Sejak berdiri pada 5 Februari 1947/14 Rabiul Awal 1366 H (Pasal 2 AD/ART
HMI, PB HMI, 2018) HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) sudah terlibat dalam
pergerakan politik (Latif, 2005). Pada periode 1947-1965 HMI terlibat dalam:
(1) perjuangan mempertahankan kemerdekaan NKRI dari agresi Belanda, (2)
perlawanan terhadap demokrasi terpimpin rezim Orde Lama (Orla), dan (3)
perjuangan melawan pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia). Pada
periode 1966-sampai sekarang (masa Orba (Orde Baru)-pasca reformasi)
banyak SDM (Sumber Daya Manusia)/kader HMI (tepatnya KAHMI) yang
aktif dalam partai politik, birokrasi, dan kekuasaan pemerintahan, baik level
nasional maupun lokal.
Di masa awal kemerdekaan-Orla HMI—meminjam perspektif teori stuktur
(objektivisme)-agensi (subjektivisme) (Bourdieu, 1977) baik secara
kelembagaan (organisasi) maupun personal SDM/kader HMI—bersikap
kritis pada kekuasaan politik, sedangkan pada masa Orba-pasca reformasi
banyak SDM/kader HMI yang terlibat aktif di partai politik (political party),
birokrasi (bureaucracy), dan pemerintahan (government) nasional dan lokal.
Implikasinya terjadi pergeseran sikap politik HMI terhadap rezim politik,
yakni terjadi perubahan sikap politik terhadap rezim politik dari sikap kritis
bergeser menjadi akomodatif/kompromis (Nashir, 2016).
Berdasarkan pada konteks fakta historis inilah independensi HMI sebagai
organisasi kemahasiswaan mulai dipertanyakan. Lalu pertanyaannya,
mengapa HMI terlibat dalam proses politik dan kekuasaan? Apakah HMI
secara organisasi bisa independen dalam pusaran politik dan kekuasaan?
Bagaimana strategi HMI mempertahankan independensi dalam politik dan
kekuasaan?
1Penulis adalah aktivis HMI DIY Angkatan 1995, penasehat Lembaga studi
Keteribatan HMI dalam proses politik dan kekuasaan tidak terlepas dari: (1)
konteks/latar belakang berdirinya HMI, dan (2) tujuan berdirinya HMI.
Konteks berdirinya secara ideologis (ide’pemikiran gerakan) HMI
terinspirasi dengan ide pembentukan Jong Islamieten Bond (JIB), yakni
menciptakan intelegensia muslim yang memiliki kompetensi seimbang
antara ilmu pengetahuan dan agama (Latif, 2005). Konteks lingkungan sosial-
politik, HMI lahir sebagai respon atas dominannya PMY yang menjadi sub-
struktur (underbouw) PKI, hedonis, dan jauh dari Islam. Atas fenomena
tersebut Lafran Pane (mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (STI) di Yogyakarta,
sekarang UII) bersama dengan 14 mahasiswa di Yogyakarta mendirikan HMI
pada tanggal 5 Februari 1947 di DIY (Solichin, 2010).
Tujuan berdirinya HMI menurut Anggaran Dasar HMI adalah terbinanya
insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan
bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi
Allah S.W.T (Pasal 4 AD/ART HMI, PB HMI, 2018).
Tujuan ini dapat dicapai melalui kerja kemanusiaan (amal shaleh)
berdasarkan nilai ke-Islam-an, ke-Indonesian, dan ke-Intelektualan. Nilai
Islam yang dimaksud adalah Islam yang inklusif, nilai Indonesia yang
dimaksud adalah nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan
Keadilan, dan nilai Intelektual/Akademik yang dimaksud adalah jujur, adil,
dan objektif yang berdasarkan prinsip Nilai Dasar Perjuangan (NDP) HMI: (1)
beriman, (2) berilmu, dan (3) beramal (PB HMI, 2018).
Fakta empirik keterlibatan HMI dalam proses politik dan kekuasaan tampak
terlihat sejak awal kemerdekaan Indonesia hingga sekarang. Pada periode
1947-1965 keterlibatan HMI dalam politik terlihat pada perjuangan
mempertahankan kemerdekaan NKRI dari agresi Belanda dan perlawanan
terhadap rezim Orla dan PKI. Pada periode 1966-sampai sekarang banyak
kader HMI (tepatnya KAHMI) berada dalam kepengurusan partai politik,
birokrasi, dan kekuasaan pemerintahan, baik level nasional maupun lokal.
Pada Pada periode 1947-1965 HMI berada di luar kekuasaan politik dan
bersikap kritis terjadap rezim politik, sedangkan pada periode 1966-
sekarang sikap kritis HMI terhadap politik dan kekuasaan (politics and
power) mulai melemah, bahkan tidak membudaya kecuali karena ada
kepentingan tertentu (Nashir, 2016). Faktor penyebabnya yang dominan
adalah karena: (1) banyak SDM/kader HMI yang belum paham benar visi,
misi, dan tujuan HMI, dan (2) banyak KAHMI yang terlibat aktif di partai
politik, birokrasi, dan pemerintahan nasional dan lokal, yang karena
kepentingan tertentu (particular interest) mengintervensi HMI.
Efek buruknya, sifat organisasi HMI yang independen (Pasal 6 AD/ART HMI,
PB HMI 2018) terancam sulit terartikulasi secara empirik dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dalam perspektif sistem politik (Gaus dan
Kukathas, 2004) HMI sebagai kelompok kepentingan (interest group) dan
kelompok penekan (pressure group) tidak berfungsi dengan baik. Dampak
paralelnya sistem politik di Indonesia potensial tidak berfungsi dengan baik.
Hal ini tampak potensial artikulatif karena HMI adalah organisasi tertua di
3
Penutup
Referensi
Baumgartner, Frank R., dan Leech, Beth L. 1998. Basic Interest: The
Importance of Groups in Politics and Political Sicience. New Jersey:
Pricenton University Press.
Bourdieu, P. 1977. Outline of A Theory of Practice. Cambridge: Cambridge
University Press.
Gaus Gerald F., dan Kukathas, Chandran. 2004. Handbook of Political Theory.
London: Sage Publications.
Latif, Yudi. 2005. Intelegensia Muslim dan Kuasa. Bandung: Mizan.
4
Nashir, Reza Muhammad. 2016. “HMI Era Orde Lama, Orde Baru, dan
Reformasi,” tersedia di: https://www.kompasiana.com, diakses pada
29 Januari 2020.
PB HMI. 2018. Hasil-hasil Kongres HMI XXX: Meneguhkan Kebangsaan
Wujudkan Indonesia. Jakarta: PB HMI.
Solichin, 2010. HMI Candradimuka Mahasiswa. Jakarta: Sinergi Persadatama
Foundation.
Watts, Duncan. 2007. Pressure Groups. Manchester: Edinburgh University
Press.
Weber, Cynthia. 2005. International Relations Theory: A Critical Introduction.
London: Roudledge.