Anda di halaman 1dari 71

MATERI KE-HMI-AN

HIMPUNAN MAHASISWA
ISLAM
YAKIN USAHA SAMPAI
5. Ke HMI-an

Reeksistensi HMI ; Transformasi Kepemimpinan dalam Penguatan Peran Kelembagaan Tingkat


Regional

2.Transformasi Kepemimpinan dalam suatu organisasi merupakan sebuah langkah taktis guna
menjaga ritme eksistensi organisasi HMI karena ini adalah metodologi modern dalam
kepemimpinan yang sangatlah demokratis karena gaya kepemimpinan yang berupaya
mentransformasikan nilai-nilai yang dianut oleh bawahan dan regenerasi kader untuk
mendukung visi dan tujuan organisasi. Melalui transformasi nilai-nilai tersebut, dapat
meciptakan hubungan baik antar anggota organisasi dapat dibangun sehingga muncul iklim
saling percaya diantara anggota organisasi. sebagai organisasi yang besar, HMI haruslah
melakukan tranformasi nilai kepada kadernya sehingga dalam kepemimpinan transformatif dapat
teraktualkan  dengan baik hingga regenerasi dapat menjadikan kiblat kepemimpinan dalam
transformasi kepemimpinan nantinya. Hal ini merupakan sebuah kenisyaaan dalam organisasi,
karena jika langkah estafet kepengurusan HMI tidak menjadikan kepemimpinan transformatif
sebagai acuan, maka regenerasi akan terjadi status quo.[1]

3.Memahami kompleksitas dalam kepemimpinan, sehingga dalam penguatan kelembagaan di


tingkat regional haruslah berjalan secara transformatif guna menjaga ritme organisasi. hal ini
sangatlah urgen karena mampu mengurangi sejumlah konflik yang sering terjadi dalam suatu
organisasi.[2] tranformasi kepemimpinan akan bersinergi dalam tubuh internal yang bersifat
regenerasi, keberhasilan maupun kegagalan organisasi dapat ditinjau dalam berbagai aspek
seperti; (1) memahami visi dan misi organisasi, (2) memahami lingkungan organisasi melalui
analisis lingkungan strategis (swot), (3) merumuskan rencana strategis organisasi; (4)
menginternalisasikan visi, misi, kondisi lingkungan strategis, dan rencana startegis pada seluruh
anggota organisasi,(5) mengendalikan rencana strategis melalui manajemen pengawasan yang
tepat.[3]

4.

5.Berdasarkan pemaparan diatas, maka penulis menganggap Visi ; Penguatan nilai kekaderan
dalam tata kelola organisasi merupakan representatif kegalauan kader-kader dan KAHMI yang
memiliki hasrat kuat untuk melihat reeksistensi HMI yang mampu mengawal perjalanan bangsa
dari masa ke masa. Dan Misi; (1) Pengawalan perkaderan ditingkat cabang melalui badan
pengelola latihan, (2) Kemandirian organisasi melalui lembaga kekaryaan, (3) Sintergitas
kepemimpinan kelembagaan dalam upaya menjawab dinamika kelembagaan di tingkat regional.
Penulis menganggap misi ini merupakan langkah taktis untuk melakukan penguatan
kelembagaan di tingkat regional terkhusus pada ruang lingkup BADKO Sulselbar, peningkatan
kualitas kader guna mampu memposisikan diri kader-kader dalam persaingan global di era
kontemporer ini dan melahirkan kemandirian/melepas belenggu ketergantungan organisasi
terhadap pemerintah dan lebih melekatkan diri independensi organisasi.
6. 

7.[1] Jurnal Imiah, Latihan Badan Pengelola Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Jember,
(Bondowoso, Hand Out Basic Training, 2009).

8.[2]  Rivai Veithzal, Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi, (Jakarta, PT.Rajawali Pers, 2003)
Cet.II, Hlm.63.

9.[3] Mahyudin H, Kepemimpinan Masyarakat Madani, (Jakarta, Nim Press,2004) Cet.I,


Hlm.93.

Kepemimpinan ; Suatu Persoalan Keteladanan Kader dan Tangguhan Organisasi

Wahai Yang Dia adalah “Dia” Yang Mutlak,

Sedangkan Daku adalah “Dia” Yang Terikat!

Wahai Yang Tidak Ada Dia Selain Dia!

- Ibn ‘Arabi –

Aku mohon dikau,

wahai tuhanku, lidah yang fasih, perkataan yang benar, pemahaman yang tepat, relung kesadaran
terdalam yang unggul, kalbu yang benar-benar menerima,

akal yang memahami, pikiran yang bersinar,

kerinduan yang tak pernah mereda, ketokan yang terus-menerus [pada pintu-Mu],

dan hasrat yang membakar.

S
ejarah merawat sebilah keyakinan, manusia selalu butuh idola – Tuhan, Nabi, dan Sang
Pemimpin. Mungkin karena manusia acapkali dirundung cemas dan tak mampu menghalaunya.
Tapi ada tautan yang menyebabkan kultus Sang Pemimpin menjadi kasih yang eksotik.
Kombinasi antara kekuasaan politik dan kata-kata yang merangkuhnya. Ketika hendak
mengukuhkan kekuasaannya, “titah” Sang Pemimpin lalu jadi doktrin, doktrin jadi slogan, dan
slogan meluahkan mantra.

Di sini pemimpin, dalam ungkapan Clifford Geertz, dipandang sebagai “pusat


keteladanan”(exemplary center) atau dalam jubbah aristokrasi Prancis disebut noblese oblige.
Status sosio-kultural lebih tinggi mengandaikan kewajiban yang lebih banyak, termasuk
kewajiban dalam memberikan teladan hidup. Ini mengandaikan jika seorang pemimpin mutlak
lahir dari kelas bangsawan. Namun revolusi Prancis meluruhkannya, ketika meletus dipagi
genting 14 Juli 1789, pahan tersebut diubah secara radikal dalam system demokrasi yang
mengusung “persamaan” setiap orang di hadapan hukum: bahwa setiap orang yang melakukan
kesalahan yang sama ketika berada dalam keadaan yang sama, harus dihukum dengan hukuman
yang sama, meski mereka berasal dari status sosio-kultural yang berbeda.

Dengan begitu demokrasi mengandaika adanya persamaan dalam moralitas semua orang, tetapi
dalam formula negative, bahwa setiap orang dengan kebajikan yang aneka, dapat jatuh dalam
kesalahan yang sama, khususnya ketika mereka menggenggam kekuasaan. Doktrin nobblese
oblige digusur oleh prinsip power tends to corrupt: kecendrungan terhadap penghianatan dan
kejahatan selalu melekat pada kekuasaan. Sebab kecenrungan kekuasaan untuk memperbesar
dirinya jauh lebih kuat daripada kemampuannya membatasi, mengawasi, dan mengeritik dirinya.
Dalam demokrasi diandaikan bahwa kekuasaan yang lebih besar memberi kesempatan untuk
kesalahan dan penyelewengan yang semkain serius.

Itu sebab pemimpin yang baik dalam system demokrasi tak sekedar pemimpin teladan, tetapi
pemimpin yang tunduk pada pengawasan public: pisau hukum dan control social para warga,
yang didalam konteks organisasi Pemimpin harus tunduk pada pengawasan para kader dan
anggotanya. Pemimpin yang baik diandaikan bisa melakukan kesalahan, tapi ida harus siap untuk
dikoreksi. Legitimasinya terbangun justru di atas moral courage; siap mengakui kesalahannya,
memperbaikinya, dan bersedia menerima sanksi akibat kesalahan tersebut, ketimbang berkelik
dengan berbagai dalih dan mengelak dari kesalahan. Inilah jalan “ketangguhan sang pemimpin.

Ada kearifan yang mengalir deras dalam jantung kesadaran masyarakat Eropa, house is made of
bricks, home is made of love; House dibangun dengan batu bata, home dibangun dengan cinta.
Jika wujud materi bangunan sebuah rumah adalah house, maka spirit, tradisi, filosofi, ilmu,
bahasa, seni, kesalehan, dan cinta yang menubuh didalamnya adalah home. Ketika rumah hanya
dipahami sebagai bangunan asri nan megah, tatanan material yang apik, lantas mengabaikan
semangat/etos, ruh, dan jiwa apa yang mendasari setiap nafas konstruksinya, maka sejak itu
rumah telah kehilangan otentisitasnya.
HMI sebagai Organisasi, seperti halnya rumah, juga mengandaikan identitas yang otentik: wadah
perjumpaan cita-cita, gagasan, mimpi, dan harapan para penghuninya. Tapi, rumah yang
menyisakan sesuatu yang genting. Sebab, pencarian sungguh-sungguh terhadap otentisitas, kini
tengah termangsa oleh imperium citra dan semesta imajinasi. Hal itu senafas dengan apa yang
digalaukan Androno dalam the Jargon of Authenticity (1983) sebagai suasana penuh jebakan dan
perangkap yang menyesatkan, karena dunia citra dan simulacrum dipenuhi oleh jargon-jargon
semu, termasuk jargon keotentikan. Realitas kontemporer kita kini tengah tersedot ke dalam
“lubang hitam” post-realitas: sebuah realitas palsu yang tidak lagi setia terhadap ada-otentik. Itu
sebab, pembangunan rumah, dan juga organisasi: HMI, meniscayakan gerak pendulum serta
menjaga keseimbangan antara “house” dan “home”.

Pada tanggal 22 November 2015 mendatang HMI akan memilih Ketua Umum PB HMI Periode
2015 – 2017. Sebagai “Rumah Besar” bagi para kader dan anggotanya, HMI pada intinya butuh
pemimpin baru yang punya kesadaran kritis: bahwa dibalik hiruk-pikuknya Kongres ada
persoalan besar yang harus menjadi percakapan kritis kader dan anggota se antero Indonesia,
bahwa HMI adalah rumah dalam makna home yang juga sekaligus house, itulah sebab mengapa
kita mesti berada dalam organisasi ini, itu dikarenakan HMI adalah home yang di dalamnya
mengalir energy cinta, semangat, ruh dan jiwa perjuangan yang tiada henti untuk mencapai
mission: misi suci untuk umat dan bangsa. Kesadaran kritis inilah yang mempertemukan kita
sebagai teman yang lebih dari saudara.

Revitalisasi Lembaga Kekaryaan Sebagai Poros Intelektual dan Profesionalisme Kader

Terbentuknya Lembaga Kekaryaan sebagai satu dari institusi HMI terjadi pada kongres ke-7
HMI di Jakarta pada tahun 1963 dengan di putuskannya mendirikan beberapa lembaga khusus
(sekarang Lembaga Kekaryaan) dengan pengurus pusatnya ditentukan berdasarkan kota yang
mempunyai potensi terbesar pada jenis anaktivitas lembaga kekaryaan yang bersangkutan
diantaranya, (1) Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam (LKMI) pusatnya di Surabaya, (2)
Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI) pusatnya di Bandung, (3) Lembaga Pembangunan
Mahasiswa Islam (LPMI) pusatnya di Makasar, (4) Lembaga Seni Budaya Mahasiswa Islam
(LSMI) pusatnya di Yogyakarta.

Dan kondisi politik tahun enam puluhan yang berorientasi massa, lembaga kekaryaan pun
semakin menarik bagi anggota sebagai satu faktor berkembang pesatnya lembaga kekaryaan
ditunjukkan dari adanya hasil penelitian yang menginginkan dipertegasnya status lembaga
Kekaryaan, struktur organisasi dan wewenang lembaga kekaryaan dan keinginan untuk menjadi
lembaga kekaryaan otonomi penuh terhadap organisasi induk HMI.

Seiring perkembangan kader secara proporsional dan profesional berdasarkan pengembangan


disiplin ilmu yang digeluti, tercatat telah banyak lembaga kekaryaan yang pernah ada dan
berkembang dalam mengisi dinamika intelektual di HMI. Tercatat ada Lembaga Kesehatan
Mahasiswa  Islam (LKMI), Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI), Lembaga Dakwah
Mahasiswa Islam (LDMI), Lembaga pendidikan Mahasiswa Islam (LAPENMI), Lembaga
Pertanian Mahasiswa Islam (LPMI), Lembaga Teknologi Mahasiswa Islam (LTMI), Lembaga
Seni Budaya Mahasiswa Islam (LSMI), Lembaga Astronomi Mahsiswa Islam (LAMI), Lembaga
Ekonomi Mahasiswa Islam (LEMI), Lembaga Hukum Mahasiswa Islam (LHMI) dan Lembaga
Penelitian Mahasiswa Islam (LEPMI).

Lembaga kekaryaan dapat dikatakan sebagai gerbong intelektual dan profesionalisme kader
HMI, karena dalam lembaga kekaryaan, kader dapat mengasah intelektualitas berdasarkan
disiplin ilmu yang digeluti dan lembaga kekaryaan dapat menjadi sarana metakomunikasi yang
berlangsung di masyarakat indonesia, karena insan-insan yang terlibat dalam proses komunikasi
sosial di negeri ini bersifat plural dan heterogen dan kebhinekaan budaya yang berkadar tinggi.
[1] Lembaga kekaryaan dapat menjadi bagian vital dalam organisasi dalam rangka menopang
pembangunan nasional, terutama pembinaan manusia indonesia seutuhnya, merupakan conditio
sine qua non untuk mengkaji, menyelidiki, dan meneliti komunikasi di indonesia, sebagai
kegiatan untuk menjawab tantangan-tantangan; gejolak ekonomi, kemelut politik, penetrasi
budaya asing dan sebagainya.[2] Inilah yang menjadi dasar pemikiran sehingga mengapa
lembaga kekaryaan yang berkembang dalam HMI dapat menjadi gerbong intelektual jikalau
dijadikan icon intelektual kader dalam implementasi bermasyarakat. 

Dengan merevitalisasi Lembaga kekaryaan sebagai icon intelektual kader HMI dengan
membawa semangat competitiveness berbasis jati diri bangsa sekiranya dapat melahirkan kader-
kader yang mampu berkompetisi secara IPTEK dan menjadi poros terdepan dalam menghadapi
Asean Global Impact. Sehingga PB HMI melalui kongres XXIX, kembali poros kebangkitan
membawa gagasan revitalisasi lembaga kekaryaan menjadi salah satu skala prioritas sebagai
bahan diskursus untuk bersama-sama melahirkan resolusi konkret dalam penguatan lembaga-
lembaga kekaryaan yang belum maksimal mewarnai dinamika intelektual kader HMI. Karena
dengan salah satu gagasan ideal inilah HMI mampu mereposisikan diri menjadi poros
kebangkitan ditengah derasnya arus neoliberalism dan menjadi pintu gerbang intelektual dan
profesionalisme kader dalam bersaing sebagai masyarakat ekonomi Asean.

[1] Jurnal ilmiah disampaikan pada forum sosial budaya, pusat penelitian dan pengabdian
masyarakat, universitas islam nusantara, bandung, 8 februari 1985.
[2]  Onong uchjana effendy, dinamika komunikasi (Bandung, PT.Remaja Rosdakarya, 1992)
Cet.II, Hlm.35.

Revitalisasi Spirit Perkaderan HMI Membangun Kompetensi Pembinaan Dalam Sistem


Perkaderan

Spirit atau semangat telah dikenal sejak manusia mengenal sejarah, sebab sejarah digerakkan
oleh moral manusia. Bahkan, spirit itu ada sejak manusia itu mulai terdorong mengenali gejala
kehidupan baik dalam dirinya maupun di luar dirinya. Gejala dorongan itu kemudian dikenal
sebagai elan vital yang mengarahkannya untuk berkembang ke banyak dimensi sejarah.

Manusia meruntun sejarahnya dengan semangat sekaligus hidup dalam sejarah itu sendiri. Akan
tetapi, dasar semangat atau yang dikenal sebagai elan vital bukanlah produk sejarah, melainkan
kodrat pemberian sang Khalik dalam bentuk fitrah kemanusiaan yang karena orientasinya
senantiasa kepada kebenaran, kebaikan, dan keseimbangan menjadikan manusia selalu ingin
menjadi bagian tak terpisahkan dalam pembentukan dan perkembangan tatanan nilai, termasuk
ke arah mana tatanan nilai yang dibentuknya harus mengabdi. Demikian sesungguhnya bahwa
betapa manusia selalu ingin hidup dalam suatu tingkat nilai yang bermartabat. Sebab, manakala
cara hidup yang berkembang telah menyalahi dasar nilai dalam diri manusia maka akan
mengakibatkan ketidakseimbangan yang pada gilirannya akan menjatuhkan martabat (harga diri)
manusia.

Secara teoritis, dalam kesinambungan itu manusia menata sejarah secara inkulturasi atau dalam
arti menanamkan nilai-nilai kultur (budaya) di antara tiap mata rantai generasi. Di sini, manusia
menyimpan harapan yang besar agar nilai-nilai itu melembaga dari suatu generasi ke generasi
berikutnya. Dalam perkembangan kesejarahan, untuk merawat harapan itu maka hadirlah suatu
bentuk khas dari spirit sejarah yakni pendidikan. Sisi ini lambat laun menghadirkan istilah
Perkaderan yang dikenal kemudian setelah istilah Kader dikenalkan oleh partai politik tertentu
yang dengannya mencerminkan kesetiaan dan loyalitas kader terhadap partai.

Demikian pentingnya makna kader dan perkaderan ini kemudian telah menjadi parameter
(indikator) berkenaan dengan tingkat perkembangan kualitas kehidupan institusi sosial tertentu,
khususnya institusi sosial yang bersifat non-negara. Artinya, jika terjadi ketidakseimbangan
dalam suasana kehidupan suatu institusi maka secara serta-merta dianggap perlu untuk
melakukan evaluasi terhadap sistem pendidikan atau pembinaan dan perkaderan. Sebutlah,
contoh kasus suatu institusi yang kelihatan tampak stagnan atau seolah diam di tempat atau
mengalami involusi gerakan maka segera pilihan evaluasi akan lebih tertuju pada perlunya
menghadirkan daya dorong yang jelas dan terukur terhadap semangat institusi itu. Daya dorong
inilah yang dikenal sebagai elan vital atau singkat kata dipandang penting melakukan revitalisasi
di tingkat dasar institusi itu.

Adalah hal yang lumrah sebuah institusi sosial dalam tahap-tahap perkembangan sejarahnya tak
jarang mengalami stagnasi ataupun involusi yang bisa jadi akibat kejenuhan. Dalam situasi
seperti inilah dibutuhkan daya dorong yang berbentuk revitalisasi. Dan tidak sulit untuk
disepakati bahwa bidang mendasar dan terpenting untuk mengalami sentuhan demikian tak lain
adalah basis-basis pembinaan dan pendidikan atau perkaderan.  

HMI tanpa kecuali pada tataran perkaderan perlu mengalami sentuhan dan perlakuan khusus
untuk keluar dari situasi setidaknya dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir. Kini, komunitas kader
HMI merasakan besarnya bias kemerosotan atau secara lebih ekstrem telah menjauh dari kodrat
dasar kebangunan dan sendi kebangkitannya sebagai organisasi kader berwatak perubahan,
cerdik-cendekia dan sarat intelektualisme. Sejumlah ekses telah ditimbulkan akibat kemerosotan
ini. Sebutlah, cakrawala pemikiran intelektual yang meredup, rasio antara kelayakan usia
memimpin HMI, jenjang perkaderan dengan kematangan tidak lagi berbanding lurus, kepiawaian
dan kharisma aktivisme serta ketokohan yang tak lagi menonjol dalam pergulatan dunia
kemahasiswaan justru berbanding lurus dengan sikap dan prilaku pragmatisme, termasuk
kebiasaan buruk hedonisme. Begitu pula, sikap dan prilaku tak sadar konteks dan sulitnya hadap
diri telah merebak di antara jejalin hubungan politis yang tercipta sehingga tak jarang
menimbulkan sikap menghalalkan segala cara demi kepentingan pragmatis. Celakanya, mode
berpikir pragmatis bias terjadinya penumpukan kader hanya pada ruang politik formal HMI
sebagai akibat buntunya distribusi kader. Semua ini menyimpulkan tak lagi ada alasan yang tepat
menunda perlunya revitalisasi.

Akan halnya dengan hal-hal di atas, istilah kader maupun perkaderan dalam lingkungan HMI
sejauh telah diuraikan secara jelas dalam pola dasar perkaderan yang selanjutnya dikenal sebagai
sistem perkaderan HMI. Sistem perkaderan HMI sebagaimana sistem perkaderan pada umumnya
merupakan suatu kompleks manajemen yang terdiri dari sejumlah bagian saling terkait dan
berproses serta saling berinteraksi yang mengarah pada pencapaian 5 (lima) kualitas insan cita
HMI, yakni insan akademik, pencipta, pengabdi, bernafas Islam dan bertanggung jawab atas
terwujudnya masyarakat adil makmur diridhoi Allah SWT. 5 (lima) kualitas ini dikenali amat
konsisten sebagai mission sacre HMI sebagaimana terumus dalam tujuan HMI.

Sebagaimana tujuan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berorientasi pada


perpaduan kemajuan material dan spiritual, demikian hal itu juga secara implisit terkandung
dalam tujuan HMI. Oleh karena itu, sesungguhnya penjabaran tujuan HMI ke dalam kerangka
realitas tak lain merupakan manifestasi nafas kakaderan HMI yang tidak saja bermakna dalam
konteks sebagai kader bangsa, tapi lebih jauh juga sebagai kader ummat yang sadar akan
tanggung jawab sosial, moral dan intelektual di tengah lapisan terbesar penganut agama di negeri
ini.  
Secara filosofis-teleologis, baik tujuan HMI maupun tujuan  pembangunan manusia Indonesia
tidak akan pernah terwujud di panggung sejarah HMI maupun negara-bangsa Indonesia. Sebab,
formulasi kata dan makna suatu tujuan tidak terletak di antara derak evolusi sejarah, melainkan
terletak di alam cita-cita yang bersifat ideal atau sempurna. Karena itu, keliru pulalah jika suatu
tujuan demikian diagungkan tanpa dibarengi dengan suatu kerangka kerja dalam realitas.

Berdasarkan sistematika pendekatan pemahaman tentang tujuan di atas, maka amat tepat kiranya
jika sistem perkaderan HMI dipahami dan ditempatkan sebagaimana layaknya sebagai kerangka
kerja secara manajemen dan bersifat fungsional. Dengan demikian, hal ini akan mengindikasikan
bahwa 5 (lima) kualitas insan cita HMI merupakan pentahapan penataan mental ideologi atau
moral serta mental sosial dan intelektual dalam mewujudkan kerja-kerja kemanusiaan dan
kemasyarakatan menuju penciptaan kader bangsa sekaligus kader ummat.

Dalam konteks ini, tidaklah keliru jika teologi kekaderan HMI mendasarkan pada usaha tanpa
henti guna membentuk kader seperti dipahami dalam personifikasi kualitasinsan kamil atau insan
paripurna yang gerak sosialnya selalu konsen secara horizontal, sedangkan gerak kesadarannya
senantiasa berovolusi secara vertikal. Demikian, horizontal dan vertikal sebagai 2 (dua) pola
kecenderungan sikap kejuangan ‘semoga’ menjadikan kader HMI selalu terjaga dalam kerja-
kerja yang bersifat ikhlas.

Sebagaimana pula sistem pada umumnya yang mengenal reproduksi dan kontinyuitas,
perkaderan HMI sebagai sebuah sistem pun demikian adanya. Bermula dari meletakkan dasar
tatanan yang integratif di tingkat LK I (kader materil) untuk menunjang perencanaan LK II
(kader potensil) yang berorientasi setting alokasi kader di tengah dinamika perkembangan
lingkungan strategis 5 (lima) hingga 10 (sepuluh) tahun ke depan. Hal ini selanjutnya menandai
kesiapan kedar HMI selain menggerakkan roda organisasi di semua jenjang eksisitensi sebagai
bentuk kontinyuitasnya, ini pun sekaligus mereproduksikan kader itu sendiri dalam memenuhi
segmen sosial, khususnya untuk jenjang LK III (kader efektif) yang berguna selain untuk
kepentingan ritme sosial-politik makro HMI (sebagai Pengurus Badko atau pun PB HMI) juga
untuk memenuhi segmen strategis kehidupan bangsa.

Sesuai perkiraan dan jangkauan di atas maka secara akademik, mental dan kompetensi kader
HMI dibentuk dan diboboti dengan azas-azas pandangan tentang kehidupan secara konprehensif
dengan menyajikan sistem pengetahuan yang secara kategoris terdiri dari tataran ontologis,
epistemologis, dan aksiologis. Artinya, dari sudut keilmuan dan tingkat intelektualisme kader
HMI dapat bergerak berkembang secara merdeka dan dinamis sesuai proporsi, kebutuhan serta
kapasitasnya masing-masing.  Begitu pula sebaliknya bahwa baik untuk mengisi lapisan kader
dan atau menambah kapasitas itu maka sebagai organisasi kader, badan formal HMI selalu harus
siap dengan kontinyuitas perkaderan sekaligus mereproduksikan berbagai unsur dalam
perkaderan itu sendiri, utamanya nilai-nilai pandangan dunia (world view) dan nilai seputar
sosiologi perkembangan lingkungan serta dinamika ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
Ideologisasi Nilai Kekaderan Dalam Tantangan dan Perubahan

Dalam konteks penjelasan sebelumnya, perubahan yang diketengahkan bagi perkaderan HMI
berpangkal pada proyek rekayasa global yang mempengaruhi kultur masyarakat saat ini.
Berbagai hal telah muncul sebagai implikasi dari kemenangan kapitalisme atas sosialisme yang
tidak terduga sebelumnya, tetapi pada sisi lain dunia semakin terbuka untuk melakukan transaksi
dan pertukaran potensi serta komunitas atas dasar pasar bebas. Secara geografi politik, HMI lahir
dan berkembang sebagai bagian dari Negara-bangsa yang terletak di dunia timur, tentu terancam
‘rugi’ oleh kedua situasi tersebut, bahkan jika keliru menafsirkan, HMI pun menjadi korban. 

