Anda di halaman 1dari 12

STRATEGI IMPLEMENTASI MISI HMI DALAM

KEHIDUPAN BERORGANISASI, BERBANGSA,


DAN BERNEGARA

Penulis : Ahmad Nasir Siregar (Sekjen PBHMI)

LATAR BELAKANG

Perubahan sosial yang terus terjadi seiring dengan perkembangan peradaban umat dan bangsa
Indonesia, tentu saja memiliki implikasi bagi tumbuh kembangnya HMI di dunia pergerakan
pemuda dan mahasiswa. Terlebih lagi bagi HMI yang sudah mencapai titik jenuhnya dalam
berorganisasi selama masa orde baru, HMI berada dalam comfort zone di lingkungan elite dan
kekuasaan. Padahal peran pergerakan pemuda dan mahasiswa yang utama adalah untuk
melakukan perubahan, pembaharuan dan pembangunan di dalam masyarakat. Dan HMI dalam
hal ini telah kehilangan sentuhan tradisinya untuk melakukan hal tersebut karena kegiatan
perkaderan organisasi telah kehilangan ruh kekritisan dan progressifitasnya, dan berubah
menjadi kegiatan rutin belaka.

Oleh karena itu, kemampuan organisasi untuk beradaptasi dan membaca arus zaman harus
menjadi ujung tombak metodologi gerakan agar dapat terus menjaga eksistensi sistem
perkaderan dan pencapaian misinya. Bila pedoman-pedoman organisasi, nilai-nilai dasar
perjuangan, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga sekadar dimaknai sebagai dokumen
tanpa makna dan tafsir sebagai ruh untuk mencapai tujuan besar organisasi, maka telah
sampailah organisasi pergerakan tersebut kepada titik nadir ruh perjuangannya. Ironisnya gejala-
gejala tersebut sedang terjadi di HMI.

Oleh karena itu, cerita soal kebesaran masa lalu dan sistem senioritas menjadi hukum tidak
tertulis namun telah menjadi panduan baku bagi kader dan seolah menjadi dogma yang merasuki
dan menghantui tiap kader, sehingga kreatifitas kader untuk melakukan perubahan, pembaharuan
dan pembangunan terbelenggu oleh beban sejarah. Karena itu, apabila HMI ingin kembali ke
jalurnya, maka HMI perlu melakukan penyegaran orientasi aktifitas organisasinya sebagai
organisasi pergerakan.

Sehubungan dengan itu, makalah ini mencoba untuk menjelaskan tentang bagaimana strategi
HMI dalam mengimplementasikan misinya dalam konteks berorganisasi, berbangsa dan
bernegara.

TIGA LANDASAN NILAI PERGERAKAN HMI

HMI melandaskan diri pada sistem nilai dalam pergerakannya, yaitu landasan nilai yang sifatnya
politis, landasan nilai yang sifatnya ideologis dan landasan nilai yang sifatnya sosiologis.
Landasan nilai politis HMI sesuai dengan apa yang tercantum pada tujuan organisasinya, namun
dalam ini landasan nilai politis tidak berarti kekuasaan, tetapi ini adalah politik HMI untuk
menyumbangkan segala daya dan usaha aktifitas organisasinya untuk menciptakan peradaban
yang lebih baik bagi Indonesia dan sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Landasan nilai ideologis HMI sudah tentu adalah yang tercantum pada Nilai-nilai Dasar
Perjuangan (NDP) yang merupakan usaha dari HMI dalam merangkum dan merumuskan nilai-
nilai yang terkandung di dalam Al-Quran untuk dijadikan pedoman mereka untuk mewujudkan
misi dan tujuan organisasi. Bila landasan nilai politis dan landasan nilai ideologis itu tercantum
secara formal di dalam konstitusi HMI, maka landasan ketiga yaitu landasan nilai sosiologis,
yang lahir dari situasi budaya dan aktifitas HMI dalam mewujudkan misinya. Kultur di dalam
HMI ini membentuk nilai-nilai fundamental yang berfungsi membentuk karakter kader-kader
HMI, dan juga menjadi solidarity value dari keberagaman yang ada di HMI. Nilai-nilai
fundamental yang dimiliki oleh HMI tersebut adalah sebagai berikut[1] :

1. Kebenaran

2. Kebebasan intelektual

3. Inklusifitas

4. Pluralisme

5. Idea of progress

6. Academic excelent (rasional, objeltif, kritis, ilmiah, dan professional)

7. Intregitas kader (mandiri, bertanggungjawab, jujur dan adil)

8. Persaudaraan dan kemanusiaan

9. Keberpihakan kepada mustadafin (pihak yang tertindas)

10. Independen

Ketiga landasan perjuangan di atas (baca: politis, ideologis, dan sosiologis) harus diderivasikan
menjadi strategi organisasi ketika menghadapi realitas di dalam masyarakat. Strategi tersebut
harus berhubungan dengan tiga ranah aktifitas HMI yaitu ranah organisasi, ranah intelektual, dan
ranah kebangsaan. Dan untuk itu dalam makalah ini ditawarkan paradigma baru strategi
implementasi misi HMI yang bergerak di ranah intelektual dan keumatan berupa gerakan
pengilmuan Islam, diranah keorganisasian berupa penerapan manajemen strategis, dan di ranah
kebangsaan berupa wacana nasionalisme progressif.

