Saya mendapatkan informasi tentang latar belakang perubahan NDP HMI dari Internet.
Eka Sastra dalam "Kata Pengantar" tentang NDP Baru HMI (www.pembaharuan-hmi.com -
Nilai Dasar Perjuangan adalah sebuah landasan filosofis dan ideologis sekaligus
sebagai spirit perjuangan dari organisasi sehingga setiap kader HMI harus mampu
memahami nilai dasar perjuangan bukan hanya pada tataran yang formal tapi juga
secara substansial sehingga tidak ada kontradiksi pada tataran konsep dan taktis
Saya tertarik dengan kalimat " setiap kader HMI harus mampu memahami nilai dasar
perjuangan." Apa syarat suatu tulisan supaya mudah dipahami oleh kader-kader HMI, yang
ikut latihan kader biasanya mereka yang baru duduk di semester yang relatif awal? Menurut
Saya, tulisan itu haruslah menggunakan bahasa yang relatif mudah dipahami bagi pemula,
disusun secara sistematis dan mengalir logis. Dari segi tingkat kemudahan pemahaman,
menurut Saya, NDP Baru lebih sulit dipahami dibandingkan NDP Lama. Saya sendiri secara
pribadi harus mengerahkan secara maksimal latar pengetahuan Saya di bidang Filsafat Barat
dan Filsafat Islam untuk memahami teks NDP Baru dan melakukan beberapa kali crosscheck
ke kitab-kitab filsafat dan logika. Kesulitan ini terjadi karena banyak paragraf-paragraf yang
mengandung lebih dari satu ide. Kedua, tim perumus banyak menggunakan istilah-istilah
'payung' (konsep besar), namun tidak ada penjelasannya. Penjelasan ini penting untuk
pembaca pemula. Ketiga, ada beberapa paragraf yang menggantung alias belum selesai,
namun diputus begitu saja. Keempat, penggunaan kalimat yang terlalu panjang. Akibat
kelemahan-kelemahan ini, ketika membaca NDP Baru, Saya harus menyusun ulang urutan-
ide-ide utama; dan melakukan pembacaan intertekstulitas dengan mengecek silang dan
mencari penjelasan dari teks-teks di luar teks NDP Baru itu sendiri. Pekerjaan-pekerjaan
pembacaan ini sulit dilakukan oleh para pemula yang belum punya latar pemahaman logika,
filsafat Barat dan filsafat Islam yang memadai. Sebaiknya teks NDP Baru ini di-proof reading
dulu oleh kader-kader HMI pemula untuk menguji gaya bahasa dan tulisannya. Jika mereka
dapat memahaminya dengan mudah berarti cara penulisan dan uraian sudah bagus. Jika
sebaliknya, berarti cara penulisan dan uraian harus diperbaiki. Kesan yang Saya dapat, NDP
Baru ditulis dengan gaya dan keyakinan yang keliru, yakni semakin sulit dipahami semakin
berbobot.
Setiap generasi bertanggung jawab pada sejarah yang yang menyertainya, dan
dengan sebuah organisasi ataupun suatu lembaga pasti diwarnai dengan perubahan,
dan organisasi yang tidak mampu mengikuti pola perubahan yang terjadi pada
zamannya, maka dia akan tertinggal jauh dan menjadi organisasi yang terbelakang,
sehingga wacana perubahan adalah identik dengan parsialitas perubahan yang niscaya
harus direspon. Tuntutan inilah yang mendorong keterbukaan dan progresifitas, karena
wacana yang anti kepada perubahan adalah kejumudan, ketertutupan terhadap realitas
yang mengalami perubahan dan cenderung bersifat status quo dalam memapankan
kekuasaan. Bakornas LPL HMI dalam melihat wacana perubahan yang terjadi dalam
spirit organisasi perlu mengadakan sebuah perubahan dalam pengkaderan yang tentunya
berlandaskan dengan nilai-nilai yang ada dalam organisasi Himpunan Mahsiswa Islam
(HMI), maka dengan itu kami mencoba memfasilitasi kader-kader HMI yang masih
tetap eksis dalam dunia perkaderan untuk memformat ulang materi-materi dalam Nilai
Dasar Perjuangan (NDP) yang menjadi rekomendasi kongres. Sebagai langkah kongkrit
maka kami dari Bakornas LPL HMI mengadakan semiloka Pendalaman NDP di
Mataram, yang kemudian menghasilkan draf materi dan pembentukan tim 8 untuk
kemudian menggodok lebih lanjut materi NDP. Proses penyempurnaan draft narasi yang
penulisan draft NDP yang diadakan oleh Bakornas yang bekerja sama dengan tim 8 di
Lihat tulisan yang ditulis miring (tulisan miring dari Saya), semangat perubahan NDP HMI
Kalau semangat ini yang ingin diusung oleh NDP Baru, sebenarnya NDP HMI Lama memuat
nilai. Nilai-nilai itu kemudian melembaga dalam tradisi-tradisi yang diwariskan turun-
diperlukan sebagai sumber tata nilai guna menopang peradaban manusia, tetapi pula
nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi yang membeku dan mengikat, maka justru
merugikan peradaban.
Oleh karena itu, pada dasarnya, guna perkembangan peradaban dan kemajuannya,
manusia harus selalu bersedia meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai
kebenaran. Maka satu-satunya sumber dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran itu
sendiri. Kebenaran merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. Kebenaran yang mutlak
Perumusan kalimat persaksian (syahadat) Islam yang kesatu: Tidak ada Tuhan selain
Allah mengandung gabungan antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan “tidak ada
agar manusia membebaskan diri dari segala belenggu segenap kepercayaan yang ada
dengan segala akibatnya, dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar manusia hanya
tunduk pada ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilih nilai-nilai, itu berarti
tunduk kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, pencipta segala hal yang ada termasuk
manusia. Tunduk dan pasrah itu disebut Islam (I. DASAR-DASAR KEPERCAYAAN).