Jika dalam hembusan globalisasi manusia hidup tanpa standarisasi nilai kehidupan atas diri,
tanpa orientasi kerja-hidup di dunia, tanpa karakter, tanpa identitas kebudayaan yang berakar.
Dalam konteks ini harus ditegaskan bahwa globalisasi adalah bawaan dunia barat berbentuk
peradaban tidak bersendi spritualitas dan tanpa standar nilai atau citra kemanusiaan. Demokrasi
dan Hak Azasi Manusia didengungkan tanpa standar nilai, melainkan ditentukan dengan standar
sejauh kemampuan seseorang menlindungi atau mengkases proses pemenuhan kedua hal tersebut
di atas. Ukuran nyata kegagalan budaya barat adalah ketika di negeri kelahirannya mulai ramai
digugat dan ditinggalkan oleh sejumlah pemikir yang ditandai dengan munculnya kegerahan lalu
berpaling ke psomodernisme, meski ikon terakhir ini memiliki kelemahan dalam pilihan asumsi
tentang kebenaran. Di sisi lain munculnya sejumlah teori pembebasan telah mengarahkan
manusia untuk lari dan segera mencari ruang yang cerah dan segar, sejumlah situasi tersebut
tidak saja menjadi tantangan, tetapi suatu ketika aka menjadi hamparan kendala bagi perkaderan
dan ideologisasi HMI. Sehingga jika Vitalitas perkaderan HMI diasumsikan sebagai dasar
stimulasi bagi sendi dan titik balik kebangkitan HMI dan kader-kader muda dan ‘langit suci’
yang terjaga bagiresultante gerakan kader serta menjadi ‘benteng’ terkahir dari harapan ummat
Islam yag senantiasa hidup dalam setiap lapis generasi sesuai zamanya, maka dengan sendirinya
perkaderan dituntut agar selalu mengalami ‘daur ulang’ sesuai tantangan zaman.

Dasar rumusan yang dimaksud adalah harapan kontinyuitas perubahan secara actual dengan tetap
berpegang pada substansi nilai-nilainya yaitu nilai dasar ummat manusia sebagai mana yang
tertuang dalam NDP HMI tidak akan pernah berubah karena ‘Nilai’ bersifat universal hanya
pada tekananya yang terkadang dapat berubah.
Setidaknya ada beberapa kecendrungan kehidupan Negara-bangsa masa datang yang akan
berpengaruh terhadap kehidupan ummat Islam, dan HMI pada khususnya, yakni;

1.       Tuntutan menggali kembali akar-akar kebudayaan dan peradaban dalam fitrah manusia
sebagai akibat rusaknya keseimbangan eksistensial karena kekeliruan menerima kiblat peradaban
moderen (an sich) yang western kini sejauh telah ditunjukkan dengan tingginya tuntutan
pergeseran cara pandang sistemik menjadi cara pandang berbasis tatanan, yakni yang menandai
hubungan interkoneksitas antara manusia, alam dengan sang pencipta. Begitu pula tuntutan
pergeseran paradigma positivisme menjadi transendensi. Sehingga disinilah HMI sebagai
organisasi yang berbasis pada spritualitas dan keilmuan menjadikan NDP HMI sebagai bangunan
tatanan berfikir bagi semua kader-kadernya dalam menghadapi tantangan dan perubahan yang
dimaksud.

2.       Pertarungan dan benturan ideology, bukan ideology sistemik yang biasanya mengangkut
konstruk aktivitas ekonomi, melainkan ideology pemikiran yang akan mengangkut cara
berperilaku dan berbudaya, untuk hal ini dibutuhkan materi perkaderan pada semua jenjang,
yakni konstruk tata urut pemikiran dan khazanah berfikir ilmiah paradigmatic.

3.       Runtuhnya bangunan cara berfikir positivisme yang disusul dengan runtuhnya formalism
Negara-bangsa. Hal ini berkecendrungan kearah federalism yang sebelumnya akan
membangkitkan semangat atau gejolak cultural di tiap daerah. Untuk hal ini HMI perlu diboboti
pemahaman tentang Identitas Kebudayaan dan filsafat Pendidikan Multikulturalisme

4.       Lemahnya akselerasi kemampuan Negara menyerap gejala perkembangan social budaya


hingga dipelosok daerah dibanding dengan kemampuan tekhnologi komunikasi dan informas
global. Hal ini sudah mulai memperburuk tata nilai kehidupan social budaya masyarakat kita,
sehingga untuk hal ini dibutuhkan pembobotan HMI pada aspek ruang primordial Nilai
Universalisme dalam geografi kesejarahan Nusantara ataupun nasionalisme multicultural

5.       Sebagai akibat dari ketidak mampuan Negara manampung semangat perubahan, kini kita
memasuki era otonimi daerah berimbas pada proses mobilitas social-politik berpindah
sepenuhnya menjadi milik rakyat secara terbuka.  Sehingga HMI juga harus mampu merambah
pada kehidupan local, untuk itu HMI membutuhkan pemahaman Fakta Antropolgi Budaya-
Politik dalam peta Geografi politik suku-suku nusantara
6.       Konsep Desentralisasi sesungguhnya mempengaruhi cara berfikir dan cara berorganisasi di
daerah, dengan demikian HMI sudah seharusnya melakukan penguatan institusi yang ada di
daerah minimal melalui menempatkan Badko dan cabang sebagai epicentrum dinamika
kekaderan. Sehingga harus dapat memahami urgensi paradigma Hirarki ke Heterarki.

Dari kesemua hal di atas adalah acuan dan sekaligus gagasan untuk menyonsong kebangkitan
kembali HMI terkhusus Vitalitas Perkaderan HMI, manakala tidak, maka HMI pun segera
menerima pilihan takdirnya yakni kenyataan sebagai organisasi kecil sebagaimana gejala ini
sudah mulai muncul dalam beberapa dasawarsa perjalanan organisasi, hanya ada satu dasar kita
memulai yaitu “Moral Kekaderan HMI” untuk Kebangkitan Kembali HMI.

Normalisasi Perkaderan Proses Pelembagaan Nilai Kekaderan HMI

Sebagaimana sisytem social lainnya, sistyem perkaderan HMI juga harus mencerminkan
kontinyuitas dan reproduksi perubahan. Dalam hal ini terdapat 3 (tiga) cara pandang melihat
kerangka sistemik perkaderan HMI; 

1.     Perkaderan HMI; sebagai sutau bentuk subsistem social budaya dengan nilai keummatan
dan kebangsaan yang disandangnya agar senantiasa melakukan kontraksi dengan sisytem social.

2.     Menempatkan perkaderan HMI sebagai sebuah proses didik diri untuk pembentukan sikap,
watak, dan perilaku kekaderan.

3.     Memandang perkaderan HMI secara dan atau dalam arti luas

Selanjutnya perkaderan HMI mengandung turbelensi pelembagaan kontinyuitas generasi yang


memahami sistyem nilai HMI serta reproduksi dalam bentuk aktualisasi dan koaktualisasi kiprah
kader di semua segmen kemasyarakatan. Kedua varian yang terkandung dalam sistem
perkaderan terkondisi pada semua mata rantai sejarah perjalanan HMI mulai daya guna dan hasil
guna struktur lapisan kader HMI ke dalam seluruh bentuk kerja-kerja kemanusiaan secara
fungsional, dalam arti semua elemen social dan posisi kekaderan terbagi habis kedalam
efektifitas manajemen organisasi secara keseluruhan.

Perkaderan HMI adalah lembaga nilai sebagai dasar atau titik tumpuan bagi proses pembinaan
dan kaderisasi dalam arti luas. Oleh karenanya harus ada pemetaan struktur baik lembaga nilai
maupun institusi serta lapisan social serta pos-fungsi-fungsi yang berpengaruh secara timbal
balik terhadap perkaderan HMI, yang dimaksud dalam hal ini adalah struktur pembentuk tatanan
dan Kerangka Nilai sebagai dasar pembentuk sistem, yang dalam pemetaanya ;

1.     KeIslaman, adalah suatu landasan nilai bagi melekatnya karakteristik khas dari segenap
performa gerak kejauangan HMI di semua lini eksistensi kehidupan Negara-bangsa. (Qs. 3 : 102)

2.     KeUmmatan, adalah suatu landasan nilai yang senantiasa mengikatkan HMI dengan
wawasan akan komunitasnya yang sekaligus menempatkan HMI dalam suatu realitas yang
disandangnya, yakni sebagai bahagian dari institusi strategi perjuangan ummat Islam Indonesia,
khususnya di tingkat pemuda dan mahasiswa (Qs. 3 : 110)

3.     Kebangsaan, adalah suatu nilai bagi kader HMI untuk mewujudkan nilai pengabdian pada
agama dan ummat melalui aktualisasi kehidupan kemahasiswaan dan kiprah kekaderan kedalam
semua segmen Negara-bangsa berdasarkan 5 kualitas Insan Cita HMI melalui kerja-kerja
kemanusiaan yang bermoral (Qs. 49 : 13)

4.     Ke-HMIan, adalah suatu landasan nilai yang senantiasa menyangga kehidupan kader baik
secara individu maupun secara kolektif dengan membawa HMI kedalam bagian dari
kesinambungan sejarah baik secara terpisah dengan realitas struktur kekuasaan Negara
(independen) maupun menjadi bagian dari realitas kemajemukan kehidupan bangsa

5.     Kemahasiswaan, adalah suatu landasan nilai dan semangat menempatkan kampus selain
sebagai tempat proses didik diri yang berguna menanamkan jiwa dan semangat akademik, juga
sebagai basis potensil baik untuk penggarapan input kader dan media aktualisasi kader dalam
penguasaan lini-lini kemahasiswaan juga berguna untuk melebarkan pengaruh cara-cara berfikir
HMI dalam menterjemahkan realitas kedalam kampus maupun keluar kampus. Dalam konteks
ini jelas kiranya sebauh asumsi bahwa lemahnya perlawanan kampus terhadap kebijakan public
menjadi tanda terkikisnya warna HMI di dalam kampus tersebut. Untuk itu menjadi tidak kalah
pentingnya penanaman idealisme dan atau moralitas kader agar vitalitas charisma dalam
mengembang nilai HMI ditengah kehidupan kampus senantiasa dapat terkawal, terjaga dan
terawat.

Upaya perpaduan kelima formula landasan nilai tersebut di atas akan menunjukkan performa
kader maupun HMI itu sendiri secara organisasi akan memiliki kemampuan merawat
Independensi organisasi baik Etis maupun Organisatoris. Artinya energy dan vitalitas kader akan
tetap terawat dan terjaga serta terbebas dari pengaruh eksternal, sehingga posisi HMI
sebagaisharing of change mampu mengambil kiprah berdasarkan khittah perjuangan dalam posisi
independen baik secara etis dalam keberpihakan pada nilai-nilai kebenaran (hanif) dan ajaran-
ajaran moral serta dapat memposisikan HMI terbebas dari kekuatan-kekuatan politik atau
partisan tertentu yang selamah ini dapat merusak tatanan HMI dari dalam, meskipun tetap
konsen menjadi bahagian dari perkembangan kehidupan politik Negara-bangsa secara makro.
Secara bersamaan pembentukan dan pelembagaan nilai dari kerangka nilai perkaderan di atas,
maka akan termanifestasi dalam bentuk adanya idealitas syahadah, cita-cita, ajaran-ajaran moral,
cara pandang serta pola tingkah laku sebagaimana wujudnya sebuah komunitas, dan kesamaan
ini akan menjadi martil bagi daya dorong dalam melangkah secara individual dan perekat ikatan
emosional yang membuatnya bersemangat secara kolektif. Konsekwensi logisnya konversi atas
minat dan bakat kekaderan terdiferensiasi ke dalam bentuk-bentuk lembaga kolektif di internal
HMI yang secara keseluruhan diharapkan membentuk lingkungan kultur yang kondusif bagi
kader untuk berkembang sesuai dengan minat dan bakatnya.

Predeterminis Sistem Perkaderan Berbasis Qualia Iptek Kader

HMI ada karena qualia intelektual,

HMI ada karena Visioner Pemikiran,

Demi masa, HMI adalah Predeterminis masa depan bangsa

Dan,

Demi Masa, Bukan HMI jika tak predeterminis dalam meneropong masa depan bangsa,

Demi masa, Bukan HMI jika qualia kader sama dengan seonggok sampah.

HMI yang sudah memproklamirkan fungsinya sebagai organisasi kader, mau tidak mau
menjadikan perkaderan sebagai jantung kehidupan organisasinya. Namun sebetulnya asp-ek
perkaderan di HMI mulai dibenahi secara serius pada akhir tahun 50-an dimana HMI sudah
bertahun-tahun menjalankan peranannya, jadi perkaderan di HMI tidak lahir berbarengan dengan
kelahiran HMI itu sendiri, melainkan lahir seiring proses waktu dan perubahan zaman.

Awalnya hal itu baru mulai terpikirkan oleh para kader (PB HMI) ketika masa kepengurusan
Ismail Hasan Metareum (periode 1957-1960), dan masih berupa wacana-wacana yang digulirkan
oleh PB HMI sendiri. Ismail Hasan yang merupakan penggagas utama ide perkaderan formal di
HMI menginginkan agar HMI tidak menjadi tempat berkumpul orang yang punya kesamaan
hoby atau aktivitas saja, tapi menjadi second campus bagi para anggotanya. Selain itu, yang
menjadi faktor penting pendorong gagasan diadakannya perkaderan formal di HMI adalah
karena waktu itu Ismail Hasan melihat adanya perbedaan aliran pemikiran dalam dinamika
pergerakan aktivitas HMI, dimana ada anggotanya yang punya background lingkungan pesantren
da nada juga cenderung sekuler.[1]

Berawal dari itulah sampai hingga saat ini kita merasakan sebuah sistem perkaderan meskipun
dalam masa ke masa sistem perkaderan menggunakan metodologi yang berbeda. Tetapi di era
kekinian, seakan HMI tidak lagi mampu melahirkan motodologi perkaderan modern dan tidak
terkikis oleh zaman melainkan terlahir sinkronisasi antara sistem perkaderan HMI dan
perkembangan zaman.

Hal ini terbukti banyaknya degradasi nilai kader hingga yang sangat miris adalah tradisi
intelektual HMI yang memudar. Sejatinya kader-kader HMI adalah pewaris tradisi intelektual.
Namun dewasa ini kegiatan-kegiatan keilmuan di HMI sangat minim sekali. Padahal dahulunya
tradisi intelektual HMI merupakan salah satu andalan yang menjadi nilai lebih dan nilai jual HMI
serta kader-kadernya ditengah masyarakat dan mahasiswa. Hal ini menyebabkan mahasiswa
cerdas dan pintar jarang mau masuk HMI karena mereka melihat tradisi intelektual di HMI tidak
mendukung kebutuhannya sehingga mereka memutuskan untuk aktif di organisasi lain yang
dapat mendukung pengembangan intelektual mereka.[2]

Dalam situasi seperti inilah seharusnya HMI mampu melakukan satu upaya introspeksi diri di
dalam menatap sistem perkaderannya. Sebab dengan persinggungan dengan kekuasaan
menyebabkan HMI kehilangan indenpendensi dan roh, HMI seringkali melibatkan diri dalam
peran-peran yang tidak populis, karena keterlibatannya hanya sebatas makelar politik bagi
kepentingan kekuasaan. Prinsipnya, HMI tidak lagi seksi di dalam medorong ide-ide yang
kontekstual bagi kepentingan ummat, namun HMI justru terjebak dalam bingkai kekuasaan.
Sehingga dari ini HMI menuai kritik dan terpinggirkan dari peran gerakannya bahkan HMI
disinyalir terpuruk dari moment arus globalisasi dan modernisasi. Tradisi intelektualisme yang
menjadi ranah ‘khittah perjuangan’ HMI yang di bangun dari dasar Nilai-Nilai Dasar Perjuangan
(NDP) malah juga praktis kehilangan pengaruh.[3]

Sehingga Perkaderan HMI di masa datang harus benar-benar berkualitas. Dalam bahasa yang
cukup menggugah, yakni bagaimana kita senantiasa Mengembangkan Perkaderan, dan
Membangun Peradaban. Kualitas perkaderan itu sangat ditentukan oleh kemampuan kita untuk
menjauhkan diri dari formalisme perkaderan. Karena perkaderan formalisme akan menggiring
dinamika perkaderan HMI sekedar menjadi pertrainingan.

Bagi HMI, sekedar pertrainingan adalah reduksi yang sangat berbahaya bagi totalitas perkaderan
HMI yang sesungguhnya. Perkaderan formal penting sebagai sarana untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan administratif struktural yang bersifat formal, serta kerangka-kerangka
dasar yang harus dikembangkan lebih lanjut. Sementara perkaderan non-formal dan informal
adalah medan yang lebih luas untuk proses penempaan kualitas kader-kader. Intelektualitas,
profesionalitas, loyalitas, religiusitas dan integritas para kader diasah lebih tajam dalam
perkaderan yang non formal dan informal. seperti up-grading, follow up, diskusi, seminar, riset
dan sebagainya. Agenda lainnya adalah meningkatnya kuantitas dan kualitas pelaksanaan LK II,
LK III dan pusdiklat, sehingga produk dari rekruitmen dapat terserap dan dikembangkan
kualitasnya secara maksimal. Dalam rangka peningkatan kualitas perkaderan (formal), maka
pemahaman segenap pelaku training terhadap pedoman perkaderan perlu ditingkatkan. Selain itu,
kualitas instruktur dan pengelola training wajib diperhatikan, misalnya dengan memperbanyak
pelaksanaan Sekolah Pengelola Latihan dan Sekolah Instruktur.

Dari pendalaman sistem perkaderan ini, secara tidak langsung Mindset dan paradigma berpikir
kader HMI akan mampu meretas krisis intelektual kader yang terjadi dalam tubuh internal
perkaderan HMI sehingga secara ekstra organisasi yang dimana kader HMI yang juga
merupakan mahasiswa sebagai warga masyarakat yang sedang menempuh proses pendidikan
tertinggi, maka dengan sendirinya mahasiswa dipandang sebagai kaum intelektual. Didalam
golongan kaum cendekiawan itu sendiri, mahasiswa dianggap sebagai pihak yang sedang
mempersiapkan diri untuk menjadi warga intelektual yang sepenuhnya.[4]

Sistem perkaderan ini sebenarnya acak kali menjadi bahan perdebatan dalam berbagai ruang-
ruang dialektika hingga konstestasi politik HMI, tetapi hingga saat ini belum ada solusi konkret
PB HMI dalam menghadirkan regulasi sistem perkaderan yang kontektual ditengah ketatnya
persaingan SDM Negara-negara Asean yang melalui Asean Community 2015 pada bulan
desember 2015 arus deras neoliberalism akan menghantam Indonesia. Hal inilah yang menjadi
kemunduran intelektual dan pemikiran kader HMI ditengah era globalisasi yang menyebabkan
HMI terperangkap dalam ruang-ruang konflik struktural internal organisasi. Padahal diluar
diding-dinding realitas internal, modernisasi IPTEK global terus berkembang dan melalui Asean
Community menjadikan daya saing SDM akan semakin ketat. Sehingga, jika sistem perkaderan
HMI pada kongres XXIX PB HMI 2015 tidak menjadi agitasi, hegemoni dan bahan diskursus
untuk dilakukan pembaharuan yang kontektual dengan perkembangan zaman, maka HMI tidak
akan mampu melahirkan kader HMI yang memiliki daya competitiveness dalam menghadapi
Asean global impact.

Melalui kongres XXIX PB HMI 2015 menjadi sebuah gagasan Poros kebangkitan menjadikan
pembaharuan sistem perkaderan sebagai blueprint project untuk menjadi prioritas program PB
HMI kedepannya. Meskipun gagasan ini pastinya akan menghadirkan diskursus dinamis
dikarenakan Status Quo mempertahankan dan atau pembaharuan sistem perkaderan yang telah
ada, tetapi menurut penulis hanya dengan cara inilah HMI mampu bangkit melawan derasnya
arus neoliberalism dan sekiranya Prof.Dr.Nurcholish Madjid telah mewarisi kepada kita buah
pemikiran visioner akan keislaman melalui Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP), sehingga
dengan spirit keislaman kader HMI mampu memposisikan diri dalam dinamika bangsa yang
semakin kompleks dengan cara mentransformasikan nilai-nilai keislaman dalam setiap ikhtiar
kader.
 

[1] Agussalim Sitompul,  Histiografi HMI 1947-1993 Jakarta, Miska Galiza, 2008. Cet.I,
Hlm.152

[2] Agussalim Sitompul, 44 Indikator Kemunduran HMI , Suatu Kritik dan Koreksi untuk
Kebangkitan Kembali HMI (50 tahun pertama HMI 1947-1997) , (Jakarta, Misaka Galiza, 2005).
Cet.I, Hlm.55

[3] Saifudin al Mughniy, Pembangkangan Civil Soceity “manifestasi politik kaum pinggiran”
(Makassar, Kalam Nusantara, 2010) Cet.I, Hlm.120

[4] Arbi Sanit, Pergolakan Melawan Kekuasaan: Gerakan Mahasiswa Antra Moral dan
Politik(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999) Hal 46

Masa Depan Indonesia Di Tengah Pusaran Neoliberalisme

Mantan wakil presiden pertama Indonesia, Muhammad Hatta Mengatakan dalam pidatonya: 

“Bebas artinya menentukan jalan sendiri,

tidak terpengaruh oleh pihak manapun,

sedangkan aktif artinya menuju perdamaian dunia

dan bersahabat dengan segala bangsa”[1]

Kelahiran politik luar negeri Indonesia memiliki kaitan erat dengan sejarah revolusi Indonesia.
Revolusi Indonesia ditandai dengan kebebasan Indonesia dari tangan kolonialisme Belanda. Fase
revolusi Indonesia yang pertama adalah pergerakan memperjuangkan kemerdekaan. Sedangkan
fase selanjutnya lebih dikenal dengan revolusi perjuangan sosial sebagai negara yang baru
merdeka. Setiap fase revolusi tentunya menelorkan arah politik luar negeri yang berbeda.

Setiap negara, dalam entitasnya, menetapkan kebijakan yang mengatur hubungannya dengan
dunia internasional. Kebijakan tersebut sekaligus berfungsi menjelaskan keterlibatannya dalam
isu-isu internasional. Kebijakan negara baik domestik maupun internasional selalu didasarkan
pada usaha memelihara dan mewakili kepentingan nasional.[2] Dengan demikian, kepentingan
nasional terbentuk dari kepentingan domestik. Seketika kepentingan nasional itu dibawa keluar
maka saat itu pula kepentingan nasional dikemas dalam politik luar negeri. Masing-masing
negara memiliki politik (kebijakan) luar negeri yang partikular, walaupun barangkali sejumlah
negara memiliki kemiripan.

Fase revolusi perjuangan kemerdekaan Indonesia, politik luar negeri diarahkan untuk
menggalang pengaruh dunia internasional guna mendukung perjuangan nasionalisme self-
determination Indonesia. Melalui pidato Soekarno yang menggebu-gebu dan kunjungan
kenegaraan ke beberapa negara, secara nyata telah menumbuhkan simpati internasional terhadap
perjuangan indonesia merebut Irian Barat. Politik luar negeri juga dapat diartikan sebagai
seperangkat strategi dan teknik dengan tujuan mengubah negara lain supaya mengikuti kita,
supaya mereka melakukan adjustment yang mendukung kita.[3] Sehingga segala daya yang telah
dilakukan oleh Soekarno tersebut diatas merupakan simbol implementasi politik luar negeri
Indonesia saat itu.

Fase revolusi sosial yakni perjuangan negara baru merdeka agar menjadi negara independent
bebas intervensi asing, politik luar negeri diarahkan untuk perbaikan ekonomi dengan paying self
sufficiency. Indonesia berusaha keras untuk menjaga kenetralannya di antara kedua blok yang
saling bertikai. Politik domestik berperan penting dalam pragmatisme politik luar negeri
Indonesia, Soekarno yang menerapkan landasan operasional, politik luar negeri Indonesia
(PLNRI) yang bebas aktif pun senantiasa berubah sesuai kepentingan nasional. Misalnya selama
masa orde lama, PLNRI yang sebagian besar dinyatakan melalui maklumat dan pidato-pidato
Presiden Soekarno tersebut masih menekankan kebijakan hidup bertetangga dengan negara-
negara kawasan, tidak turut campur tangan urusan domestik negara lain dan selalu mengacu pada
piagam PBB.[4]

Tetapi terjadi proses pencideraan kesepakan dalam PBB yang menyebabkan terjadinya konflik
saudara antara Indonesia dengan Malaysia dan hal ini sebagai mana yang dicetuskan oleh Henry
Kissinger dan Jack C Plano, dimana politik luar negeri merupakan kelanjutan dari politik
domestik. Ini menegaskan pada era revolusi sosial Indonesia, politik domestik juga memainkan
peran dalam membentuk dan mempengaruhi kebijakan luar negeri. Dan keberadaan fenomena ini
tidak dapat dielakkan. Jika dielakkan, maka yang terjadi adalah pergolakan internal yang
mengancam kekuasaan yang sedang berkuasa. Contoh kasusnya adalah Soekarno vs politik
domestik dengan salah satu contoh Malaysia pada era 1960an. Implementasi Politik luar negeri
indonesia bisa menjadi bermacam-macam. Politik luar negeri merupakan fenomena kompleks.
Politik luar negeri tidak lebih sebagai suatu platform atau guidance untuk menjalin relasi dengan
dunia internasional.[5]

Terjadinya sebuah sikap konfontasi Indonesia memuncak pada ancaman yang diambil Soekarno
untuk keluar dari Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) jika PBB mengakui akan kedaulatan negara
Malaysia, yang pada akhirnya Indonesia pun resmi keluar dari PBB pada 7 januari 1960.[6] Pada
masa-masa dekade 60-an, tepatnya saat masa demokrasi terpimpin inilah muncul atmosfer
kedekatan presiden pertama republik Indonesia pada blok timur.

