Anda di halaman 1dari 12

Tentang Materi Keindonesian di Training HMI

Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya kalau dia tak
pernah mengenal kertas-kertas tentangnya, kalau dia tak mau mengenal
sejarahnya, apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan
buatnya
(Pramudya Ananta Toer; Jejak langkah)
Sejak didirikan oleh Lafran pane dkk pada tahun 1947, HMI menetapkan
tujuannya berdasar dua pemikiran; keislaman dan keindonesiaan. Islam
adalah ajaran universal yang menuntun manusia agar hidup sesuai
fitrahnya untuk meraih keselamatan, sedangkan Indonesia adalah proyek
hidup bersama menuju kemerdekaan dan kesejahteraan. Maka bagi HMI,
Islam adalah ruh, Indonesia adalah tubuh, tak ada pertentangan diantara
keduanya.
Pemikiran keislaman HMI bisa ditemukan dalam teks nilai-nilai dasar
perjuangan (NDP). Sejak dekade 70an, pemikiran keislaman HMI
berkembang, dan setiap diskursus keislaman tak lepas dari garis NDP.
Kemantapan wacana seperti ini tidak ditemukan ketika membahas
pemikiran keindonesiaan. Kecuali sedikit pembahasan mengenai Basic
Demand pada teks Tafsir Tujuan HMI, belum didapatkan sebuah teks resmi
HMI lain yang coba membaca Indonesia secara utuh. Tema keindonesiaan
memang rutin menghiasi kongres dan training namun tak pernah dibaca
hakikatnya, apa sebenarnya Indonesia ini? Darimana asalnya? Kenapa
Indonesia harus diperjuangkan? Apa sesungguhnya yang Indonesia citacitakan? Dan apa yang HMI lakukan dalam pencapaian cita-cita itu?
Pasar wacana yang tak berimbang seperti ini berakibat pada gagapnya
HMI dalam memberi sumbangsih pada wacana keindonesiaan, walaupun
sejak Orde Baru begitu banyak alumni HMI berkeliaran di lingkar utama
kekuasaan, segalanya dilalui tanpa merumuskan kembali secara
mendasar apa yang sebenarnya hendak mereka tuju dengan Indonesia.
Tak ayal, betapa sering kita menemukan diskusi HMI yang tak
berkesudahan dengan konsep teologis dan filosofis namun tercerabut dari
akar, tak paham konteks kesejarahan-kemasyarakatan. Wacana yang
dominan di HMI menekankan nilai yang melangit namun lupa turun ke
bumi.
Indonesia sebagai nama, identitas yang mempersatukan bangsa dan
negara, dimaknai sebagai gagasan monokromatik yang diterima begitu
saja secara determinis, dianggap telah baku dan selesai, tak boleh
dipertanyakan, bahkan disakralkan. Padahal jika dibanding dengan sejarah
panjang kepulauan nusantara, Indonesia merupakan pilihan identitas yang
lahir baru kemarin sore. Indonesia pernah mengalami sejarah
pertentangan horizontal: perdebatan ideologis tentang dasar negara,