PENGILMUAN ISLAM

Banyak kalangan, bahkan orang Islam sendiri meragukan tentang kemungkinan teks Islam yang
berasal dari abad ke-7 itu sanggup untuk menjadi ilmu modern. Padahal Islam memiliki
keotentikan untuk mempunyai kapasitas sebagai agama maupun sebagai ilmu. Dengan kata lain
sangat memungkinkan untuk menerapkan ajaran-ajaran sosial Islam yang terkandung dalam teks
lama pada konteks sosial masa kini tanpa mengubah struktur Islam itu sendiri sebagai sebuah
agama atau dengan kata lain memngkinkan untuk terjadinya proses pengilmuan Islam.

Pada dasarnya pengilmuan Islam merupakan proses penjabaran konsep-konsep normatif-


subjektif Islam menjadi formulasi-formulasi empiris-objektif yang terbuka dan inklusif (dari teks
menuju konteks). Metodenya bisa dikerjakan melalui peminjaman dan akomodasi ataupun
adaptasi dan sintesis dengan khazanah lain untuk memahami kandungan normatif Islam (metode
integralisasi). Selain daripada itu, pengilmuan Islam tidak hanya persoalan keilmuan semata,
karena salah satu tujuan utamanya adalah kontekstualisasi atas teks-teks agama dengan keadaan
sosial atau dengan kata lain kenyataan hidup adalah konteks bagi keber-agama-an (metode
objektifikasi).

Salah satu metode menuju terwujudnya pengilmuan Islam di atas ialah melalui objektifikasi
Islam yaitu ketika gagasan-gagasan normatif Islam ditampilkan sebagai nilai-nilai universal,
bersifat publik, dan dijustifikasi secara rasional. Nilai-nilai tersebut layak diterima bukan karena
ia berasal dari Islam tetapi yang terpenting adalah bahwa nilai-nilai itu mengandung kebaikan
pada dirinya sendiri, sehingga sumber nilai-nilai itu menjadi tak penting; yang penting adalah
kemampuan menjustifikasinya secara rasional, demi mempersuasi sebanyak mungkin orang
untuk menerimanya.

Ini menunjukan nilai-nilai Islam secara substansial bisa tampil secara universal dan karena nilai-
nilai Islam berhasil ditransformasikan untuk menjadi sumber pencerahan bagi pemecahan
masalah bersama secara objektif. Dengan demikian nilai-nilai Islam menjadi sesuatu yang bisa
diterima orang, baik muslim ataupun non-Muslim, karena kebaikan nilai-nilai itu sendiri, bukan
karena nilai-nilai itu berasal dari Islami. Dengan cara ini, Islam menjadi rahmat untuk alam
semesta.

Pandangan dunia (welstanchauung) HMI yang merujuk pada Nilai-Nilai Dasar Perjuangan
(NDP), membuat corak ideologi gerakan HMI adalah lebih mementingkan subtansi daripada
literalis dan NDP telah menunjukan bagaimana prinsip-prinsip kebenaran universal dijadikan
sebagai poros sistem keyakinan kader. Kebenaran universal itu tak terbatas pada ruang dan
waktu atau bisa juga disebut sebagai teoritical wisdom.

Dengan demikikan, melalui pengilmuan Islam, maka gerakan HMI akan lebih mendekati konteks
dari pada teks, dengan begitu Islam dan HMI akan relevan kembali untuk memecahkan kembali
problem-problem kemanusiaan melalui bahasa dan metode yang objektif, yang bisa diterima dan
menarik partisipasi dari semua orang. Dengan begitu Islam selalu bergulat dengan relevansi
keadaan kotemporer umat di mana Islam tidak hanya berperan sebagai pemberi legitimasi
terhadap sistem sosial, melainkan juga harus mengontrol perilaku sistem tersebut.