2. Kepercayaan yang benar adalah kepercayaan yang bersumber dari kebenaran mutlak,
3. Jadi, kepercayaan yang benar adalah kepercayaan yang bersumber dari Allah.
kebenaran.
6. Jadi, manusia yang berkembang dan maju adalah manusia yang hanya tunduk pada
Allah.
7. Kepercayaan yang melahirkan nilai-nilai dan melembaga dalam tradisi adalah produk
11. Jadi, meninggalkan tradisi produk manusia bukan meninggalkan produk Allah.
12. Imam Syafi'i adalah manusia dan bukan Tuhan Allah (contoh dari Saya)
13. Fiqh Imam Syafi'i adalah tradisi yang diproduk Imam Syafi'i.
14. Jadi, meninggalkan tradisi Fiqh Imam Syafi'i adalah bukan meninggalkan produk
Tuhan Allah.
rumusan yang jelas dan argumentatif dalam NDP Baru. Tiga paragraf yang terdiri dari 222
kata yang membangun semangat progressif dalam NDP Lama itu dirumuskan ulang secara
buruk dan tidak sistimatis dan tidak argumentatif dalam NDP Baru dalam satu paragraf yang
Memiliki sebuah kepercayaan yang benar, yang selanjutnya melahirkan tata nilai, adalah
sebuah kemestian bagi perjalanan hidup manusia. pada hakikatnya, perilaku manusia yang
tidak peduli untuk berkepercayaan benar dan Manusia yang berkepercayaan salah atau
dengan cara yang salah tidak akan mengiringnya pada kesempurnaan. Maka mereka tidak
ubahnya seperti binatang. Manusia harus menelaah secara objektif sendi-sendi
kepercayaannya dengan segala potensi yang dimilikinya. Kajian yang mendalam tentang
kepercayaan sebagai sebuah konsep teoritis akan melahirkan sebuah kesadaran bahwa
manusia adalah maujud yang mempunyai hasrat dan cita-cita untuk menggapai kebenaran
dan kesempurnaan mutlak, bukan nisbi. Artinya, ia mencari Zat Yang Mahatinggi dan
Mahasempurna (Al-Haqq).
Apa yang ingin dikatakan paragraf dalam NDP Baru ini? Perhatikan kalimat-kalimat berikut:
1. Memiliki sebuah kepercayaan yang benar, yang selanjutnya melahirkan tata nilai,
2. pada hakikatnya, perilaku manusia yang tidak peduli untuk berkepercayaan benar dan
Manusia yang berkepercayaan salah atau dengan cara yang salah tidak akan
4. Kajian yang mendalam tentang kepercayaan sebagai sebuah konsep teoritis akan
melahirkan sebuah kesadaran bahwa manusia adalah maujud yang mempunyai hasrat
dan cita-cita untuk menggapai kebenaran dan kesempurnaan mutlak, bukan nisbi.
Saya menyusun ulang kalimat-kalimat (1-4) di atas dalam bahasa yang jelas dan
sederhana berikut:
hidup manusia.
4. Manusia yang tidak peduli pada kepercayaan yang benar adalah seperti binatang.
7. Kajian yang mendalam tentang kepercayaan sebagai sebuah konsep teoritis akan
melahirkan sebuah kesadaran bahwa manusia adalah maujud yang mempunyai hasrat
dan cita-cita untuk menggapai kebenaran dan kesempurnaan mutlak, bukan nisbi.
Perhatikan kalimat (2). Kalimat ini tidak relevan dengan kalimat-kalimat lainnya untuk
membangun satu ide utama. Kalimat (3) juga harus dibuang karena pengulangan dari kalimat
(1). Dengan membuang kalimat (2) dan (3), Saya susun kembali kalimat-kalimat di atas dalam
2. Karena manusia yang tidak peduli pada kepercayaan yang benar adalah seperti
binatang.
3. Untuk meraih kepercayaan yang benar manusia harus menelaah secara objektif sendi-
5. Kajian yang mendalam tentang kepercayaan sebagai sebuah konsep teoritis akan
melahirkan sebuah kesadaran bahwa manusia adalah maujud yang mempunyai hasrat
dan cita-cita untuk menggapai kebenaran dan kesempurnaan mutlak, bukan nisbi.
Dari hasil materi tersebut sepenuhnya nilai dasar perjuangan HMI tidaklah mengalami
perubahan yang radikal kecuali hanya beberapa tema yang mengalami perubahan dan
terdapat beberapa tema-tema tambahan khususnya materi landasan dan kerangka Berpikir
Yang dimaksud Eka Sastra adalah bahwa NDP Baru dalam "Bab Landasan dan Kerangka
Berfikir" sedang menawarkan "metafisika Islam." Apa yang dimaksud dengan istilah ini:
Bagi mazhab pertama (‘metafisika Islam’) pengalaman inderawi atau data eksperimen
merupakan informasi-informasi yang sangat perlu dalam upaya kita mengetahui aspek
sekunder dari alam materi. Atau dengan kata lain data eksperimen atau pengalaman
inderawi sangatlah dibutuhkan bila obyek pembahasan kita adalah khusus mengenai
hal-hal yang sebagian bersifat ilmiah dan sebagian lagi bersifat filosofis. Adapun teks-
teks kitab suci sangatlah dibutuhkan dalam upaya kita mengetahuai aspek sekunder
suci Tuhan atau dengan kata lain jika obyek pembahasan kita berkenaan dengan
sebagian dari obyek filosofis (metafisika dan teologi) yang dalam hal ini pengalaman
inderawi atau eksperimen tak dibutuhkan sama sekali. Karena itu dalam kerangka
berfikir Islam, kedua data di atas (data pengalaman inderawi atau eksperimen dan teks-
teks kitab suci) merupakan premis-premis minor dalam sistematika deduktif. Pada
akhirnya tak dapat diingkari bahwa dari mazhab metafisika Islam yang berlandaskan
prima principia dan hukum objektif kausalitas serta kerangka deduktifnya merupakan
Untuk apa metafisika Islam ini dimuat dalam NDP HMI. Menurut Eka Sastra, metafisika
Islam adalah cara berfikir untuk meyakini, antara lain, Ada-Nya secara rasional karena NDP
Lama terlalu induktif sehingga dapat mengingkari metafisika dan terlalu tekstual sehingga
dogmatis:
Materi ini dianggap penting karena secara substansial materi ini dapat mengantarkan kita
berpikir induktif yang ukuran kebanaran hanya dalam batas yang material dan
mengarahkan kita kepada tidak meyakini hal-hal yang sifatnya metafisika dan hal itu
Apakah metafisika Islam mampu menawarkan cara berfikir non-induktif dan tidak
Ada berbagai macam pandangan yang menjelaskan tentang ketiadaan kebenaran dan
menganggap bahwa alam ini terjadi dengan sendirinya (kebetulan) tidak ada yang
mengadakannya.