Kedekatan Soekarno dengan blok timur merupakan interpretasi dari posisi Indonesia sebagai
negara bekas jajahan kolonial dan menginterpretasikan pula bahwasanya kapitalisme yang di
bawa oleh blok barat adalah upaya kolonialisme gaya baru. Soekarno membangun relasi dan
kedekatan dengan negara-negara dengan paham komunis seperti Cina, Kuba dan tentunya Uni
Soviet. Politik dalam negeri Soekarno pun terpengaruhi oleh kebijakan luar negerinya yang
cenderung kepada blok timur, dengan tidak ingin memiliki image negara terbelakang, Soekarno
menginisiasi politik mercusuar sebagai alat diplomasi dalam image building Indonesia di mata
dunia. Dalam pernyataannya Soekarno melakukan cluster negara-negara yang terbagi dalam
Oldefo (Old Established Forces) sebutan bagi negara-negara dengan kekuatan besar dalam upaya
dalam sistem nekolim (neokolonialisme dan imperialime) yang mayoritasnya merupakan negara-
negara maju barat seperti misalnya Amerika Serikat dan Inggris dan Nefo (New Emerging
Forces) yang mayoritas merupakan negara-negara pada tataran ekonomi tradisional dan transisi
dengan mayoritas negara berpaham komunis-sosialis dan negara-negara Asia pada umunya
misalnya Cina dan Vietnam.[7]

Tidak terkecuali pada implikasi kebijakan dalam negeri Indonesia dan luar negeri Indonesia yang
pada kala itu, misalnya Soekarno menginisiasi pekan olahraga dengan mengundang negara-
negara yang masuk dalam cluster NEFO atau lebih dikenal dengan sebutan NEFOS. Hal ini
mengakibatkan pergeseran akan image arah politik luar negeri Indonesia. Sikap Soekarno yang
sangat konfrontatif dan tidak mengenal kompromi akan apa yang dianggap bahaya laten dari
neo-kolonialisme, mengakibatkan Indonesia tampak sebagai ancaman efek politik domino paham
sosialisme di Asia Tenggara. Kekhawatiran Amerika Serikat pada masa presiden Harry S
Truman dengan segera mengeluarkan proyek Marshal Plan guna membendung efek dan arus
komunisme yang tengah menjalar disekitar wilayah Asia Timur seperti Cina dan korea utara
yang pada saat itu, sebagaimana yang di konsepkan oleh morton kaplan pada analisis model
sistem internasional bukan pada masa bipolar ketat lagi pada dekade 50-an namun telah
bertansformasi menuju sistem bipolar longgar seperti kemunculan Vietnam utara, dan di
khawatirkan berefek domino pada bagian negara-negara indoCina dan sekitarnya di Asia
Tenggara.

Kembali mempertegas kepada seluruh kader HMI melalui tulisan ini yang hanya sebagai
brainstorming untuk bagaimana sang founder father Negara Indonesia mempertegas indonesia
sebagai Negara yang besar, kuat dan anti diskriminasi. Meskipun khusus ulasan ini tidak
berkaitan secara langsung terhadap HMI, hanya saja ulasan ini memnggambarkan kepada kita
betapa visioner sang founder father kita dalam melakukan desainan komunikasi politik yang
menjadikan indonesia mendapat gelar Macan Asia.
Sehingga menjadi sebuah harapan, melalui Rahim-rahim hijau hitam sang nakhoda yang
memimpin HMI ditengah ancaman neoliberalism yang semakin deras, mampu meretas ironi-
ironi kristalisasi intelektual dan menjadikan HMI sebagai resolusi atas perlbagai problem Negara
yang tengah sakit.

[1]  Pidato Bung Hatta di depan BPUPKI 1948.

[2]   Jack C Plano & Ray Olton.1969., International Relations Dictionary, New York Holt;
Rinehart & Winston.hlm.127.

[3]   Modelsky, George. 1962. Theory of Foreign Policy. New York: Praeger.hlm.6.

[4] Hal ini dapat kita lihat pada Maklumat Politik Pemerintah 1 November 1945, pidato
kepresidenan 17 Agustus 1960 (Jarek), dan Keputusan Dewan Pertimbangan Agung
No.2/Kpts/Sd/I/61 tanggal 19 Januari 1961.

[5]  Ibid…..hlm.6.

[6] Undang-Undang Presiden Republik Indonesia pada 14 Februari 1966 tentang Penarikan Diri
Republik Indonesia Dari Keanggotaan Dana Moneter Internasional (International Monetary
Fund) dan Bank Internasional untuk Rekonstruksi dan Pembangunan  (International Bank for
Reconstructure and Development). Diakses melaluihukum.unsrat.ac.id/uu/uu_1_1966.pdf  dan
diunduh pada Rabu, 27 mei 2014.

[7]   http://nefos.org/ diunduh pada Rabu, 16 April 2014  dalam artikel “Oldefo Vs Nefo” oleh
Max Lane, pengamat Indonesia, Visiting Fellow, Centre for Asia Pacific Social Transformation
Studies, University of Wollongong, Australia. Artikel pertama kali dimuat di Sinar Harapan
pada19 Juli 2002.

HMI Kembali ke Gerakan Kebudayaan

Kaitan HMI secara Historis, adalah sebuah organisasi yang pada khittahnya berjuang untuk
mewujudkan Masyarakat adil Makmur yang diridhoi Allah SWT. Sehingga HMI merupakan
suatu lembaga dan komunitas yang didasari pada suatu komitmen bersama oleh kader-kadernya
pada cita-cita ideal tersebut, setidaknya ada dua hal yang merupakan dasar dan titik pertemuan
visi kader-kader HMI dalam berhimpun dan bergerak dalam himpunan yakni Nilai KeIslaman
dan Nilai Keindonesiaan yang praksisnya terlihat dalam spirit perjuangan HMI dalam mewarnai
wacana kebudayaan dan kenegaraan di bangsa ini.

Dalam konteks kehidupan HMI saat ini, keterkaitan hal tesebut yang sudah mulai ditinggalkan,
hal ini di sadari semakin hilangnya identitas keilmuan dan keIslaman HMI dalam mewarnai
aktifitas gerakan baik secara organisasi maupun secara personal kader-kadernya, setidaknya hal
ini dapat dirasakan di beberaoa tahun terkahir ini, sehingga harapan untuk menyatu dalam
gagasan dan perjuangan pada semangat yang sama semakin jauh dari harapan. Kronisnya bukan
hanya politik struktur, tetapi lebih jauh bidang-bidang kerja yang biasanya menggerakan kultur
kekaderan juga sudah demikian menjauh dari akar-akarnya, setidaknya dua garis besar tersebut
yakni Keummatan (KeIslaman) dan Kebangsaan (Keindonesiaan).

Kalaulah hal ini dipertegas, kini HMI menjauh dari Norm tau Tradisi dan kebudayaannya  serta
orisinilitas cara pandangnya pada tingkat nilai, sehingga selalu keliru memahami realitas.
Realitas kekinian selalu diterjemahkan bukan pada karakternya, melainkan pada fenomenanya
sehingga selalu ‘tertipu’, hal ini dapat diukur dari dua kenyataan yakni; pertama, pada even demi
even politik dalam tubuh HMI hanya menghasilkan dan atau pun menyisahkan tidak lebih dari
persoalan menjadi masalah, utamanya persoalan tingkah laku dalam hubungan sesama warga
HMI, sebagai implikasinya adalah mengkrucutnya variable-variabel konflik, bukannya nilai dari
dalam dibiaskan keluar melainkan nilai dari luar yang dibiaskan kedalam sehingga pada akhirnya
nilai-nilai dari luar yang menjadi sosok bauran kader, bahkan terhadap kinerja organisasi. Kedua,
redupnya intelektualisme, dalam artian HMI telah jauh dari akar Tradisi dan kebudayaannya.

Kiranya saat ini sangat tepat menggambarkan betapa HMI mengalami ketidak seimbangan dalam
pengelolaannya secara keseluruhan. Dipandang dari teori system, kedua kenyataan di atas
menghasilkan diskontinyuitas di tingkat nilai. Sedangkan kualitas kader tidak mengalami
reproduksi. Karenanya tidak salah jika HMI mengalami situasi abnormal. Secara normative,
abnormalitas tentu saja hanya bisa diselesaikan denga cara abnormal pula. Manakalah hal ini
tidak segera dibenahi, tidak perlu sejumlah kalangan menuntut pembubaran HMI, tetapi HMI
akan bubar dengan sendirinya, sebab gejala ini sudah mulai nampak khususnya di kampus-
kampus besar.

Oleh karenanya, untuk membangkitkan kembali HMI, maka perbaikan perkaderan adalah yang
perlu divitalisasi kembali sebagai proses pelembagaan nilai-nilai kekaderan, sehingga
penggarapan kembali vitalisasi perkaderan dipola dimulai dari atas yakni PB HMI ibarat
membersihkan tangga dari atas, bukan dimulai dari bawah agar tidak kembali menyisahkan
kotoran pada anak tangga yang lebih rendah. Tentunya saja bahwa perbaikan kader dalam
kaitannya perbaikan kader secara individu dan HMI secara organisasi untuk segera berbenah diri
bersama lingkungannya, dengan jalan HMI harus dikembalikan kepada gerakan kebudayaannya
(Back to cultural Movement).

Kembali pada gerakan kebudayaan HMI adalah suatu cara pandang dalam melihat baik dari
dalam internal HMI maupun dari aspek eksternalnya, pada dasarnya perubahan yang
diketengahkan bagi perkaderan HMI berpangkal pada proyek rekayasa global yang
mempengaruhi kultur masyarakat saat ini. Berbagai hal telah muncul sebagai implikasi dari
kemenangan kapitalisme atas sosialisme yang tidak terduga sebelumnya, tetapi pada sisi lain
dunia semakin terbuka untuk melakukan transaksi dan pertukaran potensi serta komunitas atas
dasar pasar bebas. Secara geografi politik, HMI lahir dan berkembang sebagai bagian dari
Negara-bangsa yang terletak di dunia timur, tentu terancam ‘rugi’ oleh kedua situasi tersebut,
bahkan jika keliru menafsirkan, HMI pun menjadi korban. 

Jika dalam hembusan globalisasi manusia hidup tanpa standarisasi nilai kehidupan atas diri
(hyper realitas), tanpa orientasi kerja-hidup di dunia, tanpa karakter, tanpa identitas kebudayaan
yang berakar.  Dalam konteks ini harus ditegaskan bahwa globalisasi adalah bawaan dunia barat
berbentuk peradaban tidak bersendi spritualitas dan tanpa standar nilai atau citra kemanusiaan.
Demokrasi dan Hak Azasi Manusia didengungkan tanpa standar nilai, melainkan ditentukan
dengan standar sejauh kemampuan seseorang menlindungi atau mengkases proses pemenuhan
kedua hal tersebut di atas. Ukuran nyata kegagalan budaya barat adalah ketika di negeri
kelahirannya mulai ramai digugat dan ditinggalkan oleh sejumlah pemikir yang ditandai dengan
munculnya kegerahan lalu berpaling ke postmodernisme, meski ikon terakhir ini memiliki
kelemahan dalam pilihan asumsi tentang kebenaran. Di sisi lain munculnya sejumlah teori
pembebasan telah mengarahkan manusia untuk lari dan segera mencari ruang yang cerah dan
segar, sejumlah situasi tersebut tidak saja menjadi tantangan, tetapi suatu ketika aka menjadi
hamparan kendala bagi perkaderan dan ideologisasi HMI. Sehingga jika Vitalitas perkaderan
HMI diasumsikan sebagai dasar stimulasi bagi sendi kebudayaan HMI dan kader-kader muda
dan ‘langit suci’ yang terjaga bagi resultante gerakan kader serta menjadi ‘benteng’ terkahir dari
harapan ummat Islam yag senantiasa hidup dalam setiap lapis generasi sesuai zamanya, maka
dengan sendirinya HMI harus mampu kembali kebudayaan Kaderisasinya dengan mengusung
jargon “HMI Kembali pada Gerakan Kebudayaan”, Dasar rumusan yang dimaksud adalah
harapan kontinyuitas perubahan secara actual dengan tetap berpegang pada substansi nilai-
nilainya yaitu nilai dasar ummat manusia sebagai mana yang tertuang dalam NDP HMI tidak
akan pernah berubah karena ‘Nilai’ bersifat universal hanya pada tekananya yang terkadang
dapat berubah.

Tuntutan menggali HMI kembali pada gerakan kebudayaan sama dengan tuntutan kembali pada
akar-akar kebudayaan dan peradaban dalam fitrah manusia sebagai akibat rusaknya
keseimbangan eksistensial karena kekeliruan menerima kiblat peradaban moderen(an sich) yang
western kini sejauh telah ditunjukkan dengan tingginya tuntutan pergeseran cara pandang
sistemik menjadi cara pandang berbasis tatanan, yakni yang menandai hubungan interkoneksitas
antara manusia, alam dengan sang pencipta. Begitu pula tuntutan pergeseran paradigma
positivisme menjadi transendensi. Sehingga disinilah HMI sebagai organisasi yang berbasis pada
spritualitas dan keilmuan menjadikan NDP HMI sebagai bangunan tatanan berfikir bagi semua
kader-kadernya dalam menghadapi tantangan dan perubahan yang dimaksud.

Dari penjelasan tersebut di atas adalah suatu bangunan dasar pijak pemikiran dalam rangka
mengarahkan kader-kader HMI untuk kembali pada gerakan kebudayaan.
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM DI ERA KEKINIAN

Himpunan Mahasiswa Islam lahir 14 Rabiul Awal 1366 Hijriah, bertepatan dengan 5 Februari
1947 Masehi. Dus, pada 14 Rabiul Awal 1427 (kira-kira 14 Maret 2006) HMI genap berusia 61
tahun (hijriah) dan 5 Februari 2006 tepat berusia 59 tahun (masehi). Suatu usia yang cukup
berumur dan tentu saja mengundang sejumlah konsekuensi. Bagaimanakah kondisi HMI dalam
usianya yang telah menginjak 61/59 tahun tersebut? Banyak instrumen analisa dan perspektif
yang dapat kita gunakan untuk memahami kondisi HMI saat ini, diantaranya adalah arkeologi
dan geneologi pengetahuan yang diperkenalkan oleh Michel Foucault.

Metode arkeologi memfokuskan kajian pada pernyataan atau wacana dengan sistem prosedur
yang memproduksi, mengatur, mendistribusi, mensirkulasi, dan mengoperasikannya. Mengupas
wacana sebagai suatu sistem ‘internal’ dengan ‘prosedur-prosedurnya’ yang teratur. Sedangkan
geneologi memberikan pusat perhatian pada hubungan timbal balik antara sistem kebenaran
(pernyataan/wacana) dengan sistem kuasa (mekanisme yang didalamnya suatu “rezim politis”
memproduksi kebenaran). Geneologi tidak berusaha menegakkan pondasi-pondasi epistemologis
yang istimewa, tapi ia mau menunjukkan bahwa asal-usul apa yang kita anggap rasional,
pembawa kebenaran, berakar dalam dominasi, penaklukan, hubungan kekuatan-kekuatan atau
dalam suatu kata, kuasa.

Dengan menggunakan perspektif arkelogi dan geneologi pengetahuan, berarti kita akan melihat
realitas HMI saat ini sebagai suatu realitas wacana/sistem pengetahuan dimana di dalam sistem
wacana/pengetahuan tersebut terdapat prosedur-prosedur yang memegang kendali atas proses
produksi, pengaturan, pendistribusian, pensirkulasian, dan pengoperasian sistem
wacana/pengetahuan tersebut serta terdapat sistem kuasa atau relasi kuasa yang mengukuhkan
sistem wacana/pengetahuan tersebut. Prosedur-prosedur tersebut kemudian kita sebut sebagai
fundamental codes of cultures yang mewakili dimensi “nalar” dan relasi kuasa mewakili dimensi
politis.

Konsekuensi dari perspektif ini adalah bahwa realitas HMI saat ini tidaklah merupakan suatu
realitas yang terbentuk dengan sendirinya melainkan terbentuk melalui proses diskursif dimana
terjadi proses pengukuhan fundamental codes of cultures dan relasi kuasa tertentu dan proses
peminggiran fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang lainnya. Fundamental codes of
cultures dan relasi kuasa tersebut kemudian “berwenang” menentukan mana fakta-fakta sosial
dan pengetahuan yang dapat terus eksis, bahkan muncul sebagai “pemenang” dan menjadi
mainstream (arus utama) atau mendominasi “wajah” realitas namun juga ada fakta-fakta sosial
dan pengetahuan yang jadi “pecundang” dan terpinggirkan (pheripheri) sehingga ia bisa jadi
hanya berupa bercak saja atau malah benar-benar tersamar dari “wajah” realitas. Contohnya, di
HMI berkembang beragam wacana keagamaan, wacana keagamaan yang modern-moderat-
inklusif nampaknya merupakan “pemenang” dan wacana keagamaan yang tradisional-radikal-
eksklusif merupakan “pecundang”, tetap berkembang namun tidak menjadi mainstream. Contoh
lain, frame berpikir political oriented merupakan “pemenang”, sementara frame berpikir yang
berorientasikan profesi adalah “pecundang”. Kemudian, orientasi politik-struktural merupakan
“pemenang”, dan orientasi politik-kultural merupakan “pecundang”. Semangat ketergantungan
terhadap senior/alumni adalah “pemenang” dan semangat independen/mandiri adalah
“pecundang”, serta masih banyak contoh lainnya yang menentukan siapa pemenang dan
pecundangnya merupakan “kewenangan” atau tergantung “selera” fundamental codes of cultures
dan relasi kuasa.

Ketika sistem pengetahuan tersebut dengan fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang
dimilikinya sudah demikian eksis dan tidak ada perlawanan terhadapnya, maka anggota HMI
saat ini sesungguhnya tidak lebih dari robot-robot yang digerakkan secara otomatis oleh
fundamental codes of cultures dan relasi kuasa tersebut. Ia dideterminasi cara berpikir dan
tindakannya oleh fundamental codes of cultures dan relasi kuasa tersebut. anggota HMI tidak
lebih sebagai pelanjut tradisi tanpa inovasi. Sebagai pelanjut saja dari senior-seniornya, maka
wajar saja bila istilah-istilah seperti “bagaimana senior? apa perintahnya”, “adinda terserah
senior saja” dan sebagainya menjadi cukup populer di HMI. Istilah-istilah tersebut, secara
ekstrim menggambarkan hubungan patron-client (tuan-hamba) antara senior (alumni) dan
anggota HMI.

Fundamental codes of cultures dan relasi kuasa ada yang buruk, dan tentu ada juga yang baik.
Namun pasti ada fundamental codes of cultures dan relasi kuasa (yang buruk) yang
menyebabkan kader HMI saat ini demikian pasrah pada “memory of the past”, pada kenangan
masa lalu. Menggantungkan eksistensinya pada “kebesaran seniornya”, “berlindung di balik
keagungan sejarah HMI” yang tidak pernah dibuatnya namun ia terus asyik memparasitkan diri
menghisap “keberkahan” darinya. Inilah potret kader HMI yang kehilangan kritisismenya, tuli
terhadap “memory of the future” (cita-cita masa depan) dan mengambil sikap ‘resist to change’,
menolak perubahan. Kader HMI lupa bahwa pernyataan senior/masa lalu memang ada benarnya
namun banyak juga yang sudah tidak benar lagi karena ‘zaman telah berubah’. Dalam konteks
ini, pernyataan almarhum Nurcholish Madjid agar HMI dibubarkan saja menemukan pembenar
karena beliau melihat bahwa relevansi HMI bagi masa kini dan apalagi bagi masa depan sudah
jauh berkurang, kalaupun bukannya tidak ada lagi. HMI tidak lagi menjadi elemen penggerak
kemajuan melainkan kekuatan status quo dan bahkan sebaliknya menggerakkan pada
kemunduran.
Dengan demikian siapakah yang patut disalahkan atas kondisi HMI yang katanya mengalami
kemunduran, mengalami konflik perpecahan di tubuh PB HMI yang terjadi dua kali berturut-
turut, dan kelemahan lainnya dari organisasi HMI saat ini? Tidak ada seorang pun yang perlu
disalahkan karena kondisi HMI saat ini merupakan produk fundamental codes of cultures dan
relasi kuasa yang hidup dalam tubuh HMI. Fundamental codes of cultures dan relasi kuasa dapat
bersemayam dan dikukuhkan dalam media seperti doktrin organisasi, aturan organisasi (AD,
ART dan penjabarannya), dalam pola pendanaan aktivitas HMI, dan dalam pola interaksi
keseharian antara kader dan pengurus HMI atau antara kader/pengurus dengan alumninya.
Semuanya terbentuk melalui proses historis yang agak sulit dikendalikan oleh orang per orang,
hanya tanggung jawab kolektif (generasi) yang dapat menghadapinya. Persoalannya adalah telah
terdapat sejumlah generasi yang tidak menyadari bahwa ada fundamental codes of cultures dan
relasi kuasa yang bekerja di tubuh HMI, yang disamping mengusung kebesaran HMI namun juga
bekerja “menghancurkan” HMI, menghantarkan HMI pada ketidakrelevanannya dengan zaman.

Menyadari hal tersebut, sudah sepatutnya generasi sekarang mengembangkan kesadaran untuk
mengenali fundamental codes of cultures dan relasi kuasa tersebut, mengambil sikap dan
tindakan terhadapnya. Iktiar inilah yang merupakan upaya menghadirkan suatu ‘HMI Baru’ dan
merupakan suatu bentuk rasa tanggung jawab sebagai kader HMI yang cinta akan organisasinya.
‘HMI Baru’ adalah HMI yang terbebas dari fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang
buruk yang menyebabkan ia tertawan oleh masa lalu, dan “menebalkan” fundamental codes of
cultures dan relasi kuasa yang baik serta menanamkan benih suatu fundamental codes of cultures
dan relasi kuasa yang baru sehingga HMI dapat menyambut ‘kelahirannya kembali’ dan dengan
penampilan meyakinkan mewarnai ‘zaman yang telah berubah’ ini. Ikhtiar untuk melaksanakan
hal ini membutuhkan komitmen kuat dan terfasilitasi dengan baik sehingga forum tertinggi
organisasi, Kongres, merupakan wadah yang paling tepat untuk membangun dasar-dasar ‘HMI
Baru’ tersebut. Karena disana akan ditentukan (perubahan) doktrin organisasi (NDP), aturan
main yang mendasar dari organisasi (AD, ART dan penjabarannya), program kerja serta nakhoda
baru organisasi.

Himpunan Mahasiswa Islam Baru.

Ikhtiar menghadirkan ‘HMI Baru’ adalah bentuk perlawanan terhadap kondisi HMI yang
menjauhi idealitas, terjebak pada kejumudan dan kehilangan “syahwat” inovasi. Untuk itu, ‘HMI
Baru’ harus terampil memperlakukan masa lalunya. Ia tahu mana yang patut diteruskan dan
mana yang patut disudahi. Dalam bahasa lain, terampil membebaskan diri dari fundamental
codes of cultures dan relasi kuasa yang buruk yang menyebabkan ia tertawan oleh masa lalu, dan
“menebalkan” fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang baik serta terampil
menanamkan benih fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang mampu membuatnya
berseri-seri menyambut masa depan. Ia juga terampil menghadirkan masa depan dan benih-
benihnya pada kondisi kekinian. Ia terampil mengelola tekanan masa lalu (yang terkadang
disertai tawaran “gula”) dan tuntutan masa depan (yang terkadang disertai “pil pahit”) yang
kemudian diformulasikannya dalam kerja nyata organisasi.

Bila fundamental codes of cultures dan relasi kuasa yang buruk adalah dominasi materialisme
dan political oriented dalam cara berpikir kita; ketidakpastian sumber pendanaan organisasi yang
diantaranya berpengaruh pada kesulitan dalam mensinambungkan kerja-kerja organisasi dan
kesulitan transparansi penggunaan dana; relasi kuasa yang dominan dengan politisi; serta sistem
kepengurusan yang mengoligarki maka ‘HMI Baru’ harus membebaskan diri dari semua itu.
Secara normatif, kita dapat meraba bahwa ‘HMI Baru’ adalah HMI yang bila sebelumnya ia
adalah organisasi kumpulan pemalas, maka ia adalah organisasi kumpulan orang rajin. BiIa
sebelumnya adalah organisasi yang administrasi organisasinya buruk, maka ia adalah organisasi
yang administrasi organisasinya baik. Bila sebelumnya adalah organisasi yang tidak transparan
dalam pengelolaan uang, maka ia adalah organisasi yang transparan dalam pengelolaan uang.
Bila sebelumnya ia adalah organisasi yang berkonflik dengan buruk, maka ia adalah organisasi
yang berkonflik dengan baik. Bila sebelumnya adalah organisasi yang tidak independen, maka ia
adalah organisasi yang independen. Bila sebelumnya adalah organisasi yang tidak inovatif, maka
ia adalah organisasi yang inovatif, dan seterusnya. Masing-masing dari kita dapat menambahkan
daftar tersebut dengan memasukkan apa yang tidak ideal dan memasukkan lawannya yang ideal
sebagai satu karakter dari ’HMI Baru’. Namun yang pasti ’HMI Baru’ tidak asal beda dan tidak
untuk benar-benar mendirikan suatu organisasi baru sebagai sempalan HMI seperti HMI MPO.

Himpunan Mahasiswa Islam Baru Dan Masa Depan Bangsa

Keberadaan HMI tentunya memiliki dampak terhadap bangsa (dan negara) Indonesia, positif
maupun negatif, dan besar maupun kecil. Hal ini disebabkan karena kader HMI adalah hampir
dapat dipastikan seluruhnya generasi muda bangsa Indonesia yang kelak Insya Allah akan
menempati posisi strategis di bangsa Indonesia. Sehingga nilai-nilai dan kualitas sumber daya
manusia yang mereka miliki akan turut menentukan nilai-nilai dan kualitas sumber daya manusia
bangsa Indonesia di masa yang akan datang.