Apabila pengilmuan Islam dapat menjadi metodologi HMI dalam mengimplementasikan misinya
maka secara tidak langsung HMI telah menjadi agen dari misi profetik Islam itu sendiri dengan
melakukan transformasi sosial di level umat, melalui kerja-kerja intelektual , yaitu
mentransformasikan nilai-nilai Islam yang subjektif menjadi objektif untuk mencitrakan Islam
kepada khalayak yang telah diaktualisasikan ke dalam bahasa ilmu secara empiris.
Manajemen Strategis

Kejumudan aktifitas organisasi HMI, sedikit demi sedikit telah membuat HMI kehilangan
orientasi dalam mengejar pencapaian misi organisasinya. Akibatnya HMI selalu terlambat untuk
mengantisipasi perubahan zaman baik dalam persoalan day to day politics hingga masalah
perumusan masa depan peradaban umat dan bangsa. Untuk itu, diperlukan penyegaran sistem
organisasi yang dapat memberikan HMI sebuah early warning system sebagai respon
kontemporer terhadap situasi dan kondisi internal maupun eksternal. Kemunduran HMI
disebabkan karena HMI gagal untuk mengambil peran-peran serta posisi yang strategis untuk
dapat memimpin perubahan yang terjadi di masyarakat. Setidaknya HMI selama ini hanya
berfungsi sebagai pengikut dalam arus perubahan, belum mengendalikan perubahan tersebut.

Manajemen modern memberikan solusi bagi permasalahan organisasi seperti yang dihadapi oleh
HMI, yaitu melalui penerapan manajemen strategis yang melibatkan perencanaan strategis
organisasi sebagai mekanisme organisasi untuk menetapkan dasar pijakan, arah dan strategi
organisasi menghadapi keadaan zaman yang penuh dengan kompetisi, penuh dengan
ketidakpastian, dan penuh dengan resiko.

Sistem nilai HMI yang berpedoman pada nilai dasar perjuangan (ideologis), nilai-nilai
fundamental (sosiologis), dan misi (politis) harus bisa diderivasi ke level implementasi
dilapangan, dan ini membutuhkan fleksibelitas kerja manajemen yang mampu sigap dan tanggap
dan tidak gagap menghadapi keadaan kontemporer yang selalu berubah, dengan begitu HMI
selalu dapat mengambil posisi dan peran yang strategis dalam perubahan-perubahan yang terjadi
di dalam masyarakat tersebut. Ini dikarenakan HMI telah memiliki blue print yang jelas
mengenai apa yang akan dilakukan, dan langkah apa yang harus dilakukan bila hal yang
direncananan tidak bisa di implementasikan dilapangan.

Logika dasar dari perencanaan strategis adalah, dalam lingkungan dunia yang berubah secara
pesat dan tak menentu, suatu organisasi memerlukan kemampuan untuk melakukan perubahan
rencana dan manajemen dengan tepat. Maka, kemampuan untuk senantiasa melakukan
penangkapan lingkungan eksternal dari organisasi, serta upaya terus-menerus senantiasa
melakukan penelaahan kemampuan dan kelemahan organisasi internal menjadi prasayarat bagi
organisasi untuk tetap strategis. Dengan kata lain perencanaan startegik merupakan analisa
sistematis dan perumusan sasaran ke depan, mengenai respon-respon dan pilihan-pilihan, serta
pemilihan optimal dan penetapan instruksi-instruksi untuk mengimplementasikannya secara
rasional dalam organisasi.

Dengan demikian perencanaan strategi berangkat dari misi dan visi, mandat dan nilai-nilai yang
menjadi dasar suatu organisasi untuk berkembang menjadi visi organisasi di masa mendatang.
Proses analisis yang mengaitkan antara misi dan visi, serta perkembangan lingkungan eksternal
serta kekuatan dan kelemahan internal ini akan membawa organisasi menemukan arah menuju
yang paling strategi paling efektif.

Manfaat manajemen startegik bagi organisasi sosial adalah sebagai berikut:


1. Perannya sangat berarti dalam membantu organisasi untuk menetapkan isu strategis yang
perlu, dan relevan untuk diperjuangkan. Sementara banyak organisasi sosial tidak mampu
menetapkan isu-isu strategis sehingga perjalanan organisasi bersifa

rutin ataupun reaktif.


2. Perencanaan strategis bermanfaat untuk menyadarkan terhadap keseluruhan anggota ataupun
stakeholder seluruh organisasi mengenai visi, misi, mandat, serta nilai-nilai yang dianut oleh
organisasi. Hal ini penting untuk menghindari organisasi tanpa kejelasan visi dan misi, atau
hanya sebagian kecil elit organisasi yang mengerti dan memahami visi dan misi organisasi,
sementara sebagian besar anggota tidak memahami atau tidak terlibat penetapannya.
3. Organisasi sosial yang memiliki perencanaan strategis tidak hanya akan mampu membantu
organisasi itu tetap relevan dengan perubahan lingkungan sosial politik, namun bahkan mmpu
mempengaruhi, mengarahkan, dan membentuk sistem sosial, politik, dan ekonomi yang sesuai
dengan visi dan misi organisasi.
4. Konsolidasi organisasi secara berkala, yang akan membawa pada suasana meningkatnya
partisipasi keseluruhan anggota dalam proses pengambilan keputusan yang mendasar, serta
menghindarkan terjadinya pross alienasi bagi elite organisasi terhadap masa anggotanya.