Metafisika Islam dengan Prima principianya sebagai prinsip dasar dalam berpikir
Tunggal karena selain keberadaan adalah ketiadaan sehingga apabila ada sesuatu selain
ADA maka itu adalah ketiadaan dan itu sesuatu yang mustahil karena ketiadaan tidak
memiliki keberadaan.
Manusia - yang terbatas - tidak sempurna – tergantung - memerlukan sebuah sistem
nilai yang sempurna dan tidak terbatas sebagai sandaran dan pedoman hidupnya.
Sistem nilai tersebut harus berasal dari ke-ADA-an (Zat Yang Mahasempurna) yang
segala atributnya berbeda dengan mahluk. Konsekuensi akan kebutuhan asasi manusia
pada sosok Mahasempurna ini menegaskan bahwa sesuatu itu harus dapat dijelaskan
adalah hal yang paling prinsipil. Keberadaan dan perbedaan agama satu dengan yang
lainnya di tentukan oleh sosok “Tuhan“ tersebut. yang pasti, ciri-ciri keberadaan Tuhan
(pencipta / khaliq). Bertolak belakang dengan ciri-ciri khas manusia (Yang diciptakan/
makhluq). Bila manusia adalah maujud tidak sempurna, bermateri, tersusun, terbatas,
terindera, dan bergantung, maka tuhan adalah zat yang mahasempurna, immateri, tidak
tersusun, sederhana, tidak terdiri dari bagian, tidak terindera secara material, dan
tunggal (Esa/Ahad).
Tuhan, namun mustahil dapat mengetahui materi Zat-Nya. Manusia mengklaim dapat
(reason). Segala sesuatu yang terbatas, pasti bukan Tuhan. Ketika manusia menyebut
“Dia Mahabesar“. Sesungguhnya Ia lebih besar dari seluruh konsepsi manusia tentang
diciptakan oleh-Nya sebagai manifestasi diri-Nya (inna lillahi) yang kemudian akan
kembali kepada-Nya (wa inna ilaihi raji’un) sebagai realisasi kerinduan manusia akan
Apakah betul paragraf di atas menggunakan Prima Principa sebagai premis mayor,
hukum kausalitas, dan metode deduktif dalam menilai keberadaan Tuhan? Apakah betul
paragraf-paragraf di atas menjadikan data empiris dan kitab suci sebagai premis minor? Untuk
menjawab kedua pertanyaan ini, mari kita sempurnakan cara berfikir di atas dengan
menyusunnya dalam argumen deduktif yang sempurna (Premis Mayor, Premis Minor, dan
Konklusi):
terindera, dan bergantung, maka tuhan adalah zat yang mahasempurna, immateri,
tidak tersusun, sederhana, tidak terdiri dari bagian, tidak terindera secara material,
Jadi,
3. Tuhan adalah zat yang mahasempurna, immateri, tidak tersusun, sederhana, tidak
terdiri dari bagian, tidak terindera secara material, dan tunggal (Esa/Ahad).
(Konsklusi)
1. P à Q (Jika P, maka Q)
2. P
3. Q
Susunan kerangka berfikir seperti ini di dalam logika disebut Modus Ponens. Dalam
kerangka berfikir di atas, manusia dijadikan sebagai landasan dalam mengetahui ciri-ciri
Tuhan. Dengan kata lain, Tuhan tidak dijadikan sebagai landasar berfikir dalam mengetahui
ciri-ciri Tuhan itu sendiri. Tegasnya, Tuhan bukan sebagai Prima Principia.
Dengan cara berfikir yang sama, argumen-argumen berikut menjadikan sesuatu selain
Argumen A:
2. Alam ada.
Jadi,
3. Tuhan Ada.
Argumen B:
Jadi,
3. Tuhan Ada.
Argumen A adalah ungkapan lain dari proposisi "Tuhan Ada karena alam ada." Di sini
kita membuktikan Ada-Nya dengan berlandaskan pada alam. Bukan sebaliknya, yakni "Alam
ada karena Tuhan Ada" atau "Tuhan Ada, oleh karena itu alam ada." Argumen B menyatakan
A dan B ini bertentangan dengan sistem metafisika Islam yang meletakkan Tuhan sebagai
prima principia.
Jadi, cara berfikir dalam Bab Dasar-dasar Kepercayaan NDP Baru adalah tindak
konsisten dengan sistem metafisika Islam yang disebutkan dalam Bab Landasan dan Kerangka
Berfikir. Kemungkinannya, Tim Perumus tidak paham dengan apa yang mereka tulis dalam
Bab Landasan dan Kerangka Berfikir atau mereka paham secara teoritis namun belum sampai
tahap aplikasi. (Untuk memahami penggunaan logika deduktif, di mana Tuhan diletakkan
sebagai premis mayor, Silahkan baca: Fazlur Rahman. The Philosophy of Mulla Sadra.
Kesalahan lainnya (dalam Bab Landasan dan Kerangka Berfikir) adalah uraian tentang
pengetahuan tasdiqi (assent). Kesalahan terjadi pada penjelasan tentang fungsi tasdiq bagi
tasawwur. Kesalahannya remeh namun mendasar. Kesalahan dasar, karena Anda cukup
membaca buku-buku Pengatar Logika Dasar untuk mengetahui kesalahan ini. Anda tidak perlu
membaca Filsafat Logika, Flsafat Bahasa, atau Filsafat Jiwa untuk mengetahui kesalahan ini.