Oleh karena ia merupakan manifestasi idealitas HMI, ‘HMI Baru’ tentunya diharapkan memiliki
dampak yang positif terhadap bangsa dan negara Indonesia. Logika yang dibangun memang
merupakan logika linear sederhana. Hal ini tentu akan berjalan demikian bila terjadi transformasi
yang baik dari ‘HMI Baru’ yang merupakan generasi muda bangsa tersebut hingga eks ‘HMI
Baru’ yang kemudian memegang posisi strategis bangsa dan negara. Namun dari gambaran ini
adalah logis bila dikatakan: membangun ‘HMI Baru’ pada dasarnya adalah membangun juga
masa depan bangsa (dan negara) Indonesia yang lebih baik. Adalah tugas kita bersama
mewujudkan pernyataan tersebut tidak menjadi klaim yang berlebihan.

Nilai-Nilai Perjuangan Kader

Nilai-nilai perjuangan kader merupakan konsepsi dasar yang membentuk karakter dalam setiap
individu kader serta melekat dalam diri setiap individu kader. Pembentukan ini tidaklah serta
merta hadir dalam diri kader tanpa adanya proses transformasi doktrinasi organisasi.

Himpunan mahasiswa islam merupakan organisasi yang memiliki nilai-nilai perjuangan yang
sangatlah jelas seperti yang termaktub dalam kontstitusi anggaran dasar bab II pasal III tentang
asas islam. Hal inilah yang merupakan acuan dasar melangkah kader-kader himpunan mahasiswa
islam dalam mewjudkan tujuan himpunan mahasiswa islam “terbinanya insan akademis,
pencipta, pengabdi yang bernafaskan islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat
adilmakmur yang dirdhoi Allah SWT”. Untuk mewujudkan tujuan himpunan mahasiswa islam
sehingga fungsi dan peran himpunan mahasiswa islam seperti yang termaktub dalam konstitusi
anggaran dasar bab IV pasal VIII tentang fungsi dan Pasal IX tentang peran.

Dalam implementasi aktualisasi nilai-nilai kader himpunan mahasiswa islam sangatlah jelas akan
fungsinya yang dimana dari tahim hijau hitam telah banyak kader-kader dan alumni yang terlahir
dan menjadi pemimpin bangsa, serta perannya akan kredibilitas sebagai organisasi perjuangan
yang banyak turun andil dalam perjuangan republik indonesia. Hal ini terbukti akan perjuangan
kader himpunan mahasiswa islam pada fase konsolidasi fisik (1947-1949) wakil PB HmI Ahmad
Dahlan Tirtosudiro membentuk corps mahasiswa dalam membantu TRI (sekarang TNI) dalam
pemberontakan PKI di madiun, perjuangan Ma’arie Moehammad dalam menggulingkan Rezim
Orde Lama dan Perjuangan Anas Urbaningrum dkk dalam menggulingkan rezim Orde Baru
menuju era reformasi. Perjuangan ini sehingga tidaklah heran jika Jendral Besar. Soedirman
mengatakan “HmI bukan sekedar Himpunan Mahasiswa Islam, Melainkan HmI merupakan
Harapan Masyarakat Indonesia”.

Tantangan Himpunan Mahasiswa Islam.

Dalam Konsep profetiknya, oleh Kuntowijoyo dicoba difahami sebagai sebuah paradigma yang
diintepretasikan untuk aksi, maka HMI harus mampu melampaui pemikiran sekaligus aksi yang
ditawarkan oleh Kuntowijoyo. Sedikit berbeda dengan Cak Nur, gagasannya mengenai
keharusan pembaruan pemikiran keagamaan, selain juga menuai berbagai kritikkan tajam, pada
akhirnya gagasan beliau memberikan pengaruh sangat besar dalam wacana ke-Islam-an di
Indonesia. Dalam konteks kekinian, tradisi intelektual yang terdapat di HMI dihadapkan pada
beberapa tantangan serius. Sebagai artikulator gagasan umat sekaligus bangsa, sudah semestinya
HMI mengambil peranan sangat penting di saat kondisi bangsa membutuhkan ide-ide pembaruan
yang inovatif, relevan, realistis dan produktif.

Bertolak dari tujuan HMI, perlu digarisbawahi beberapa poin penting yang semestinya
mengiringi jalannya organisasi.

Pertama, keharusan mengembalikan dan menguatkan kembali tradisi intelektual di HMI. Sebab
bagaimanapun juga, hal tersebut merupakan salah satu kebutuhan mendasar HMI, selain
kuantitas keberadan kader (cadre). 

Kedua, bagaimana kekuatan intelektual yang menjadikan HMI ”besar” dapat tertransformasikan
secara masif pada ranah sosiologis sebagai bentuk pengobjektifikasiannya. Dengan demikian
akumulasi pengetahuan yang terdapat di HMI memiliki daya dobrak terhadap ketidakmapanan
sosial yang selama ini menjadi persoalan umat dan bangsa. Di samping itu, apa yang disebut
sebagai gerakan pengetahuan yang dimiliki oleh HMI pun tetap harus memiliki karakter khas
yang membedakannya dengan gerakan-gerakan yang lain.

Ketiga, karena HMI adalah organisasi mahasiswa Islam dengan statusnya yang independen,
maka bagaimana gerakan pengetahuan tersebut tetap berada pada jalurnya yang benar. Dalam
arti setiap objektifikasi yang merupakan manifestasi dari gerakan pengetahuan tersebut tetap
tidak terlepaskan dari ketidakbebasan nilai dalam arti keberpihakan kepada kebenaran. Tentu
saja kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran bukan dimaknai pada objek di mana nilai
kebenaran melekat, namun murni kepada nilainya. Dengan demikian sistem pemikiran HMI
yang dimanifestasikan dalam bentuk arah perjuangan HMI ke depan melalui kader yang dimiliki,
baik secara normatif-subjektif, maupun empirik-objektif dapat diterima, diaplikasikan dan
dipertanggungjawabkan.

Namun sebelumnya, untuk dapat merealisasikan apa yang menjadi gagasan besar HMI, juga
dibutuhkan perangkat yang terformat dengan jelas sebagai penopang dari objektifikasi terhadap
gagasan tersebut. Perangkat yang dimaksud adalah pola serta sistem perkaderan yang nantinya
diharapkan mampu menjadi jalan keluar dari persoalan kualitas dan kuantitas yang selama ini
dinilai sangat serius menghambat laju gerak dari gagasan dan aksi organisasi. Adanya fenomena
penurunan sangat tajam pada  wilayah jumlah anggota (kader), disertai dengan penurunan yang
juga sangat drastis pada wilayah intelektualitas kader (kualitas), tidak menuutp kemungkinan
apapun yang menjadi arah perjuangan HMI tetap tidak mampu untuk dapat dilaksanakan.

Jadi, memang harus terdapat hubungan yang saling terkait dan mendukung di antara beberapa hal
penting di atas. Antara kualitas dan kuantitas tidak dapat kita dikotomikan, dengan adanya
pendikotomian hanya akan meniscayakan untuk lebih mendahulukan atau mementingkan salah
satu di antara keduannya. Dengan demikian, ketika terjadi pendikotomian, dan bukan
mengintegrasikannya, konsentrasi organisasi hanya akan terfokus pada salah satu wilayah
dengan menafikan wilayah yang lain. Meskipun dengan asumsi ketika salah satu kebutuhan –
katakanlah kebutuhan pada kualitas kader – telah terakomodir maka kebutuhan yang lain – tentu
saja kebutuhan akan kuantitas kader – dengan sendirinya akan dapat juga terpenuhi. Logika yang
demikian adalah logika yang keliru, atau bahkan sangat keliru. Hanya dengan tidak menganggap
keduanya sebagai dua entitas kebutuhan yang berbeda, namun satu kesatuan yang tidak boleh
dipisah-pisahkan, maka HMI dapat bangkit kembali menjalankan fungsi dan perannya dengan
maksimal. Sebab untuk dapat bangkit kembali, HMI harus memiliki gagasan besar yang
dibutuhkan oleh masyarakat secara luas. Untuk dapat mengaktualisasikan gagasan tersebut, HMI
harus didukung oleh kapasitas intelektual (kualitas) serta keberadaan kader dengan jumlah yang
besar (kuantitas). Sehingga mampu memiliki kekuatan secara kualitas dan kuantitas yang
memadai, maka HMI setidaknya harus memiliki sistem serta pola perkaderan yang bagus dan
dilaksanakan secara tertib dan disiplin.

Hal penting juga yang tidak boleh terlepas dari HMI selain beberapa hal penting yang telah
disampaikan di muka, adalah HMI harus memiliki landasan yang jelas dan permanent. Atau
paling tidak harus memperkuat landasan yang ada sebagai kekuatan pondasi organisasi. Jadi
selain kualitas dan kuantitas yang terintegrasi, kemudian tersosialisasikan dan tertransformasikan
secara masif, baik pada wilayah out put maupun in put nya, sintesisnya pun harus berdampak
kepada penguatan di dalam tubuh organisasi itu sendiri. Setidaknya harus ada pentransendensian.
Penghumanisasian dan peliberasian sebelum, saat dan setelah adanya pengobjektifikasian
terhadap sintesa tersebut di atas. Untuk itu dibutuhkan beberapa landasan dalam pelaksanaan
gerak di HMI. Beberapa landasan tersebut diantaranya dapat dilihat di dalam pedoman Angaran
Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) HMI.

Berangkat dari pemikiran di atas, sebagai upaya dalam  menghidupkan kembali tradisi
intelektual di HMI sekaligus menjadikan pengetahuan sebagai arus utama dalam perubahan
sosial. sebagai organisasi mahasiswa memberi petunjuk dimana HMI berspesialisasi. Dan
spesialisasi tugas inilah yang disebut fungsi HMI. Kalau tujuan menujukan dunia cita yang harus
diwujudkan maka fungsi sebaliknya menunjukkan gerak atau kegiatan (aktifitas) dalam
mewujudkan (final goal). Dalam melaksanakan spesialisasi tugas tersebut, karena HMI sebagai
organisasi mahasiswa maka sifat serta watak mahasiswa harus menjiwai dan dijiwai HMI.
Mahasiswa sebagai kelompok elit dalam masyarakat pada hakikatnya memberi arti bahwa ia
memikul tanggung jawab yang benar dalam melaksanakan fungsi generasinya sebagai kaum
muda muda terdidik harus sadar akan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa
depan. Karena itu dengan sifat dan wataknya yang kritis itu mahasiswa dan masyarakat berperan
sebagai “kekuatan moral” atau moral forces yang senantiasa melaksanakan fungsi “social
control“. Untuk itulah maka kelompok mahasiswa harus merupakan kelompok yang bebas dari
kepentingan apapun kecuali kepentingan kebenaran dan obyektifitas demi kebaikan dan
kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa depan. Dalam rangka penghikmatan terhadap
spesialisasi kemahasiswaan ini, akan dalam dinamikanya HMI harus menjiwai dan dijiwai oleh
sikap independen.

Mahasiswa, setelah sarjana adalah unsur yang paling sadar dalam masyarakat. Jadi fungsi lain
yang harus diperankan mahasiswa adalah sifat kepeloporan dalam bentuk dan proses perubahan
masyarakat. Karenanya kelompok mahasiswa berfungsi sebagai duta-duta pembaharuan
masyarakat atau “agent of social change“. Kelompok mahasiswa dengan sikap dan watak
tersebut di atas adalah merupakan kelompok elit dalam totalitas generasi muda yang harus
mempersiapkan diri untuk menerima estafet pimpinan bangsa dan generasi sebelumnya pada saat
yang akan datang. Oleh sebab itu fungsi kaderisasi mahasiswa sebenarnya merupakan fungsi
yang paling pokok. Sebagai generasi yang harus melaksanakan fungsi kaderisasi demi
perwujudan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat, bangsa dan negaranya di masa depan maka
kelompok mahasiswa harus senantiasa memiliki watak yang progresif dinamis dan tidak statis.
Mereka bukan kelompok tradisionalis akan tetapi sebagai “duta-duta pembaharuan sosial” dalam
pengertian harus menghendaki perubahan yang terus menerus ke arah kemajuan yang dilandasi
oleh nilai-nilai kebenaran. Oleh sebab itu mereka selalu mencari kebenaran dan kebenaran itu
senantiasa menyatakan dirinya serta dikemukakan melalui pembuktian di alam semesta dan
dalam sejarah umat manusia. Karenanya untuk menemukan kebenaran demi mereka yang
beradab bagi kesejahteraan umat manusia maka mahasiswa harus memiliki ilmu pengetahuan
yang dilandasi oleh nilai kebenaran dan berorientasi pada masa depan dengan bertolak dari
kebenaran Illahi. Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran
demi mewujudkan beradaban bagi kesejahteraan masyarakat bangsa dan negara maka setiap
kadernya harus mampu melakukan fungsionalisasi ajaran Islam.

Watak dan sifat mahasiswa seperti tersebut diatas mewarnai dan memberi ciri HMI sebagai
organisasi mahasiswa yang bersifat independen. Status yang demikian telah memberi petunjuk
akan spesialisasi yang harus dilaksanakan oleh HMI. Spesialisasi tersebut memberikan ketegasan
agar HMI dapat melaksanakan fungsinya sebagai organisasi kader, melalui aktifitas fungsi
kekaderan. Segala aktifitas HMI harus dapat membentuk kader yang berkualitas dan komit
dengan nilai-nilai kebenaran. HMI hendaknya menjadi wadah organisasi kader yang mendorong
dan memberikan kesempatan berkembang pada anggota-anggotanya demi memiliki kualitas
seperti ini agar dengan kualitas dan karakter pribadi yang cenderung pada kebenaran (hanief)
maka setiap kader HMI dapat berkiprah secara tepat dalam melaksanakan pembaktiannya bagi
kehidupan bangsa dan negaranya.

Persoalan sangatlah substansial dalam tubuh himpunan mahasiswa islam adalah lahirnya nilai-
nilai dasar perjuangan yang menjadikan dualisme dalam kultur internal organisasi. Adanya
ideologi mashab yang dimasukkan dalam NDP dengan melakukan pembaharuan serta
diafirmasikan dengan nama “NDP BARU” yang melakukan pembaharuan akan NDP CAK NUR
yang sangatlah jelas dengan nilai-nilai perjuangan himpunan mahasiswa islam.

Peran dan Fungsi Himpunan Mahasiswa Islam Dalam Mengawal Agenda Bangsa.

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang didirikan pada tanggal 5 Februari 1947 sebagai
organisasi independen saat ini harus mempertegas ulang mengenai siapa dirinya. Pada fase tahun
1966-1998 menunjukkan budaya Himpunan Mahasiswa Islam yang berjiwa elitis, dekat dengan
penguasa, dan birokrasi sehingga menimbulkan rapuhnya intelektualitas dan keringnya
pemikiran intelektual kader serta lebih mengedepankan aspek politis.

Dalam kaitan ini Himpunan Mahasiswa Islam mempunyai dua visi, yaitu visi keislaman dan
keindonesiaan. Visi keislaman yang dikembangkan oleh Himpunan Mahasiswa Islam juga tidak
lepas dari “circle” modernisasi. Ini terlihat dari rumusan besar wawasan Himpunan Mahasiswa
Islam pada dasawarsa 70-an yang ditulis oleh Kakanda Nurcholish Madjid atau lebih dikenal
dengan Cak Nur berupa Nilai Dasar Perjuangan sebagai gagasan yang merupakan pengaruh dari
modernisasi dan kecenderungan pada pengembangan intelektualitas.

Sedangkan visi keindonesiaan, doktrin kerakyatan harus ditanamkan pada kader, karena sekarang
mempunyai kesan bahwa Himpunan Mahasiswa Islam adalah organisasi elit yang jarang
menyentuh lapisan bawah. Pada sisi lain, Himpunan Mahasiswa Islam mempunyai agenda besar
dalam memperjuangkan rakyat Indonesia.

Strategi perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam dengan demikian harus diorientasikan pada
persoalan bagaimana mewujudkan iklim demokrasi dan ada konsensus bersama tentang jatidiri
Himpunan Mahasiswa Islam adalah inklusif dan berpihak pada rakyat sebagai komitmen
terhadap nilai-nilai kebenaran. Menciptakan tata pemerintahan yang bersih, dan berwibawa
merupakan salah satu agenda penting dalam peran Himpunan Mahasiswa Islam dalam
pengawalan demokratisasi di Indonesia. Agenda tersebut merupakan upaya untuk mewujudkan
tata pemerintahan yang baik, antara lain: keterbukaan, akuntabilitas, efektifitas dan efisiensi,
menjunjung tinggi supremasi hukum, dan membuka partisipasi masyarakat yang dapat menjamin
kelancaran, keserasian dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan. Untuk itu diperlukan langkah-langkah kebijakan yang terarah pada perubahan
kelembagaan dan sistem ketatalaksanaan; kualitas sumber daya manusia aparatur; dan sistem
pengawasan dan pemeriksaan yang efektif.

Memang tidaklah mudah mengawal agenda bangsa dan mewujudkan cita-cita Himpunan
Mahasiswa Islam, karena masih sangat besarnya benteng penghambat kemajuan yaitu praktek
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di negeri ini, tapi bagi Himpunan Mahasiswa Islam ini
bukanlah suatu hambatan atau tantangan yang dapat melunturkan idealism perjuangan melainkan
semakin besarnya kobaran api semangat perjuangan dalam ”mewujudkan maksyarakat
adilmakmur”.

Himpunan Mahasiswa Islam tidak pernah berhenti memperjuangkan aspirasi rakyat setiap
permasalahan-permasalahan yang terjadi di negeri ini, Seperti kasus Bank Century yang hingga
saat ini belum juga tuntas dan masih menjadi tanda tanya besar kapan terselesaikan kasus
tersebut, namun Himpunan Mahasiswa Islam tidak pernah berhenti hal tersebut. Namun banyak
hambatan yang membatasi sejauh mana Himpunan Mahasiswa Islam memasuki jalur
pemerintahan terhadap penggunaan dan pelaksanaan otoritas kekuasaan.

Himpunan Mahasiswa Islam juga tidak pernah berhenti mengkritik pemerintah jika dianggap ada
sistem pemerintahan yang tidak lagi efisien digunakan sehingga harus dilakukan pembenahan
struktur dan kelembagaan yang memungkinkan bagi terciptanya otoritas kekuasaan dari
lembaga-lembaga negara yang bertanggung jawab. Maka tak berlebihan ketika jendral
Soedirman pernah berucap “HMI adalah bukan hanya Himpunan Mahasiswa Islam, Tapi HMI
juga adalah; Harapan Masyarakat Indonesia”.

Dari pengkaderan yang merupakan fungsi organisasi kemudian melahirkan para intelektual-
intelektual bangsa yang dapat merubah dan membawa bangsa Indonesia kearah yang yaitu
“masyarakat adil makmur” dan melalui pengkaderan Himpunan Mahasiwa Islam selalu
melakukan dan membentuk kader bangsa yang muslim, Intelektual, dan profesional, karena
seluruh kader Himpunan Mahasiswa Islam di tujukan untuk kepentingan bangsa secara
keseluruhan, sehingga para insan Kader Himpunan Mahasiswa Islam siap dan dapat di
manfaatkan oleh seluruh golongan yang ada di tengah-tengah masyarakat selagi tujuannya tidak
bertentangan dengan mission Himpunan Mahasiswa Islam.
Oleh sebab itu  menjadi keharusan bagi Himpunan Mahasiswa Islam untuk tetap melahirkan
kader-kader yang memiliki karakter kepemimpinan yang bertanggung jawab untuk mewujudkan
visi atau cita ideal yang termaktub dalam mission Himpunan Mahasiswa Islam, sehingga
Himpunan Mahasiswa Islam beserta steak holdernya bisa menjadi pengokoh dan pemersatu
keutuhan bangsa. Selain itu, Himpunan Mahasiswa Islam Berperan sebagai organisasi
perjuangan yang telah urgensitas terhadap peran ke-HMI-an yaitu Kontrol sosial “Social Of
Control” dan juga agen Perubahan “Agen Of Change”, yang sebagai peniup peluit (whistle
blower) atas setiap gejolak-gejolak yang terjadi di negeri ini yang dapat menghambat kemajuan
Negara Indonesia serta sebagai kelompok penekan (pressure) atas setiap regulasi  menuju
pemerintahan yang baik dan bersih. Karena di dalam tujuan  Himpunan Mahasiswa Islam
terdapat tujuan yang menjadi inti yaitu “Terwujudnya Masyarakat Adilmakmur”.

DAFTAR PUSTAKA

Aa Nurdiaman, "Pendidikan Kewarganegaraan: Kecakapan Berbangsa dan Bernegara", PT


Grafindo Media Pratama.

Agus Pramusinto, Waryudi Pramusinto, Governance Reform Di Indonesia: Mencari Arah


Kelembagaan Yang Demokratis Dan Birokrasi Yang Professional, Yogyakarta, 2009.

Agussalim Sitompul, sejarah Perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam 1947-1975,Bina


Ilmu,Surabaya.

Jalaludin Rahmat, Rekayasa Sosial 199-200, PT Remaja Rosda Karya.

Lev, Daniel S, Hukum Dan Politik Di Indonesia: Kesinambungan  Dan Perubahan, LP3S,
Yogyakarta, 1990.

Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, Yayasan Madani, Jakarta, 1992.

Natsar Desi Mahnudi, Rekonstruksi Pemikiran dan Pergerakan Himpunan Mahasiswa Islam,
LPMI, 2006.

Peter L.Berger, Thomas Lucmann, tafsir social atas kenyataan, LP3ES, 1990.

Setiawan Djody, Reformasi dan Elemen-Elemen Revolusi, Jakarta, 2009.

St Sularto, "Masyarakat warga dan pergulatan demokrasi: menyambut 70 tahun Jakob Oetama",
Penerbit Buku Kompas, 2001.

 
TAFSIR TUJUAN HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HmI)

A. PENDAHULUAN

Tujuan yang jelas diperlukan untuk suatu organisasi, hingga setiap usaha yang dilakukan oleh
organisasi tersebut dapat dilaksanakan dengan teratur dan terarah. Bahwa tujuan suatu organisasi
dipengaruhi oleh suatu motivasi dasar pembentukan, status dan fungsinya dalam totalitas dimana
ia berada. Dalam totalitas kehidupan bangsa Indonesia, maka HMI adalah organisasi yang
menjadikan Islam sebagai sumber nilai, motivasi dan inspirasi berstatus sebagai organisasi
mahasiswa yang berperan sebagai sumber insani pembangunan bangsa dan berfungsi sebagai
organisasi yang bersifat independen.

Pemantapan fungsi kekaderan HMI ditambah dengan kenyataan bahwa bangsa Indonesia sangat
kekurangan tenaga intelektual yang memiliki keseimbangan hidup yang terpadu antara
pemenuhan tugas duniawi dan ukhrowi, iman dan ilmu, individu dan masyarakat, sehingga
peranan kaum intelektual yang semakin besar dimasa mendatang merupakan kebutuhan yang
paling mendasar.

Atas faktor tersebut, maka HMI menetapkan tujuannya sebagaimana dirumuskan dalam pasal 5
AD ART HMI yaitu :

"TERBINANYA INSAN AKADEMIS, PENCIPTA, PENGABDI YANG BERNAFASKAN


ISLAM DAN BERTANGGUNG JAWAB ATAS TERWUJUDNYA MASYARAKAT ADIL
MAKMUR YANG DIRIDLOI ALLAH SWT".

Dengan rumusan tersebut, maka pada hakekatnya HMI bukanlah organisasi massa dalam
pengertian fisik dan kuantitatif, sebaliknya HMI secara kualitatif merupakan lembaga
pengabdian dan pengembangan ide, bakat dan potensi yang mendidik, memimpin dan
membimbing anggota-anggotanya untuk mencapai tujuan dengan cara-cara perjuangan yang
benar dan efektif.

B MOTIVASI DASAR KELAHIRAN DAN TUJUAN ORGANISASI

Sesungguhnya Allah SWT telah mewahyukan Islam sebagai agama yang Haq dan sempurna
untuk mengatur umat manusia agar berkehidupan sesuai daengan fitrahnya sebagai khalifatullah
di muka bumi dangan kewajiban mengabdikan diri semata-mata kehadiratnya.
Kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia tersebut adalah kehidupan yang seimbang dan
terpadu antara pemenuhan dan kalbu, iman dan ilmu, dalam mencapai kebahagiaan hidup di
dunia dan ukhrowi. Atas keyakinan ini, maka HMI menjadikan Islam selain sebagai motivasi
dasar kelahiran juga sebagai sumber nilai, motivasi dan inspirasi. Dengan demikian Islam bagi
HMI merupakan pijakan dalam menetapkan tujuan dan usaha organisasi HMI.

Dasar motivasi yang paling dalam bagi HMI adalah ajaran Islam. Karena Islam adalah ajaran
fitrah, maka pada dasarnya tujuan dan mission Islam adalah juga merupakan tujuan daripada
kehidupan manusia yang fitri, yaitu yang tunduk kepada fitrah kemanusiaannya. Tujuan
kehidupan manusia yang fitri adalah kehidupan yang menjamin adanya kesejahteraan jasmani
dan rohani secara seimbang atau dengan kata lain kesejahteraan materiil dan kesejahteraan
spiritual. Kesejahteraan yang dimaksud akan terwujud dengan adanya amal saleh (kerja
kemanusiaan) yang dilandasi dan dibarengi dengan keimanan yang benar. Didalam amal
kemanusiaan inilah manusia akan mendapat kebahagiaan dan kehidupan yang sebaik-baiknya.
Bentuk kehidupan yang ideal secara sederhana kita rumuskan dengan "kehidupan yang adil dan
makmur".

Untuk menciptakan kehidupan yang demikian, Anggaran Dasar menegaskan kesadaran


mahasiswa Islam Indonesia untuk merealisir nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh
Hikmah Dalam Kebijaksanaan /Perwakilan serta mewujudkan Keadilan Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia dalam rangka mengabdikan diri kepada Allah SWT.