NASIONALISME PROGRESSIF

Sejarah perjalanan bangsa ini sudah membuktikan bahwa nasionalisme merupakan alat
perjuangan paling efektif dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia. bukti dan fakta nyatanya
adalah keberagaman yang hadir di bumi Indonesia ini dapat diikat oleh sebuah rasa solidaritas
untuk menjadi satu kesatuan dalam sebuah bangsa yang mereka imajinasikan sebagai bangsa
Indonesia. Rasa solidaritas yang terbangun atas kesamaan nasib menjadi korban penjajahan,
menjadikan nasionalisme yang berkembang diawal kemerdekaan adalah nasionalisme yang
bertumpu pada aspek politik dan aspek psikologis.

Pendekatan ini mengharapkan loyalitas penuh rakyat dalam satu-kesatuan territorial wilayah
kepada negara tanpa pamrih. Implementasi pendekatan ini berkembang pesat pada masa orde
baru, ketika penguasa menggunakan slogan nasionalisme sebagai alat politik untuk menundukan
lawan-lawan politiknya, rakyat yang tidak setuju terhadap kebijakan pemerintah, dan landasan
pembenaran bagi semua kebijkan negara. Barang siapa yang ada dalam posisi tadi, maka ia akan
dicap sebagai anasionalis yang berarti vis a vis dengan penguasa dan alat-alat negara seperti
birokrasi dan TNI.

Ada dua hal penting yang terjadi akibat praktek tersebut. Pertama, arti nasionalisme menjadi
sempit dan sekedar bersifat sloganistik karena tidak seimbangnya antara hak dan kewajiban
dalam hubungan rakyat dan negara. Disatu sisi rakyat berkewajiban penuh untuk mentaati
seluruh kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh negara dan wajib siap untuk
mengorbankan jiwa raganya demi keselamatan negara, namun disisi lain negara gagal
melaksanakan kewajibannya untuk memberikan kesejahteran bagi rakyatnya. Ini menunjukan
nasionalisme yang hanya bertumpu pada pendekatan politik dan psikologis saja kontraproduktif
dan berimplikasi negatif bagi tumbuh kembangnya rasa nasionalisme.
Kedua, nasionalisme di Indonesia mengalami involusi perannya bagi pembangunan peradaban
Indonesia. bila diawal pembentukan nation state, nasionalisme pondasi bagi seluruh daya usaha
membangun kerangka berbangsa dan bernegara. Namun dalam perjalanan berikutnya, peran
nasionalisme terkikis dari mental pejabat negara, dampaknya pengelolaan negara tidak lagi
menjadikan pencapain tujuan nasional sebagai arah pembangunan. Sebagai contoh timbulnya
perselingkuhan antara penguasa dan penguasa, investor asing, membentuk jejaring KKN
(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang menghisap keuntungan negara ini. Bila dahulu kita
berjuang melawan penjajahan asing, maka saat ini kita harus berjuang melawan pengkhianatan
dari dalam, ketika secara tidak langsung ada sebagian kecil kelompok yang memiliki kelebihan
sumber daya menjajah sesama saudara sebangsanya, baik itu melalui eksploitasi ekonomi,
politik, sosial, dan budaya.

Berdasarkan dua hal diatas maka sudah saatnya HMI memperjuangkan wacana nasionalisme
progessif sebagai dasar dalam mengambil peran-peran kebangsaannya. Adapun yang dimaksud
dengan nasionalisme progessif adalah nasionalisme yang berlandasakan pada pembukaan UUD
1945 serta penerapan nasionalisme dalam kehidupan berbangsa melalui pendekatan
kesejahteraan dengan melindungi kepentingan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat Indonesia. Sehingga HMI dan bangsa Indonesia tetap memiliki pedoman yang jelas dalam
membangun arah peradaban Indonesia dimasa mendatang, sekaligus mampu menetralisir
pengaruh-pengaruh ideologi dan kepentingan asing di Indonesia.

Pembukaan UUD 1945 adalah norma nilai tertinggi dalam kehidupan kebangsaaan kita,
sekaligus merupakan jati diri dan cita-cita peradaban Indonesia. Maka dari itu, apapun daya dan
usaha pengelolaan negara tidak boleh bertentangan apalagi mengkhianatinya, karena, inilah
karakter nasional kita yang membedakan kita dengan bangsa lain dan yang menjadi alasan paling
dasar kenapa beragam agama, suku, bahasa, serta kerajaan mau bersatu dan melahirkan bangsa
ini lahir diatas muka bumi.

Salah satu akibat dari penjajahan adalah penindasan, eksploitasi yang memiskinkan bangsa ini,
oleh karena itu kemerdekaan merupakan jembatan emas untuk meraih kesejahteraan bagi rakyat
Indonesia. Wajar adanya apabila saat ini rakyat Indonesia kehilangan orientasi ideologis
nasionalismenya karena memang kesejahteraan mereka tidak kunjung membaik, dengan kata lain
kemerdekaan tidak memberikan peluang bagi mereka untuk meraih kesejahteraan yang
didambakan atau dengan kata lain kemerdekaan belum memiliki arti secara ekonomis.