konflik agama, separatisme, negara federal, pembunuhan massal, dan


lainnya, dengan kompleksitas yang tak bisa dibaca secara hitam putih.
Pada masa Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru, wacana bangsa dan
negara ditampilkan sebagai milik negara sepenuhnya, setiap pikiran
berbeda dicap sebagai kontra-revolusioner di era Demokrasi Terpimpin,
atau subversif di masa Orde Baru. Hasilnya, nasionalisme jadi jargon yang
mendahulukan simbol dan melupakan makna, tak ayal muncul slogan
heroik semisal NKRI Harga Mati dan Pancasila Abadi atau fenomena
larisnya penjualan t-shirt I Love NKRI tanpa tahu apa sebenarnya yang
mereka cintai itu. Dari sini orang banyak alpa untuk membaca bahwa
konsepsi NKRI dan Pancasila tidak dilahirkan dari proses yang linear oleh
tangan-tangan suci, ada pergulatan yang tak sederhana, dan tentu tak
sempurna. Nasionalisme mestinya bukan sekedar tentang kecintaan
terhadap tanah-air, kepada tim sepakbola nasional, kepada produk
budaya atau kesenian, lebih dari itu, nasionalisme terutama adalah
kecintaan kepada manusianya, rakyat yang tak kunjung merdeka dan
sejahtera.
Indonesia adalah proyek hidup bersama berdasar kesamaan nasib; samasama dijajah dan ditindas oleh asing sebegitu lama. Indonesia didirikan
untuk mengubah nasib manusianya, agar yang Jawa tak cuma memikirkan
Jawa, yang Muslim tak cuma memikirkan Muslim, agar semua berpikir
buat semua, agar semua bekerja buat semua, gotong royong. Mengutip
konstitusi, Indonesia bertugas untuk melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan, mencerdaskan
kehidupan dan menjaga ketertiban, sehingga tercapai masyarakat yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Maka sungguh ironi agung, ketika menemukan Indonesia hari ini tak juga
beranjak nasib sebagai bangsa pekerja yang menghamba pada
kepentingan kolonial. Demokrasi liberal yang digadang sebagai cara
menemukan kedaulatan rakyat, menghasilkan sejumlah pejabat yang tak
juga jadi pemimpin rakyat. Negara dikelola birokrasi sekedarnya, korupsi
jadi tunas yang makin besar karena hukum tak juga memihak pada
keadilan. Segala kekayaan alam dan sumber daya ekonomi tak juga
bertemu dengan kesejahteraan rakyat banyak, kecuali dibagi-bagi
diantara calo pribumi dan tuan asing. Pendidikan yang semestinya
memberi teladan tentang identitas dan karakter, tak lebih dari sistem
yang memproduksi ternak, untuk berbaris memohon penghidupan pada
kekuatan modal.
Konsep-konsep kunci
Mulanya karena Bangsa Indonesia tak membaca dirinya sendiri, sehingga
tak mengenal dirinya, tak mencintai dirinya. Penjajahan asing dan
feodalisme sekian lama telah mewariskan empat tradisi; ekspor bahan
mentah dan impor bahan jadi, ekspor tenaga kerja dan impor tenaga ahli.
Akibatnya sungguh tak main-main, Indonesia menjadi bangsa yang melulu

mengkonsumsi produk asing dan hidup sesuai garis kebijakan yang


ditentukan asing.
Dalam dunia akademis, kajian penting dan berpengaruh tentang
Indonesia tidak dilakukan oleh orang Indonesia, tidak berbahasa Indonesia
dan tidak beredar di toko buku dan perpustakaan di Indonesia. Tersebar di
kampus-kampus di Belanda, Amerika Serikat, Perancis, dan Australia serta
negara-negara Asia Timur, setiap tahun kajian tentang Indonesia ditulis
untuk konsumsi dunia internasional. Salah satunya di Cornell University,
sejak pertengahan dekade 50an telah berdiri Cornell Modern Indonesia
Project (CMIP) yang mengundang banyak akademisi untuk mengkaji
Indonesia dan menerbitkan jurnal Indonesia yang begitu berpengaruh. Di
Australia, sejak pergantian millenium, beberapa kampus membuka
program studi Indonesia, dan mengalami kemajuan pesat. Bukan
kebetulan jika negara yang serius mengkaji Indonesia adalah juga negara
yang memiliki kepentingan ekonomi-politik terhadap Indonesia, dan siapa
bisa menjamin, mereka yang tak lahir dan besar di Indonesia ini
melakukan semua itu kecuali untuk kepentingan negaranya sendiri.
Para ahli tentang Indonesia ini muncul sejak akhir abad ke-19 bahkan
lebih jauh apabila menghitung karya Raffless History of Java yang terbit
tahun 1817 ketika pemerintah kerajaan Belanda mengangkat Snouck
Hurgronje sebagai penasehat urusan negeri jajahan. Pemerintah kolonial
sedang mencari cara untuk menaklukkan Aceh, Snouck kemudian
menyarankan untuk melakukan politik asosiasi, yaitu dengan memisahkan
elit adat (ulee balang) dengan elit agama, dan memisahkan keduanya dari
rakyat. Untuk kepentingan penjajah di tanah jajahan, muncul sebuah studi
yang disebut Indologi, ahlinya disebut Indolog.
Nama Indonesia sendiri adalah produk Indolog itu. Nama Indonesia
awalnya berbentuk Indu-nesians diberikan oleh George Windsor Earl tahun
1850, untuk menyebut kesatuan etnis di kepulauan Hindia timur. Setelah
dipopulerkan oleh Adolf Bastian di tahun 1884, nama ini kemudian
diadopsi oleh beberapa akademisi Belanda untuk menyebut daerah
jajahan mereka secara geografis dan etnografis, tanpa tendensi politis.
Mahasiswa asal Hindia Belanda yang kuliah Belanda pada dekade kedua
abad keduapuluh sering mendengar nama itu dari beberapa guru besar
mereka, karena dirasa cocok dengan semangat nasionalisme yang baru
tumbuh, maka nama ini diadopsi sebagai identitas bangsa itu. Tjipto
adalah pribumi pertama yang menggunakan nama Indonesia dalam
pidatonya di Volskraad pada tahun 1917, PKI menggunakannya sebagai
nama partai tahun 1924, dan Indische Vereeniging menerbitkan jurnal
Indonesia Merdeka sejak 1924, dan mengganti nama organisasinya
menjadi Perhimpunan Indonesia pada tahun 1925. Indonesia lebih dipilih
dibanding Nusantara, atau Insulinde karena daya tariknya sebagai
sesuatu yang segar dan mewakili semangat baru.
Orang sering menyebut Indonesia dijajah selama 3,5 abad, barangkali
dihitung sejak mendaratnya Cornelis de Houtman di Banten pada tahun

