwa ada batu di depan mata kita dan kita teliti secara sainstifik.

Persolan kedua adalah penggunaan kata "sains" dan "ilmu pengetahuan" dalamNDP

Baru. Sebelum penerjemahan kata science, dalam bahasa Indonesia tersedia dua pilihan kata,
yakni pengetahuan dan ilmu. Yang berlaku umum, pilihan jatuh pada kata ilmu.

Penerjemahan science menjadi ilmu dalam bahasa Indonesia berimplikasi pada perubahan

makna ilmu menjadi science, bukan sebaliknya. Akibatnya, hal-hal yang sebelumnya disebut

ilmu menjadi bukan ilmu atau belum menjadi ilmu dalam artian science. Kemudian scientific

knowledge diterjemahkan menjadi ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah. Perhatikan

bagaimana Jujun Suriasumantri, misalnya—yang buku-bukunya tentang "Filsafat Ilmu"

banyak dibaca mahasiswa Indonesia—ketika menerjemahkan kata "science" ke dalam bahasa

Indoenesia:

“Epistemologi, atau teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap proses yang

terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan

yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah

yang membedakan ilmu dengan dengan buah pemikiran yang lainnya. Atau dengan

perkataan lain, ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode

keilmuan. Karena ilmu merupakan sebahagian dari pengetahuan, yakni pengetahuan yang

memiliki sifat-sifat tertentu, maka ilmu dapat juga disebut pengetahuan keilmuan. Untuk

tujuan inilah, agar tidak terjadi kekacauan antara pengertian “ilmu” (science) dan

“pengetahuan” (knowledge), maka kita mempergunakan istilah “ilmu” untuk “ilmu

pengetahuan.” (Jujun Suriasumantri. “Tentang Hakekat Ilmu: Sebuah Pengantar

Redaksi.” Dalam Jujun (ed.,) Ilmu Dalam Perspektif. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta,

2001; hal.9)

Penerjemahan model ini menimbulkan sejumlah kerancuan di kalangan umat Islam.

Karena mereka sudah mempunyai istilah ilmu sebelum ada kata science—yang tumbuh khas di

Barat dengan observasi dan metode induksinya. Kerancuan ini tercermin dari munculnya
beberapa pertanyaan seperti, “Apakah ilmu-ilmu agama adalah ilmu?” atau “Apakah ilmu

kalam adalah ilmu? Atau “Apakah ilmu fiqh adalah ilmu?” Pertanyaan itu redundancy, yakni

“Apakah ilmu adalah ilmu?” pertanyaan itu juga mengisyaratkan adanya makna ilmu yang

berbeda. Ilmu yang statusnya belum dianggap ilmu dan ilmu yang statusnya telah dianggap

ilmu atau ilmu yang perlu diuji dengan standar ilmu lain.

Kerancuan-kerancuan itu dapat dihindari kalau kita tidak memaksa diri mencari kata

bahasa Indonesia yang sudah ada untuk menerjemahkan kata science. Kita tetap pertahankan

kata pengetahuan dan ilmu dan menambah kosa kata baru “sains” untuk bahasa Indonesia bagi

science dan “saintifik” untuk kata sifat scientific.

Science sendiri dipakai untuk dalam dua pengertian. Pertama, science yang triadic

terdiri dari ontology, epistemology dan aksiologi, yakni cabang science, yang dalam bahasa

Indonesia diterjemahkan menjadi disiplin ilmu seperti fisika, kimia, biologi. Kedua, dalam

artian yang metodis, yakni science atau scientific knowledge yang secara tradisional

menggunakan metode induksi. Demarkasi antara science dan non-science secara tradisional

biasanya pada metode induksi ini.

Dari sini pertanyaan “Apakah ilmu fiqh adalah ilmu?” Kita rubah menjadi “Apakah

ilmu fiqh adalah sains atau non-sains?” Sebenarnya adalah ungkapan lain dari pertanyaan itu

adalah “Apakah ilmu fiqh menggunakan metode induktif?” Jawabannya, menurut demarkasi

tradisional adalah tergantung pada apakah ilmu fiqh menggunakan metode induksi atau tidak?

Jika ilmu fiqh tidak menggunakan metode induksi, maka tidak dapat disebut sebagai sains

dalam artian yang tradisional.


Klaim terhadap metode induksi dengan asumsi regularitasnya pada filsafat continental

(Jerman) berbuah pada klaim bahwa pengetahuan tentang perilaku manusia tidak dapat disebut

science. Karena perilaku manusia berubah-ubah.

Mulyadhi Kartanegara, peraih gelar doktor di bidang Filsafat Islam di Universitas

Chicago, misalnya, agak keberatan dengan penerjemahan kata science menjadi ilmu dalam

bahasa Indonesia, walaupun pada akhirnya ia setuju, namun ia memberikan beberapa syarat.

Mulyadhi menulis:

“Kata science sebenarnya dapat saja diterjemahkan dengan ilmu. Seperti science, kata ‘ilm

dalam epistemologi Islam, tidak sama dengan pengetahuan biasa, tetapi, seperti yang

didefinisikan oleh Ibn Hazm (w. 1064 M), ilmu dipahami sebagai “pengetahuan

tentang sesuatu sebagaimana adanya”, dan seperti science dibedakan dengan

knowledge, ilmu juga dibedakan oleh para ilmuwan Muslim dengan opini (ra’y). Akan

tetapi, di Barat ilmu dalam pengertian ini telah dibatasi hanya pada bidang-bidang ilmu

fisik atau empiris, sedangkan dalam epistemology Islam, ia dapat diterapkan dengan

sama validnya, baik pada ilmu-ilmu yang fisik-empiris maupun nonfisik atau

metafisis… Oleh karena itu, menurut hematku, kita pada dasarnya bisa menerjemahkan

kata science dengan ilmu, dengan syarat bahwa ilmu dalam epistemologi Islam tidak

dibatasi hanya pada bidang-bidang fisik, seperti dalam epistemologi Barat.”

(Mulyadhi, 2002: 57-58)

Jadi, istilah "ilmu" dalam Islam lebih luas dari istilah "sains." Sains adalah salah satu

bagian saja dari klasifikasi ilmu dalam Islam. Oleh karena itu, saya mengusulkan "Bab Sains

Islam" diganti menjadi "Bab Ilmu," dan penggunaan kata "sains" harus diletakkan pada

posisinya yang tepat sehingga tidak menimbulkan kerancuan berfikir.


Penutup

Pada pembahasan di atas, Saya hanya membahas logika internal dari NDP Baru. Saya

berharap ada pembacaan logika eksternal dari anggota HMI yang masih aktif; yakni menguji

kesesuaian NDP Baru dengan Tujuan HMI dan Tafsir Tujuan. Apakah NDP Baru memback-

up tujuan yang hendak dicapai HMI?

# Penulis adalah Ketua PA HMI Cabang Bandarlampung 1996-1997; Nara Sumber NDP HMI

sejak 1995; menyelesaikan S2 Filsafat Barat di University of Nottingham England 2004;

sekarang tinggal di Banjarmasin. Email:

Anda mungkin juga menyukai