Perwujudan daripada pelaksanaan nilai-nilai tersebut adalah berupa amal saleh atau kerja
kemanusiaan. Dan kerja kemanusiaan ini akan terlaksana secara benar dan sempurna apabila
dibekali dan didasari oleh iman dan ilmu pengetahuan. Karena inilah hakikat tujuan HMI tidak
lain adalah pembentukan manusia yang beriman dan berilmu serta mampu menunaikan tugas
kerja kemanusiaan (amal soleh). Pengabdian dalam bentuk amal soleh inilah pada hakekatnya
tujuan hidup manusia, sebab dengan melalui kerja kemanusiaan manusia mendapatkan
kebahagiaan.

C. BASIC DEMAND BANGSA INDONESIA

Sesungguhnya kelahiran HMI dengan rumusan tujuan seperti pasal 5 Anggaran Dasar tersebut
adalah dalam rangka menjawab dan memenuhi kebutuhan dasar (basic need) bangsa Indonesia
setelah mendapat kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 guna memformulasikan dan
merealisasikan cita-cita hidupnya. Untuk memahami kebutuhan dan tuntutan mereka, maka kita
perlu melihat dan memahami keadaan dan sejarah mereka sebelumnya. Sejarah Indonesia dapat
kita bagi dalam 3 (tiga) periode yaitu:

1.      Periode (Masa) Penjajahan

Penjajahan pada dasarnya adalah perbudakan. Sebagai bangsa terjajah sebenarnya bangsa
Indonesia pada waktu itu telah kehilangan kemauan dan kemerdekaan sebagai hak asasinya.
Idealisme dan tuntutan bangsa Indonesia pada waktu itu adalah kemerdekaan. Oleh karena itu
timbullah pergerakan-pergerakan nasional dimana pimpinan-pimpinan yang dibutuhkan adalah
mereka yang mampu menyadarkan hak-hak asasinya sebagai suatu bangsa.

2.      Periode (Masa) Revolusi

Periode ini adalah masa merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Berkat rahmat Allah Yang
Maha Kuasa serta didorong oleh keinginan yang luhur maka bangsa Indonesia memperoleh
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. dalam periode ini yang dibutuhkan oleh bangsa
Indonesia adalah adanya persatuan solidaritas dalam bentuk mobilitas kekuatan fisik guna
melawan dan menghancurkan penjajah. Untuk itu dibutuhkan adalah "solidarity making"
diantara seluruh kekuatan nasional sehingga dibutuhkan adanya pimpinan-pimpinan nasional
type solidarity maker.

3.      Periode (Masa) Membangun

Setelah Indonesia merdeka dan kemerdekaan itu mantap berada di tangannya maka timbullah
agar cita-cita dan idealisme sebagai manusia yang bebas dapat direalisir dan diwujudkan. Karena
periode ini adalah periode pengisian kemerdekaan, yaitu guna menciptakan masyarakat atau
kehidupan yang adil dan makmur. Maka mulailah pembangunan nasional. Untuk melaksanakan
pembangunan, faktor yang sangat diperlukan adalah ilmu pengetahuan.

Pimpinan nasional yang dibutuhkan adalah negarawan yang "problem solver" yaitu type
"administrator" disamping ilmu pengetahuan diperlukan pula adanya iman/akhlak sehingga
mereka mampu melaksanakan tugas kerja kemanusiaan (amal saleh). Manusia yang demikian
mempunyai garansi yang obyektif untuk menghantarkan bangsa Indonesia ke dalam suatu
kehidupan yang sejahtera, adil dan makmur serta kebahagiaan. Secara keseluruhan basic demand
bangsa Indonesia tersebut dengan tegas tertulis dalam Pembukaan UUD 1945 dalam alinea ke-
dua yaitu terbinanya negara Indonesia yang:

1.      Merdeka,

2.      Bersatu dan Berdaulat,

3.      Adil dan Makmur.


Tujuan 1 dan 2 secara formal telah kita capai tetapi tujuan ke-3 sekarang sedang kita
perjuangkan. Suatu masyarakat atau kehidupan yang adil dan makmur hanya akan terbina dan
terwujud dalam suatu pembaharuan dan pembangunan terus menerus yang dilakukan oleh
manusia-manusia yang beriman, berilmu pengetahuan dan berkepribadian, dengan
mengembangkan nilai-nilai kepribadian bangsa.

D. KUALITAS INSAN CITA HMI

Kualitas insan cita HMI adalah merupakan dunia cita yakni ideal yang terwujud oleh HMI di
dalam pribadi seorang manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan serta mampu
melaksanakan tugas kerja kemanusiaan. Kualitas tersebut sebagai mana dirumuskan dalam pasal
tujuan (pasal 5 AD HMI) adalah sebagai berikut:

Kualitas Insan Akademis

•Berpendidikan tinggi, berpengetahuan luas, berfikir rasional, obyektif, dan kritis.

•Memiliki kemampuan teoritis, mampu memformulasikan apa yang diketahui dan dirahasiakan.
Dia selalu berlaku dan menghadapi suasana sekelilingnya dengan kesadaran.

•Sanggup berdiri sendiri dengan lapangan ilmu pengetahuan sesuai dengan ilmu yang dipilihnya,
baik secara teoritis maupuan teknis dan sanggup bekerja secara ilmiah yaitu secara bertahap,
teratur, mengarah pada tujuan sesuai dengan prinsip-prinsip perkembangan.

Kualitas Insan Pencipta; Insan Akademis, Pencipta

•Sanggup melihat kemungkinan-kemungkinan lain yang lebih dari sekedar yang ada, dan
bergairah besar untuk menciptakan bentuk-bentuk baru yang lebih baik dan bersikap dengan
bertolak dari apa yang ada (yaitu Allah). Berjiwa penuh dengan gagasan-gagasan kemajuan,
selalu mencari perbaikan dan pembaharuan.

•Bersifat independen dan terbuka, tidak isolatif, insan yang menyadari dengan sikap demikian
potensi, kreatifnya dapat berkembang dan menemukan bentuk yang indah-indah.

•Dengan ditopang kemampuan akademisnya dia mampu melaksanakan kerja kemanusiaan yang
disemangati ajaran Islam.

Kualitas Insan Pengabdi; Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi


•Ikhlas dan sanggup berkarya demi kepentingan orang banyak atau untuk sesama umat.

•Sadar membawa tugas insan pengabdi bukanya hanya membuat dirinya baik, tetapi juga
membuat kondisi sekelilingnya menjadi baik.

•Insan akademis, pencipta dan pengabdi adalah yang pasrah cita-citanya yang ikhlas
mengamalkan ilmunya untuk kepentingan sesamanya.

Kualitas Insan yang bernafaskan Islam: Insan Akademis, Pencipta dan Pengabdi yang
bernafaskan Islam

•Islam yang telah menjiwai dan memberi pedoman pola pikir dan pola lakunya tanpa memakai
merk Islam. Islam akan menjadi pedoman dalam berkarya dan mencipta sejalan dengan mission
Islam. Dengan demikian Islam telah menafasi dan menjiwai karyanya.

•Ajaran Islam telah berhasil membentuk "unity of personality" dalam dirinya. Nafas Islam telah
membentuk pribadinya yang utuh tercegah dari split personality tidak pernah ada dilema antara
dirinya sebagai warga negara dan dirinya sebagai muslim insan ini telah meng-integrasi-kan
masalah suksesnya dalam pembangunan Nasional bangsa ke dalam suksesnya perjuangan umat
Islam Indonesia dan sebaliknya.

Kualitas insan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah
SWT :

•Insan akademis, Pencipta dan Pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas
terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.

•Berwatak, sanggup memikul akibat-akibat yang dari perbuatannya sadar bahwa menempuh
jalan yang benar diperlukan adanya keberanian moral.

•Spontan dalam menghadapi tugas, responsif dalam menghadapi persoalan-persoalan dan jauh
dari sikap apatis.

•Rasa tanggung jawab taqwa kepada Allah SWT, yang menggugah untuk mengambil peran aktif
dalam suatu bidang dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang diridhoi Allah
SWT.

•Korektif terhadap setiap langkah yang berlawanan dengan usaha mewujudkan masyarakat yang
adil dan makmur.
Percaya pada diri sendiri dan sadar akan kedudukannya sebagai "khalifah fil ardhi" yang harus
melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan. Pada pokoknya insan cita HMI merupakan "Man of
future" insan pelopor yaitu insan yang berfikiran luas dan berpandangan jauh, bersifat terbuka,
terampil atau ahli dalam bidangnya, dia sadar apa yang menjadi cita-citanya dan tahu bagaimana
mencari ilmu perjuangan untuk secara operatif bekerja sesuai yang dicita-citakan.

Ideal type dari hasil perkaderan HMI adalah "Man of inovator" (duta-duta pembaharu). Penyuara
"Idea of progress" insan yang berkepribadian imbang dan padu, kritis, dinamis, adil dan jujur
tidak takabur dan bertaqwa kepada Allah SWT. Mereka itu manusia-manusia yang beriman
berilmu dan mampu beramal soleh dalam kualitas yang maksimal (insan kamil).

Dari lima kualitas lima insan cita tersebut pada dasarnya harus dipahami dalam tiga kualitas
insan Cita yaitu kualitas Insan akademis, kualitas insan pencipta dan kualitas insan pengabdi.
Ketiga kualitas insan pengabdi tersebut merupakan insan Islam yang terefleksikan dalam sikap
senantiasa bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adi dan makmur yang diridhoi Allah
SWT.

E. TUGAS ANGGOTA HMI

Setiap anggota HMI berkewajiban berusaha mendekatkan kualitas dirinya pada kualitas insan
cita HMI seperti tersebut di atas. Tetapi juga sebaliknya HMI berkewajiban untuk memberikan
pimpinan, bimbingan dan kondusif bagi perkembangannya potensi kualitas pribadi-pribadi
anggota-anggota dengan memberikan fasilitas-fasilitas dan kesempatan-kesempatan. Untuk
setiap anggota HMI harus mengembangkan sikap mental pada dirinya yang independen untuk itu
:

•Senantiasa memperdalam hidup kerohanian agar menjadi luhur dan bertaqwa kepada Allah
SWT.

•Selalu tidak puas dan selalu mencari kebenaran.

•Jujur dan tidak mengingkari hati nurani atau hanief.

•Teguh dalam pendirian dan obyektif rasional menghadapi pendirian yang berbeda.

•Bersifat kritis dan berfikir bebas kreatif.

•Hal tersebut akan diperoleh antara lain dengan jalan:

•Senantiasa mempertinggi tingkat pemahaman ajaran Islam yang dimilikinya dengan penuh
gairah.
•Aktif berstudi dalam fakultas yang dipilihnya.

•Mengadakan tentir club untuk studi ilmu jurusannya dan club studi untuk masalah kesejahteraan
dan kenegaraan.

•Giat dalam studi dan selalu mengikuti perkembangan situasi.

•Selalu mengadakan perenungan terhadap ilmu-ilmu yang sudah dimilikinya dan mengemukakan
pendapatnya sendiri.

•Selalu hadir dalam forum ilmiah.

•Memelihara kesehatan badan dan aktif mengikuti karya bidang kebudayaan.

•Selalu berusaha mengamalkan dan aktif dalam mengambil peran dalam kegiatan HMI.

Bahwa tujuan HMI sebagai dirumuskan dalam pasal AD HMI pada hakikatnya adalah
merupakan tujuan dalam setiap anggota HMI. Insan cita HMI adalah gambaran masa depan
HMI. Suksesnya seorang HMI dalam membina dirinya untuk mencapai insan cita HMI berarti
dia telah mencapai tujuan HMI. Insan cita HMI ini pada suatu waktu akan merupakan Ïntelectual
community"atau kelompok intelegensia yang mampu merealisir cita-cita umat dan bangsa dalam
suatu kehidupan masyarakat yang sejahtera spiritual, adil dan makmur serta bahagia (masyarakat
adil makmur yang diridhoi Allah SWT).

INDEPENDENSI HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HmI)

Menurut fitrah kejadiannya, maka manusia diciptakan bebas dan merdeka. Karenanya
kemerdekaan pribadi adalah hak yang pertama. Tidak ada sesuatu yang lebih berharga dari pada
kemerdekaan itu. Sifat dan suasana bebas dan kemerdekaan seperti diatas, adalah mutlak
diperlukan terutama pada fase/saat manusia berada dalam pembentukan dan pengembangan.
Masa/fase pembentukan dari pengembangan bagi manusia terutama dalam masa remaja atau
generasi muda.

Mahasiswa dan kualitas-kualitas yang dimilikinya menduduki kelompok elit dalam generasinya.
Sifat kepeloporan, keberanian dan kritis adalah ciri dari kelompok elit dalam generasi muda,
yaitu kelompok mahasiswa itu sendiri. Sifat kepeloporan, keberanian dan kritis yang didasarkan
pada obyektif yang harus diperankan mahasiswa bisa dilaksanakan dengan baik apabila mereka
dalam suasana bebas merdeka dan demokratis obyektif dan rasional. Sikap ini adalah yang
progresif (maju) sebagai ciri dari pada seorang intelektual. Sikap atas kejujuran keadilan dan
obyektifitas.

Atas dasar keyakinan itu, maka HMI sebagai organisasi mahasiswa harus pula bersifat
independen. Penegasan ini dirumuskan dalam pasal 7 AD HMI yang mengemukakan secara
tersurat bahwa "HMI adalah organisasi yang bersifat independen"sifat dan watak independen
bagi HMI adalah merupakan hak azasi yang pertama.

Untuk lebih memahani esensi independen HMI, maka harus juga ditinjau secara psichologis
keberadaan pemuda mahasiswa islam yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam yakni
dengan memahami status dan fungsi dari HMI.

STATUS DAN FUNGSI HMI

Status HMI sebagai organisasi mahasiswa memberi petunjuk dimana HMI berspesialisasi. Dan
spesialisasi tugas inilah yang disebut fungsi HMI. Kalau tujuan menujukan dunia cita yang harus
diwujudkan maka fungsi sebaliknya menunjukkan gerak atau kegiatan (aktifitas) dalam
mewujudkan (final gool). Dalam melaksanakan spesialisasi tugas tersebut, karena HMI sebagai
organisasi mahasiswa maka sifat serta watak mahasiswa harus menjiwai dan dijiwai HMI.
Mahasiswa sebagai kelompok elit dalam masyarakat pada hakikatnya memberi arti bahwa ia
memikul tanggung jawab yang benar dalam melaksanakan fungsi generasinya sebagai kaum
muda muda terdidik harus sadar akan kebaikan dan kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa
depan. Karena itu dengan sifat dan wataknya yang kritis itu mahasiswa dan masyarakat berperan
sebagai "kekuatan moral"atau moral force yang senantiasa melaksanakan fungsi "sosial control".
Untuk itulah maka kelompok mahasiswa harus merupakan kelompok yang bebas dari
kepentingan apapun kecuali kepentingan kebenaran dan obyektifitas demi kebaikan dan
kebahagiaan masyarakat hari ini dan ke masa depan. Dalam rangka penghikmatan terhadap
spesialisasi kemahasiswaan ini, akan dalam dinamikanya HMI harus menjiwai dan dijiwai oleh
sikap independen. 

Mahasiswa, setelah sarjana adalah unsur yang paling sadar dalam masyarakat. Jadi fungsi lain
yang harus diperankan mahasiswa adalah sifat kepeloporan dalam bentuk dan proses perubahan
masyarakat. Karenanya kelompok mahasiswa berfungsi sebagai duta-duta pembaharuan
masyarakat atau "agen of social change". Kelompok mahasiswa dengan sikap dan watak tersebut
di atas adalah merupakan kelompok elit dalam totalitas generasi muda yang harus
mempersiapkan diri untuk menerima estafet pimpinan bangsa dan generasi sebelumnya pada saat
yang akan datang. 

Oleh sebab itu,  fungsi kaderisasi mahasiswa sebenarnya merupakan fungsi yang paling pokok.
Sebagai generasi yang harus melaksanakan fungsi kaderisasi demi perwujudan kebaikan dan
kebahagiaan masyarakat, bangsa dan negaranya di masa depan maka kelompok mahasiswa harus
senantiasa memiliki watak yang progresif dinamis dan tidak statis. Mereka bukan kelompok
tradisionalis akan tetapi sebagai "duta-duta pembaharuan sosial" dalam pengertian harus
menghendaki perubahan yang terus menerus ke arah kemajuan yang dilandasi oleh nilai-nilai
kebenaran. Oleh sebab itu mereka selalu mencari kebenaran dan kebenaran itu senantiasa
menyatakan dirinya serta dikemukakan melalui pembuktian di alam semesta dan dalam sejarah
umat manusia. Karenanya untuk menemukan kebenaran demi mereka yang beradab bagi
kesejahteraan umat manusia maka mahasiswa harus memiliki ilmu pengetahuan yang dilandasi
oleh nilai kebenaran dan berorientasi pada masa depan dengan bertolak dari kebenaran Illahi.
Untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang dilandasi oleh nilai-nilai kebenaran demi
mewujudkan beradaban bagi kesejahteraan masyarakat bangsa dan negara maka setiap kadernya
harus mampu melakukan fungsionalisasi ajaran Islam.

Watak dan sifat mahasiswa seperti tersebut diatas mewarnai dan memberi ciri HMI sebagai
organisasi mahasiswa yang bersifat independen. Status yang demikian telah memberi petunjuk
akan spesialisasi yang harus dilaksanakan oleh HMI. Spesialisasi tersebut memberikan ketegasan
agar HMI dapat melaksanakan fungsinya sebagai organisasi kader, melalui aktifitas fungsi
kekaderan. Segala aktifitas HMI harus dapat membentuk kader yang berkualitas dan komit
dengan nilai-nilai kebenaran. HMI hendaknya menjadi wadah organisasi kader yang mendorong
dan memberikan kesempatan berkembang pada anggota-anggotanya demi memiliki kualitas
seperti ini agar dengan kualitas dan karakter pribadi yang cenderung pada kebenaran (Hanief)
maka setiap kader HMI dapat berkiprah secara tepat dalam melaksanakan pembaktiannya bagi
kehidupan bangsa dan negaranya.

SIFAT INDEPENDEN HMI

Watak independen HMI adalah sifat organisasi secara etis merupakan karakter dan kepribadian
kader HMI. Implementasinya harus terwujud di dalam bentuk pola pikir, pola pikir dan pola laku
setiap kader HMI baik dalam dinamika dirinya sebagai kader HMI maupun dalam melaksanakan
"Hakekat dan Mission" organisasi HMI dalam kiprah hidup berorganisasi bermasyarakat
berbangsa dan bernegara. Watak independen HMI yang tercermin secara etis dalam pola pikir
pola sikap dan pola laku setiap kader HMI akan membentuk "Independensi etis HMI", sementara
watak independen HMI yang teraktualisasi secara organisatoris di dalam kiprah organisasi HMI
akan membentuk "Independensi organisatoris HMI". 
Independensi etis adalah sifat independensi secara etis yang pada hakekatnya merupakan sifat
yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan. Fitrah tersebut membuat manusia berkeinginan suci dan
secara kodrati cenderung pada kebenaran (hanief). Watak dan kepribadian kader sesuai dengan
fitrahnya akan membuat kader HMI selalu setia pada hati nuraninya yang senantiasa
memancarkan keinginan pada kebaikan, kesucian dan kebenaran adalah ALLAH SUBHANAHU
WATA'ALA. Dengan demikian melaksanakan independensi etis bagi setiap kader HMI berarti
pengaktualisasian dinamika berpikir dan bersikap dan berprilaku baik "habluminallah" maupun
dalam "habluminannas" hanya tunduk dan patuh dengan kebenaran.

Aplikasi dari dinamika berpikir dan berprilaku secara keseluruhan merupakan watak azasi kader
HMI dan teraktualisasi secara riil melalui, watak dan kepribadiaan serta sikap-sikap yang : 

Cenderung kepada kebenaran (hanif)

Bebas terbuka dan merdeka

Obyektif rasional dan kritis

Progresif dan dinamis

Demokratis, jujur, dan adil

Independensi organisatoris adalah watak independensi HMI yang teraktualisasi secara organisasi
di dalam kiprah dinamika HMI, baik dalam kehidupan intern organisasi maupun dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Independensi organisatoris diartikan bahwa
dalam keutuhan kehidupan nasional HMI secara organisatoris senantiasa melakukan partisipasi
aktif, kontruktif, korektif, dan konstitusional agar perjuangan bangsa dan segala usaha
pembangunan demi mencapai cita-cita semakin hari semakin terwujud. Dalam melakukan
partisipasi partisipasi aktif, kontruktif, korektif dan konstitusional tersebut secara organisasi HMI
hanya tunduk serta teguh kepada prinsip-prinsip kebenaran dan objektifitas.

Dalam melaksanakan dinamika organisasi, HMI secara organisatoris tidak pernah


"commited"dengan kepentingan pihak manapun ataupun kelompok dan golongan maupun,
melainkan tunduk dan terikat kepada kepentingan kebenaran, objektivitas, kejujuran, dan
keadilan. Agar secara organisatoris HMI dapat melakukan dan menjalankan prinsip-prinsip
independensi organisatorisnya, maka HMI dituntut untuk mengembangkan "kepemimpinan
kuantitatif" serta berjiwa independen sehingga perkembangan, pertumbuhan dan kebijaksanaan
organisasi mampu diemban selaras dengan hakikat independensi HMI. Untuk itu HMI harus
mampu menciptakan kondisi yang baik dan mantap bagi pertumbuhan dan perkembangan
kualitas-kualitas kader HMI. Dalam rangka menjalin tegaknya "prinsip-prinsip independensi
HMI" maka implementasi independensi HMI kepada anggota adalah sebagai berikut :

•Anggota-anggota HMI terutama aktifitasnya dalam melaksanakan tugasnya harus tunduk


kepada ketentuan-ketentuan organisasi serta membawa program perjuangan HMI. Oleh karena
itu, tidak diperkenankan anggota HMI melakukan kegiatan-kegiatan dengan membawa
organisasi atas kehendak pihak luar mana pun juga. Mereka tidak dibenarkan mengadakan
komitmen-komitmen dengan bentuk apapun dengan pihak luar HMI selain segala sesuatu yang
telah diputuskan secara organisatoris.

•Alumni HMI senantiasa diharapkan untuk aktif berjuang menruskan dan mengembangkan
watak independensi etis dimanapun mereka berada dan berfungsi sesuai dengan minat dan
potensi dalam rangka membawa hakikat dan mission HMI. Dan menganjurkan serta mendorong
alumni untuk menyalurkan aspirasi kualitatifnya secara tepat dan melalui semua jalur
pembaktian baik jalur organisasi profesional kewiraswastaan, lembaga-lembaga sosial, wadah
aspirasi poilitik lembaga pemerintahan ataupun jalur-jalur lainnya yang semata-mata hanya
karena hak dan tanggung jawabnya dalam rangka merealisir kehidupan masyarakat adil makmur
yang diridhoi Allah SWT. Dalam menjalankan garis independen HMI dengan ketentuan-
ketentuan tersebut di atas, pertimbangan HMI semata-mata adalah untuk memelihara
mengembangkan anggota serta peranan HMI dalam rangka ikut bertanggung jawab terhadap
negara dan bangsa. Karenanya menjadi dasar dan kriteria setiap sikap HMI semata-mata adalah
kepentingan nasional bukan kepentingan golongan atau partai dan pihak penguasa sekalipun.
Bersikap independen berarti sanggup berpikir dan berbuat sendiri dengan menempuh resiko. Ini
adalah suatu konsekuensi atau sikap pemuda. Mahasiswa yang kritis terhadap masa kini dan
kemampuan dirinya untuk sanggup mewarisi hari depan bangsa dan negara.

PERANAN INDEPENDENSI HMI DI MASA MENDATANG

Dalam suatu negara yang sedang berkembang seperti Indonesia ini maka tidak ada suatu
investasi yang lebih besar dan lebih berarti dari pada investasi manusia (human investment).
Sebagaimana dijelaskan dalam tafsir tujuan, bahwa investasi manusia kemudian akan dihasilkan
HMI adalah manusia yang berkualitas ilmu dan iman yang mampu melaksanakan tugas-tugas
manusia yang akan menjamin adanya suatu kehidupan yang sejahtera material dan spiritual adil
makmur serta bahagia.
Fungsi kekaderan HMI dengan tujuan terbinanya manusia yang berilmu, beriman dan
berperikemanusiaan seperti tersebut di atas maka setiap anggota HMI dimasa datang akan
menduduki jabatan dan fungsi pimpinan yang sesuai dengan bakat dan profesinya.

Oleh karena itu hari depan HMI adalah luas dan gemilang sesuai status fungsi dan perannya
dimasa kini dan masa mendatang menuntut kita pada masa kini untuk benar-benar dapat
mempersiapkan diri dalam menyongsong hari depan HMI yang gemilang. Dengan sifat dan garis
independen yang menjadi watak organisasi berarti HMI harus mampu mencari, memilih dan
menempuh jalan atas dasar keyakinan dan kebenaran. Maka konsekuensinya adalah bentuk
aktifitas fungsionaris dan kader-kader HMI harus berkualitas sebagaimana digambarkan dalam
kualitas insan cita HMI. Soal mutu dan kualitas adalan konsekuensi logis dalam garis independen
HMI harus disadari oleh setiap pimpinan dan seluruh anggota-anggotanya adalah suatu modal
dan dorongan yang besar untuk selalu meningkatkan mutu kader-kader HMI sehingga mampu
berperan aktif pada masa yang akan datang.

SEJARAH PERJUANGAN HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)

Sejarah HMI

Sejarah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI          

a. Definisi sejarah

Sejarah adalah segala sesuatu peristiwa/kejadian yang terjadi di masa lampau dan menjadi
pedoman, pengalaman maupun pandangan di masa kini dan masa akan datang.