1597 sampai Indonesia merdeka di tahun 1945, tapi barangkali kita perlu
membacanya lagi secara kritis. Belanda mulanya hadir di kepulauan
Nusantara sebagai pedagang, mereka mendirikan Verenigde OostIndische Compagnie (VOC) pada tahun 1602, dengan tujuan semata-mata
mencari rempah-rempah di negeri yang mereka sebut Hindia Timur.
Karena persaingan dengan Portugis dan Spanyol, VOC berusaha
menguasai jalur perdagangan dan daerah sumber rempah-rempah, yaitu
kepulauan Maluku. Ambon dapat dikuasai VOC pada tahun 1619, sebelum
mereka memindahkan pusat administrasinya ke tempat lokasi yang lebih
strategis, Batavia pada tahun 1639. Sepanjang abad ke-17 dan ke-18 VOC
adalah kekuatan asing yang linglung, antara menguasai secara langsung
daerah-daerah strategis, atau bekerjasama dengan penguasa lokal untuk
mengamankan pasokan komoditas ekspor. Pilihan kedua adalah yang
lebih logis, sehingga kita temukan dalam sejarah bahwa VOC selalu
memainkan peran dalam perebutan kekuasaan di kerajaan Mataram,
Gowa dan Bone, dan lain-lain. Setelah VOC bangkrut dan dibubarkan pada
tahun 1800, kekuasaan diambil alih oleh kerajaan Belanda. Karena
semakin menurunnya pasaran rempah-rempah di pasar internasional,
belanda semakin tak menemukan alasan kehadiran di kepulauan
nusantara, namun juga sulit melepas karena kadung berkuasa. Setelah
pecah perang jawa antara tahun 1825-1830, Belanda mengalami kerugian
luar biasa, kas kerajaan terkuras. Muncul usul untuk menerapkan
kebijakan cultuur stelsel, yaitu pemaksaan kepada pribumi untuk
menanam komoditas ekspor. Karena kebijakan ini Kerajaan Belanda
mengalami surplus keuntungan luar biasa. Setelah kemenangan kaum
liberal di parlemen Belanda, mulai muncul keinginan untuk memberikan
kesempatan kepada swasta untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan
ekonomi di tanah jajahan. Sehingga muncul kebijakan UU Agraria di tahun
1870.
Meningkatnya surplus keuntungan kerajaan, ditambah dengan keinginan
kaum liberal untuk mengembangkan daerah jajahan, menyebabkan
timbulnya kecenderungan politik etis yang dikomandoi oleh TH Van
Deventeer. Kebijakan ini berasal dari adagium hutang budi kolonial kepada
negeri jajahan. Politik etis ini terdiri dari tiga: educatie, irigatie dan
emigratie.
Dari politik etis ini, terutama educatie, Belanda berharap muncul proses
asosiasi yang melahirkan pribumi yang berpendidikan dan mau bekerja
sama demi kemajuan bagi bangsa jajahan. Namun tanpa dikira oleh
pemerintah penjajah, yang lahir kemudian adalah kesadaran tentang
bangsa yang baru. Orang-orang pribumi Hindia Belanda menemukan
sebuah kesadaran baru tentang penjajahan, bahwa kami adalah pribumi
yang memiliki daerah sendiri, namun dijajah oleh Belanda. Kesadaran itu
terutama digerakkan oleh elit-elit pribumi yang lahir dari pendidikan
Belanda, baik di negeri jajahan maupun di negeri belanda.
Kesadaran kebangsaan ini pertama sekali lahir dari wacana elit, baik
tradisional maupun perkotaan. Muncullah berbagai organisasi yang