Anda tidak perlu membaca Kitab-Kitab Mantiq yang ditulis oleh para filosof Muslim untuk
mengetahui kesalahan ini. Anda cukup membaca buku Logika Dasar tulisan R.G. Soekadijo
(Jakarta: Gramedia, Cet-7, 1999: 5) yang dipakai mahasiswa peserta Mata Kuliah
Logika/Mantiq program S1 di Fakultas Dakwah IAIN Antasari (Saya mengajar Mata Kuliah
ini). Pada halaman 5 disebutkan bahwa konsep atau conceptus atau pengertian "tidak ada
hubungannya dengan benar atau salah, pengertian tidak benar, tidak salah."
Sementara mazhab skriptualisme menjadikan teks-teks kitab suci sebagai landasan dalam
menilai segala sesuatu serta tekstual dalam kerangka berfikirnya...Begitu pula bagi
mazhab ketiga (skriptualisme), mereka skeptis terhadap landasan dan kerangka berfikir
Kenapa Tim Perumus salah dalam memahami cara kerja dan berfikir skriptualisme?
Sebenarnya orang-orang yang dicap tekstual dan skriptualis itu tetap menggunakan akal,
bahkan cara berfikir deduktif, namun mereka kadang tidak sadar telah menggunakannya.
Dalam pelatihan dengan materi NDP, mestinya peran Nara Sumber adalah membangkitkan
kesadaran ini dengan cara membongkar cara berfikir kaum skriptualis sehingga mereka sadar
dan mengakui telah menggunakan akal dan logika deduktif ketika menggunakan teks-teks
Dan materi dasar-dasar kepercayaan yang selama ini bersifat dogmatis karena
determenistik dan jauh dari prinsip-prinsip rasionalitas. Olehnya itu terjadi pengayaan
pendekatan dalam membuktikan esensialitas ajaran islam secara logis dengan pendekatan
deduktif.
Apakah NDP Lama bersifat dogmatis dalam pembuktian wujud Tuhan? Saya kira
tidak. Coba perhatikan paragraf-paragraf berikut, terutama baris-baris ditulis miring (tulisan
Tuhan itu ada, dan ada secara mutlak hanyalah Tuhan. Pendekatan ke arah
pengetahuan akan adanya Tuhan dapat ditempuh manusia dengan berbagai jalan, baik
bersifat intuitif, ilmiah, historis, pengalaman dan lain-lain. Tetapi karena kemutlakan dan
kenisbian manusia, maka manusia tidak dapat menjangkau sendiri kepada pengertian
Sesuatu yang diperlukan itu adalah wahyu yaitu pengajaran atau pemberitahuan yang
atau salah.
salah".
diyakini.
salah".
Menurut Saya, Tim Perumus (TP) gagal membedakan antara apa yang diketahui adalah
"ada" dan apa yang diketahui adalah "benar" atau gagal membedakan antara ontologi
(metafisika) dan epistemologi. Dalam sejarah filsafat, kerancuan ini terjadi karena Plato,
(filosof Yunani yang menjadi rujuakan filosof Muslim dan filosof Barat) dalam Republic
ketika membahas knowledge and belief menyatakan bahwa objek pengetahuan adalah "what
completely is" dan objek kepercayaan adalah "what is and is-not". Dari sini muncul
interpretasi bahwa makna "is" (es) adalah (1) eksistensial bahwa apa yang kita ketahui adalah
apa yang ada, sedangkan apa yang kita percayai itu dapat saja ada atau tidak ada; atau (2)
predikatif bahwa yang kita ketahui adalah particulars dan yang kita ketahui adalah Forms;
atau (3) veridikal bahwa apa yang kita ketahui dan percayai adalah proposisi yang bernilai
benar atau salah. (lihat Allan Silverman, "Plato's Middle Period Metaphysics and
Ketika kita bicara tentang konsep dan assent (tasawwur dan tasdhiq) apakah kita sedang
berbicara tentang yang ada atau tidak ada? Apakah kita sedang berbicara tentang benar atau
salah? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, mari kita perhatikan pernyataan Al-Farabi
dalam Huruf:
It may happen, however, that what he [the questioner] conceptualizes and comprehends
from [stating] the name is a concept that is unknown [ghayr ma'lum], whether it has
[external] existence or not, such as when the concept 'elephant' is outlined to someone who
has not seen an elephant, it may be the case that his assent [tasdiq] regarding his existence
does not come about and he will not know whether that which is thus and with these
attributes exists or not...And if it turns out that his concept has no [external] existence, then
these parts that are the name's components remain only in the man's mind and whatever
that expression denotes is not an essence of anything (dikutip dari Shukri B. Abed,
Aristotelian Logic and the Arabic Language in Alfarabi,NY: SUNY, 1991: hal. 60)
Menurut Al-Farabi, nama, kata, lafaz, konsep mempunyai dua unsur: (1) pengertian
dalam jiwa; dan (2) eksistensi di luar jiwa. Misalnya, kata 'gajah' makna konseptualnya adalah
di dalam jiwa seseorang, sedangkan makna denotatifnya adalah hewan yang ia lihat di dunia
nyata. Ia tahu bahwa gajah adalah ada di dunia nyata karena ia melihatnya. Jadi, proses tasdiq
bahwa gajah itu benar adanya di dunia nyata bisa dilakukan antara lain melalui salah satu
organ panca indera: mata. Oleh karena itu, fungsi tasdiq terhadap tasawwur adalah menilai
apakah sesuatu yang dikonsepsikan itu adalah ada atau tidak ada. Misalnya, konsep tentang
Fungsi tasdiq terhadap tasawwur bukan menilai apakah sesuatu yang dikonsepsikan itu adalah
benar atau salah. Karena konsep itu tidak ada yang benar atau salah. Tasdiq terhadap
tidak ada".
diyakini.
tidak ada".
terjadi."
