Di SUSUN
Oleh :
IRMA SURIANI
Essay ini dibuat sebagai persyaratan mengikuti Senior Course BPL HMI Cabang Ciputat
Oleh :
Irma Suriani
2021
Assalamualaikum Wr. Wb
Sebelumya Perkenalkan nama saya Irma Suriani biasa di panggil Irma oleh teman-
teman saya, saya adalah salah satu kader perempuan yang mempunyai tekad yang kuat untuk
sukses di organisasi ini, tepat di tahun 2017 memasuki 2018 saya mengikuti jenjang Basic
Training dan menjelang satu tahun saya merasakaan apa yang saya dapat di basic sangat
belum cukup karena saya masih sangat penasaran dengan lanjutan pembelajaran dan ingin
sekali bertemu dengan teman-teman baru karena saya penasaran dengan motto HMI yaitu
Kita berteman lebih dari saudara, dan saat itu saya putuskan akan mengambil jenjang
Intermediate Training (LK2) di cabang jakray (Jakarta raya), dan Alhamdulillah makalah saya
lewat dan saya di berikan kesempatan untuk melanjutkan jenjang saya di sana, dan tentunya
keinginan saya untuk bertemu dengan orang-orang baru juga terwujudkan.
Saya merasa sangat menyesal mengenal HMI di semester 5 padahal kita tahu waktu
yang sangat ideal menjajal Basic Training adalah semester pertama masuk kuliah, setelah saya
lulus screening test di cabang jakray yang pada saat itu saya satu-satumya kader dari Cabang
Sigli bahkan dari Aceh satu-satunya. Lalu pada saat itu juga saya seperti dikejutkan oleh
mimpi bahwa kenapa saya sampai bisa lulus sendirian dari Aceh dan bisa sampai disana
dengan modal YAKUSA saja, itu adalah salah satu hal yang amat saya syukuri mengenal
organisasi ini.
Dengan organisasi ini saya bisa membuat orang tua dan keluarga saya bangga dengan
apa yang saya dapat sekarang, karena jujur di keluarga saya tidak ada satupun yang
mempunyai latar belakang aktifis, dan hari ini saya bangga bisa berdiri kokoh sebagai aktifis
yang mungkin berlum bisa sesukses orang lain, tapi saya yakin orang yang bersungguh-
sungguh pasti akan sukses.
Cerita diatas saya ceritakan karena saya sampai sekarang bangga menjadi seorang
kader HMI dan ini menandakan garis keorganisasian di keluagaku semuanya disuapin oleh
sang Ayah kami, ini ibarat dipertemukan Alam dan motivasi tersebut harus berlanjut ke
semua kader seluruh Indonesia.
HMI bukan saja Himpunan Mahasiswa Islam tetapi juga Harapan Masyarakat
Indonesia”Jenderal Besar Soedirman”.
Dengan ungkapan diatas dari sang jenderal besar kita bisa simpulkan bahwa kader
HMI sudah menjadi eksistensi dari zaman dulu yang pada saat itu pendiri hmi sendiri yaitu
Lafran Pane yang sekarang dijabat sebagai Pahlawan Indonesia dengan susah payah
mendirikan organisasi ini. Sejak awal berdirinya, HMI telah meletakkan semangat
keislaman dan kebangsaan dalam satu nafas. Kelahiran HMI tidak terlepas dari
permasalahan bangsa yang di dalamnya mencakup umat Islam sebagai satu kesatuan
dinamis dari bangsa Indonesia demi mempertahankan kemerdekaan yang baru
diproklamirkan.
Perlu disadari, perjalanan panjang HMI hingga kini tentunya bukan suatu kebetulan
belaka. Melainkan karena ketulusan komitmen kelahirannya serta ikhtiar dari anggota dan
alumninya yang senantiasa menjaga dan mengembangkan komitmen kelahiran HMI.
Dengan semangat 5 Februari 1947, kesadaran untuk bertanggungjawab mewujudkan
masyarakat adil makmur yang diridloi Allah SWT harus selalu menjadi motivasi
perjuangan, karena inilah inti dari tujuan HMI. Indikasi ketulusan itu ialah konsistensi
antara ucapan dan perbuatan. Maka Lisanul hal afshahu min lisanil maqal (Bahasa
kenyataan adalah lebih fasih daripada bahasa ucapan). Kita dapat mengatakan apa saja,
namun tingkah laku akan lebih menentukan keabsahan apa yang dimaksudkan.
Hal ini jelas telah digambarkan oleh NDP (Nilai dasar perjuangan ) HMI yang
dahulu disebut sebagai NIK (Nilai Identitas Kader). Bahwa dalam setiap aksi dan
perjuangannya Himpunan Mahasiswa Islam senantiasa mengedepankan Islam sebagai
dasar perjuangan. Dasar berpijak inilah yang menjadikan kader-kader HMI menjadi
manusia yang utuh, tidak menjadi pribadi yang rapuh (split of personality).