menyatukan orang-orang dalam tekad yang sama. Sarekat Dagang Islam


lahir tahun 1905, kemudian Boedi Oetomo berdiri pada tahun 1908,
menyusul Muhammadiyah dan Indische Partij pada tahun 1912, juga
Sarekat Dagang Islam yang berganti nama menjadi Sarekat Islam di tahun
yang sama. Tahun 1920 berdiri PKI sebagai kelanjutan dari ISDV, dan 1927
Soekarno mendirikan PNI, kemudian berbagai partai dan organisasi lain
pun lahir. Di Negeri Belanda, para pelajar asal Hindia sejak 1908
berhimpun dalam organisasi, yang berpengaruh adalah Indische
Vereeniging, yang kemudian mengganti nama menjadi Indonesische
Vereeniging dan kemudian Perhimpunan Indonesia. Para pelajar ini
melahirkan gagasan yang brilian tentang konsep nasionalisme yang
akhirnya digunakan sebagai wacana besar sepanjang dekade 20-an.
Kesadaran kebangsaan yang baru juga diproduksi sebagai wacana dalam
terbitan-terbitan pribumi, terutama surat kabar. dari berbagai surat kabar
inilah rasa bersatu dan rasa sama berbangsa disebarkan, Medan Prijaji,
Oetoesan Hindia, Bintang Hindia, dan lain-lain. Kesadaran kebangsaan
juga digalang lewat pertemuan-pertemuan, rapat akbar, mobilisasi mass,
pemogokan, karya seni dan terutama pembentukan sebuah bahasa baru;
Bahasa Indonesia yang berawal dari embrio bahasa melayu. Kata kunci
pertama dari kebangsaan ini adalah persatuan berdasar kesamaan nasib
dan persamaan pandangan sehingga keragaman luar biasa di tanah
jajahan disatukan dalam sebuah identitas kebangsaan. Kata kunci kedua
adalah kemerdekaan, pergerakan yang diwadahi demikian banyak
organisasi dan haluan ideologi dengan cara masing-masing akhirnya
bertemu dalam satu tujuan; kemerdekaan Indonesia.
Pergerakan menuju kemerdekaan ini dipelopori oleh sekian banyak elit.
Pada merekalah mulanya, gagasan tentang Indonesia yang bersatu dan
merdeka berasal. Untuk menyebut beberapa kita menemukan
kepeloporan Tirto Adhisoerjo yang pertama menerbitkan koran Medan
prijaji dan menyebarkan semangat perlawanan dan persatuan, kemudian
Tjokroaminoto yang membawa Sarekat Islam menjadi organisasi politik
yang radikal namun populis, juga Tjipto mangunkusumo yang mendirikan
Indsiche Partij sebagai organisasi yang menyatukan pribumi berdasar
semangat sebagai sebuah natie. Pada dekade 20an mulai muncul tokoh
komunis seperti Semaun, Musso, Alimin, Darsono, dan yang terpenting di
antara mereka, Tan Malaka. Tan malaka adalah orang yang pertama
menulis tentang bentuk Indonesia merdeka dalam brosurnya Naar de
Republiek Indonesia. Kemudian Hatta yang nantinya menjadi wakil
presiden Indonesia merdeka, mendampingi Soekarno, juga Sjahrir. Juga
murid ideologis Tjokroaminoto, Kartosuwiryo, juga Natsir dan Amir
sjarifuddin. Serta banyak lagi nama lain.
Mereka adalah yang mula-mula berpikir dan membayangkan Indonesia
merdeka, kemudian menyebarkan gagasan itu dengan menulis, melawan,
mendirikan partai dan menggerakkan rakyat. merekalah yang mula-mula
sadar, rela menderita, hidup miskin, dipenjara dan dibuang ke pulau
asing, bahkan beberapa harus berkorban nyawa. Pada mereka kita