Secara singkat, TP ingin mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah wahyu, akal,
dan pengalaman. Sedangkan metode berfikir adalah tekstual, deduktif, dan induktif. Adapun
Berdasarkan uraian di atas, Bab I dari Amandemen NDP HMI secara sistematis dapat
A. Jenis-Jenis Pengetahuan
B. Mazhab Filsafat
1. Metafisika Islam
2. Emperisme
3. Skriptualisme
Prima principia dan kausalitas lebih merupakan isu metafisika, sedangkan berfikir rasional
dan deduktif lebih merupakan persoalan epistemologi. Karena Islam harus dimulai dari
mendukung keyakinan itu. Singkatnya, dalam Islam: percaya dulu, baru berfikir.
DASAR-DASAR KEPERCAYAAN
Mungkin salah satu saja yang benar. Berfikir adalah aktivitas khas manusia
Tradisi yang membeku cenderung anti Manusia harus menelaah secara objektif
Allah adalah sumber nilai dan pangkal nilai. Allah adalah Zat Yang Mahatinggi dan
Tunduk kepada Allah adalah tunduk kepada secara rasional, terbuka, tidak doktriner.
Yang Maha Benar dan membebaskan diri Tujuan argumentasi rasional dan terbuka
dari selain kebenaran yang mutlak. agar manusia tidak sanggup menolak
berbagai jalan: intuitif, ilmiah, historis, Mungkin semua agama itu salah.
Hakekat Tuhan tidak dapat diketahui Secara sosiologis semua agama tidak sama.
Wahyu adalah pengajaran atau (Agama yang benar adalah agama yang
pemberitahuan yang langsung dari Tuhan sempurna dan berasal dari Yang
Al-Quran. mutlak.
mutlak.
ksempurnaan di akhirat.
Wahyu.
Rasul
Al-Quran
Tunggal/Esa/Ahad.
lain.
Saya melihat adanya perpindahan paradigma dari Tuhan Allah sebagai kebenaran
mutlak (NDP HMI) kepada Tuhan Allah Yang Mahasempurna (NDP HMI Amandemen).
Dari tema kebenaran ke tema kesempurnaan. Perpindahan dari manusia yang selalu ingin
meraih kebenaran ke manusia yang selalu ingin mencapai kesempurnaan. Insan Kamil:
manusia yang rindu akan keabadian kesempurnaan, kebahagiaan mutlak. Tema utama NDP
Baru adalah kebahagiaan, kesempurnaan, keabadian. Semua ini adalah tema-tema tasawwuf.
Dan hanya memberikan ruang satu paragraf untuk membahas kebenaran. Singkatnya, NDP
Baru dapat saja jatuh ke tasawwuf tanpa rasionalitas, ketika sentuhan filsafatnya lemah.
HARI AKHIRAT
Yang ada pada hari kiamat atau hari agama Tujuan penciptaan adalah bergerak menuju
(yaumuddin) adalah pertanggungan jawab Kesempurnaan Tertinggi (ALLAH).
dihadapan ilahi atas segala perbuatan dahulu Kepercayaan pada hari akhirat adalah salah
akhirat.
Pembahasan tentang hari akhirat ini termuat dalam "BAB III: HAKEKAT
PENCIPTAAN DAN ESKATOLOGI (MA'AD)". Bab khusus ini tidak ada dalam NDP
HMI lama. NDP Lama membahas masalah akhirat ini dalam Bab Dasar-Dasar Kepercayaan.
Membaca pembahasan tentang kebahagiaan di dunia dan di akhirat dalam NDP Baru membuat
saya serasa menjadi jama'ah sholat Jum'at yang sedang mendengarkan khatib berceramah
tentang hari akhirat dan pentingnya kesungguhan beragama supaya bahagia di dunia dan di
akhirat. Rasa filosofinya kurang, karena tidak diketahui apakah pertanggungjawaban adalah
bersifat individual atau bukan. Selanjutnya juga tidak diketahui implikasi kepercayaan kepada
hari akhirat terhadap pentingnya moralitas. Saya mengusulkan Bab ini diganti judulnya
Bagaimana pandangan NDP Baru tentang manusia? Kita memasuki "BAB IV: MANUSIA
Manusia adalah makhluk basyariah (dimensi fisiologis), annas (dimensi sosilogis), insan
(dimensi psikologis).
Kemuliaan manusia diukur dari aspek insaniahnya (spiritual dan intelektual), bukan bentuk
fisiknya.
Manusia ideal (insan kamil) adalah manifestasi Tuhan termulia di muka bumi karenanya
ditugaskan sebagai wakil Tuhan yang dikenal sebagai khalifah/nabi dan rasul (QS. 2:30).
Ciri-ciri kemuliaan Tuhan tergambar/ termanifestasikan pada diri manusia (QS. 33:21).
Nabi dan Rasul adalah contoh real yang terbaik (uswatun hasanah) dari "gambaran/cerminan"
dan sebaliknya berkontradiksi dengannya merupakan ukuran kebejatan dan dianggap syaitan
(QS.6:112).
Menurut Saya, judul yang cocok untuk Bab IV ini adalah "INSAN KAMIL." Rasul
adalah contoh untuk menjadi sempurna atau wasilah melaluinya manusia dapat menjadi
sempurna (insan kamil). Tasawwuf banget gitu lo. Konsep insan kamil tidak ada dalam Al-
Quran, ini adalah konsep sekunder diambil dari tradisi tasawwuf. Untuk memahami konsep
"insan kamil," kita harus terlebih dahulu membaca warisan tradisi tasawwuf. Anda tidak akan
Kapitalisme sesuai dengan konsepnya tentang manusia yang berkenaan dengan karakter
dasar dan tujuan akhir manusia yaitu bahwa manusia pada dasarnya bersifat baik dan
individu oleh baik masyarakat, pemerintah, individu lain disatu sisi dan di sisi lain tidak
ini upaya menciptakan keadilan sosial maupun ekonomi bisa terwujud hanya dengan
cara memberikan kebebasan secara mutlak, yakni kesempatan ekonomi yang seluas-
luasnya kepada setiap individu dimana kebebasannya hanya dibatasi oleh kebebasan
orang lain, meskipun kebebasan ini justru dapat menyebabkan perbedaan pendapatan
dan kekayaan individu (dengan asumsi bahwa orang menggunakan kebebasannya secara
haknya secara tidak sah, berkat kemampuannya untuk memaksakan persyaratan kerja
dan hidup kepada mereka. Oleh karena itu menegakkan keadilan mencakup
kecil masyarakat.
