#BPLKuatHMIHebat
BADAN PENGELOLA LATIHAN
PENGURUS BESAR
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
PERIODE 2018-2020
A. DASAR PEMIKIRAN
Pada 14 Rabiul Awal 1366 H bertepatan dengan tanggal 05 Februari 1947 M, Prof. Lafran
Pane, menghimpun gerakan mahasiswa islam dalam sebuah wadah atau organisasi yang disebut
Himpunan Mahasiswa Islam. Organisasi ini lahir di tengah kondisi bangsa yang sedang
mempertahankan kemerdekaannya, yaitu dua tahun pasca di proklamirkannya kemerdekaan
bangsa Indonesia. Identitas yang menyertai tujuan berdirinya organisasi ini senapas dengan cita-
cita kehidupan berbangsa dan beragama, yaitu: Pertama, mempertahankan Negara kesatuan
republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Kedua, Menegakan dan
mengembangkan ajaran Islam. Disini tampak jelas bahwa komitmen perjuangan HMI disimbolkan
oleh perjuangan moral dan kultural dengan mengakui identitas kebangsaan dengan tanpa
meninggalkan identitas keislaman. Selanjutnya, komitmen ini teraktualisasi dalam trilogy
perjuangan HMI : Komitmen Keindonesiaan, Keislaman, dan Kemahasiswaan. Jika terdapat
sebuah adagium, maka tepatlah mengungkapkannya sebagai berikut : Bagi kader HMI, Islam dan
Keindonesiaan ibarat kepingan mata uang yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Maka,
berislam ala HMI sekaligus juga mengafirmasi keindonesiaannya, dan juga sebaliknya.
Akibat dari komitmen HMI diatas, wajar bilamana Jenderal Soedirman mengatakan
bahwa HMI adalah bukan hanya Himpunan Mahasiswa Islam, tapi juga Harapan Masyarakat
Indonesia. Sebuah pernyataan yang lugas dan tegas, bahwa kiprah HMI dalam mempertahankan
NKRI dijiwai oleh semangat patriotisme yang islamis, dan menjunjung tinggi kemanusiaaan. Itu
semua tercermin lewat sikap-sikap politik HMI, seperti pada saat era demokrasi terpimpin (1959-
1965) HMI pernah menjadi kekuatan politik penyeimbang kepentingan Soekarno, Militer dan PKI.
Sehingga situasi inilah yang membuat CGMI (Consentration Gerakan Mahasiswa Indonesia) yang
berafiliasi dengan PKI menghendaki HMI untuk dibubarkan karena dianggap menghambat tujuan
politik PKI, yang tidak lain adalah Demokrasi Rakyat dalam backup ideologi komunis. Serta
masih banyak lagi kontribusi organisasi ini terhadap bangsa tercinta Indonesia yang tidak bisa
diurai satu persatu. Terutama, sejak kepemimpinan (Alm.) Nurcholis
Madjid (Cak Nur) yang dikenal dengan pemikiran keIslaman dan keIndonesiaan yang kini
melekat dalam tubuh HMI. Singkatnya, generasi HMI dulu senantiasa menciptakan hal-hal yang
baru.
Himpunan Mahasiswa Islam yang besar di masa lalu itu, tidak lain karena memahami
situasi zamannya dengan cara kritis dalam berfikir dan responsif terhadap dinamika sosial dan
politik. Dalam Darwinisme dikatakan bahwa kehidupan sosial yang terkuatlah yang mampu
bertahan sedang yang terkuat adalah yang adaptif (the survival of the fettes) yaitu kemampuan
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang senatiasa terus berubah. Senada dengan itu Max
Weber berpendapat bahwa jika birokrasi (organisasi) ingin selalu survive, maka ia harus mau
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang selalu berubah. Kemampuan adaptif hanya akan
dimiliki jika ada pengenalan terhadap situasi dan kondisi lingkungan yang senantiasa berubahdan
hanya dengan ilmu pengetahuan kita bisa mengenali dan memahami situasi zaman yang berubah.
Indikasi dari kemampuan beradaptasi HMI itu paling tidak bisa dipotret melalui pedoman
perkaderan yang dimilikinya.