sebenarnya bisa menemukan tentang konsepsi Indonesia pada awalnya,


dan bagaimana Indonesia mestinya dijalankan. Melalui berbagai badan
dan lembaga yang diinisiasi oleh pemerintah fasis Jepang, para founding
fathers ini mendapat kesempatan untuk bertemu gagasan dengan rakyat,
berpidato di hadapan massa dan menggerakkan kesadaran tentang
kemerdekaan.
Konstitusi negara lahir dari proses yang panjang. Notulensi rapat BPUPKI
dan PPKI sepanjang Mei-Agustus 1945 menuliskan pertentangan gagasan
untuk membentuk negara serikat atau negara kesatuan, negara hukum
atau negara kekuasaan. Pada rapat ini juga, Soekarno menyampaikan
pidatonya yang akhirnya menjadi dasar negara, yaitu Pancasila.
Mukadimah UUD 1945 disusun berdasar pada pemikiran yang telah
menyejarah sekian lama, pada apa sesungguhnya Indonesia merdeka ini
disandarkan. Teks mukadimah UUD menjadi esensi yang berisi narasi dan
cita-cita kehidupan berbangsa, dan bernegara. Pada mukadimah UU kita
menemukan teks bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Indonesia adalah cita-cita
tentang masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur,
dengan tugas melindungi, memajukan, mencerdaskan dan menertibkan
rakyat dan seluruh tumpah darah. Pancasila menjadi dasar filosofis
pendirian negara-bangsa Indonesia. Berisi lima sila yang menjadi
pertemuan diantara sekian banyak perbedaan dan keragaman yang
megisi Indonesia. Pancasila berdasarkan lima prinsip; ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial.
Ke arah Materi Keindonesiaan di Training HMI
Pedoman perkaderan mengamanatkan bahwa Latihan Kader 1 berisi lima
materi wajib; Sejarah HMI, Konstitusi HMI, NDP HMI, Mission HMI dan KMO.
Jika ditelisik, sejarah HMI membahas tentang perjalanan HMI dan
kontribusinya pada kehidupan berbangsa sejak 1947 hingga saat ini,
Konstitusi HMI membahas aturan main organisasi, NDP membahas esensi
keislaman, mission HMI merupakan derivasi materi konstitusi sekaligus
keislaman, dan KMO merupakan peralatan mencapai tujuan organisasi.
Dari lima materi wajib ini tidak ditemukan titik pembahasan tentang
pemikiran keindonesiaan, kelimanya berputar pada wacana keislaman dan
ke-HMI-an. Pada latihan Kader II, 5 materi wajib adalah pendalaman
mission HMI, pendalaman NDP, pendalaman KMO, TPS, dan ideopolitorstratak. Lagi-lagi tidak ditemukan titik pembahasan yang menukik pada
pemikiran keindonesiaan, kecuali beberapa materi turunan mission yang
terkadang membahas beberapa aspek kebangsaan secara parsial. Pada
Latihan Kader III, materi wajib adalah pendalaman mission HMI,
pendalaman NDP, pendalaman KMO, dan wawasan internasional. Ini lebih
mengkhawatirkan, karena diberikan tanpa diikuti pemahaman tentang
pemikiran keindonesiaan.

Pada up-grading pasca LK I atau screening pra-LK II terkadang ada materi


kebangsaan, namun konten materinya biasa menyoal tentang Pancasila,
konstitusi dan realitas kekinian bangsa Indonesia. Hal yang menarik,
karena terjadi tumpang tindih antara term bangsa dan negara, seakan
kedua kata ini begitu akrab dan tak memiliki ketegangan di antara satu
sama lain. Bangsa adalah ikatan antar manusia, negara adalah kekuasaan
yang mengaturnya, jelas berbeda. Karena itu dibutuhkan sebuah materi
baru tentang keindonesiaan di training-training HMI. Materi ini
sebagaimana dipaparkan secara sederhana di atas, mencoba menelisik
tentang apa sesungguhnya Indonesia, sebagai identitas, bangsa dan
negara.
Materi keindonesiaan walaupun banyak bersandar pada studi sejarah,
namun sebenarnya menekankan pada pembacaan ulang hakikat
Indonesia, membaca kembali genealogi orang-orang yang mula-mula
berpikir dan berjuang untuk Indonesia. pembacaan ini harus dilakukan
secara radikal, untuk menemukan hakikat mendasar gagasan Indonesia
dan perjalanannya. Materi ini akhirnya akan bersinggungan dengan studi
yang lain semisal politik, ekonomi, sosiologi, antropologi, hukum, culturalstudies dan lain-lain. Materi ini mulanya dapat disampaikan sebagai
materi tambahan dan penunjang terhadap materi wajib, namun tak
menutup kemungkinan untuk ditambahkan menjadi materi wajib dalam
setiap training. Dengan dimasukkannya materi keindonesiaan ke dalam
kurikulum training, maka akan bertemulah konsepsi nilai-nilai keislaman
universal dengan hakikat sosio-historis bernama Indonesia.
Metodenya bisa jadi sederhana. Sebagaimana materi NDP biasa
disampaikan dengan metode dekonstruksi rekonstruksi maka materi
keindonesiaan juga dapat disampaikan dengan cara serupa. Dekonstruksi
dengan tekanan kepada mitos-mitos nasionalisme, distorsi sejarah, juga
realitas Indonesia hari ini yang tak sesuai dengan keharusannya.
Rekonstruksi terhadap gagasan besar Indonesia, teladan dan pemikiran
para pendiri bangsa, serta hakikat berbangsa dan bernegara menurut
konstitusi. Dalam hal ini, Pancasila juga dapat menjadi instrumen kritik
terhadap keadaan bangsa dan negara.
Tanpa perlu malu-malu kita harus sampaikan bahwa pembaruan dan
perubahan adalah nafas HMI untuk terus melawan proses penuaan.
Feodalisme, kenyamanan dalam kemapanan dan kecenderungan untuk
mengagungkan yang lampau harus dipinggirkan jika tak ingin HMI digilas
oleh zaman. Diawali dengan materi keindoneisaan ini, diskursus HMI yang
biasanya didominasi oleh wacana melangit akan diimbangi oleh wacana
yang lebih faktual dan membumi. Jika materi ini bisa hidup dan berbunyi
di training-training maka tak diragukan, HMI akan melahirkan gagasangagasan baru dan segar tentang keindonesiaan mendahului instansi mana
pun, akan melahirkan pemimpin-pemikir yang mengintegrasikan
keislaman-keindonesiaan, sesuai tujuan mula-mula berdirinya HMI.