Kader HMI, jika dikembalikan kepada bunyi konstitusi Himpunan, yaitu “insan
akademis, pencipta dan pengabdi yang bernafaskan Islam.” Soal apakah setiap kader HMI
adalah seorang insan akademis, rasanya tidaklah terlalu prinsipil. Demikian pula apakah ia
adalah seseorang yang berdaya cipta atau kreatif, kiranya juga tidaklah terlalu sentral.
Tetapi apakah seorang kader HMI adalah seorang pengabdi, dalam arti membaktikan
hidupnya untuk ummat, dan tidak untuk diri sendiri semata egoistis, sungguh amat penting.
Sebab pengabdian seperti itu, apalagi dalam kaitannya dengan “nafas Islam”, adalah sikap
peribadatan yang saleh, demi menncapai ridlo Allah. Karena itulah perkataan “pengabdi”
mengandung makna tampilnya sosok dengan kesadaran etis dan moral atau al-akhlaq al-
karimah. Tanpa al-akhlakul karimah itu maka seorang kader HMI harus dianggap gagal
dalam mewujudkan tujuan himpunan.
Menengok ke belakang, sejarah HMI lebih ditegakkan oleh tradisi intelektual.
Bukan tradisi Politik. Ia lahir dari visi intelektual yang tajam dari Lafran Pane dan kawan-
kawan, terhadap masa depan umat dan bangsa.
Hal-hal yang menyejarah pada HMI adalah produk dari dinamika intelektual yang
keras dan tajam, dialektika gagasan yang intensif dan pertarungan pemikiran yang lugas,
meski mungkin mengandung risiko-risiko politik sesaat. Seperti yang pernah dikatakan
Anas Urbaningrum, tradisi dan akar intelektual yang kokoh terbukti mampu memproduksi
dinamika organisasi yang relatif sehat dan saling menumbuhkan dari semua potensinya.
Karena secara kategoris, tradisi intelektual tidak melihat posisi struktural kader, sehingga
tidak terhambat oleh sekat-sekat struktural. Dalam perspektif intelektual, posisi formal
seperti Pengurus Besar (PB), Badan Koordinasi (Badko), Cabang dan Komisariat menjadi
nomor kesekian.
Demokrasi yang berarti “Dari Rakyat, Oleh Rakyat dan Untuk Rakyat” pada
dasarnya bukanlah hal yang buruk, justru bila dibandingkan dengan sistem pemerintahan
lainnya, demokrasi dinilai lebih baik. Namun kebaikan demokrasi akan memberikan efek
‘boomerang’ bila tidak ditopang dengan sendi-sendi yang baik. Pada dasarnya bila
berbicara tentang demokrasi, salah satu tujuan besarnya adalah menciptakan “Civil
Society” atau masyarakat yang berperadaban. Maka demokrasi berjalan untuk membangun
suatu peradaban rakyat, bukan menghancurkannya. Tapi pertanyaannya, bagaimana dan
siapa yang dapat mewujudkan tujuan mulia tersebut?
Ditengah demokrasi, lahirlah banyak Partai Politik yang konon katanya merupakan
salah satu ‘pilar’ dalam berdemokrasi. Harapan dalam mewujudkan peradaban yang demokratis
pun muncul dari ‘golongan’ ini. Memang benar, demokrasi tidak akan tegak tanpa peran partai
politik. Namun hari ini, peran partai politik rasanya perlu
direvitalisasi. Hal tersebut karena sifat ‘Dependensi’ atau Ketidaknetralan yang lazim
dianut partai politik, selalu memicu persoalan. Juga karena kegagalan sejumlah partai
politik dalam membina kader-kader yang berkualitas, dan kecenderungan langkah partai
politik dalam memperjuangkan kepentingan golongan semakin membuat Wajah Demokrasi
negeri ini suram. Dan parahnya, virus-virus ini juga menyebar ke sejumlah organisasi non-
partai.
Dalam menyikapi persoalan diatas, saya rasa Himpunan Mahasiswa Islam atau
biasa dikenal HMI sebagai organisasi ‘non-politik’ dapat mengisi kekosongan tersebut.
Karena seperti yang tercantum dalam konstitusi HMI, bahwa HMI memiliki peran sebagai
organisasi Kader, berfungsi sebagai organisasi perjuangan, dan bersifat Independen. Maka
dengan perannya sebagai organisasi kader, HMI dapat melahirkan dan mampu
mempersiapkan kader-kader berkualitas intelektualitas sebagai ‘Problem Solver’ bangsa.
Dengan fungsinya sebagai organisasi perjuangan, HMI senantiasa bergerak
memperjuangkan nilai-nilai keadilan. Dan karena sifatnya yang Independen lah, semua itu
dilakukan bukan untuk kepentingan golongan, namun untuk kepentingan umat.