Menurut Saya, kapitalisme yang diuraikan oleh NDP Baru dan Lama adalah sama saja:
kapitalisme klasik. Sekarang ini kapitalisme sudah mempercantik dan memperganteng dirinya
karena kritik internal para pemikirnya sendiri dan juga sebagai respon terhadap kritik eksternal
terutama dari para pemikir sosialisme. Perhatikan pegembangan kapitalisme oleh para pemikir
Kritik terhadap liberalisme klasik datang dari Leonard Trelawny Hobhouse (1864-
1929). Hobhouse adalah salah satu toko neo-liberalisme atau liberalisme sosial. Pandangannya
tentang liberalisme termuat dalam bukunya Liberalism (1911). Ia merekonstruksi teori liberal
dan menolak unsur-unsur signifikan dalam teori liberal versi Locke tentang ekonomi.
Menurutnya kapitalisme yang berbasis ekonomi pasar bebas telah melahirkan ketidakadilan
yang luar biasa, antara lain kondisi sosial-ekonomi yang buruk. Oleh karena itu, negara harus
ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin. Ia menolak liberalisme klasik yang terlalu
kebutuhan pokok bagi banyak orang. Ia menganjurkan peran negara demokratis dalam
sosial, kewajiban publik, dan reformasi sosial. Ia juga menolak liberalisme klasik yang terlalu
fokus pada individualisme. Menurutnya, individual liberties dan social liberties dapat
didamaikan, dan masyarakat liberal tidak mengharuskan peran negara yang minimal (minimal
state). Baginya, negara domokratis liberal harus berperan aktif membuat masyarakat mampu
mengengembangkan diri.
Kritik terhadap kapitalisme juga datang dari filosof liberal, John Rawls. Kritik Rawls,
terutama ditujukan kepad J.S. Mill. Menurut Mill, liberti warga negara mensyaratkan adanya
perlindungan terhadap setiap warga dari gangguan. Salah satu bentuk gangguan adalah
gangguan terhadap property: pencurian, penipuan, atau pengrusakan. Hukum dibuat untuk
mengatur distribusi properti dan melindungi kepemilikan pribadi atas properti dari pencurian,
penipuan, atau pengrusakan. Namun, Mill berpendapat bahwa kita tidak punya hak
perlindungan dari pengaruh pasar, dan persaingan ekonomi. Mill lebih menyukai sistem
kapitalisme yang tidak ikut campur terhadap jalannya pasar dan membiarkan terjadinya
persaingan ekonomi. Kapitalisme jenis ini disebut laissez-faire capitalism. Pendirian Mill
mendapat kritikan dari kaum liberal yang datang kemudian, seperti John Rawls. Rawls
berpendapat bahwa pasar bebas telah melahirkan ketidakadilan sosial-ekonomi. Oleh karena
itu, properti harus diredistribusi dari yang kaya kepada yang kurang beruntung untuk
memastikan keadilan sosial bagi semua. Pandang Rawls ini disebut welfare liberalism.
Selanjutnya "BAB VIII: SAINS ISLAM." Di sini NDP Baru menawarkan pendekatan
terhadap sains. Model Islamisasi sains apa yang ditolak oleh NDP Baru?
Islamisasi sains dengan pelabelan ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits yang dipandang
bersifat abadi dan universal, sementara kebenaran-kebenaran sains modern selain bersifat
temporer dan hanya benar dalam lingkup ruang dan waktu tertentu, sains ini juga bersifat
materealistik atau positivistik. Pendekatan demikian akan mengalami jalan buntu dengan
demikian ayat-ayat yang tadinya dipandang relevan dengan teori-teori sebelumnya, alau
Qur’an tentang kewajiban berilmu pengetahuan ke telinga generasi muslim. Hal ini
karena upaya tersebut berkaitan dengan sumberdaya manusia (SDM) muslim yang
mayoritas telah atau akan berkembangg tidak sesuai dengan sains islam.