Tanpa berharap lebih, sebagaimana materi NDP yang mampu melahirkan


kesadaran baru sebagai manusia muslim, maka materi keindonesiaan ini
bisa turut menumbuhkan kesadaran tentang makna berbangsa dan
bernegara, tentang hakikat kehidupan di dalam keduanya, belajar
memahaminya, mencintainya, dan belajar berkorban buatnya. Naskah di
bawah ini adalah narasi materi keindonesiaan untuk LK1, sungguh pun
pendek dan jauh dari kesempurnaan, namun semoga ini bisa menjadi
pemicu tulisan lain untuk mencapai bentuk yang proporsional. Saran dan
kritik terhadap naskah ini akan begitu diperlukan untuk menemukan
perbaikan dan kesempurnaan, demi mencapai ridha-Nya semata.
Billahittaufiq wal hidayah
Tinggalkan komentar
Desember 18, 2012
Tentang NDP
Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) merupakan salah satu dokumen
organisasi tertua yang digunakan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
sampai hari ini. Pertama kali disampaikan pada forum Kongres X HMI di
Malang tahun 1969, NDP dimaksudkan sebagai teks rumusan pokok-pokok
ajaran Islam dengan merujuk pada sumbernya yang utama, yaitu Al Quran
dan Hadis. NDP menjadi semacam ijtihad pemikiran kaum muda muslim
ketika itu, untuk menegaskan persepsi-persepsi mereka terhadap ajaran
Islam.
HMI yang didirikan pada tahun 1947 oleh Lafran Pane dan kawankawannya memang berdiri diatas visi keislaman dan keindonesiaan yang
unik. Tujuan awal didirikannya HMI adalah untuk mempertahankan Negara
Indonesia dari agresi militer Belanda dan mengembangkan ajaran Islam.
Visi ini meyakini bahwa Islam sebagai ajaran yang universal perlu
ditafsirkan menurut konteks lokalitas ke-Indonesiaan dan kemodernan
zaman. Sehingga bagi HMI, antara Islam dan konsep negara-bangsa
Indonesia tidak terdapat pertentangan.
Islam sebagaimana dipahami HMI inilah yang kemudian termaktub
sebagai asas HMI, Islam menjadi sumber motivasi, pembenaran dan
ukuran bagi HMI dalam gerak perjuangan mencapai tujuannya.
Sejarah Perjalanan NDP
Orde lama merupakan satu masa yang riuh dengan perdebatan ideologi.
Suatu kurun yang bukan saja menjadi apa yang disebut Soekarno sebagai
nation building namun juga semacam pencarian dan transaksi gagasan
antar elit bangsa mengenai dasar dan alat perjuangan bangsa.