Menurut data yang disusun oleh tim pedoman perkaderan HMI tahun 2015, diterangkan
bahwa HMI merupakan organisasi mahasiswa Islam pertama yang memiliki konsep
perkaderan yang sistematis dan terukur, yaitu gagasan awalnya dapat ditelusuri melalui periode
Ismail Hasan Metareum (1957-1960). Ada tiga hal yang menjadi motif utama perkaderan itu
dibutuhkan oleh HMI saat itu, yaitu: Pertama, menjadikan HMI tidak hanya sekedar menjadi
tempat berkumpul orang-orang yang mempunyai kesamaan hoby atau aktivitas semata, tapi juga
menjadi second campus bagi para anggotanya. Kedua, mulai terlihat adanya perbedaan aliran
pemikiran dalam dinamika pergerakan aktivitas HMI, dimana ada anggotanya yang punya
background lingkungan pesantren dan ada juga yang cenderung sekuler (abangan). Ketiga, adanya
perbedaan para anggotanya dilihat dari sisi lingkungan ormas yang membesarkannya semisal dari
kalangan NU, Muhammadiyah, Persis, dan lainnya. Oleh karenanya, Ismail Hasan Metareum
punya obsesi untuk bisa mengambil persamaan serta mengembangkannya dari para anggota HMI
agar mampu menciptakan suatu sinergitas pemikirandan gerakan hingga menjadi satu kesatuan
dalam tubuh HMI yang diharapkan menjadi ciri khas dan karakteristik para kadernya.
Demi adanya sinergitas itu, difasilitasilah berbagai forum pendidikan dan pelatihan untuk
para kader HMI agar bisa mempersatukan visi dan mensinergiskan pemikiran. Selain itu,
diharapkan agar dengan forum seperti itu bisa menciptakan komunikasi antar kader yang berujung
pada terwujudnya ukhuwah islamiyah sesama kader HMI. Dalam suatu kesempatan ISM pernah
menjelaskan secara detail maksud tujuan dan teknis pelaksanaan dari sistem perkaderan itu,
dimana dia mengemukakan perlunya suatu sistem yang bertingkat dalam pelatihan sesuai dengan
taraf kemampuan kader, dengan titik tekan (aksentuasinya) materinya pada masalah
keorganisasian dan keislaman. Hal inilah yang menjadi dasar dan landasan awal dari sistem
perkaderan HMI, karena sejak saat itu perkaderan menjadi trademark dikalangan kader HMI
meskipun format yang idealnya belum terwujud.
Jika ditelusuri secara sosiologis-historis, bahwa penyempurnaan perkaderan HMI itu berawal
dari adanya kebijakan PB HMI untuk mengutus beberapa orang anggotanya untuk melakukan
pengkajian dan studi banding ke beberapa organisasi di luar negeri, mereka itu antara lain adalah:
Aisyah Amini, Mahbub Junaedi, Mahmud Yunus, dan Munir Kimin yang berangkat ke Aloka,
India. Sedangkan Noersal dan Ibrahim Madilao ke Amerika sekaligus memanfaatkan Undangan
Pemerintah AS. Selain ke luar negeri, PB HMI juga melakukan studi banding dan pengkajian
secara teoritik dan empirik di dalam negeri. Hasil dari kunjungan dan kajian itu dicurahkandalam
suatu forum lokakarya yang diadakan PB HMI di Baros Sukabumi tahun 1959, khusus
membicarakan format perkaderan HMI. Sejak peristiwa itulah HMI sudah mulai mempunyai suatu
format baku dalam perkaderan meskipun belum sempurna. Penyempurnaan hasil lokakarya
pertama ini dilakukan pada masa kepengurusan Oman Komaruddin (periode 1960-1963) dengan
mengadakan forum seminar dan lokakarya perkaderan kedua di Pekalongan tahun 1962. Hasil-
hasil forum tersebut kemudian disempurnakan lagi dan disahkan menjadi format perkaderan baku
yang mempunyai sistem perkaderan berjenjang pada kongres HMI ke VII tahun 1963 di Jakarta.
Sejak saat itulah HMI menjadi organisasi pertama di Indonesia yang mempunyai sistem
perkaderan formal yang baku, lengkap dan berjenjang.