B. Latar belakang sejarah berdirinya HmI

Kalau ditinjau secara umum ada 4 (empat) permasalahan yang menjadi latar belakang sejarah
berdirinya HMI.

1. Situasi Dunia Internasional

Berbagai argumen telah diungkapkan sebab-sebab kemunduran ummat Islam. Tetapi hanya satu
hal yang mendekati kebenaran, yaitu bahwa kemunduran ummat Islam diawali dengan
kemunduran berpikir, bahkan sama sekali menutup kesempatan untuk berpikir. Yang jelas ketika
ummat Islam terlena dengan kebesaran dan keagungan masa lalu maka pada saat itu pula
kemunduran menghinggapi kita.

Akibat dari keterbelakangan ummat Islam , maka munculah gerakan untuk menentang
keterbatasan seseorang melaksanakan ajaran Islam secara benar dan utuh. Gerakan ini disebut
Gerakan Pembaharuan. Gerakan Pembaharuan ini ingin mengembalikan ajaran Islam kepada
ajaran yang totalitas, dimana disadari oleh kelompok ini, bahwa Islam bukan hanya terbatas
kepada hal-hal yang sakral saja, melainkan juga merupakan pola kehidupan manusia secara
keseluruhan. Untuk itu sasaran Gerakan Pembaharuan atau reformasi adalah ingin
mengembalikan ajaran Islam kepada proporsi yang sebenarnya, yang berpedoman kepada Al
Qur'an dan Hadist Rassullulah SAW.

Dengan timbulnya ide pembaharuan itu, maka Gerakan Pem-baharuan di dunia Islam
bermunculan, seperti di Turki (1720), Mesir (1807). Begitu juga penganjurnya seperti Rifaah
Badawi Ath Tahtawi (1801-1873),

Muhammad Abduh (1849-1905),

Muhammad Ibnu Abdul Wahab (Wahabisme) di Saudi Arabia (1703-1787),

Sayyid Ahmad Khan di India (1817-1898),

Muhammad Iqbal di Pakistan (1876-1938) dan lain-lain.

2. Situasi NKRI (KEBANGSAAN)

Tahun 1596 Cornrlis de Houtman mendarat di Banten. Maka sejak itu pulalah Indonesia dijajah
Belanda. Imprealisme Barat selama ± 350 tahun membawa paling tidak 3 (tiga) hal :

•         Penjajahan itu sendiri dengan segala bentuk implikasinya.

Missi dan Zending agama Kristiani.

•         Peradaban Barat dengan ciri sekulerisme dan liberalisme.

•         Setelah melalui perjuangan secara terus menerus dan atas rahmat Allah SWT maka pada
tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta Sang Dwi Tunggal Proklamasi atas nama bangsa
Indonesia mengumandangkan kemerdekaannya.

Polemic yang menjadi latar belakang primer berdirinya HmI setelah kemerdekaan  RI

  Faktor Internal
Hadirnya PKI yang menguat pada awal kemerdekaan RI dan ingin merubah ideology pancasila
ke ideology komunis.

  Faktor Eksternal

Belanda belum mengakui kemerdekaan RI dengan kembali ingin menjajah RI sehingga terjadilah
AMB I pada tahun 1946 yang melahirkan perjanjian Renville dan AMB II yang melahirkan
perjanjian lingga jati pada tahun 1948.

3. Kondisi Mikrobiologis Ummat Islam di Indonesia (KEUMMATAN)

Kondisi ummat Islam sebelum berdirinya HMI dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) golongan,
yaitu :

Pertama : Sebagian besar yang melakukan ajaran Islam itu hanya sebagai kewajiban yang
diadatkan seperti dalam upacara perkawinan, kematian serta kelahiran.

Kedua : Golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang mengenal dan mempraktekkan
ajaran Islam sesuai yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.

Ketiga : Golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang terpengaruh oleh mistikisme yang
menyebabkan mereka berpendirian bahwa hidup ini adalah untuk kepentingan akhirat saja.

Keempat : Golongan kecil yang mencoba menyesuaikan diri dengan kemajuan jaman, selaras
dengan wujud dan hakekat agama Islam. Mereka berusaha supaya agama Islam itu benar-benar
dapat dipraktekkan dalam masyarakat Indonesia.

Kelima  : hadirnya 2 organisasi islam dari kaum priyayi (NU) dan kaum abangan (MUI) yang
saling mengklaim bahwa aliran merekalah yang benar sehingga melahirkan ambiguitas terhadap
masyarakat awam.

4.Kondisi Perguruan Tinggi dan Dunia Kemahasiswaan (KEMAHASISWAAN)

Ada dua faktor yang sangat dominan yang mewarnai Perguruan Tinggi (PT) dan dunia
kemahasiswaan sebelum HMI berdiri.

Pertama: sistem yang diterapkan dalam dunia pendidikan umumnya dan PT khususnya adalah
sistem pendidikan barat, yang mengarah kepada sekulerisme yang "mendangkalkan agama
disetiap aspek kehidupan manusia".

Kedua : adanya Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) dan Serikat Mahasiswa Indonesia
(SMI) di Surakarta dimana kedua organisasi ini dibawah pengaruh Komunis. Bergabungnya dua
faham ini (Sekuler dan Komunis), melanda dunia PT dan Kemahasiswaan, menyebabkan
timbulnya "Krisis Keseimbangan" yang sangat tajam, yakni tidak adanya keselarasan antara akal
dan kalbu, jasmani dan rohani, serta pemenuhan antara kebutuhan dunia dan akhirat.

Ketiga : Sistem sekularisasi dalam pendidikam sehingga menyebabkan degradasi nilai local
jenius mahasiswa Indonesia.

C. BERDIRINYA HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI

Latar Belakang Pemikiran

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) diprakasai oleh LAFRAN PANE, seorang mahasiswa STI
(Sekolah Tinggi Islam), kini UII (Universitas Islam Indonesia) yang masih duduk ditingkat I.
Tentang sosok Lafran Pane, dapat diceritakan secara garis besarnya antara lain bahwa Pemuda
Lafran Pane lahir di desa pagurabaan kec.Sipirok 38 Km dari kaki gunung sibual-bual ibukota
padang sidemuan Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Pemuda Lafran Pane yang tumbuh dalam
lingkungan nasionalis-muslim pernah menganyam pendidikan di Pesantren, Ibtidaiyah, Wusta
dan sekolah Muhammadiyah.

Adapun latar belakang pemikirannya dalam pendirian HMI adalah: "Melihat dan menyadari
keadaan kehidupan mahasiswa yang beragama Islam pada waktu itu, yang pada umumnya belum
memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Keadaan yang demikian adalah akibat dari sitem
pendidikan dan kondisi masyarakat pada waktu itu. Karena itu perlu dibentuk organisasi untuk
merubah keadaan tersebut. Organisasi mahasiswa ini harus mempunyai kemampuan untuk
mengikuti alam pikiran mahasiswa yang selalu menginginkan inovasi atau pembaharuan dalam
segala bidang, termasuk pemahaman dan penghayatan ajaran agamanya, yaitu agama Islam.
Tujuan tersebut tidak akan terlaksana kalau NKRI tidak merdeka, rakyatnya melarat. Maka
organisasi ini harus turut mempertahankan Negara Republik Indonesia kedalam dan keluar, serta
ikut memperhatikan dan mengusahakan kemakmuran rakyat.

Peristiwa Bersejarah 5 Februari 1947

Setelah beberapa kali mengadakan pertemuan yang berakhir dengan kegagalan. Lafran Pane
mengadakan rapat tanpa undangan, yaitu dengan mengadakan pertemuan secara mendadak yang
mempergunakan jam kuliah Tafsir. Ketika itu hari Rabu tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H,
bertepatan dengan 5 Februari 1947, disalah satu ruangan kuliah STI di Jalan Setiodiningratan
(sekarang Panembahan Senopati), masuklah mahasiswa Lafran Pane yang dalam prakatanya
dalam memimpin rapat antara lain mengatakan "Hari ini adalah pembentukan organisasi
Mahasiswa Islam, karena persiapan yang diperlukan sudah beres. Yang mau menerima HMI
sajalah yang diajak untuk mendirikan HMI, dan yang menentang biarlah terus menentang, toh
tanpa mereka organisasi ini bisa berdiri dan berjalan"

Pada awal pembentukkannya HMI bertujuan diantaranya antara lain:

1. Mempertahankan kemerdekaan RI dan mengangkat harkat dan martabat bangsa.

2. menjalankan syariat islam.

Sementara tokoh-tokoh pemula / pendiri HMI antara lain :

  Lafran Pane (Yogya),

  Karnoto Zarkasyi (Ambarawa),

  Dahlan Husein (Palembang),

  Maisaroh Hilal (Singapura),

  Suwali,

  Yusdi Ghozali (PII-Semarang),

  Mansyur, Siti Zainah (Palembang),

  M. Anwar (Malang),

  Hasan Basri,

  Marwan,

  Zulkarnaen,

  Tayeb Razak,

  Toha Mashudi (Malang),

  Baidron Hadi (Yogyakarta).

Faktor Pendukung Berdirinya HMI


Posisi dan arti kota Yogyakarta:

•Yogyakarta sebagai Ibukota NKRI dan Kota Perjuangan

•Pusat Gerakan Islam

•Kota Universitas/ Kota Pelajar

•Pusat Kebudayaan

•Terletak di Central of Java.

•Kebutuhan Penghayatan dan Keagamaan Mahasiswa

•Adanya tuntutan perang kemerdekaan bangsa Indonesia

•Adanya STI (Sekolah Tinggi Islam), BPT (Balai Perguruan Tinggi) Gajah Mada, STT (Sekolah
Tinggi Teknik).

•Adanya dukungan Presiden STI Prof. Abdul Kahar Muzakir

•Ummat Islam Indonesia mayoritas

Faktor Penghambat Berdirinya HMI

Munculnya reaksi-reaksi dari :

•Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY)

•Gerakan Pemuda Islam (GPII)

•Pelajar Islam Indonesia (PII)

Fase-Fase Perkembangan HMI dalam Perjuangan Bangsa Indonesia

1. Fase Konsolidasi Spiritual (1946-1947)   

Sudah diterangkan diatas       

2. Fase Pengokohan (5 Februari 1947 - 30 November 1947)        

Selama lebih kurang 9 (sembilan) bulan, reaksi-reaksi terhadap kelahiran HMI barulah berakhir.
Masa sembilan bulan itu dipergunakan untuk menjawab berbagai reaksi dan tantangan yang
datang silih berganti, yang kesemuanya itu semakin mengokohkan eksistensi HMI sehingga
dapat berdiri tegak dan kokoh.     

Fase Perjuangan Bersenjata (1947 - 1949) 

Seiring dengan tujuan HMI yang digariskan sejak awal berdirinya, maka konsekuensinya dalam
masa perang kemerdekaan, HMI terjun kegelanggang pertempuran melawan agresi yang
dilakukan oleh Belanda, membantu Pemerintah, baik langsung memegang senjata bedil dan
bambu runcing, sebagai staff, penerangan, penghubung. Untuk menghadapi pemberontakkan
PKI di Madiun 18 September 1948, Ketua PPMI/ Wakil Ketua PB HMI Ahmad Tirtosudiro
membentuk Corps Mahasiswa (CM), dengan Komandan Hartono dan wakil Komandan Ahmad
Tirtosudiro, ikut membantu Pemerintah menumpas pemberontakkan PKI di Madiun, dengan
mengerahkan anggota CM ke gunung-gunung, memperkuat aparat pemerintah. Sejak itulah
dendam kesumat PKI terhadap HMI tertanam. Dendam disertai benci itu nampak sangat
menonjol pada tahun '64-'65, disaat-saat menjelang meletusnya G30S/PKI.            

Fase Pertumbuhan dan Perkembangan HMI (1950-1963)           

Selama para kader HMI banyak yang terjun ke gelanggang pertempuran melawan pihak-pihak
agresor, selama itu pula pembinaan organisasi terabaikan. Namun hal itu dilakukan secara sadar,
karena itu semua untuk merealisir tujuan dari HMI sendiri, serta dwi tugasnya yakni tugas
Agama dan tugas Bangsa. Maka dengan adanya penyerahan kedaulatan Rakyat tanggal 27
Desember 1949, mahasiswa yang berniat untuk melanjutkan kuliahnya bermunculan di
Yogyakarta. Sejak tahun 1950 dilaksankanlah tugas-tugas konsolidasi internal organisasi.
Disadari bahwa konsolidasi organisasi adalah masalah besar sepanjang masa. Bulan Juli 1951 PB
HMI dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta.       

Fase Tantangan (1964 - 1965)          

Dendam sejarah PKI kepada HMI merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi HMI. Setelah
agitasi-agitasinya berhasil membubarkan Masyumi dan GPII, PKI menganggap HMI adalah
kekuatan ketiga ummat Islam. Begitu bersemangatnya PKI dan simpatisannya dalam
membubarkan HMI, terlihat dalam segala aksi-aksinya, Mulai dari hasutan, fitnah, propaganda
hingga aksi-aksi riil berupa penculikan, dsb.    

Usaha-usaha yang gigih dari kaum komunis dalam membubarkan HMI ternyata tidak menjadi
kenyataan, dan sejarahpun telah membeberkan dengan jelas siapa yang kontra revolusi, PKI
dengan puncak aksi pada tanggal 30 September 1965 telah membuatnya sebagai salah satu
organisasi terlarang.  

Fase Kebangkitan HMI sebagai Pelopor Orde Baru (1966 - 1968)          

HMI sebagai sumber insani bangsa turut mempelopori tegaknya Orde Baru untuk menghapuskan
orde lama yang sarat dengan ketotaliterannya. Usaha-usaha itu tampak antara lain HMI melalui
Wakil Ketua PB Mari'ie Muhammad memprakasai Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) 25
Oktober 1965 yang bertugas antara lain : 1) Mengamankan Pancasila. 2) Memperkuat bantuan
kepada ABRI dalam penumpasan Gestapu/ PKI sampai ke akar-akarnya. Masa aksi KAMI yang
pertama berupa Rapat Umum dilaksanakan tanggal 3 Nopember 1965 di halaman Fakultas
Kedokteran UI Salemba Jakarta, dimana barisan HMI menunjukan superioitasnya dengan
massanya yang terbesar. Puncak aksi KAMI terjadi pada tanggal 10 Januari 1966 yang
mengumandangkan tuntutan rakyat dalam bentuk Tritura yang terkenal itu. Tuntutan tersebut
ternyata mendapat perlakuan yang represif dari aparat keamanan sehingga tidak sedikit dari
pihak mahasiswa menjadi korban. Diantaranya antara lain : Arif rahman Hakim, Zubaidah di
Jakarta, Aris Munandar, Margono yang gugur di Yogyakarta, Hasannudin di Banjarmasin,
Muhammad Syarif al-Kadri di Makasar, kesemuanya merupakan pahlawan-pahlawan ampera
yang berjuang tanpa pamrih dan semata-mata demi kemaslahatan ummat serta keselamatan
bangsa serta negara. Akhirnya puncak tututan tersebut berbuah hasil yang diharap-harapkan
dengan keluarnya Supersemar sebagai tonggak sejarah berdirinya Orde Baru.        

Fase Pembangunan (1969 - 1970)

Setelah Orde Baru mantap, Pancasila dilaksanakan secara murni serta konsekuen (meski hal ini
perlu kajian lagi secara mendalam), maka sejak tanggal 1 April 1969 dimulailah Rencana
Pembangunan Lima Tahun (Repelita). HMI pun sesuai dengan 5 aspek pemikirannya turut pula
memberikan sumbangan serta partisipasinya dalam era awal pembagunan. Bentuk-bentuk
partisipasi HMI baik anggotanya maupun yang telah menjadi alumni meliputi diantaranya : 1)
partisipasi dalam pembentukan suasana, situasi dan iklim yang memungkinkan dilaksanakannya
pembangunan, 2) partisipasi dalam pemberian konsep-konsep dalam berbagai aspek pemikiran
3) partisipasi dalam bentuk pelaksana langsung dari pembangunan.          

Fase Pergolakan dan Pembaharuan Pemikiran (1970 - sekarang )         

Suatu ciri khas yang dibina oleh HMI, diantaranya adalah kebebasan berpikir dikalangan
anggotanya, karena pada hakikatnya timbulnya pembaharuan karena adanya pemikiran yang
bersifat dinamis dari masing-masing individu. Disebutkan bahwa fase pergolakan pemikiran ini
muncul pada tahun 1970, tetapi geja-gejalanya telah nampak pada tahun 1968. Namun
klimaksnya memang terjadi pada tahun 1970 di mana secara relatif masalah- masalah intern
organisasi yang rutin telah terselesaikan. Sementara di sisi lain, persoalan ekstern muncul
menghadang dengan segudang problema.    

MATERI NDP DI HMI

NILAI DASAR PERJUANGAN HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM

DASAR-DASAR KEPERCAYAAN

Manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan. Kepercayaan itu akan melahirkan tata nilai
guna menopang hidup dan budayanya. Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak
mungkin dapat terjadi. Tetapi selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan dalam waktu yang
sama juga harus merupakan kebenaran. Demikian pula cara berkepercayaan harus pula benar.
Menganut kepercayaan yang salah bukan saja tidak dikehendaki akan tetapi bahkan berbahaya.

Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam kenyataan kita temui bentuk-bentuk
kepercayaan yang beraneka ragam di kalangan masyarakat. Karena bentuk- bentuk kepercayaan
itu berbeda satu dengan yang lain, maka sudah tentu ada dua kemungkinan: kesemuanya itu
salah atau salah satu saja diantaranya yang benar. Disamping itu masing-masing bentuk
kepercayaan mungkin mengandung unsur-unsur kebenaran dan kepalsuan yang campur baur.

Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa kepercayaan itu melahirkan nilai-nilai.


Nilai-nilai itu kemudian melembaga dalam tradis-tradisi yang diwariskan turun temurun dan
mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Karena kecenderungan tradisi untuk tetap
mempertahankan diri terhadap kemungkinan perubahan nilai-nilai, maka dalam kenyataan
ikatan-ikatan tradisi sering menjadi penghambat perkembangan peradaban dan kemajuan
manusia. Disinilah terdapat kontradiksi kepercayaan diperlukan sebagai sumber tatanilai guna
menopang peradaban manusia, tetapi nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi yang membeku dan
mengikat, maka justru merugikan peradaban.

Oleh karena itu, pada dasarnya, guna perkembangan peradaban dan kemajuannya, manusia harus
selalu bersedia meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai yang tradisional, dan
menganut kepercayaan yang sungguh-sungguh yang merupakan kebenaran. Maka satu-satunya
sumber nilai dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran itu sendiri. Kebenaran merupakan asal dan
tujuan segala kenyataan. Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan Allah.

Perumusan kalimat persaksian (Syahadat) Islam yang kesatu : Tiada Tuhan selain Allah
mengandung gabungan antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan "Tidak ada Tuhan"
meniadakan segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan "Selain Allah" memperkecualikan
satu kepercayaan kepada kebenaran. Dengan peniadaan itu dimaksudkan agar manusia
membebaskan dirinya dari belenggu segenap kepercayaan yang ada dengan segala akibatnya,
dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar manusia hanya tunduk pada ukuran kebenaran
dalam menetapkan dan memilih nilai - nilai, itu berarti tunduk pada Allah, Tuhan Yang Maha
Esa, Pencipta segala yang ada termasuk manusia. Tunduk dan pasrah itu disebut Islam.

Tuhan itu ada, dan ada secara mutlak hanyalah Tuhan. Pendekatan ke arah pengetahuan akan
adanya Tuhan dapat ditempuh manusia dengan berbagai jalan, baik yang bersifat intuitif, ilmiah,
historis, pengalaman dan lain-lain. Tetapi karena kemutlakan Tuhan dan kenisbian manusia,
maka manusia tidak dapat menjangkau sendiri kepada pengertian akan hakekat Tuhan yang
sebenarnya. Namun demi kelengkapan kepercayaan kepada Tuhan, manusia memerlukan
pengetahuan secukupnya tentang Ketuhanan dan tatanilai yang bersumber kepada-Nya. Oleh
sebab itu diperlukan sesuatu yang lain yang lebih tinggi namun tidak bertentangan denga insting
dan indera.

Sesuatu yang diperlukan itu adalah "Wahyu" yaitu pengajaran atau pemberitahuan yang langsung
dari Tuhan sendiri kepada manusia. Tetapi sebagaimana kemampuan menerima pengetahuan
sampai ketingkat yang tertinggi tidak dimiliki oleh setiap orang, demikian juga wahyu tidak
diberikan kepada setiap orang. Wahyu itu diberikan kepada manusia tertentu yang memenuhi
syarat dan dipilih oleh Tuhan sendiri yaitu para Nabi dan Rasul atau utusan Tuhan. Dengan
kewajiban para Rosul itu untuk menyampaikannya kepada seluruh ummat manusia. Para rasul
dan nabi itu telah lewat dalam sejarah semenjak Adam, Nuh, Ibrahim, Musa,Isa atau Yesus anak
Mariam sampai pada Muhammad SAW. Muhammad adalah Rasul penghabisan, jadi tiada Rasul
lagi sesudahnya. Jadi para Nabi dan Rasul itu adalah manusia biasa dengan kelebihan bahwa
mereka menerima wahyu dari Tuhan.

Wahyu Tuhan yang diberikan kepada Muhammad SAW terkumpul seluruhnya dalam kitab suci
Al-Quran. Selain berarti bacaan, kata Al-Quran juga bearti "kumpulan" atau kompilasi, yaitu
kompilasi dari segala keterangan. Sekalipun garis-garis besar Al-Quran merupakan suatu
kompendium, yang singkat namun mengandung keterangan-keterangan tentang segala sesuatu
sejak dari sekitar alam dan manusia sampai kepada hal-hal gaib yang tidak mungkin diketahui
manusia dengan cara lain (16:89).

Jadi untuk memahami Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya, manusia harus
berpegang kepada Al-Quran dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan Muhammmad
SAW. Maka kalimat kesaksian yang kedua memuat esensi kedua dari kepercayaan yang harus
dianut manusia, yaitu bahwa Muhammad adalah Rosul Allah.

Kemudian di dalam Al-Quran didapat keterangan lebih lanjut tentang Ketuhanan Yang maha Esa
ajaran-ajaranNya yang merupakan garis besar dan jalan hidup yang mesti diikuti oleh manusia.
Tentang Tuhan antara lain: surat Al-Ikhlas (112: 1-4) menerangkan secara singkat; katakanlah :
"Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa. Dia itu adalah Tuhan. Tuhan tempat menaruh segala
harapan. Tiada Ia berputra dan tiada pula berbapa”. Selanjutnya Ia adalah Maha Kuasa, Maha
Mengetahui, Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Kasih dan Maha Sayang, Maha Pengampun dan
seterusnya daripada segala sifat kesempurnaan yang selayaknya bagi Yang Maha Agung dan
Maha Mulia, Tuhan seru sekalian Alam.

Juga diterangkan bahwa Tuhan adalah yang pertama dan yang penghabisan, Yang lahir dan Yang
Bathin (57:3), dan "kemanapun manusia berpaling maka disanalah wajah Tuhan" (2:115). Dan
"Dia itu bersama kamu kemanapun kamu berada" (57:4). Jadi Tuhan tidak terikat ruang dan
waktu.

Sebagai "yang pertama dan yang penghabisan", maka sekaligus Tuhan adalah asal dan tujuan
segala yang ada, termasuk tata nilai. Artinya; sebagaimana tata nilai harus bersumber kepada
kebenaran dan berdasarkan kecintaan kepadaNya, Iapun sekaligus menuju kepada kebenaran dan
mengarah kepada "persetujuan" atau "ridhanya". Inilah kesatuan antara asal dan tujuan hidup
yang sebenarnya (Tuhan sebagai tujuan hidup yang benar, diterangkan dalam bagian yang lain).

Tuhan menciptakan alam raya ini dengan sebenarnya, dan mengaturnya dengan pasti (6:73,
25:2). Oleh karena itu alam mempunyai eksistensi yang riil dan obyektif, serta berjalan
mengikuti hukum-hukum yang tetap. Dan sebagai ciptaan daripada sebaik-baiknya penciptanya,
maka alam mengandung kebaikan pada dirinya dan teratur secara harmonis (23:14). Nilai ciptaan
ini untuk manusia bagi keperluan perkembangan peradabannya (31:20)). Maka alam dapat dan
dijadikan obyek penyelidikan guna dimengerti hukum-hukum Tuhan (sunnatullah) yang berlaku
didalamnya. Kemudian manusia memanfaatkan alam sesuai dengan hukum-hukumnya sendiri
(10:101).

Jadi kenyataan alam ini berbeda dengan persangkaan idealisme maupun agama Hindu yang
mengatakan bahwa alam tidak mempunyai eksistensi riil dan obyektif, mulainkan semua palsu
atau maya atau sekedar emansipasi atau pancaran daripada dunia lain yang kongkrit, yaitu idea
atau nirwana (38:27). Juga tidak seperti dikatakan filsafat Agnosticisme yang mengatakan bahwa
alam tidak mungkin dimengerti manusia. Dan sekalipun filsafat materialisme mengatakan bahwa
alam ini mempunyai eksistensi riil dan obyektif sehingga dapat dimengerti oleh manusia, namun
filsafat itu mengatakan bahwa alam ada dengan sendirinya. Peniadaan pencipta ataupun
peniadaan Tuhan adalah satu sudut daripada filsafat materialisme.

Manusia adalah puncak ciptaan dan mahluk-Nya yang tertinggi (95:4, 17:70). Sebagai mahluk
tertinggi manusia dijadikan "Khalifah" atau wakil Tuhan di bumi (6:165). Manusia ditumbuhkan
dari bumi dan diserahi untuk memakmurkannya (11:61). Maka urusan di dunia telah diserahkan
Tuhan kepada manusia. Manusia sepenuhnya bertanggungjawab atas segala perbuatannya di
dunia. Perbuatan manusia ini membentuk rentetan peristiwa yang disebut "sejarah". Dunia adalah
wadah bagi sejarah, dimana manusia menjadi pemilik atau "rajanya".