Nasionalisme Indonesia saat ini mau tidak mau dipertahankan oleh keajaiban rasa patriotik yang
membuat rakyat merasa bangga merasa bangga untuk mengakui manjadi bagain dari sebuah
bangsa dan negara yang bernama Indonesia dan tidak lebih dari itu. Fenomena ini tidak boleh
berlanjut dan harus dihentkan, ditengah globalisasi yang membuat dunia ini flat dan borderless
sangat rentan rasa patriotik tersebut luluh, dan individu-individu dari warga negara akan
melakukan hal-hal yang merugikan kepentingan nasional, demi tawaran kesejahteraan dari pihak
lain.

Terlalu banyak hal untuk dituliskan, untuk menggambarkan kebobrokan pengelolaan negara di
berbagai bidang yang secara sengaja dan sadar merugikan negara. dan tindakan ini berakibat
langsung pada ketidakmampuan negara untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya, dan ini
berujung pada menurunkan rasa nasionalisme dari tiap individu-individu warga negara.
kesimpulannya, kesejahteraan bagi rakyat adalah jawaban bagi manifestasi pembangunan
peradaban dan pengikat solidaritas rasa nasionalisme di masa mendatang.

Penutup

Sudah menjadi fitrah bagi HMI untuk terus melahirkan generasi manusia-manusia Indonesia
yang memiliki kualitas dan kompetensi untuk memimpin bangsanya dari masa ke masa. Oleh
karena itu HMI harus mampu selalu memberikan gagasan, ide, serta konsep untuk melakukan
terus perubahan, pembaharuan dan pembangunan untuk menciptakan peradaban Indonesia yang
lebih baik. Untuk itu, diperlukan strategi yang tepat serta kemampuan dalam menangkap
semangat zaman sebagai modal utama HMI dalam mempertahankan posisi dan peran
strategisnya pada kehidupan kebangsaan dan keumatan. Inilah tugas kita sebagai generasi yang
sedang memangku amanah di setiap level organisasi HMI untuk berjuang memikirkan strategi
guna mengimplementasi misi organisasi yang compatible dengan zamannya.

Billahittaufiq wal hidayah

Yakin Usaha Sampai

Bahagia HMI

Peranan HMI dalam Menyiapkan Kompetensi Manusia

HMI mengemban berbagai tugas, tugas pendidikan dan pelatihan, tugas penelitian dan
pengembangan ilmu, tugas pengabdian pada masyarakat, serta tugas pengembangan nilai dan
kepribadian. Tugas-tugas ini tertuang secara implisit dalam tujuan HMI. Sebagai suatu sub-
sistem dalam masyarakat HMI harus dapat menyiapkan manusia yang memiliki kompetensi
untuk hidup bersama dalam ikatan global. HMI harus dapat mengembangkan dimensi yang
diperlukan untuk memasuki kehidupan milenium ketiga, dan juga sebagai prasyarat
pengembangan kehidupan masyarakat. Menurut penulis ada tiga dimensi yang diperlukan untuk
menghadapi era postmodern, yaitu: dimensi keilmuan, dimensi spritual dan dimensi sosial.
Sejalan dengan itu Ancok mengatakan bahwa jenis kapital yang diperlukan untuk menghadapi
era globalisasi, yaitu kapital intelektual, kapital sosial, kapital lembut, dan kapital spiritual.[3]
Dengan menumbuhkan kompetensi manusia melalui ketiga dimensi ini diharapkan akan
terwujud manusia yang berorientasi kita bukan berorientasi saya (diri saya, keluarga saya,
sekolah saya, partai saya, golongan saya, dan sebagainya). Manusia yang demikian inilah yang
oleh Stephen Covey disebut sebagai manusia yang efektif (Covey, 1989).

1. Dimensi Keilmuan

Dimensi keilmuan adalah perangkat yang diperlukan untuk menemukan peluang dan mengelola
ancaman dalam kehidupan. Banyak pakar yang mengatakan bahwa dimensi keilmuan ini sangat
besar perannya dalam menambah nilai suatu kegiatan, termasuk dalam mewujudkan masyarakat
cita. Berbagai organisasi, lembaga dan strata sosial yang unggul dan meraih banyak keuntungan
atau manfaat adalah karena mereka terus menerus mengembangkan sumberdaya atau kompetensi
manusianya.