Namun pendekatan yang mesti dilakukan adalah dengan membuat klasifikasi ilmu
dapat terlihat pada epistimologi modern dengan epistimologi yang telah dicanangkan
oleh para filosof muslim yang telah ditinggalkan oleh mayoritas kaum muslim itu
sendiri. Epistimologi barat berbasis pada status ontologi materealistik dan menolak
pada objek fisik. Adapun sains islam bukan hanya berbasis kepada status ontologis alam
materi (objek-objek fisika) tetapi lebih dari itu ia tetapkan pula bahwa selain status
ontologi alam materi terdapat pula objek ontologi alam mitsal (objek-objek matematika)
dan objek ontologi alam akal (objek-objek metafisika). Berdasarkan klasifikasi sains
seperti ini, sains Islam menawarkan beberapa metodologi ilmiahnya sesuai dengan status
ontologinya, yaitu; intuisi dan penyatuan jiwa (metode kaum irfan), untuk mengetahui
objek-objek nonmateri murni atau objek-objek metafisika dengan cara langsung, deduksi
rasional untuk mengetahui objek metafisika secara tidak langsung maupun objek-objek
fisika. Sains metafisika mengkaji objek-objek atau wujud yang secara niscaya bersifat
nonmateri murni yang tidak dipengaruhi oleh materi dan gerak. Seperti Teologi,
meskipun bersifat nonmaterial namun berhubungan dengan materi dan gerak. Seperti
aretimetika, geometri, optika, astronomi, astrologi, musik, ilmu tentang gaya, keteknikan
dan lain sebagainya. Sains fisika mengkaji objek-objek atau wujud yang secara niscaya
terkait dengan materi dan gerak. Seperti unsur-unsur (atom-atom), mineral, tumbuh-
tumbuhan, binatang dan manusia (secara fisik). Dalam klasifikasi sains islam karena
status objek-objek metafisika merupakan realitas ontologis yang berada dipuncak (yang
paling tertinggi) yang menjadi sebab segala sesuatu dibawahnya, dimana objek-objek
fisika merupakan objek realitas terbawah dan terendah dari hirarki objek ontologi, maka
secara berturut-turut sains metafisika merupakan sains tertinggi dan sains fisika
Kritik Saya terhadap NDP Baru tentang sains Islam? Pertama, pemetaan epistemologi
Barat yang keliru. Epistemologi Barat tidak tunggal, jika yang kita maksud dengan Barat
Mengenai dua pertanyaan utama epistemology: (1) apa yang kita ketahui dan (2)
bagaimana mengetahuinya. NDP Baru menyatakan bahwa dalam epistemology Barat hanya
objek-objek fisik , bukan noninderawi, nonfisik, dan metasisika yang dapat diketahui secara
sainstifik. Sedangkan dalam Islam baik objek-objek fisik dan objek-objek non-fisik dapat
diketahui. Namun, NDP Baru sendiri tidak menjelaskan apakah dalam Islam objek-objek non-
fisik dapat diketahui secara sainstifik. Ia hanya menyatakan bahwa dalam Islam status
ontologis dari objek-objek non-fisik yang tidak dapat ditangkap secara inderawi, seperti
konsep-konsep mental, metafisika, Tuhan, jin, malaikat, ruh, adalah real. Kalau begitu
bagaimana cara mengetahuinya? Apakah dapat diketahui dengan observasi-empiris dalam
Islam? NDP Baru menyatakan bahwa hal-hal itu tidak dapat ditangkap secara inderawi
(observasi empiris). Jadi, sebenarnya NDB Baru ingin menyatakan bahwa metode observasi-
Sampai di sini, menurut hemat Saya, NDP Baru sudah mulai rancu dalam
membandingkan epistemologi Islam dan Barat. Ketika berbicara tentang status ontologis
objek-objek non-fisik di Barat yang disorot adalah perspektif science, sehingga sudah dapat
diduga bahwa objek non-fisik itu tidak dapat diketahui. Sedangkan ketika membahas status
Tetapi, ia tidak membahas status ontologis objek itu dari perspektif epistemology rasional
yang non-empiris yang berkembang di Barat. Seperti Dercartes, misalnya, yang menyatakan
bahwa ruh adalah ada dan dapat diketahui secara rasional. Karena pertanyaan apakah Tuhan
dapat diketahui secara rasional-logis adalah berbeda dari pertanyaan apakah Tuhan dapat
Saya kira yang menjadi persoalan adalah scienticism, yakni bahwa sesuatu dapat
dikatakan ada jika hanya jika dapat diketahui dengan prinsip-prinsip science, yakni secara
Apa yang dikemukan NDP Baru ini tentang metodologi, juga telah dilontarkan oleh
Ziauddin Sardar. Sardar menyatakan bahwa ilmuwan Barat hanya menggunakan satu metode
ilmiah, yaitu observasi, sedangkan para pemikir Muslim menggunakan tiga macam metode
sesuai dengan tingkat atau hierarki objeknya, yaitu: (1) metode observasi, sebagaimana yang
digunakan di Barat, atau disebut bayani, (2) metode logis atau demonstratif (burhani), dan (3)
metode intuitif (‘irfani), yang masing-masing bersumber pada indra, akal, dan hati. (Mulyadhi
Kartanegara. Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam. Mizan: Bandung, cet.I.,
2002: 61).
Sebelum memetakan posisi filosof Muslim klasik dalam bidang epistemologi, terlebih
dahulu Saya jelaskan epistemologi Barat mulai dari Yunani, Abad Tengah, dan Modern.
perspektif dalam epistemology yang berkembang di Barat, yaitu: (1) Dogmatic Epistemology;
dulu ada, baru kemudian ditambahkan epistemology. Setelah realitas dasar diasumsikan ada ,
realitas tersebut. Pertanyaan utama epsitemologi jenis ini: Apa yang kita ketahui? Lalu
Untuk melihat contoh cara kerja epistemology jenis ini, silahkan lihat karya Plato,
Theaetetus, terutama ketika ia menganalisis pengetahuan sebagai opini yang benar, forms
sebagai the ultimate reality yang bermuara pada definisi bahwa pengetahuan adalah sebagai
apa yang dapat kita ketahui sebelum menjelaskannya. Pertanyakan dulu secara kritis, baru
diyakini. Ragukan dulu bahwa sesuatu itu ada, kalau terbukti ada, baru dijelaskan. Berfikir
dulu, baru yakini atau tidak. Ragukan dulu, baru yakini atau tidak. Descartes menganut the
immediacy theses, bahwwa apa yang kita ketahui adalah terbatas pad ide-ide yang adalah jiwa
kita (our own minds). Metode Descartes disebut juga metode skeptis. Yakni, skeptis bahwa
kita dapat mengetahui secara langsung objek di luar diri kita tanpa melalui jiwa kita. Thesis ini
dikembangkan oleh David Hume dengan teori primary qualities dan secondary qualities.
Pertanyaan utama epsitemologi jenis ini: Apa yang dapat kita ketahui? Dapatkah kita
mengetahuinya? Munkinkah kita dapat mengetahui sesuatu di luar diri kita? Singkatnya,
Reid menolak tesis ini dengan berargumen bahwa kita mempunyai pengetahuan
langsung tentang dunia luar (the external world). Menuut Reid, kita tidak melihat penampakan
Selanjutnya silahkan baca karya Descartes, Meditations, dan karya Hume, Inquiry Into
the Human Understanding (teruratama "The sections on perception and skepticism"). Dan
theories about what we can know and theories about what is real are given equal status, that is,
explain how we know those things which we most clearly do know and at the same time
provide a critical standard of evaluation for knowledge claims. Pertanyaan utama epsitemologi
jenis ini: Apa yang benar-benar sudah kita ketahui dan bagaimana cara kita mengetahuinya?