Sebenarnya terdapat hukum-hukum Tuhan yang pasti (sunattullah) yang menguasai sejarah,
sebagaimana adanya hukum yang menguasai alam tetapi berbeda dengan alam yang telah ada
secara otomatis tunduk kepada sunatullah itu, manusia karena kesadaran dan kemampuannya
untuk mengadakan pilihan untuk tidak terlalu tunduk kepada hukum-hukum kehidupannya
sendiri (33:72). Ketidakpatuhan itu disebabkan karena sikap menentang atau kebodohan.

Hukum dasar alami daripada segala yang ada inilah "perubahan dan perkembangan", sebab:
segala sesuatu ini adalah ciptaan Tuhan dan pengembangan olehNya dalam suatu proses yang
tiada henti-hentinya (29:20). Segala sesuatu ini adalah berasal dari Tuhan dan menuju kepada
Tuhan. Maka satu-satunya yang tak mengenal perubahan hanyalah Tuhan sendiri, asal dan tujuan
segala sesuatu (28:88). Di dalam memenuhi tugas sejarah, manusia harus berbuat sejalan dengan
arus perkembangan itu menunju kepada kebenaran. Hal itu berarti bahwa manusia harus selalu
berorientasi kepada kebenaran, dan untuk itu harus mengetahui jalan menuju kebenaran itu
(17:72). Dia tidak mesti selalu mewarisi begitu saja nilai-nilai tradisional yang tidak
diketahuinya dengan pasti akan kebenarannya (17:26).

Oleh karena itu kehidupan yang baik adalah yang disemangati oleh iman dan diterangi oleh ilmu
(58:11). Bidang iman dan pencabangannya menjadi wewenang wahyu, sedangkan bidang ilmu
pengetahuan menjadi wewenang manusia untuk mengusahakan dan mengumpulkannya dalam
kehidupan dunia ini. Ilmu itu meliputi tentang alam dan tentang manusia (sejarah).

Untuk memperoleh ilmu pengetahuan tentang nilai kebenaran sejauh mungkin, manusia harus
melihat alam dan kehidupan ini sebagaimana adanya tanpa melekatkan padanya kualitas-kualitas
yang bersifat ketuhanan. Sebab sebagaimana diterangkan dimuka, alam diciptakan dengan wujud
yang nyata dan objektif sebagaimana adanya. Alam tidak menyerupai Tuhan, dan Tuhan pun
untuk sebagian atau seluruhnya tidak sama dengan alam. Sikap memper-Tuhan-kan atau
mensucikan (sakralisasi) haruslah ditujukan kepada Tuhan sendiri. - Tuhan Allah Yang Maha
Esa (41:37).

Ini disebut "Tauhid" dan lawannya disebut "syirik" artinya mengadakan tandingan terhadap
Tuhan, baik seluruhnya atau sebagian maka jelasnya bahwa syirik menghalangi perkembangan
dan kemajuan peradaban kemanusiaan menuju kebenaran.

Kesudahan sejarah atau kehidupan duniawi ini ialah "hari kiamat". Kiamat merupakan
permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi, yaitu kehidupan
akhirat. Kiamat disebut juga "hari agama", atau yaumuddin, dimana Tuhan menjadi satu-satunya
pemilik dan raja (1:4, 22:56, 40:16). Disitu tidak lagi terdapat kehidupan historis, seperti
kebebasan, usaha dan tata masyarakat. Tetapi yang ada adalah pertanggunggan jawab individu
manusia yang bersifat mutlak dihadapanillahi atas segala perbuatannya dahulu didalam sejarah
(2:48). Selanjutnya kiamat merupakan "hari agama", maka tidak yang mungkin kita ketahui
selain daripada yang diterangkan dalam wahyu. Tentang hari kiamat dan kelanjutannya /
kehidupan akhirat yang non-historis manusia hanya diharuskan percaya tanpa kemungkinan
mengetahui kejadian-kejadiannya (7:187).

2.

PENGERTIAN-PENGERTIAN DASAR TENTANG KEMANUSIAAN

Telah disebutkan di muka, bahwa manusia adalah puncak ciptaan, merupakan mahluk yang
tertinggi dan adalah wakil dari Tuhan di bumi. Sesuatu yang membuat manusia yang menjadi
manusia bukan hanya beberapa sifat atau kegiatan yang ada padanya, mulainkan suatu
keseluruhan susunan sebagai sifat-sifat dan kegiatan-kegiatan yang khusus dimiliki manusia saja
yaitu Fitrah. Fitrah membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung kepada
kebenaran (Hanief) (30:30).

"Dlamier" atau hati nurani adalah pemancar keinginan pada kebaikan, kesucian dan kebenaran.
Tujuan hidup manusia ialah kebenaran yang mutlak atau kebenaran yang terakhir, yaitu Tuhan
Yang Maha Esa (51:56, 3:156). Fitrah merupakan bentuk keseluruhan tentang diri manusia yang
secara asasi dan prinsipil membedakannya dari mahluk-mahluk yang lain. Dengan memenuhi
hati nurani, seseorang berada dalam fitrahnya dan menjadi manusia sejati.

Kehidupan dinyatakan dalam kerja atau amal perbuatanya (19:105, 53:39). Nilai- nilai tidak
dapat dikatakan hidup dan berarti sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan amaliah
yang kongkrit (61:2-3). Nilai hidup manusia tergantung kepada nilai kerjanya. Di dalam dan
melalui amal perbuatan yang berperikemanusiaan (fitrah sesuai dengan tuntutan hati nurani)
manusia mengecap kebahagiaan, dan sebaliknya di dalam dan melalui amal perbuatan yang tidak
berperikemanusiaan (jihad) ia menderita kepedihan (16:97, 4:111).

Hidup yang pernuh dan berarti ialah yang dijalani dengan sungguh-sungguh dan sempurna, yang
didalamnya manusia dapat mewujudkan dirinya dengan mengembangkan kecakapan-kecakapan
dan memenuhi keperluan-keperluannya. Manusia yang hidup berarti dan berharga ialah dia yang
merasakan kebahagiaan dan kenikmatan dalam kegiatan-kegiatan yang membawa perubahan
kearah kemajuan-kemajuan - baik yang mengenai alam maupun masyarakat - yaitu hidup
berjuang dalam arti yang seluas-luasnya (29:6).

Dia diliputi oleh semangat mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran (4:125). Dia menyerap
segala sesuatu yang baru dan berharga sesuai dengan perkembangan kemanusiaan dan
menyatakan dalam hidup berperadaban dan berkebudayaan (39:18). Dia adalah aktif, kreatif dan
kaya akan kebijaksanaan (wisdom, hikmah) (2:269). Dia berpengalaman luas, berpikir bebas,
berpandangan lapang dan terbuka, bersedia mengikuti kebenaran dari manapun datangnya
(6:125). Dia adalah manusia toleran dalam arti kata yang benar, penahan amarah dan pemaaf
(3:134). Keutamaan itu merupakan kekayaan manusia yang menjadi milik daripada pribadi-
pribadi yang senantiasa berkembang dan selamanya tumbuh kearah yang lebih baik.

Seorang manusia sejati (insan kamil) ialah yang kegiatan mental dan phisiknya merupakan suatu
keseluruhan. Kerja jasmani dan kerja rohani bukanlah dua kenyataan yang terpisah. Malahan dia
tidak mengenal perbedaan antara kerja dan kesenangan, kerja baginya adalah kesenggangan dan
kesenangan ada dalam dan melalui kerja. Dia berkepribadian, merdeka, memiliki dirinya sendiri,
menyatakan ke luar corak perorangannya dan mengembangkan kepribadian dan wataknya secara
harmonis. Dia tidak mengenal perbedaan antara kehidupan individu dan kehidupan komunal,
tidak membedakan antara perorangan dan sebagai anggota masyarakat. Hak dan kewajiban serta
kegiatan-kegiatan untuk dirinya adalah juga sekaligus untuk sesama ummat manusia.

Baginya tidak ada pembagian dua (dichotomy) antara kegiatan-kegiatan rokhani dan jasmani,
pribadi dan masyarakat, agama dan politik maupun dunia akherat. Kesemuanya dimanifestasikan
dalam suatu kesatuan kerja yang tunggal pancaran niatnya, yaitu mencari kebaikan, keindahan
dan kebenaran (98:5).

Dia seorang yang ikhlas, artinya seluruh amal perbuatannya benar-benar berasal dari dirinya
sendiri dan merupakan pancaran langsung dari pada kecenderungannya yang suci yang murni
(2:207, 76:89). Suatu pekerjaan dilakukan karena keyakinan akan nilai pekerjaan itu sendiri bagi
kebaikan dan kebenaran, bukan karena hendak memperoleh tujuan lain yang nilainya lebih
rendah (pamrih) (2:264). Kerja yang ikhlas mengangkat nilai kemanusiaan pelakunya dan
memberinya kebahagiaan (35:10). Hal itu akan menghilangkan sebab-sebab suatu jenis
pekerjaan ditinggalkan dan kerja amal akan menjadi kegiatan kemanusiaan yang paling berharga.
Keikhlasan adalah kunci kebahagiaan hidup manusia, tidak ada kebahagiaan sejati tanpa
keikhlasan dan keikhlasan selalu menimbulkan kebahagiaan.

Hidup fitrah ialah bekerja secara ikhlas yang memancarkan dari hati nurani yang hanief atau
suci.

3.

KEMERDEKAAN MANUSIA (IKHTIAR) DAN KEHARUSAN UNIVERSAL (TAKDIR)

Keikhlasan yang insani itu tidak mungkin ada tanpa kemerdekaan. Kemerdekaan dalam arti kerja
sukarela tanpa paksaan yang didorong oleh kemauan yang murni, kemerdekaan dalam pengertian
kebebasan memilih sehingga pekerjaan itu benar-benar dilakukan sejalan dengan hati nurani.
Keikhlasan merupakan pernyataan kreatif kehidupan manusia yang berasal dari perkembangan
tak terkekang daripada kemauan baiknya. Keikhlasan adalah gambaran terpenting daripada
kehidupan manusia sejati. Kehidupan sekarang di dunia dan abadi (external) berupa kehidupan
kelak sesudah mati di akherat. Dalam aspek pertama manusia melakukan amal perbuatan dengan
baik dan buruk yang harus dipikul secara individual, dan komunal sekaligus (8:25). Sedangkan
dalam aspek kedua manusia tidak lagi melakukan amal perbuatan, mulainkan hanya menerima
akibat baik dan buruk dari amalnya dahulu di dunia secara individual. Di akherat tidak terdapat
pertanggung jawaban bersama, tapi hanya ada pertanggung jawaban perseorangan yang mutlak
(2:48, 31:33). Manusia dilahirkan sebagai individu, hidup ditengah alam dan masyarakat
sesamanya, kemudian menjadi individu kembali.

Jadi individualitas adalah pernyataan asasi yang pertama dan terakhir, dari pada kemanusiaan,
serta letak kebenarannya daripada nilai kemanusiaan itu sendiri. Karena individu adalah
penanggung jawab terakhir dan mutlak daripada awal perbuatannya, maka kemerdekaan pribadi,
adalah haknya yang pertama dan asasi.

Tetapi individualitas hanyalah pernyataan yang asasi dan primer saja dari pada kemanusiaan.
Kenyataan lain, sekalipun bersifat sekunder, ialah bahwa individu dalam suatu hubungan tertentu
dengan dunia sekitarnya. Manusia hidup ditengah alam sebagai makhluk sosial hidup ditengah
sesama. Dari segi ini manusia adalah bagian dari keseluruhan alam yang merupakan satu
kesatuan.

Oleh karena itu kemerdekaan harus diciptakan untuk pribadi dalam kontek hidup ditengah
masyarakat. Sekalipun kemerdekaan adalah esensi daripada kemanusiaan, tidak berarti bahwa
manusia selalu dan dimana saja merdeka. Adanya batas-batas dari kemerdekaan adalah suatu
kenyataan. Batas-batas tertentu itu dikarenakan adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap
menguasai alam - hukum yang menguasai benda-benda maupun masyarakat manusia sendiri -
yang tidak tunduk dan tidak pula bergantung kepada kemauan manusia. Hukum-hukum itu
mengakibatkan adanya "keharusan universal" atau "kepastian umum" dan “takdir” (57:22).

Jadi kalau kemerdekaan pribadi diwujudkan dalam kontek hidup di tengah alam dan masyarakat
dimana terdapat keharusan universal yang tidak tertaklukan, maka apakah bentuk yang harus
dipunyai oleh seseorang kepada dunia sekitarnya? Sudah tentu bukan hubungan penyerahan,
sebab penyerahan berarti peniadaan terhadap kemerdekaan itu sendiri. Pengakuan akan adanya
keharusan universal yang diartikan sebagai penyerahan kepadanya sebelum suatu usaha
dilakukan berarti perbudakan. Pengakuan akan adanya kepastian umum atau takdir hanyalah
pengakuan akan adanya batas-batas kemerdekaan. Sebaliknya suatu persyaratan yang positif
daripada kemerdekaan adalah pengetahuan tentang adanya kemungkinan-kemungkinan kretif
manusia. Yaitu tempat bagi adanya usaha yang bebas dan dinamakan "ikhtiar" artinya pilih
merdeka.

Ikhtiar adalah kegiatan kemerdekaan dari individu, juga berarti kegiatan dari manusia merdeka.
Ikhtiar merupakan usaha yang ditentukan sendiri dimana manusia berbuat sebagai pribadi
banyak segi yang integral dan bebas; dan dimana manusia tidak diperbudak oleh suatu yang lain
kecuali oleh keinginannya sendiri dan kecintaannya kepada kebaikan. Tanpa adanya kesempatan
untuk berbuat atau berikhtiar, manusia menjadi tidak merdeka dan menjadi tidak bisa dimengerti
untuk memberikan pertanggung jawaban pribadi dari amal perbuatannya. Kegiatan merdeka
berarti perbuatan manusia yang merubah dunia dan nasibnya sendiri (13:11). Jadi sekalipun
terdapat keharusan universal atau takdir manusia dengan haknya untuk berikhtiar mempunyai
peranan aktif dan menentukan bagi dunia dan dirinya sendiri.

Manusia tidak dapat berbicara mengenai takdir suatu kejadian sebelum kejadian itu menjadi
kenyataan. Maka percaya kepada takdir akan membawa keseimbangan jiwa tidak terlalu
berputus asa karena suatu kegagalan dan tidak perlu membanggakan diri karena suatu
kemunduran. Sebab segala sesuatu tidak hanya terkandung pada dirinya sendiri, mulainkan juga
kepada keharusan yang universal itu (57:23).

4.

KETUHANAN YANG MAHA ESA DAN PERIKEMANUSIAAN

Telah jelas bahwa hubungan yang benar antara individu manusia dengan dunia sekitarnya bukan
hubungan penyerahan. Sebab penyerahan meniadakan kemerdekaan dan keikhklasan dan
kemanusiaan. Tetapi jelas pula bahwa tujuan manusia hidup merdeka dengan segala kegiatannya
ialah kebenaran. Oleh karena itu sekalipun tidak tunduk pada sesuatu apapun dari dunia
sekelilingnya, namun manusia merdeka masih dan mesti tunduk kepada kebenaran. Karena
menjadikan sesuatu sebagai tujuan adalah berarti pengabdian kepada-Nya.

Jadi kebenaran-kebenaran menjadi tujuan hidup dan apabila demikian maka sesuai dengan
pembicaraan terdahulu maka tujuan hidup yang terakhir dan mutlak ialah kebenaran terakhir dan
mutlak sebagai tujuan dan tempat menundukkan diri. Adakah kebenaran terakhir dan mutlak itu?
Ada, sebagaimana tujuan akhir dan mutlak daripada hidup itu ada. Karena sikapnya yang
terakhir (ultimate) dan mutlak maka sudah pasti kebenaran itu hanya satu secara mutlak pula.

Dalam perbendaharaan kata dan kulturiil, kita sebut kebenaran mutlak itu "Tuhan", kemudian
sesuai dengan uraian Bab I, Tuhan itu menyatakan diri kepada manusia sebagai Allah (31:30).
Karena kemutlakannya, Tuhan bukan saja tujuan segala kebenaran (3:60). Maka dia adalah Yang
Maha Benar. Setiap pikiran yang maha benar adalah pada hakikatnya pikiran tentang Tuhan
YME.

Oleh sebab itu seseorang manusia merdeka ialah yang ber-ketuhanan Yang Maha Esa. Keiklasan
tiada lain adalah kegiatan yang dilakukan semata-mata bertujuan kepada Tuhan YME, yaitu
kebenaran mutlak, guna memperoleh persetujuan atau "ridho" daripada-Nya. Sebagaimana
kemanusiaan terjadi karena adanya kemerdekaan dan kemerdekaan ada karena adanya tujuan
kepada Tuhan semata-mata. Hal itu berarti segala bentuk kegiatan hidup dilakukan hanyalah
karena nilai kebenaran itu yang terkandung didalamnya guna mendapat pesetujuan atau ridho
kebenaran mutlak. Dan hanya pekerjaan "karena Allah" itulah yang bakal memberikan rewarding
bagi kemanusiaan (92:19-21).

Kata "iman" berarti percaya dalam hal ini percaya kepada Tuhan sebagai tujuan hidup yang
mutlak dan tempat mengabdikan diri kepada-Nya. Sikap menyerahkan diri dan mengabdi kepada
Tuhan itu disebut Islam. Islam menjadi nama segenap ajaran pengabdian kepada Tuhan YME
(3:19). Pelakunya disebut "Muslim". Tidak lagi diperbudak oleh sesama manusia atau sesuatu
yang lain dari dunia sekelilingnya, manusia muslim adalah manusia yang merdeka yang
menyerahkan dan menyembahkan diri kepada Tuhan YME (33:39). Semangat tauhid
(memutuskan pengabdian hanya kepada Tuhan YME) menimbulkan kesatuan tujuan hidup,
kesatuan kepribadian dan kemasyarakatan. Kehidupan bertauhid tidak lagi berat sebelah, parsial
dan terbatas. Manusia bertauhid adalah manusia yang sejati dan sempurna yang kesadaran akan
dirinya tidak mengenal batas.

Dia adalah pribadi manusia yang sifat perorangannya adalah keseluruhan (totalitas) dunia
kebudayaan dan peradaban. Dia memiliki seluruh dunia ini dalam arti kata mengambil bagian
sepenuh mungkin dalam menciptakan dan menikmati kebaikan-kebaikan dan peradaban
kebudayaan.

Pembagian kemanusiaan yang tidak selaras dengan dasar kesatuan kemanusiaan (human totality)
itu antara lain ialah pemisahan antara eksistensi ekonomi dan moral manusia, antara kegiatan
duniawi dan ukhrowi antara tugas-tugas peradaban dan agama. Demikian pula sebaliknya,
anggapan bahwa manusia adalah tujuan pada dirinya membela kemanusiaan seseorang menjadi:
manusia sebagai pelaku kegiatan dan manusia sebagai tujuan kegiatan. Kepribadian yang pecah
berlawanan dengan kepribadian kesatuan (human totality) yang homogen dan harmonis pada
dirinya sendiri: jadi berlawanan dengan kemanusiaan.

Oleh karena hakikat hidup adalah amal perbuatan atau kerja, maka nilai-nilai tidak dapat
dikatakan ada sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan konkrit dan nyata (26:226).
Kecintaan kepada Tuhan sebagai kebaikan, keindahan dan kebenaran yang mutlak dengan
sendirinya memancar dalam kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan alam dan
masyarakat, berupa usaha-usaha yang nyata guna menciptakan sesuatu yang membawa kebaikan,
keindahan dan kebenaran bagi sesama manusia "amal saleh" (harfiah: pekerjaan yang selaras
dengan kemanusiaan) merupakan pancaran langsung daripada iman (lihat Qur’an:
aamanuwa’amilushshaalihaat, tdk kurang dari 50 x pengulangan kombinasi kata). Jadi
Ketuhanan YME memancar dalam perikemanusiaan. Sebaliknya karena kemanusiaan adalah
kelanjutan kecintaan kepada kebenaran maka tidak ada perikemanusiaan tanpa Ketuhanan YME.
Perikemanusiaan tanpa Ketuhanan adalah tidak sejati (24:39). Oleh karena itu semangat
Ketuhanan YME dan semangat mencari ridho daripada-Nya adalah dasar peradaban yang benar
dan kokoh. Dasar selain itu pasti goyah dan akhirnya membawa keruntuhan peradaban (9:109).

"Syirik" merupakan kebalikan dari tauhid, secara harafiah artinya mengadakan tandingan, dalam
hal ini kepada Tuhan. Syirik adalah sifat menyerah dan menghambakan diri kepada sesuatu
selain kebenaran baik kepada sesama manusia maupun alam. Karena sifatnya yang meniadakan
kemerdekaan asasi, syirik merupakan kejahatan terbesar kepada kemanusiaan (31:13). Pada
hakikatnya segala bentuk kejahatan dilakukan orang karena syirik (6:82). Sebab dalam
melakukan kejahatan itu dia menghambakan diri kepada motif yang mendorong dilakukannya
kejahatan tersebut yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran. Demikian pula karena
syirik seseorang mengadakan pamrih atas pekerjaan yang dilakukannya (Hadist, “sesunggunya
sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kamu sekalian adalah syirik kecil, yaitu riya -
pamrih”. Rawahu Ahmad, hadist hasan). Dia bekerja bukan karena nilai pekerjaan itu sendiri
dalam hubungannya dengan kebaikan, keindahan dan kebenaran, tetapi karena hendak
memperoleh sesuatu yang lain.

"Musyrik" adalah pelaku daripada syirik. Seseorang yang menghambakan diri kepada sesuatu
selain Tuhan baik manusia maupun alam disebut musyrik, sebab dia mengangkat sesuatu selain
Tuhan menjadi setingkat dengan Tuhan (3:64). Demikian pula seseorang yang menghambakan
(sebagaimana dengan tiran atau diktator) adalah musyrik, sebab dia mengangkat dirinya sendiri
setingkat dengan Tuhan (28:4). Kedua perlakuan itu merupakan penentang terhadap
kemanusiaan, baik bagi dirinya sendiri maupun kepada orang lain.

Maka sikap berperikemanusiaan adalah sikap yang adil, yaitu sikap menempatkan sesuatu
kepada tempatnya yang wajar, seseorang yang adil (wajar) ialah yang memandang manusia.
Tidak melebihkan sehingga menghambakan dirinya kepada-Nya. Dia selau menyimpan itikad
baik dan lebih baik (ikhsan). Maka ketuhanan menimbulkan sikap yang adil kepada sesama
manusia (16:90).

5.

INDIVIDU DAN MASYARAKAT

Telah diterangkan dimuka, bahwa pusat kemanusiaan adalah masing-masing pribadinya dan
bahwa kemerdekaan pribadi adalah hak asasinya yang pertama. Tidak sesuatu yang lebih
berharga daripada kemerdekaan itu. Juga telah dikemukakan bahwa manusia hidup dalam suatu
bentuk hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya, sebagai mahkluk sosial, manusia tidak
mungkin memenuhi kebutuhan kemanusiaannya dengan baik tanpa berada ditengah sesamanya
dalam bentuk-bentuk hubungan tertentu.
Maka dalam masyarakat itulah kemerdekaan asasi diwujudkan. Justru karena adanya
kemerdekaan pribadi itu maka timbul perbedaan-perbedaan antara suatu pribadi dengan lainnya
(43:32). Sebenarnya perbedaan-perbedaan itu adalah untuk kebaikannya sendiri: sebab kenyataan
yang penting dan prinsipil, ialah bahwa kehidupan ekonomi, sosial, dan kultural menghendaki
pembagian kerja yang berbeda-beda (5:48).

Pemenuhan suatu bidang kegiatan guna kepentingan masyarakat adalah suatu keharusan,
sekalipun hanya oleh sebagian anggotanya saja (92:4). Namun sejalan dengan prinsip
kemanusiaan dan kemerdekaan, dalam kehidupan yang teratur tiap-tiap orang harus diberi
kesempatan untuk memilih dari beberapa kemungkinan dan untuk berpindah dari satu
lingkungan ke lingkungan lainnya (17:84, 39:39). Peningkatan kemanusiaan tidak dapat terjadi
tanpa memberikan kepada setiap orang keleluasaan untuk mengembangkan kecakapannya
melalui aktifitas dan kerja yang sesuai dengan kecenderungannya dan bakatnya.

Namun inilah kontradiksi yang ada pada manusia dia adalah mahkluk yang sempurna dengan
kecerdasan dan kemerdekaannya dapat berbuat baik kepada sesamanya, tetapi pada waktu yang
sama ia merasakan adanya pertentangan yang konstan dan keinginan tak terbatas sebagai hawa
nafsu. Hawa nafsu cenderung kearah merugikan orang lain (kejahatan) dan kejahatan dilakukan
orang karena mengikuti hawa nafsu (12:53, 30:29).

Ancaman atas kemerdekaan masyarakat, dan karena itu juga berarti ancaman terhadap
kemerdekaan pribadi anggotanya ialah keinginan tak terbatas atau hawa nafsu tersebut, maka
selain kemerdekaan, persamaan hak antara sesama manusia adalah esensi kemanusiaan yang
harus ditegakkan. Realisasi persamaan dicapai dengan membatasi kemerdekaan. Kemerdekaan
tak terbatas hanya dapat dipunyai satu orang, sedangkan untuk lebih satu orang, kemerdekaan tak
terbatas tidak dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan, kemerdekaan seseorang dibatasi oleh
kemerdekaan orang lain. Pelaksanaan kemerdekaan tak terbatas hanya berarti pemberian
kemerdekaan kepada pihak yang kuat atas yang lemah (perbudakan dalam segala bentuknya),
sudah tentu hak itu bertentangan dengan prinsip keadilan. Kemerdekaan dan keadilan merupakan
dua nilai yang saling menopang. Sebab harga diri manusia terletak pada adanya hak bagi orang
lain untuk mengembangkan kepribadiannya. Sebagai kawan hidup dengan tingkat yang sama.
Anggota masyarakat harus saling menolong dalam membentuk masyarakat yang bahagia (5:2).