Manusia harus memiliki sifat proaktif dan inovatif untuk mengelola perubahan lingkungan
kehidupan (ekonomi, sosial, politik, teknologi, hukum, dll) yang sangat tinggi kecepatannya.
Mereka yang tidak beradaptasi dengan perubahan yang super cepat ini akan dilanda kesulitan.
Pada saat ini manusia, organisasi, negara, dan daerah tidak lagi berlayar di sungai yang tenang
yang segala sesuatunya dapat diprediksi dengan tepat. Kini sungai yang dilayari adalah sebuah
jeram yang ketidakpastian jalannya perahu semakin tidak bisa diprediksi karena begitu
banyaknya rintangan yang tidak terduga. Dalam kondisi yang ditandai oleh perubahan yang
super cepat manusia harus terus memperluas dan mempertajam pengetahuannya dan
mengembangkan kreatifitasnya untuk berinovasi dan berimprovisasi.

HMI sebagai anak kandung ummat harus siap berada di garda paling depan di dalam
mengembangkan nuansa keilmuan ini dan harus mampu membangun suatu masyarakat
pengetahuan (knowledge community). Hal ini tersirat dalam Mission HMI yang tertuang dalam
pasal 4 AD HMI yang merupakan tujuan HMI dan bermuara pada peran HMI sebagai organisasi
perjuangan. Tentu saja sesuai dengan ranahnya untuk masing-masing jenjang struktur di HMI.

Pekerjaan membangun dimensi ini adalah pekerjaan yang tiada akhir, karena ilmu yang dimiliki
akan mudah sekali ketinggalan zaman. Kita akan menjadi penyebar kerusakan bila konsep yang
kita ajarkan adalah konsep yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan perubahan. Budaya saling
tukar menukar informasi dan wawasan yang melibatkan seluruh komponen kader HMI dalam
forum-forum tertentu akan semakin mengembangkan dimensi keilmuan.

2. Dimensi Spiritual

Belakangan ini kajian-kajian yang berkaitan dengan dimensi spritual banyak dibicarakan oleh
para pakar. Sebut saja seperti Zohar dan Marshall (2000), Agustian (2001), Tasmara (2001).
Dimensi ini menjadi semakin penting peranannya karena upaya membangun manusia yang
cerdas dengan IQ yang tinggi tidaklah menghantarkan manusia pada kebermaknaan hidup.
Padahal kebermaknaan hidup adalah sebuah motivasi yang kuat yang mendorong orang untuk
melakukan sesuatu kegiatan yang berguna. Hidup yang berguna adalah hidup yang memberi
makna pada diri sendiri dan orang lain. Selain itu dimensi spiritual ini juga memberikan perasaan
hidup yang komplit (wholeness). Inilah yang disebut oleh Abraham Maslow dengan Peak
Experience , yaitu perasaan yang muncul karena kedekatan dengan sang pencipta.

Bagi HMI dimensi keilmuan akan sangat menunjang dimensi yang kedua ini, sehingga
dikatakan, orang yang beribadah tanpa ilmu adalah buta. Sehingga ketinggian ilmu mesti
seiring dengan peningkatan spritual, sebab dimensi spritual merupakan ilmu tertinggi yang dapat
dicapai manusia.

Namun demikian banyak akademisi yang menyarankan agar dimensi spiritual ini dipisahkan dari
dimensi keilmuan dan sosial dengan tujuan untuk semakin menekankan betapa pentingnya upaya
pengembangan keberagamaan manusia dan menjaga nilai-nilai agama tetap murni, tidak
terkontaminasi dengan disiplin keilmuan yang bersifat tentatif. Agama dianggap sebagai
pembimbing kehidupan agar tidak menjadi egoistis yang orientasinya hanya memikirkan
kepentingan diri sendiri saja. Karena itu, upaya untuk mengembangkan keagamaan adalah
bagian mutlak dan utama bagi tumbuhnya masyarakat yang makmur dan sejahtera, serta aman
dan damai.

3. Dimensi Sosial

Dimensi intelektual dan spiritual baru akan tumbuh dan berkembang bila masing-masing orang
mau berbagi wawasan. Untuk dapat berbagi wawasan orang harus membangun jaringan
hubungan sosial dengan orang lainnya. Kemampuan membangun jaringan sosial inilah yang
disebut dengan dimensi sosial. Semakin luas pergaulan sosial seseorang akan semakin luas
jaringan hubungan sosial (social networking) semakin tinggi nilai seseorang.

Dimensi sosial dimanifestasikan pula dalam kemampuan untuk bisa hidup dalam perbedaan dan
menghargai perbedaan. Pengakuan dan penghargaan atas berbedaan adalah suatu syarat
tumbuhnya kreativitas dan sinergi. Kemampuan bergaul dengan orang lain yang berbeda, dan
menghargai serta memanfaatkan secara bersama perbedaan akan memberikan kebaikan buat
semua. Dalam ajaran agama setiap manusia diminta membangun hubungan dengan sesama
karena silaturrahmi akan memberikan kebaikan. Ide kreatif seringkali muncul melalui diskusi.