Walaupun Pancasila disepakati sebagai dasar negara tak lama setelah


proklamasi kemerdekaan, namun sebagai rahasia umum kita tahu bahwa
umat Islam yang diwakili Masyumi dan terwakilkan dalam sosok
Muhammad Natsir dalam sidang-sidang Konstituante bermaksud
menjadikan Islam sebagai dasar negara, menggantikan Pancasila.
Demikian pula kaum komunis melalui PKI yang secara perlahan mendapat
simpati rakyat bawah, membuka jalan untuk menjadikan Indonesia
sebagai Soviet baru, demi mencapai cita-cita classless society yang
diimpikan Marx seabad sebelumnya. Demikian ketika itu aroma
persaingan ideologis begitu pekat, setiap kekuatan politik mencoba untuk
menarik garis diametral antara satu dengan yang lain.
Kebutuhan terhadap sebuah buku saku panduan perjuangan seperti yang
pernah dimiliki oleh kaum muda sosialis di Indonesia dirasa semakin
mendesak. Jika kaum muda sosialis punya buku saku panduan ideologi,
mengapa HMI tidak, begitu mungkin logika berpikir ketika itu. Dasar
organisasi HMI -Islam- harus dijabarkan dalam sebuah doktrin perjuangan
yang walaupun bersifat mendasar, normatif, namun dapat menjadi
rujukan praktis bagi kader HMI.
Di penghujung tahun 1968, Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang ketika itu
Ketua Umum PB HMI mememnuhi undangan untuk melakukan kunjungan
ke Amerika Serikat. Usai kunjungan ke AS, ia sendiri kemudian
melanjutkan kunjungannya lebih lama untuk mengelilingi Timur-tengah :
Mesir, Turki, Irak, Suriah, Arab Saudi untuk menyaksikan bagaimana Islam
dipraktekkan di tanah asalnya. Sayangnya, kesimpulan dari perjalanan
Cak Nur adalah kekecewaan, betapa Islam diperlakukan secara kaku
dalam rupa slogan-slogan loyalistik dan cenderung miskin solusi
menghadapi problematika umatnya sendiri.
Demikian pula Indonesia kondisinya tidak lebih baik. Sebagai bangsa
muslim terbesar di dunia namun paling terakhir ter-arabkan, umat muslim
Indonesia belum menghayati betul ajaran Islam, dan malah terjerat dalam
kondisi sosial-ekonomi yang memprihatinkan : kemiskinan, kebodohan,
kebencian antar kelompok, ketidakadilan dan intoleransi.
Dari kunjungan ke luar negeri dan perenungan terhadap kondisi umat
Islam di Indonesia inilah Cak Nur menggagas penyusunan NDI atau Nilai
Dasar Islam. Gagasan NDI dalam bentuk kertas kerja kemudian dibawa
Cak Nur menuju Kongres IX di Malang pada bulan Mei tahun 1969, yang
lalu menghasilkan rekomendasi kongres bahwa draft NDI ini perlu
dilakukan penyempurnaan, diserahkan kepada tiga orang: Cak Nur sendiri,
Endang Saefudin Ansari dan Sakib Mahmud untuk melakukan
penyempurnaan teks. Pada Kongres X di Palembang tahun 1971 teks
tersebut kemudian disahkan dengan nama NDP, dan disosialisasikan ke
cabang-cabang.
Penggunaan nama NDP sendiri diambil karena dirasa nama NDI dianggap
terlalu klaim terhadap ajaran Islam, terlalu simplistis dan menyempitkan

universalitas Islam itu sendiri. Sedangkan kata perjuangan diambil dari


buku Sjahrir yang berjudul Perjuangan Kita.
Kemudian di pertengahan dekade 80an pemerintah Orde Baru
mengesahkan UU No. 5 Tahun 1985 tentang Pancasila sebagai asas
tunggal bagi setiap organisasi. Maka pilihannya hanya dua bagi HMI,
mengganti asas atau bubar. Setelah diputuskan melalui Kongres XVI di
padang pada tahun 1986, HMI mengubah asasnya menjadi pancasila dan
menggeser Islam menjadi identitas HMI. Maka berubahlah nama NDP
menjadi Nilai Identitas Kader (NIK) tanpa perubahan teks.
Dalam prosesnya setelah Orde Baru runtuh, pada Kongres XXII tahun 1999
di Jambi, Islam dikembalikan sebagai asas HMI dan NIK berubah kembali
menjadi NDP. Pada saat kongres ini pula mulai muncul keinginan kuat
untuk memulai langkah ke arah rekonstruksi NDP. langkah ini diinisiasi
oleh Andito dan Dudi Iskandar dari Badko Jawa Bagian Barat yang secara
khusus menawarkan format rekonstruksi mereka.
Rekonstruksi NDP dimaksudkan sebagai jawaban atas keluhan kader HMI
bahwa NDP Cak Nur cenderung berat untuk dipahami sehingga di
beberapa cabang tertentu muncul alur penyampaian NDP yang berbedabeda semisal: Dialog Kebenaran di Makassar, Visi Merah Putih di sebagian
Jabodetabek dan Revolusi Kesadaran di cabang Bandung.
Kongres XXII Jambi akhirnya merekomendasikan kepada PB HMI untuk
melaksanakan lokakarya rekonstruksi NDP, yang terlaksana pada tahun
2001 di Graha Insan Cita Depok dibawah koordinasi Kholis Malik sebagai
Ketua Bidang PA PB HMI. Lokakarya ini kemudian mengamanahkan kepada
tim khusus PB HMI untuk menyusun draft NDP rekonstruksi berdasar draft
yang diajukan Badko Jabar sebelumnya. Namun dalam perjalanannya
menuju Kongres XXIII di Balikpapan tahun 2002, draft NDP rekonstruksi
tak juga hadir.
Kemudian di Kongres XXIV di Jakarta tahun 2003 muncul kembali
rekomendasi kongres untuk melaksanakan lokakarya NDP. PB HMI periode
2003-2005 kemudian menugaskan bidang PA PB HMI melalui ketua
bidangnya Muhammad Anwar (Cak Konyak) untuk kemudian bekerjasama
dengan Bakornas LPL PB HMI yang dipimpin Encep Hanif Ahmad untuk
melaksanakan lokakarya NDP, dengan maksud melakukan pengayaan alur
materi NDP sehingga lahir metodologi pemahaman NDP yang lebih mudah
dicerna kader HMI.
Semangat rekonstruksi NDP yang menggebu dari cabang-cabang
difasilitasi melalui lokakarya di Mataram yang mempertemukan draft-draft
rekonstruksi NDP yang dibawa beberapa badko dan cabang yang menjadi
undangan. Melalui berbagai dinamika forum lokakarya mengarah pada
pembandingan draft tawaran HMI Cabang Makassar dengan NDP Cak Nur,
sehingga melalui forum group discussion (FGD) dalam lokakarya tersebut
terbentuk sebuah tim yang terdiri dari delapan orang peserta untuk