Sejarah dan perkembangannya bukanlah suatu yang tidak mungkin dirubah. Hubungan yang
benar antara manusia dengan sejarah bukanlah penyerahan pasif. Tetapi sejarah ditentukan oleh
manusia sendiri. Tanpa pengertian ini adanya azab Tuhan (akibat buruk) dan pahala (akibat baik)
bagi satu amal perbuatan mustahil ditanggung manusia (99:7-8). Manusia merasakan akibat amal
perbuatannya sesuai dengan ikhtiar. Dalam hidup ini (dalam sejarah) dalam hidup kemudian -
sesudah sejarah (9:74, 16:30). Semakin seseorang bersungguh-sungguh dalam kekuatan yang
bertanggung jawab dengan kesadaran yang terus menerus akan tujuan dalam membentuk
masyarakat semakin ia mendekati tujuan (29:69).
Manusia mengenali dirinya sebagai makhluk yang nilai dan martabatnya dapat sepenuhnya
dinyatakan, jika ia mempunyai kemerdekaan tidak saja mengatur hidupnya sendiri tetapi juga
untuk memperbaiki dengan sesama manusia dalam lingkungan masyarakat. Dasar hidup gotong-
royong ini ialah keistimewaan dan kecintaan sesama manusia dalam pengakuan akan adanya
persamaan dan kehormatan bagi setiap orang (49:13, 49:10).

6.

KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN EKONOMI

Telah kita bicarakan tentang hubungan antara individu dengan masyarakat dimana kemerdekaan
dan pembatas kemerdekaan saling bergantungan, dan dimana perbaikan kondisi masyarakat
tergantung pada perencanaan manusia dan usaha-usaha bersamanya. Jika kemerdekaan dicirikan
dalam bentuk yang tidak bersyarat (kemerdekaan tak terbatas) maka sudah terang bahwa setiap
orang diperbolehkan mengejar dengan bebas segala keinginan pribadinya.

Akibatnya pertarungan keinginan yang bermacam-macam itu satu sama lain dalam kekacauan
atau anarchi (92:8-10). Sudah barang tentu menghancurkan masyarakat dan meniadakan
kemanusiaan sebab itu harus ditegakkan keadilan dalam masyarakat (5:8). Siapakah yang harus
menegakkan keadilan, dalam masyarakat? Sudah barang pasti ialah masyarakat sendiri, tetapi
dalam prakteknya diperlukan adanya satu kelompok dalam masyarakat yang karena kualitas-
kualitas yang dimilikinya senantiasa mengadakan usaha-usaha menegakkan keadilan itu dengan
jalan selalu menganjurkan sesuatu yang bersifat kemanusiaan serta mencegah terjadinya sesuatu
yang berlawanan dengan kemanusiaan (2:104).

Kualitas terpenting yang harus dipunyainya, ialah rasa kemanusiaan yang tinggi sebagai
pancaran kecintaan yang tak terbatas pada Tuhan. Di samping itu diperlukan kecakapan yang
cukup. Kelompok orang-orang itu adalah pimpinan masyarakat; atau setidak-tidaknya mereka
adalah orang-orang yang seharusnya memimpin masyarakat. Memimpin adalah menegakkan
keadilan, menjaga agar setiap orang memperoleh hak asasinya, dan dalam jangka waktu yang
sama menghormati kemerdekaan orang lain dan martabat kemanusiaannya sebagai manifestasi
kesadarannya akan tanggung jawab sosial.

Negara adalah bentuk masyarakat yang terpenting, dan pemerintah adalah susunan masyarakat
yang terkuat dan berpengaruh. Oleh sebab itu pemerintah yang pertama berkewajiban
menegakkan kadilan. Maksud semula dan fundamental daripada didirikannya negara dan
pemerintah ialah guna melindungi manusia yang menjadi warga negara daripada kemungkinan
perusakkan terhadap kemerdekaan dan harga diri sebagai manusia sebaliknya setiap orang
mengambil bagian pertanggungjawaban dalam masalah-masalah atas dasar persamaan yang
diperoleh melalui demokrasi.
Pada dasarnya masyarakat dengan masing-masing pribadi yang ada didalamnya haruslah
memerintah dan memimpin diri sendiri (Hadist: “kullukumraainwakullukum mas uulun
‘anraiyyatih” -Bukhari & Muslim). Oleh karena itu pemerintah haruslah merupakan kekuatan
pimpinan yang lahir dari masyarakat sendiri. Pemerintah haruslah demokratis, berasal dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, menjalankan kebijaksanaan atas persetujuan rakyat
berdasarkan musyawarah dan dimana keadilan dan martabat kemanusiaan tidak terganggu
(42:28, 42:42). Kekuatan yang sebenarnya didalam negara ada ditangan rakyat, dan pemerintah
harus bertanggung jawab pada rakyat.

Menegakkan keadilan mencakup penguasaan atas keinginan-keinginan dan kepentingan-


kepentingan pribadi yang tak mengenal batas (hawa nafsu). Adalah kewajiban dari negara sendiri
dan kekuatan-kekuatan sosial untuk menjunjung tinggi prinsip kegotongroyongan dan kecintaan
sesama manusia. Menegakkan keadilan adalah amanat rakyat kepada pemerintah yang musti
dilaksanakan (4:58). Ketaatan rakyat kepada pemerintah yang adil merupakan ketaatan kepada
diri sendiri yang wajib dilaksanakan. Didasari oleh sikap hidup yang benar, ketaatan kapada
pemerintah termasuk dalam lingkungan ketaatan kepada Tuhan (Kebenaran Mutlak) dan
Rasulnya (pengajar tentang Kebenaran) (4:59). Pemerintah yang benar dan harus ditaati ialah
mengabdi kepada kemanusiaan, kebenaran dan akhirnya kepada Tuhan YME (5:45).

Perwujudan menegakkan keadilan yang terpenting dan berpengaruh ialah menegakkan keadilan
di bidang ekonomi atau pembagian kekeyaandiantara anggota masyarakat. Keadilan menuntut
agar setiap orang dapat bagian yang wajar dari kekayaan atau rejeki. Dalam masyarakat yang
tidak mengenal batas-batas individual, sejarah merupakan perjuangan dialektis yang berjalan
tanpa kendali dari pertentangan-pertentangan golongan yang didorong oleh ketidakserasian
antara pertumbuhan kekuatan produksi disatu pihak dan pengumpulan kekayaan oleh golongan-
golongan kecil dengan hak-hak istimewa dilain pihak (57:20). Karena kemerdekaan tak terbatas
mendorong timbulnya jurang-jurang pemisah antara kekayaan dan kemiskinan yang semakin
dalam. Proses selanjutnya - yaitu bila sudah mencapai batas maksimal - pertentangan golongan
itu akan menghancurkan sendi-sendi tatanan sosial dan membinasakan kemanusiaan dan
peradabannya (17:16).

Dalam masyarakat yang tidak adil, kekeyaan dan kemiskinan akan terjadi dalam kualitas dan
proporsi yang tidak wajar sekalipun realitas selalu menunjukkan perbedaan-perbedaan antara
manusia dalam kemampuan fisik maupun mental namun dalam kemiskinan dalam masyarakat
dengan pemerintah yang tidak menegakkan keadilan adalah keadilan yang merupakan
perwujudan dari kezaliman. Orang-orang kaya menjadi pelaku daripada kezaliman sedangkan
orang-orang miskin dijadikan sasaran atau korbannya. Oleh karena itu sebagai yang menjadi
sasaran kezaliman, orang-orang miskin berada dipihak yang benar. Pertentangan antara kaum
miskin menjadi pertentangan antara kaum yang menjalankan kezaliman dan yang dizalimi.
Dikarenakan kebenaran pasti menang terhadap kebhatilan, maka pertentangan itu disudahi
dengan kemenangan tak terhindar bagi kaum miskin, kemudian mereka memegang tampuk
pimpinan dalam masyarakat (4:160-161, 26:182-183, 2:279, 28:5).

Kejahatan di bidang ekonomi yang menyeluruh adalah penindasan oleh kapitalisme. Dengan
kapitalisme dengan mudah seseorang dapat memeras orang-orang yang berjuang
mempertahankan hidupnya karena kemiskinan, kemudian merampas hak-haknya secara tidak
sah, berkat kemampuannya untuk memaksakan persyaratan kerjanya dan hidup kepada mereka.
Oleh karena itu menegakkan keadilan mencakup pemberantasan kapitalisme dan segenap usaha
akumulasi kekayaan pada sekelompok kecil masyarakat (2:278-279). Sesudah syirik, kejahatan
terbesar kepada kemanusiaan adalah penumpukan harta kekayaan beserta penggunaanya yang
tidak benar, menyimpang dari kepentingan umum, tidak mengikuti jalan Tuhan (104:1-3). Maka
menegakkan keadilan inilah membimbing manusia ke arah pelaksanaan tata masyarakat yang
akan memberikan kepada setiap orang kesempatan yang sama untuk mengatur hidupnya secara
bebas dan terhormat (amar ma'ruf) dan pertentangan terus menerus terhadap segala bentuk
penindasan kepada manusia kepada kebenaran asasinya dan rasa kemanusiaan (nahi munkar).
Dengan perkataan lain harus diadakan restriksi-restriksi atau cara-cara memperoleh,
mengumpulkan dan menggunakan kekayaan itu. Cara yang tidak bertentangan dengan
kamanusiaan diperbolehkan (yang ma'ruf dihalalkan) sedangkan cara yang bertentangan dengan
kemanusiaan dilarang (yang munkar diharamkan) (3:110).

Pembagian ekonomi secara tidak benar itu hanya ada dalam suatu masyarakat yang tidak
menjalankan prisip Ketuhanan YME, dalam hal ini pengakuan berketuhanan YME tetapi tidak
melaksanakannya sama nilainya dengan tidak berketuhanan sama sekali. Sebab nilai-nilai yang
tidak dapat dikatakan hidup sebelum menyatakan diri dalam amal perbuatan yang nyata (61:2-3).

Dalam suatu masyarakat yang tidak menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tempat tunduk dan
menyerahkan diri, manusia dapat diperbudaknya antara lain oleh harta benda. Tidak lagi seorang
pekerja menguasai hasil pekerjaanya, tetapi justru dikuasai oleh hasil pekerjaan itu. Produksi
seorang buruh memperbesar kapital majikan dan kapital itu selanjutnya lebih memperbudak
buruh. Demikian pula terjadi pada majikan bukan ia menguasai kapital tetapi kapital itulah yang
menguasainya. Kapital atau kekayaan telah menggenggam dan memberikan sifat-sifat tertentu
seperti keserakahan, ketamakan dan kebengisan.

Oleh karena itu menegakkan keadilan bukan saja dengan amar ma'ruf nahi munkar sebagaimana
diterapkan dimuka, tetapi juga melalui pendidikan yang intensif terhadap pribadi-pribadi agar
tetap mencintai kebenaran dan menyadari secara mendalam akan andanya tuhan. Sembahyang
merupakan pendidikan yang kontinyu, sebagai bentuk formil peringatan kepada tuhan.
Sembahyang yang benar akan lebih efektif dalam meluruskan dan membetulkan garis hidup
manusia. Sebagaimana ia mencegah kekejian dan kemungkaran (29:45). Jadi sembahyang
merupakan penopang hidup yang benar (Hadist: “sembahyang adalah tiang agama. Barangsiapa
mengerjakannya berarti menegakkan agama. Barangsiapa meninggalkannya berarti merobohkan
agama” -Baihaqi). Sembahyang menyelesaikan masalah - masalah kehidupan, termasuk
pemenuhan kebutuhan yang ada secara instrinsik pada rohani manusia yang mendalam, yaitu
kebutuhan sepiritual berupa pengabdian yang bersifat mutlak (31:30). Pengabdian yang tidak
tersalurkan secara benar kepada tuhan YME tentu tersalurkan kearah sesuatu yang lain. Dan
membahayakan kemanusiaan. Dalam hubungan itu telah terdahulu keterangan tentang syirik
yang merupakan kejahatan fundamental terhadap kemanusiaan.

Dalam masyarakat yang adil mungkin masih terdapat pembagian manusia menjadi golongan
kaya dan miskin. Tetapi hal itu terjadi dalam batas - batas kewajaran dan kemanusian dengan
pertautan kekayaan dan kemiskinan yang mendekat. Hal itu sejalan dengan dibenarkannya
pemilikan pribadi (privateownership) atas harta kekayaan dan adanya perbedaan - perbedaan tak
terhindar dari pada kemampuan - kemampuan pribadi, fisik maupun mental (30:37).

Walaupun demikian usaha - usaha kearah perbaikan dalam pembagian rejeki ke arah yang
merata tetap harus dijalankan oleh masyarakat. Dalam hal ini zakat adalah penyelesaian terakhir
masalah perbedaan kaya dan miskin itu. Zakat dipungut dari orang - orang kaya dalam jumlah
presentase tertentu untuk dibagikan kepada orang miskin (9:60). Zakat dikenakan hanya atas
harta yang diperoleh secara benar, sah, dan halal saja. Sedang harta kekayaan yang haram tidak
dikenakan zakat tetapi harus dijadikan milik umum guna manfaat bagi rakyat dengan jalan
penyitaan oleh pemerintah. Oleh karena itu, sebelum penarikan zakat dilakukan terlebih dahulu
harus dibentuk suatu masyarakat yang adil berdasarkan ketuhanan Tuhan Yang Maha Esa,
dimana tidak lagi didapati cara memperoleh kekayaan secara haram, dimana penindasan atas
manusia oleh manusia dihapuskan (2:188).

Sebagaimana ada ketetapan tentang bagaimana harta kekayaan itu diperoleh, juga ditetapkan
bagaimana mempergunakan harta kekayaan itu. Pemilikan pribadi dibenarkan hanya jika hanya
digunakan hak itu tidak bertentangan, pemilikan pribadi menjadi batal dan pemerintah berhak
mengajukan konfiskasi.

Seorang dibenarkan mempergunakan harta kekayaan dalam batas - batas tertentu, yaitu dalam
batas tidak kurang tetapi juga tidak melebihi rata - rata penggunaan dalam masyarakat (25:67).
Penggunaan yang berlebihan (tabzier atau israf) bertentangan dengan perikemanusiaan (17:26-
27). Kemewahan selalu menjadi provokasi terhadap pertentangan golongan dalam masyarakat
membuat akibat destruktif (17:16). Sebaliknya penggunaan kurang dari rata-rata masyarakat
(taqti) merusakkan diri sendiri dalam masyarakat disebabkan membekunya sebagian dari
kekayaan umum yang dapat digunakan untuk manfaat bersama (47:38).

Hal itu semuanya merupakan kebenaran karena pada hakekatnya seluruh harta kekayaan ini
adalah milik Tuhan (10:55). Manusia seluruhnya diberi hak yang sama atas kekayaan itu dan
harus diberikan bagian yang wajar dari padanya (7:10).
Pemilikan oleh seseorang (secara benar) hanya bersifat relatif sebagai mana amanat dari Tuhan.
Penggunaan harta itu sendiri harus sejalan dengan yang dikehendaki tuhan, untuk kepentingan
umum (57:7). Maka kalau terjadi kemiskinan, orang - orang miskin diberi hak atas sebagian
harta orang - orang kaya, terutama yang masih dekat dalam hubungan keluarga (70:24-25).
Adalah kewajiban negara dan masyarakat untuk melindungi kehidupan keluarga dan
memberinya bantuan dan dorongan. Negara yang adil menciptakan persyaratan hidup yang wajar
sebagaimana yang diperlukan oleh pribadi-pribadi agar diandan keluarganya dapat mengatur
hidupnya secara terhormat sesuai dengan kainginan-keinginannya untuk dapat menerima
tanggungjawab atas kegiatan-kegiatnnya. Dalam prakteknya, hal itu berarti bahwa pemerintah
harus membuka jalan yang mudah dan kesempatan yang sama kearah pendidikan, kecakapan
yang wajar kemerdekaan beribadah sepenuhnya dan pembagian kekayaan bangsa yang pantas.

7.

KEMANUSIAAN DAN ILMU PENGETAHUAN

Dari seluruh uraian yang telah di kemukakan, dapatlah disimpulkan dengan pasti bahwa inti dari
pada kemanusiaan yang suci adalah Iman dan kerja kemanusiaan atau Amal Saleh (95:6).

Iman dalam pengertian kepercayaan akan adanya kebenaran mutlak yaitu Tuhan Yang Maha
Esa, serta menjadikanya satu-satunya tujuan hidup dan tempat pengabdian diri yang terakhir dan
mutlak. Sikap itu menimbulkan kecintaan tak terbatas pada kebenaran, kesucian dan kebaikan
yang menyatakan dirinya dalam sikap pri kemanusiaan. Sikap pri kemanusiaan menghasilkan
amal saleh, artinya amal yang bersesuaian dengan dan meningkatkan kemanusiaan. Sebaik-
baiknya manusia ialah yang berguna untuk sesamanya. Tapi bagaimana hal itu harus dilakukan
manusia?.

Sebagaimana setiap perjalanan kearah suatu tujuan ialah gerakan kedepan demikian pula
perjalanan ummat manusia atau sejarah adalah gerakan maju kedepan. Maka semua nilai dalam
kehidupan relatif adanya berlaku untuk suatu tempat dan suatu waktu tertentu. Demikianlah
segala sesuatu berubah, kecuali tujuan akhir dari segala yang ada yaitu kebenaran mutlak
(Tuhan) (28:88). Jadi semua nilai yang benar adalah bersumber atau dijabarkan dari ketentuan-
ketentuan hukum-hukum Tuhan (6:57).

Oleh karena itu manusia berikhtiar dan merdeka, ialah yang bergerak. Gerakan itu tidak lain dari
pada gerak maju kedepan (progresif). Dia adalah dinamis, tidak statis. Dia bukanlah seorang
tradisional, apalagi reaksioner (17:36). Dia menghendaki perubahan terus menerus sejalan
dengan arah menuju kebenaran mutlak. Dia senantiasa mencarai kebenaran-kebenaran selama
perjalanan hidupnya. Kebenaran-kebenaran itu menyatakan dirinya dan ditemukan didalam alam
dari sejarah umat manusia.
Ilmu pengetahuan adalah alat manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran
dalam hidupnya, sekalipun relatif namun kebenaran-kebenaran merupakan tonggak sejarah yang
mesti dilalui dalam perjalanan sejarah menuju kebenaran mutlak. Dan keyakinan adalah
kebenaran mutlak itu sendiri pada suatu saat dapat dicapai oleh manusia, yaitu ketika mereka
telah memahami benar seluruh alam dan sejarahnya sendiri (41:53).

Jadi ilmu pengetahuan adalah persyaratan dari amal soleh. Hanya mereka yang dibimbing oleh
ilmu pengetahuan dapat berjalan diatas kebenaran-kebenaran, yang menyampaikan kepada
kepatuhan tanpa reserve kepada Tuhan Yang Maha Esa (35:28). Dengan iman dan kebenaran
ilmu pengetahuan manusia mencapai puncak kemanusiaan yang tertinggi (58:11).

Ilmu pengetahuan ialah pengertian yang dipunyai oleh manusia secara benar tentang dunia
sekitarnya dan dirinya sendiri. Hubungan yang benar antara manusia dan alam sekelilingnya
ialah hubungan dan pengarahan. Manusia harus menguasai alam dan masyarakat guna dapat
mengarahkanya kepada yang lebih baik. Penguasaan dan kemudian pengarahan itu tidak
mungkin dilaksanakan tanpa pengetahuan tentang hukum-hukumnya agar dapat menguasai dan
menggunakanya bagi kemanusiaan. Sebab alam tersedia bagi ummat manusia bagi kepentingan
pertumbuhan kemanusiaan. Hal itu tidak dapat dilakukan kecuali mengerahkan kemampuan
intelektualitas atau rasio (45:13).

Demikian pula manusia harus memahami sejarah dengan hukum-hukum yang tetap (3:137).
Hukum sejarah yang tetap (sunatullah untuk sejarah) yaitu garis besarnya ialah bahwa manusia
akan menemui kejayaan jika setia kepada kemanusiaan fitrinya dan menemui kehancuran jika
menyimpang daripadanya dengan menuruti hawa nafsu (91:9-10).

Tetapi cara-cara perbaikan hidup sehingga terus-menerus maju kearah yang lebih baik sesuai
dengan fitrah adalah masalah pengalaman. Pengalaman ini harus ditarik dari masa lampau, untuk
dapat mengerti masa sekarang dan memperhitungkan masa yang akan datang (12:111).
Menguasai dan mengarahkan masyarakat ialah mengganti kaidah-kaidah umumnya dan
membimbingnya kearah kemajuan dan kebaikan.

8.

KESIMPULAN DAN PENUTUP

Dari seluruh uraian yang telah lalu dapatlah diambil kesimpulan secara garis besar sbb:

1.

Hidup yang benar dimulai dengan percaya atau iman kepada Tuhan. Tuhan YME dan keinginan
mendekat serta kecintaan kepada-Nya, yaitu takwa. Iman dan takwa bukanlah nilai yang statis
dan abstrak. Nilai-nilai itu mamancar dengan sendirinya dalam bentuk kerja nyata bagi
kemanusiaan dan amal saleh. Iman tidak memberi arti apa-apa bagi manusia jika tidak disertai
dengan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan yang sungguh-sungguh untuk menegakkan
perikehidupan yang benar dalam peradaban dan berbudaya.

2.

Iman dan takwa dipelihara dan diperkuat dengan melakukan ibadah atau pengabdian formil
kepada Tuhan. Ibadah mendidik individu agar tetap ingat dan taat kepada Tuhan dan berpegang
tuguh kepada kebenaran sebagai mana dikehendaki oleh hati nurani yang hanif. Segala sesuatu
yang menyangkut bentuk dan cara beribadah menjadi wewenang penuh dari pada agama tanpa
adanya hak manusia untuk mencampurinya. Ibadat yang terus menerus kepada Tuhan
menyadarkan manusia akan kedudukannya di tengah alam dan masyarakat dan sesamanya. Ia
tidak melebihkan diri sehingga mengarah kepada kedudukan Tuhan dengan merugikan
kemanusiaan orang lain, dan tidak mengurangi kehormatan dirinya sebagai mahluk tertinggi
dengan akibat perbudakan diri kepada alam maupun orang lain Dengan ibadah manusia dididik
untuk memilki kemerdekaannya, kemanusiaannya dan dirinya sendiri, sebab ia telah berbuat
ikhlas, yaitu pemurniaan pengabdian kepada Kebenaran semata..

3.

Kerja kemanusiaan atau amal saleh mengambil bentuknya yang utama dalam usaha yanag
sungguh - sungguh secara essensial menyangkut kepentingan manusia secara keseluruhan, baik
dalam ukuran ruang maupun waktu. Yaitu menegakkan keadilan dalam masyarakat sehingga
setiap orang memperoleh harga diri dan martabatnya sebagai manusia. Hal itu berarti usaha -
usaha yang terus menerus harus dilakukan guna mengarahkan masyarakat kepada nilai - nilai
yang baik, lebih maju dan lebih insani usaha itu ialah "amar ma'ruf”, disamping usaha lain untuk
mencegah segala bentuk kejahatan dan kemerosotan nilai - nilai kemanusiaan atau nahi mungkar.
Selanjutnya bentuk kerja kemanusiaan yang lebih nyata ialah pembelaan kaum lemah, kaum
tertindas dan kaum miskin pada umumnya serta usaha - usaha kearahpenungkatan nasib dan taraf
hidup mereka yang wajar dan layak sebagai manusia.

4.

Kesadaran dan rasa tanggung jawab yang besar kepada kemanusiaan melahirkan jihad, yaitu
sikap berjuang. Berjuang itu dilakukan dan ditanggung bersama oleh manusia dalam bentuk
gotong royong atas dasar kemanusiaan dan kecintaan kepada Tuhan. Perjuangan menegakkan
kebenaran dan keadilan menuntut ketabahan, kesabaran, dan pengorbanan. Dan dengan jalan
itulah kebahagiaan dapat diwujudkan dalam masyarakat manusia. Oleh sebab itu persyaratan
bagi berhasilnya perjuangan adalah adanya barisan yang merupakan bangunan yang kokoh kuat.
Mereka terikat satu sama lain oleh persaudaraan dan solidaritas yang tinggi dan oleh sikap yang
tegas kepada musuh - musuh dari kemanusiaan. Tetapi justru demi kemanusiaan mereka adalah
manusia yang toleran. Sekalipun mengikuti jalan yang benar, mereka tidak memaksakan kepada
orang lain atau golongan lain.

5.

Kerja kemanusiaan atau amal saleh itu merupakan proses perkembangan yang permanen.
Perjuang kemanusiaan berusaha mengarah kepada yang lebih baik, lebih benar. Oleh sebab itu,
manusia harus mengetahui arah yang benar dari pada perkembangan peradaban disegala bidang.
Dengan perkataan lain, manusia harus mendalami dan selalu mempergunakan ilmu pengetahuan.
Kerja manusia dan kerja kemanusiaan tanpa ilmu tidak akan mencapai tujuannya, sebaliknya
ilmu tanpa rasa kemanusiaan tidak akan membawa kebahagiaan bahkan mengahancurkan
peradaban. Ilmu pengetahuan adalah karunia Tuhan yang besar artinya bagi manusia. Mendalami
ilmu pengetahun harus didasari oleh sikap terbuka. Mampu mengungkapkan perkembangan
pemikiran tentang kehidupan berperadaban dan berbudaya. Kemudian mengambil dan
mengamalkan diantaranya yang terbaik.

Dengan demikian, tugas hidup manusia menjadi sangat sederhana, yaitu beriman, berilmu dan
beramal.

Anda mungkin juga menyukai