Demikian pula peluang usaha atau berprestasi seringkali terbuka karena adanya jaringan
hubungan silaturrahmi yang berlangsung damai dan harmoni. Islam juga dengan tegas
menganjurkan untuk membangun dimensi sosial ini. Allah berfirman: Hai manusia,
sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kenal mengenal .[4] Karena itu,
untuk menumbuhkan dimensi sosial pada diri kader diperlukan kegiatan pengabdian masyarakat
untuk menumbuhkan sifat-sifat demikian. Banyak pelatihan yang bisa ditawarkan untuk
menumbuhkan dimensi sosial, misalnya pelatihan untuk menumbuhkan social skill, pelatihan
keterampilan berkomunikasi efektif, dan pelatihan untuk menjadi manusia efektif seperti Paket
Seven Habits of Highly Effective People yang sekarang ini sangat populer di beberapa negara.
Berbagai ilmu di bidang human relation telah memberikan jalan bagaimana manusia harus
berinteraksi dalam suatu kebersamaan yang saling menguntungkan.

KAJIAN TEORETIS

A. Kepemimpinan Dalam Organisasi

Allah Swt menciptakan manusia sebagai makhluk terbaik ciptaan-Nya berarti ketaatan dan
kepatuhan manusia kepada Allah merupakan alasan penciptaan manusia karena itu kekhalifahan
manusia di bumi juga merupakan tujuan penciptaan manusia, dan sekaligus hanya manusia yang
mau dan mampu menerima amanah dari Allah dengan etika religius bahwa manusia bebas
memilih dan berkehendak untuk mengikuti perintah Allah.

Tugas manusia sebagai pemimpin dan manajer di bumi ini ialah memakmurkan alam sebagai
manifestasi dari rasa syukur manusia kepada Allah dan pengabdian kepada-Nya, tugas khalifah
diberikan kepada setiap manusia, maka dalam pelaksanaannya terkandung sikap kebersamaan
atau pertanggungjawaban bersama kepada Allah akan memakmurkan alam ini. Konsep ini
melahirkan nilai yang sangat penting tentang pemimpin, kepemimpinan dan anggota atau yang
dipimpin serta situasi mana kepemimpinan itu berlangsung. Dalam surat Al-Anbiya:73 Allah
menegaskan :

Artinya : Kamu telah menjadikan mereka itu pemimpin yang memberi petunjuk dengan
perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka, mendirikan shalat, menunaikan zakat
dan hanya kepada Kami lah mereka selalu menyembah.[2]

Bagi setiap umat ada pemimpin yang dipercayai (kredibel) sehingga mereka dapat mengajarkan
tentang kebenaran, kebaikan dan kemuliaan dengan keteladanannya. Pemimpin harus menjadi
penolong, menggerakkan, mengarahkan dan membimbing anggota organisasi untuk mematuhi
kehendak Allah. Untuk memperoleh tindakan dari anggota yang dipimpin, maka seorang
pemimpin harus menunjukkan keteladanan. Sehubungan dengan itu Allah Swt berfirman dalam
surat Al-Baqarah:44 yang berbunyi :

Artinya: Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebaikan sedangkan kamu melupakan
diri (kewajibanmu) sendiri? Padahal kamu membaca alkitab (Taurat) maka tidakkah kamu
berpikir?

Dari ayat di atas kita ketahui bahwa setiap pemimpin haruslah sesuai dengan perkataan dan
perbuatan. Sebab jika pemimpin tidak memberikan contoh yang baik pada anggotannya maka
suatu organisasi atau lembaga pendidikan tidak akan dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
Oleh karena itu jika menjadi pemimpin haruslah menjadi pemimpin yang memiliki kewibawaan,
tanggung jawab dan tauladan seluruh anggotanya, sebab setiap pemimpin akan diminta
pertanggungjawabannya di akhir kelak.

Dalam hal ini, Rasulullah Saw menegaskan dalam haditsnya yang berbunyi :

Artinya : Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu akan ditanyai kepemimpinannya,
imam adalah pemimpin dan ia akan mempertanggungjawabkan atas yang dipimpinnya.
(HR.Bukhari Mulim dan Ibnu Umar)[3]

Hadits di atas menjelaskan setiap manusia adalah pemimpin dan seorang pemimpin harus benar-
benar menjalankan kepemimpinannya karena kelak ia akan mempertanggungjawabkan atas apa
yang dipimpinnya.