Dalam masa-masa berikutnya, pedoman perkaderan HMI pun turut berdialektika dengan
tantangan zamannya, antara lain: Pertama, pada masa Sulastomo (1963-1966) sistem perkaderan
tidak hanya sebagai bentuk formal penyaringan anggota dan peningkatan kualitas kader semata,
melainkan diperluas lagi sebagai salah satu prasyarat yang harus dipenuhi para calon pengurus
HMI dari PB sampai Komisariat. Sehingga tidak sembarang kader yang bisa jadi pengurus, tetapi
harus melewati jenjang tertentu dalam perkaderan formal. Kedua, pada masa Nurcholish Madjid
(1969-1971) sebagai upaya penyempurnaan dan rekomendasi kongres HMI ke IX di Malang,
dimana keputusan pentingnya bahwa setiap yang namanya training di HMI harus mengacu pada
buku format perkaderan yang sudah dibuat. Ketiga, pada masa Ridwan Saidi (1974-1976) di
Kaliurang, bahwa sistem perkaderan saat itu banyak dipengaruhi oleh munculnya gerakan
pembaharuan keagamaan di Indonesia yang dipelopori Cak Nur, selain itu sedang hangatnya
gerakan–gerakan Islam internasional terutama di kawasan Timur Tengah. Keempat, Periode Harry Azhar
Aziz (1983) di Surabaya, bahwa masa ini banyak dipengaruhi oleh kondisi ketegangan antara umat
Islam dengan pemerintah Orba, selain itu wacana developmentalisme yang dikembangkan Orba
juga sedikit banyaknya mempengaruhi sistem perkaderan HMI. Revolusi Islam Iran sedikit
banyaknya mempengaruhi semangat dan antusiasme berislam dikalangan generasi muda Indonesia
termasuk para kader HMI. Kelima, periode Saleh Khalid (1988) di Cianjur dan Jakarta, akibat
terjadinya perubahan internal yang mendasar dalam tubuh HMI, salah satunya perubahan azas,
maka dipandang perlu untuk merevisi sistem perkaderan HMI yang disesuaikan dengan kondisi
dan kebutuhan zamannya. Selain itu gerakan depolitisasi mahasiswa di kampus oleh Orba dan
berkembangnya logika modernisasi turut andil dalam mempengaruhi sistem perkaderan saat itu.
Keenam, periode Ferry Mursyidan Baldan (1992) bahwa sistem perkaderan hanya
mengalami sedikit perubahan dan saat itu dipengaruhi oleh membaiknya kondisi politik antara
umat Islam dan Orba yang ditandai dengan munculnya ICMI. Namun itu hanya pada konteks Islam
ibadah belum ke Islam politik. Selain itu jargon pembangunan di segala bidang menjadiisu
sentral masa itu sehingga sedikitnya mempengaruhi sistem perkaderan HMI. Ketujuh, periode
Taufiq Hidayat (1997) di Jakarta, saat itu dipengaruhi oleh iklim politik Indonesia yang sudah
mulai goyah akibat adanya akumulasi kekecewaan terhadap pemerintah Orba. Kedelapan, periode
Fakhrudin (2000) di Jakarta, sejak HMI menggunakan kembali Islam sebagai azasnya (kongres
XXII di Jambi) maka perlu mengantisipasi perubahan azas di HMI, sekaligus membuat rancangan
strategis bagi HMI pasca perubahan azas dan dalam menghadapi perubahan zaman. Kesembilan,
periode Arip Mustofa (2010) di Depok, yang menekankan kembali Training MAPERCA dan
mensosialisasikan model training instruktur yang berjenjang untuk mengganti Training Senior
Course (SC). Kesepuluh, periode Arief Rosyid Hassan (2015) memberikan tekanan pada muatan-
muatan materi yang terstruktur baik formal maupun informal dengan memberikan sisi tekan
(aksentuasinya) pada materi-materi Keislaman dan Keindonesiaan. Selain itu, turut pula
diperkenalkan sejumlah training informal baru bagi para kader HMI yang memiliki
minat pada pengelolaan lewat pendekatan partisipatif/fasilitator. Secara umum periode ini hendak
memberikan jalan keluar atau lebih tepatnya posisioning/arah perkaderan HMI pasca Reformasi.
Dari proses perubahan yang diterangkan diatas, jelas terlihat landasan sosio-politik
organisasi yang begitu adaptif dengan situasi zamannya. Tapi persoalannya saat ini, bagaimana
menurunkan konsep perkaderan yang universal itu dalam lingkup kelembagaan HMI, khususnya
Badan Pengelola Latihan yang secara langsung berinteraksi dalam lingkup training HMI? Paling
tidak yang perlu dipertimbangkan adalah berkaitan dengan tata-kelola training yang mesti hidup
dalam lingkup generasi yang mengitarinya. Dalam teori generasi, diterangkan bahwa pergantian
generasi itu adalah periode dua puluh tahunan, dimana saat ini berada pada masa transisi antara
generasi Y (1981-1994) umumnya dikenal dengan generasi millennial, ke arah generasi Z (1995-
2010) dan bersiap memasuki generasi alpa (2011-2025). Setiap generasi itu memiliki watak dan
ciri khasnya masing-masing, yang tidak bisa didekati dengan cara-cara yang digunakan pada
generasi sebelumnya, yaitu generasi X (1965-1980). Sebab andaikata pendekatan yang dilakukan
masih sama, niscaya HMI kehilangan energy terbesarnya, yaitu mahasiswa. Karena itu, penguatan
metodologi di dalam training adalah sesuatu yang tidak bisa tawar lagi, termasuk pada perubahan
gesture dan tata-kelola lembaganya. Sudah barang tentu, penguatan BPL adalah jalan terbaik yang
mesti diambil oleh HMI, manakala menginginkan perkaderan menjadi lebih baik.