Tantangan masa memang senantiasa berbeda. Bagaimana dan apa yang dulu
diperjuangkan berbeda dengan apa yang kini diperjuangkan. Tantangan HMI dulu dan
tantangan HMI kini pun berbeda. Pada era Demokrasi saat ini, eksistensi HMI sangat
diperlukan. Karena dengan peran, fungsi, dan sifat HMI yang khusus hanya dimiliki HMI,
keyakinan akan tujuan besar membangun demokrasi yaitu untuk mengusahakan “Civil
Society” dapat sampai dan tercapai, karena bagi HMI Civil Society adalah mewujudkan
“Masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT” sebagai bagian dari Tujuan HMI
dalam mewujudkan Insan Cita. Maka selama HMI dapat menjaga INDEPENDENSI dalam
BERJUANG dan KONSISTENSI dalam KADERISASI, HMI bisa ‘hadir’ dalam
mewujudkan cita-cita negara yang demokrasi.
Bisa diketahui bahwa HmI pada era yang sedang dijalani, haruslah bisa untuk selalu
menyesuaikan diri dengan perbedaan zaman. Menyesuaikan diri tersebut adalah untuk bisa
menjawab tantangan yang sedang dan yang akan dihadapi. Ataupun juga untuk bisa
melihat peluang secara nyata dan gambling di masa yang akan datang. Karena ketika HmI
sudah tidak bisa lagi bertoleransi dengan perkembangan zaman yang ada, maka bisa
dipastikan HmI lambat laun akan bisa kehilangan eksistensinya sebagai salah satu
pembawa bendera terdepan di kalangan kaum muda dan mahasiswa Muslim.
HmI diharuskan untuk selalu mengoreksi dirinya sendiri, karena itulah salah satu
kewajiban dari HmI itu sendiri dan khususnya kepada kader-kader HmI itu sendiri. Karena
jika HmI secara terus-menerus tidak bisa mengintrospeksi dirinya sendiri, maka
kehancuran yang akan menggerogoti bagian dalam dari tubuh organisasi HmI itu sendiri.
Karena introspeksi diri adalah bagian yang amat sangat penting untuk dilakukan dalam
sebuah organisasi. Dimana introspeksi tersebut berguna agar para kader HmI itu sendiri
bisa mengetahui apa yang kurang dari HmI itu sendiri mengikuti perkembangan zaman
yang ada. Ketika sudah mengetahui apa -apa saja yang kurang, maka tugas para kader HmI
selanjutnya adalah mencarikan solusi yang konkrit dalam menutupi kekosongan-
kekosongan yang ada di dalam tubuh HmI tersebut. Maka dengan begitu akan terciptanya
kesempurnaan dari perjuanga yang dilakukan oleh HmI itu sendiri, dengan cara saling
mencari solusi untuk HmI dalam menjawab persoalan zaman yang ada pada saat itu.
Mengenai keharusan memilih pembaharuan ketimbang penyatuan ummat bagi
perkembangan Islam di masa depan, Anshari penuhnya sependapat degan Nurcholis
Madjid. Sebab, menurut pendapatnya, jalan yang telah ditempuh oleh Cak Nur dan HmI
akan membawa ummat tersesat dari ajaran-ajaran Islam sejati, maka Anshari berpendapat
bahwa gagasan pembaharuan yang benar harus merupakan gagasan yang sekaligus akan
menciptakan kesatuan umat Muslimin yang dengan sepenuh kepercayaan serta kebulatan
12
hati berpegang pada “peraturan Tuhan”.
Jika memang yang lebih diutamakan adalah tentang penyatuan ummat daripada
pembaharuan, maka tidak akan tercapai dengan mudah. Karena semua ummat muslim pada
hakikatnya akan sadar untuk apa mereka bersatu dan selalu akan menanyakan hal yang
seperti itu. Mereka bersatu tapi tanpa orientasi yang jelas dan tanpa tujuan yang jelas.
Ketika kita melakukan suatu perubahan, sudah bisa dipastikan hampir seluruh ummat
muslim akan bersatu, karena mereka sudah mengetahui alasan mengapa mereka bersatu
dan sudah mengetahui orientasi dari persatuan mereka itu apa.
Jika kita lihat dari pernyataan seorang Anshari, maka bisa diambil intisari bahwa
banyak sekarang ummat muslim yang hanya menjadikan Islam itu hanya sebagai simbol
dari sebuah agama. Padahal Islam itu tidaklah hanya sekedar simbol agama belaka,
melainkan Islam itu adalah suatu pandangan hidup untuk di dunia dan di akhirat nantinya.
Jadi hal yang ingin disampaikan terkait kritik dari seorang Anshari terhadap para kader
HmI pada khususnya adalah jangan hanya menjadikan Islam sebagai simbol dari suatu
agama, melainkan jadika Islam itu sebagai panduan utuh atas pola perilaku dan pola fikir
kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.