Jika dilihat dalam konteks organisasi, yang dimaksud pemimpin adalah semua orang yang
bertanggung jawab dalam proses perbaikan yang berada pada semua level kelembagaan
organisasi. Para pemimpin organisasi harus memiliki komitmen terhadap perbaikan mutu dan
solusi utamanya. Oleh karena itu fungsi dari kepemimpinan organisasi haruslah tertuju pada
mutu anggota serta semua komponen lain yang mendukungnya. Bagaimanapun juga, fungsi
kepemimpinan organisasi merupakan satu dimensi yang paling esensial untuk melaksanakan
manajemen organisasi.
Kepemimpinan organisasi yang kuat akan dapat mengambil dan mengarahkan keputusan yang
demokratis. Proses pengambilan keputusan yang demokratis adalah satu syarat untuk dapat
menerapkan manajemen organisasi. Organisasi yang demokratis adalah organisasi yang
mengambil keputusan secara demokratis pula. Hal ini diterapkan, karena dalam manajemen
organisasi, organisasi bukan hanya milik organisasi tetapi ia adalah bagian dari masyarakat yang
berkepentingan terhadap organisasi. Dengan kata lain kepemimpinan organisasi adalah suatu
cara atau usaha ketua umum organisasi dalam mempengaruhi, mendorong, membimbing,
mengarahkan dan menggerakkan anggota, staf atau pengurus, senior, alumni dan pihak-pihak
terkait untuk bekerja atau berperan guna mencapai tujuan yang ditetapkan. Seorang ketua umum
untuk membuat orang lain bekerja untuk mencapai tujuan organisasi merupakan inti dari
kepemimpinan organisasi.

B. Staffing dalam Organisasi

Kepemimpinan merupakan salah satu aspek manajerial dalam kehidupan organisasi yang
merupakan posisi kunci (key position), karena seorang pemimpin berperan sebagai penyelaras
dalam proses kerjasama antarindividu dalam organisasinya.

Setiap organisasi untuk dapat mencapai tujuan organisasinya memerlukan manajemen dan di
dalam memfungsikan manajemen diperlukan sistem kepemimpinan, sehingga kegiatan
pencapaian tujuan organisasi melalui keepemimpinan dapat dinamakan sebagai proses
manajeman. Dengan demikian kepemimpinan adalah inti dari pada manajemen mencapai tujuan
organisasi.

Sistem kepemimpinan yang efektif adalah manakala pemimpin mampu memberikan perintah,
memberikan inspirasi, membangun kelompok kerja yang kompak, menjadi teladan, memperoleh
penerimaan dari para pegawainya. Menurut Koehler (1981: 238) kepemimpinan efektif tidak
hanya membolehkan diskusi di antara kelompok tetapi juga mengizinkan mereka berpartisipasi
dalam melaksanakan pengambilan keputusan. Jika mereka tidak dilibatkan dalam kegiatan
mendiskusikan persoalan yang relevan bagi mereka maka partisipasi mereka dalam mengambil
keputusan tidak akan sukses.[4]

Memberikan perintah, menyampaikan inspirasi, membangun tim kerja, membangun keteladanan,


memenuhi harapan anggota merupakan karakteristik kepemimpinan menuju efektivitasnya.

Dengan demikian, dalam usaha pencapaian tujuan organisasi, pemimpin sebagai topleader perlu
dibantu oleh beberapa orang stafnya yang menjadi aktor di lapangan. Staf-staf inilah yang
menjadi bidak dalam pelaksanaan proyek-proyek kerja yang telah ditetapkan di rapat
organisasi.

Untuk membangun teamwork yang solid, seorang pemimpin dengan sendirinya akan berpikir
dalam kerangka tim. Dengan menciptakan suasana dan teladan yang dapat dijadikan panutan
bagi timnya.

Dari berbagai jenis pendekatan dan pemahaman kepemimpinan yang ada selalu memiliki tujuan
akhir yaitu bagaimana menciptakan sebuah tim dengan kinerja yang tinggi, karena memang
itulah hasil dari pemimpin yang efektif. Tim yang memiliki kinerja tinggi itu memiliki ciri ciri
sebagai berikut :

1. Sasaran yang realistis


2. Rasa tanggung jawab bersama terhadap tujuan
3. Penggunaan sumber daya sebaik mungkin
4. Suasana keterbukaan
5. Mengkaji kembali kemajuan yang telah dicapai
6. Membangun pengalaman
7. Bertahan dalam krisis

Tim dengan ciri ciri seperti hal diatas, dapat dibangun dengan peran aktif seorang pemimpin
didalamnya. Keberhasilan dari sebuah tim lima puluh persen tergantung dari pemimpin dan lima
puluh persen sisanya tergantung dari kualitas, pelatihan dan moral mereka yang bekerja bersama
anda sebagai pimpinan. Satu hal yang perlu diperhatikan pimpinan sebagai usaha mawas diri
adalah Prinsip Peter dimana dikatakan, Keberhasil seorang pimpinan dalam satu tingkat, tidak
selalu bahwa pemimpin tersebut memimpin dengan baik pada tingkat berikutnya, karena para
karyawan dalam hirarki cenderung akan naik sampai dimana kompetensi (kemampuan) mereka
mentok. Hal ini sangat perlu diperhatikan seorang ketua supaya dapat menjadi pimpinan,
karena kepemimpinan merupakan peran kunci dalam setiap organisasi.

Anda mungkin juga menyukai