Epistemology ini tidak peduli apakah batu di depan mata kita adalah penampakan atau bukan.
Yang ia urus adalah bahwa ada batu di depan mata kita dan kita teliti secara sainstifik.
Persolan kedua adalah penggunaan kata "sains" dan "ilmu pengetahuan" dalamNDP
Baru. Sebelum penerjemahan kata science, dalam bahasa Indonesia tersedia dua pilihan kata,
yakni pengetahuan dan ilmu. Yang berlaku umum, pilihan jatuh pada kata ilmu.
Penerjemahan science menjadi ilmu dalam bahasa Indonesia berimplikasi pada perubahan
makna ilmu menjadi science, bukan sebaliknya. Akibatnya, hal-hal yang sebelumnya disebut
ilmu menjadi bukan ilmu atau belum menjadi ilmu dalam artian science. Kemudian scientific
Indoenesia:
“Epistemologi, atau teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap proses yang
terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan
yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah
yang membedakan ilmu dengan dengan buah pemikiran yang lainnya. Atau dengan
perkataan lain, ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode
keilmuan. Karena ilmu merupakan sebahagian dari pengetahuan, yakni pengetahuan yang
memiliki sifat-sifat tertentu, maka ilmu dapat juga disebut pengetahuan keilmuan. Untuk
tujuan inilah, agar tidak terjadi kekacauan antara pengertian “ilmu” (science) dan
Redaksi.” Dalam Jujun (ed.,) Ilmu Dalam Perspektif. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta,
2001; hal.9)
Karena mereka sudah mempunyai istilah ilmu sebelum ada kata science—yang tumbuh khas di
Barat dengan observasi dan metode induksinya. Kerancuan ini tercermin dari munculnya
beberapa pertanyaan seperti, “Apakah ilmu-ilmu agama adalah ilmu?” atau “Apakah ilmu
kalam adalah ilmu? Atau “Apakah ilmu fiqh adalah ilmu?” Pertanyaan itu redundancy, yakni
“Apakah ilmu adalah ilmu?” pertanyaan itu juga mengisyaratkan adanya makna ilmu yang
berbeda. Ilmu yang statusnya belum dianggap ilmu dan ilmu yang statusnya telah dianggap
ilmu atau ilmu yang perlu diuji dengan standar ilmu lain.
Kerancuan-kerancuan itu dapat dihindari kalau kita tidak memaksa diri mencari kata
bahasa Indonesia yang sudah ada untuk menerjemahkan kata science. Kita tetap pertahankan
kata pengetahuan dan ilmu dan menambah kosa kata baru “sains” untuk bahasa Indonesia bagi
Science sendiri dipakai untuk dalam dua pengertian. Pertama, science yang triadic
terdiri dari ontology, epistemology dan aksiologi, yakni cabang science, yang dalam bahasa
Indonesia diterjemahkan menjadi disiplin ilmu seperti fisika, kimia, biologi. Kedua, dalam
artian yang metodis, yakni science atau scientific knowledge yang secara tradisional
menggunakan metode induksi. Demarkasi antara science dan non-science secara tradisional
Dari sini pertanyaan “Apakah ilmu fiqh adalah ilmu?” Kita rubah menjadi “Apakah
ilmu fiqh adalah sains atau non-sains?” Sebenarnya adalah ungkapan lain dari pertanyaan itu
adalah “Apakah ilmu fiqh menggunakan metode induktif?” Jawabannya, menurut demarkasi
tradisional adalah tergantung pada apakah ilmu fiqh menggunakan metode induksi atau tidak?
Jika ilmu fiqh tidak menggunakan metode induksi, maka tidak dapat disebut sebagai sains
(Jerman) berbuah pada klaim bahwa pengetahuan tentang perilaku manusia tidak dapat disebut
Chicago, misalnya, agak keberatan dengan penerjemahan kata science menjadi ilmu dalam
bahasa Indonesia, walaupun pada akhirnya ia setuju, namun ia memberikan beberapa syarat.
Mulyadhi menulis:
“Kata science sebenarnya dapat saja diterjemahkan dengan ilmu. Seperti science, kata ‘ilm
dalam epistemologi Islam, tidak sama dengan pengetahuan biasa, tetapi, seperti yang
didefinisikan oleh Ibn Hazm (w. 1064 M), ilmu dipahami sebagai “pengetahuan
knowledge, ilmu juga dibedakan oleh para ilmuwan Muslim dengan opini (ra’y). Akan
tetapi, di Barat ilmu dalam pengertian ini telah dibatasi hanya pada bidang-bidang ilmu
fisik atau empiris, sedangkan dalam epistemology Islam, ia dapat diterapkan dengan
sama validnya, baik pada ilmu-ilmu yang fisik-empiris maupun nonfisik atau
metafisis… Oleh karena itu, menurut hematku, kita pada dasarnya bisa menerjemahkan
kata science dengan ilmu, dengan syarat bahwa ilmu dalam epistemologi Islam tidak
Jadi, istilah "ilmu" dalam Islam lebih luas dari istilah "sains." Sains adalah salah satu
bagian saja dari klasifikasi ilmu dalam Islam. Oleh karena itu, saya mengusulkan "Bab Sains
Islam" diganti menjadi "Bab Ilmu," dan penggunaan kata "sains" harus diletakkan pada
Pada pembahasan di atas, Saya hanya membahas logika internal dari NDP Baru. Saya
berharap ada pembacaan logika eksternal dari anggota HMI yang masih aktif; yakni menguji
kesesuaian NDP Baru dengan Tujuan HMI dan Tafsir Tujuan. Apakah NDP Baru memback-
# Penulis adalah Ketua PA HMI Cabang Bandarlampung 1996-1997; Nara Sumber NDP HMI