mengawal draft tawaran HMI Cabang Makassar. Setelah lokakarya di


Mataram, proses finalisasi teks dilakukan oleh tim 8 di Selong dan di HMI
Cabang Makassar Timur. Draft inilah yang kemudian disahkan pada
Kongres XXV di makassar pada tahun 2006 sebagai NDP HMI, atau lazim
disebut sebagai NDP baru.
Namun setelah disahkan, NDP baru banyak mendapat kritik, baik terhadap
teks maupun proses perumusan dan pengesahan di Kongres Makassar.
Dalam Seminar/Lokakarya yang diadakan PB HMI bulan April 2009
terungkap bahwa NDP baru sesungguhnya bukan hasil rekonstruksi tim 8,
melainkan narasi Arianto Achmad, seorang guru NDP di Cabang Makassar
Timur, yang melalui proses tertentu sehingga dapat dijadikan draft final
sehingga disahkan pada Kongres Makassar melalui mekanisme forum
yang dipaksakan: voting.
Selain itu, kritik terhadap isi teks NDP baru juga disampaikan oleh banyak
pihak, diantaranya Azhari Akmal Tarigan, Amrullah Yasin (mantan Tim 8)
dan Kun Nurachadijat yang mensinyalir NDP baru berbau mazhab Syiah,
dengan kualitas yang tidak lebih baik dari NDP Cak Nur, selain juga
kemudian banyak cabang yang tidak mau menggunakan NDP baru dan
cenderung memilih NDP Cak Nur, yang notabene ketika itu adalah
tindakan inkonstitusional.
Berbagai realitas -kecacatan NDP baru- inilah sehingga melahirkan
keputusan PB HMI periode 2008-2010 dan lalu diperkuat melalui Kongres
XXVII di depok tahun 2010 untuk mengembalikan NDP Cak Nur sebagai
NDP HMI.
NDP Bagi HMI
Jika mencermati maksud awalnya sebagai penjabaran ajaran Islam, maka
tolak ukur NDP tak jauh dari nilai-nilai pokok ajaran Islam yang termaktub
dalam Al Quran dan hadits, yang kemudian nilai-nilai tersebut dapat
menjadi rujukan lahirnya teori sosial yang mewujud dalam gerak
perjuangan HMI.
Jika tolak ukur ini disepakati, maka NDP hanya akan berbicara tentang hal
mendasar dalam Islam: tauhid dan kemerdekaan, ikhtiar dan takdir,
keadilan sosial dan ekonomi, dan peradaban berdasarkan pengetahuan.
NDP tentu tak akan sempat membahas secara mendalam mengenai
masalah teknis ritual keagamaan semacam shalat, puasa dll. karena
cenderung akan terjebak dalam khilafiyah furuiyyah fiqh.
Nilai tauhid dalam NDP misalnya, dapat diterjemahkan dalam bentuk
independensi HMI, kemerdekaan atau ketidaktundukan HMI terhadap
apapun selain kepada nilai kebenaran. Sehingga kebenaran menjadi satusatunya ukuran bagi asal dan tujuan perjuangan kader HMI. Yang lain
misalnya, nilai keadilan sosial yang termaktub dalam NDP yang menjadi

rujukan bagi HMI untuk melakukan perubahan sosial, menjadi idea of


progress menghadapi kejumudan dan kondisi keumatan yang timpang.
Demikian sehingga dalam fungsi idealnya NDP adalah sumber rujukan
nilai kepercayaan, panduan mencapai tujuan perjuangan, dan tuntunan
untuk selalu melakukan perubahan. Dan inti NDP kemudian menjadi
sederhana: Beriman, berilmu dan beramal.
Kader-kader HMI seharusnya tidak pernah puas terhadap apapun miliknya,
selama menyadari bahwa tak ada yang sempurna dan selesai dalam
proses pendekatan kebenaran, sehingga kepuasan dengan sendirinya
berarti kejumudan, kehilangan jiwa Islam itu sendiri. Wallahu alam.

http://danialisme.wordpress.com/

Anda mungkin juga menyukai