Jika menguatkan BPL sudah menjadi pilihan, tinggal-lah sampai pada sebuah momentum
yang dapat dijadikan sarana untuk meneguhkan pilihan penguatan BPL itu, baik secara institusi
maupun berkaitan dengan sejumlah metodologi pen-trainingan yang ada di dalamnya. Maka, lewat
forum Musyawarah Nasional BPL HMI inilah, BPL akan kita kuatkan sebagai institusi yangakan
menjadikan HMI Hebat, yaitu Optimalisasi BPL HMI di Era Digital.
D. TARGET KEGIATAN
Adapun target yang ingin dihasilkan dari penyelenggaraan kegiatan ini adalah :
1. Mampu mengevaluasi dan memberi progres terkait dengan BPL PB HMIsecara
kelembagaan
2. Mampu merancang pedoman ke-BPL-an dengan baik.
3. Mampu merumuskan arah kebijakan nasional berkaitan dengan training.
4. Mampu menghasilkan kepemimpinan BPL periode 2021-2023 yang lebih visioner dan
memiliki sanse of belonging yang tinggi.
F. SUSUNAN KEPANITIAAN
Terlampir
G. KETENTUAN MUNAS
Terlampir
H. AGENDA ACARA
Terlampir
I. PENUTUP
Demikian Proposal ini kami buat untuk menjadi kerangka acuan dalam pelaksanaan kegiatan
tersebut. Kegiatan ini merupakan wujud regenerasi pemimpin BPL PB HMI yang dapat
meneruskan dan mengembangkan proses perkaderan di HMI kearah kemajuan. Dalam
melaksanakan kegiatan ini, tentu saja peran serta berbagai pihak sekalian sangat kami harapkan
demi kelancaran kegiatan ini baik dalam proses kegiatan ini maupun ke depan dalam
pembangunan perkaderan.
Mengetahui,
Badan Pengelola Latihan (BPL)
Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI)
NUR CAHYONO
KETUA UMUM
Lampiran 1
SUSUNAN KEPANITIAAN
MUSYAWARAH NASIONAL BADAN PENGELOLA LATIHAN
PENGURUS BESAR HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (BPL PB HMI)
Organizing Committee
Ketua : Nurul Yuliana
Sekretaris : Hekbar Deni Adzanu
Bendahara : Afiffudin
Devisi
Koordinator kesekretariatan : Hamzah
Koord Perlengkapan : Andi Hartono
Koord Konsumsi :Virgo Nizam Ardi
B. SYARAT ADMINISTRASI
Syarat administrasi yang mesti dipenuhi oleh peserta adalah :
1. Peserta Munas yang berasal dari cabang wajib membawa surat mandat yang berasal
dari BPL HMI cabang, disertai dengan SK Kepengurusan.
2. Peserta Munas yang berasal dari BPL HMI Cabang wajib membuat Report Progress BPL
diwilayahnya, yang meliputi: Kondisi Perkembangan perkaderan, jumlah pengelola
training yang tersedia, dan jumlah instruktur materi training yang ada.
3. Peserta Munas yang berasal dari Korwil BPL diwajibkan membawa surat
keterangan kepengurusan.
4. Peserta/undangan yang berasal dari PB HMI diwajibkan membawa surat tugas.
5. Peserta wajib mengisi formulir pendaftaran peserta munas 1 hari sebelum
dilaksanakan kegiatan munas.
6. Peserta wajib mematuhi protokol kesehatan yang berlaku.
7. Peserta munas wajib membawa sertifikat vaksin, surat keterangan negatif PCR, dan
surat keterangan hasil negatif swab antigen/ genose (berlaku 1 hari sebelum
kedatangan).
8. Peserta munas wajib menggunakan masker dan mencuci tangan setiap memasuki forum.
9. Peserta munas wajib membawa: peralatan sholat, peralatan olah-raga, dan laptop.
Lampiran III
AGENDA ACARA
Do’a
23.00-04.00 Istirahat All